426 Hukum dan Pem/)angunan TINJAUAN HUKUM MENGENAI PRAKTEK PEMBERIAN JAMINAN PRIBADI DAN JAMINAN PERUSAHAAN Arsul Sani 8eberapa masalah hukum muncul, berkaitan dengan ja1llinan pribadi dan jaminan perusahaan. Sebenamya jaminan jenis ini temlasuk jalllinan yang rawan bagi kepentingan kreditur karena tidak ada benda yang pasti untuk dieksekusi bila Debitur cidera janji. Karena itulah kreditur pelllegang jalllinan ini digolongkan ke dalam unsecured creditor, sebagai lawan dari secured creditor pelllegang jalllinan kebendaan. Karangan ini Illencoba Illengupas jalllinan pribadi dan perusahaan serta masalah-Illasalah hukulll yang ada di sekitamya. Pendahuluan Sebagai suatu bentuk hubungan hukum , penjaminan atau pemberian garansi oleh seseorang sebenarnya bukanlah suatu instrumen hukum yang baru. Hal ini setidak-tidaknya jika dilihat dari kenyataan bahwa bentuk hubungan hukum ini telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata· (KUH Perdata), yang telah diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1848).' Oleh karen a KUHPerdata (BurgerlUk Wetboek) pada hakekatnya merupakan "foto copy" belaka dari koditikasi sejenis di Belanda dan yang terakhir ini juga "menirunya" dari Code Civil di Perancis, maka di negaranegara inipun masalah pember ian jaminan (garansi) telah lebih dulu diatur. lS(aatsblaad 1847-32 Oktober 1993 427 Pemberion Jaminan Pribadi Dalam Kitah Undang-Undang tersebut dikenal sebagai borgtocht. Memang sulit untuk menetapkan kapan penjaminan itu muncu l. Akan tetapi dengan pengaturannya dalam KUH Perdata, menunju kkan hahwa pemhentuk undang-undang telah sejak dahulu berusaha memikirkan perlindungan yang lebih menjamin kepentingan kreditur dalam memperoleh (kembali) piutangnya. Dalam dunia praktek hukum kita sendiri, penjaminan oleh perorangan atau perusahaan sebenarnya tidak terlalu banyak dibicarakan. Karenanya dapat dikatakan belum ada masalah-masalah hukum yang muncul ke permukaan dari suatu sengketa yang melibatkan seorang penjamin. Masalah penjaminan ini barulah agak ramai menjaadi bahan perbincangan setelah adanya gugatan kepailitan terhadap personal guarantee berkenaan dengan pinjaman PT. Bentoel dan timbulnya tuntutan terhadap William Suryadjaya berkenaan dengan personal guarantee-nya terhadap para nasabah Bank Summa yang sudah dilikwidasi-' Namun terlepas dari dua kasus yang menjadi semacam milestone untuk memhicarakan masalah garansi ini, sebenarnya memang ada beberapa hal atau masalah dalam praktek yang patut menjadi bahan diskusi kita. Tulisan herikut ini akan mengupas beberapa aspek dan masalah hukum yang menyangkut pember ian jaminanigaransi oleh pribadi perorangan dan perusahaan. Di luar kedua bentuk jaminan tersebut, masih ada bentuk jaminan yang lain seperti Surety Bond, Bank Garansi, dan sebagainya. Pengertian Masalah jaminan sebagai suatu upaya perlindungan hukum terhadap kreditur dan pihak yang mempunyai suatu hak tertentu dari pihak lain, sebenarnya mendapat tempat yang cukup "istimewa" dalam hukum kita. "Keistimewaannya" terletak pada diaturnya soal jaminan ini dalam dua bukuibagian yang berbeda dalam KUH Perdata kita . Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai "jaminan kebendaan", yang diatur dalam Buku II KUH Perdata khususnya Bab Keduapuluh dan Keduapuluh satu mengenai gadai dan hipotik. Yang kedua ialah "jaminan perorangan" (pribadi atau perusahaan), yang diatur Buku III KUH Perdata, Bab Ketujuhbelas. :!Dalam kasus "Bcntocl". offshore syndicmed banks yang mcmbcrikan loan tcJah mcnggugat liga orang pcnjamin (pribadi) di Pengadilan Ncgcri Malang agar dinyatakan pailil karcna dianggap tidak mampu mcmbayar kcwajiban-kcwajiban PT. BcntocJ yang dijaminnya. NOli/or 5 Tahlll1 XXlll 428 Hukum dan Pembangunan Kedua bentuk jaminan ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Pada jaminan kebendaan, kreditur penerima jarninan mempunyai hak-hak khusus terhadap suatu bend a tertentu yang dijadikan sebagai obyek jarninan di tangan siapapun benda itu berada. Hak khusus tersebut yang terpenting ialah hak untuk mengeksekusi benda tersebut dan mengambil hasilnya sebagai pelunasan hutangnya tanpa harus berbagi secara"pro-rata" dengan kreditur lainnya. Kreditur pemegang jaminan kebendaan baik gadai maupun hipotik dikenal sebagai secured creditor. Sedangkan 'kreditur pemegang jaminan perorangan tidak mempunyai hak khusus seperti di atas terhadap harta kekayaan Pemberi Jaminan (personal guarantor atau corporate guarantor). Dalam penjarninan ini memang tidak ditunjuk suatu benda tertentu sebagai obyek jarninan. Yang terjadi hanyalah suatu kesepakatan penjarnin dengan kreditur bahwa ia mengikatkan dirinya dan menjamin dengan kekayaannya yang dipunyai untuk memenuhi kewajiban debitur pada saatnya nanti dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena tidak menunjuk benda( -benda) tertentu milik penjarnin sebagai obyek jaminan yang kemudian diikat melalui bentuk pengikatan yang sudah ditetapkan, maka jaminan perorangan hanyalah efektif dan bermanfaat apabila pada waktu hendak dilaksanakannya jaminan tersebut, penjamin mempunyai kekayaan yang memadai dan tidak pula sedang "dikejar" oleh pemegang jaminan perorangan yang lain untuk maksud yang sarna. Dalarn keadaan seperti ini maka seorang kreditur yang hanya memegang personal guarantee atau corporate guarantee saja termasuk kedalarn kelompok unsecured creditor. Tempatnya di belakang secured creditor. Sehingga apabila diajukan tuntutan terhadap seorang debitur dan penjarninnya oleh beberapa kreditur, maka unsecured creditor hanya dapat mengharapkan pel\!nasanjika setelah secured creditor dibayar, penjarnin yang bersangkutan masih mempunyai kekayaan yang dapat dijual. Apa yang dimuat dalam Bab Ketujuh belas, Buku Ketiga KUH Perdata merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur penjarninan terhadap kewajiban pembayaran atas sejumlah hutang debitur. Pada umumnya ketentuan-ketentuan ini digunakan atau dirujuk dalarn rangka penjaminan hutang yang timbul dari suatu pinjarnan (loan). Meskipun demikian tidak berarti personal guarantee atau corporate guarantee ini tidak dapat dimanfaatkan untuk menjamin pembayaran hutang yang timbul dari suatu transaksi jual beli atau yang lainnya. Dalam praktek sehari-hari, orang sering merancukan antara perjanjian penjaminan (guarantee agreement) dengan perjanjian indemnity (indemnity agreement). Kalau misalnya A dan B datang kepada seorang kreditur (C) dan OkJober 1993 429 Pemberian Jaminan Pribadi A tersebut mengatakan kepada C, "berikanlah B pinjaman, saya yang akan membayar pengembaliannya,:' maka ini merupakan suatu perjanjian indemnity dan bukan perjanjian penjaminan. Hukum kita memang tidak secara spesifik mengatur perjanjian indemnity ini. Namun dari text-book yang ada kita bisa membedakan keduanya berdasarkan pengertian yang diberikan. Penjaminan pada umumnya didefinisikan sebagai "a promise or undertaking given by one person (the "guarantor" or "surety ") to another (the ''principal debtor ") whereby the guarantor agrees to secondarily answerable for the debt, default, miscarriage of the principal debtor". Sedangkan Perjanjian Indemnity didefinisikan sebagai "a contract, express or implied, to keep a person who has entered into a contract or is about to incur some other liability, indemnified against (that is, "harmlessfrom ") any consequential loss". 3 Dari pengertian di atas dapat ditarik masing-masing karakteristik perjanjian tersebut. Pada Indemnity Agreement, tanggungjawab pihak indemnitor tidak tergantung pada adanya wanprestasi (cidera janji)-nya pihak lain dalam memenuhi kewajibannya. Begitu syarat-syarat dan waktu yang ditetapkan dalam agreement tersebut jatuh tempo maka indemnitor berkewajiban memenuhi perikatannya. Karakteristik yang lainnya ialah bahwa perjanjian ini tidak memberikan subrogasi demi hukum kepada indemnitor kecuali antara indemnitor dengan orang yang mendapat manfaat dari adanya perjanjian tersebut disepakati sebaliknya. Pada penjaminan justru melekat hal yang sebaliknya. Wanprestasi debitur merupakan syarat mutlak untuk lahirnya tanggung jawab seorang guarantor. Selanjutnya jika sebagai guarantor, ia telah memenuhi tanggung jawabnya, maka ia mengambil alih semua hak-hak kreditor terhadap debitur yang bersangkutan . . Ketentuan Pokok KUH Perdata kita seperti telah disebut di atas cukup mengatur soal penjaminan utang ini. Ketentuan didalarnnya membentuk hubunganhubungan hukum antara kreditur dengan penjamin, debitur dengan penjamin, dan antara penjamin yang satu dengan penjamin yang lainnya (dalam hal penjamin lebih dari satu). Sifat yang paling lekat dengan penjaminan ini ialah sifat "accressoir", 'Business low of Auslraiia, p. 941 - 942. Namar 5 Tahun XXIII 430 Hukum dan Pembangunan yang berarti keberadaannya tergantung pada perjanjian lainnya yang menjadi perjanjian pokok. Sifat ini memang melekat tidak hanya pada personal atau corporate guarantee saja tetapi juga pada perjanjian penjaminan lainnya, seperti perjanjian pemberian hipotik atau gadai. Pasal 1821 KUH Perdata menunjukkan sifat ini dengan menyatakan "tiada penanggunganjika tidak ada suatu perikatan pokok yang sab". Sebagai konsekuensi sifat "accessoir" ini maka sebagian kalangan hukum berpendapat bahwa penjaminan hanya dapat diberikan dan dibuat setelah dibuatnya perjanjian pokoknya. Konsekwensi berikutnya adalah bahwa penj-aminan tidak dapat diberikan untuk jumlah yang melebihi dari kewajiban debitur yang dijamin atau mencantumkan syarat-syarat yang lebih berat daripada syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian kreditur dengan debitur. Demikian pula sebagai konsekwensi adalah tidak sahnya atau batalnya penjaminan jika perjanjian pokoknya dinyatakan tidak sah atau batal. Pengecualiannya ialah jika tidak sahnya suatu perjanjian pokok tersebut didasarkan pada alasan kecakapan bertindak dari debitur, misalnya karena ia mengikat perjanjian pokok tersebut sewaktu masih di bawah umur, maka penjaminan tetap sah. Dikaitkan dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditetapkan oleh pasal 1320 KUH Perdata, apabila perjanjian pokok yang mendasari pember ian jaminan tersebut tidak sab dan dibatalkan oleh hakim karena tidak terpenuhinya syarat kesepakatan yang bebas atau dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat objektif (hal tertentu atau causa yang halal) , maka penjaminannya juga tidak sah dan batal) , Hukum kita tidak mensyaratkan bahwa penjaminan harns berbentuk pernyataan atau perjanjian tertulis. Yang diharuskan ialah babwa penjaminan tersebut diberikan secara tegas meskipun secara lisan saja. Ketegasan ini diperlukan terutama untuk menetapkan sampai sejauh mana kewajiban penjamin yang bersangkutan. Yaitu apakah hanya sebagian kewajiban saja yang dijamin, atau sebatas kewajiban pokok, atau seluruh kewajiban yang ~Dalam pend irian hUKumnya yang "pertama" pada kasus "offshore loan" , Mahkaman Agung R.I. telah menyatakan batal dokumen-dokumen penjaminan untuk loan yang bersangkutan karena Loan Agreementoya dinyatakan batal demi hukum sebagai akibat tidak dilaporkannya pencrimaan offshore loan tcrsebut kepada otoritas mODeter oleh debiturnya. Hal ini dianggap melanggar causa yang halal. Dapat dilihat pada putusan perkara European Asian Bank vs. Tegoeh Soetamy, cs. (No. 1750 K11976, tanggal 30 November 1981) dan pcrkara The CharteredBankvs. lim Poh Hock, cs. (No. 2958 KlPDT/1983 , tanggal 15 April 1985). Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 431 meliputi hutang pakak, bunga dan biaya-biaya yang timbul. Hubungan Penjamin dengan Kreditur Pada dasarnya penjaminan merupakan "a second pocket to pay if the first should be empty".' Karenanya penjamin seharusnya "dikejar" setelah debitur tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Dengan falsafah seperti ini, maka undang-undang memberikan beberapa hak istimewa kepada penjamin dalam hubungan dengan kewajibannya terhadap kreditur. Hak ini yang paling penting ialah hak untuk menuntut lebih dahulu (vaarrecht van uitwinning) agar asset debitur disita dan dilelang terlebih dahulu sebelum ia diminta melaksanakan kewajibannya selaku penjamin dalam hal terjadinya wanprestasi. Hak ini diatur dalam pasal 1831 KUH Perdata dan dalam hal permintaan tersebut diajukan melalui persidangan di pengadilan, maka penjamin harus mengemukakan haknya ini dalam jawaban pertamanya kepada hakim. Akan tetapi hak ini tidak berlaku apabila: a. Dalam perjanjian penjaminannya sendiri. Penjamin melepaskan hak istimewa ini secara tegas dan nyata. b. Penjamin menempatkan dirinya seolah-olah sebagai "debitur" pula dengan mengikatkan diri secara tanggung-renteng dengan debitur memenuhi kewajiban debitur terhadap kreditur. c. Debitur mengajukan tangkisan mengenai keadaan pribadinya kepada hakim (seperti belum dewasa atau sedang di bawah pengampuan ketika mengadakan perjanjian). d. Debitur dinyatakan pailit. e. Penjamin tersebut merupakan penjamin yang mengikatkan dirinya sesuai perintah hakim kepada debitur sebagaimana disebut dalam pasal 1827 KUH Perdata. Hak istimewa kedua ialah hak untuk meminta dibaginya kewajiban yang ada diantara para penjamin secara "pro-rata" dalam hal penjamin lebih dari satu. Pada dasarnya masing-masing penjamin terikat untuk memenuhi seluruh jumlah kewajiban yang telah dijaminnya bersama-sama. Prinsip ini diletakkan oleh pasal 1836 KUH Perdata. Namun penjamin juga diberi }l..aw and Practice of inlemalionai Finance, page 295. Nomor 5 Tahun XXIII Hukum dan Pembangunan 432 kesempatan untuk meminta dipecahnya kewajiban tersebut di antara mereka. Hal ini harus dikemukakan pula ketika pertama kali menjawab tuntutan kreditur dimuka persidangan. Jika ketika permintaan ini diajukan, ada penjamin yang pailit atau dalam keadaan tidak mampu maka porsinya dibebankan kepada para penjamin yang lain secara "pro-rata" pula. Tetapi apabila kepailitan atau ketidak mampuannya terjadi setelah adanya pembagian, maka penjamin yang mampu tidak berkewajiban menanggung beban penjamin yang tidak mampu tersebut. Demikian pula, jika kreditur sendiri telah secara sukarela membagi beban para penjamin tersebut, maka hal ini tidak dapat ditarik kembali, apapun keadaan masing-masing penjamin sesudah itu. Hak istimewa ketiga ialah hak untuk mempergunakan semua eksepsi atau tangkisan yang dimiliki oleh debitur, kecuali tangkisan yang berhubungan dengan keadaan pribadi debitur sewaktu mengadakan perjanjian pokok. Tangkisan ini seperti "declinatoire exceptie", yaitu tangkisan tidak berwenangnya pengadilan, dilatoire except ie, yaitu tangkisan mengenai premateurnya tuntutan misalnya karena waktu pemenuhan kewajiban belum tiba, atau kreditur sendiri belum melaksanakan perjanjian pokoknya secara penuh atau kreditur sendiri wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus), paremptoire exceptie, yaitu tangkisan yang didasarkan pada alasan telah hapusnya hak kreditur untuk menuntut misalnya karena telah adanya pembebasan atau daluwarsa atau adanya putusan pengadilan yang inkracht van gewisjde yang menghapus hak kreditur tersebut. Hubungan Penjamin dengan Debitur dan Penjamin Lain Sebagaimana telah disebutkan di atas, seorang penjamin akan mengambil alih hak-hak kreditur terhadap debitur dan penjamin lainnya jika ia menyelesaikan kewajiban debitur tersebut. Dalam sistem hukum AngloSaxon terdapat istilah untuk hal ini yakni, "the guarantor stands in the creditor's shoes ,,-' Hukum kita mengatur dua hal penting bagi seorang penjamin yang telah menyelesaikan kewajiban debitur terhadap kreditur, yakni apa yang dinamakan hak regres dan hak subrogasi. Yang pertama adalah hak untuk "menuntut kembali" seluruh jumlah yang telah dibayarkan kepada kreditur. Jadi berupa hutang pokok, bunga, denda, dan biaya-biaya lainnya yang dituntut oleh kreditur berdasarkan perjanjian pokok, sedangkan yang kedua 6Business Law of Australia, page 950. Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 433 ialah hak untuk "mengambil alih dan menggantikan" kedudukan dan hak kreditur terhadap debitur (dan penjamin lainnya). Ini termasuk, misalnya, hak-hak yang timbul dari jaminan berupa hipotik atau gadai yang diterima kreditur. Dalam kaitannya dengan hak regres di atas perlu diingat bahwa hak ini akan hilang jika pada saat penjamin menyelesaikan kewajiban, debitur mempunyai suatu alasan hukum untuk menggugurkan hutang, sedangkan penyelesaian itu sendiri tidak diberitahukan kepadanya serta dilakukan tanpa adanya tuntutan lebih dahulu oleh kreditur. Jika terjadi keadaan demikian maka dianggap ada "pembayaran tanpa hutang" atau "conditio in debiti". Dalam hal ini, penjamin berhak meminta kembali apa yang telah dibayarkannya berdasarkan alasan pembayaran yang tidak diwaj ibkan (onverschuldigde betaling) sebagaimana diatur pasal 1359 KUH Perdata. Selain itu jika penjamin melakukan penyelesaian kepada kreditur tanpa memberitahu debitur dan debitur ini kemudian membayar pula kewajibannya pada kreditur maka tidak ada lagi hak regres penjamin. la hanya berhak menuntut kembali kepada kreditur dengan dasar seperti yang disebut di atas. Terhadap penjamin( -penjamin) lainnya, penjamin yang melakukan penyelesaian inipun mempunyai hak regres dan hak subrogasi dengan syarat penyelesaian tersebut dilakukan setelah ada gugatan dari kreditur atau setelah debiturnya dinyatakan pailit. Hak-hak ini tidak akan ada jika salah satu diantara dua syarat tersebut tidak terpenuhi dan akan hi lang apabila hak terhadap debitur juga hilang. Penjaminan dengan sendirinya akan berakhir apabila terjadi keadaankeadaan di bawah ini: a. Perjanjian pokoknya berakhir atau kewajiban debitur telah diselesaikannya sendiri. b. Perjanjian pokoknya dinyatakan tidak sah dan batal oleh pengadilan, kecuali j ika alasan kebatalannya adalah menyangkut kecakapan debitur. c. Dalam hal terjadinya kepailitan debitur, dan kemudian tercapai persetujuan mengenai pembayaran hutang dalam pailisement antara debitur dengan kreditur yang disahkan oleh pengadilan (homologatie accord). d. Penjaminan diakhiri atau dihapuskan secara sukarela oleh kreditur, atau kewajiban debitnr dihapuskan oleh kreditur (kwijschelden van een schuld). e. Penjamin menurut hukum "berubah" menjadi debitur sehingga keduanya NOlllOr 5 Tahun XXiII 434 f. Hukum dan Pembangunan "bersatu ". Contohnya adalah anak yang menjamin hutang ayahnya, maka jika ayahnya meninggal dan ia menjadi ahli warisnya, dengan sendirinya ia "menggantikan" kedudukan ayahnya sebagai debitur sehingga kedudukannya semula sebagai penjamin tidak berguna lagi. Apabila kewajiban debitur diselesaikan dengan kompensasi suatu benda tertentu, maka penjaminan berakhir, meskipun kemudian ada suatu putusan pengadilan bahwa benda tersebut sebenarnya adalah hak/milik pihak ketiga atau kepemilikannya kembali kepada pihak ketiga dan karenanya kreditur tersebut harus menyerahkannya kepada pihak ketiga tersebut. Selain keadaan-keadaan yang menghapuskan penjaminan, diatur pula suatu keadaan dimana penjamin dapat menuntut dilepaskannya kedudukannya selaku penjamin. Hal ini d'apat dilakukan jika terjadi "re-scheduling" pembayaran tanpa persetujuan dari dirinya. Masalah Dalam Praktek A. Mengenai Sifat Accessoir Dengan diintrodusirnya "car loan ", banyak bank alau perusahaan pembayaran menjalin kerjasama dengan dealer atau perusahaan yang mempunyai show-room. Kerjasama yang bertujuan memberikan fasilitas pinjaman kepada para pembeli mobil dari dealer atau show-room bersangkutan. Dituangkan dalam sebuah perjanjian dengan berbagai macam nama, seperti : "Perjanjian Kerjasama dan Jaminan", "Perjanjian Guarantor's Line" atau "Perjanjian Jaminan Secara Terus-menerus". Dalam perjanjian ini, dealer atau perusahaan yang memiliki show-room tersebut menempatkan diri sebagai penjamin untuk pembayaran (angsuran) kredit mobil dari para end-user-nya, baik untuk sebagian atau seluruh kewajiban yang masih terhutang. Dalam konteks ini , berarti perjanjian penjaminan dibuat lebih dahulu daripada perjanjian pokoknya, yakni perjanjian kredit mobil antara bank dengan nasabah. Bahkan dalam prakteknya, tidak ada dokumen yang menegaskan bahwa untuk penjaminan mereka atas kredit tersebut berlaku ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Bank dengan dealer/show-room dimaksud. Dikaitkan dengan pemahaman sifat "accessoir" yang ditarik dari pasal 1821 KUH Perdata seperti dikemukakan di atas, tata cara penjaminan seperti ini dapat membawa permasalahan. Sahkah penjaminan yang dibuat Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 435 sebelum dibuatnya perjanjian pokok? Jawabannya memang debatabLe. Kalangan pertama sebagaimana disinggung di atas menganggap cara seperti ini tidak sah karena penjaminan mestinya diberikan setelah adanya perjanjian pokok yang menentukan antara lain berapa jumlah pokok yang harus dijamin. Penulis sendiri menganggap perjanjian jaminan yang dibuat sebelum adanya perjanjian pokok adalah sah-sah saja, namun dengan prosedur sepeni ini maka berlaku ketentuan-ketentuan tentang perikatan bersyarat sepeni yang diatur dalam Bab Kesatu, Bagian Kelima, Buku Ketiga KUB Perdata. [ni berani perjanjian penjaminan tersebut baru berlaku dan mengikat apabila sudah ada perjanjian pokoknya. Tata cara ini tampaknya diperkenalkan oleh cabang-cabang bank asing di negara kita yang bisnisnya mencakup retail banking, dan dibawa dari praktek hukum yang berkembang di negara-negara yang menganut common law system . Di negara-negara ini, perjanjian penjaminan biasa dibuat dalam dua cara, yakni: sebelum dibuatnya perjanjian pokoknya, misalnya loan agreement-nya, atau pada saat yang bersamaan dengan ditandatanganinya perjanjian pokok tersebut. Dalam hukum lnggris misalnya, prosedur seperti ini merupakan konsekwensi dari prinsip "a guarantee requires consideration if it is to be vaLid", i.e. some benefit or promise given by the Lender to the guarantor in return for the guarantee".' Apa yang dimaksud dengan consideration ini biasanya adalah kesepakatan kreditur untuk memberikan pinjaman apabila penjamin setuju memberikan jaminannya (untuk ini ia harus menyatakannnya lebih dulu). Mengenai Saat Tuntutan Terhadap Penjamin Tidak semua perjanjian jaminan mengesampingkan pasal 1831 KUB Perdata dan yang diberlakukan pasal 1832 angka I (satu) KUB Perdata. Jika penjaminan diberikan dengan syarat seperti ini, dapatkah penjamin digugat bersama-sama dengan debitur apabila terjadi wanprestasi? Penanyaan inipun menjadi bahan argumentasi Penggugat (Kreditur) dengan para Tergugat (debitur dan penjamin). Bagi penggugat tersebut, pasal 1831 KUB Perdata bukannya penghalang untuk menggugat penjamin bersama-sama dengan kreditur dalam satu gugatan. Pasal ini hanyalah memberikan batasan bahwa penjamin belum berkewajiban melaksanakan isi putusan yang memerintahkan pembayaran kepada kred itur dan assetnya belum dapat disita dan dilelang sampai seluruh asset debitur disita dan 1Law alld Practice of Internationai Finance. Namar 5 Tahun XXIII page 299. 436 Hukum dan Pembangurwn dilelang namun hasilnya tidak mencukupi . Tetapi bagi Tergugat tentu akan berpendapat sebaliknya. Gugatan terhadap penjamin hanya dapat diajukan setelah proses gugatan terhadap debitur selesai dan hasilnya tidak menutup seluruh jumlah yang terhutang. Dari sisi prinsip "peradilan yang cepat, murah dan sederhana"', argumentasi yang pertama sebenarnya yang lebih acceptable. Apalagi jika dikaitkan dengan fakta babwa proses peradilan di negara kita dapat berlangsung sampai 5-6 tahun. Dapat dibayangkan, betapa lamanya kreditur harus menunggu pelunasan seluruh piutangnya jika ia harus menggugat dari awal lagi terhadap penjamin. Apalagi apabila dari mula sudah diketahui bahwa asset debitur tidak akan bisa mengcover seluruh hutangnya. Mengenai Pengesampingan Pasal-pasal Tertentu Dalam standar perjanjian penjaminan yang dipersiapkan oleh para lawyer atau notaris dapat ditemukan salah satu klausula yang mengesampingkan atau tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu dari Bab Ketujuhbelas Buku Ketiga KUH Perdata serta pasal-pasal lainnya, di luar bab tersebut yang berhubungan dengan masalah penjaminan. Pasal-pasal yang dikesampingkan adalab pasal 1831, 1833, 1837, 1838, 1847, 1848, 1849, 1850 dan 1430 KUH Perdata. Pengesampingan terhadap pasal 1831 tersebut secara mudah dapat diterima oleh karena pasal1832 KUHPerdata sendiri mengatur kemungkinan tidak berlakunya ketentuan dalam pasal sebelumnya itu. ladi seandainya dalam perjanjianpun ditetapkan bahwa untuk perjanjian ini berlaku ketentuan dalam pasal 1832 KUH Perdata dengan sendirinya pasal 1831 tidak berlaku. Persoalannya adalah apakah pasal-pasal selain pasal 1831 di atas dapat begitu saja dikesampingkan? lawaban atas pertanyaan ini merupakan jawaban pula terhadap pertanyaan apakah ketentuan-ketentuan penjaminan tersebut bersifat fakultatif dan hanya merupakan (bagian) dari aanvulend recht? Pertanyaan di atas setidaknya dapat diajukan terhadap pengesampingan Pasal 1838 menetapkan pasal 1838 dan pasal 1847 KUH Perdata. ketidakbolehan kreditur untuk menarik kembali pembagian beban pembayaran piutang yang telah dibuatnya diantara para penanggung. Dengan tidak memberlakukan ketentuan tersebut, apakah kreditur bisa "seenaknya" mengingkari apa yang telah disepakatinya dengan para ' Pasal 4 ayat (2) Undang ~undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kelentuan Potok Kekuasaan Kehakiman. Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 437 penjamin. Kalau kreditur merasa tidak aman dengan pembagian beban seperti itu, maka lebih baik dari awalnya tidak melakukannya dan memberlakukan saja pasal 1836 KUH Perdata yang mengikat masing-masing penjamin untuk seluruh hutang serta yang dikesampingkannya hanyalah pasal 1837 saja. Adalah kurang "fair" jika kreditur bisa merubah-rubah menu rut kepentingannya dirinya saja tanpa memperhatikan kepastian bagi penjamin. Demikian pula terhadap pengesampingan pasal 1847 K UH Perdata yang memberikan peluang kepada penjamin untuk menggunakan eksepsi-eksepsi yang dapat diajukan oleh debitur. Dengan pengesampingan ini, timbul pertanyaan apakah dalam hal. ternyata dapat ditunjukkan bahwa tuntutan kreditur tersebut belum saatnya diajukan atau telah daluwarsa, maka penjamin yang bersangkutan tidak bisa lagi mengemukakannya berhubung ia telah mengesampingkan ketentuan yang membolehkannya mempergunakan eksepsi semacam itu? Dalam praktek berperkara di pengadilan, pada umumnya tetap saja akan dipertimbangkan oleh hakim semua eksepsi yang diajukan oleh penjamin meskipun perjanjiannya tidak memberlakukan pasal 1847 di atas. Masalah Informasi Tentang lsi Perjanjian Pokok dan Hal-hal Lain Yang Mempengaruhi Dasarnya Penjamin Dalam hukum kita maupun doktrin yang ada dalam buku-buku hukum yang membahas soal penjaminan menurut hukum kita, tidak diatur dan disinggung apakah kreditur dan debitur berkewajiban memberitahu segala sesuatu yang menjadi isi perjanjian di antara mereka beserta perubahan, penambaham atau perpanjangannya. Putusan-putusan pengadilan yang ada sampai saat lnIpUn, sepengetahuan penulis, belum ada yang mempertimbangkan masalah ini. Keadaan ini berbeda dengan di negara-negara Common Law System, yang doktrinnya menggolongkan perjanjian jaminan bukan termasuk ke dalam suatu kontrak yang bersifat "Uberrimae fidei" dim'lna semua keadaan yang berkaitan dengan perjanjian-perjanjian antara mereka harus diberitahukan kepada setiap pihak lain yang tersangkut, dalam hal ini adalah penjamin. Doktrin ini semula dianut oleh pengadilan, namun lama-kelamaan bergeser dengan menjadikan jaminan termasuk kedalam kontrak Uberrimae fidei yang meletakan kewajiban "full disclosure" kepada kreditur dan atau debitur terhadap penjamin. Di Australia, misalnya, pada saat ini dianut prinsip "if a creditor arms the debtor with its standard form of guarantee or mortgage knowing or suspecting that the debtor will or might apply Nomar 5 Tahun XXllI 438 Hukum dan Pembangunan some outward influence or pressure to the prospective surety, or misrepresent to the surety the nature and extent of obligation which surety is being asked to undertake, the creditor will not be able to hold the surety bound'" Meskipun prinsip ini belum dianut secara resmi di negara kita, namun bukan hal yang mustahil pada akhirnya akan sampai juga ke pengadilan kita. Oleh karenanya kebiasaan para kreditur kita yang sering "mengesampingkan" begitu saja terhadap keperluan untuk memberikan segala informasi kepada penjamin secara memadai yang berkenaan dengan perjanjian pokoknya, perlu diperbaiki. Adalah lebih patut dan fair untuk men-disclosure semua keadaan mengenai hubungan hukum antara kreditur dengan debitur. Sehingga penjaminpun akan mengetahui perkembangan kewajiban yang potensial akan menjadi bebannya. Hal ini terutama perlu, dalam hal ternyata ada penambahan outstanding atau perpanjangan waktu pengembalian atau perubahan syarat perjanjian. Masalah Perlunya Persetujuan Pihak Terkait Sesuai dengan ketentuan pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang kemudian dikukuhkan dengan yurisprudensi tetap, harta yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan, yang merupakan hasil mata pencaharian dari salah satu atau keduanya, merupakan harta bersama mereka. 1O Bertitik tolak dari prinsip seperti ini, maka personal guarantee yang diberikan oleh seseorang yang terikat dalam perkawinan dengan percampuran harta akan lebih sempurna jika ditandatangani pula oleh pasangan hidupnya sebagai suatu spouse of consent. Keperluan untuk ini ialah karena personal guarantee pada hakekatnya menjaminkan secara umum seluruh kekayaan penjamin yang mungkin di dalamnya terdapat harta bersama. Dengan "counter-sign" ini paling tidak kreditur telah memperkecil kemungkinan adanya verzet atau gugat bantahan dari pihak yang merasa dirugikan oleh guarantee tersebut. Selain keperluan persetujuan dari pihak yang terkait pada personal guarantee, hal yang sarna juga diperlukan pada corporate guarantee. Jika guarantor tersebut adalah sebuah perseroan terbatas , maka sudah 'Business Law of Ausrralia, pages 946-947. lOPrinsip ini dapat dilihat anlara lain dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 985 KlSip/ 1973 , tanggal 19 Februari 1976. Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 439 menjadi standar anggaran dasarnya untuk perlunya memperoleh persetujuan (Dewan) Komisarisnya bagi penjamin dimaksud. Persoalan yang sering timbul adalab bagaimana jika corporate guarantee tersebut diberikan oleh sebuab Persekutuan Komanditer (CV.), atau oleh sebuah Firma, dimana pada umumnya tidak ada standar pengaturan tentang bagaimana prosedur perjanjian itu harns dilaksamikan. Untuk keamanan kreditur dari kemungkinan "keruwetan" yang akan menyulitkannya dikemudian hari, maka sebaiknya corporate guarantee yang diberikan oleh CV. ditandatangani oleh seluruh sekutu pekerjanya (komplementer) sehingga dengan corporate guarantee tersebut, mereka terlihat pula secara pribadi untuk tanggung jawab yang dipikul oleh CV dengan pemberian guarantee tersebut. Sedangkan untuk Firma, ditandatangani oleh seluruh sekutu (firma)-nya. Namun dengan penandatanganan oleh mereka semuanya, hal ini hampir tidak ada bedanya dengan pemberian personal guarantee oleh masing-masing sekutu karena dengaq penjaminan oleh firma tersebut, mereka secara pribadi juga terikat untuk memenuhinya jika asset firma tidak mencukupi. Klausula Yang Protektif Namun Fair Sebagai pihak yang "melepaskan" uang, kreditur tentunya menginginkan jaminan yang sekuat dan sesempurna mungkin untuk pinjamannya tersebut, keinginan ini dituangkan dalam dokumen-dokumen perjanjian, termasuk perjanjian penjaminannya, yang dipersiapkannya atau yang telah menjadi standard form-nya . Karena keinginan yang kuat mengenai hal ini seringkali, kreditur meletakkan klausula-klausula yang menekankan begitu banyak beban dan kewajiban debitur dan penjamin serta sebaliknya memuat begitu banyak hak-hak kreditur. Hal ini sering dinilai sebagai "un-fair clauses" . Dalam perkara-perkara antara kreditur dengan debitur dan/atau penjaminnya terdapat kecenderungan untuk mempersoalkan klausula-klausula "un"fair" yang timbul suatu kontrak adhesie, yakni kontrak standar yang dipersiapkan oleh kreditur. Meskipun dipersoalkannya klausula semacam itu tidak selalu membuat bank atau kreditur akan kalah dalam berperkara, tetapi hal semacam ini tentunya akan "merepotkan" mereka dan bahkan dapat mempengaruhi image-nya sebagai lembaga keuangan yang di dalamnya Nomor 5 Tahun JOWl Hublln dan Pembangunan 440 melekat unsur kepercayaan. 1I Bertitik tolak dari apa yang dikemukanan di atas, maka akan lebih baik jika untuk perjanjian penjaminan ini diupayakan "fairness" diantara para pihak , meskipun proteksi terhadap kreditur harus diletakkan. Contoh isi masing-masing klausula berikut ini mungkin dapat menjadi pedoman dalam pembuatan perjanjian. Konsideran Bagian permulan suatu perjanjian biasanya merupakan konsideran atau pertimbangan mengapa perjanjian tersebut dibuat. Oleh karena penjaminan merupakan perjanjian "accessoir", maka sudah semestinya jika di dalamnya secara tegas dan jelas disebutkan perjanjian pokoknya, termasuk penyebutan tanggal dan nomor perjanjiannya. Sarna sekali kurang memadai jika konsideran, misalnya hanya menyatakan bahwa penjaminan ini diberikan untuk "pinjaman yang telah diberikan kepada debitur berikut perubahanperubahan yang diadakan atas pinjaman tersebut." Penyebutan secara tegas dan jelas akan sangat bermanfaat manakala debitur yang bersangkutan menerima pinjaman yang bervariasi dengan perjanjian pokok yang berbeda, sehingga penyebutannya dengan sendirinya menjelaskan pinjaman mana yang dicover oleh jaminan tersebut. Penjaminan Terus-menerus (Continuing Guarantee)12 Melalui klausula ini dapat ditetapkan penjaminan tidak akan berakhir sebelum diakhirinya perjanjian pokok meskipun untuk ini ada pembayaran atas jumlah yang terhutang. Sebagai contoh adalah jika perjanjian pokoknya berbentuk Revolving Credit Agreement untuk sejumlah tertentu dan pada suatu saat yang dipergunakan baru sebagiannya saja, maka pelunasan atas jumlah yang terhutang pada saat itu oleh penjamin tidak akan mengakhiri jaminan tersebut. Sehingga jika debitur yang bersangkutan menarik lagi 11Sebuah Putusan Pcngadilan Tinggi Jakarta (No. I 53/PDTIJ 991 /PT. DK!) dcngan baik memberikan "unrair" tersebut, dengan mcnyatakan, pertimbangan mengcnai klausula yang dipcrsoalkan sebagai "keberadaan cxlusion clauses tidak akan membatalkan perjanjian kecuali jika apa yang diatur dalam klausula tcrsebut benar-bcnartcrjadi dalam pelaksanaan perjanjian dan mcmbawa kcrugian bagi nasa bah " IllSlilah ini timbul dari praktek hukum di Inggris unluk mcnghindari aturan yang disebut sebagai "The Rule ini Clayton's Case (1816)" yang menetapkan tanggung jawab penjamin bcrhenti dengan dibayarnya seluruh jumlah yang l<rhullmg meskipun perjanjian pokoknya lidak diakhiri kreditur dan debituf. Oktober 1993 Pemberian Jaminnn Pribadi 441 kreditnya, Penjamin tetap terikat dengan penjaminannya. Pembuktian Jumlah Hutang Lazimnya ditetapkan dalam penjaminan bahwa surat-surat atau pemberitabuan tertulis dari kreditur akan merupakan bukti yang mengikat dan konklusif terhadap penjamin atas jumlab hutang debitur yang dijaminnya. Tanpa klausula ini, kreditur akan lebih sulit untuk menghadirkan bukti-bukti tentang berapajumlah yang terhutang oleh debitur. Klausula ini lahir dari suatu aturan pembuktian "tradisional" di Inggris yang menyatakan babwa suatu putusan dalam perkara debitur tidak otomatis merijadi bukti utang debitur untuk perkara terhadap penjamin berdasarkan perjanjian penjaminan. Amandemen Terhadap Perjanjian Pokok Perubahan mengenai isi dan pelaksanaan perjanjian pokok dapat berupa amandemen terhadap waktu pembayaran dan terhadap ketentuan pokok seperti jumlah hutang dan syarat-syarat pembayaran. Untuk ini perlu ditetapkan bahwa perubahan tersebut tidak akan mempengaruhi berlakunya penjaminan tersebut dan kreditur dengan debitur berhak untuk melakukan perubahan semacam itu. Namun untuk perubahan yang mengarab pada peningkatan jumlah hutang yang dengan sendirinya mempengaruhi beban penjaminan, maka akan lebih fair dan adil jika penjamin diminta persetujuannya. Sedangkan perubaban lainnya cukup diberitabukan saja. Penting pula ditetapkan bahwa penjamin melepaskan haknya untuk meminta pembebasan diri selaku penjamin berhubung dengan perubaban-perubaban lainnya tersebut, termasuk melepaskan hak yang diatur dalam pasal 1850 KUH Perdata. Subrogasi Sebelum Penyelesaian Menyeluruh Berdasarkan ketentuan pasal 1402 jo 1840 KUH Perdata, penjamin yang telan memenuhi kewajibannya men-subrogeer kedudukan kreditur terhadap debitur termasuk menggantikan kedudukannya selaku pemegang/penerima jaminan. Persoalan akan timbul jika penjamin lebih dari satu dan beban penjaminan dibagi di antara mereka. Dalam kasus seperti ini, maka jika penjamin telah melaksanakan kewajiban yang menjadi bagiannya, berlakulah ketentuan pasal 1402 jo 1840 KUH Perdata. Apabila penjamin tersebut kemudian menggunakan hak subrogasinya Nomor 5 Tahun XXIlI 442 Hukum dan Pembangunan terhadap debitur yang bersangkutan tentunya hal ini dapat "tnengganggu keamanan" piutang kreditur yang masih ada pada debitur tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan gangguan ini, perlu dimasukkan kedalam klausula penjaminan bahwa hak subrogasi penjamin belum dapat dipergunakan sampai dengan seluruhjumlah yang terhutang diselesaikan, dan bahwa penjamin ini tidak akan mengajukan tuntutan terhadap debitur tanpa persetujuan atau jika tidak bersama-sama dengan kreditur. Dengan demikian, tuntutan penjamin terhadap debitur menjadi "subordinasi" dari tuntutan kreditur terhadap debitur. Pengesampingan Hak-hak Istimewa Sebagaimana dikemukakan di atas dalam standar perjanjian penjaminan lazim tidak diberlakukan pasal-pasal 1430, 1831, 1833, 1838, 1847, 1848, 1849 dan 1850 KUH Perdata. Selain pasal 1430, pasal-pasal lainnya telah disinggung di atas. Pasal 1430 ini mengatur hak penanggung untuk menjumpakan (set-off) hutang yang ada dengan kewajiban kreditur terhadap debitur -- jika ada. Kecuali terhadap pasal 1838 dan 1847, maka pada umumnya tidak ada keberatan terhadap pengesampingan tersebut. Keenam butir di atas merupakan ketentuan yang penting untuk dimasukkan dalam penjaminan. Di luar ketentuan tersebut, tetap perlu pula dimasukkan ketentuan-ketentuan seperti: pilihan hukum dan pengadilan, mata uang yang dipergunakan untuk pembayaran, dan sebagainya. Penutup Meskipun disadari bahwa personal dan corporate guarantee tidak memberikan kedudukan yang sekuat pemegang hipotik atau gadai, namun instrumen jaminan ini makin banyak dipergunakan oleh kreditur, paling tidak sebagai tambahan jaminan terhadap klaim-nya . Bahkan terhadap debitur-debitur yang punya kredibilitas tinggi, instrumen ini kadang lebih dipentingkan ketimbang jaminan yang lain. Dengan makin banyak kreditur yang memanfaatkannya, makin ada keperluan untuk mengetahui aspek-aspek hUkumnya. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan kontribusi pemahaman terhadap masalah hukum yang timbul dalam penjaminan. Oktober 1993 Pemberian Jaminan Pribadi 443 Daftar Pustaka Aalbregtse. Upstream, Financing and Use of the Corporate Guarantee, Notre Dame Lawyer, 1980. Black, Herry Campbell . Black's Law Dictionary, 6th Edition. St. Paul: West Publishing Co., 1990. Corman, Calvin W. Commercial Law: Cases and Materials, Printing. boston: L. Brown Company, 1976. Third Harahap, Yaya. Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982. Lindgren, K.E ., and R.B. Vermeesch. Business Law of Australia, 2nd Edition. Sydney: Butherwords, 1990. Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni , 1992. Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni , 1992. Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cetakan ke 22. Jakarta: Pradnya Paramita, 1990. Susilo, R. RIB/HIR dengan Penjelasan. Bogor: Politea, 1985. Wood , Philip. Law and Practice of International Finance, Sweet & Maxwell , 1980. Nomor 5 Tahun XXIII London: