BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sisi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu sisi dari wawasan dasar Islam adalah Rahmatal lil „Alamin
yaitu menjadi rahmat bagi kehidupan alam. Oleh karena itu ajaran Islam dan
hukum- hukumnya selalu mengacu pada hal- hal sebagai berikut: mendidik
individu sebagai elemen dasar masyarakat dengan kesadara beribadah,
menegakkan keadilan dalam kehidupan sosial, melindungi hak- hak asasi
manusia, mewujudkan kemaslahatan
Imam Ghazali mengemukakan bahwa masalah dlaruriyah dalam hidup
manusia ada lima yaitu: agama (ad- diyn), jiwa (an- nafs), akal (al- aql), harta
(al- maal), keturunan (an- nasl).1
Apabila An- Nasl atau keturunan termasuk masalah dlaruriyah, maka
dengan sendirinya persoalan- persoalan yang berkaitan dengan anak menjadi
sangat penting dan bersifat dlaruri juga.
Islam memandang anak dalam tiga dimensi (ukuran) yaitu: pertama
dimensi sosial: tujuan perkawinan dalam Islam antara lain untuk melestarikan
keturunan. Kedua dimensi ekonomi: kita dianjurkan memiliki keprihatinan
terhadap keturunan kita, jangan sampai mereka menjadi generasi yang lemah
1
Muhammad Tolhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia(Jakarta:
Lantabora Press, 2003), cet.II., hlm.5
1
2
secara ekonomis. Ketiga dimensi religi (agama): keturunan dapat menjadi
salah satu aset amal jariyah, apabila anak tersebut menjadi anak yang shaleh.2
Setiap orang yang berumah tangga pasti menginginkan keturunan,
ada yang diberi banyak keturunan ada pula sebaliknya. Yang tidak
mempunyai keturunan ada yang mengambil jalan untuk mengadopsi anak
orang lain ataupun meminta anak kepada saudaranya untuk dirawat, diasuh
sebagai anak kandungnya.
Fakta yang jelas banyak peristiwa remaja yang berhubungan seks
bebas, sampai- sampai hamil diluar nikah, sehingga melahirkan bayi yang
tidak dikehendaki oleh orang tuanya, akhirnya mengambil jalan untuk
menggugurkan kandungan maupun membuang bayi yang tidak berdosa.
Dalam upaya untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya
agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan seperti yang tercantum dalam UUD 1945
tentang Hak Asasi Manusia pasal 28B ayat 2 yang berbunyi:“Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.3
Sehingga anak itu bisa merasakan hidup aman, tentram, bahagia dan
tidak merasa kecil hati maupun rasas takut.
Oleh karena itu dalam UU no.23 tahun 2002 yang berbunyi: „‟anak
merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat serta merupakan tunas, potensi dan generasi
muda penerus cita- cita perjuangan bangsa. Setiap anak kelak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang
22
3
Ibid
UUD 1945 dan Amandemennya , (Solo: Sendang Ilmu, 2009- 2014), hlm.19
3
seluas- luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik,
mental maupun sosial dan berakhlak mulia‟‟.4
Undang- undang ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus- menerus demi terlindungnya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual
maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa
dan negara.5 Dan yang mendapatkan perlindungan itu anak yang belum
berusia 18 tahun termasuk anak yang ada dalam kandungan entah itu anak
yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, anak
asuh maupun anak terlantar (laqith).
Anak temuan “al- laqith” adalah seorang anak yang hidup, yang
dibuang keluarganya karena mereka takut akan kemiskinan, atau karena lari
dari tuduhan.6 Oleh karena itu anak temuan termasuk bagian substansi dari
hukum perlindungan anak.
Adapun untuk mendorong supaya individu, masyarakat dan negara
mau memungut dan memelihara anak yang terlantar, maka fuqaha berkata:
4
Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan terhaadap Perempuan dan Anak Berbasis
Gender, (Semarang: Seruni, 2002), hlm.3
5
Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.233
6
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm, 169
4
“orang yang menyia- nyiakan berdosa dan orang yang mengambilnya
beruntung”.7 Bagaimana mungkin bukan sutu kewajiban dan menyianyiakannya bukan suatu dosa. Sejarah membuktikan tidak sedikit diantara
anak- anak pungut diberikan keutamaan oleh Allah, mereka dapat memimpin
umat dan memberi petunjuk pada manusia.
Dengan demikian bagi orang yang menemukan anak tersebut wajib
mengambilnya, karena diharapkan suatu saat dia akan bermanfaat bagi
kehidupannya. Dan bagi orang yang menemukan anak tersebut bahkan telah
merawat, menafkahi sebagaimana layaknya anak sendiri akan mendapatkan
ganjaran atau pahala dari Allah SWT, karena telah menolong orang yang
membutuhkan pertolongan, dan telah dianjurkan dalam firman Allah:
‫صلى‬
ِْ ‫َوتَ َع َاونُوا َعلَى الِْ ِِّب َوالتَّ ْقوى صلى َوََلتَ َع َاونُوا َعلَى‬
‫اْل ِْْث َوالْعُ ْد َوا ْن ج َواتَّ ُقوااهلل‬
َ
ِ ‫يد الْعِ َق‬
)۲:‫اب (املائدة‬
ُ ‫إِ َّن اهللَ َش ِد‬
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha berat siksa-Nya‟‟.8
Ayat diatas menunjukkan kewajiban memungut anak temuan, karena
merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan. Maka mengambil dan merawatnya berarti telah menjaga
kehidupannya sebagaimana memberi makan pada orang yang dalam kondisi
darurat dan menyelamatkan orang yang tenggelam.
7
8
Ibid. Hlm. 172
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm. 156- 157
5
Seorang anak yang ditemukan (al- laqith) oleh seseorang, sedangkan
orang yang menemukannya tidak mengetahui keluarganya, maka orang yang
menemukannya tersebut dapat mengakui dirinya sebagai orang tuanya sampai
benar- benar mengetahui orang tua kandungannya.
Ulama‟ fiqih telah sepakat, apabila ada orang Islam mengakui seorang
anak sebagai anaknya dan dia yakin anak tersebut bukan anak orang lain
dengan ciri yang ada, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepadanya
untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan anak tersebut
dimasyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang diketahuinya. Jika
ditetapkan nasabnya, maka harus ditetapkan juga hak- haknya sebagai
seorang anak baik nafkah, pendidikan maupun hak waris.9Jika pengakuan
anak telah dilakukan oleh seseorang dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh hukum Islam, maka akan lahir akibat hukum yaitu timbulnya pertalian
nasab antara orang yang mengakui dan orang yang diakui dan anak yang
diakui tersebut menjadi anak yang sah menurut syar‟i dan kedudukannya
sama dengan anak hasil perkawinan sah.
Taufiq mengemukakan bahwa ada perbedaan prinsipil antara
pengakuan anak menurut hukum Islam dengan konsep pengangkatan anak
dalam hukum perdata barat. Menurut hukum Islam pengakuan dan
pengangkatan anak tidak semata- mata memberikan kedudukan anak luar
nikah sebagai anak kandung, sedangkan menurut hukum perdata barat
pengakuan dan pengangkatan anak semata- mata memberikan kedudukan
9
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 195
6
anak luar kawin sebagai anak kandung.10 Dalam ketentuan hukum Islam
mengenai pengangkatan anak itu dilihat dari segi lahir saja bukan dari segi
hakikat dan agama. Sehubungan dengan hal itu apabila ada seseorang
mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui siapa orang tuanya dan
orang yang mengambilnya mengakui anaknya, maka perbuatan ini
mengakibatkan hubungan hukum keperdataan antara orang yang mengakui
dengan anak yang diakui. Sehingga anak temuan itu bisa diakui sebagai anak
orang yang mengakuinya dan bisa juga menimbulkan pertalian nasab.
Dengan melihat latar belakang masalah diatas, penulis hendak
mengkaji, mempelajari dan menganalisanya.
B. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan pembahasan dan menjaga agar tidak terjadi
kesalahpahaman terhadap judul dalam proposal ini, maka perlu adanya
penjelasan atau penegasan istilah yang berkaitan dengan judul tersebut.
Adapun judul proposal ini adalah STUDI ANALISIS NASAB ANAK
TEMUAN (LAQITH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Studi Analisis
: Studi = pelajaran
Analisis = penyelidikan suatu peristiwa (kerangka,
perbuatan) untuk mengetahui apa sebab- sebabnya,
bagaimana duduk perkaranya.11
10
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 96- 97
11
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1960),
hlm.40
7
Nasab
: Keterunan, pertalian darah12
Anak Temuan
: Anak kecil yang belum balig yang ditemukan dijalan dan
tidak diketahui ketahui keluarganya.13
Perspektif
: Suatu pengharapan atau sebuah tinjauan.14
Hukum Islam
: peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama islam.15
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis perlu merumuskan
permasalahan proposal ini dapat berfokus. Diantaranya adalah:
1. Apa definisi anak temuan (laqith)?
2. Bagaimana hukum menemukan anak temuan (laqith)?
3. Bagaimana kedudukan laqith dari segi agama Islam?
D. Tujuan Penelitian
Di dalam penulisan proposal ini penulis mempunyai beberapa tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi anak temuan (laqith)
2. Untuk mengetahui hukum menemukan anak (laqith)
12
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994),
hlm. 511
13
Ibid. Hlm. 94
Ibid. Hlm. 592
15
Abdul Halim Barakatullah, Teguh Prasetya, Hukum Islam: Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.3
14
8
3. Untuk mengetahui kedudukan laqith dari segi agama Islam
E. Manfaat penelitian
1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang nasab anak temuan
menurut hukum Islam
2. Sebagai referensi bagi mahasiswa maupun masyarakat yang ingin
mempelajari permasalahan tersebut
3. Hasil dari penelitian secara umum diharapkan dapat menjadi acuan- acuan
refrensi baru serta memperkaya khazanah pendidikan bagi fakultas
Syari‟ah UNISNU Jepara.
F. Telaah Pustaka
Sejauh penulis sudah ketahui, belum ada yang membahas tentang
penelitian ini, namun penulis temukan tentang pendapat Imam Mazhab empat
yaitu: Imam Syafi‟i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali (anak
yang dibuamg dijalan atau disebut dengan al- laqith) yang termuat dalam
fiqih empat Mazhab karangan Syaikh Al- „Allamah Muhammad bin
„Abdurrahman Ad- Dimasyqi. Kajian ini juga terdapat pada literatur- literatur
fiqih.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan beberapa daftar pustaka,
diantaranya adalah karangan Andi Syamsu Alam, Ahmad Kamil, Abdul
Manan dan lain- lain.
Disamping kitab- kitab penulis juga menelaah buku- buku atau skripsi
yang ada hubungannya dengan kajian penulis.
9
Beberapa penelitian yang membahas tentang anak temuan ini telah
banyak ditemukan. Adapun diantara beberapa penelitian tersebut adalah:
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan dalam bukunya yang berjudul
“Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam”, menjelaskan bahwa anak
yang ditemukan tidak diketahui asal usul keluarganya, maka orang yang
menemukannya dapat mengklaim dirinya sebagai ayahinya atau orang tuanya
sampai benar- benar diketahui ayah yang sebenarnya dan apabila yang
ditemukannya itu anaknya dengan ciri yang ada, maka dapat ditetapkan
hubungan nasab demi menjaga kehormatan dan nama baik anak itu
dimasyarakat.
Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH, S. Ip, M. Hum dalam bukunya yang
berjudul “Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia”, menjelaskan
bahwa orang islam yang menemukan laqith (anak temuan) dapat melakukan
pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnuya dan bahkan
mengikrarkannya, maka sahlah pertalian nasab meskipun pengakuan tersebut
dilawan oleh orang lain.
G. Metodologi penelitian
Mengenai pembahasan dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian
kualitatif,
yaitu
penelitian
yang
memecahkan
masalahnya
dengan
10
menggunakan data empiris.16 Adapun metode yang digunakan adalah dengan
studi pustaka (library research) yaitu pengkajian informasi tertulis yang
berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
dalam penelitian.17
2. Sumber Data
Dalam penyusunan ini, penulis mengambil beberapa referensi
sebagai sumber data.
Sumber data tesebut berasal dari kepustakaan. Data kepustakaan
digunakan untuk menyusun landasan teori sebagai dasar berpijak dalam
menyusun skripsi. Disamping itu ada juga sumber referensi yang berasal dari
media massa koran, internet, majalah dan media massa lainnya.Termasuk
didalamnya adalah refernsi kitab- kitab fiqih maupun hadits- hadits. Dari
hasil penelaah itusemua merupakan sumber pegangan penulis dalam
penyusunan.
3. Metode Analisis Data
Dalam analisis data, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode Deduktif
Suatu pembahasan yang didasarkan pada pemikiran yang bersifat
umum, kemudian disimpulkan kedalam pengertian yang bersifat khusus,
menyimpulkan
16
hubungan
yang
tadinya
tidak
tampak,
berdasarkan
Masyhuru dan M.zainuddin, Metodologi penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), cet.II, hlm.13
17
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hlm.81
11
generalisasi yang sudah ada.18 Metode ini digunakan dalam membahas
masalah sebab dan akibat nasab anak temuan menurut pandangan hukum
Islam.
b. Metode Induktif
Suatu pembahasan dengan mengambil dari pemikiran yang bersifat
khusus untuk ditarik kedalam suatu generalisasi yang bersifat umum, maupun
mengorganisasikan fakta- fakta atau hasil- hasil pengamatan yangterpisahpisah menjadi suatu rangkaian hubungan.19 Metode ini mengusahakan agar
dapat membahas secara rinci guna memperoleh suatu ketegasan dan jawaban
tentang pokok permasalahan sesuai tujuan yang hendak dicapai.
Metode ini digunakan dalam membahas masalah nasab anak
temuan dalam pandangan hukum islam. Selain itu dikaji juga dengan metode
induktif ini, akibat positif dan negatif laqith.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penilisan ini akan di bagi dalam 5 (lima) bab:
1. Bagian Muka
A. Halaman Sampul
B. Halaman Judul
C. Halaman Persembahan
D. Halaman Persetujuan Pembimbing
E. Halaman Pengesahan
F. Halaman Motto
18
19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 40
Ibid
12
G. Halaman Kata Pengantar
H. Halaman Daftar Isi.
2. Bagian Isi
Pada bagian isi terdiri dari lima bab yakni:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Penegasan Istilah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Masalah
E. Manfaat Penelitian
F. Telaah Pustaka
G. Metodologi Penelitian
H. Sistematika Penulisan
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Konsep Nasab
B. Konsep Al- Laqith
BAB III: OBJEK KAJIAN
A. Laqith dalam Syari‟at Islam
B. Nafkah Laqith
C. Kedudukan Laqith dalam Agama
13
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PENBAHASAN
A. Nasab Menurut Perspektif Hukum Islam
B. Nasab Menurut Mazhab Imam Empat
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
C. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP NASAB
1. Pengertian Nasab
Nasab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu keturunan
(keturunan dari bapak), pertalian keluarga.20
Sedangkan menurut Wahbah Az- Zuhaili, nasab adalah salah satu
fondasi kuat yang menopong berdirinya sebuah keluarga,karena nasab itu
mengikat antara anggota keluarga dengan pertalian darah dan pertalian nasab
itu merupakan ikatan
keluarga yang tidak mudah diputuskan karena
merupakan kenikmatan yang besar yang diberikan Allah kepada manusia.21
Adapun pengertian nasab yang dimaksud adalah keturunan atau
pertalian keluarga sebagai hubungan darah baik itu hubungan darah dari
bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, saudara, paman dan lain- lain. Firman
Allah dalam surat Al- Furqan ayat 54:
‫قلى‬
ِ
ِ
‫ك‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ن‬
‫ا‬
‫ك‬
‫و‬
ُّ
َ
َ
َ َ َ ‫َوُه َو الَّذى َخلَ َق ِم َن الْ َمآء بَ َشًرا فَ َج َعلَه نَ َسبًا َو ِص ْهًرا‬
)٣٤) ‫قَ ِد ًيرا‬
20
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka,
1960) Cet.3, hlm.612
21
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm 25
14
15
“Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Dialah Tuhanmu
Maha Kuasa”.22
Ayat diatas ditafsirkan bahwa kata nasab dan shahr keduanya bersifat
umum yang mencakup hubungan kerabat di antara manusia. Namun dalam
perspektif lain menjelaskan bahwa nasab adalah istilah yang merefleksikan
proses percampuran antara sperma laki- laki dan ovum perempuan
berdasarkan ketentuan syari‟at, jika percampuran itu dilakukan dengan cara
maksiat (zina), maka itu tidak lebih merupakan reproduksi biasa, bukan
merupakan nasab yang benar secara syari‟at, sehingga tidak masuk dalam
kandungan ayat tahrim.
Konsep nasab tidak hanya menyangkut masalah asal usul orang tua
dan kekerabatan, tetapi juga masalah status kekerabatan dan ikatan keturunan.
Memang benar nasab seorang anak diambil dari kedua belah pihak (ayah dan
ibu), akan tetapi penghubungan nasab kepada bapak lebih dominan dari pada
ibu. Semua Ulama Mazhab mengatakan bahwa makna paling utama dari
nasab adalah menyangkut dari sisi bapak yang erat kaitannya dengan
legitimasi dimana anak memperoleh identitas hukum dan agamanya.
2. Sebab- sebab Terjadinya Hubungan Nasab
Penentuan nasab mempunyai dampak sangat besar terhadap individu,
keluarga dan masyarakat, dengan demikian diharapkan nasabnya mejadi
jelas. Disamping itu, bila nasabnya tidak jelas dikhawatirkan akan terjadi
perkawinan dengan mahram. Maka hukum Islam mengharamkan untuk
22
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm.156- 157
16
menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang bukan ayah
kandungnya, begitu pula sebaliknya.
Nasab seorang anak dari ibunya tetap bisa diakui dari setiap sisi
kelahiran, baik yang Syar‟i atau tidak. Adapun nasab seorang anak dari
ayahnya hanya bisa diakui melalui nikah yang shahih, fasid, maupun wathi
syubhat.
Dalam hukum Islam nasab anak terhadap ayah bisa terjadi karena tiga
hal yaitu:
a. Nasab melalui perkawinan sah
Para fuqahak sepakat bahwa anak yang terlahir dari rahim seorang
wanita dengan jalan pernikahan yang shahih atau sah, nasabnya dikembalikan
kepada suami waniat tersebut. Dalam hadis yang berbunyi:
َّ ‫َع ْن أَبِی ُهَر َيرَة أ‬
‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ ‫َن َر ُس‬
َ ‫ول اهلل‬
ِ ‫اش ولِْلع‬
ِِ
‫اْلَ َجُر‬
ْ ‫اه ِر‬
َ َ‫ق‬
َ َ ِ ‫ال الْ َولَ ُد لْلفَر‬
Artinya :
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah)”.
(H.R. Muslim).23
Hadis ini menegaskan bahwa nasab anak yang lahir dari perkawinan
yamg sah itu dihubungkan kepada ayah kandungnya. Dalam konteks ini
nasab anak hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarganya saja.
23
Wahbah Az- Zuhaili, Op. Cit., hlm 32
17
b. Nasab melalui perkawinan fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam
keadaan kekurangan syarat, baik keseluruhan maupun sebagian. Seperti tidak
ada wali dan tidak ada saksi atau saksinya itu saksi palsu. Sedangkan menurut
Mazhab Hanafi wali tidak menjadi syarat sahnya perkawinan.24 Dalam
pernikahan fasid sama seperti penisbatan anak dalam pernikahan sah. Tetapi,
ada tiga syarat dalam penentuan nasab anak dalam pernikahan fasid yaitu:
1) Suami mempunyai kemampuan untuk menjadikan istrinya hamil,
yaitu dengan usia yang sudah baligh.
2) Sudah jelas melakukan hubungan suami istri
3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan setelah terjadinya akad
nikah fasid.25
Apabila anak tersebut lahir sebelum enam bulan setelah akad nikah
atau melakukan senggama, maka anak tersebut tidak bisa dinisbahka kepada
suami wanita tersebut.
c. Nasab Anak dari Hubungan Senggama Syubhat (Wathi Syubhat)
Berkaitan dengan hukum, kata syubhat dapat ditafsirkan sebagai suatu
situasi dan kondisi adanya ketidakjelasan dalam sebuah peristiwa hukum,
sebab ketentuan hukumnya tidak jelas apakah berada dalam halal atau haram.
Dalam konteks ini, maka yang dimaksud dengan senggama syubhat
(wathi syubhat) adalah hubungan senggama selain zina dan bukan juga dalam
perkawinan yang sah atau fasid. Contohnya seorang suami menggauli
24
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Kencana, 2008), Cet.1, hlm. 183
25
Ibid. Hlm 184
18
perempuan yang berada ditempat tidurnya dan perempuan itu dikira istrinya
tetapi ternyata bukan istrinya. Dalam kasus seperti ini, jika perempuan itu
melahirkan anak setelah lewat enam bulan atau lebih waktu terjadinya
senggama, maka nasab anak tersebut diikutkan orang yang menggaulinya.
Dan apabila kelahirannya sebelum lewat enam bulan dari waktu terjadinya ,
maka nasab anak tersebut tidak diikutkan pada lelaki yang menggaulinya. 26
Peristiwa diatas sangat jelas kemungkinan wanita tersebut hamil
sebelum melakukan senggama bersamanya. Kecuali, jika memang lelaki itu
mengaku bahwa anak tersebut adalah anaknya sendiri karena bisa jadi
sebelumnya lelaki itu telah menggaulinya.
3. Cara Menetapkan Nasab
Ulama fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan
melalui tiga cara yaitu:
a.
Melalui nikah sahih atau fasid
Ulama fikih berpendapat bahwa nikah yang secara sah atau fasid itu
merupakan suatu cara untuk menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya,
meskipun pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada
instansi yang terkait.27 sehingga jika ada orang yang menikah dan tidak
mendaftarkan secara resmi, maka nasab anak tersebut tetap bersambung
dengan orang tuanya.
26
27
Wahbah Az- Zuhaili, Op. Cit, hlm. 37
Andi Syamsu Alam, Op. Cit, hlm. 186
19
b.
Melalui pengakuan atau gugatan
Para Ulama membedakan antara pengakuan terhadap anak dan
pengakuan terhadap selain anak seperti: saudara, paman, atau kakek. Apabila
ada seseorang mengakui bahwa anak kecil adalah anaknya, ataupun
sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh mengakui seseoarang adalah
orang tuanya, maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dan anak tersebut
dapat dinasabkan pada orang yang mengakuinya.28 Namun harus memenuhi
beberapa syarat yaitu:
1) Anak tidak jelas nasabnya, tidak diketahi ayahnya.
Jika ayahnya diketahui, maka pengakuan anak menjadi batal, karena
Rasulullah mencela bagi orang yang mengakui dan menjadikan anak
orang lain sebagai nasabnya.
Begitu pula Ulama fikih bersepakat bahwa jika anak itu adalah anak
yang dinafikan ayahnya melalui li‟an, maka tidak diperbolehkan
seseorang mengakui nasabnya, selain suami yang meli‟an ibunya.29
2) Pengakuan tersebut rasional.
Maksudnya, seseorang yang mengakui sebagai ayah anak tersebut
usianya harus berbeda jauh dari anak yang diakuinya tersebut.
Demikian pula apabila ada orang yang mengakui nasab seorang anak
namun datang orang lain yang mengakui nasab anak tersebut. Dalam
kasus seperti ini terdapat dua pengakuan, sehingga hakim perlu
28
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 97
29
Andi Syamsu Alam, Op. Cit, hlm. 187
20
meneliti lebih jauh tentang siapa yang berhak terhadap anak
tersebut.30
3) Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal membenarkan
pengakuan bagi orang yang mengakui anak tersebut. Namun syarat
ini tidak diterima oleh Madzhab Maliki, karena menurut mereka
nasab itu merupakan hak dari anak bukan ayah. 31
4) Seseorang yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal bahwa
anak tersebut bukan dari hasil hubungan perzinaan, karena perzinaan
tidak bisa menjadi dasar penetapan nasab anak.32
Apabila syarat- syarat diatas telah terpenui, maka pengakuan nasab
terhadap seseorang menjadi sah sehingga anak tersebut berhak
mendapatkan nafkah, pendidikan yang layak, harta warisan dari
ayahnya tersebut. Ketika itu, ayah yang telah mengkui anak tersebut
sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena nasab
tidak bisa dibatalkan.
5) Melalui alat bukti
Dalam konteks ini Ulama fikih sepakat bahwa saksi harus benarbenar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang dinasabkan.
Adapun pengetahuan nasab selain anak (seperti saudara, kakek,
paman dan kemenakan), menurut Ulama fikih hukumnya sah apabila
memenuhi syarat- syarat yang telah disebutkan diatas ditambah
dengan satu syarat lagi yaitu alat bukti (al- bayyinah) yang
30
ibid
Ibid, hlm. 188
32
ibid
31
21
menguatkan pengakuan tersebut atau diakui oleh dua ahli waris dari
orang yang mengaku. 33
B. KONSEP AL- LAQITH
1. Pengertian Al- Laqith
Sayyid Sabiq mendefinisikan bahwa yang dimaksud al- laqith (anak
temuan) adalah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan dijalan atau
sesat dijalan dan tidak diketahui keluarga.34
Sementara itu menurut ulama Mazhab Syafi‟iyah sebagaimana yang
dikutip oleh Ahmad Kamil dan M. Fauzan mendefinisikan bahwa al- laqith
adalah seorang anak yang dalam keadaan hidup dibuang oleh keluarganya
karena takut kemiskinan atau menghindari tuduhan zina.35 Juga menurut
Teungku Muhamad Hasbi Ash- Shiddieqy laqith adalah anak yang dipungut
dari jalan raya atau anak yang ditinggalkan oleh ibu dan ayahnya sedang ibu
dan ayahnya atau keluarganya tidak diketahui.36
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas,
dapat disimpulkan bahwa al- laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang
ditinggalkan atau dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau
menghindari tuduhan zina dan ditemukan orang dijalan dan tidak diketahui
keluarganya.
33
Ibid, hlm. 189
Abdul manan, Op. Cit., hlm. 94
35
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 169
36
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Fiqih Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2010), hlm. 259
34
22
2. Rukun Al- Laqith
Rukun merupakan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kata tersebut arti yang harus diadakan. Karena rukun itu adalah sesuatu yang
berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkan.
Adapun rukun bagi laqith adalah:
a.
Iltiqoth
(mengambil anak yang dibuang)
b.
Multaqith (orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut)
c.
Laqith
(anak yang dibuang)37
3. Syarat Multaqith
Syarat juga merupakan suatu perbuatan hukum yang harus diadakan,
karena syarat itu sendiri adalah sesutu yang berada diluarnya dan tidak
merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti
syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapula syarat
itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur- unsur rukun.
Dalam hal hukum al- laqith ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Multaqith (orang yangmenemukan anak) agar bisa mengasuhnya yaitu:
a.
Adil
b.
Merdeka, budak tidak diperbolehkan kecuali dapat izin dari tuannya
c.
Islam
d.
Rasyid (tidak bodoh)38
37
Ibnu Rusyd al- Qurtubi, Bidayatu al- Mujtahid Wa Nihayatu al- Muqthasid (Mesir:
Bab al- Halabi, 1960), hlm. 309
38
Ibnu Qosim, Attaqrib (Surabaya: Al- Hidayah, t.t), hlm.41
23
Oleh karena itu jika seseorang sudah tahu mengenai syarat- syarat
Multaqith dan apabila dia menemukan laqith maka bisa untuk tidak meminta
kebenaran kepada pemimpin terlebih dahulu dalam memungut laqith, akan
tetapi lebih baik jika diserahkan dulu kepada pemimpin.
Adapun jika orang yang memungut laqith itu tidak memenuhi syarat
diatas, seperti orang fasik, anak- anak, orang kafir memungut laqith yang
beragama Islam, maka wajib bagi pemimpin untuk mengambil laqith tersebut.
4. Nasab Al- Laqith
Para fuqaha sepakat, apabila ada seorang muslim mengakui seorang
anak sebagai anaknya dan dia yakin bahwa anak tersebut adalah anaknya
dengan ciri yang ada, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepada
orang yang menemukan. Hal ini untuk menjaga kehormatan dan memuliakan
anak tersebut di masyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang
diketahuinya. Ketika ditetapkan nasabnya maka ditetapkan juga hak- haknya
sebagai seorang anak baik berupa nafkah, pendidikan dan hak waris.39
Menurut pendapat diataas apabila seseorang mengaku ada hubungan
nasab dengannya baik laki-laki maupun wanita, maka ia dihubungkan
kepadanya jika memang ada kemungkinan, karena didalamnya terdapat
maslahat bagi si laqith tanpa ada madharat bagi yang lain. Ketika itu,
nasabnya ditetapkan dan warisannya diberikan pendakwanaya. Jika yang
mendakwa lebih dari seorang, maka nasabnya ditetapkan untuk orang yang
membawa bukti terhadap dakwaannya. Dan jika mereka tidak memiliki bukti
39
Andi Syamsu Alam, Op. Cit., hlm. 195
24
atau masing- masing memiliki bukti, maka si laqith dihadapkan kepada ahli
nasab (Qaafah), jika ahli nasab menghubungkannya kepada salah seorang
diantara mereka, maka anak itu dihubungkan kepadanya jika memang ahli
nasab itu Mukallaf, laki- laki, adil, dan berpengalaman. Jika kesulitan
demikian dilakukan undian, siapa saja yang keluar undiannya maka dialah
yang berhak menerimanya.
Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai
anaknya, maka dia tetap berada ditangan orang yang menemukannya. Orang
tersebut menjadi walinya dan berkewajiban mendidik, memberikan
pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban bagi
masyarakat. Menurut Imam Malik, pengkuan tertsebut tidak sampai
menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang menemukan anak tersebut
mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam.40
Para ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada hak waris- mewarisi
antara orang yang menemukan dengan anak yang ditemukan itu. Sebab, apa
yang dilakukan orang itu semata- mata merupakan perbuatan baik dan bijak,
serta merupakan cerminan dari sikap saling tolong- menolong dalam kebaikan
dan ketakwaan.41 Apa yang dilakukan oleh orang tersebut tidak ada bedanya
dengan orang yang menggunakan kekayaan dengan jumlah besar sematamata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan itu, Multaqith telah
menjadikan anak tersebut kaya sesudah dia terlantar dan terhormat setelah
sekian lama dia berada dalam kehinaan.
40
41
397
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 96
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2001), cet.I, hlm.
25
BAB III
OBJEK KAJIAN
A. Laqith dalam Syari’at Islam
Syari‟at Islam pada hakikatnya adalah sebuah fenomena pergumulan
antara teks dan realitas sepanjang sejarah umat Islam. Karenanya, teks inti
(al- Qur‟an dan al- Sunnah) yang ada dihadapan kita, tidaklah mesti layak
untuk dikonsumsi sebelum ia bergumul bahkan bersetubuh dengan realitas
kehidupan itu sendiri.42
Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw dengan membawa
agama. Disamping itu, ajaran yang di bawa Nabi adalah ajaran Syari‟ah yang
komprehensif, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali. Islam
merupakan ajaran yang memberikan jaminan kepada umat manusia agar
dapat meraih kehidupan yang mulia, sehingga memperoleh derajat yang luhur
dan sempurna, baik di dunia maupun di akhirat.
Perlu ditegaskan bahwa ajara Islam adalah ajaran yang bersifat Syamil
(menyeluruh, komprehensif) dan berlaku sampai hari kiamat. Ajaran Islam
tidak hanya untuk generasi tertentu, melainkan untuk semua umat manusia
tanpa terkecuali. 43
Dalam keadaan bagaimanapun umat Islam (Negara) berkewajiban
membiayai hidup dan pendidikan laqith. Ada suatu hal yang perlu diingat,
42
Abdul Halim Barakatullah, Teguh Prasetya, Hukum Islam: Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.2
43
Ibid
25
26
bahwa perlakuan terhadap laqith itu tidak boleh disamakan statusnya dengan
anak kandung, karena menyangkut dengan warisan dan kemahraman (haram
kawin). Padahal, anak tersebut bukan muhrimnya yang boleh kawin dengan
anak kandungnya dan pergaulan dalam rumah tanggapun tidak sebebas
bergaul dengan muhrim. Sadar atau tidak, diantara orang yang memungut
anak (multaqith) adakalanya melupakan hal ini.44
Nilai- nilai yang terdapat dalam Syari‟t Islam sangat memperhatikan
perlindungan terhadap anak, sehingga ahli fiqih yang bertugas sebagai
artikulator yang terdapat dalam Al- Qur‟an dan
As- Sunnah mengkaji
masalah laqith.
Apabila ditemukan anak kecil ditengah jalan, maka mengambil laqith,
mengurusi atau mendidik serta memeliharanya adalah Fardhu Kifayah.45
Mengapa dihukumi fardhu kifayah, itu karena untuk memelihara
laqith serta menghormatinya dari kerusakan dan juga untuk menghidupi
jiwanya. Sebagaimana Allah berfirman:
َِ ‫ومن اَحياها فَ َكاَََّّنَا اَحيا النَّاس‬
‫َجْي ًعا‬
َ َْ ْ ََ
َ َْ
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah- olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semua”46.
Syari‟at Islam tidak melarang untuk medidik anak temuan, namun
setelah baligh atau menginjak usia baligh dianjurka untuk lebih berhati- hati
44
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al- Haditsah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), cet.I, hlm. 102-103
45
Daib Al- Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib (semarang: Toha Putra, 1993), cet.I, hlm.
296
46
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 164
27
dalam mendidiknya. Tetapi, bukan berarti menutup pintu kebaikan
kepadanya. Kehati- hatian itu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa dari
kehancuran dan menjaga hidup seorang anak manusia, karena siapa saja yang
menjaga satu nyawa maka ia seperti menghidupkan seluruh manusia.
Ketika dijalan atau ditempat- tempat yang bersifat umum dijumpai
anak yang terlantar, tidak ada yang merawat, maka wajib hukumnya
memungut anak tersebut untuk dirawat dan dididik. Disamping itu, apabila
anak temuan tersebut tidak dirawat, maka akan mengakibatkan kematiannya
dan
mengeluarkan
biaya
untuk
merawatnya
adalah
bentuk
dari
menyenangkan orang lain sebagaimana menjamu tamu. Kewajiban disini
bersifat fardhu kifayah. Artinya jika salah satu dari orang- orang yang
mengetahui sudah memungut anak tersebut maka, kewajiban sudah gugur
untuk orang lain. Sehingga, jika orang lain tidak memungutnya maka tidak
berdosa. Dan jika sama sekali tidak ada yang memungut maka,berdosalah
semua. Apabila yang melihat cuma satu orang saja tanpa ada orang lain yang
melihat, maka hukum wajibnya berubah menjadi fardhu „ain, kewajiban yang
bersifat tertentu untuk orang yang melihat tadi. Kewajiban yang harus
dilakukan orang yang memungut (Multaqith) adalah medatangkan saksi atas
temuan atau pungutanya.47
47
Ibnu Qosim, Attaqrib (Surabaya: Al- Hidayah, t.t), hlm. 41
28
B. Nafkah Laqith
Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut
keadaan dan tempat, seperti makan, pakaian, rumah dan sebagainya.
Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi
keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang
yang berkewajiban menurut kebiasaan masing- masing tempat.48
Nafkah untuk anak temuan diambil dari harta yang dibawanya. Jika
ternyata ada, maka kewajiban hakim untuk memelihara laqith dari uang
tersebut. Apabila ditemukan laqith tidak membawa harta, maka pemberian
nafkah atas diri laqith adalah menjadi tanggungan Negara.49 Jika mudah,
maka bagi orang yang mengetahui keadaannya hendaknya memberi nafkah,
karena hal itu termasuk menyelamatkannya dari kebinasaan. Ia tidak menarik
dana dari Baitul Maal kecuali jika hakim mengizinkan orang itu menafkahi,
jika tidak ada izin untuknya maka menafkahinya menjadi tabarru‟ (sukarela).
Karena sesungguhnya Umar ra. pernah meminta pendapat atau
bermusyawarah dengan para sahabat tentang menafkahi anak terlantar, maka
para sahabat itu bersepakat sesungguhnya nafkah anak- anak terlantar
menjadi tanggungan kas negara atau disebut dengan Baitul Maal.
50
Keterangan Umar ini menunjukkan bahwa pada asalnya orang yang
menemulkan anak yang hilang tidak berkewajiban menanggung nafkah
48
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 421
Ibid
50
Daib Al- Bagha, OP. Cit., hlm, 297
49
29
hidupnya, biaya nafkah ini diambil dari Baitul Maal. Jika tidak
memungkinkan maka nafkahnya ditanggung oleh kaum muslimin.
Disamping itu para Ulam‟ tidak berhenti sampai disini saja dalam
memperhatikan
kelanjutan
hidup
memperhatikan
pendidikan
dan
laqith
dan
nafkahnya,
saranaakhirnya
sarana
para
untuk
Ulama‟
menetapkan jika Baitul Maal tidak ada untuk menutupi kebutuhan anak
tersebut sedangkan walinya tidak sanggup memberikan nafkah, maka dalam
keadaan seperti ini masyarakat berkewajiban saling tolong- menolong dalam
memberikan nafkah kepadanya, hal ini mejadi kebajikan umum dan sangat
dianjurka dalam Al- Qur‟an surat al- Maidah
‫ج‬
ِْ ‫َوتَ َع َاونُوا َعلَى الِْ ِِّب َوالتَّ ْقوى صلى َوََلتَ َع َاونُوا َعلَى‬
‫اْل ِْْث َوالْعُ ْد َوا ْن‬
َ
ِ ‫واتَّ ُقوااهلل صلى إِ َّن اهلل ش‬
ِ ‫يد الْعِ َق‬
)۲:‫اب (املائدة‬
‫د‬
ُ َ َ
َ
“Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa- Nya”.51
Firman Allah dalam surat al- Insan ayat 8 yakni:
‫َويُطْعِ ُمو َن الطَّ َع َام َعلَى ُحبِّ ِه ِم ْس ِكْي نًا َويَتِْي ًما َوأ َِسْي ًرا‬
“Dan mereka memberikan makan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.52
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
peristiwa yang dialami oleh Sayyidina Ali ra. bersama istri beliau Fatimah
serta kedua putra mereka Sayyidina al- Hasan dan al- Husain yang selama
51
52
DEPAG RI, Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, hlm.
Ibid, hlm.
30
tiga hari berturut- turut memberi makan, pada hari pertama kepada orang
miskin, hari kedua kepada anak yatim dan hari ketiga pada tawanan.53
Firman Allah dalam surat al- Ma‟un ayat 1-3 yaitu:
ِ
ِ َّ‫أَرءيت ال‬
ِّ
﴾۲﴿ ‫ك الَّ ِذى يَ ُدعُّ الْيَتِْي َم‬
‫ذ‬
‫ك‬
‫ي‬
‫ى‬
‫ذ‬
َ
َ ‫﴾ فَذل‬۱﴿ ‫ب بِالدِّيْ ِن‬
َ َْ َ
ُ ُ
ِ ْ ‫ض َعلى طَ َع ِام الْ ِمس ِك‬
﴾۳﴿ ‫ي‬
ُّ ُ‫َوََل ََي‬
ْ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustaka agama?. Itulah orang yang
menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin”.54
Firman Allah dalam surat
‫﴾ َوََل َتض ُّْو َن َعلَى طَ َع ِام‬۱۱﴿ ‫َك َّّل صلى بَ ْل ََّلتُ ْك ِرُم ْو َن الْيَتِْي َم‬
ِ ‫اْملِس‬
﴾۱۱﴿ ‫ي‬
‫ك‬
َْ ْ
“Sekali- kali tidak demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan
anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang
miskin”.55
Maksud ayat diatas yaitu bahwa anak yang terlantar (laqith)
mencakup didalamnya yatim dan miskin. Seorang anak terlantar dianggap
yatim karena kehilangan orang tuanya dan orang yang menjaganya, dan
dianggap miskin karena dia hanya tinggal ditanah dan dipinggir pantai. Oleh
sebab itu dia lebih berhak untuk mendapatkan kelembutan dan perhatian yang
selayaknya. Jadi kewajiban umat Islam terhadap mereka sama seperti
kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim. Karena umat Islam akan
mendapatkan sangsi yang berat bila tidak memperhatikan mereka itu.
53
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 572
Ibid, hlm.1108
55
Ibid, hlm.1058
54
31
Sedangkan tanggung jawab perawatan anak tersebut ada ditangan
orang yang menemukannya jika ia dapat dipercaya. Karena Umar ra.
menyetujui ketika Abu Jamilah mengambil anak temuaan, karena Umar tahu
bahwa Abu Jamilah adalah orang yang shaleh. Lalu Umar berkata
kepadanya:” perwaliannya ada padamu”. Disamping itu, Abu Jamilah adalah
orang pertama yang menemukan anak tersebut, sehingga ia berhak menjadi
walinya.56
Jika orang yang menemukannya tidak layak untuk merawatnya,
seperti oarang kafir atau orang fasik. Sedang anak tersebut adalah orang
muslim, maka penguasa muslim tidak boleh menyetujuinya apabila anak
tersebut dirawat oleh orang kafir atau orang fasik. Dikarenakan orang kafir
atau orang fasik tidak bisa menjadi wali bagi orang muslim dan bisa merusak
agama anak tersebut.
C. Kedudukan Laqith dari Segi Agama
Jika laqith ditemukan di wilayah Islam (daarul Islam) ataupun di
wilayah kafir tetapi di wilayah tersebut banyak orang- orang muslim, maka
anak tersebut dihukumi
sebagai muslim. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah:
‫ُك ُّل َمولُْود يُ ْولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرِة‬
“Semua bayi dilahirkan atas fitrah (kesucian)”.
Sedangkan jika ditemukan di wilayah yang didalamnya hanya terdapat
orang- orang kafir saja ataupun wilayah tersebut jumlah orang- orang muslim
56
529
Saleh Al- Fauzan, Fiqih sehari- hari (Jakarta: Gema Insani Perss, 2005), cet.I., hlm.
32
hanya sedikit, maka anak tersebut dihukumi kafir sebagaimana wilayah
tersebut.57
Pada dasarnya anak temuan adalah merdeka baik laki- laki maupun
perempuan, ini adalah diriwayatkan dari Umar dan Ali, telah diriwayatkan
dari keduanya bahwa keduanya menghukumi anak temuan adalah merdeka.
Karena pada dasarnya dia itu merdeka
dan termasuk bani Adam dan
manusia semua adalah anak cucu Adam alaihis salam dan Hawa, karena
keduanya adalah merdeka dan orang yang lahir dari orang merdeka
hukumnya merdeka. Adapun terjadi perbudakan bagi yang menentang, maka
wajib beramal dengan aslinya yaitu merdeka dan keadaan anak temuan adalah
merdeka, sampai ada ketetapan bahwa anak temuan adalah budak.
Oleh karena itu, kalau multaqith (orang yang memungut) mengklaim
bahwa anak temuan itu tidak merdeka akan tetapi dia adalah budaknya, itu
tidak benar setelah diketahui bahwa dia adalah anak temuan, karena dia
dihukumi merdeka menurut dhohirnya dan karena aslinya adalah merdeka
sampai ditetapkan sebaliknya, maka tidak bisa dibatalkan dengan perkataan
multaqith saja. Karena kedudukan multaqith adalah sebagai penjaganya atau
pelindungnya, maka tidak mungkin berubah kedudukannya menjadi pemilik
hanya dengan perkataannya tanpa ada hujjah.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, apabila
ditemukan anak yang dibuang orang tuanya di jalan (laqith) dalam negara
Islam maka laqith tersebut di hukumi sebagai muslim. Sedangkan menurut
57
Ibid
33
Imam Hanafi, jika ia ditemukan didalam gereja atau rumah peribadatan
Yahudi atau disuatu desa diperkampungan orang- orang dzimmi, maka dia di
hukumi sebagai seorang dzimmi (orang kafir yang dijamin negara Islam).58
Status anak temuan adalah merdeka dalam semua hukum yang
berkaitan dengan manusia, karena status merdeka adalah hukum asal bagi
manusia, sedangkan perbudakan adalah sesuatu yang datang setelahnya.
Sehingga, jika tidak diketahui statusnya maka yang diberlakukan atasnya
adalah hukum asal tersebut.
Apabila didapati anak kecil didalam negara Islam, maka ia dipandang
sebagai anak yang merdeka dan muslim. Menurut Imam Malik dan Imam
Hambali apabila laqith sesudah baligh ia menolak untuk memeluk agama
Islam, maka ia tidak dapat ditetapkan sebagai muslim dan apabila tetap
enggan tidak mau memeluk agama Islam, maka ia boleh dibunuh. Menurut
Imam Hanafi ia dikenai had dan tidak perlu dibunuh. Sedangkan menurut
Imam Syafi‟i, hendaknya diterangkan kepadanya akan keburukan- keburukan
kekafirannya. Tetapi jika ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya, maka
ia dihukumi sebagai seorang kafir.59
58
59
Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi, 2012),hlm.298
Ibid
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Nasab Menurut Perspektif Hukum Islam
Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis.
Ia menghadapi realitas kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik,
menjauhkannya dari sikap melampaui batas sekaligus dalam memandang
masalah
nasab
laqith.
Dengan
didasarkan
kepada
pertimbangan-
pertimbangan manusiawi yang sangat penting, baik secara individu maupun
sosial. Ia memperbolehkan merawat, medidik laqith akan tetapi ia tidak akan
memperbolehkan seorang muslim untuk menasabkan laqith (anak temuan)
terhadap multaqith (orang yang menemukan anak).
Dalam hukum Islam asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui
dari salah satu diantara tiga sebab yaitu:
1. Cara
al-
firasy,
yaitu
berdasarkan
kelahiran
karena
dilakukan
oleh
adanya
perkawinan yang sah.
2. Cara
iqrar,
yaitu
pengakuan
yang
seseorang
terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut
adalah anaknya.
3. Cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan
bukti- buktiyang sah.60
60
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta, kencana,
2008), Cet.II, hlm76.
34
35
Termasuk juga anak yang lahir dari wathi‟ syubhat dan anak yang
lahir dari nikah fasiq. Dengan ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam
anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang diketahu hubungan darah
dengan bapaknya. Anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan
bapaknya dengan sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu
yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan
bapaknya, jika bapaknya itu telah mengakuinya.61
Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan oleh seseorang sesuai
dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum Islam, maka akan lahir
akibat hukum yaitu timbulnya pertalian nasab antara yang mengakui dengan
yang diakui, anak yang diakui tersebut menjadi anak yang sah menurut
hukum Islam dan sama kedudukannya dengan anak hasil perkawinan sah
dalam segala hal dan kewajiban yang timbul dari padanya. Khusus pengakuan
anak untuk orang lain, jika dibantah oleh anak yang diakuinya dan tidak ada
bukti yang menguatkan pengakuannya, maka tidak ada akibat hukum dari
padanya seperti hak kewarisan dan pertalian nasab, hubungannya hanya
sebatas hak kekeluargaan saja seperti hak memberi nafkah, memelihara dan
memberikan pendidikan secukupnya.
Untuk melakukan pengakuan anak tidak ada pembatas waktu.
Seseorang dapat saja melakukan pengakuan anak kapan saja, bahkan pada
saat anak yang diakui itu telah meninggal duniapun pengakuan itu dapat
dibenarkan. Hanya saja dalam hal yang terakhir ini hukum Islam sangat
61
Ibid.,hlm.78.
36
bersikap hati- hati, jangan sampai pengakuan itu mengakibatkan timbulnya
kemadharatan pada pihak lain sebab sebagian besar pengakuan yang
dilakukan setelah anak itu meninggal biasanya bermotif harta warisan bukan
motif yang lain.62
Disamping itu, harta warisan anak temuan setelah dia dewasa dan
belum berkeluarga menjadi milik Baitul Maal. Ini jika dia belum menikah
sehingga tidak punya anak istri, jika dia sudah berkeluarga maka anak istrinya
adalah orang yang paling berhak kepadanya. Demikian pula ketika anak
temuan ini seorang perempuan yang hendak menikah, maka yang menjadi
walinya adalah hakim (KUA).
Tentang anak temuan (laqith) apabila ada orang yang menemukannya
wajib hukumnya untuk memungut anak tersebut. Apakah anak itu akan
dirawat sendiri atau dirawat oleh orang lain. Adapun tentang nasab anak
temuan tersebut tidak dapat dinisbahkan kepada orang yang memungutnya
(multaqith). Jika orang yang menemukan hendak menjadikannya sebagai
anak, maka diperbolehkan dengan jalan ilhaq nasab yaitu dengan
mengikutkan anak pada nasab orang yang menemukannya. Bisa jadi itu akan
lebih baik baginya, sehingga anak tersebut memiliki nasab bersambung,
disamping hal ini tidak membahayakan orang lain. Ketentuan ini dengan
syarat tidak ada keterangan tentang nasabnya dan tidak ada orang yang
mengklaim nasabnya.
62
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 95
37
Hukum ilhaq nasab berbeda dengan adopsi anak yang dilarang dalam
hukum Islam. Karena adopsi anak, telah diketahi nasab dari anak yang
didopsi, sehingga tidak boleh dinisbahkan kepada ayah angkat. Demikian
juga untuk kasus anak hasil zina, dia tidak boleh dinasabkan kepada bapak
biologisnya, karena nasab anak tersebut disambungkan kepada ibunya.
Begitu juga dengan laqith yang ditemukan oleh seseorang dan orang
yang menemukan anak tersebut yakin dan mengakui bahwa anak yang
ditemukan itu adalah anaknya dengan ciri yang ada, maka nasab anak
tersebut dapat dinisbahkan kepada orang yang menemukannya (multaqith).
Disamping itu untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan anak
diantara masyarakat dengan menisbahkannya pada ayah yang diketahuinya.
Ketika ditentukan nasabnya, maka harus ditetapkan juga hak- haknya sebagai
seorang anak baik berupa nafkah, pendidikan dan hak waris.
Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai
anaknya, maka laqith tetap berada ditangan orang yang menemukannya.
Orang tersebut menjadi walinya dan berkewajiban mendidik, memberikan
pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban
masyarakat.
B. Nasab Menurut Pendapat Imam Madzhab Empat
Imam Madzhab adalah seorang Imam yang menghasilkan ijtihad suatu
permasalahan hukum ataupun tentang kaidah- kaidah Istimbath.63
63
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1997), Cet.I., hlm.1
38
Kalau kita perhatikan dalam menetapkan suatu hukum, adakalanya
terdapat perbedaan pendapat antara Imam Madzhab, walaupun sama- sama
merujuk kepada Al- Qur‟an dan Sunnah Rasulullah disamping sumber
lainnya, baik yang muttafaq alaih maupun yang mukhtalaf fiih.
Jalan pikiran Imam Mujtahid inilah yang perlu kita lihat dan telaah
kemudian membanding- bandingnya lebih baik lagi, apabila kita mengetahui
latar belakang ataupun dasar seorang Mujtahid menetapkan suatu hukum.
Mungkin karena dipengaruhi oleh lingkungan atau masa, disamping sumber
hukum yang dipergunakan sebagaimana permasalahan suatu hukum nasab.
Dalam semua Imam Madzhab makna paling utama dari nasab adalah
menyangkut sisi bapak yang erat kaitannya dengan legitimasi dimana anak
memperoleh identitas hukum dan agamanya.
Nasab seorang anak dapat diketahui, salah satunya yaitu dengan cara
iqrar (pengakuan) atau gugatan terhadap anak. Jika seorang laki- laki
mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, maka pengakuan itu
dapat dibenarkan dan nasabnya dapat diikutkan pada lelaki tersebut, namun
harus memenuhi syarat. Adapun salah satu syarat tersebut adalah apabila anak
yang diakui itu telah baligh dan berakal atau telah mumayyiz (menurut ulama
Madzhab Hanafi) membenarkan pengakuan tersebut. Namun syarat tersebut
tidak diterima Ulama Madzhab Maliki, karena menurut mereka nasab
merupakan hak dari anak bukan ayah.64
64
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum pengangkatan Anak Perspektif Hukum
Islam (Jakarta: Kencana, 2008), cet.I, hlm.188
39
Ulama fiqih kemudian berbeda pendapat, apakah anak yang diakui
disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah. Ulama
Madzhab Hanafi mensyaratkan bahwa anak yang diakui sebagai nasabnya
harus dalam keadaan masih hidup. Apabila anak yang diakui telah wafat,
maka pengakuannya dianggap tidak sah karena nasab anak tidak bisa
dinasabkan kepada orang yang memberi pengakuan. Namun Ulama Madzhab
Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasabnya harus hidup.
Menurut mereka sekalipun anak yang diakui telah wafat dan pengakuan yang
diberikan memenuhi syarat, maka nasab anak tersebut bisa dinasabkan pada
orang yang mengakuinya. Ulam Madzhab Syafi‟i dan Hambali menyatakan
bahwa disamping telah memenuhi syarat- syarat tersebut namun diperlukan
syarat lagi, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang
yang mengakui dan orang yang mengaku telah wafat .65
Selai dengan cara iqrar, nasab seorang anak dapat diketahui dengan
cara bayyinah (pembuktian). Menurut Imam Abu Hanifah alat bukti yang
dibutuhkan adalah pengakuan dua orang laki- laki atau satu orang laki- laki
dan dua orang wanita. Menurut Ulama Madzhab Maliki pengakuan harus
dikemukakan oleh dua orang laki- laki saja. Sedangkan menurut Ulama
Madzhab Syafi‟i, Madzhab Hambali pengakuan itu harus datang dari seluruh
ahli waris yang mengaku.66
Orang Islam yang menemukan anak temuan (laqith) dapat melakukan
pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnya. Apabila pihak
65
66
Ibid
Ibid, hlm. 189
40
yang menemukan anak tersebut telah mengikrarkan pengakuannya, maka
sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri dan sah pula pertalian nasab
anak tersebut dengan orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut
dilawan oleh orang lain dengan menunjukkan bukti- bukti yang kuat dan
meyakinkan. Namun menurut Imam Malik pengakuan tersebut tidak sampai
menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang menemukan anak tersebut
mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum Islam. Jika hal ini
dapat dilaksanakan oleh orang yang menemukan anak tersebut, maka sahlah
anak tesebut sebagai anak kandungnya dan mempunyai akibat hukum
keperdataan dalam bidang kewarisan, perwalian dan sebagainya.67
67
Abdul Manan,. Op. Cit., hlm. 95- 96
41
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang ditinggalkan atau
dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau menghindari
tuduhan zina dan ditemukan orang dijalan dan tidak diketahui
keluarganya. Seseorang tergolong sebagai orang hilang, ketika dia tidak
mampu mengurusi dirinya sendiri, baik karena masih kecil atau akalnya
yang kurang sehat, sementara tidak diketahui walinya atau nasabnya.
Karena itu, bukan disebut orang hilang ketika dia masih mampu
mengurusi dirinya sendiri atau mereka yang bisa pulang ke daerahnya.
2.
Hukum bagi orang yang menemukan anak temuan (laqith) yaitu fardhu
kifayah, sehingga jika sudah ada orang yang merawatnya dengan kadar
mencukupi, maka itu menggugurkan kewajiban yang lainnya. Jika tidak
ada satupun yang bersedia merawat, padahal memungkinkan untuk
dilakukan, maka semua masyarakat di tempat itu berdosa.
3.
Kedudukan anak temuan (laqith) dari segi agama islam yaitu:
 Jika laqith ditemukan di wilayah Islam ataupun diwilayah kafir
tetapi diwilayah tersebut banyak orang- orang muslim, maka anak
tersebut dihukumi sebagai muslim.
41
42
 Jika ditemukan diwilayah yang didalamnya hanya terdapat orangorang kafir saja ataupun wilayah tersebut jumlah orang- orang
muslim hanya sedikit, maka anak tersebut dihukumi kafir
sebagaimana wilayah tersebut.
B. Saran- Saran
Penentuan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang
terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan dampak
terhadap kepribadian dan masa depan anak. Seorang anak seharusnya
mengetahui tentang keturunannya, sebab asal usul yang menyangkut
keturunannya sangat penting untuk menempuh kehidupannya dalam
masyarakat.
Nikah merupakan jalan untuk menentukan dan menjaga asal usul
(nasab) seseorang. Dalam pengertian, nasab seseorang hanya bisa
dinisbahkan kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam pernikahan
yang sah.
Penetapan nasab menpunyai dampak yang sangat besar terhadap
individu, keluarga dan masyarakat. Sehingga setiap individu berkewajiban
merefleksikannya dalam masyarakat, dengan demikian diharapkan nasab atau
asal usulnya menjadi jelas. Disamping itu, dengan ketidak jelasan nasab
dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahram. Untuk itu Islam
mengharamkan untuk menisbahkan nasab seseorang kepada orang lain yang
bukan ayah kandungnya.
43
Begitu pula, jika ada orang tua yang nekad membuang anak atau
menitipkan kepada seseorang kemudian orang tuanya menghilang dan ada
pula yang meletakkannya dipinggir jalan atau ditempat lainnya, adakalanya
karena aib ataupun tidak mampu membiayai dan mendidik anaknya itu.
Bahkan ada yang tega menjual anaknya, karena dihimpit penderitaan dengan
harapan mungkin anaknya dapat terawat dengan baik ditangan orang.
Agar kejadian seperti yang dikemukakan diatas itu tidak terjadi pada
para remaja terutama untuk perempuan, itu harus berhati- hati dalam mencari
teman jangan sampai mempunyai pergaulan bebas dan para orang tua harus
mengontrol anak gadisnya supaya tidak terjerumus kedalam perbuatan zina.
Begitu pula agar tidak terjadi dalam masyarakat, maka masalah ekonomi
masyarakat perlu mendapat perhatian. Kemiskinan dan penderitaan perlu di
perangi dan dihapus.
C. Penutup
Ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah- Nya. Hanya dengan pertolongan
dan bimbingannya, penulis dapat menyelesaikan tugas akademis ini yaitu
penulisan skripsi sebagai syarat meraih gelar Sarjana Program Strata 1 dalam
bidang al- Ahwal al- Syakhshiyyah pada Fakultas Syari‟ah UNISNU Jepara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini baik isi atau pembahasannya
sangat sederhana, banyak terdapat kekurangan- kekurangan dan jauh dari
kesempunaan walaupun penulis telah berusaha semaksimal mungkin. Hal ini
disebabkan keterbatasan yang ada pada penulis, baik dari segi waktu, tenaga,
44
biaya dan lain sebagainya. Begitu juga dangkalnya pengetahuan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati mengharap kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kasempurnaan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terimakasih kepada
pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT semata-mata semua ini dapat terwujud.
Sebagai penutup penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan,
serta penulis berdo‟a kepada Allah SWT semoga karya yang sederhana ini
dapat bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Amin Ya Rabbal Alamin.
`
45
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Al- Bagha, Daib, Matan Ghoyah Wattaqrib, Semarang: Toha Putra, 1993.
Alfauzan, Saleh, Fiqih Sehari- hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Alkaf, Abdullah Zaki, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi, 2012.
DEPAG, Al- qur‟an dan terjemahnya, Jakarta, 1971.
Al- qurtubi, Ibnu Rusyd, Bidayatu al- Mujtahid Wa Nihayatu al- Muqthasid
Mesir: Bab al- Halabi, 1960.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Az- Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Barkatullah, Abdul Halim , Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al- Haditsah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Hasan, M. Tolhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Lantarbora Press, 2003..
Hasbi Ash- Shiddieqy, Teungku Muhammad, Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Hukum perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
46
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2008.
Masyhuru, dan M.zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan
Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2001.
Partanto, Pius A., dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994.
Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan terhaadap Perempuan dan Anak
Berbasis Gender, Semarang: Seruni, 2002.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1960.
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al- Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
UUD 1945 dan Amandemennya , Solo: Sendang Ilmu, 2009- 2014.
Qosim, Ibnu, Attaqrib, Surabaya: Al- Hidayah, t.t.
Download