nasab anak di luar perkawinan paska putusan mahkamah konstitusi

advertisement
NASAB ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASKA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-IIIV/2010 TANGGAL 27 PEBRUARI 2012
MENURUT TEORI FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh
DRS. H, SYAMSUL ANWAR, SH, MH1
DRS. ISAK MUNAWAR, MH2
I PENDAHULUAN.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27
Pebruari 2012 lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan oleh
Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai
seorang suami yang telah beristri 3 menikah kembali dengan istrinya yang kedua
bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam
register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah,
dan dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad
Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono.
Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)) Undang-Undung
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka Hj. Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal
Ramdhan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh
Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan,
karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang
dilahirkannya menjadi tidak sah.4 Dan berakibat hilangnya status perkawinan antara
Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak
Moerdiono5. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu” ayat (2)-nya menyatakan “tiap-tiap perkawinan dicatat
1
Ketua pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.
Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.
3
A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-IIIV/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA
Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium
PTA Ambon) halaman 1
2
4
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 halaman
5
Putusan MK ibid halaman 6
4-5
2
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. UndangUndang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”,
Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”.
Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan
bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan (1) pencatatan perkawinan bukan faktor yang
menentukan sahnya perkawinan (2) pencatatan merupakan kewajiban administrasi
yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban kewajiban
administrasi tersebut dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu ; pertama dari prespektif
negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi negara
untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan
hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara
dan harus dilakukan sesuai prinsif negara hukum sebagaimana yang dimuat pada
Pasal 281 ayat 4 dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan tersebut dianggap
pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan
konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua pencatatan secara
administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai
perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat
luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang
sempurna dengan suatu akta autentik. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan
dengan konstitusi 6 . Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah.
Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan
hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi
yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil
manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena
hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan
tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
6
Putusan MK ibid halaman 33-34
3
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadi kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan
yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan
seorang laki-laki adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan
kewajiban secara bertimbal balik yang subjek hukumnya adalah anak, ibu dan
bapak. Dengan demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak
tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
tersebut sebagai bapak. Kemudian Mahkama Konstitusi menyimpulkan bahwa Pasal
43 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 19457. Oleh karena
itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu
diktumnya me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.
Putusan Mahkama Konstitusi tersebut adalah suatu putusan final yang
berkaitan dengan uji materil undang-undang, yang dalam hal ini Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu Putusan MK ini berlaku
sebagai undang-undang sehingga substansinya general, tidak individual dan tidak
kasuistik8, sesuai ketentuan Pasal 56 ayat ((3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK. Dan oleh
karena itu pula putusan MK ini menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh
warga negara Indonesia tentang hubungan hukum antara anak dengan kedua orang
tuannya beserta segala konsekwensinya, baik anak itu adalah anak yang dilahirkan
oleh seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki tanpa ikatan perkawinan
(anak zina), dan setelah anak itu lahir kedua orang perempuan dan laki-laki ini tidak
pernah mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan yang sah maupun setelah anak
tersebut lahir kemudian kedua orang perempuan dan laki-laki itu mengikatkan diri
dalam ikatan perkawinan yang sah (anak di luar perkawinan), atau anak tersebut
lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki dalam ikatan
perkawinan yang tidak memiliki kepastian dan tidak memiliki kekuatan hukum,
karena peristiwa perkawinannya tidak sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku (perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan).
Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat terhadap
seluruh masyarakat Indonesia sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada tanggal 27 Pebruari Tahun 2012 sesuai Pasal 47 UUMK dan dengan terbitnya
7
8
Putusan MK halaman 35-36
A. Mukti Arto, ibid halaman 12-13
4
putusan MK ini, maka ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100 KHI tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.9
II PEMBAHASAN
Poligami di bawah tangan dan konsekwensi hukumnya.
Apabila dicermati kasus posisi tersebut bahwa almarhum Moerdiono selama
hidupnya telah melakukan poligami di bawah tangan dengan istri keduanya bernama
Hj. Aisyah dan dari istri keduanya itu dikaruniai seorang anak yang bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan, setelah Moerdiono meninggal dunia anak dari istri
keduanya ini berkeinginan melegalisasikan statusnya sebagai bagian dari keluarga
almarhum Moerdiono 10 , akan tetapi terjegal oleh ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Yang menjadi persoalan dalam kasus ini sebenarnya adalah bagaimana status
hukum anak yang dilahirkan dari poligami di bawah tangan ? hal mana persoalan ini
tidak secara langsung berkaitan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan
sebagaimana yang ditunjuk Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
itu.
Poligami di bawah tangan yang dilakukan Moerdiono dan istrinya tersebut
jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan oleh karena itu pula tidak akan pernah memenuhi ketentuan Pasal 2
ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan. Pasal 4 UU
Nomor 1 Tahun 1974 adalah ketentuan yang bersifat perintah secara imperatif
(wajib) terhadap suami yang akan berpoligami untuk memperoleh izin dari
pengadilan, sedangkan Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 berkaitan dengan syaratsyarat poligami yang harus dipenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam
persidangan. Perkawinan yang melanggar ketentuan ini
adalah termasuk
perkawinan yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-Undang ini”.
Status perkawinan poligami tersebut menurut Hukum Islam yang dimuat
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), walaupun terdapat larangan hukum sesuai
Pasal 9 UUP tersebut kecuali diizinkan oleh pengadilan, akan tetapi apabila
perkawinan itu memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu” hal mana hukum agama bagi orangorang Islam Indonesia adalah Hukum Islam yang dimuat pada Pasal 14 KHI tentang
9
A. Mukti Arto, ibid halaman 22
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
10
5
rukun-rukun materil perkawinan dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan syaratsyarat yang harus dipenuhi, serta tidak ada larangan syara’ untuk melakukan
perkawinan haruslah dianggap sah menurut hukum. Hukum hanya memandang
perwakinan poligami seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum sesuai ketentuan
Pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Artinya perkawinan poligami ini tidak
dapat dibuktikan kebenarannya secara hukum, maka konsekwensi dari perkawinan
tersebut apabila tidak ada pihak-pihak yang keberatan terhadap perkawinan ini atau
tidak ada hal lain yang membutuhkan bukti hukum tentang adanya perkawinan
maka kehidupan sebagai suami istri dapat tetap berlangsung walaupun status
perkawinannya tidak dapat dilindungi oleh negara, dan konsekwensi lain dari
perkawinan poligami di bawah tangan ini adalah tentang status anak yang
dilahirkannya.
Dalam memecahkan masalah ini dapat diperhatikan ketentuan tentang
pembatalan perkawinan. Pasal 24 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “barang
siapa karena perkawinanya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UndangUndang ini. Demikian pula ketentuan Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam
menyatakan “perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan
poligami tanpa izin Pengadilan Agama”
Apabila permohonan pembatalan perkawinan tersebut dapat dibuktikan secara
hukum di hadapan sidang pengadilan, kemudian pengadilan menjatuhkan putusan
dengan amar membatalkan perkawinannya, maka putusan tersebut sesuai ketentuan
Pasal 28 ayat (2) huruf (a) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan ketentuan
Pasal 75 huruf (b) KHI tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Artinya walaupun ikatan perkawinannya telah dinyatakan batal
secara hukum tetapi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak
secara serta merta menghapuskan hubungan nasab dengan kedua orang tuanya.
Apabila pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan, karena tidak ada bukti
tertulis tentang peristiwa perkawinannya sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam karena tidak ada bukti akta nikah, maka konsekwensi
terhadap anak-anak yang dilahirkannya juga merupakan anak-anak yang memiliki
hubungan nasab dengan kedua orang tuannya itu, selama tidak ada pihak-pihak yang
keberatan atau tidak ada hal lain yang memerlukan bukti hukum yang menunjukan
status anak tersebut. Persoalan krusial akan muncul ketika ada pihak yang keberatan
terhadap status anak tersebut, maka dalam hal ini memerlukan pembuktian secara
formal yaitu akta kelahiran, dan apabila akta kelahiran tersebut menyebutkan
hubungan nasab anak terhadap kedua orang tuanya maka syarat pokok dari akta
tersebut adalah adanya Buku Kutipan Akta Nikah kedua orang tuanya, dan
seandainya akta kelahiran anak itu tidak dapat diterbitkan maka status hukumnya
6
adalah adanya anak itu sama saja dengan tidak ada secara hukum, sehingga anak itu
nasabnya tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya. Sesuai pasal 27 UU Nomor 23
Tahun 2006 bahwa pencatatan kelahiran berasaskan peristiwa kelahiran yang
apabila orang tua anak tersebut tidak dapat menyerahkan bukti perkawinannya,
maka secara otomatis akan tertulis pada akta kelahiran anak dari seorang ibu saja11
dan dalam hal inilah titik singgung antara konsekwensi anak yang dilahirkan dari
poligami di bawah tangan dengan konsekwensi anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, dimana kedua peristiwa itu memiliki substansi yang berbeda akan
tetapi berakibat hukum yang sama.
Persoalan perkawinan poligami di bawah tangan kualitas permasalahannya
lebih rumit dari pada perkawinan monogami di bawah tangan, sebab perkawinan
monogami di bawah tangan bagi masyarakat Islam statusnya dapat memiliki
kepastian dan kekuatan hukum setelah mendapatkan isbat dari pengadilan sesuai
ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Kebolehan isbat
nikah pada ketentuan ini dibatasi ayat (3) huruf (e) yang menyatakan “perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Halangan dimaksud adalah larangan kawin
sesuai Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang tidak dapat dilakukan
sesuai Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berkaitan dengan poligami tanpa izin
pengadilan. Mengenai pencatatan poligami seperti ini juga di larang oleh undangundang sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
menyatakan “pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin
pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43” Oleh karena itu perkawinan
poligami di bawah tangan menurut undang-undang adalah perkawinan yang
melanggar prosudur undang-undang dan keberadaannya tidak dapat dilakukan
toleransi.
Walaupun demikian ketatnya aturan yang mengatur perkawinan poligami di
bawah tangan dan perkawinan monogami di bawah tangan, akan tetapi izin
pengadilan dan pencatatan perkawinan substansinya berkaitan dengan prosudur dan
administrasi tentang perkawinan. Dengan pelanggaran terhadap prosudur dan
administrasi ini undang-undang tersebut tidak menyatakan berakibat substansi
perkawinannya menjadi tidak sah, dan demikian pula akibat hukum terhadap anak
yang dilahirkannya tidak dapat dikatagorikan sebagai anak tidak sah atau anak di
luar perkawinan. Oleh karena itu pemecahan masalah agar anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang demikian agar mendapatkan status hukum dapat ditempuh sesuai
ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan
“bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan
11
Website Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta
7
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat”. Buktibukti dalam hal ini harus dikembalikan kepada asas umum pembuktian sesuai Pasal
284 Rbg dan 164 HIR untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah ditambah
bukti lain berupa bukti hasil pemeriksaan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak
tersebut benar-benar dilahirkan dari suami istri itu. Solusi ini juga sebenarnya
mengandung konsekwensi apabila seorang anak dinyatakan sebagai anak sah dari
hasil perkawinan poligami di bawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan
secara tegas, akan berakibat secara tersirat pengadilan telah mengakui adanya
perkawinan yang menurut undang-undang terdapat halangan.
Dari gambaran tersebut menunjukan bahwa setiap peristiwa perkawinan yang
tidak memenuhi prosudur hukum yang berlaku baik yang berkaitan dengan materi
hukum maupun yang berkaitan dengan legalitas formal adalah akan menimbulkan
persoalan yang krusial dan seolah-olah lahirnya keturunan sebagai akibat
perkawinan tersebut bila tidak dilindungi oleh hukum maka prosudur hukum itu
yang disalahkan.
Peristiwa perkawinan yang mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum selain harus memenuhi rukun syar’iy juga harus memenuhi rukun
tautsiqy.
Satria Effendi (Allah yarham)12 mencatat fatwa Syekhul Azhar (Guru Besar)
yang pada waktu itu dijabat oleh DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, fatwa tersebut
menyatakan bahwa al-jiwaz al-‘urf adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat
sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syakh
Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan pernikahan kepada dua katagori, yaitu
rukun syar’iy dan rukun yang bersifat al-tawstiqi.
Rukun syar’iy adalah rukun yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah
pernikahan. Rukun ini adalah rukun yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang
telah dirumuskan dalam Kitab-kitab Fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya
adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad
(wali dan calon suami) yang diucapkan pada majles yang sama, dengan
menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang
diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk
melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang
telah baligh berakal lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi itu disyaratkan
mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi
tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti
12
Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontenporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006) halaman 33-37
8
yang telah dibentangkan dalam kajian fikih, dan tidak terdapat larangan hukum
syara’.
Oleh Ulama Besar ini, rukun-rukun tersebut dianggap sebagai unsur-unsur
pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam
Syari’at Islam itu telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu
secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya
suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai
anak yang sah.
Rukun yang bersifat tawutsiqy adalah rukun tambahan dengan tujuan agar
pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register
Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam
peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga
perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategi dalam
masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negative dari pihakpihak yang tidak bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari adanya
pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun pada
dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih
dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang
untuk itu. Menurut Undang-undang perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78
Tahun 1931 menyatakan tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan
atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya
dekumen resmi pernikahan. Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad alHaq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’iy nikahnya
sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur
dalam Syari’at Islam.
Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan
seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu negara, sebab dalam fatwa beliau
tetap mengingatkan pentingnya pencacatan nikah, beliau mengingatkan agar
pernikahan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga
menegaskan bahwa perauran perundangan yang mengatur pernikahan adalah hal
yang mesti dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai
antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika
dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau
pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris.
Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zulaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa
Adillatuhu 13 , secara tegas membagi syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi
13
DR. Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-fikr 1985) Juz VIII
halaman 36
9
syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana
keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah
rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan
syarat tautsiqy adalah suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti
kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan
di kemudian hari. Syarat tausiqi tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu
perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang
saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tautsiqy, kecuali
kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat
syar’iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang
menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping
sebagai syarat tautsiqy. Contoh syarat tautsiqy dalam al-Qur’an adalah syarat
pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat
al-Baqarah ayat 282, “Ya ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa
ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala
safarin wa lam tajidu katiban farihanumm maqbuudlah” Apabila penggalan dua
ayat ini, dipahami secara tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada
ayat berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian
pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai
jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak
dicatatkan dan atau tidak ada barang jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan
dengan pemahaman para ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan
para ulama, kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti
belaka dan sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai waktu yang
dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah karena pemahaman ayat di
atas dihubungkan dengan ayat setelahnya “fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin
falyuaddi alladzi u’tumina amanatahu” ayat terakhir ini menunjukan pancatatan dan
barang jaminan adalah alat tautsiq, apabila tautsiq atau kepercayaan itu telah ada
pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang jaminan itu tidak
diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah yang wajib dibayar.
Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, penulis berkesimpulan
bahwa hukum materil dari suatu peristiwa perkawinan, sebagaimana juga pada
peristiwa hukum yang lainnya adalah aturan hukum yang menentukan unsur unsur
pembentuk dari peristiwa hukum itu, sah atau tidak sahnya suatu perbuatan itu
adalah merupakan berbuatan hukum, tergantung pada aturan hukum materil
tersebut, tidaklah tergantung pula pada aturan hukum yang berdimensi hukum
pembuktian. Misalnya sah atau tidak sahnya jual beli tergantung pada aturan materil
tentang terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur jual beli itu, ada pembeli ada penjual,
ada barang yang dijualbelikan dan ada uang sebagai ukuran harga barang yang telah
disepakati bersama antara penjual dan pembeli, penjual dan pembeli mengadakan
10
perikatan jual beli. apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi maka secara hukum
jual beli tersebut adalah sah secara materil tanpa harus memperhatikan hukum
pembuktiannya, begitu pula dalam pernikahan untuk menetukan sah atau tidak
sahnya suatu pernikahan tergantung pada unsur-unsur pembentuk pernikahan itu
sendiri yang telah ditentukan oleh hukum yang dalam hal ini sebagaimana ketentuan
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan suatu perkawinan
adalah sah apabila dillakukan berdasarkan hukum agama masing-masing dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal ini menunjukan unsur-unsur peristiwa
perkawinan tergantung pada hukum agama masing-masing yang akan melaksanakan
perkawinan itu. Oleh karena itu unsur unsur pembentuk suatu peristiwa perkawinan
di Indonesia akan berbeda-beda, untuk ummat Islam harus sesuai dengan ketentuan
Hukum Islam yang dalam hal ini Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan tidak
terdapat larangan hukum sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 39 sampai
dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Suatu perkawinan menurut hukum Islam
adalah sah apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi dengan tanpa harus
memasukan hukum formilnya, dengan batasan tidak terdapat larangan syara’ untuk
melangsungkan perkawinan itu.
Hukum pembuktian dalam suatu peristiwa perkawinan adalah ketentuan
hukum yang berfungsi untuk menegakan hukum materil tentang perkawinan itu,
ketika terjadi persengketaan, keraguan adanya perkawinan atau hal-hal lain yang
memerlukan bukti perkawinan. Oleh karena itu pelanggaran prosudur berpoligami
yang berakibat bermasalah terhadap pencatatan perkawinan tidaklah relepan bila
dinyatakan menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan, sebab prosudur
poligami dan pencatatan perkawinan tidak termasuk unsur-unsur pembentuk
perkawinan itu menurut hukum. Terpenuhinya prosudur poligami sehingga dapat
dilakukan pencatatan perkawinan berkaitan dengan hukum formil tentang
pembuktian untuk mengabadikan peristiwa perkawinan poligami itu. Dengan
demikian pencatatan perkawinan poligami tidak menentukan sah atau tidak sahnya
suatu perkawinan, melainkan dengan pencacatan perkawinan poligami menentukan
terbukti adanya perkawinan atau tidak terbukti adanya. Apabila suatu perkawinan
poligami terdapat cacatan dalam Akta Nikah, maka secara hukum perkawinan
tersebut harus dinyatakan ada, dan sebaliknya apabila perkawinan poligami tidak
tercatat dalam Akta Nikah, maka secara hukum perkawinan tersebut harus
dinyatakan dianggap tidak terbukti adanya dan perkawinan yang demikian tidak
memiliki kekuatan hukum.
Oleh karena itu tidak dicatatnya poligami di bawah tangan, karena tidak
dilakukan sesuai prosudur hukum, dalam hukum Islam tidak mempengaruhi
substansi sah atau tidak sahnya perkawinan poligami itu, pergaulan antara suami
istri dalam perkawinan yang demikian tidak dapat dikatagorikan perzinaan,
demikian pula akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya tidak dapat
11
dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan anak di luar perkawinan,
melainkan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi hukumnya, seperti
akibat pekawinan poligami itu menyebabkan anak-anak yang dilahirkan nasabnya
dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu, demikian pula hak dan kewajiban
orang tua terhadap anak-anak seharusnya berjalan sebagai mana mestinya, di antara
mereka dapat saling mewarisi satu dengan yang lainnya dan apabila anak yang
dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya.
Akan tetapi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak tersebut hanya berlaku
secara natural (alamiyah) saja.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Hukum Islam (syari’at Islam) sesuai karakteristiknya memiliki dimensi almashlahah bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat ummat manusia secara
menyeluruh sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas
untuk melestarikan bumi ini (Al-Qur’an Surat Hud ayat 61)14
Menurut Lahmudin Nasutioan 15 Al-Mashlahah berasal dari Bahasa Arab yang
jamaknya al-mashaalih, merupakan kata sinomin dengan kata manfaat (keuntungan)
dan lawan kata (akronim) dengan mafsadat (kerusakan). Secara majazi, kata
tersebut dapat dipergunakan untuk suatu tindakan yang mengandung manfaat. Kata
manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzah (rasa enak) dan selalu diupayakan
untuk mendapatkan atau mempertahankannya.
Dalam kajian Hukum Islam, mashlahah memiliki pengertian yang khusus
walaupun tidak terlepas dari pengertian aslinya, yaitu Jalb al-manfa’at wa daf’u almadlar artinya menarik manfaat dan menolak kemadaratan.16 Ulama fikih sepakat
bahwa terbentuknya syari’ah (fikih) yang merupakan turunan dari al-Qur’an dan alHadis (wahyu) terkandung tujuan utama yang disebut dengan mashlahah yang
merupakan penjelmaan rahmah Allah terhadap ummat manusia secara umum, agar
dapat menjalani tatanan kehidupannya sebagai mana mestinya dan terhindar dari
segala hal yang merusak tatanan kehidupan itu.
Maashlahah dilihat dari segi objek dan kekuatannya, terdapat tiga macam
mashlahah, yaitu mashlaha dlaruriyah, mashlahah hajjiyah dan mashlahah
tahsiniyah.
Mashlahah dlaruriyah menurut Abu Zahrah disebut juga dengan
mashlahah haqiqiyah adalah mashlahah yang keberadaannya berhubungan langsung
dengan kebutuhan esaensi (pokok/primer) manusia, yaitu yang berhubungan dengan
pemeliharaan dan
perlindungan agama (hafdhu al-diin), pemeliharaan dan
Al-Qur’an Surat Hud ayat 61 “hua ansyaa’akum min al-ardhi wa ista’marakum fiiha”
artinya Dia (Allah) yang menumbuhkembangkan kamu dari bumi, dan kamu diminta untuk
mema’murkan bumi.
15
Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001), halaman 127
16
Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991), halaman 176
14
12
perlindungan jiwa (hafdhu al-nafs), pemeliharaan dan perlindungan akal (hafdhu alaql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan (hidhu al-nasl) , dan pemeliharaan
dan perlindungan harta (hifdhu al-mal).17
Pemeliharaan dan perlindungan agama adalah melindungi seseorang untuk
beragama sesuai dengan kepercayaannya dengan adanya larangan memfitnah dan
melecehkan agama, larangan sesat dari agama yang dianut, larangan menistakan
agama, larangan selalu berbuat anarhis dan berbuat kerusakan.18 pemeliharaan dan
perlindungan terhadap agama sebagai esensi pokok yang diwujudkan dalam bentuk
syari’ah adalah agar ummat manusia tidak melepaskan diri hubungannya dengan
Sang Khalik Allah SWT sebagai hubungan religius transendental. Oleh karena itu
setiap hukum yang dibentuk harus sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung dalam
wahyu baik yang bersifat qauliyah (al-Qur’an), maupun yang bersifa ma’nawiyah
(al-hadis), sebab bila manusia telah melepaskan diri hubungannya dengan Allah
SWT, akan berimplikasi negatif pada kehidupan bermasyarakat secara umum.
Pemeliharaan dan perlindungan terhadap jiwa adalah pemeliharaan dan
perlindungan terhadap segala hak hidup yang layak, yang diantaranya pemeliharaan
dan perlindungan kebebasan berbuat, kebebasan berfikir, kebebasan berbicara,
kebebasan bertempat tinggal dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak
asasi manusia19. Pemeliharaan dan perlindungan terhadap akal adalah memelihara
dan melingdungi akal dari segala hal yang akan berakibat kerusakan akal. Oleh
karena itu Hukum Islam mengharamkan khamr dan segala bentuk narkoba. 20
Pemeliharaan terhadap keturunan adalah pemeliharaan dan perlindungan bagi setiap
anak dengan status yang jelas, harus diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat
yang harus tumbuh dan berkembang disekitar orang tuannya, baik sisi jasmaninya
maupun ruhaninya.21 Untuk menjamin terpeliharaanya keturunan ini dalam hukum
Islam diharamkan melakukan hubungan suami istri diluar ikatan perkawinan, dan
terbentuknya lembaga perkawinan yang disyari’atkan. Dan pemeliharaan dan
perlindungan terhadap harta adalah memelihara dan melindungi harta dari segala
bentuk-bentuk dlalim, pencurian, penipuan dan penghancuran.22
Apabila kepentingan-kepentingan tersebut tidak dipelihara dan tidak
dilindungi oleh hukum, maka tatanan kehidupan manusia akan mengalami ketidak
nyamanan, dan kehancuran, karena unsur-unsur pokok yang membentuk kehidupan
ini telah tidak ada.
Mashlahah hajjiyah adalah mashlahah yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sekunder (tidak esensial) kehidupan manusia manusia, sedangkan
mashlahah tahsiniyat adalah mashlahah yang berhubungan dengan kebutuhan
manusia yang bersifat estetika
17
Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989). halaman 397
Imam Al-Suyuthi, Ibid.
19
Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Bairut: Dar Al-fikr, 198) halaman 278.
20
Abu Zahrah, Ibid. halaman 279
21
Abu Zahrah, Ibid. halaman 280
22
Abu Zahrah, Ibid.
18
13
Suatu ketentuan perundang-undangan atau hukum yang dibentuk berdasarkan
mashlahah, esensinya untuk menciptakan kebaikan, ketertiban, keselamatan dan
kebahagian hidup manusia, atau terhindar dari hal-hal yang dapat merusak tatanan
kehidupan secara umum. Mashlahah dalam hal ini terbagi kepada tiga macam23 yaiu
Mashlahah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang ditunjuk Syara’ baik secara
langsung maupun tidak langsung dan berfungsi sebagai dalil dalam pembentukan
suatu hukum, Mashlahah al-mulgha, yaitu mashlahah yang secara rasional dianggap
baik, akan tetapi tidak diperhatikan dalam nash, dan ada petunjuk nash yang
menolaknya dan Mashlahah al-mursalah, disebut juga dengan istilah al-ishtislah,
yaitu suatu mashlahah yang dipandsang baik oleh akal pikiran, sejalan dengan
tujuan hukum Syara’ dalam menetapkan hukum, akan tetapi tidak ada nash Syara’
yang menunjuknya dan tidak ada pula yang menolaknya.
Mashlahah dalam bentuk yang terakhir adalah salah satu teori yang dapat
dijadikan pijakan dalam mewujudkan kebaikan, yang dibutuhkan manusia agar
terhindar dari kemadaratan yang akan terjadi. Mashlahah mursalah menurut
Wahbah al-Zuhaili 24 adalah beberapa sifat yang melekat (al-mulaimah) pada
tindakan dan selaras dengan tujuan Syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu yang
membenarkannya atau menolaknya. Hukum yang dibangun berdasarkan mashlahah
mursalah ini akan mencapai kemaslahatan yang sejati dan terhindar dari kerusakan.
Sedangkan menurut Muhammad Sa’id al-Ramdan al-Buti yang dikutif Abdul
Manan 25 bahwa hakikat mashlahah al-mursalah adalah setiap manfaat yang
tercakup dalam jiwa syari’ah dengan tanpa ada dalil yang membenarkan atau
membatalkannya. Kemudian Abdul manan menyimpulkan bahwa maslahah
mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, apa yang lebih baik menurut
akal itu juga selaras dan sejalan dengan jiwa syari’ah dalam merekontruksi
bangunan hukum, kebaikan dan keselarasan tersebut tidak terdapat dalil yang
mengakuinya.26
Syari’ah (hukum Islam) dalam bentuk nilai-nilai dasar berdimensi absolut,
abstrak, abadi dan universal, ia bersifat transendental karena bersumber wahyu
ilahiyah, sedangkan syari’ah dalam bentuk asas-asas umum dan asas-asas hukum
praktis yang berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai dasar yang harus
dipertimbangkan dengan norma hukum praktis, baik dalam bentuk fikih maupun
perundang-undangan.27 Syari’ah dalam bentuk berupa peraturan hukum konkrit baik
yang dimuat dalam doktrin hukum (fikih) maupun perundangan yang berlaku dalam
suatu negara tertentu substansinya konkrit, relatif, temporer, dan lokal. Ia bersifat
dinamis logis transendental. Dinamis berimplikasi bahwa norma hukum yang
diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan (elastisitas atau harakah)
23
DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006) halaman 17
24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Bairut Dar al-Fikr al-Muasir, 1986),
halaman 757
25
DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, op.cit. halaman 266
26
Abdul Manan, Ibid, halaman 267.
27
A. Mukti Arto, loc. Cit. halaman 12-13
14
yang tidak berhenti pada suatu titik tertentu, melainkan terus menerus berkembang
sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Terhadap peraturan hukum yang
konkrit ini berlaku kaidah-kaidah hukum “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujuudan
wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkan wa al-azminah, al-hukm
manuuthun bi a-mashlahah al-mu’tabarah” logis berarti hukum tersebut sesuai
dengan kebenaran yang rasional dan transendental berarti hukum itu harus berpijak
pada nilai-nilai dasar syari’ah yang ditetapkan dalam wahyu ilaahi, agar
menghasilkan kebenaran ilaahiyah28
Berdasarkan hal tersebut, maka syari’ah (hukum Islam) memiliki daya
elastisitas dan elaktibilitas yang selalu selaras dengan perkembangan kondisi dan
situasi, baik lokal maupun global.
Perbuatan zina atau persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan di luar ikatan perkawinan adalah perbuatan nista dan tidak dibenarkan
oleh aturan manapun, oleh agama apapun dan oleh negara apapun, walaupun dalam
katagori yang sedikit berbeda. Dalam Islam berpuatan zina dengan segala bentuknya
baik dilakukan suka-sama suka, maupun tidak, dilakukan oleh orang yang belum
berkeluarga maupun telah berkeluarga adalah terlarang dan termasuk perbuatan dosa
besar, bahkan pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
hukuman rajam atau jilid29.
Demikian tegasnya hukum Islam terhadap pelaku zina, karena apabila
perzinaan dibiarkan dan menjadikannya sebagai perbuatan yang biasa dilakukan,
akan berakibat kehidupan manusia yang seharusnya berada pada tatanan kehidupan
terhormat sesuai martabat manusia itu sendiri, dengan merebaknya perzinaan akan
berakibat menghancurkan tatanan kehidupan manusia itu dan akan mengganggu
bangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegana (social socity) 30
apabila perzinaan diperbolehkan dan dibiarkan dalam masyarakat, maka kehidupan
manusia sama saja dengan kehidupan binatang yang bebas dari nilai-nilai. Akibat
28
Ibid, halaman 13
Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, menyatakan fazzina min al-asbaabi alati taqwidhu da’aima alumami wa tuhaddimu majdaha wa tajlibu lahaa al-dzilla wa al-isti’maara li’annahu mu’athilun
linnasli al-qawiy al-shalihi al-mutanaashiri, wa qaatili linnakhwati wa al-syahaamati wa mumayyitu
liljar’ati wa al-syaja’ah wa qaathi’u lirrahmi allati turabbitu baina al-naas wa allati ‘ala
nidhaamiha wa taqdiiriha tbna’ kaafahtu al-rawaabith al-insaniyah min al-ubuwwah wa albunuwwah wa al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah artinya perzinaan adalah merupakan salah satu
sebab robohnya dan hancurnya pondasi bangunan kehidupan ummat manusia dalam bermasyarakat
yang layak dan bermartabat, dengan melegalkan zina akan membawa masyarakat kejurang kehinaan
dan kenistaan, karena dengan perbuatan zina akan menyia-nyiakan keturunannya, sebagai unsur
utama pembentuk masyarakat manusia itu, perzinaan berakibat membunuh semangat dan
kemandirian dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan perzinaan berakibat memutuskan
mata rantai silah al-rahmi (hubungan silaturrahmi) melalui ikatan al-ubuwwah wa al-bunuwwah wa
al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah yang seharusnya terjalin sebagai pengikat antar ummat manusi
dalam membangun hubungan antar satu individu dengan individu yang lain secara menyeluruh. Abd
Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V (Mesir: Al-Maktabah
Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt) halaman 57
30
Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz
II, halaman 52
29
15
lain dari perbuatan zina ini adalah berakibat langsung menelantarkan anak-anak
yang dilahirkannya, sebab seorang laki-laki melakukan hubungan badan dengan
seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dan berakibat melahirkan anak, lakilaki dan perempuan itu tidak terikat hubungan hukum dan demikian pula dengan
anak yang dilahirkannya itu. Oleh karena itu di antara mereka tidak terikat hak dan
kewajiban. Dengan demikian Islam memandang bahwa zina dengan segala
bentuknya adalah merupakan tindak pidana umum yang disyari’atkan untuk
menjaga stabilitas masyarakat dan menghindari kemadaratan yang akan dialami
anak-anak yang dilahirkannya31
Demikian pula hukum Perkawinan merupakan salah satu hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna
menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan
pemeliharaan keturunan yang dilahirkannya, disamping mewujudkan suasana rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam
Q.S. al-Ruum ayat 21, yang artinya ;
• Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
(Qs. Ar-Rum (30) : 21)
Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor
I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991.
Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas
dengan status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
suami isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali
perkawinan yang sah maupun hubungan suami isteri di antara laki-laki dan
perempuan yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah. Untuk kasus yang
pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi bahasan di sini adalah
kasus yang kedua.
Pengertian Anak Di luar Nikah dan Dasar Hukumnya
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang
pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam
hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang
kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana
yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa
anak yang sah adalah :
1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
31
Muhammad Aly Al-Shabuny, ibid halaman 53
16
2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang
tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Di samping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang
laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana
yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam :
• “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.
Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut.
Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang
status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak
yang dilahirkan isterinya). Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam
tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam
satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor
1 Tahun 1974. Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan
tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan
melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya
kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya
oleh suami.
Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan
pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih 32 yang
dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam
pasal-pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ulama fikih
membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari
hubungan suami isteri yang tidak sah.-Hubungan suami isteri yang tidak sah
sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang
32
Lihat Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby
1957) halaman 404, lihat juga Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr,
1984) Juz VII halaman 675
17
yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah
yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut,
dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang
dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah
“anak zina” merupakan istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan
masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk
dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.-Hal tersebut mungkin bertujuan agar
“anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan
masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu
kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk
menunjukan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih
mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
hanya menyatakan “seorang suami dapat menyengkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina”
sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh ulama fikih di atas, adalah istilah “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada
pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya” Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan :
•
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
• Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang
dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak atau janin yang
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan
di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Pendekatan istilah “anak
zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan
pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam
perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua
orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau
kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah
yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di
luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.-Perbedaan
anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :
1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan
melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka,
perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan
melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.
18
• Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
yang rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar pernikahan adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2. Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang
pria atau lebih.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.
4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang
(salah sangka), disangka suami ternyata bukan.
5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan
yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara
sepesusuan.
Angka 4 dan 5 di atas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui
oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya. Sedangkan angka
1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina’
Penetapan Nasab Anak Menurut Fikih.
Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat antara calon
mempeplai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Kekuatan ikatan perkawinan
tersebut yang terikat bukan saja lahiriyahnya saja, melainkan juga terikat
batiniyahnya antar suami istri itu dan antar suami istri dengan masing-masing orang
tuannya. Akibat hukum adanya ikatan perkawinan yang sah menurut hukum,
melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bukan saja antar suami istri itu,
melainkan juga dengan pihak lain yaitu adanya hak-hak yang harus diterima anakanak yang dilahirkannya.
Hak anak yang paling pertama yang dilahirkan dari orang tuannya adalah
hak nasab bagi anak, hak mendapatkan penyusuan, hak mendapatkan pengasuhan,
hak memperloh perwalian, hak menerima biaya hidup dan hak kewarisan.
Nasab Anak-anak Terhadap Orang Tuanya.
Dalam pembahasan tentang nasab anak tersebut terdapat tiga kaidah hukum
yang harus dijadikan patokan, yaitu:
1. Masa kehamilan anak dalam kandungan ibunya batas minimalnya 6 bulan
setelah masa perkawinan.
Pada masa sekarang, dimana kecanggihan teknologi semakin pesat dalam
berbagai bidang ilmu pengatehuan, termasuk dalam bidang ilmu kebidanan yang
mempelajari tentang embriologi dalam kandungan seorang ibu, melalui perhitungan
exsakta janin yang ada dalam kandungan itu dapat diketahui kapan seorang ibu
19
mulai mengandung janin itu dan dapat diketahui pula kapan ibu hamil itu akan
melahirkan anaknya. Dengan ilmu exsakta ini pada masa sekarang akan lebih
meyakinkan pembuktian untuk menghubungan nasab anak kepada kedua orang
tuanya, dari pada diukur dengan ukuran 6 bulan setelah perkawinan, yang dihasilkan
dari kebiasaan-kebiasaan seorang ibu dapat melahirkan. Walaupun demikian kaidah
ini masih dapat digunakan sebagai bukti awal bahwa anak yang dilahirkan kurang
dari 6 bulan setelah masa perkawinannya diduga bukan anak yang dihasilkan dari
perkawinan yang sah menurut hukum dan sebagai bukti yang lengkap dan
meyakinkan dalam hal ini menurut penulis adalah buklti keterangan ahli.
Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan
suami istri yang nyata menurut Mayoritas ulama dan setelah adanya akad
perkawinan menurut ulama al-Hanafiyah 33 , yang dijadikan sandaran ahli hukum
Islam secara mayoritas adalah didasarkan pada hadis “qaala Rasulullah SWA alwalad lilfirasy wa lil’aahir al-hijru” 34 maksud hadis ini menurut Wahbah alZuhaily adalah bahwa seorang anak nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya
hanya dalam perkawinan yang sah, yang dimaksud al-firasy dalam hadis tersebut
adalah seorang perempuan menurut pandangan kebanyakan ulama, adapun
perzinaan tidak dapat dijadikan sebab adanya hubungan nasab antara ayah pezina
dengan anak zinanya, sebab seorang pezina berhak menerima hukuman rajam atau
dilempar dengan batu. Seorang perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy
kecuali perempuan itu memungkinkan dapat melakukan hubungan suami istri.
Adapun batas maksimum seorang ibu mengandung janin, terjadi perbedaan
pendapat menurut Imam Malik selama lima tahun, menurut Imam Syafi’iy selama
empat tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah dua tahun, sesuai yang
dinyatakan ‘Aisyah ra bahwa seorang perempuan hamil tidak melebihi dua tahun.
Muhammad bin al-hakm menjelaskan bahwa seorang perempuan hamil paling lama
satu tahun hijriah dan menurut Dhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari
itu.
Abu Zahrah35 dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan waktu lamanya
hamil seorang ibu, tidak didasarkan pada nash, melainkan berdasarkan kebiasaan
suatu daerah, menurut penelitian yang dilakukan sekarang diperkirkirakan masa
maksimun kehamilan adalah sembilan bulan, ditambah satu bulah untuk kehatihatian menjadi sepuluh bulan, begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini
dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran. Menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929 tentang hukum perkawinan yang berlaku di
Mesir, batas maksimum masa kehamilan adalah satu tahun Masehi atau 365 hari,
penentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi gugatan nafkah iddah dan gugatan
yang berkaitan dengan nasab (hubungan darah) untuk menetapkan hak kewarisan
dan menetapkan wasiat bagi anak yang dikandung itu.
2. Penyebab penetapan nasab dalam akad yang fasid terhadap anak adalah
adanya hubungan sexsual suami istri secara nyata.
33
Wahbah Al-Zuhaily, ibid halaman 676
Hadis ini diriwayatkan al-Jama’ah selain al-Turmudzy
35
Muhammad Abu Zahrah, ibid halaman 452
34
20
Seorang anak dapat dihubungkan nasabnya kepada orang tuanya, bilamana
orang tua tersebut telah melakukan hubungan badan secara nyata dan apabila orang
tua itu belum melakukan hubungan suami istri secara nyata, maka anak tersebut
tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada orang tuanya. Yang dimaksud hubungan
suami istri secara nyata dalam hal ini adalah terjadinya pembuahan ovum (induk
telor) seorang istri oleh spermatozoid suaminya, baik pembuahan itu terjadi dalam
vagina maupun diluar vagina istri, suami istri yang telah melakukan hubungan
badan, kemudian istri mengandung janin dan usia kandungannya berjalan enam
bulan atau lebih, maka anak tersebut nasabnya dihubungkan kepada kedua orang
tuannya. Masa kehamilan tersebut diperhitungkan sejak terjadinya hubungan suami
istri, bukan dari akad perkawinannya, karena penyebab adanya nasab dalam hal ini
adalah adanya hubungan badan.
Adapun akad yang sah menurut hukum, ulama sepakat adalah sebagai
penyebab penetapan nasab anak yang lahir dalam ikatan perkawinannya, dengan
demikian kelahiran anak yang bukan sebagai akibat perkawinan yang sah, baik
dilakukan sebelum adanya perkawinan itu, maupun yang dilahirkan dalam
perkawinan yang pembuahannya terjadi sebeluam adanya perkawinan, maka anak
itu tidak dapat dinasabkan kepada orang tuanya. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa hanya dengan adanya akad perkawinan yang sah saja yang menyebabkan
adanya nasab bagi anak, walaupun suami istri itu setelah akad perkawinan tidak
pernah bertemu, misalnya seorang istri berada di wilayah Timur dan suaminya
berada di wilayah Barat dan pernikahannya itu melalui utusan atau tulisan. Imam
Ahmad, Imam al-Syafi’iy dan Imam Malik berpendapat bahwa seorang anak dapat
ditetapkan nasabnya yang disebabkan akad perkawinan yang sah dan lahir ditengahtengah kehidupan berumah tangga atau dalam iddah, apabila memungkinkan
terjadinya hubungan badan antara suami istri itu, apabila tidak mungkin karena
berjauhan atau sama sekali tidak pernah bertemu, maka nasab anak itu tidak dapat
ditetapkan, pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Imam
Ahmad ra mengisyaratkan dalam riwayat harb, bahwa ia telah menentukan
ketentuan hukum dalam periwayatannya tentang seorang yang menthalak istrinya
sebelum membina rumah tangga, dan istrinya itu melahirkan dan suaminya itu
mengingkari anak tersebut, beliau menyatakan anak itu nasabnya ditiadakan dari
suaminya itu, dengan selain li’an.36
3. Perzinaan tidak berakibat adanya nasab.
Kaidah ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang menyatakan “al-waladu
lilfiraasy wa al-‘ahiir lilhijr artinya anak bagi pemilik tempat tidur (perempuan) dan
pezina harus dihukum rajam37. Karena tetapnya nasab merupakan ni’mah (anugrah),
Abu Zahrah, ibid halaman 453, menurut beliau karena syarat li’an adalah adanya
pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya atau menuduh istrinya berbuat zina, kedua dalil tersebut
tidak ada dalam kasus itu, melainkan dengan lahirnya anak sebelum membina rumah tangga dalam
satu rumah adalah satu-satunya dalil bahwa istrinya itu telah melakukan perbuatan zina.
37
Hadis ini diriwayatkan al-Jama’ah dari Aby Hurairah ra. Redaksi hadis ini dalam riwayat
al-Bukhary adalah al-walad lishahib al-firasy. Ulama al-Syafi’iyah, al-Malikiyah dan al-Hanabilah
menyatakan bahwa yang dimaksud firasy dalam hadis ini adalah nama seorang perempuan, dan
dalam kamus firasy itu adalah istrinya seorang laki-laki (Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, loc.cit. halaman
120.
36
21
sedangkan tindak pidana bukanlah ni’mah melainkan berhak menerima hukuman.
Perzinaan yang tidak berakibat adanya nasab adalah setiap perbuatan melakukan
hubungan badan diluar ikatan perkawinan yang sah, dan tidak termasuk hubungan
badan yang syubhat yang menggugurkan hukuman had, sebab apabila hubungan
badan itu merupakan hubungan badan yang syubhat sehingga menghapuskan sifatsifat tindak pidana atau menggugurkan hukuman had, maka apabila dari hubungan
badan itu melahirkan anak, menurut pendapat yang lebih raajih 38 anak tersebut
dapat ditetapkan nasabnya, akan tetapi apabila seorang menda’wakan (mengangkat)
nasab anak yang dilahirkan seperti kelahiran yang lainnya, walaupun sebenarnya
tidak diketahui nasabnya, maka nasab anak itu dihubungkan terhadap orang itu
dengan syarat tidak disebutkan anak itu sebagai hasil zina, apabila tidak demikian
anak itu tidak dapat ditetapkan nasabnya. Dan nasab yang seperti ini dinamakan
nasab bi al-da’wah (pengakuan nasab anak).39
Madzhab Malikiyah menyatakan penetapan nasab dengan pengakuan, tidak
cukup hanya tidak menyebutkan bahwa anak itu hasil zina, melainkan mesti tidak
diketahui kedustaannya dengan beberapa tanda-tanda, misalnya seoarang anak
temuan dan tidak menjelaskan pengakuan nasabnya secara akal atau ibu dari anak
tersebut adalah istri dari suami yang lain.
Ibnu al-Qasim40 menyatakan apabila anak itu diketahui sebagai anak temuan
atau anak pungut, pengakuan nasab anak tersebut tidak dapat ditetapkan kecuali
dengan bukti-bukti, berbeda dengan seorang perempuan yang mengakui seorang
nasab anak, pernyataan perempuan itu dapat diterima walaupun anak tersebut hasil
zina, karena anak zina nasabnya dihubungkan kepada ibunya.
Kaidah-kaidah tersebut adalah merupakan asas pokok yang berkaitan dengan
ketentuan hukum penetapan nasab anak dalam keadaan yang berbeda-beda, yaitu
adanya anak atau kelahiran anak itu setelah suami istri menjalankan kehidupan
berumah tangganya atau ketika istri menjalankan masa iddah, maupun sebagai
akibat dari hubungan badan yang subhat pada akad perkawinan yang fasid atau yang
lainnya.
Seandainya kelahiran anak itu sebagai akibat hubungan badan yang subhat,
dan anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup, akan tetapi masa kandungannya
kurang dari enam bulan yang dihitung sejak berhubungan badan setelah perkawinan,
maka nasabnya tidak dapat ditetapkan, karena diyakini awal kehamilan istri tersebut
terjadi sebelum melakukan hubungan suami istri. Dan apabila kelahiran anak itu
setelah enam bulan, maka nasab anak itu ditetapkan sebagai anaknya dan
keberadaan anak itu tidak dapat disangkal walaupun dengan cara li’an, karena
terjadinya li’an hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut hukum dan
perempuan itu dinyatakan sebagai istrinya yang sah, sedangkan dalam perkawinan
yang subhat seorang perempuan itu tidak dapat dinyatakan sebagai istri dalam
berbagai keadaan.
38
Pendapat yang lebih rajiih maksudnya pendapat yang dipilih ulama dari segi keuatan
dalilnya.
39
40
Abu Zahrah, ibid
Ibnu Qayyim, I’lam al-Muaqi’in
22
Seorang anak dapat ditetapkan nasabnya sebagai akibat dari perkawinan
yang sah dan masa kelahirannya enam bulan atau lebih setelah perkawinan, harus
memenuhi tiga syarat, Yaitu:
1. Suami memungkinkan dapat menghamili istrinya.
Apabila seorang suami masih anak-anak, dan tidak mungkin dapat
menghamili istrinya, maka anak tersebut tidak dapat ditetapkan nasabnya, karena
keadaan suami yang masih anak-anak adalah merupakan qarinah yang pasti, bahwa
kehamilan istri bukan dari suaminya itu. Ulama sepakat bahwa syarat yang menjadi
dasar adanya berbagai hubungan nasab adalah adanya pembuahan ovum oleh
spermatozoid dari suami yang telah matang, suatu hal yang tidak mungkin anak
lahir dari suami yang masih anak-anak.
2. Tidak ada pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan.
Untuk adanya penetapan nasab anak, tidak terjadi adanya pengingkaran dari
pihak suami terhadap anak yang dilahirkan dengan terjadinya li’an. Seorang suami
yang me-li’an istri dengan cara mengingkari anak yang dilahirkan istrinya dapat
dibenarkan apabila mengingkaran tersebut tidak didahului dengan pengakuan baik
secara tegas maupun tidak secara tegas, sebab penetapan nasab melalui pengakuan
pihak suami, pengakuan itu mengikat suami dan menggugurkan haknya untuk
mengingkari, pengakuan dengan tidak tegas misalnya suami mempersiapkan segala
keperluan yang dibutuhkan untuk kelahiran anaknya dan menerimanya dengan kasih
sayang dan lain sebagainya. Pengakuan secara tegas adalah suami mengakui
kehamilan istrinya itu dari suami tersebut sebelum melahirkan, walaupun masa
kehamilan istrinya kurang dari enam bulan antara pengakuan dan kelahiran, sebab
pengakuan dalam hal ini berlaku bagi anak yang dilahirkan dan menggugurkan
haknya untuk mengingkari.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran anak,
berlaku apabila memenuhi dua syarat, yaitu tidak didahului dengan pengakuan dan
terjadinya li’an. Apabila telah terjadi li’an maka anak tersebut tidak dapat ditetapkan
nasabnya terhadap suami yang mengingkari itu, hal ini sebagaimana telah dijelaskan
dalam li’an.
3. Antara suami istri setelah menikah pernah hidup bersama.
Apabila suami istri setelah akad perkawinannya pernah hidup bersama,
walaupun hanya satu malam, dan setelah itu suaminya, pergi merantau jauh ke luar
daerah, setehun kemudian sumainya baru pulang dan ternyata telah ada anak yang
dilahirkan istrinya, maka dalam hal ini gugur hak suami untuk mengingkari anak
yang dilahirkan istrinya.41
41
Kitab Undang-Undang Hukum Suria Pasal 129 menyatakan seorang anak dapat
dihubungkan nasabnya terhadap orang ayah kandungnya dengan ketentuan :
1. Anak yang dilahirkan setiap istrinya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan dua syarat:
a. Dilahirkan setelah lewat akad perkawinan dengan masa kehamilan batas minimal.
b. Antara suami istri selama ikatan perkawinannya pernah hidup bersama sebagai suami istri
atau suami istri itu tidak pernah berpisah selama kehamilan istrinya dengan batas maksimal.
2. Apabila syarat-syarat pada ayat 1 tidak terpenuhi, maka nasab anak itu tidak dapat dihubungkan
terhadap suaminya, kecuali adanya pengakuan dari suaminya.
23
Penetapan Nasab Anak Dalam Masa Iddah
Seorang istri yang sedang menjalankan masa iddah kemudian melahirkan
anak, masa kandungannya kurang dari enam bulan dari perkawinannya, maka anak
tersebut tidak dapat dihubungkan nasabnya kecuali dengan pengangkatan anak,
karena anak itu telah menjelma sebagai janin sebelum enam bulan dari
perkawinannya, hal ini menunjukan bahwa kehamilan perempuan tersebut terjadi
sebelum perkawinan, akan tetapi sah dihubungkan nasabnya dengan pengakuan
anak, sebagaimana anak yang tidak diketahui nasabnya, dengan syarat anak itu
jelas-jelas bukan hasil zina, sebagaimana menurut Madzhab Abu Hanifah.
Ketentuan tersebut juga berlaku dalam kasus seorang perempuan melahirkan, masa
kehamilannya kurang dari enam bulan sejak melakukan hubungan suami istri dalam
pernikahan yang fasid atau pada hubungan suami istri yang syubhat, karena
kehamilan tersebut sebelum adanya nasab.
Apabila kelahiran anak tersebut setelah enam bulan atau lebih ketentuan
hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan masa iddah.
Seorang istri yang sedang menjalankan masa iddah dari thalak dengan tiga
kali sucian, apabila menurut pengakuannya telah selesai masa iddahnya dan terlihat
tidak dalam keadaan hamil, setelah itu ternyata perempuan tersebut melahirkan
anak, apabila masa kehamilannya kurang dari enam bulan sejak adanya pengakuan,
maka nasab anak tersebut ditetapkan kepadanya, karena adanya kedustaan pada
pengakuannya dengan meyakinkan, karena jelas ketika dia menyatakaan
pengakuannya sedang ia dalam keadaan hamil dan apabila masa kehamilannya
enam bulan atau lebih sejak adanya pengakuan, maka anak itu tidak dapat
ditetapkan nasabnya, karena tidak dapat dipastikan dustanya, karena pengakuan
dapat dijadikan bukti sebelum dapat dibuktikan keduastaannya, dan bukti tersebut
tidak ada.
Dan apabila perempuan tersebut tidak mengakui telah selesai masa
iddahnya, dan thalaknya termasuk thalak ba’in, ternyata setelah itu melahirkan anak
dengan batasan waktu lebih dari dua tahun setelah jatuh thalak, maka anak itu tidak
dapat ditetapkan nasabnya, karena batas maksimal kehamilan adalah selama dua
tahun, maka apabila melebihi dua tahun dan ketika perempuan itu dijatuhi thalak
tidak dalam keadaan hamil berdasarkan keyakinan, maka anak tersebut tidak dapat
ditetapkan nasbnya kedapa mantan suami yang menthalaknya itu. Pada ketentuan
perundang-undangan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 menyatakan gugatan tentang
status anak atau asal usul anak dari seorang perempuan yang sedang menjalankan
masa iddah, baik iddah wafat maupun iddah thalak, bila kelahiran anak itu melebihi
dua tahun Masehi atau sama dengan 395 hari, maka gugatan seperti ini harus
dinyatakan ditolak. Aturan ini berdasarkan penelitian ilmu kebidanan yang
menyatakan janin tidak mungkin ada dalam kandungan ibunya melebihi dua tahun
lamanya.
Dan apabila seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah thalak
raj’iy, kemudian ternyata melahirkan seorang anak, maka nasab anaknya dapat
3.
Apabila kedua syarat sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas terpenuhi, nasab anak terhadap
suaminya melekat dan tidak dapat diingkari kecuali dengan cara li’an.
24
ditetapkan kepada kedua orang tuanya, kapan saja kelahiran anak itu, selagi
iddahnya tidak berpindah menjadi iddah dengan bulan, hal ini disebabkan pada
masa iddah tersebut suami dapat meruju’nya kembali kapan saja jika dikehendaki
dankarena thalak raj’iy tidak menghilangkan kepemilikan atas ikatan
perkawinannya.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak dapat
dihubungkan nasabnya terhadap orang tuanya harus terpenuhi tiga aspek secara
komulatif, yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, bukan
hasil dari hubungan badan di luar ikatan perkawinan (zina), suami istri telah
melakukan hubungan badan secara nyata dan anak tersebut berada dalam kandungan
ibunya minimal 6 bulan, terhimpunya ketiga aspek tersebut juga disyaratkan suami
memungkinkan dapat menghamili istrinya, antara suami sitri telah pernah hidup
bersama dalam satu ranjang dan suami tidak pernah mengingkari anak yang
dilahirkannya. Dengan demikian apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka
seorang anak nasabnya tidak dapat dihubungkan terhadap suami dari ibunya itu.
Teori-teori fikih yang dikemukakan ulama tersebut menunjukan bahwa
adanya ikatan nasab 42 antara orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya,
melahirkan doktrin hukum yang berbeda-beda, tergantung pada keadaan ikatan
perkawinannya, kelahiran anak itu masih dalam ikatan perkawinan yang masih utuh
atau ketika istri menjalani masa iddah atau disebabkan hubungan badan yang
syubhat dalam akad yang dinyatakan fasid atau yang lainnya. Oleh karena itu yang
menjadi kaidah umum adanya ikatan nasab antara anak dengan orang tuanya
(ayahnya) adalah adanya ikatan perkawinan yang sah dan diukur dari masa
kehamilan ibunya minimal 6 bulan setelah adanya akad perkawinan dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum, atau istri telah selesai menjalankan masa
iddah raj’iy, dan masa kehamilannya kurang dari 6 bulan yang dihitung mulai dari
selesai masa iddah, atau istri selesai menjalankan masa iddah thalak ba’in dengan
masa kehamilan kurang dari enam bulan, kecuali akad perkawinannya menjadi
fasid, maka adanya ikatan nasab didasarkan pada adanya hubungan badan secara
nyata dan kehamilan istrinya lebih dari 6 bulan setelah hubungan badan itu. Dari
kaidah umum ini melahirkan konsekwensi bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan yang tidak ada ikatan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya,
maka anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.
Dan oleh karena itu ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat universal.
Kemudian persoalan yang timbul adalah, apakah ketentuan tersebut
bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) ?.
42
Nasab adalah terminologi fikih yang melambangkan ikatan antara an ak dengan orang tua
atau orang tua dengan anak secara timbal balik (hubungan perdata yang disebabkan kelahiran dalam
ikatan perkawinan.
25
Norma-norma hukum yang dimuat pada UUD 45 tersebut harus dibaca
sesuai kronologisnya, Pasal 28 B ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pasal 28 B ayat (2) menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” dan Pasal 28 D ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Ketentuan ketentuan tersebut yang menjadi kata kunci adalah “melalui
perkawinan yang sah” sebagaimana terdapat pada Pasal 28 B ayat (1) UUD 45,
yang dimaksud perkawinan yang sah disini harus dibaca sesuai ketentuan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Norma dasar ini menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk
mendapatkan keturunan yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari
perkawinan yang sah menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak
untuk mendapatkan keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang
perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo. Oleh karena itu
pula menurut UUD 45 ini keturunan (baca anak) yang sah adalah keturunan yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan
keturunan yang sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan
tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo). Pasal 28 B ayat (2) UUD 45 adalah
turunan dari ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukan hak-hak anak yang
merupakan kewajiban orangtuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula negara
berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan
diskriminasi. Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) menunjukan kewajiban negara terhadap
setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Setiap orang dalam ayat ini kaitannya dengan anak adalah setiap anak baik
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun yang dilahirkan di luar
perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak terlantar yang asal usulnya tidak
diketahui atau tidinggalkan orang tuanya atau anak yang dibuang oleh ibunya,
walaupun setatus dan identitas diantara mereka berbeda-beda.
Ketentuan tersebut bila diterapkan dalam kasus misalnya A (perempuan)
dan B (laki-laki), sebelum adanya ikatan perkawinan, mereka pernah berkumpul
dalam satu ranjang, sehingga A melahirkan anak C, setelah itu A dan B menikah
dan setahun setelah menikah lahirlah anak yang kedua D. Dengan demikian A dan B
memiliki dua anak C dan D, C sebagai anak yang lahir di luar perkawinan (hasil
kumpul kebo) dan D sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah. C dan D
sebagai anak yang statatusnya berbeda menurut hukum karena penyebab
kelahirannya berbeda, C hanya memiliki hubungan nasab dengan A sebagai ibunya,
sedangkan hubungannya dengan B hanya sebagai ayah biologis, bukan ayah yang
sah secara hukum oleh karena itu menurut UUD 45 B tidak memiliki hak untuk
mengakui C sebagai anaknya, sedangkan D memiliki hubungan nasab baik dengan
A sebagai ibunya maupun dengan B sebagai ayahnya. Membedakan setatus C dan D
26
dihadapan hukum bukanlah perlakukan diskriminasi, melainkan adanya dua
peristiwa hukum yang berbeda yang mengharuskan statusnya berbeda, walaupun C
dan D statusnya berbeda, kedua-duanya oleh negara harus diperlakukan sama.
Apabila status C dan D status nasabnya disamakan, maka persamaan status ini akan
bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) UUD 45 sebagaimana tersebut di atas,
sebab seorang diberikan hak oleh hukum untuk mendapatkan keturunan “hanya”
melalui perkawinan yang sah, arti kebalikan (mafhum mukhalafah) dari pasal ini
adalah seorang tidak diberikan hak untuk mendapatkan keturunan dari hubungan
badan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang
sah.
Dari penelaahan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, selain sejalan dengan teori
fikih, juga sejalan atau paling tidak, tidak bertentangan dengan UUD 1945
khususnya Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1), nampaknya
kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bertentangan dengan UUD
1945, karena menutup hak anak yang lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan
perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya43.
Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubngan perdata dengan keluarga ayahnya”44
Tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tersebut sebagaimana yang dikutif A. Mukti Arto45 adalah:
1. Memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya
yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi hubungan hukum,
sehingga memilki akibat hukum.
2. Memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak baik terhadap ayahnya
dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.
3. Memberi perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang dilahirkan meskipun
perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.
4. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya dan
keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
5. Menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal custady) memelihara
setiap anak yang dilahirkan dari darahnya.
43
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 halaman 36
Putusan MK ibid halaman 37
45
A. Mukti Arto, loc.cit. halaman 5-6
44
27
6. Melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak
dan tanggung jawab satu sama lain.
7. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.
8. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan
dan biaya penghidupan, perlindungan dan lain sebagainya dari ayahnya
sebagaimana mestinya.
9. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas
tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal
menyebabkan lahirnya anak, mereka tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab tersebut.
Tujuan-tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat (1) tersebut terlihat
sangat erat kaitannya dengan hifdhu al-nasl yang merupakan salah satu tujuan
pokok dari lembaga hukum perkawinan dalam hukum Islam. Oleh karena itu untuk
meraih tujuan-tujuan itu dapat diraih secara benar dan pasti, bukanlah dengan
merombak Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut, melaikan dengan cara me-review
Undang-Undang Perkawinan secara keseluruhan yang selama ini dirasakan madul
dan tidak tegas serta tidak memberikan sanksi apapun terhadap orang yang
melanggarnya. Selain itu tujuan-tujuan tersebut tidak secara jelas menunjuk pada
keadaan anak yang di atur dalam Pasal 43 ayat (1) itu, karena substansi yang diatur
dalam pasal ini adalah tentang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan atau anak
yang lahir dari seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan dengan
laki-laki yang menghamilinya. Sedangkan kasus yang menjadi dasar permohonan
yudisial review ini adalah kasuk anak Moerdiono dari istri sirinya yang bernama Hj.
Aisyah Mokhtar. Kasus anak Moerdiono ini tidak dapat dikatagorikan anak di luar
perkawinan sebagaimana yang ditunjuk Pasal 43 tersebut, melainkan anak yang
lahir dari perkawinan poligami di bawah tangan sebagaimana telah di jelaskan di
atas.
Agar kasus ini tidak terulang, maka pasal-pasal tentang prosudur poligami
dalam undang-undang perkawinan tersebut perlu ditinjau ulang, yang sebenarnya
kasus-kasus seperti ini sangat banyak terjadi di masyarakat, hanya saja mereka tidak
mempermasalahkannya dan atau tidak keberatan atas poligami tersebut, kehidupan
diantara mereka tetap berlangsung dengan damai, hak dan kewajiban di antara
mereka berjalan sebagai mana lazimnya.
Apabila orentasi perombakan pasal ini ditujukan terhadap legalisasi nasab
anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah, maka implikasi negatifnya
akan lebih dominan dari pada manfaat jaminan terhadap anak yang akan di raih.
Implikasi negatif dalam contoh kasus di atas, tidak akan terlihat, karena ibu dan
ayah biologis dari anak itu telah bersatu dalam ikatan perkawinan, akan tetapi pada
kasus-kasus yang lain akan terlihat dengan jelas, misalnya A (istri) dan B (suami) di
anatara mereka telah terjalin ikatan perkawinan dan telah memilik dua orang anak,
yaitu C dan D, di pihak lain E (istri) dan F (suami) juga telah terjalin ikatan
perkawinan dan telah memiliki dua orang anak, yaitu G dan H. Secara diam-diam F
dan A menjalin hubungan intim sampai melakukan hubungan badan dan kemudian
A melahirkan satu orang anak dari F yang bernama I, demikian pula B dan E
28
menjalin hubungan intim sampai melakukan hubungan badan dan E melahirkan
seorang anak dari B yang bernama J, yang berarti I adalah anak dari ibunya A yang
ayahnya F, berarti orang tua I itu adalah A dan F yang tidak memiliki hubungan
ikatan perkawinan, demikian pula orang tua J adalah B dan E yang tidak memiliki
hubungan ikatan perkawinan. Yang berarti dua keluarga ini akan membentuk empat
keluarga secara silang. Masalah lain misalnya A (istri) B (suami) telah terikat
perkawinan akan tetapi tidak memiliki anak, kerena B mandul, di pihak lain C (istri)
dan D (suami) telah terikat perkawinan akan tetapi juga tidak memiliki anak, karena
C mandul. Agar kedua keluarga ini sama-sama memiliki anak, maka terjadi kerja
sama antara A dan D dengan melakukan hubungan badan, kemudian A melahirkan
anak tiga orang yaitu E, F dan G, ketiga anak ini adalah anak silang yang dilahirkan
A bukan dari suaminya, ayahnya adalah D yang tidak dilahirkan dari istrinya.
Tatanan kehidupan pembentukan keluarga seperti ini pernah berlaku pada zaman
jahiliyah dengan melegalisasikan nasab anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan yang dihamili seorang laki-laki yang tidak memiliki hubungan ikatan
perkawinan yang kemudian dibatalkan oleh Islam 46 hal-hal yang demikian akan
berakibat pencemaran lembaga hukum perkawinan itu sendiri, mengacaukan silsilah
keturunan, tidak terjamin adanya ketertiban umum dan akan melenyapkan sendisendi tatanan kehidupan manusia yang layak dan bermartabat.
Mukti Arto, menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu
dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat
dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun
tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan ulama alHanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan hubungan
mahram47
Argumentasi tersebut, tidak sesuai dengan teori fikih yang dibangun ulama
terdahulu, karena hubungan mahram antara dua orang terdapat tiga penyebab, yaitu
adanya hubungan badan (mushaharah), adanya hubungan nasab dan adanya
hubungan sesusuan48
Muhammad Abu Zahrah49 menjelaskan perempuan-perempuan yang haram
dinikahi untuk selama-lamanya adalah melalui tiga sebab, yaitu disebabkan adanya
hubungan kekerabatan (nasab), disebabkan adanya hubungan mushaharah dan
disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Yang dimaksud adanya hubungan
mushaharah adalah istri-istri orang tua dan seterusnya ke atas, istri-istri dari anak
cucu (keturunan), orang tua (para leluhur) dari istrinya dan anak cucu dari istri.
Mukti Arto, menyatakan bahwa Abu Hanifah menafsirkan nikah yang
dimuat dalam Surat al-Nisa ayat 22 dengan hubungan badan. Penafsiran yang
demikian berakibat siapa saja perempuan yang telah disetubuhi orang tua baik
dalam ikatan perkawinan, maupun di luar ikatan perkawinan adalah diharamkan
untuk dinikahi oleh anaknya. Kebanyakan ulama mufassirin mengartikan an
nakaaha dalam ayat itu adalah al-‘aqd ay nikaahu abaa’ikum al-faasid al-mukhalifu
46
Lihat Wahbah Al-Zuhaily, loc.cit halaman 675
Mukti Arto, loc. Cit. Halaman 15 yang dikutif dari Putusan MK halaman 35
48
Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Op. Cit. Halaman 132
49
Muhammad Abu Zahrah, loc. Cit. Halaman 71-83
47
29
lidiinillah artinya akad ya’ni ikatan perkawinan ayah kamu yang fasiid yang
bertentangan dengan agama Allah (Islam). 50 Demikian pula pengertian kalimat
dakhaltum dalam Surat al-Nisa ayat 23: wa rabaa’ibukun allati fi hujuurikum min
nisaa’ikum alllati dakhaltuim bihinna. Pengertian dakhaltum dalam ayat ini adalah
ada sebagian ulama yang menduga syarat keharaman mushaharah dalam hal ini
adalah hubungan badan baik yang dilakukan dengan istri-istrinya maupun dengan
anak-anak tiri dari istrinya itu secara bersamaan. Penafsiran ini adalah penafsiran
yang berasal dari khilasun dari ‘Aly bin Aby Thalib. Ibnu ‘Abas Jabir dan Zaid bin
Tsabit, dan Mujaahid menyatakan hubungan badan pada kedua tempat itu
(maksudnya istri dan anak). Jumhur Mufassirin menafsirkan ayat ini dengan tafsir
yang berbeda yaitu dengan pengertian nikah yang sah, dan menurut Imam Syafi’iy
keharaman mereka itu disebabkan adanya akad perkawinan yang sah, keharaman
dalam ayat tersebut tidak sampai mengharamkan yang halal. 51
Mukti Arto 52 menegaskan bahwa analog dengan pendapat Abu Hanifah
tersebut, maka hubungan darah menjadi dasar adanya hubungan perdata, yaitu
hubungan nasab, hubungan mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan
kewarisan dan hubungan perwalian. Dengan demikian menurut Mukti Arto hanya
dengan hubungan badan menjadikan dasar adanya hubungan keperdataan, yaitu
adanya hubungan nasab dan seterusnya.. padahal ayat al-Qur’an yang dibicarakan
tersebut di atas, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama, bertemakan
mengenai hubungan mahram sebagai akibat adanya al-mushaharah, suatu hal yang
tidak relevan akibat adanya al-mushaharah menjadi dasar adanya hubungan nasab.
Tidak dimuat dalam teori fikih seorang yang karena adanya hubungan mushaharah,
misalnya antara ibu tiri dengan anak tirinya, atau seorang menantu dengan ibu
mertuanya, menjadikan mereka memiliki hubungan nasab, sehingga di antara
mereka saling mewarisi.
Kemudian Mukti Arto, mengutif ayat al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 45-48,
dan berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut, Mukti Arto berkesimpulan bahwa dengan
adanya hubungan darah akan berakibat menimbulkan hubungan hukum 53
kesimpulan ini adalah kesimpulan yang kurang tepat, sebab pada ayat ini tidak
membicarakan hubungan darah menjadi penyebab adanya hubungan hukum,
melainkan Allah mengkhabarkan tentang kekuasaan-Nya yang berhubungan dengan
asal penciptaan atau asal kejadian manusia, kemudian manusia itu akan
dikembalikannya lagi seperti sedia kala.54
Nilai-nilai yang dimuat hukum Islam yang bersifat universal dan berlaku
global adalah nilai-nilai yang dapat diterima oleh semua pihak, karena nilai-nilai itu
berkaitan dengan prinsif hidup dan kehidupan secara menyeluruh demi menjunjung
Lihat Al-Qurthuby, Al-Jamii’ Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985) Juz V
halaman 103
51
Al-Qurthuby ibid halaman 106
52
Mukti Arto, loc. Cit. Halaman 16
53
Mukti Arti, ibid halaman 17
54
Ibnu Katsiir, menjelaskan bahwa Allah Kuasa menciptakan pasangan laki-laki dan
perempuan yang berasal dari air mani, kemudian dia meninggal dunia, setelah ia menyatu menjadi
tanah, Allah Kuasa mengembalikannya seperti dalam keadaan semula, Ibnu Kasiir Tafsiir Al-Qur;an
Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa Mathba’ah Toko Futra, tt) Juz VI halaman 259
50
30
tinggi harkat dan martabat manusia dimanapun dan kapanpun berada, ia tidak akan
terpengaruh oleh apapun juga, tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi, tidak
terpengaruh oleh keragaman budaya, ia tidak terpengaruh dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di antara nilai-nilai yang berkaitan dengan nasab anak
adalah prilaku prostitusti, kumpul kebo, atau sex bebas tidak dapat dibenarkan oleh
aturan manapun, karena prilaku itu adalah pergaulan tanpa ikatan secara sah
menurut hukum, oleh karena itu segala akibat dari pergaulan itu menjadi bebas nilai
hukum, kedua belah pihak sebagai pelaku tidak akan berakibat adanya hak dan
kewajiban, demikian pula terhadap sederetan akibat yang ditimbulkannya secara
logis akan bebas nilai hukum pula, tidak akan pernah ada hak dan kewajiban.
Apabila dibiarkan tetap terjadi seperti ini, maka apabedanya pergaulan kehidupan
manusia ini dengan pergaulan dalam kehidupan binatang. Perampasan hak
kepemilikan sebidang kebun orang lain tidak akan dibenarkan oleh aturan manapun,
karena perampasan ini adalah pengalihan hak kepemilikan dengan tanpa adanya
perikatan yang sah menurut hukum. Oleh karena itu segala tanaman yang dihasilkan
dari kebun itu, tidak akan pernah menjadi milik perampas walaupun benihnya milik
perampas sendiri.
Akibat adanya hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah
biologisnya yang di lahirkan di luar perkawinan, yang menurut putusan Mahkamah
Konstitusi diberlakukan secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan,
sebagai akibat perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat
perkawinan poligami di bawah tangan, memilki akibat hukum lahirnya hak dan
kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik 55 . Yang
berkaitan dengan hak-hak anak menurut hukum adalah :
1. Hak Atas Nafkah56.
Oleh karena status anak tersebut menurut hukum yang dimuat pada putusan
MK mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
ayah dan keluarga ayahnya, maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak
tersebut adalah ayahnya dan keluarga ayahnya. Baik sebagai ayah yang memiliki
itakan perkawinan yang sah dengan ibunya maupun ayah/bapak alami (genetik),
kewajiban tersebut adalah kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak.
Karena anak dalam hal ini tidak berbeda dengan anak sah. Dengan demikian
terhadap anak, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti
nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai
dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum
Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan. Apabila ayah dan
ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah
kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal
105 huruf © dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
55
Putusan MK halaman 35
Yang dimaksud nafkah dalam hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan, biaya
kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang
kelangsungan dan perkembangan anak sampai dewasa atau mandiri, sesuai Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.
56
31
Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi yang
merombak ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada
dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang
melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan
kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut
sebagai ayahnya” pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan yang mendasar
bahwa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang kemudian
melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan
tanggung jawabnya sebagai ayah biologisnya, dengan demikian setelah ketentuan
pasal tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk
mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.
Seandainya putusan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan persoalan
pertanggungjawaban nafkah, menurut penulis sifatnya kasuistik dan akan sejalan
dengan logika hukum Islam, sebab masalah nafkah yang diperlukan untuk
menunjang kehidupan anak, tidak ansih terkait dengan orang yang ada kaitannya
dengan hubungan nasab, seperti apabila anak tersebut diangkat anak oleh orang
lain, maka kewajiban nafkah akan beralih kepada ayah angkatnya, walaupun pada
dasarnya pokok kewajiban itu dibebankan kepada orang yang terkait dengan
hubungan nasab. Maka bila orentasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
bertujuan seperti itu, menurut penulis dapat diterima, akan tetapi langkah terbaik
bukanlah me-review pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang
mebebankan tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang menyebabkan anak lahir di
luar perkawinan. Dengan penambahan ayat ini Mahkamah Konstitusi akan terlihat
lebih bijak dan tidak akan mengundang polemik kontropersi yang berkepanjangan
dalam masyarakat.
2. Hak Perwalian.
Eksistensi wali dalam perkawinan sesuai ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal
20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam :


Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
Kemudian pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wali
nikah terdiri dari dua kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa orang-orang yang
berhak menjadi wali adalah ayah yang memilki hubungan nasab dengan anak
perempuannya, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah sesuai Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974, atau dengan kata lain anak
perempuan itu lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki dalam
ikatan perkawinan yang sah. Ketentuan pasal ini melahirkan kaidah hukum bahwa
32
adanya hubungan hukum (nasab) antara seorang anak dengan kedua orang tuanya
dan menyebabkan adanya hak wali terhadap ayahnya adalah disebabkan adanya
ikatan perkawinan yang sah57 dan anak itu lahir dalam ikatan perkawinanya. Dengan
demikian kelahiran anak selain yang ditentukan dalam aturan tersebut tidak
memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat hukum ayah dalam
kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam perkawinan anak
perempuannya, dan hak perwalian anaknya itu berada pada wali hakim.
Karena Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak di-review oleh Mahkamah
Konstitusi, maka ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku
dan mengikat semua pihak. Oleh karena itu Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1Tahun
1974 yang telah di-review, menjadi anak di luar perkawinan memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu dan ayahnya.
Hubungan perdata dimaksud kecuali dalam hal wali nikah, yang berhak menjadi
wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan adalah wali hakim.
3. Hak Kewarisan.
Kaidah umum yang berlaku dalam hukum kewarisan Islam yang berkaitan
dengan kualifikasi orang sebagai ahli waris yang disepakati ulama adalah orang
yang memiliki hubungan nasabiyah (hubungan hukum keperdataan yang
disebabkan kelahiran dari perkawinan yang sah), hubungan zaujiyah (perkawinan)
dan hubungan al-wala (pelepasan status seseorang dari perbudakan). Berkaitan
dengan hak kewarisan anak dari ayahnya adalah anak yang memiliki hubungan
nasab dengan ayahnya. Oleh karena itu yang dimaksud anak dalam hubungan
kewarisan adalah anak yang ditunjuk dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974
sebagaimana telah dijelaskan tersebut di atas, termasuk di dalamnya anak yang lahir
dalam ikatan perkawinan yang sah dan keabsahannya di akui oleh hukum karena
dilakukan sesuai prosudur hukum, maupun dalam ikatan perkawinan yang sah tapi
keabsahannya tidak diakui oleh hukum karena perkawinannya tidak memenuhi
prosudur hukum, sepanjang keberadaannya tidak ada pihak lain yang keberatan.
Dengan demikian ketentuan Pasla 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
telah di-review oleh Mahkamah Konstitusi menjadi anak di luar perkawinan
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu
dan ayahnya. Hubungan perdata dimaksud juga dikecualikan dalam hak kewarisan.
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan-pembahasan tersebut, penulis dapat mencatat beberapa
kesimpulan, yaitu:
57
Ikatan perkawinan yang sah dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilakukan sesuai hukum masingmasing agamanya, bagi orang Islam harus sesuai dengan hukum Islam. Oleh karena itu ayah yang
berhak menjadi wali dalam kajian ini adalah ayah yang terikat hubungan perkawinan dengan ibu
yang melahirkan anaknya itu, baik perkawinannya itu memenuhi prosudur hukum yang dalam
perkawinan monogami dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan dalam perkawinan poligami
mendapatkan izin dari pengadilan kemudian dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, maupun tidak
memenuhi prosudur hukum seperti dalam perkawinan monogami di bawah tangan atau perkawinan
poligami di bawah tangan.
33
1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon yang
mengandung cacat hukum. Kasus yang didalilkan Pemohon adalah kasus anak
yang lahir sebagai akibat dari poligami di bawah tangan yang menurut hukum
yang berlaku masih dimungkinkan mendapatkan jaminan hukum, sedangkan
yang dimohonkan adalah me-review ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status hukum
anak yang lahir di luar perkawinan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi menganalogikan anak yang lahir sebagai akibat
dari poligami di bawah tangan dengan anak yang lahir di luar perkawinan,
padahal kedua status anak ini berada pada dua substansi yang berlainan menurut
hukum.
3. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, substansinya tidak bertentangan dan atau
sebenarnya sejalan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 juga sejalan dengan Syari’at Islam.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan terutama dengan Pasal 28 B ayat
(1) UUD 45 dan bertentangan dengan Syari’at Islam. Oleh karena itu putusan
MK ini akan mengundang polemik dalam masyarakat muslim yang
berkepanjangan.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi melahirkan ketentuan normatif yang tidak
mendorong untuk terciptanya suasana masyarakat yang tertib dan ta’at hukum,
melainkan berupaya melegalisasikan suatu akibat dari perbuatan yang
melanggar hukum.
6. Pasal 43 ayat (1) yang telah di-review oleh putusam Makhama Konstitusi hanya
berlaku dalam hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah
biologisnya, selain hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan
selain hubungan keperdataan dalam kewarisan.
IV DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V
(Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt) halaman 57
Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991), halaman 176
Aby Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-‘Anshary Al-Qurthuby, Al-Jamii’
Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985) Juz V halaman 103
Al-Imam Al-Jaliil Al-Hafidh Imaad Al-Din Aby Al-Fidaa’ Ismaa’il bin Katsir (Ibnu
Kasiir) Tafsiir Al-Qur;an Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa
Mathba’ah Toko Futra, tt) Juz VI halaman 259
DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984)
Juz VII halaman 675
DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984)
Juz VII halaman 675
DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) halaman 17
34
Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989). halaman
397
Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’I,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), halaman 127
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby
1957) halaman 404.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Bairut: Dar Al-fikr, 198) halaman 278.
Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min AlQur’an, Juz II, halaman 52.
Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUUVIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43
UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon
Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium
PTA Ambon) halaman 1
Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontenporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006) halaman 33-37.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Download