TELAAH HUKUM ISLAM INDONESIA TERHADAP NASAB ANAK

advertisement
TELAAH HUKUM ISLAM INDONESIA
TERHADAP NASAB ANAK
Sakirman
STAIN Jurai Siwo Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Kampus Kota Metro Lampung
E-mail: [email protected]
Abstract: The classical scholars of jurisprudence agreed that
nasab child has only nasab relationship to his parents, nasab
determination is one of the most important rights of a child
and is something that a lot of impact on the child's
personality and future. Fiqh scholars say that the concept
nasab is one solid foundation in building a domestic life that
can bind between individuals based on the unity of blood. In
Indonesia Islamic law, the problem of the origin of the child,
there are several different legal provisions. It is influenced by
a plurality of the nation, especially in terms of religion and
customs, the applicable law is varied. There are laws, ie
Islamic law (fiqh) formulated in a fixed rule the Islamic Law
Compilation (KHI).
Abstrak: Para ulama klasik sepakat bahwa nasab anak hanya
mempunyai hubungan kepada orangtuanya, penentuan
nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang
terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan
dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak. Ulama
fiqih mengatakan bahwa konsep nasab merupakan salah satu
fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah
tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan
kesatuan darah. Dalam hukum Islam Indonesia, masalah asal
usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda.
Hal ini dipengaruhi oleh pluralitas bangsa, utamanya dari segi
agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang
berlaku pun bervariasi. terdapat hukum yang berlaku, yaitu
hukum Islam (fiqh) yang diformulasikan dalam sebuah aturan
baku yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kata Kunci:
nasab, anak luar nikah, perkawinan, hukum Islam, fiqh, KHI
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
PENDAHULUAN
Kedudukan nasab anak sah dan tidak sah sampai saat ini
masih menjadi kontroversi. Pandangan mainstream
mengatakan bahwa konsep agama tentang anak sah telah jelas,
yaitu ketika telah memenuhi dua syarat: pertama, adanya
ikatan perkawinan yang sah,1 dan kedua, adanya masa minimal
kehamilan, yaitu 6 bulan.2 Sedangkan dalam Hukum Indonesia,
baik dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), mendefinisikan anak
yang sah sebagai anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.3 Tentu saja ketentuan ini
menimbulkan kegelisahan dan keberatan di kalangan ahli
hukum Islam Indonesia. Salah satunya adalah yang
dikemukakan Ahmad Rofiq, bahwa formulasi pasal tentang
anak sah akan membawa implikasi ganda yang lebih
1
Agama telah mensyariatkan pernikahan, yang salah satu tujuannya
adalah untuk melahirkan keturunan (Q.S. an-Nisa, [4]: 1, Q.S. as-Syura, [42]:
11). Agama juga melarang perbuatan zina dan menyebutkannya sebagai
perbuatan keji dan mungkar (Q.S. al-Isra, [17]: 32), Pelakunya dianggap
sebagai orang yang melampaui batas (QS. Al-Mu’minun, [23]: 5-7) dan
baginya dikenakan sanksi baik fisik (Q.S. an-Nur, [24]: 2), maupun moral
(Q.S. an-Nur, [24]: 3). Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk
melahirkan generasi atau keturunan (reproduksi). Mengenai tujuan
pensyariatan pernikahan. Lihat: Khoirudin Nasution, Hukum Perdata
(Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan dan Materi & Status perempuan
dalam Perundang-Undangan Perkawinan Muslim, (Yogyakarta:
ACADEMIA+TAZZAFA, 2009), h. 223-231. Bandingkan pula dengan Wahbah
az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus: Dār al-Fikr,
1989), h. 31.
2
Ketentuan ini merupakan hasil perhitungan dengan berdasarkan
Alquran, yaitu Q.S. al-Ahqaf, (46): 15 yang menyatakan bahwa masa
kehamilan dan menyusui adalah 30 bulan dan Q.S. Luqman, (31): 14 yang
menyatakan bahwa masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan.
Pernyataan masa menyusui 2 tahun ini juga disebutkan dalam QS. alBaqarah, (2): 233. Dari ketiga ayat ini dipahami bahwa masa minimal
kehamilan adalah enam bulan.
3
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 dan KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Pasal 99, ayat (1)
358
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
cenderung berat sebelah dan lebih besar dampak negatifnya.
Definisi anak sah dalam rumusan hukum yang tertulis dalam
KHI dan Undang-Undang Perkawinan mengandung pengertian
bahwa seorang anak yang lahir dapat dikatakan sah apabila (1)
lahir “dalam” perkawinan sah; atau (2) lahir sebagai “akibat”
perkawinan sah. Pada poin pertama mengandung dua
kemungkinan, Pertama, setelah terjadi akad perkawinan, istri
hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah,
istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan
setelah akad nikah. Sudah tentu pada kemungkinan kedua,
mengandung unsur penyelewengan terhadap konsep nasab
yang telah ditetapkan dalam Islam. Terlebih dalam pasal lain
disebutkan mengenai kawin hamil, yaitu Pasal 53 KHI, yang
dianggap sebagai pasal pengabsahan anak.4
Persoalan menjadi bertambah kompleks seiring dengan
realitas zaman yang terus berubah. Arus globalisasi pada
berbagai aspek kehidupan manusia telah membuka sekat-sekat
budaya masyarakat dunia antar satu dengan lainnya. Kemajuan
teknologi dan kebebasan informasi membawa implikasi, baik
positif maupun negatif. Secara umum, positifnya adalah
sebagai alat atau sarana untuk mempermudah manusia dalam
mencapai berbagai tujuan hidup. Sedangkan negatifnya adalah
semakin melonggarnya batasan moral yang selama ini menjadi
pegangan masyarakat sehingga semakin terkikisnya nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri.
Kaitannya dengan permasalahan di atas, hubungan
seksual pra-nikah dan perselingkuhan, sebagaimana dikatakan
Rofiq, menjadi “kebiasaan salah” yang dianggap “biasa”.5
Dampak lebih jauh dari perbuatan tersebut adalah lahirnya
anak luar nikah. Kehadiran anak yang tidak diinginkan ini
4
Lihat Ahmad Rofiq, “Menyoal Keabsahan Anak dalam Formulasi
Hukum Islam di Indonesia”, dalam pengantar Musthofa Rahman, Anak luar
Nikah, status dan implikasi hukumnya, (Jakarta: Atmaja, 2003), h. 11-15.
5
Ibid., h. 13
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
359
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
memunculkan fakta sosial lain yang lebih mengenaskan; kasus
pembuangan dan penelantaran anak/bayi sering ditemukan di
pemberitaan media, cetak maupun elektronik.
Persoalan lain yang muncul adalah implikasi hukum dan
sosial yang melekat pada anak tersebut.6 Anak-anak hasil
hubungan yang tidak sah seringkali turut menanggung akibat
dari perbuatan kedua orang tuanya. Pelabelan negatif dan
diskriminatif, seperti sebutan ”anak haram”, ”anak jadah”,
”anak zina”, ”anak tidak sah”, ”anak semak-semak”, dan lainlain seringkali melekat pada dirinya.
Berbagai persoalan di atas perlu diurai secara detail untuk
menemukan solusi pemecahannya. Begitu luas dan kompleknya
pembahasan, tentu saja tidak cukup hanya dalam beberapa
lembar tulisan. Karena itu, tulisan ini hendak menjelaskan
status dan kedudukan anak luar nikah serta implikasi
hukumnya dengan membandingkan konsep fiqh klasik dan
hukum Islam Indonesia serta persoalan-persoalan yang
melingkupinya.
KONSEP NASAB DALAM FIQH KLASIK
Dalam literatur fiqh, konsep anak atau keturunan
disebutkan dengan istilah nasab. Term nasab diartikan dengan
hubungan pertalian keluarga.7 Amir Syarifuddin mengartikan
6
Ulama fiqh telah mengidentifikasi hak-hak anak tersebut setidaknya
dalam enam hal, yaitu: [1] nasab (an-nasab); [2] menyusui (ar-raḍā’ah); [3]
pemeliharaan (al-haḍānah); [4] perwalian/perlindungan (al-wilāyah); dan
[5] nafkah (an-nafaqah). Lihat: Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa
Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), h. 671. Sang anak juga
mendapatkan [6] hak sebagai ahli waris ( al-irts). Hak-hak tersebut
bertujuan agar setiap anak mendapatkan jaminan kelangsungan hidupnya
sehingga ia dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera. (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 3).
7
Anwar A Qodri, Islamic Jurisprudence in The Modern World,
(Lahore: Premier Book House, 1973), h. 424.
360
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
nasab sebagai hubungan kekerabatan secara hukum.8 Dari
seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisan
menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang
berlaku di masyarakat.9 Bentuk kekeluargaan berpokok
pangkal pada sistem keturunan. Apabila ditinjau dari segi
antropologi, ada beberapa macam sistem keturunan, yaitu:
- Sistem bilateral/parental, yaitu memperhitungkan
hubungan-hubungan kekerabatan baik melalui laki-laki
maupun perempuan.
- Sistem patrilineal, yaitu memperhitungkan hubunganhubungan kekeluargaan melalui laki-laki saja. Oleh
karena itu mengakibatkan bahwa setiap warga
masyarakat memperhitungkan semua kerabat ayahnya
dalam batas hubungan kekeluargaan.
- Sistem matrilineal, yaitu memperhatikan hubunganhubungan kekeluargaan melalui perempuan saja.
- Sistem bilineal atau dubbel-unilateral, yaitu yang
memperhitungkan hubungan kekeluargaan melalui lakilaki saja untuk sejumlah hak kewajiban tertentu, dan
demikian pula perempuan.10
Menurut Hazairin, Islam dengan mengacu pada Alquran
dan Sunnah menganut sistem bilateral/parental. Selanjutnya
Ulama Fiqh menjadikannya lebih cenderung patrilineal. 11
Senada dengan pendapat di atas, berkaitan dengan konsep
8
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hokum
Islam kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 198
9
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur`an, (Jakarta:
Tintamas, 1982), h.11.
10
Hazairin menyebutkan hanya tiga sistem keturunan, yaitu bilateral,
patrilineal, dan matrilineal. Sedangkan tambahan bilineal atau dubbel
unilateral adalah menurut Koentjaraningrat. Lebih jelas lihat: Hazairin, ibid,
h. 11-13 dan Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antroplogi Sosial, (Jakarta:
Dian Rakyat, 1976), h. 26.
11
Hazairin, Hukum Kewarisan..., h.26.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
361
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
nasab, Ziba Mir Hosseini menyatakan bahwa seorang anak
mengambil nasab dari kedua belah pihak (ayah dan ibu), akan
tetapi penghubungan nasab kepada bapak lebih dominan
daripada kepada ibu. Dalam semua madzhab hukum Islam,
makna paling utama dari nasab adalah menyangkut sisi bapak,
yang erat kaitannya dengan legitimasi di mana anak
memeroleh identitas hukum dan agamanya.12 Berdasar kedua
pendapat di atas, tentu saja pembahasan nasab dalam fiqh
klasik sebagaimana yang akan dijelaskan lebih mengarah pada
sistem patrilineal.
Namun sebelum itu, penting kiranya untuk
mengetengahkan pandangan lain, yaitu hasil kajian Khalil
Abdul Karim mengenai historisitas kehormatan nasab.
Menurutnya, nasab dalam Islam, merupakan warisan tradisi
masyarakat Arab pra Islam yang patriarkal, yang karenanya
meniscayakan dua hal. Pertama, bapak adalah poros tali
kekerabatan dalam keluarga. Anak mengikuti garis keturunan
ayah dan keluarga ayahnya. Kedua, Ibu dan anggota keluarga
lainnya dianggap sebagai orang asing baginya.13
Karim mengemukakan kasus Quṣai bin Kilāb bin Murrah
(kakek buyut Nabi Muhammad). Ibunya adalah Fatimah binti
Sa’d bin Sail. Sepeninggal ayahnya, sang Ibu menikah lagi
dengan Rabī’ah bin Harram. Rabī’ah lalu memboyong
keduanya ke banī Adzrah. Namun Quṣai kemudian kembali lagi
ke Makkah, tempat tinggal keluarga ayahnya (Kilāb bin
Murrah) sebagai konsekwensi tradisi yang menetapkan
seorang anak harus mengikuti garis keturunan ayahnya.14
Ziba Mir Hosseini, Perkawinan dalam Kontroversi Dua Madzhab:
Kajian Hukum Keluarga dalam Islam, terj. Marriage and Trial: a Study of
Islamic Family Law, (Jakarta: ICIP, 2005), h. 168.
12
13
Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, Terj.
Kamran As’ad, (Yogyakarta: LKIS, 2003), h. 77.
14
Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, Terj.
Kamran As’ad, (Yogyakarta: LKIS, 2003), h. 77.
362
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
Karim juga mendasarkan pendapatnya pada teks
Alquran, yaitu Q.S. al-Ahzab (33): 5 dan Hadits Nabi yang berisi
ancaman bagi orang yang menasabkan pada selain ayahnya.
Nasab sedemikian penting. Tindak kriminal dalam Fiqh Islam
berkaitan dengan nasab dikenal dengan istilah qażaf (menuduh
zina), yang berarti mengingkari nasab seseorang. Hukuman
bagi qāżif (penuduh zina) sangat berat (sebagaimana
disebutkan dalam QS. An-Nur, [24]: 4), yaitu hukuman primer
berupa 80 cambukan, dan hukuman subsider berupa
ketertolakan kesaksiannya seumur hidup dan sang qāżif dicap
sebagai fāsiq.15 Sedangkan tuduhan selain pada perbuatan zina,
meskipun merupakan tindakan dosa besar, tidak berimplikasi
ancaman penjatuhan hukuman bagi penuduh.
Nasab dalam konsep fiqh klasik sebagaimana dijelaskan
di atas, lebih cenderung kepada system patrilineal. Wahbah azZuhailī menyatakan bahwa nasab adalah suatu pondasi yang
kokoh bagi bangunan keluarga, yang berdasarkan kesatuan
darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari
yang lain. Seorang anak adalah bagian dari ayahnya dan
seorang ayah adalah bagian dari anaknya.16 Secara lebih rinci,
nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai
hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak,
kakek, ibu, nenek dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan
seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, dan lainlain).17 Dengan kata lain, nasab berarti pengakuan secara syar’i
bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya
sehingga sang anak menjadi salah seorang anggota
keluarganya dan dengan demikian sang anak berhak
mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.
Khalil, Syariah: Sejarah..., h.81-82
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Jilid 7,
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), h. 673
17
Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 2337.
15
16
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
363
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
Sedemikian pentingnya konsep nasab ini, Islam melarang
para ayah untuk mengingkari nasab anaknya, seperti juga
mengharamkan para ibu untuk menisbatkan anaknya kepada
selain ayah kandungnya. Pelarangan berlaku pula bagi para
anak untuk menisbatkan dirinya pada orang yang bukan ayah
kandungnya sendiri.
Hal tersebut ditegaskan dalam Alquran Surat al-Ahzab
(33) ayat 4-5 yang artinya:
.......dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anakanak
kandungmu
(sendiri).
Yang
demikian
itu
hanyalah
perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya,
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anakanak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,
itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun
lagi maha penyayang.
Ayat ini turun ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk merevisi tradisi masyarakat Arab saat itu. Yaitu ketika
beliau mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin
Haritsah. Kemudian orang-orang menyebutnya Zaid bin
Muhammad. Karena itu, Nabi dengan keras menyatakan:
“Barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah
kandungnya padahal ia mengetahui (bahwa itu bukanlah ayah
kandungnya), maka diharamkan baginya surge”.
SEBAB-SEBAB PENENTUAN NASAB
Nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan
kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan
dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan
364
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
berdasarkan akad nikah maupun tidak18. Sedangkan penetapan
nasab seorang anak kepada ayahnya, terjadi bisa melalui
pernikahan yang sah, pernikahan fāsid, atau wāṭi’syubhāt.
Amir Syarifuddin menyebutkan “kalau nasab kepada ibunya
bersifat alamiah, maka (nasab) anak kepada ayah adalah
hubungan hukum; yaitu terjadinya peristiwa hukum
sebelumnya, dalam hal ini adalah perkawinan”19. Karena itu,
Islam tidak mengakui anak hasil zina sebagai yang bernasab
kepada laki-laki yang menzinahinya atau suami dari ibu sang
anak tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “anak-anak
yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang
melahirkan anak itu) dan bagi pezina adalah rajam”.
Berikut ini penjelasan mengenai sebab-sebab penentuan
nasab.
- Melalui Pernikahan Sah
Para fuqaha menyepakati bahwa anak yang dilahirkan
dari seorang perempuan menikah dengan akad yang sah
dinasabkan kepada suaminya (ayah sang anak). Untuk hal ini
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut: Pertama, suami telahmatang secara biologis (bāligh).
Kedua, usia janin yang dikandung adalah minimal enam bulan
sejak akad perkawinan. Pendapat ini adalah menurut Madzhab
Hanafi. Sedangkan menurut ulama selain Hanafi, masa minimal
enam bulan terhitung mulai terjadinya persetubuhan suami
istri tersebut. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka
anak itu tidak dapat dinasabkan kepada suami sang
perempuan. Ketiga, adanya pertemuan antara suami istri
tersebut setelah akad nikah. Kalangan Hanafiyah menganggap
cukup
pertemuan
dengan
berdasarkan
imaginasi
(membayangkan) dan akal. Mereka berpendapat bahwa ketika
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Damaskus: Dār
al-Fikr, 1989, h. 675
19
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum
Islam kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 198
18
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
365
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
memungkinkan pertemuan suami istri itu secara akal maka
anak yang dilahirkan minimal enam bulan setelah akad,
dinasabkan kepada suami, bahkan meskipun tidak terjadi
pertemuan secara langsung. Pendapat ini menurut az-Zuhailī
adalah bentuk konsistensi mereka dalam mengamalkan hadits
“al-waladu lil firāsy” meskipun tidak terjadi kemungkinan
persetubuhan antara suami istri tersebut. Hal ini merupakan
bentuk perhatian terhadap anak agar tidak terjadi
penelantaran terhadapnya dan juga untuk menjaga nama baik
serta menutup kemungkinan terjadinya persoalan atas anak
tersebut. Kalaupun memang sang suami yakin kalau anak
tersebut bukan anaknya, maka ia bisa melakukan li‘ān (sumpah
pengingkaran atas anak)20. Tentu saja pendapat ini ditolak oleh
tiga madzhab yang lain. Mereka berpendapat bahwa
pertemuan itu harus jelas secara lahiriyah dan memungkinkan
terjadinya persetubuhan suami istri tersebut.
- Nasab yang ditetapkan Melalui Pernikahan Fāsid
Pernikahan fāsid adalah pernikahan yang dilangsungkan
dalam keadaan tidak memenuhi/cacat syarat sahnya. Misalnya
menikahi perempuan yang dalam masa ‘iddah. Para ahli fiqh
sepakat bahwa penetapan nasab anak yang lahir dalam
pernikahan fāsid sama dengan penetapan nasab anak dalam
pernikahan yang sah, dengan syarat: Pertama, suami punya
kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang
bāligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa
menyebabkan
isterinya
tidak
hamil.
Kedua,
adanyapersetubuhan suami istri. Ketiga, anak dilahirkan dalam
waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya persetubuhan.
- Nasab yang disebabkan karena Wāṭi Syubhat
Wāṭisyubhat adalah terjadinya persetubuhan antara lakilaki dan perempuan karena kesalahan, misalnya dalam
keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyetubuhi
Wahbah az-Zuḥailī, al-Fiqh..., h. 682-683
20
366
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
seorang perempuan di dalam kamarnya yang menurut
keyakinannya adalah istrinya. Jawād al-Mughniyah
menyebutkannya dengan seorang laki-laki menggauli
seseorang perempuan yang haram atasnya karena tidak tahu
dengan keharaman itu21. Dalam kasus seperti ini, jika
perempuan itu hamil dan melahirkan setelah enam bulan sejak
terjadinya persetubuhan tersebut dan sebelum masa maksimal
kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada lakilaki yang menyetubuhinya. Akan tetapi jika anak itu lahir
setelah masa maksimal masa kehamilan maka anak itu tidak
dapat dinasabkan kepada laki-laki tersebut.
Demikianlah ketentuan nasab anak dalam fiqh klasik.
Secara gamblangnya bahwa setiap anak yang dilahirkan dengan
memenuhi ketentuan yang telah dijelaskan di atas adalah
dinasabkan kepada ayahnya. Selain itu, ia hanya dinasabkan
kepada ibunya dan keluarga ibu22. Dampak dari nasab ini adalah
terjadinya hubungan kekerabatan, berlakunya ketentuan
mahram (larangan pernikahan dengan mahram), dan
ketentuan-ketentuan lainnya seperti, pemberian nafkah,
perwalian, dan pewarisan.
KONSEP ANAK DALAM HUKUM INDONESIA
Konsep anak sah dan tidak sah sebenarnya tidak dikenal
dalam fiqh. Bagaimana pun juga, anak merupakan anugerah
dan amanah Allah yang harus dipenuhi hak-hak dasarnya.
Namun, secara umum, konsep anak sah dan tidak sah ini
merujuk pada konsep nasab dalam Islam (sebagaimana telah
dijelaskan). Persoalannya adalah ketika aturan ini
Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-aḥwal asy-Syakhṣīyah ‘alā alMaẓāhib al-Khamsah, (Bairut: Dār al-Islāmī li al-Malāyin, 1964), h. 79.
21
22
Pendapat ini adalah pendapat fiqh Sunni. Sedangkan dalam
pemahaman ulama Syiah, anak zina tidak mempunyai hubungan nasab
dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa
mewarisi keduanya. Lihat: Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2000), h. 220.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
367
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
diformulasikan menjadi Hukum
menggunakan bahasa Indonesia.23
ala
Indonesia
dengan
Hukum Indonesia yang mengatur tentang status anak
tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan (Bab IX Kedudukan Anak, Pasal 42 dan 43) dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Bab XIV Pemeliharaan Anak,
Pasal 99 dan 100).
Redaksi pasal-pasalnya adalah sebagai berikut.
UU No. 1 tahun 1974
KHI (Inpres No. 1 tahun 1991)
Pasal 42
Pasal 99
Anak yang sah adalah anak yang
Anak yang sah adalah:
dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
(1) Anak yang dilahirkan dalam
atau akibat perkawinan yang
sah;
(2) Hasil perbuatan suami isteri
yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 43
Pasal 100
(1) Anak yang dilahirkan di luar
Anak yang lahir di luar perkawinan
perkawinan
hanya
mempunyai
hanya mempunyai hubungan
hubungan perdata dengan ibunya
nasab dengan ibunya dan keluarga
dan keluarga ibunya.
ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1)
di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
23
Sebenarnya persoalan bahasa/teks
terjadi pada seluruh
bahasa/teks di dunia. Demikian juga dengan bahasa Indonesia, terlebih
ketika ia telah dibakukan dalam bahasa hukum.
368
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
Secara redaksional, kedua aturan di atas yang
mendefinisikan anak sah (pasal 42 Undang-Undang Perkawinan
dan pasal 99 KHI) adalah sama. Bedanya dalam KHI terdapat
penambahan ayat, yang tentunya ini merupakan pembaharuan
hukum dalam mengantisipasi penemuan teknologi bayi tabung.
Demikian juga dalam pasal selanjutnya dari kedua aturan
tersebut mengenai anak luar perkawinan. Substansinya sama,
hanya saja KHI memakai kata ‘nasab’ dan Undang-Undang
perkawinan menggunakan kata ‘hubungan perdata’.
Secara substansial, rumusan hukum keduanya merujuk
pada konsep nasab dalam Islam. Bahwa nasab anak kepada ayah
dan ibunya harus berdasarkan perkawinan yang sah dan jika
ada anak yang lahir tidak berdasarkan perkawinan sah maka
nasab anak tersebut hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya.
Meskipun demikian, terdapat celah yang menimbulkan
perdebatan di kalangan umat Islam Indonesia. Perdebatan ini
disebabkan tiga hal, yaitu: Pertama, tidak diakomodirnya masa
minimal kehamilan;24Kedua, penggunaan kata ‘dalam’ pada
rumusan pasal tersebut.25Ketiga, penggunaan kata ‘anak yang
lahir di luar perkawinan’ dalam pasal 42 Undang-Undang
Perkawinan dan Pasal 100 KHI.
Definisi anak sah dalam rumusan hukum yang tertulis
dalam KHI dan Undang-Undang Perkawinan mengandung
pengertian bahwa seorang anak yang lahir dapat dikatakan sah
24
Beberapa kalangan menyatakan bahwa formulasi pasal tentang
anak, baik dalam UU Perkawinan dan KHI masih sangat dipengaruhi oleh
hukum adat yang termaktub dalam Burgerllijk Wetboek (BW) Pasal 250
KUH Perdata Bab XII, yang mengatakan: “anak yang dilahirkan atau
dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya”.
Berkenaan dengan pasal ini, HFA Vollmar, menyatakan: anak sah ialah anak
yang dilahirkan atau dibenihkan di dalam perkawinan (meskipun hal itu
berlangsung dalam waktu yang terlalu amat pendek sesudah prkawinan
dilangsungkan). Lihat HVA Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj.
IS Adiwinarta, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 21.
25
Redaksi yang dimaksud : Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan ‘dalam’ atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
369
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
apabila (1) lahir “dalam” perkawinan sah; atau (2) lahir sebagai
“akibat” perkawinan sah. Pada poin pertama mengandung dua
kemungkinan, Pertama, setelah terjadi akad perkawinan, istri
hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah,
istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan
setelah akad nikah. Sudah tentu pada kemungkinan kedua
mengandung unsur penyelewengan terhadap konsep nasab
yang telah ditetapkan dalam Islam. Terlebih dalam pasal lain
disebutkan mengenai kawin hamil, yaitu Pasal 53 KHI, yang
dianggap sebagai pasal pengabsahan anak.26
Selanjutnya rumusan KHI yang menyebutkan “anak yang
lahir di luar perkawinan” mengandung makna yang tidak tepat.
Anak yang lahir di luar perkawinan itu berbeda dengan anak
luar nikah. Anak yang konsepsinya terjadi setelah pernikahan
ayah ibunya dan lahir di luar perkawinan karena ibunya
bercerai atau suaminya meninggal dunia sebelum usia
maksimal kehamilan itu termasuk anak sah. Sedangkan anak
luar nikah adalah anak zina,27 yang hanya dinasabkan kepada
ibunya dan keluarga ibu.28
Demikianlah konsep hukum Islam Indonesia mengenai
konsep anak yang bagi sebagian kalangan ahli hukum Islam
26
Bunyi Pasal 53 KHI adalah sebagai berikut: (1) Seorang wanita hamil
di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilnya.
(2)Perkawinan dengan wanita yang disebut pada ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahirannya anaknya. (3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
27
KUH Perdata mengklasifikasikan anak luar nikah menjadi tiga
macam, yaitu: (1) anak alam, yaitu pelaku zina sama-sama belum menikah
dan tidak ada larangan untuk menikah. (2) anak zina, yaitu pelaku zina
atau salah satunya sedang dalam ikatan perkawinan. (3) anak sumbang,
yaitu pelaku zina masih ada hubungan darah sehingga dilarang untuk
menikah. Yang pertama dapat disahkan melalui perkawinan keduanya.
Sedangkan anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan
dengan ayahdan ibunya. lihat KUH Perdata Pasal 288.
28
Musthofa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi
Hukumnya, (Jakarta: Atmaja, 2003), h. 66-67.
370
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
Indonesia dianggap belum sepenuhnya sejalan dengan konsep
Islam. Sehingga dalam perspektif filosofi hukum, formulasi
pasal mengenai anak ini belum mampu menjalankan dua
fungsinya, yaitu sebagai social engineering dan social control.29
Berkenaan dengan hal ini, saya akan kutip pernyataan Ahmad
Rofiq:
..... Dalam fungsi pertama, tampaknya klausul pasal 42 UU No. 1/1974
dan pasal 99 KHI, memerlukan reformulasi ulang. Karena harus
dikalkulasi secara matang dampak negatif yang timbul, utamanya
bagi anak-anak muda yang cenderung pragmatis. .....
Dalam
perspektif hukum sebagai kontrol sosial, maka klausul tersebut,
tampaknya menjadi tidak efektif. Karena justru membuka peluang
terjadinya kebebasan untuk melakukan hubungan seksual, toh pada
akhirnya jika lahir anak, secara hukum status anak tetap diakui
sebagai anak sah.30
Selanjutnya, Rofiq menyarankan agar lembaga legislatif
meninjau ulang dan mereformulasikannya dengan klausul yang
memilki semangat etik dan futuristik bagi pembangunan
generasi muda dan keluarga yang berkualitas31.
PERLINDUNGAN ANAK LUAR NIKAH
Anak luar nikah menjadi kelompok yang sangat rentan
dan membutuhkan perhatian khusus. Sepanjang hidupnya,
mereka dipaksa untuk menanggung dosa kedua orang tuanya,
dan mereka pun mendapatkan pelabelan negatif dari
masyarakat. Padahal kelahirannya bukanlah pilihan mereka.
Bagi mereka, kelahiran adalah suatu yang given. Mereka tidak
bisa memilih dalam keluarga mana mereka akan dilahirkan.
Sedangkan dalam ajaran agama, setiap anak dilahirkan dalam
29
Hal ini dinyatakan oleh Ahmad Rofiq dalam memberikan kata
pengantar buku Musthofa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi
Hukumnya, (Jakarta: Atmaja, 2003), h. 14.
30
Ahmad Rofiq, “Menyoal Keabsahan Anak Dalam Formulasi Hukum
Islam di Indonesia”, kata pengantar buku Musthofa Rahman, h. 14.
Ibid.
31
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
371
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
keadaan suci dan tidak menanggung dosa akibat perbuatan
kedua orang tuanya.
Berkaitan dengan nasib anak luar nikah, Musdah Mulia
menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak yang sama,
(sebagaimana yang disebutkan dalam catatan kaki no. 6), tanpa
memandang apakah orang tuanya menikah atau tidak menikah,
apakah perkawinan mereka dicatat atau tidak dicatat, hal itu
sama saja.32 Keadilan dan perlindungan hukum harus diberikan
kepada semua anak tanpa memandang dan membedakan status
pernikahan orang tua mereka.
Upaya perlindungan dan penegakan hak-hak anak dapat
dikatakan berhasil-sebagaimana yang ditegaskan Musdah
Mulia-, apabila: pertama, masyarakat semakin memahami dan
menyadari akan hak-hak anak, tanpa ada diskriminasi; kedua,
adanya kepekaan dan pemihakan terhadap hak-hak anak pada
setiap kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang, seperti
hukum, ekonomi, politik, dan sosial; dan ketiga, adanya
kesadaran kolektif yang meletakkan prinsip kepentingan yang
terbaik bagi anak (the best for the children).33
KESIMPULAN
Kegelisahan ahli hukum Islam tentang klausul anak,
upaya reformulasi menjadi sangat penting. Perumusan
hukumnya harus memilki semangat etik dan futuristik
sehingga fungsi dari penerapan hukum ini dapat dijalankan.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam upaya ini.
Pertama: Dalam perumusan klausul hukum mengenai
anak, perlu merespon perubahan dan perkembangan yang ada,
baik berupa kemajuan teknologi maupun perubahan sosial.
Sebagaimana KHI yang telah menambah klausul tentang anak
sah dari penemuan teknologi bayi tabung. Namun, kemajuan
Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru
Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005), h. 424.
33
Ibid. h. 426.
32
372
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
teknologi harus dilihat unsur maslahah dan mafsadatnya, dan
tentunya tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Dewasa ini, manusia sudah menemukan teknologi/metode tes
DNA untuk membuktikan hubungan darah seseorang.
Penemuan metode tes DNA menjadi alat untuk mempermudah
kita dalam penentuan nasab seseorang.
Kedua: Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang
perlindungan anak No. 23 tahun 2002. Karena itu, dalam
reformulasi klausul tentang anak harus benar-benar
memperhatikan hak-hak sang anak. Beberapa istilah yang
mengandung atau mengakibatkan diskriminasi terhadap anak,
seperti labelisasi anak sah dan tidak sah perlu dihapus. Negara
dalam hal ini harus menjamin perlindungan dan kesejahteraan
semua anak yang dilahirkan karena mereka nantinya yang
akan menjadi generasi penerus bangsa. Demikian juga dalam
Islam, anak adalah amanah yang harus dijaga dengan baik dan
dipenuhi hak-haknya sebagai manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Engels, Frederick., Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan
Negara, terj. Vidi, Jakarta: Kalyanamitra, 2004.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur`an,
Jakarta: Tintamas, 1982.
-------------, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas,
1982.
Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Hosseini, Ziba Mir., Perkawinan dalam Kontroversi
Dua
Madzhab: Kajian Hukum Keluarga dalam Islam, terj.
Marriage and Trial: a Study of Islamic Family Law,
Jakarta: ICIP, 2005.
INPRES No. 1 Tahun 1991
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
373
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
Kamil, Ahmad. dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan
pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2008.
Abdul., Syariah: Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaan, Terj. Kamran As’ad, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Karim,
Khalil
Kasāny, al-.al-Badā’i al-Sanāi fā al-Tartābī al-Syarā’i, Beirut:
Dār al-Fikr, tt.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antroplogi Sosial, Jakarta:
Dian Rakyat, 1976.
Mughniyah, Muhammad Jawadal-, al-aḥwāl asy-Syakhṣiyah ‘alā
al-Mażāhib al-khamsah, Bairut: Dār al-Islāmā li alMalāyin, 1964.
Mulia, Siti Musdah., Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru
Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.
Muzarie, Mukhlisin., Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil,
Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2002.
Nasution, Khoirudin., Hukum Perdata (Keluarga) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di
Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan dan
Materi & Status perempuan dalam Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA,
2009.
Qodri, Anwar A., Islamic Jurisprudence in The Modern World,
Lahore: Premier Book House, 1973.
Rahman, Musthofa., Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi
Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2000.
Rofiq, Ahmad, “Menyoal Keabsahan Anak Dalam Formulasi
Hukum Islam di Indonesia”, dalam kata pengantar buku
Musthofa Rahman, Anak Luar Nikah; Status dan Implikasi
Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003.
374
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Sakirman, Telaah Hukum Islam...
Rusyd, Ibn., Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, Juz
2,Beirut: Dār el-Fikr, tt.
Schacht, Joseph., An Introduction to Islamic Law, Oxford: The
Clarendon Press, 1964.
Syarifuddin, Amir., Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting
hokum Islam kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
Tim Redaksi Tanwīrul Afkār Ma’had Aly PP. Salafiyah Sukorejo
Situbondo, Fiqh Rakyat, Pertautan Fiqh dengan
Kekuasaan, Yogyakarta: LKIS, 2000.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Vollmar, HVA., Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS
Adiwinarta, Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Zuhailī, Wahbah al-., al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Juz 7,
Damaskus: Dār al-Fikr, 1989.
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
375
Vol. 12, No. 2, Desember 2015: 357-375
376
Hunafa: Jurnal Studia Islamika
Download