3.3.1 Islam Memelihara Nasab 3.3.2 Ayah Tidak

advertisement
Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak
3.3.1 Islam Memelihara Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih
hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai
pelanjut dan lambang keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik
maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari
hatinya.
Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab,
sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal
siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang
berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena
itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu,
tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari
seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang
dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.26
3.3.2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang
seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap
nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik
terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh
mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak
baik yang mendatang.
Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat
dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam
tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut
keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut
keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan
identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih
dikenal dengan nama li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah
membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang
anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke
pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat)
antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan
dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan
nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah,
bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat
kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang
berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya
(perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada
ibunya.
3.3.3 Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di
tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan
berasal dari keturunannya sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang
menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil
anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian
diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan
satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang
diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab,
sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah
sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam
salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk
diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah
kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada
Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai
ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan
diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali
bekas hamba yang memeluk Islam.
3.3.3.1 Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?
Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan
terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan
keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih
sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah
yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara
perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang
mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya
merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas
hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan
api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya
serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang
demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata
dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka
(anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika
kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama
dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak
menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu
adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."
Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan
kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun.
Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak
dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan
tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.
Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk
perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak
angkat jiwa kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaankeistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek
maupun kejiwaannya.
Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya
tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang
sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi
penyebab mendapat warisan. Bahkan al-Quran mengatakan:
"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah." (alAnfal: 75)
Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara
perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan
bekas isteri anak angkat.
Firman Allah:
"Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri." (an-Nisa': 24)
Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas isteri anak angkatnya, karena
perempuan tersebut pada hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah
kalau dia mengawininya apabila telah dicerai oleh suaminya.
3.3.3.2 Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah
Dihapusnya dengan Perkataan
Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan
masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam
kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh
perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan
omongan dan sekaligus dengan praktek.
Hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai
pelakunya, untuk menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap
keberatan orang mu'min tentang dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak
angkatnya; dan supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang
dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan
Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu
goncang dan Zaid sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya,
sedang Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan
wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempoh-tempoh
sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia
katakan kepada Zaid: "Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada Allah!"
Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu
beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna
menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang mengharamkan
seseorang mengawini bekas isteri anak angkatnya yang pada hakikatnya dia adalah orang
asing itu. Maka berfirmanlah Allah:
"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah
dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah
untukmu isterimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam
hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang
lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab,
kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang
mu'min tentang bolehnya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu
telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana." (al-Ahzab: 37)
Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam
perbuatan ini dan memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena
perbuatannya itu. Maka berkatalah al-Quran:
"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah
kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab
perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang
menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan tidak takut kepada
siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah
Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah
dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (alAhzab: 38-40)
3.3.3.3 Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara
Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak
kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan
kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas
bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.
Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada
hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah
memungut seorang anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai
anaknya sendiri baik tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh
dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya
sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan
padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya
akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w.
dalam hadisnya:
"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk
jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu
Daud dan Tarmizi)
Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti
ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk
memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia
bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia
dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat
dalam batas sepertiga pusaka, sebelum meninggal dunia.
Download