Makalah Ilmiah PANGAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Disampaikan oleh: Syekh Mamdūḥ Farḥān al-Buḥairiy (Komisaris Umum Majalah Islam Qiblati – Indonesia) Dalam Seminar “Ḥalālan Ṭayyiba” Di Universitas Brawijaya Malang, 18 – 21 Februari 2014 1. PENDAHULUAN Salah satu mukjizat Alquran Karim ialah perhatiannya terhadap persoalan pangan sebagai unsur penting dalam kehidupan manusia; Islam memberikan perhatian khusus terhadap masalah pangan dalam seluruh fase kehidupan manusia bersamaan dengan segala bentuk dan unsur-unsur pangan tersebut. Terdapat sejumlah besar ayat dalam Alquran yang secara spesifik berbicara tentang pangan dan kaidah-kaidah yang memadai untuk menjadi standar mutu pangan dan metode-metode penjaminannya, bahkan Alquran dipandang sebagai ‘konstitusi langit’ pertama [atau satu-satunya] yang diturunkan dengan sejumlah besar ayat yang membahas persoalan pangan, termasuk di dalamnya regulasi pengawasan pangan. Ini secara terang terlihat [misalnya] dalam ayat: “.... Maka suruhlah salah seorang di antara kalian untuk pergi ke kota dengan membawa uang perak kalian ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untuk kalian, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal kalian kepada seorangpun!” [Q.S. al-Kahfi/018: 19]. Jika pakar gizi menyeriusi ajaran Islam tentang konsep pangan, niscaya akan diperoleh kesimpulan bahwa madrasah Islam memiliki kurikulum yang terus terbarukan dan kompatibel dengan perkembangan zaman, dibangun di atas dasar kaidah-kaidah ilmiah yang akurat sehingga mempedomaninya menjadi kemenangan besar bagi umat manusia . Di antara tujuan utama syariat Islam ialah memproteksi agama, akal, nyawa, keturunan, dan kekayaan. Oleh karenanya asy-Syāriʻ yang Mahabijaksana mengharamkan segala sesuatu yang berpotensi membahayakan target tersebut. Teori hukum dalam syariat Islam yang mengatur interaksi [manusia] dengan alam sekitarnya ialah bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya halal, berdasarkan firman Allah , .... “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” [Q.S. al-Baqarah|02: 29] Ḥarf (kata depan) la [dalam frasa lakum] mengandung makna pemberian dan mempersilahkan; tidak mungkin merealisasikannya kecuali dengan suatu pembolehan dan penghalalan. Namun sebalik itu, Allah mengharamkan segala sesuatu yang berpotensi merusak fisik, agama, dan akhlak. Berangkat dari bahwa tujuan dasar Islam ialah membina manusia yang selamat, sehat, dan tunduk serta patuh kepada aturan Islam, maka sudah seyogianya pula Islam memberikan perhatian besar terhadap keterjaminan kesehatan yang mendukung, dan memberikan arahan yang benar bagi manusia. Pengkajian ilmu kesehatan berkenaan dengan manusia dari aspek fisik, kejiwaan, akal, termasuk pola hidup, karena keterjaminan aspek-aspek ini membuat manusia hidup betul-betul dengan aman; Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (1) [Yaitu] kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, (2) Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah), (3) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (4). [Q.S. Quraysy|106: 1-4] Oleh karena itu berserah diri dan patuh kepada Allah dengan menaati perintah-perintah dan larangan-Nya dalam masalah makanan dan minuman termasuk memberdayakan alam dengan kemaslahatan. 2. KESEHATAN FISIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM Sesungguhnya Islam memiliki perhatian besar terhadap pembinaan fisik yang kuat dan sehat; “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” Allah berfirman, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Wahai Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling baik yang Engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." [Q.S. al-Qaṣaṣ| 28: 26] Oleh karena itu Islam memberikan motivasi untuk mengonsumsi yang baik-baik dan menjauhi yang segala yang buruk; “... dan yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...” [Q.S. al-Aʻrāf| 07: 157] Maka Islam mengharamkan makanan dan minuman yang mengandung, seperti: bangkai, darah, daging babi, khamar, dan lain sebagainya. Sebaliknya mendorong untuk mengonsumsi segala sesuatu yang bermanfaat bagi fisik, dari jenis daging-dagingan, susu, buah-buahan, sayur-mayur, madu, dan kurma. Setiap muslim diperintahkan untuk memperoleh asupan yang bermanfaat bagi tubuhnya bukan yang bermudarat. Terlepas dari haramnya makanan yang bermudarat, mengonsumsinya pada hakikatnya adalah tindakan menyiksa tubuh. Oleh karenanya memberi nutrisi kepada tubuh merupakan suatu tanggung jawab yang wajib dilaksanakan secara benar sesuai dengan penjelasan Islam dalam ajaran-ajarannya. Karena itu pula kita perhatikan, Allah mengarahkan pandangan [kita] terhadap pentingnya nutrisi yang halal dalam firman-Nya ‘uḥilla lakum aṭ-ṭayyibāt. 3. KEISTIMEWAAN MUSLIM DALAM MASALAH MAKAN DAN MINUM Di antara nikmat yang khusus Allah anugerahkan kepada kaum muslim ialah bahwa Allah biarkan orang-orang selain mereka tidak terikat [oleh halal-haram] dalam masalah makan dan minum; umumnya non muslim bebas mengonsumsi segala sesuatu. Mereka secara leluasa mengonsumsi daging babi dan berbagai varian hasil olahannya, bangkai, binatang yang tidak disemblih secara syariat, bahkan terkadang sesuatu yang tergolong najis seperti darah, meminum khamar, demikian pula bebas menentukan cara mengonsumsinya. Sedangkan bagi seorang muslim, sejak semula ia meyakini bahwa Allah menciptakan alam dengan segala isinya untuk kemaslahatan manusia, oleh karena itu sudah semestinya Ia mengatur tindak tanduk manusia itu, melarangnya dalam beberapa hal sebagai ujian sanggupkan dia menaati Allah yang telah menganugerahkan segala yang didapatkannya. Inilah sebabnya kita perhatikan seorang muslim tidak memakan dan meminum sesuatu yang haram: babi atau hewan-hewan lain yang diharamkan, khamar, daging hewan ternak yang tidak disembelih secara syariat dengan menyebut nama Allah saat proses penyembelihan sebagai simbol bahwa yang membolehkannya adalah Yang telah menciptakannya, dan atas izin-Nya pulalah kita menghilangkan nyawanya. 4. HIKMAH DI BALIK LARANGAN MENGONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN YANG HARAM Di antara nama Allah ialah al-Laṭīf (Yang Mahalembut) dan al-Ḥakīm (Yang Mahabijaksana); [Oleh karena itu Ia menurunkan syariat dan menetapkan hukum yang terbaik bagi kemaslahatan manusia] . Daging babi dan hewan-hewan lain yang haram dikonsumsi mengandung mudarat bagi manusia, demikian juga dengan khamar yang merusak tubuh. Mudarat atau bahaya dimaksud bisa jadi berdampak pada akhlak, jika bukan pada fisik, sebab nutrisi yang dikonsumsi memiliki pengaruh terhadap kejiwaan manusia; orang yang tidak pernah mengecap daging secara psikis akan berbeda dengan orang yang selalu melahap daging. Demikian juga jenis daging tertentu pun memiliki pengaruh tertentu dalam membentuk kejiwaan seseorang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa gaya hidup hedonisme masyarakat Barat, ketidakpedulian mereka dengan norma-norma kesucian pergaulan, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh konsumsi daging babi mereka. Bagi seorang muslim mematuhi rambu-rambu konsumsi nutrisi ini merupakan suatu keharusan mutlak. Tanpa dipengaruhi oleh ada tidaknya mudarat, bahwa semata diperintah Allah maka mematuhinya adalah kewajiban; perintah Allah wajib dilaksanakan karena Dia-lah pemilik dan penguasa sejati alam ini, oleh karena itu Dia berhak melarang manusia berdasarkan kehendak-Nya semata sesuai dengan hikmah yang Dia ketahui. Menyimak dan menaatinya merupakan kewajiban kita kepada Allah. 5. STANDAR KUALITAS MAKANAN Alquran telah menjelaskan perihal halalnya mengonsumsi makanan dan minuman yang baik, pun tentang keharaman mengonsumsi yang tidak baik. Ketika menerangkan perihal kewajiban mempedomani Nabi Muhammad , Allah mengatakan, “Dia menghalalkan bagi mereka segala sesuatu yang baik dan mengharamkan untuk mereka segala sesuatu yang keji/buruk.” Dengan demikian, pangan yang baik ialah yang dibolehkan syariat, dan yang buruk ialah yang diharamkannya, karena asy-Syāri‘ (Allah) tidak menghalalkan selain yang baik dan mengandung manfaat bagi orang yang mengonsumsinya. Adalah Suatu kemustahilan untuk menetapkan nilai baik dan tidak baik dimaksud berdasarkan penilaian manusia semata, karena faktanya sebagian komunitas menganggap baik suatu makanan atau minuman tertentu padahal makanan dan minuman dimaksud berbahaya bahkan tidak jarang dapat menyebabkan kematian. Sebaliknya mereka menganggap buruk pangan tertentu padahal bermanfaat. Oleh karenanya, tidak ada yang lebih baik daripada menjadikan timbangan syariat sebagai standar baik-buruknya pangan yang hendak dikonsumsi. Kalangan Ulama telah merumuskan batasan pangan yang halal, haram, baik, dan diragukan, sebagai berikut: a. Pangan halal, yaitu: segala sesuatu yang diperbolehkan Allah dan Rasulullah ; b. Pangan haram, yaitu: segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan Rasulullah ; c. Pangan yang baik, yaitu: yang bagus, bermanfaat, steril dari mudarat. d. Pangan yang meragukan, yaitu: yang hukumnya tidak diketahui secara tegas, halal atau haramkah, sehingga dibutuhkan pendapat hukum mujtahid untuk menjelaskannya. 6. PANDANGAN SYARIAT ISLAM TENTANG PANGAN YANG TERKONTAMINASI NAJIS ATAU ZAT HARAM DALAM PROSES MANUFAKTUR Pangan yang tersusupi najis atau zat lain yang diharamkan tidak terlepas dari kasus- kasus pencampuran pangan dalam proses manufakturnya dengan bahan-bahan yang berasal dari babi atau bangkai, atau darah, atau alkohol dan khamar, atau bahan-bahan tambahan yang merusak kesehatan. Sudah menjadi konsensus Ulama-Ulama Fikih, haram mengonsumsi materi yang berasal dari babi secara terpisah maupun setelah dipadukan dengan bahan pangan lainnya. Demikian pula dengan bangkai-bangkai yang diharamkan, dan darah yang mengalir dari hewan saat proses sembelihan, karena Allah berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, ....” [Q.S. al-Mā`idah | 05: 03] Mereka juga sepakat tentang haramnya mengonsumsi pangan yang dicampur dengan alkohol atau khamar dalam proses penyajiannya, karena Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. [Q.S. al-Mā`idah| 05: 90] Rasulullah bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar hukumnya haram.” Bahan-bahan tambahan yang mengandung mudarat: penguat dan pengaya rasa, bahan pewarna, pengembang dan sejenisnya, pengawet, termasuk kategori haram dikonsumsi berdasarkan firman Allah, ... ... “... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, ...” [Q.S. alBaqarah|02: 195] Rasulullah juga bersabda, “Jangan berbuat mudarat, jangan pula mengatasi mudarat dengan mudarat.” 7. KAIDAH NABAWI UNTUK MENGHINDARI SYUBHAT Sebagian kalangan ahli pangan menyepelekan persoalan pencampuran bahan-bahan turunan dari babi dan khamar ke beberapa jenis makanan dnegan dalih bahwa itu tidak akan mempengaruhi unsur dasar makanan selagi persentasenya dalam produk sangat rendah. Ini telah menyalahi aturan Islam dan petunjuk Nabi yang memberikan perhatian sangat besar terhadap keselamatan dan keamanan pangan agar tidak tercampur sedikit pun dengan unsurunsur yang mengandung syubhat. Diriwayatkan dari ‘Adiy Bin Ḥātim raḍiallāhu ‘anhu bahwa dia berkata, Rasulullah telah bersabda kepada saya, “Jika Anda [hendak] melepaskan anjing [pemburu] Anda maka sebutlah nama Allah, jika Anjing itu menangkap buruan untuk Anda dan Anda temukan ternyata buruan itu masih hidup maka sembelihlah, tetapi jika Anda dapatkan buruannya itu telah mati dan anjing itu tidak memakannya maka makanlah, namun jika dia memakannya maka janganlah Anda makan, demikian juga jika Anda dapatkan ada anjing lain bersama anjing Anda dan buruan itu ternyata telah mati maka janganlah makan, karena Anda tidak tahu anjing mana yang telah membunuh buruan itu.” [Muttafaq ‘alaih] Dari hadis di atas dapat kita rasakan betapa Nabi begitu memperhatikan umatnya sehingga beliau tidak rida umatnya memakan hewan buruan tersebut padahal belum tentu anjing asing itu memakannya. Ini merupakan suatu syubhat, dan ternyata beliau melarang umatnya memakan hewan dengan kondisi seperti ini. Demikian juga bahwa ternyata Nabi tidak cukup dengan mencuci bejana yang dijilat anjing, satu kali, dua kali, atau tiga saja; Beliau membasuhnya sebanyak tujuh kali [dan salah satunya dicampur dengan tanah]. Beliau bersabda, “Jika Anjing menjilat bejana milik salah seorang di antara kalian, hendaklah ia membasuhnya sebanyak tujuh kali.” [Muttafaq ‘alaih] Setelah itu semua, mengapa kita masih saja menemukan orang-orang yang menganggap enteng tindakan memasukkan zat-zat yang haram ke dalam makanan dengan alasan yang dimasukkan tersebut hanya sedikit dan tidak memberi pengaruh apa-apa. 8. PANDANGAN ISLAM TENTANG SEMBELIHAN NON MUSLIM Ulama Fikih sepakat tentang haramnya mengonsumsi hewan yang disemblih oleh non muslim selain Ahlulkitab. Termasuk dalam kategori yang diharamkan ini sembelihan penganut majusi, paganisme, atheis, dan orang yang murtad dari agama Islam, karena di antara mereka ada yang menyebut nama selain Allah ketika menyemblih, ada pula yang tidak menyebut apaapa sama sekali. Syariat Islam melarang mengonsumsi makanan dari sembelihan-sembelihan seperti ini. Tentang sembelihan Ahlulkitab, Ulama sepakat tentang kebolehannya berdasarkan firman Allah, “... makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka...” [Q.S. al-Mā`idah|05 : 05] Yang dimaksud dengan makanan dalam ayat di atas ialah hewan sembelihan Ahlulkitab bukan semua yang mereka makan, karena mereka juga makan bangkai, darah, dan babi yang sama sekali tidak halal bagi kita. Dalam hal sembelihan Ahlulkitab yang belum dibacakan nama Allah saat proses penyembelihannya, maka ada dua kondisi yaitu: sembelihan-sembelihan yang dilakukan tidak dengan menyebut nama Allah maupun maupun nama selain Allah, ini halal dikonsumsi, karena firman Allah dan makanan [berupa sembelihan] orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab suci halal bagi kalian di atas. Berikutnya sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama selain Allah seperti al-Masīḥ, atau Salib, dan lain sebagainya maka haram mengonsumsinya, karena firman Allah dalam surah al-Mā`idah ayat ketiga, Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa-apa yang disemblih dengan [menyebut] nama selain Allah. 9. DAGING IMPOR DARI NEGARA NON ISLAM Tidak ada perbedaan hukum daging dengan kategori ini dengan daging sembelihan non muslim seperti yang telah dijelaskan. Jika daging tersebut berasal dari negara yang penduduknya menganut selain agama samawi maka hukumnya haram berdasarkan konsensus ulama-ulama Fikih, karena mereka menyembelih dengan menyebut nama selain Allah. Apabila daging dimaksud berasal dari negara penganut Yahudi dan atau Nasrani maka hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu tentang sembelihan yang dilakukan Ahlulkitab tanpa menyebut nama Allah dan nama selain Allah, dan penyembelihan yang mereka lakukan dengan menyebut nama selain Allah. Kecuali dalam kondisi tertentu terkait proses pengolahan daging dan unggas yang diimpor tersebut, tentang bagaimana mematikan hewan dan unggas dimaksud, sebab untuk keperluan ini mereka lazim melakukan dengan cara mencekik, memukul kepala hewan dengan benda keras, sengatan listrik, atau dengan membuat pingsan unggas kemudian membenamkannya ke dalam air panas dengan suhu tinggi sehingga mati di sana. Semua proses mematikan yang disebutkan tanpa menggunakan benda tajam sebagai alat semblih. Cara-cara mematikan hewan seperti ini tidak halal, maka tidak halal pula mengonsumsi hewan-hewan yang diperlakukan seperti itu. 10. PANDANGAN SYARIAT TERHADAP PRODUK PANGAN SELAIN DAGING PRODUK NON MUSLIM Pangan selain daging yang diproduksi oleh non muslim, baik berupa hasil pengolahan susu, atau roti-rotian, atau manisan, dan berbagai ragam minuman, diatur oleh standar pemilihan pangan dalam syariat Islam sebagaimana telah dipaparkan di atas. Jika pangan hasil olahan susu berasal dari hewan yang halal; tidak dicampur dengan zat-zat yang haram seperti darah, enzim yang berasal dari bangkai (hewan yang mati tanpa semblihan yang sah) atau hewan yang tidak halal, zat-zat yang memabukkan, najis; dan dalam pengolahannya menggunakan wadah yang diduga kuat terjaga kesuciannya, maka halal dikonsumsi. Ketentuan serupa berlaku pada jenis-jenis pangan lainnya: roti-rotian, manisan, dan minuman yang tidak memabukkan. Ini berlaku sama bagi produsen yang beragama samawi dan selain mereka. Jika kriteria-kriteria sebagaimana disebutkan tidak terpenuhi maka produk-produk tersebut tidak boleh dikonsumsi dan dipandang haram atau mengandung zat yang haram. 11. PANGAN UMAT ISLAM ERA MODERN Negara-negara Islam dewasa ini, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, ternyata menghadapi masalah di mana sebagian produk pangan tidak memenuhi standar ajaran Islam. Godaan persaingan pasar lokal dan global memiliki andil terjadinya campur aduk produk halal dengan yang haram, yang baik dan buruk, sehingga syubhat dapat dikatakan menjadi kualifikasi umum produk makanan dan minuman karena banyaknya produk yang menggunakan zat-zat tambahan yang haram atau mengandung syubhat. Dampak negatif revolusi industri di segmen pangan telah mengantarkan teknologi pengolahan pangan sampai kepada tingkat sulit untuk mencurigai kandungan dan sumber produk yang dihasilkan, sehingga konsumen yang terpelajar pun terpana dibuatnya apalagi konsumen awam dari kalangan umat Islam. Oleh karena itu pabrikasi makanan dan minuman tergolong masalah yang patut dikhawatirkan pada era modern ini. 12. HAK UMAT ISLAM DAN KEWAJIBAN KITA Studi lapangan dan penelitian yang dilakukan di beberapa pasar negara-negara Islam menunjukkan bahwa pangan haram dan yang terkontaminasi unsur-unsur haram mendapatkan jalan yang mudah dan lahan yang subur, bahkan pada sebagian produk tidak ditemukan sama sekali pedoman yang dapat memberikan informasi tentang keberadaan zat-zat yang diharamkan dalam produk dimaksud, sehingga konsumen betul-betul tidak tahu bagaimana membedakan antara produk halal dan produk haram. Umat Islam dewasa ini memiliki kebutuhan sangat besar untuk mensterilkan makanan dan minuman mereka dari unsur-unsur yang diharamkan, untuk memberikan perhatian besar terhadap keamanan pangan mereka dari bahan-bahan tambahan yang haram. Suatu yang mengundang penyesalan bahwa banyak negara-negara Islam terkesan abai membangun SDM, dan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap masalah pangan, tidak menjadikannya sebagai skala perioritas. Ini setidaknya disebabkan oleh: ketidakmengertian tentang urgensi kesehatan dan pangan bermutu bagi manusia di tengah masyarakat; atau karena lembaga yang mengurus masalah pangan tidak memiliki visi yang jelas; atau minimnya penelitian ilmu terkait masalah ini bahkan barangkali tidak ada sama sekali. Pengawasan pangan merupakan kewajiban pihak-pihak terkait. Sudah seharusnya SDM yang menanggungjawapi masalah pengawasan pangan ini menghayati kandungan firman Allah berikut untuk semakin menegaskan pentingnya mengawasi mutu produk pangan. “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah [di jalan Allah] sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [Q.S. al-Baqarah|02: 267] Ayat tersebut merupakan seruan tegas untuk mengawasi [mutu] pangan yang ditujukan kepada setiap insan yang bergelut di bidang pangan: produsen, distributor, pembeli, petani, pedagang dan pabrik, laboratorium, dan setiap pihak yang berwenang dalam pengawasan pangan. Mereka semua memiliki kewajiban kolektif yang krusial yaitu menjamin mutu dan keamanan produk pangan sehingga masyarakat dapat hidup dengan aman dan tenang, tentram dan sejahtera. 13. CATATAN TENTANG PABRIKASI MAKANAN Menjamurnya pabrik makanan yang dimiliki oleh non muslim memiliki andil besar dalam tersebarnya produk pangan yang tidak memenuhi standar syariat Islam. Fenomena ini tidak daapt dijadikan alasan untuk memaafkan sebagian pelaku bisnis muslim yang tidak memiliki kepedulian agama dan perasaan yang cukup untuk menumbuhkan kesadaran mereka. Mereka tidak peduli dan tetap memakai unsur-unsur yang diharamkan dalam produk pangan yang mereka produksi. Inilah faktor utama keberadaan bahan pokok yang mengandung lemak babi di pasar, demikian juga dengan beberapa jenis makanan yang mengandung alkohol apalagi gelatin hewani yang tidak jelas berasal dari hewan apa. Umat Islam menolak membeli produk-produk seperti ini sebagai salah satu upaya menghindari syubhat. Suatu yang tidak dapat diterima, produsen tidak memperhatikan [hakhak] ratusan juta yang menjadi pasar produk mereka, sementara itu mereka berlomba-lomba mempromosikan bahwa produk-produk pangan mereka bersih dari unsur-unsur yang haram dikonsumsi umat Islam. Disayangkan pula, [dengan kondisi seperti itu] ternyata sebagian produsen berhasil mendapatkan sertifikat standar mutu yang menyatakan bahwa komoditas mereka telah sesuai ketentuan syariat Islam, bebas dari zat-zat yang diharamkan. Ini semua tidak lepas dari upaya memanipulasi konsumen dan meyakinkan mereka dengan segala cara, yang berdampak pada terguncangnya kepercayaan konsumen kepada lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat standar mutu, atau sertifikat halal. Ketidakpercayaan ini bahkan sampai pada tingkat banyak kalangan berkesimpulan bahwa [label] ‘halal’ ternyata sudah menjadi salah satu komoditi dagangan. Seiring booming usaha dan kompetisi perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik untuk mendapatkan sertifikat halal, aspek bisnis dalam permasalahan ini lebih menonjol dari aspek keagamaan dan layanan masyarakat. Sesungguhnya telah terjadi permainan dalam pemberian sertifikan ‘halal’ yang dilakukan oleh sebagian lembaga berwenang, yang mana produk pangan apa saja yang telah mendapatkan sertifikat ‘halal’ seharusnya terbebas dari zat-zat yang diharamkan seperti babi dan hasil-hasil olahannya, dan alkohol dan turunannya tetapi –amat disayangkan –sebagian lembaga yang berwenang itu tetap mengeluarkan sertifikat halal untuk produk yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan syariat, juga tidak mengawasi proses manufaktur, sehingga fungsi mereka tinggal sekedar menerbitkan sertifikat. Anehnya sertifikasi juga diberikan untuk segala jenis produk pangan [meskipun tidak perlu dan tidak tepat], seperti produk ikan yang diberi label disembelih sesuai dengan syariat Islam. Ini tentu merusak nilai sertifikat halal itu sendiri baik nilai-nilai ilmiah, sosial maupun etika. 14. RAHASIA DAPUR PENGOLAHAN SEBAGIAN PRODUK PANGAN Terdapat sejumlah makanan yang pada asalnya halal tetapi menjadi haram karena prosedur pengolahannya. Misalnya ikan yang pada dasarnya merupakan pangan halal, tetapi kita temukan di sebagian pasar-pasar Islam ada sejenis ikan olahan (salmon kukus) yang ternyata proses pengolahannya, yaitu dikukus denga uap air, dilakukan dengan cara tertentu yang tidak diketahui banyak orang. Misalnya keharusan menaruh beberapa potong tulang babi di dalam wadah pengukusan di mana uap panas air mengepul dari sela-sela tulang babi yang ditempatkan di bawah ikan-ikan tersebut. Cara pengolahan seperti ini lazim dilakukan di Thailand karena besarnya populasi babi di sana. Sangat disesalkan produk ini ternyata laris manis dan mendatangkan keuntungan besar di beberapa negara Islam karena telah mendapatkan sertifikat halal. Ini tentu mengindikasikan kelemahan dalam pengawasan produk pangan, juga menunjukkan bahwa lembaga yang berwenang merasa cukup dengan mengetahui jenis produk tanpa memperhatikan proses manufakturnya. Dengan demikian penelitian cara penyajian makanan menjadi kebutuhan yang medesak; tidak cukup memberikan kesimpulan hukum hanya berdasarkan jenis bahan baku utama produk tanpa mengetahui metode pengolahannya. 15. SARAN DAN MASUKAN 1. Tidak seyogianya tergiur dengan berbagai publikasi menyesatkan yang disampaikan oleh produsen-produsen produk pangan yang berasal dari negaranegara non muslim, terutama pemakaian label disembelih secara syariat Islam apalagi jika digunakan juga untuk produk makanan/minuman yang tidak berasal dari hewan sembelihan, suatu pelecehan terhadap intelegensi konsumen khususnya dari kalangan muslim. 2. Hendaknya dilakukan analisis dan penelitian yang serius terhadap sampel-sampel produk pangan di laboratorium yang didukung oleh sarana dan sumber daya memadai untuk mengetahui kandungannya secara tepat, halal atau tidaknya unsur-unsur tersebut. 3. Pentingnya keberadaan dan memberdayakan institusi pengawas pasar; hal ini akan cukup berperan untuk meningkatkan kepercayaan umat Islam terhadap pihak yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal. 4. Memberlakukan undang-undang atau peraturan yang keras untuk mencegah beredarnya zat-zat yang diharamkan sehingga konsumen merasa aman mengonsumsi makanan dan minuman tanpa merasa takut mengonsumsi yang haram tanpa sadar. 5. Bertindak tegas terhadap penyedap rasa yang mengandung zat-zat yang berasal dari babi karena penyedap-penyedap semacam ini digunakan untuk berbagai jenis makanan. 6. Mengawasi proses manufaktur produk pangan, tidak sekedar memeriksa jenis pangan tanpa memperhatikan proses produksinya. 7. Urgennya peran serta lembaga halal dalam membuka wawasan masyarakat tentang masalah ini dengan mempublikasikan brosur-brosur yang menjelaskan maksud kode-kode produk pangan dan angka-angka yang lazim termaktub pada kemasan produk dan terlihat rumit sehingga sehingga konsumen awam merasa kesulitan untuk mengidentifikasi produk yang memenuhi standar syariat, karena unsur-unsur kandungan produk ditulis dengan bahasa angka-angka, huruf-huruf, atau kode-kode bukan dengan bahasa konvensional yang terang. Lemak babi dan turunnya, misalnya, memiliki kode tertentu, gelatin hewan dengan kode tertentu lainnya, alkohol pun demikian, sehingga konsumen kesulitan untuk memahami kode-kode ini. Demikian, semoga Allah senantiasa bersalawat melimpahkan berkah-Nya kepada Nabi kita Muhammad , kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau.