Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 PROYEK TEOLOGI PEMBEBASAN ASGHAR ALI ENGINEER Oleh: Neneng Afwah ABSTRAK Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam and Liberation Theology dan beberapa artikel lepas lainnnya memberikan gagasan Teologi Pembebasan dalam Islam dalam rangka merumuskan kembali Teologi Islam. Perumusan kembali teologi tentu saja tidak bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan Tuhan (Islam : Tauhid), melainkan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif dalam menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut prespektif ketuhanan.dalam literature sejarah pemikiran kontemporer, pendekatan seperti ini diilhami oleh munculnya gerakan-gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada sekitar tahun 1960-an. Jika kita teliti pemikiran Asghar bertumpu pada tiga landasan, pertama, tradisi atau sejarah Islam. Kedua, metode fenomenologi, dan ketiga, analisis sosial Marxian, karena gagasan semacam ini merupakan pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial (social constructed), dalam hal ini realitas dunia Islam, masyarakat perkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian. Kata Kunci: Teologi, Perspektif ketuhanan, Marxian. I. PENDAHULUAN semestinya. Struktur logis tidak pernah benar-benar berhubungan dengan tematema yang menyangkut tradisi-tradisi dan kenyataan-kenyataan masyarakat yang terjadi.1 Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang dunia ini sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk manusia. Namun, dalam perkembangan kemodernan, agama kerap kali dikritik. Kemudian, sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kemodernan. Agama, lanjut Ackermaann, pada dasarnya timbul sebagai protes yang sah melawan masyarakat dan cara hidupnya dalam upaya meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan seseorang demi perbaikan nasib manusia seluruhnya. Maka, fungsi agama bagi kemanusiaan akan tampak jika refleksi terhadap agama dapat diterapkan dalam kehidupan atau perilaku sosial. Lebih jauh lagi, secara sosiologis agama dianggap tidak bermakna apa-apa Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaan, menurut Ackermann terlalu menitik beratkan struktur-struktur logis argument-argumen tekstual (normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara 1 Lihat, Robert John Achremann, Agama Sebagai Kritik : Analisis Eksistensi Agama-agama Besar, Terj. Herman Hambut, (Yogyakarta : Kanisius, 1985) 39 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 sepanjang tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kehidupan masyarakat. 2 dimana Sheikh Qurban Husain, ayahandanya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja di masjid yang mengelola semacam zakat) pada waktu itu. Asghar telah diberi pelajaran mengenai tafsir Al-Qur’an, ta’wil, fiqh, dan hadits. Asghar juga belajar bahasa Arab dari ayahnya, dan selanjutnya ia menekuni serta mengembangkannya sendiri. Ia telah diajarkan seluruh karya utama dari Fatimi Da’wah oleh Sayedna Muayyad Shirozi, Sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna Hatim Al-Razi, Sayedna Jafar Mansur Al Yaman dan sebagainya.3 Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam and Liberation Theology dan beberapa artikel lepas lainnnya memberikan gagasan Teologi Pembebasan dalam Islam dalam rangka merumuskan kembali Teologi Islam. Perumusan kembali teologi tentu saja tidak bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan Tuhan (Islam : Tauhid), melainkan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif dalam menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut prespektif ketuhanan.dalam literature sejarah pemikiran kontemporer, pendekatan seperti ini diilhami oleh munculnya gerakan-gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada sekitar tahun 1960-an. Asghar juga mendapatkan pendidikan secular, disamping pendidikan agama. Ia adalah lulusan teknik sipil dari Indore, Madhya Pradesh dengan tanda kehormatan, serta mengabdi selama dua puluh tahun sebagai seorang insinyur di Korporasi kota Praja Bombay (Bombay Municipal Corporation) dan kemudian mengundurkan diri secara sukarela untuk menerjunkan dirinya ke dalam gerakan reformasi Bohra. Ia mulai memainkan peran penting dalam gerakan reformasi dari tahun 1972, ketika terjadi pemberontakan Udapur. Asghar telah menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi di beberapa Koran India terkemuka seperti The Times of India, Indian Express, statesmen, Telegraph, The Hindu, dan sebagainya. Ia terpilih dengan suara bulat sebagai Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Dawoodi Bahra dalam konferensinya yang pertama di Udapur pada tahun 1977. Jika kita teliti pemikiran Asghar bertumpu pada tiga landasan, pertama, tradisi atau sejarah Islam. Kedua, metode fenomenologi, dan ketiga, analisis sosial Marxian, karena gagasan semacam ini merupakan pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial (social constructed), dalam hal ini realitas dunia Islam, masyarakat perkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian. Dalam makalah ini penulis akan berusaha mengungkap gagasan tentang Teologi Pembebasan yang ditawarkan Asghar dan bagaimana Teologi ini dihadapkan pada tataran praksis, serta bagaimana sikap Asghar terhadap Marxisme. II. Ia mencurahkan waktu dan pikirannya demi urusan besar pada waktu itu, yaitu gerakan reformasi dan menginternasionalisasikan gerakan reformasi, baik melalui tulisan maupun ceramah-ceramahnya.4 PEMBAHASAN A. Sketsa Hidup Asghar dan Karyakaryanya Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pada 10 Maret 1939 di Salumba, Rajusthan, dekat Udapur, 2 3 Listiyono Santiso, Sunarto, et.al, Epistemologi Kiri, Yogyakarta : Al-Ruzz, 2006, h. 299 4 Ibid, h. 300 Ibid 40 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961. karyanya ini dipertimbangkan sebagai pelopor dan telah diakui oleh Universitas Cakutla yang kemudian menganugerahkan gelar kehormatan (D.Lit) padanya pada bulan Februari 1983. dilanjutkan oleh para Da’i (istilah ini berasal dari Dandi) yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu. Untuk diakui sebagai seorang Da’i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok : (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa diantara kualifikasi itu seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Dan Asghar adalah Da’i.6 Asghar diakui sebagai seorang sarjana Islam terkemuka. Ia juga memberi kuliah di beberapa universitas terkemuka di Amerika, Kanada, Indonesia, Malaysia, Jerman, Prancis, Thailand, Pakistan, Sri Langka, Yaman, Meksiko, Lebanon, Mesir, Jepang, Uzbekistan, Rusia, dan sebagainya. Ia juga mengajar di seluruh universitas di India.5 Asghar juga merupakan penulis produktif yang telah melahirkan lebih dari empat puluh buku dan artikel, diantaranya adalah The Bohras (1980), Indian-Muslims : A Study of Minority Problem (1984), On Development Theory of Communal Riots (1984), Struggles for Reforms in Bohra Community (1984), Origin and Development of Islam (1986), Liberation Theology in Islam (1990), Rethinking Issues in Islam (1998), Rational Approach to Islam (2000), Islam and Revolution (1994), dan sebagainya. Pada hari Republik India, Asghar juga diberi penghargaan National Communal Harmony Award pada tahun 1997 oleh Pemerintah India dalam pengakuannya atas karya Asghar dalam mempromosikan harmoni komunal kepada dunia. Dlam komunitas Dandi Bohras, yang berpusat di Bombay India, yaitu kelompok Syiah Isma’iliyah, Asghar yang idealis yang selalu ingin menerapkan gagasan liberalnya ini, harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung konservatif dan mempertahankan kemapanan. B. Islam dan Teologi Pembebasan dalam Perspektif Asghar Di awal tulisannya Asghar begitu bersemangat membongkar bangunan teologi “konvensional” yang selama ini menjadi landasan beragama umat Islam. Ia mengajak pembaca untuk flash back ke zaman awal Nabi Muhammad berda’wah, bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara sangat signifikan dalam panggung sejarah umat manusia.7 Untuk memahami latar belakang kagamaan Asghar, ada baiknya diketahui terlebih dahulu kelompok Dandi Bohras. Para pengikut kelompok ini dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki Amir Al Mukminin. Mereka mengenal 21 imam. Imam mereka yang terakhir adalah Mawlana Abu Al Qasim Al Thayyib yang menghilang pada tahun 536 H. akan tetapi mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya 5 6 Ibid, h. 301 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999, h. IX 7 Ibid 41 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 Peran Islam sebagai agent of change dapat dilihat pada awal masa penyebarannya di Jazirah Arab. Sebagai pengemban misi terakhir dan dipercaya sebagai khatamul anbiya, kedatangan Muhammad SAW dimaksudkan sebagai pembebas kaum Arab Mekkah yang saatitu berada dalam kondisi politik-sosial yang menghawatirkan. Sebuah masa yang dikenal sebagai zaman jahiliyah. Islam datang untuk membebaskan masyarakatnya dari kebutahurufan, tidak sewenang-wenang suku yang berkuasa dan pelecehan martabat pada wanita. Tindakan revolusioner ini berhasil membawa Arab pada puncak peradaban yang mengagumkan.8 eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi (wordy questions) semata.9 Namun demikian nilai-nilai revolusioner pada Islam saat ini mengalami kemandekan. Pada sebagian pemeluknya, Islam tak lebih hanya serangkaian ibadat yang mati. Menurut Asghar berdirinya dinasti Umayyah dan Abbasiyah mempunyai andil terhadap proses kemandegan tersebut. Umat Islam pada saat itu hanya disibukkan dengan pemerintahan yang rebut soal perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Kondisi ini diperparah dengan persinggungan antara Islam dan ilmu pengetahuan Yunani. Meskipun persinggungan ini membawa dampak positif dimana, menurut Asghar hanya menguntungkan sebagian elit intelektual saja, tetapi akibatnya kalangan elit Islam semakin bersemangat untuk melakukan intellectual exercise yang bersifat spekulatif., dan teologi Islam yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah keadilan sosio-ekonomi (sebagaimana ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat AlQur’an yang peduli terhadap masalahmasalah perlindungan terhadap golongan lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir miskin, budak, dan lainnya), mulai mengalihkan perhatian pada masalah Menurut Asghar, jabr berkonotasi sebagai individu dan masyarakat yang tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak, sedangkan ikhtiyar bermakna pilihan untuk melakukan sesuatu. Para pengikut pendapat pertama disebut jabariyah dan yang kedua adalah qodariyah. Semua sekte-sekte syi’ah. Khawarij dan Mu’tazilah merpakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif. Secara histories, telah terjadi perdebatan teologi Islam yang hangat berkenaan dengan soal kehendak atau pilihan bebas (Ikhtiyar/free will) vis-à-vis ketundukan pada takdir Tuhan (jabr / predetermination) selama periode Umayyah. Kekuasaan Umayyah yang dipegang oleh Amir Mu’awiyah ingin menyebarkan dogma pre-determinasi sebagai lawan dari kehendak bebas, dalam rangka mempertahankan status quo yang mereka ciptakan.10 Sejak saat itu paham kehendak bebas dan pre-determinasi menjadi bahan diskusi yang intensif dalam teologi Islam. Dalam pandangan teologi pembebasan, menurut Asghar, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya ia mengemukakan bahwa manusia diciptakan Allah untuk menentukan nasibnya sendiri dalam batasbatas yang ditetapkanNya atau untuk melewati batas-batas itu. Sedangkan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Teologi Pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam perspektif yang proporsional. Dalam teologi sikap penyerahan diri secara pasif kepada kemauanNya. Dalam teks Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas, karena istilah Allah itu mahakuasa tidak 9 8 Ibid, h. X Ibid, h. 15-16 10 Lihat, Ibid 42 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 berarti memasung kebebasan dan inisiatif manusia. Justru kata-kata Allah Maha Kuasa berarti Dia berkuasa untuk membuat hukum alam dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengikutinya. Hukum Allah itu merupakan kerangka nilai yang bermuara pada kemajuan dan kesehatan sosial, bebas dari struktur sosioekonomi yang menindas, meninggalkan harkat kemanusiaan dan tidak memberi tempat kepada para penindas dan eksploitasi. Al-Qur’an justru mendesak manusia untuk selalu berusaha meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan serta mengakhiri penindasan dan eksploitasi.11 mengakui konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, juga konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.12 Teologi Pembebasan mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar-menawar antara kebebasan manusia dan takdir. Teologi Pembebasan lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap daripada sebagai konsep yang berlawanan. C. Teologi dan Praksis Pembebasan Proyek teologi pembebasan Asghar lebih menitikberatkan pada aspek praksis daripada teoritisasi metafisik-teologis yang tidak jelas yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”.13 Islam bersifat liberatif, karena menjadi ancaman yang membahayakan bagi status quo atau segala bentuk kemapanan yang mengeksploitasi kaum yang lemah. Bertolak dari sini, agaknya yang kemudian membuat Asghar merevisi konsep dan pengertian mukmin dan kafir yang berbeda dengan apa yang umum dipahami oleh umat Islam sekarang. Kafir menurutnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan kadilan. Meskipun sama-sama menekankan pada aspek praksis, Teologi Pembebasan Asghar sedikit memiliki perbedaan titik tolak dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin. Teologi Pembebasan Asghar berlandaskan pada Al-Qur’an dan sejaran Nabi, sedangkan Teologi Pembebasan Amerika Latin hanya bersandar kepada Injil semata. Sebagaimana yang diungkapkan Gustavo Gutierrez bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu suatu refleksi yang berangkat sekaligus dari Injil dan pengalaman para lelaki dan perempuan Benua Amerika Latin, yang hidup dalam penindasan dan perampasan haknya, dan karena itu merasa tertuntut untuk ikut serta dalam proses pembebasan. 14 Kata- Dalam pandangannya, agama mesti dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis, yang berkembang mencapai puncaknya hingga aspek teologis yang bersifat filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang justru mendukung kelompok penindas, jika agama masih dianggap sebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan. Oleh karenanya Teologi Pembebasan menurut Asghar adalah : (1) mesti dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat; (2) anti status quo yang melindungi golongan kaya (the haves) dari golongan miskin; (3) pembela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan mereka dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan para penindas; (4) disamping 11 12 Ibid. h.2 Ibid. h. 8 14 Dikutip dari Hartono Budi, Teologi Pembebasan dalam Basis, No. 03-04, Tahun ke-51, 2002, h. 9 13 Ibid 43 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 kata Gutierrez itulah yang sampai kini dianggap sebagai definisi klasik Teologi Pembebasan. revolusioner, dan Nabi SAW sebagai Nabi Revolusioner kecenderungan pemahaman teologi yang demikian tampaknya dipertegas oleh pemaparan Ali Syari’ati, bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis gerakan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi dari kesadaran agama yang radikal. Agama sebagai kerangka teoretik untuk melakukan konseptualisasi terhadap the sosial movements.16 Bagaimana bentuk praksis yang diinginkan Asghar ? tampaknya dalam hal ini Asghar setuju dengan pandangan Camilo Torres, dimaa menurut Torres kekerasan dalam upaya pembebasan bukanlah jalan tepat. Ia tidak menyetujui tindakan suversif yang umumnya dilakukan kelompok-kelompok kiri untuk mewujudkan revolusi.15 Jika kita merujuk kepada teologi dominant selama ini, baik dalam Kristen atau Islam, teologi selalu berangkat dari nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Sementara dalam teologi pembebasan, refleksi teologis merupakan langkah kedua setelah analisis sosial tentang kondisi-kondisi yang dialami masyarakat. Dengan demikian, dalam teologi pembebasan, praksis merupakan langkah pertama dalam berteologi. Karena menempatkan refleksi sebagai langkah pertama dalam berteologi. Karena menempatkan refleksi sebagai langkah kedua, maka dalam teologi ini dilengkapi dengan mekanisme yang terus menerus mengkritik dirinya. Refleksi atas praksis dapat dikritik bahkan ditiadakan oleh refleksi yang sama melalui mekanisme praksis yang terus menerus berubah dan berkembang. Teologi pembebasan bukanlah teologi yang menetapkan status quo yang karenanya dianggap kebal kritik.17 Adapun bentuk praksis bagi Asghar merujuk pada term jihad. Jihad dimaksudkan untuk melindungi kepentingan orang lemah dan tertindas, jihad guna melakukan pembebasan, bukan jihad untuk melakukan perang. Tetapi bahwa akhirnya menggunakan kekerasan subversif, dan bergabung dengan kelompok gerilya, memanggul senjata symbol kekerasan, sebagaimana yang dilakukan Torres sendiri di Latin dan Khumaini di Iran adalah sah menurut Asghar, karena ia mencontohkan model pembebasan ideal adalah Iran. Meskipun tidak secara eksplisit Asghar mengatakan bahwa gagasan pembebasannya merujuk pada revolusi sebagaimana dewasa ini dipahami, akan tetapi pandangannya terhadap Khumaini dan revolusi Iran menyiratkan bahwa gagasan pembebasan yang ia maksud adalah sebagaimana pembebasan Khumaini terhadap masyarakat Iran yang tertindas oleh rezim Syah, yang artinya adalah revolusi. Dari sini dapat dipahami bahwa teologi pembebasan sesungguhnya adalah sebuah ide alternative dalam tatanan metodologis, bukan pada isi. Oleh karenanya, teologi ini mempunyai relevansi untuk diterapkan pada semua jenis teologi yang obyek atau sudut pandang dari jenis Revolusi sebagaimana ditulis Asghar tidak lantas tercabut dari akar agama, bahkan agama sendiri mendorong terjadinya revolusi, sebagaimana ketika ia menyebut Islam sebagai Islam 16 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, (Yogyakarta : Pilar, 2005), h. 161-162 17 Ace Hasan Syadzily, Islam dan Keperpihakannya atas Mustad’afin, dalam Wacana, Vol. III / Agustus 2000, h. 22. 15 Lihat Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan : Sejarah, Metode, praksis, dan Isinya, (Yogyakarta : LKIS, 2000). H. 52 44 Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 yang sama. Pilihan kelompok masyarakat yang tertindas sebagai locus theologicus teologi ini tidak hanya menjadi perhatian agama Kristen semata, tetapijuga menjadi perhatian semua agama termasuk Islam. realitas sosial. Dan di lain pihak, orang harus berani menganalisis realitas sosial itu dengan metode dan cara yang tajam dan mengena, sampai ia dapat menemukan gerak dan dinamika pembebasan yang hidup dan relevan. Dalam kaitan dengan yang terakhir inilah teologi pembebasan menggunakan analisis marxis. D. Sikap Terhadap Marxisme Harus diakui, praksis pembebasan yang ditawarkan Asghar maupun teologi pembebasan Kristen sangat diwarnai dengan pendekatan dan inspirasi marxis, peniadaan kelas di masyarakat dan upaya terbentuknya konstruksi masyarakat sosialis yang adil dan merata. Akan tetapi tya yang mengatakan bahwa teologi pembebasan seutuhnya marxis, tidak benar. Bagaimana sesungguhnya hubungan teologi pembebasan dan marxisme itu ? Teologi pembebasan memang menggunakan marxisme, sejauh marxisme membantu analisis mereka. Yang dimaksudkan disini, menurut Leonardo Boff,19 adalah teori analisis ilmiah, yang dikembangkan berdasarkan ajaran Marx tentang materialisme histories. Dengan materialisme histories, orang dibantu untuk bisa memahami dengan tajam dan rasional perbedaan kaya dan miskin yang membuahkan ketidak adilan, lalu mamahami dialektika dalam masyarakat tersebut, yang kemudian membawa pada pemahaman praksis pembebasan yang bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Materialisme historis juga membantu, agar orang tidak terlalu mnspiritualisasikan pembebasan, seakan pembebasan itu hanya mengenai spiritual-rohani saja, dan tidak mengenai yang material-insani. Menurut Sobrino, teologi pembebasan ingin mengangkat realitas sosial ke dalam pengertian teologis, seperti yang sudah terkandung dalam pewahyuan Tuhan dalam kitab suci dan jawaban pertanyaan manusia atas pewahyuan tersebut dalam tradisi gereja dan teologinya. Dengan kata lain, substansi pokok teologi pembebasan. Kitab suci dan tradisi itu adalah depositum fidei, deposito iman, yang senantiasa dijadikan kriteriaum dan regulasi untuk menangkap dan menafsirkan kehadiran Tuhan dalam kenyataan dan realitas aktual.18 Sementara menerima teori marxis sebagai metode ilmiah, teologi pembebasan menolak mentah-mentah marxisme sebagai doktrin, ideology dan praksis filosofis yang materialistis dan ateistis. Yang dimaksudkan disini adalah ajaran, ideology atau praksis, yang mendasarkan diri pada ajaran Marx tentang materialisme dialektis. Ajaran ini jelas mempersempit realitas manusia hanya sebagai materi saja, dan karenanya mengembalikan semuanya pada materi. Apa saja yang disebut transenden, yang melampaui ruang dan waktu, dan yang spiritual tidak mendapat tempat dalam pandangan materialis tersebut. Malahan semuanya itu dicurigai sebagai hal-hal yang mengasingkan manusia dari dirinya dan Namun hal demikian tidaklah mudah dan dapat langsung dikerjakan. Orang tidak boleh terjerumus ke dalam penyederhanaan seakan kehadiran Tuhan bisa begitu saja dibaca dalam suatu realitas sosial. Untuk itu di satu pihak, harus diusahakan suatu hermenentika baru yang bisa membantu untuk menafsirkan kitab suci dan tradisi secara baru, agar orang dapat menangkap tanda-tanda zaman dan tanda-tanda keselamatan dalam suatu 18 Hartono Budi, Teologi Pembebasan, Wacana, No. 03-04 Tahun ke-51, Maret-Apri 2002, h. 10 19 45 Ibid Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 merupakan dunia fantasi manusia belaka. Ajaran demikian jelas bertentangan seratus persen dengan paham agama. Tak mungkin dicari hubungan antara materialisme tersebut dengan iman Islam. menjadi lenguhan kaum yang tertindas, hati dari manusia robot dan jiwa dari keadaan yang kosong.21 Adalah tepat sebuah pembebasan itu datang dari kesadaran agama dengan mengambil marxisme sebagai metodenya. Dimensi transenden yang cenderung dikesampingkan oleh marxisme adalah salah satu yang membuat ideology marxisme mengalami kebangkrutan dewasa ini. Para pemikir dan ideology marxis Negara-negara dunia ketiga, umumnya tidak menunjukkan apresiasinya terhadap sensibilitas budaya dan sentimen keagamaan setempat. Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, bukannya memperkaya spiritual dan budaya masyarakat. Marxisme yang seperti ini merupakan ideology kelas, sedangkan kaum buruh dan petani dilekatkan pada marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak heran jika marxisme tetap kalah menarik dengan fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat, dan dalam hal ini kebutuhan spiritual sama kuatnya dan mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi.20 III. KESIMPULAN Kekayaan normatif Islam dalam AlQur’an yang memiliki keberpihakan terhadap transformasi sosial ekonomi, sosial budaya haruslah menjadi inspirasi utama untuk membebaskan manusia dari ketertindasan seperti yang tercermin dalam gerakan pembebasan yang dilakukan atas dasar teologi pembebasan. Teologi bukan sekedar sebuah nilai seperti tuturan teori yang tidak memiliki keberpihakan. Maka tafsir baru atas teks dalam kitab suci harus berangkat dari ralitas yang ada. Pemikiran-pemikiran yang bersifat teologis seharusnya bertumpu pada kondisi sosiologis. Dengan bahasa sederhana, penafsiran teks harus berangkat dari bawah ke atas. Realitas yang seperti digambarkan Asghar ternyata penuh dengan ketidak adilan sosial. Oleh karenanya, refleksi atas realitas ini menjadikan ktia memiliki tafsir baru atas dasar iman untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan ketidak adilan sosial, baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Asghar Marxisme yang berorientasi ke Barat dengan segala perangkatnya tidak akan banyak berperan. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkannya. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya adalah pendekatan yang sungguh-sungguh dangkal. Karena agama adalah instrument penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideology yang revolusioner. Jadi candu hanya jika Teologi pembebasan pada prinsipnya menurut Asghar lebih menekankan pada praksis daripada teorisasi metafisikteologis. Oleh karenanya teologi pembebasan terasa hanya sebuah kumparan gagasan semata yang menstimulasi terjadinya sebuah gerakan pembebasan. Secara metodologis teologi pembebasan Asghar tida jauh berbeda dengan teologi pembebasan Amerika Latin yang secara metodologis dilandaskan pada pendekatan materialisme histories marxis. 20 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan….,h. 28 21 46 Ibid Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012 Jika dikaji lebih dalam ide pembebasan Asghar dapat juga kita temui pada gagasan sosialisme Islam Ali Syari’ati, Islam kiri Hassan Hanafi dan Teologi Transformatifnya Kantowijoyo. DAFTAR PUSTAKA Achremann, Robert John, 1985, Agama Sebagai Kritik : Analisis Eksistensi Agama-agama Besar, Terj. Herman Hambut, Yogyakarta: Kanisius. Budi, Hartono, 2002, Teologi Pembebasan, Wacana, No. 03-04 Tahun ke-51, Maret-April 2002. Engineer, Asghar Ali, 1999, Islam dan Teologi Pembebasan, Terj. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nitiprawiro, Wahono, 2000, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKIS. Santiso, Listiyono dan Sunarto, 2006, et.al, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: AlRuzz. Sarbini, 2005, Islam di Tepian Revolusi, Yogyakarta : Pilar. Syadzily, Ace Hasan, 2000, Islam dan Keperpihakannya atas Mustad’afin, dalam Wacana, Vol III / Agustus. . 47