proyek teologi pembebasan

advertisement
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
PROYEK TEOLOGI PEMBEBASAN
ASGHAR ALI ENGINEER
Oleh: Neneng Afwah
ABSTRAK
Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam and Liberation Theology dan beberapa
artikel lepas lainnnya memberikan gagasan Teologi Pembebasan dalam Islam dalam rangka
merumuskan kembali Teologi Islam. Perumusan kembali teologi tentu saja tidak bermaksud
mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaan Tuhan (Islam : Tauhid),
melainkan suatu upaya reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun
kolektif dalam menyikapi kenyataan-kenyataan empiris menurut prespektif ketuhanan.dalam
literature sejarah pemikiran kontemporer, pendekatan seperti ini diilhami oleh munculnya
gerakan-gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada sekitar tahun 1960-an.
Jika kita teliti pemikiran Asghar bertumpu pada tiga landasan, pertama, tradisi atau
sejarah Islam. Kedua, metode fenomenologi, dan ketiga, analisis sosial Marxian, karena
gagasan semacam ini merupakan pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial (social
constructed), dalam hal ini realitas dunia Islam, masyarakat perkelas yang merupakan ciri khas
tradisi Marxian.
Kata Kunci: Teologi, Perspektif ketuhanan, Marxian.
I.
PENDAHULUAN
semestinya. Struktur logis tidak pernah
benar-benar berhubungan dengan tematema yang menyangkut tradisi-tradisi dan
kenyataan-kenyataan masyarakat yang
terjadi.1
Agama sering dipahami sebagai
sumber
gambaran-gambaran
yang
sesungguhnya tentang dunia ini sebab ia
diyakini berasal dari wahyu yang
diturunkan untuk manusia. Namun, dalam
perkembangan kemodernan, agama kerap
kali dikritik. Kemudian, sebagai tanggapan
atas
kritik
itu,
orang
mulai
mempertanyakan kembali dan mencari
hubungan yang paling otentik antara
agama
dengan
masalah-masalah
kemodernan.
Agama, lanjut Ackermaann, pada
dasarnya timbul sebagai protes yang sah
melawan masyarakat dan cara hidupnya
dalam upaya meletakkan dasar yang kokoh
bagi kehidupan seseorang demi perbaikan
nasib manusia seluruhnya. Maka, fungsi
agama bagi kemanusiaan akan tampak jika
refleksi terhadap agama dapat diterapkan
dalam kehidupan atau perilaku sosial.
Lebih jauh lagi, secara sosiologis agama
dianggap
tidak
bermakna
apa-apa
Apa yang menjadi kritik terhadap
agama adalah bahwa agama, tepatnya
pemikiran-pemikiran keagamaan, menurut
Ackermann terlalu menitik beratkan
struktur-struktur logis argument-argumen
tekstual
(normative).
Ini
berarti
mengabaikan
segala
sesuatu
yang
membuat
agama
dihayati
secara
1
Lihat, Robert John Achremann, Agama
Sebagai Kritik : Analisis Eksistensi Agama-agama
Besar, Terj. Herman Hambut, (Yogyakarta : Kanisius,
1985)
39
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
sepanjang tidak memberikan pengaruh
yang nyata pada kehidupan masyarakat. 2
dimana
Sheikh
Qurban
Husain,
ayahandanya, menjadi seorang amil
(pegawai yang bekerja di masjid yang
mengelola semacam zakat) pada waktu itu.
Asghar telah diberi pelajaran mengenai
tafsir Al-Qur’an, ta’wil, fiqh, dan hadits.
Asghar juga belajar bahasa Arab dari
ayahnya, dan selanjutnya ia menekuni
serta mengembangkannya sendiri. Ia telah
diajarkan seluruh karya utama dari Fatimi
Da’wah oleh Sayedna Muayyad Shirozi,
Sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna
Hatim Al-Razi, Sayedna Jafar Mansur Al
Yaman dan sebagainya.3
Asghar Ali Engineer dalam bukunya
Islam and Liberation Theology dan
beberapa
artikel
lepas
lainnnya
memberikan gagasan Teologi Pembebasan
dalam Islam dalam rangka merumuskan
kembali Teologi Islam. Perumusan kembali
teologi tentu saja tidak bermaksud
mengubah doktrin sentral tentang
ketuhanan, tentang keesaan Tuhan (Islam :
Tauhid), melainkan suatu upaya reorientasi
pemahaman keagamaan baik secara
individual maupun kolektif
dalam
menyikapi kenyataan-kenyataan empiris
menurut prespektif ketuhanan.dalam
literature sejarah pemikiran kontemporer,
pendekatan seperti ini diilhami oleh
munculnya
gerakan-gerakan
Teologi
Pembebasan di Amerika Latin pada sekitar
tahun 1960-an.
Asghar
juga
mendapatkan
pendidikan secular, disamping pendidikan
agama. Ia adalah lulusan teknik sipil dari
Indore, Madhya Pradesh dengan tanda
kehormatan, serta mengabdi selama dua
puluh tahun sebagai seorang insinyur di
Korporasi kota Praja Bombay (Bombay
Municipal Corporation) dan kemudian
mengundurkan diri secara sukarela untuk
menerjunkan dirinya ke dalam gerakan
reformasi Bohra. Ia mulai memainkan
peran penting dalam gerakan reformasi
dari
tahun
1972,
ketika
terjadi
pemberontakan Udapur. Asghar telah
menulis beberapa artikel tentang gerakan
reformasi di beberapa Koran India
terkemuka seperti The Times of India,
Indian Express, statesmen, Telegraph, The
Hindu, dan sebagainya. Ia terpilih dengan
suara bulat sebagai Sekretaris Umum
Dewan Pengurus Pusat Masyarakat
Dawoodi Bahra dalam konferensinya yang
pertama di Udapur pada tahun 1977.
Jika kita teliti pemikiran Asghar
bertumpu pada tiga landasan, pertama,
tradisi atau sejarah Islam. Kedua, metode
fenomenologi, dan ketiga, analisis sosial
Marxian, karena gagasan semacam ini
merupakan pengetahuan yang terbentuk
atas dasar watak sosial (social constructed),
dalam hal ini realitas dunia Islam,
masyarakat perkelas yang merupakan ciri
khas tradisi Marxian. Dalam makalah ini
penulis akan berusaha mengungkap
gagasan tentang Teologi Pembebasan yang
ditawarkan Asghar dan bagaimana Teologi
ini dihadapkan pada tataran praksis, serta
bagaimana
sikap
Asghar
terhadap
Marxisme.
II.
Ia
mencurahkan
waktu
dan
pikirannya demi urusan besar pada waktu
itu, yaitu gerakan reformasi dan
menginternasionalisasikan
gerakan
reformasi, baik melalui tulisan maupun
ceramah-ceramahnya.4
PEMBAHASAN
A. Sketsa Hidup Asghar dan Karyakaryanya
Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam
keluarga muslim yang taat pada 10 Maret
1939 di Salumba, Rajusthan, dekat Udapur,
2
3
Listiyono Santiso, Sunarto, et.al,
Epistemologi Kiri, Yogyakarta : Al-Ruzz, 2006, h. 299
4
Ibid, h. 300
Ibid
40
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
Asghar juga menghasilkan karya atas
masalah yang tak kalah berat, yaitu
tentang
kekerasan
komunal
dan
komunalisme di India sejak pecahnya
kerusuhan besar pertama di Jabalpur,
India, pada tahun 1961. karyanya ini
dipertimbangkan sebagai pelopor dan
telah diakui oleh Universitas Cakutla yang
kemudian
menganugerahkan
gelar
kehormatan (D.Lit) padanya pada bulan
Februari 1983.
dilanjutkan oleh para Da’i (istilah ini
berasal
dari
Dandi)
yang
selalu
berhubungan dengan Imam terakhir itu.
Untuk diakui sebagai seorang Da’i tidaklah
mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi
yang diringkas dalam 4 kelompok : (1)
kualifikasi-kualifikasi
pendidikan;
(2)
kualifikasi-kualifikasi administratif; (3)
kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal
dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan
kepribadian. Yang menarik adalah bahwa
diantara kualifikasi itu seorang Da’i harus
tampil sebagai pembela umat yang
tertindas
dan
berjuang
melawan
kezaliman. Dan Asghar adalah Da’i.6
Asghar diakui sebagai seorang
sarjana Islam terkemuka. Ia juga memberi
kuliah di beberapa universitas terkemuka
di Amerika, Kanada, Indonesia, Malaysia,
Jerman, Prancis, Thailand, Pakistan, Sri
Langka, Yaman, Meksiko, Lebanon, Mesir,
Jepang, Uzbekistan, Rusia, dan sebagainya.
Ia juga mengajar di seluruh universitas di
India.5
Asghar juga merupakan penulis
produktif yang telah melahirkan lebih dari
empat puluh buku dan artikel, diantaranya
adalah The Bohras (1980), Indian-Muslims :
A Study of Minority Problem (1984), On
Development Theory of Communal Riots
(1984), Struggles for Reforms in Bohra
Community
(1984),
Origin
and
Development of Islam (1986), Liberation
Theology in Islam (1990), Rethinking Issues
in Islam (1998), Rational Approach to Islam
(2000), Islam and Revolution (1994), dan
sebagainya.
Pada hari Republik India, Asghar juga
diberi penghargaan National Communal
Harmony Award pada tahun 1997 oleh
Pemerintah India dalam pengakuannya
atas karya Asghar dalam mempromosikan
harmoni komunal kepada dunia.
Dlam komunitas Dandi Bohras, yang
berpusat di Bombay India, yaitu kelompok
Syiah Isma’iliyah, Asghar yang idealis yang
selalu ingin menerapkan gagasan liberalnya
ini, harus menghadapi reaksi generasi tua
yang
cenderung
konservatif
dan
mempertahankan kemapanan.
B. Islam dan Teologi Pembebasan dalam
Perspektif Asghar
Di awal tulisannya Asghar begitu
bersemangat membongkar bangunan
teologi “konvensional” yang selama ini
menjadi landasan beragama umat Islam. Ia
mengajak pembaca untuk flash back ke
zaman awal Nabi Muhammad berda’wah,
bahwa kedatangan Islam merupakan
sebuah revolusi yang selama berabad-abad
telah berperan secara sangat signifikan
dalam panggung sejarah umat manusia.7
Untuk memahami latar belakang
kagamaan Asghar, ada baiknya diketahui
terlebih dahulu kelompok Dandi Bohras.
Para pengikut kelompok ini dipimpin oleh
Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki
Amir Al Mukminin. Mereka mengenal 21
imam. Imam mereka yang terakhir adalah
Mawlana Abu Al Qasim Al Thayyib yang
menghilang pada tahun 536 H. akan tetapi
mereka masih percaya bahwa ia masih
hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya
5
6
Ibid, h. 301
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
Pembebasan, Terj. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1999, h. IX
7
Ibid
41
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
Peran Islam sebagai agent of change
dapat
dilihat
pada
awal
masa
penyebarannya di Jazirah Arab. Sebagai
pengemban misi terakhir dan dipercaya
sebagai khatamul anbiya, kedatangan
Muhammad SAW dimaksudkan sebagai
pembebas kaum Arab Mekkah yang saatitu
berada dalam kondisi politik-sosial yang
menghawatirkan. Sebuah masa yang
dikenal sebagai zaman jahiliyah. Islam
datang
untuk
membebaskan
masyarakatnya dari kebutahurufan, tidak
sewenang-wenang suku yang berkuasa dan
pelecehan martabat pada wanita. Tindakan
revolusioner ini berhasil membawa Arab
pada
puncak
peradaban
yang
mengagumkan.8
eskatologi dan masalah yang bersifat
duniawi (wordy questions) semata.9
Namun
demikian
nilai-nilai
revolusioner pada Islam saat ini mengalami
kemandekan. Pada sebagian pemeluknya,
Islam tak lebih hanya serangkaian ibadat
yang mati. Menurut Asghar berdirinya
dinasti
Umayyah
dan
Abbasiyah
mempunyai andil terhadap proses
kemandegan tersebut. Umat Islam pada
saat itu hanya disibukkan dengan
pemerintahan yang rebut soal perebutan
kekuasaan
yang
berorientasi
pada
kepentingan pribadi. Kondisi ini diperparah
dengan persinggungan antara Islam dan
ilmu pengetahuan Yunani. Meskipun
persinggungan ini membawa dampak
positif dimana, menurut Asghar hanya
menguntungkan sebagian elit intelektual
saja, tetapi akibatnya kalangan elit Islam
semakin bersemangat untuk melakukan
intellectual
exercise
yang
bersifat
spekulatif., dan teologi Islam yang
sebenarnya sangat dekat dengan masalah
keadilan sosio-ekonomi (sebagaimana
ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat AlQur’an yang peduli terhadap masalahmasalah perlindungan terhadap golongan
lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir
miskin, budak, dan lainnya), mulai
mengalihkan perhatian pada masalah
Menurut Asghar, jabr berkonotasi
sebagai individu dan masyarakat yang tidak
mempunyai
kebebasan
untuk
berkehendak,
sedangkan
ikhtiyar
bermakna pilihan untuk melakukan
sesuatu. Para pengikut pendapat pertama
disebut jabariyah dan yang kedua adalah
qodariyah. Semua sekte-sekte syi’ah.
Khawarij dan Mu’tazilah merpakan oposan
dari
pemerintahan
Umayyah
yang
menindas dan eksploitatif.
Secara histories, telah terjadi
perdebatan teologi Islam yang hangat
berkenaan dengan soal kehendak atau
pilihan bebas (Ikhtiyar/free will) vis-à-vis
ketundukan pada takdir Tuhan (jabr / predetermination) selama periode Umayyah.
Kekuasaan Umayyah yang dipegang oleh
Amir Mu’awiyah ingin menyebarkan
dogma pre-determinasi sebagai lawan dari
kehendak
bebas,
dalam
rangka
mempertahankan status quo yang mereka
ciptakan.10 Sejak saat itu paham kehendak
bebas dan pre-determinasi menjadi bahan
diskusi yang intensif dalam teologi Islam.
Dalam
pandangan
teologi
pembebasan, menurut Asghar, manusia itu
bebas dan bertanggung jawab atas
perbuatannya ia mengemukakan bahwa
manusia
diciptakan
Allah
untuk
menentukan nasibnya sendiri dalam batasbatas yang ditetapkanNya atau untuk
melewati batas-batas itu. Sedangkan dalam
hal tanggung jawab, manusia adalah
makhluk yang memiliki kehendak bebas.
Teologi Pembebasan memandang konsep
pre-determinasi dalam perspektif yang
proporsional.
Dalam
teologi
sikap
penyerahan diri secara pasif kepada
kemauanNya. Dalam teks Al-Qur’an tidak
akan menghasilkan kesimpulan yang tegas,
karena istilah Allah itu mahakuasa tidak
9
8
Ibid, h. X
Ibid, h. 15-16
10
Lihat, Ibid
42
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
berarti memasung kebebasan dan inisiatif
manusia. Justru kata-kata Allah Maha
Kuasa berarti Dia berkuasa untuk membuat
hukum alam dan memberikan kebebasan
kepada manusia untuk mengikutinya.
Hukum Allah itu merupakan kerangka nilai
yang bermuara pada kemajuan dan
kesehatan sosial, bebas dari struktur sosioekonomi yang menindas, meninggalkan
harkat kemanusiaan dan tidak memberi
tempat kepada para penindas dan
eksploitasi. Al-Qur’an justru mendesak
manusia
untuk
selalu
berusaha
meningkatkan
harkat
kemanusiaan,
menghapuskan kejahatan serta mengakhiri
penindasan dan eksploitasi.11
mengakui konsep metafisika tentang takdir
dalam rentang sejarah umat Islam, juga
konsep bahwa manusia itu bebas
menentukan nasibnya sendiri.12 Teologi
Pembebasan mendorong pengembangan
praksis Islam sebagai hasil tawar-menawar
antara kebebasan manusia dan takdir.
Teologi Pembebasan lebih menganggap
keduanya sebagai pelengkap daripada
sebagai konsep yang berlawanan.
C. Teologi dan Praksis Pembebasan
Proyek teologi pembebasan Asghar
lebih menitikberatkan pada aspek praksis
daripada teoritisasi metafisik-teologis yang
tidak jelas yang mencakup hal-hal yang
abstrak dan konsep-konsep yang ambigu.
Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif
dan menyangkut interaksi dialektis antara
“apa yang ada” dan “apa yang
seharusnya”.13 Islam bersifat liberatif,
karena
menjadi
ancaman
yang
membahayakan bagi status quo atau
segala
bentuk
kemapanan
yang
mengeksploitasi kaum yang lemah.
Bertolak dari sini, agaknya yang
kemudian membuat Asghar merevisi
konsep dan pengertian mukmin dan kafir
yang berbeda dengan apa yang umum
dipahami oleh umat Islam sekarang. Kafir
menurutnya adalah orang-orang yang
menumpuk
kekayaan
dan
terus
membiarkan kezaliman dalam masyarakat
serta merintangi upaya-upaya menegakkan
kadilan.
Meskipun sama-sama menekankan
pada aspek praksis, Teologi Pembebasan
Asghar sedikit memiliki perbedaan titik
tolak dengan Teologi Pembebasan Amerika
Latin. Teologi Pembebasan Asghar
berlandaskan pada Al-Qur’an dan sejaran
Nabi, sedangkan Teologi Pembebasan
Amerika Latin hanya bersandar kepada Injil
semata. Sebagaimana yang diungkapkan
Gustavo
Gutierrez
bahwa
Teologi
Pembebasan adalah suatu suatu refleksi
yang berangkat sekaligus dari Injil dan
pengalaman para lelaki dan perempuan
Benua Amerika Latin, yang hidup dalam
penindasan dan perampasan haknya, dan
karena itu merasa tertuntut untuk ikut
serta dalam proses pembebasan. 14 Kata-
Dalam pandangannya, agama mesti
dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang
bersifat filosofis, yang berkembang
mencapai puncaknya hingga aspek teologis
yang bersifat filosofis ini menjadi bagian
utama dari agama yang justru mendukung
kelompok penindas, jika agama masih
dianggap sebagai kebaikan dan berdiri
sepihak dengan revolusi, kemajuan dan
perubahan. Oleh karenanya Teologi
Pembebasan menurut Asghar adalah : (1)
mesti dimulai dengan melihat kehidupan
manusia di dunia dan akhirat; (2) anti
status quo yang melindungi golongan kaya
(the haves) dari golongan miskin; (3)
pembela kelompok yang tertindas dan
tercabut
hak
miliknya,
serta
memperjuangkan kepentingan mereka
dengan senjata ideologis yang kuat untuk
melawan para penindas; (4) disamping
11
12
Ibid. h.2
Ibid. h. 8
14
Dikutip dari Hartono Budi, Teologi
Pembebasan dalam Basis, No. 03-04, Tahun ke-51,
2002, h. 9
13
Ibid
43
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
kata Gutierrez itulah yang sampai kini
dianggap sebagai definisi klasik Teologi
Pembebasan.
revolusioner, dan Nabi SAW sebagai Nabi
Revolusioner kecenderungan pemahaman
teologi
yang
demikian
tampaknya
dipertegas oleh pemaparan Ali Syari’ati,
bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi
basis gerakan revolusioner tidak selalu
berangkat dari kesadaran kelas, tetapi dari
kesadaran agama yang radikal. Agama
sebagai
kerangka
teoretik
untuk
melakukan konseptualisasi terhadap the
sosial movements.16
Bagaimana bentuk praksis yang
diinginkan Asghar ? tampaknya dalam hal
ini Asghar setuju dengan pandangan
Camilo Torres, dimaa menurut Torres
kekerasan dalam upaya pembebasan
bukanlah jalan tepat. Ia tidak menyetujui
tindakan suversif yang umumnya dilakukan
kelompok-kelompok
kiri
untuk
mewujudkan revolusi.15
Jika kita merujuk kepada teologi
dominant selama ini, baik dalam Kristen
atau Islam, teologi selalu berangkat dari
nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam
kitab suci. Sementara dalam teologi
pembebasan, refleksi teologis merupakan
langkah kedua setelah analisis sosial
tentang kondisi-kondisi yang dialami
masyarakat. Dengan demikian, dalam
teologi pembebasan, praksis merupakan
langkah pertama dalam berteologi. Karena
menempatkan refleksi sebagai langkah
pertama dalam berteologi. Karena
menempatkan refleksi sebagai langkah
kedua, maka dalam teologi ini dilengkapi
dengan mekanisme yang terus menerus
mengkritik dirinya. Refleksi atas praksis
dapat dikritik bahkan ditiadakan oleh
refleksi yang sama melalui mekanisme
praksis yang terus menerus berubah dan
berkembang.
Teologi
pembebasan
bukanlah teologi yang menetapkan status
quo yang karenanya dianggap kebal
kritik.17
Adapun bentuk praksis bagi Asghar
merujuk pada
term
jihad. Jihad
dimaksudkan
untuk
melindungi
kepentingan orang lemah dan tertindas,
jihad guna melakukan pembebasan, bukan
jihad untuk melakukan perang. Tetapi
bahwa akhirnya menggunakan kekerasan
subversif,
dan
bergabung
dengan
kelompok gerilya, memanggul senjata
symbol kekerasan, sebagaimana yang
dilakukan Torres sendiri di Latin dan
Khumaini di Iran adalah sah menurut
Asghar, karena ia mencontohkan model
pembebasan ideal adalah Iran.
Meskipun tidak secara eksplisit
Asghar mengatakan bahwa gagasan
pembebasannya merujuk pada revolusi
sebagaimana dewasa ini dipahami, akan
tetapi pandangannya terhadap Khumaini
dan revolusi Iran menyiratkan bahwa
gagasan pembebasan yang ia maksud
adalah
sebagaimana
pembebasan
Khumaini terhadap masyarakat Iran yang
tertindas oleh rezim Syah, yang artinya
adalah revolusi.
Dari sini dapat dipahami bahwa
teologi pembebasan sesungguhnya adalah
sebuah ide alternative dalam tatanan
metodologis, bukan pada isi. Oleh
karenanya, teologi ini mempunyai relevansi
untuk diterapkan pada semua jenis teologi
yang obyek atau sudut pandang dari jenis
Revolusi sebagaimana ditulis Asghar
tidak lantas tercabut dari akar agama,
bahkan
agama
sendiri
mendorong
terjadinya revolusi, sebagaimana ketika ia
menyebut
Islam
sebagai
Islam
16
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi,
(Yogyakarta : Pilar, 2005), h. 161-162
17
Ace Hasan Syadzily, Islam dan
Keperpihakannya atas Mustad’afin, dalam Wacana,
Vol. III / Agustus 2000, h. 22.
15
Lihat Wahono Nitiprawiro, Teologi
Pembebasan : Sejarah, Metode, praksis, dan Isinya,
(Yogyakarta : LKIS, 2000). H. 52
44
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
yang sama. Pilihan kelompok masyarakat
yang tertindas sebagai locus theologicus
teologi ini tidak hanya menjadi perhatian
agama Kristen semata, tetapijuga menjadi
perhatian semua agama termasuk Islam.
realitas sosial. Dan di lain pihak, orang
harus berani menganalisis realitas sosial itu
dengan metode dan cara yang tajam dan
mengena, sampai ia dapat menemukan
gerak dan dinamika pembebasan yang
hidup dan relevan. Dalam kaitan dengan
yang terakhir inilah teologi pembebasan
menggunakan analisis marxis.
D. Sikap Terhadap Marxisme
Harus diakui, praksis pembebasan
yang ditawarkan Asghar maupun teologi
pembebasan Kristen sangat diwarnai
dengan pendekatan dan inspirasi marxis,
peniadaan kelas di masyarakat dan upaya
terbentuknya
konstruksi
masyarakat
sosialis yang adil dan merata. Akan tetapi
tya yang mengatakan bahwa teologi
pembebasan seutuhnya marxis, tidak
benar. Bagaimana sesungguhnya hubungan
teologi pembebasan dan marxisme itu ?
Teologi
pembebasan
memang
menggunakan marxisme, sejauh marxisme
membantu
analisis
mereka.
Yang
dimaksudkan disini, menurut Leonardo
Boff,19 adalah teori analisis ilmiah, yang
dikembangkan berdasarkan ajaran Marx
tentang materialisme histories. Dengan
materialisme histories, orang dibantu
untuk bisa memahami dengan tajam dan
rasional perbedaan kaya dan miskin yang
membuahkan
ketidak
adilan,
lalu
mamahami dialektika dalam masyarakat
tersebut, yang kemudian membawa pada
pemahaman praksis pembebasan yang bisa
dipertanggung jawabkan secara rasional.
Materialisme historis juga membantu, agar
orang tidak terlalu mnspiritualisasikan
pembebasan, seakan pembebasan itu
hanya mengenai spiritual-rohani saja, dan
tidak mengenai yang material-insani.
Menurut
Sobrino,
teologi
pembebasan ingin mengangkat realitas
sosial ke dalam pengertian teologis, seperti
yang sudah terkandung dalam pewahyuan
Tuhan dalam kitab suci dan jawaban
pertanyaan manusia atas pewahyuan
tersebut dalam tradisi gereja dan
teologinya. Dengan kata lain, substansi
pokok teologi pembebasan. Kitab suci dan
tradisi itu adalah depositum fidei, deposito
iman, yang senantiasa dijadikan kriteriaum
dan regulasi untuk menangkap dan
menafsirkan kehadiran Tuhan dalam
kenyataan dan realitas aktual.18
Sementara menerima teori marxis
sebagai
metode
ilmiah,
teologi
pembebasan menolak mentah-mentah
marxisme sebagai doktrin, ideology dan
praksis filosofis yang materialistis dan
ateistis. Yang dimaksudkan disini adalah
ajaran, ideology atau praksis, yang
mendasarkan diri pada ajaran Marx
tentang materialisme dialektis. Ajaran ini
jelas mempersempit realitas manusia
hanya sebagai materi saja, dan karenanya
mengembalikan semuanya pada materi.
Apa saja yang disebut transenden, yang
melampaui ruang dan waktu, dan yang
spiritual tidak mendapat tempat dalam
pandangan materialis tersebut. Malahan
semuanya itu dicurigai sebagai hal-hal yang
mengasingkan manusia dari dirinya dan
Namun hal demikian tidaklah mudah
dan dapat langsung dikerjakan. Orang tidak
boleh
terjerumus
ke
dalam
penyederhanaan seakan kehadiran Tuhan
bisa begitu saja dibaca dalam suatu realitas
sosial. Untuk itu di satu pihak, harus
diusahakan suatu hermenentika baru yang
bisa membantu untuk menafsirkan kitab
suci dan tradisi secara baru, agar orang
dapat menangkap tanda-tanda zaman dan
tanda-tanda keselamatan dalam suatu
18
Hartono Budi, Teologi Pembebasan,
Wacana, No. 03-04 Tahun ke-51, Maret-Apri 2002, h.
10
19
45
Ibid
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
merupakan dunia fantasi manusia belaka.
Ajaran demikian jelas bertentangan seratus
persen dengan paham agama. Tak mungkin
dicari hubungan antara materialisme
tersebut dengan iman Islam.
menjadi lenguhan kaum yang tertindas,
hati dari manusia robot dan jiwa dari
keadaan yang kosong.21 Adalah tepat
sebuah pembebasan itu datang dari
kesadaran agama dengan mengambil
marxisme sebagai metodenya.
Dimensi transenden yang cenderung
dikesampingkan oleh marxisme adalah
salah satu yang membuat ideology
marxisme
mengalami
kebangkrutan
dewasa ini. Para pemikir dan ideology
marxis Negara-negara dunia ketiga,
umumnya tidak menunjukkan apresiasinya
terhadap sensibilitas budaya dan sentimen
keagamaan setempat. Pada umumnya
untuk menarik perhatian masyarakat,
marxisme menggunakan idiom-idiom yang
bertujuan meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi, bukannya memperkaya spiritual
dan budaya masyarakat. Marxisme yang
seperti ini merupakan ideology kelas,
sedangkan kaum buruh dan petani
dilekatkan pada marxisme dalam rangka
mencapai tujuan ekonomi yang terbatas
dan mereka dijauhkan dari semangat
budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak
heran jika marxisme tetap kalah menarik
dengan fundamentalisme, konservatisme,
dan
kelompok-kelompok
reaksioner,
karena terakhir ini mampu memenuhi
kebutuhan spiritual masyarakat, dan dalam
hal ini kebutuhan spiritual sama kuatnya
dan mendesaknya dengan kebutuhan
ekonomi.20
III.
KESIMPULAN
Kekayaan normatif Islam dalam AlQur’an yang memiliki keberpihakan
terhadap transformasi sosial ekonomi,
sosial budaya haruslah menjadi inspirasi
utama untuk membebaskan manusia dari
ketertindasan seperti yang tercermin
dalam
gerakan
pembebasan
yang
dilakukan atas dasar teologi pembebasan.
Teologi bukan sekedar sebuah nilai seperti
tuturan teori yang tidak memiliki
keberpihakan.
Maka tafsir baru atas teks dalam
kitab suci harus berangkat dari ralitas yang
ada. Pemikiran-pemikiran yang bersifat
teologis seharusnya bertumpu pada
kondisi
sosiologis.
Dengan
bahasa
sederhana,
penafsiran
teks
harus
berangkat dari bawah ke atas. Realitas
yang seperti digambarkan Asghar ternyata
penuh dengan ketidak adilan sosial. Oleh
karenanya, refleksi atas realitas ini
menjadikan ktia memiliki tafsir baru atas
dasar iman untuk membebaskan manusia
dari ketertindasan dan ketidak adilan
sosial, baik secara politik, ekonomi, sosial
dan budaya.
Menurut Asghar Marxisme yang
berorientasi ke Barat dengan segala
perangkatnya tidak akan banyak berperan.
Marxisme
juga
tidak
bisa
mengesampingkan
agama,
apalagi
mencampakkannya. Menganggap agama
sebagai
candu
masyarakat
dan
membuangnya adalah pendekatan yang
sungguh-sungguh dangkal. Karena agama
adalah instrument penting dan dapat
digunakan sebagai candu atau ideology
yang revolusioner. Jadi candu hanya jika
Teologi pembebasan pada prinsipnya
menurut Asghar lebih menekankan pada
praksis daripada teorisasi metafisikteologis.
Oleh
karenanya
teologi
pembebasan
terasa
hanya
sebuah
kumparan
gagasan
semata
yang
menstimulasi terjadinya sebuah gerakan
pembebasan. Secara metodologis teologi
pembebasan Asghar tida jauh berbeda
dengan teologi pembebasan Amerika Latin
yang secara metodologis dilandaskan pada
pendekatan materialisme histories marxis.
20
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
Pembebasan….,h. 28
21
46
Ibid
Jurnal Studi Islam Madinah, Volume 7 Nomor 1 Juni 2012
Jika dikaji lebih dalam ide
pembebasan Asghar dapat juga kita temui
pada gagasan sosialisme Islam Ali Syari’ati,
Islam kiri Hassan Hanafi dan Teologi
Transformatifnya Kantowijoyo.
DAFTAR PUSTAKA
Achremann, Robert John, 1985, Agama
Sebagai Kritik : Analisis Eksistensi
Agama-agama Besar, Terj. Herman
Hambut, Yogyakarta: Kanisius.
Budi, Hartono, 2002, Teologi Pembebasan,
Wacana, No. 03-04 Tahun ke-51,
Maret-April 2002.
Engineer, Asghar Ali, 1999, Islam dan
Teologi
Pembebasan,
Terj.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nitiprawiro, Wahono, 2000, Teologi
Pembebasan: Sejarah, Metode,
praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKIS.
Santiso, Listiyono dan Sunarto, 2006, et.al,
Epistemologi Kiri, Yogyakarta: AlRuzz.
Sarbini, 2005, Islam di Tepian Revolusi,
Yogyakarta : Pilar.
Syadzily, Ace Hasan, 2000, Islam dan
Keperpihakannya atas Mustad’afin,
dalam Wacana, Vol III / Agustus.
.
47
Download