Document

advertisement
1
2
3
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
Patologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyakit. Patologi meliputi
kejadian penyakit secara alami serta perubahan morfologi dan fungsional dalam
jaringan tubuh selama sakit. Hasil akhir dari mempelajari patologi bagi klinikus adalah
mendiagnosis dan penanganan terhadap penyakit. Untuk memperoleh diagnosis
penyakit melalui patologi, maka perlu dipelajari perkembangan, struktur dan fungsi
normal jaringan tubuh. Untuk itu ilmu yang perlu dipelajari antara lain embriologi,
anatomi, histologi, genetika, farmakologi, biokimia dan fisiologi. Untuk mempelajari
bagaimana agen infeksi menyebabkan penyakit, maka perlu dipelajari virology,
bakteriologi, parasitologi dan toksikologi. Dengan mempelajari bidang-bidang ilmu
tersebut, maka suatu penyakit dapat ditangani, dicegah dan ditentukan tingkat
kesembuhannya atau prognosis. Prognosis meliputi tiga yaitu fausta, dubius atau
infausta. Prognosis fausta artinya suatu penyakit dapat disembuhkan; dubius artinya
kesembuhan diragukan; sedangkan infausta artinya suatu penyakit dipastikan tidak
dapat disembuhkan.
Jika suatu hewan sakit, maka dipastikan ada bagian tubuh yang tidak berfungsi
semestinya. Kegagalan fungsi organ tubuh tersebut bagi klinikus dan patologist akan
dipelajari untuk menemukan penyebabnya dan sekaligus penanganannya. Tetapi pada
hewan yang mengalami kematian tiba-tiba dimana tanpa diketahui sakit secara klinis,
maka bidang patologi dapat menelusurinya. Patologi adalah ilmu yang mempelajari
penyakit secara molekuler, biokimia, aspek fungsional dan morfologi dari penyakit
dalam cairan tubuh, sel, jaringan dan organ tubuh, sehingga berdasarkan jenis gangguan
ini, suatu penyebab penyakit dapat ditelusuri.
Ada beberapa batasan digunakan dalam penjelasan penyakit secara patologi
antara lain tanda klinis, lesi (jejas), etiologi, patogenesis, diagnosis dan prognosis. Jika
ada hewan yang diare, maka sulit ditelusuri secara langsung melalui menanyakan
makanan apa yang telah dimakannya seperti halnya pada manusia. Untuk menelusuri
penyebab diare pada hewan adalah dengan memeriksa lesi atau jejas terutama pada
6
mukosa usus. Berdasarkan lesi tersebut ditelusuri penyebabnya sesuai karakteristik dari
agen infeksi (etiologi).
Patologi mempelajari kejadian dan bagaimana terjadi suatu penyakit.
Kejadiannya adalah lesi yang terjadi dan teramati. Sedangkan ’bagaimana terjadi’
merupakan patogenesis atau perjalanan penyakit dari mulai masuk dalam tubuh dan
perkembangannya sampai menimbulkan penyakit. Mempelajari patologi melibatkan
istilah-istilah atau bahasa baru yang bertujuan untuk mendefenisikan lesi-lesi dengan
patogenesisnya dan etiologinya. Hal ini merupakan pemahaman suatu teori patologi
untuk mengkomunikasikan suatu lesi. Secara praktis seorang pathologist harus mampu
menguraikan lesi-lesi, mengenali proses penyakit dan menjelaskan bagaimana lesi
tersebut terjadi. Semua ini memerlukan pengalaman dalam praktek, pemaparan
spesimen dan kemampuan memecahkan masalah. Pelatihan teknik pemeriksaan lesi
yang ditunjang dengan pengetahuan patogenesis penyakit, prosedur diagnostik, dan
interpretasi lesi-lesi yang ada, maka diagnosis dan prognosis suatu penyakit dapat
ditegakkan secara akurat.
Penggunaan istilah pada patologi hendaknya tepat untuk menghindari
kebingungan. Pada patologi umum kebanyakan digunakan diagnosis morfologis pada
lesi-lesi jaringan. Lesi makroskopis dijelaskan dengan disertai keterangan tentang
lokasi, warna, ukuran, bentuk, konsistensi dan penampakan pada bidang sayatan. Lesi
juga perlu penjelasan kuantifikasi dengan pengukuran yang tajam dengan batasan
umum seperti ringan, sedang atau berat. Uraian mikroskopis perlu orientasi dari
komponen lesi.
Berbagai tipe abnormalitas atau lesi yang terjadi dikelompokkan sesuai dengan
tujuan yang dipelajari. Dalam patologi umum, kategori yang umum dipelajari adalah
lesi-lesi yang berkaitan dengan degenerasi dan nekrosis sel, gangguan sirkulasi,
peradangan dan kesembuhan, gangguan pertumbuhan, neoplasma, patologi imun dan
hubungan inang-parasit dalam menimbulkan penyakit. Sedangkan pada patologi
sistemik biasanya menyangkut penyakit spesifik dari sistem organ diantaranya sistem
pencernaan, respirasi, urinaria, tulang dan otot, dan syaraf.
Patologist atau ahli patologi adalah orang yang mengabdikan dirinya untuk
mempelajari proses penyakit. Patologist bekerja secara prinsip pada mekanisme
7
patogenesis penyakit, sering pada level biokimia maupun morfologi. Praktisi patologist
bekerja pada tujuan diagnosa penyakit dan melakukan autopsi (nekropsi) dan
menginterpretasi hasil nekropsi maupun biopsi. Tujuannya adalah menemukan,
memberi nama dan menginterpretasikan lesi pada jaringan yang diperiksa. Sangat
sering patologist mengobservasi penyakit yang alami sebagai kunci dalam proses
penentuan patogenesis dari lesi suatu penyakit. Patologist berusaha membuat diagnosis,
mungkin morfologik (penamaan lesi), etiologik (penamaan penyebab), atau defenitif
(penamaan penyakit spesifik). Contoh, lesi kataral enteritis, disebabkan oleh
Escherichia coli, nama penyakitnya Colibasilosis. Contoh lain: lesi granulomatous
enteritis, disebabkan oleh Mycobacterium paratuberculosis, nama penyakitnya Johne’s
disease. Sering tidak mungkin menentukan penyebab penyakit secara spesifik, sehingga
patologist
mencatat
dan
menguraikan
lesi
morfologis
dan
kemudian
menginterpretasikan apa yang terjadi.
Peran utama veteriner (kedokteran hewan) adalah diagnosis, penanganan,
pencegahan dan kontrol terhadap penyakit hewan dalam upaya mengurangi kerugian
ekonomi masyarakat. Kunci dari fungsi ini adalah diagnosis. Kunci diagnosis adalah
kemampuan mengenali lesi pada hewan mati maupun sakit, memahami patogenesis dan
dari hal-hal tersebut dapat dibuat kesimpulan dan rekomendasi untuk pengobatan,
kontrol dan pencegahan. Pemilik hewan mengharapkan diagnosis serta interpretasi dari
konskuensi penyakit terhadap kelompok ternak yang lain. Prognosis dapat ditetapkan
jika patogenesis penyakit diketahui. Para klinikus akan tepat dapat melakukan terapi
jika diagnosis serta prognosis telah dipastikan berdasarkan patogenesis yang pasti.
Diagnosis dan prognosis menghendaki pengenalan lesi dengan patogenesisnya yang
komprehensif. Sehingga patologi sering disebut benar-benar sebagai ujung tombak dari
bidang kedokteran, baik kedokteran manusia maupun kedokteran hewan.
8
BAB II
DEGENERASI DAN NEKROSIS
Patologi adalah ilmu yang mempelajari proses terjadinya penyakit (patogenesis)
berdasarkan lesi-lesi/ jejas yang ada pada sel/jaringan hewan/manusia sehingga dapat
dijelaskan sebab-sebab sakit atau kematiannya. Lesi/jejas yang dimaksud meliputi
perubahan fungsi dan morfologis sel/jaringan baik dari aspek anatomis, histologis,
patofisiologis dan manifestasi klinis yang dapat diamati. Oleh karena itu, mempelajari
patologi harus kuat bidang ilmu-ilmu tersebut, yaitu : anatomi, histologi, biokimia,
fisiologi, diagnosa klinik dan yang lainnya. Sangat mustahil dapat menentukan
sel/jaringan mengalami sakit apabila tidak tahu bagaimana normalnya.
Patognomonis adalah lesi yang khas/menciri, sehingga dapat dipastikan penyakitnya.
Contoh : lesi negri`s bodies pada hipocampus/otak anjing → rabies
Perdarahan ptekie pada proventrikulus ayam → ND
.
.
Sel Normal
Degenerasi (Sakit)
Nekrosis (Mati)
DEGENERASI
Degenerasi adalah perubahan morfologi dan fungsi sel/jaringan yang bersifat
reversibel (sel/jaringan sakit).
9
Lesi degenerasi diberi akhiran `osis` pada nama jaringan yang mengalami degenerasi.
Contoh : Nefrosis (nefron = ginjal), hepatosis (hepar)
Lesi degenerasi secara umum diamati meliputi membran sel, sitoplasma dan inti
(nukleus). Apakah membran sel berlipat, mengkerut atau tegang/membengkak,
tergantung jenis degenerasi. Sitoplasma yang dimana organel-organel berlokasi,
sedapat mungkin diamati perubahannya. Inti sel diamati warna, bentuk dan
keberadaannya (di tepi sel atau di tengah-tengah).
Jenis-jenis degenerasi :
1.
Degenerasi parenkimatosa (clowdy swelling)
Degenerasi parenkimatosa umumnya terjadi pada organ yang terdiri dari sel-sel
parenkim (hati, ginjal) ditandai pembengkakan sel, sehingga secara keseluruhan
organ membengkak. Penyebabnya : mekanik, anoksia, toksik, peroksidasi lipid,
karena infeksi viral, bakterial dan respon kekebalan berlebihan.
Perubahan makroskopik yang dapat diamati adalah pembengkakan organ/
jaringan hati dan ginjal. Ketidak seimbangan osmotik intra dan ekstrasel
diakibatkan oleh gangguan `sodium pump`. Na (sodium) merupakan mineral
intrasel dan K merupakan ekstrasel.
2.
Degenarasi melemak
Degenerasi melemak (fatty degeneration) merupakan akumulasi lemak dalam
sitoplasma sel. Biasanya terjadi dalam sel-sel parenkimatosa, misalnya sel hepar
(fatty liver), tubulus ginjal, myocard dan lain-lain. Pada pewarnaan hematoksilin
eosin (HE), lemak yang hilang akibat proses dehidrasi dengan alkohol akan
terbentuk vacuola-vacuola sehingga sering disebut degenerasi vacuola. Lemak
dalam sitoplasma sel dapat mendesak inti sel ke pinggir yang tampak pada
pemeriksaan mikroskopik. Penyebabnya antara lain : gangguan hepatosit (diet,
toksik) sehingga tidak terbentuk lipoprotein. Lipoprotein adalah lemak terikat
protein yang merupakan bentuk molekul yang dapat keluar sel. Penyebab
lainnya adalah blokade asam lemak dan penyerapan lemak dari usus yang
berlebihan.
10
Contoh degenerasi melemak antara lain : diabetes mellitus pada
anjing
dan
ketosis pada sapi.
Perlu dibedakan dengan istilah infiltrasi lemak (fatty replecament atau
steatosis), yaitu akumulasi lemak di luar sel, sehingga dapat menyebabkan
organ/jaringan mengalami atrofi.
1.
Degenerasi hidrofik
Degenerasi hidrofik (balooning degeneration), merupakan akumulasi molekul
air dalam sitoplasma sel. Biasanya banyak terjadi pada sel-sel epitel.
Penyebabnya sama dengan degenerasi melemak, sehingga sering kejadiannya
bersama-sama pada sel-sel parenkim. Bedanya adalah inti sel pada degenerasi
hidrofik tetap di tengah-tengah, sedangkan degenerasi melemak inti sel ke
pinggir. Hal ini diduga disebabkan oleh daya kohesi molekul lemak lebih kuat
dari pada molekul air, sehingga mampu mendesak inti sel ke pinggir. Pada
pewarnaan HE juga tampak terjadi vacuola-vacuola dalam sitoplasma sel,
sehingga secara umum vacuolisasi degenerasi melemak dan hidrofik disebut
degenerasi vacuola.
2.
Degenerasi hyalin
Degenerasi hyalin merupakan akumulasi protein yang ditandai dengan massa
eosinofilik halus terutama di jaringan ikat atau membrana basalis. Khusus pada
ginjal, koagulasi protein dalam tubulus ginjal disebut hyaline casts
3.
Degenerasi fibrinoid
Degenerasi fibrinoid merupakan akumulasi protein berupa benang-benang fibrin
yang tidak beraturan, eosinofilik, yang sering ditemukan pada dinding
pembuluh
darah. Degenerasi fibrinoid banyak ditemukan pada lesi akut imunologis
seperti reaksi Arthus, kadang-kadang pada tumor sel-sel mast.
4.
Degenerasi amiloid (amiloidosis)
Degenerasi amiloid merupakan akumulasi glikoprotein, tidak beraturan,
eosinofilik terutama pada membrana basalis pembuluh darah, glomerulus ginjal,
sinusoid liver dan sekitar folikel limpa.
5.
Gout
11
Gout adalah istilah dari adanya akumulasi asam urat dan kristal urat terutama
pada ruang sendi atau membrana serosa seperti pleura, peritoneum dan tubulus
ginjal. Biasanya terjadi pada bangsa unggas dan juga manusia. Bentuk
persendian disebut dengan articular gout dan bentuk membrana serosa disebut
visceral gout. Penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme purin.
6.
Calcifikasi
Calcifikasi adalah penumpukan garam Ca pada jaringan lunak. Ada 2 tipe
calcifikasi yaitu distrofik dan metastatik. Distrofik calcifikasi adalah akibat
adanya degenerasi atau nekrosis sel sebelumnya. Metastatik calcifikasi adalah
akibat tingginya Ca serum yang biasanya karena hiperparathyroidisme.
NEKROSIS
Nekrosis adalah kematian sel/jaringan yang akibat proses degenerasi yang ireversibel.
Sedangkan proses diantara sel sakit (degenerasi) dengan kematian sel (nekrosis) disebut
dengan nekrobiosis.
Nekrosis diperkirakan teamati 6-8 jam setelah kematian sel.
Proses kepucatan dilaporkan lebih awal terjadi dari pada perubahan mikroskopik.
Secara makroskopik sel/jaringan yang mengalami nekrosis ditandai kepucatan, jaringan
melunak dan tampak ada demarkasi (pembatas) dengan jaringan yang sehat. Nekrosis
juga harus dibedakan dengan autolisis yaitu adanya sel-sel hidup di sekitar jaringan
nekrosis. Sehingga tidaklah tepat ada nekrosis yang bersifat difusa, tetapi nekrosis
mungkin bersifat fokal (satu fokus) atau multifokal (banyak fokus). Pusat-pusat (fokus)
tersebut merupakan upaya jaringan untuk melokalisasi agen infeksi (virus, bakteri dan
parasit) atau zat toksik penyebab nekrosis. Biasanya di sekitar sel/jaringan yang
mengalami nekrosis selalu disertai sel-sel radang, karena sel-sel mati merupakan benda
asing bagi tubuh.
Ada 3 ciri-ciri utama dari sel atau jaringan yang mengalami nekrosis yaitu
1.
Piknosis : inti gelap (hiperkromatik) dan mengecil
2.
Karyorheksis : inti mengalami pecah-pecah
12
3.
Karyolisis : inti hilang atau hanya ada hollow dan kromatin hilang
Tetapi dalam pemeriksaan histopatologis kasus-kasus lapangan, akan teramati adanya
berbagai tahap dari ciri-ciri nekrosis tersebut.
Nekrosis dibedakan atas 3 tipe yaitu nekrosis koagulatif, liquafaktif dan caseosa.
Nekrosis koagulatif ditandai dengan masih dikenalinya struktur sel/jaringan baik secara
makroskopik maupun mikroskopik. Biasanya disebabkan oleh snoksia akut seperti
obstruksi aliran darah atau karena toksin dengan toksisitas yang sangat akut. Nekrosis
liquafaktif adalah nekrosis yang ditandai dengan adanya massa cair atau semipadat
pada sel/jaringan tersebut. Nekrosis ini biasanya cepat dapat dieleminir oleh makrofag
melalui sistem limfatik. Nekrosis kaseosa atau nekrosis mengeju (seperti keju), ditandai
dengan hilangnya struktur sel, inti gelap, ada debris di sitoplasma serta gumpalan darah
dan kalsifikasi. Biasanya nekrosis ini menandakan adanya kerusakan lokal yang parah
baik oleh agen infeksi maupun toksin.
Nekrosis pada jaringan merupakan lesi yang umum pada penyakit infark yang umum
terjadi pada ginjal dan jantung. Infeksi bakteri Fusiformis necrophorus khas dapat
menimbulkan nekrosis, seperti abses liver dan rumenitis pada sapi, difteri pada pedet
dan nekrotik stomatitis pada babi.
Nekrosis lemak
Tipe nekrosis ini terjadi pada ruang abdomen atau dibawah kulit. Penampakannya
adalah : bidang sayatan yang keras dan berwarna putih dan sering seperti peradangan
atau fibrosis yang disertai makrofag atau sel raksasa.
Gangren
Jika pada jaringan nekrotik ditumbuhi bakteri saprofit, maka terjadilah gangren
(gangrene = necrosis + putrefication)..Gangren kering biasanya terjadi pada kulit
dimana sedikit ada cairan dan mudah diuapkan. Gangren basah biasanya berwarna
hitam karena mengandung bekuan darah dan gas. Biasanya terjadi pada daerah organ
dalam seperti usus dan paru-paru.
Autolisis
13
Autolisis adalah peristiwa mencerna sendiri oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh
sel/jaringan setelah kematian sel. Terdapat variasi kecepatan diantara jaringan untuk
proses autolisis akibat kandungan enzim proteolitiknya. Hepar, pankreas dan ginjal
relatif lebih cepat mengalami autolisis dari pada jaringan otot.
Pigmentasi yang Patologis
Pigmentasi dibedakan atas pigmentasi eksogenus dan endogenus. Pigmentasi
eksogenus yang paling umum dikenal ada 2 yeitu : pneumoconiosis dan anthracosis.
Pneumoconiosis adalah pigmentasi akibat inhalasi debu organik atau mineral pada
paru-paru. Biasanya terjadi pada pekerja pabrik, sehingga akan mengganggu fungsi
pernafasan dan bahkan menimbulkan fibrosis paru-paru. Anthracosis merupakan
pigmentasi akibat inhalasi senyawa karbon. Ini lebih sering terjadi pada hewan anjing,
yang dapat menyebabkan gangguan respirasi dan menurunkan respon makrofag
alveolar.
Pigmentasi endogenus antara lain : melanin, lipida, dan derivat hemoglogin +
porphirin. Melanin merupakan pigmen normal yang dibuat oleh melanboblas dan
melanosit. Tetapi lokasi yang lain dari normal seperti pada pleura, meninges atau
jantung, merupakan patologis yang disebut melanosis. Sedangkan tumor melanoblas
dan melanosit yang disebut melanoma, sering terjadi pada hewan.
Pigmentasi lipid antara lain ceroid dan lipofuscin, berasal dari oksidasi dan
polimerisasi dari lemak tak jenuh. Ceroid dapat ditemukan pada makrofag yang berada
pada jaringan nekrosis, sedangkan lipofuscin dapat ditemukan dalam sitoplasma sel
parenkim terinfeksi. Defisiensi vitamin E dapat menyebabkan terbentuknya lipofuscin
Pigmentasi derivat hemoglobin dan porphyrin antara lain : hemoglobin berlebihan;
hemosiderin akibat zat besi atau ferritin; hematin; bilirubin; Jaundice/icterus.
Pigmentasi tersebut sering mengacaukan diagnosa penyakit jika tidak terdapat lesi yang
bermakna.
14
Bab VII
HUBUNGAN INANG PARASIT
7.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Penyakit Infesius
Pada dasarnya mikroorganisme dan parasit dapat hidup dalam tubuh inang
sebagai bentuk simbiosis. Ada tiga kategori simbiosis yang terjadi yaitu mutualisme,
komensalisme dan parasitisme. Simbiosis mutualisme adalah kerjasama antara dua
jenis mahluk hidup yang saling menguntungkan. Simbiosis komensalisme adalah
kerjasama antara dua mahluk hidup yang satu pihak diuntungkan, tetapi pihak lain tidak
dirugikan. Simbiosis parasitisme adalah keadaan dua mahluk hidup yang satu dirugikan
oleh pihak lainnya. Simbiosis parasitisme inilah yang disebut sebagai bagian dari
mekanisme penyakit.
Karakteristik parasitisme adalah kemampuan untuk mengeksploitasi inangnya
sebagai sumber makanan dalam hidupnya. Beberapa faktor harus diketahui dalam
kaitan dengan parasitisme. Parasit masuk berusaha tidak merusak sel inang, dapat
memperbanyak diri, melepaskan diri untuk mencari sel atau inang lainnya. Tanpa
kemampuan tersebut parasit tidak akan mampu bertahan dan ada kemungkinan
bertahan dengan cara beradaptasi dan berevolusi.
Penyakit infeksius terjadi dari interaksi agen infeksi dengan inang dan
lingkungan tertentu. Oleh karena itu ketiga faktor tersebut harus dipahami interaksinya
dalam berbagai keadaan masing-masing.
7.1.1. Faktor Inang
Faktor
inang yang berperan dalam interaksi terjadinya penyakit infeksius
adalah daya tahan atau resistensinya yang meliputi 4 tipe yaitu genetik, umur,
kekebalan dan nutrisi. Resistensi genetik atau resistensi alami adalah keadaan dimana
inang dimasuki oleh agen infeksi tetapi agen infeksi tidak dapat bertahan hidup atau
tidak menimbulkan penyakit. Contohnya: virus hog cholera menyebabkan penyakit
pada babi, tetapi tidak pada spesies hewan yang lain.
Resistensi umur berarti berkaitan dengan umur inang. Contohnya: ada agen
infeksi yang hanya menyerang inang muda atau hanya dewasa saja. Hal ini dapat dilihat
15
dari gejala klinis penyakit maupun bentuk lesi yang timbul pada pemeriksaan
morfopatologis.
Resistensi karena kekebalan (imunitas) biasanya terjadi jika inang terpapar agen
infeksi sebelumnya, baik secara buatan (imunisasi) maupun secara alami. Sering
kekebalan tidak bisa mencegah terjadinya infeksi jika agen penyakit tertentu
melampaui daya tahan tubuh. Hal ini diakibatkan oleh variasi virulensi mikroorganisme
sangat bervariasi dari yang rendah sampai tinggi. Jika agen infeksi yang virulensinya
tinggi menyerang, maka lesi berat dapat terjadi pada inang. Sebaliknya tidak timbul
penyakit jika agen infeksi dengan virulensi rendah yang menyerang, tetapi justru dapat
menimbulkan respon kekebalan terhadap paparan agen infeksi berikutnya. Keadaan
inilah sering digunakan sebagai dasar pembuatan vaksin dari agen infeksi yang
dilemahkan atau agen infeksi homolog yang lebih lemah virulensinya. Contoh: vaksin
penyakit Jembrana pernah dibuat dari virus bovine immunofeficiency virus (BIV) yang
bersifat lentogenik dibandingkan virus Jembrana.
Resistensi karena faktor makanan sangat nyata berperan dimana makanan yang
bergizi akan menimbulkan daya tahan tubuh yang lebih baik. Defisiensi zat makanan
tertentu sering menyebabkan kepekaan hewan terhadap penyakit. Tetapi hal ini sangat
bervariasi karena ada interaksi antara zat makanan tertentu, spesies inang, dan
perbedaan virulensi agen infeksi.
7.1.2. Faktor Agen
Faktor agen infeksi yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah virulensi, tropisme,
dan kemampuan menyebar atau bertahan pada inang. Faktor virulensi yang meliputi
kemampuan masuk dan menimbulkan lesi dalam tubuh inang, sangat bervariasi dari
yang ringan sampai yang fatal.
Tropisme adalah faktor kesukaan agen untuk menyerang pada jaringan tertentu,
dimana hal ini berkaitan dengan reseptor. Contoh: virus rabies memiliki tropisme di
neuron atau jaringan syaraf. Contoh lain: plasenta kaya akan eritritol yaitu gula 4
karbon yang dapat digunakan pertumbuhan mikroorganisme, sehingga perkembangan
mikroorganisme akan membunuh sel-sel plasenta inang maupun fetusnya. Umumnya
16
tropisme agen infeksi diketahui berdasarkan lesi dimana ditemukan. Berdasarkan
gambaran lesi ini pula dapat dijelaskan patogenesis dari beberapa penyakit.
Persistensi agen infeksi untuk menimbulkan penyakit sangat berkaitan dengan
karakteristik agen infeksi. Agen infeksi yang bersifat intraseluler lebih persisten
dibandingkan dengan yang ekstraseluler. Agen infeksi intraseluler umumnya terhindar
dari respon imun dan pembinuhan oleh sel inang. Virus rabies tidak tahan pada
lingkungan luar. Tetapi clostridial dan anthrax, dapat membentuk spora untuk waktu
tertentu pada lingkungan luar. Penyebaran agen infeksi dari satu hewan ke hewan lain
sering menentukan tingkat masalah yang akan ditimbulkan. Fakto-faktor suhu dan
kelembaban sangat berkaitan dengan penyebaran agen infeksi secara aerosol.
Penyakit klinik sebagai hasil abnormalitas fungsi dan perubahan morfologis
ditandai dengan rasa sakit, tidak nyaman, stres, dan pada hewan juga ditandai dengan
penurunan/hilang nafsu makan, diare, dan pernafasan yang berat. Penyakit kilinis
umumnya dimulai dari akut sampai kronis. Sedangkan penyakit yang tidak
menunjukkan penyakit secara klinis, tetapi terjadi penurunan produksi, sering
dikategorikan penyakit subklinis. Hewan diketahui sakit apabila dilakukan pemeriksaan
secara detail.
Infeksi laten sering dikelirukan dengan penyakit subklinis. Infeksi laten disebut
sebagai karier yang tidak tampak. Ekskreta dari jenis hewan ini banyak mengandung
agen patogen, walaupun hewannya sendiri tidak sakit, tetapi dapat bersifat fatal bagi
hewan lain. Contoh: virus malignan catarrhal fever (MCF) pada rusa hutan (wildebeest)
bersifat infeksi laten, tetapi pada sapi sangat bersifat fatal. Secara umum infeksi
subklinis maupun infeksi laten dapat menyebabkan penyakit klinis apabila kondisi
lingkungan atau status kekebalan inang tidak menguntungkan.
7.1.3. Lingkungan
Faktor lingkungan sering sebagai faktor pemicu dari penyakit terutama pada hewan
dengan sistem peternakan intensif. Faktor lingkungan paling sering menyebabkan
infeksi subklinis dan laten berubah menjadi penyakit klinis mulai dari yang akut sampai
kronis. Kandang yang kotor dan amonia yang tinggi, sering menyebabkan gangguan
17
pernafasan dan meningkatkan infeksi saluran pernafasan seperti mycoplasmosis.
Populasi yang padat pada pedet dan anak babi
yang disertai temperatur serta
kelembaban, dapat meningkatkan penyakit pneumonia.
Perubahan musim sering menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit, akibat
timbulnya stres. Stres merupakan faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh
hewan terhadap agen infeksi. Perubahan musim baik dari kemarau ke musim hujan atau
sebaliknya,
akan
mempengaruhi
temperatur
dan
kelembaban.
Keadaan
ini
menyebabkan terjadinya perubahan karakter agen infeksi, sehingga timbul penyakit
klinis. Oleh karena itu sering peternak memberikan makanan penguat pada masa-masa
perubahan musim.
7.2. Patogenesis Penyakit
7.2.1. Bakterial
Penyakit bakterial akut biasanya terjadi dari akumulasi mikroorganisme yang
masuk melalui kulit, pencernaan, pernafasan atau urogenital. Spesies bakteri bervariasi
dalam jumlahnya untuk menimbulkan penyakit. Pasteurella haemolitica pada domba
dan Actinobacillus equuli pada kuda memerlukan jumlah yang banyak untuk
menyebabkan sakit dan kematian inangnya, tetapi beberapa Clostridium tetani dapat
bersifat fatal.
Penyakit bakterial kronis terjadi jika agen infeksi berada dalam tubuh inang
dalam waktu lama dan menyebabkan lesi lokal. Penyakit dapat berasal dari lesi
peradangan granulomatous atau abses besar. Beberapa agen infeksi dapat berada pada
mukosa sebagai iritan yang tidak mudah untuk diatasi.
Patogenisitas suatu agen infeksi berhubungan dengan kemampuannya : 1).
masuk ke tubuh inang dengan cara bertahan dan penetrasi ke membran mukosa; 2).
multiplikasi secara in vivo; 3). Menghambat atau menghindari stimulasi pertahanan
inang; 4). Menyebabkan kerusakan pada inang. Virulensi berarti tingkat patogeneisitas.
Sering patogenisitas agen infeksi hilang jika berada dalam biakan (kultur) karena
mikroorganisme tidak sama pertumbuhannya antara in vivo dan in vitro. Agen infeksi
18
sering menghasilkan agressin untuk membantu menghancurkan sistem pertahanan
inang. Bakteri menimbulkan penyakit dengan menyerang epitel permukaan dan dengan
toksinnya (Escherichia coli enterotoxigenik).
7.2.2. Virus
Dalam menimbulkan penyakit, virus dapat dengan jalan: 1). Sitolisis; 2). Bertahan
dalam tubuh inang; 3). Berintegrasi dengan genom inang. Penyakit mungkin bersifat
lokal atau umum, tergantung pada penyebaran dan virulensinya.
Efek sitolitik berasal dari kerusakan sel inang yang menyertai pendewasaan
virus di intrasel dan pelepasan virus infektif untuk menginfeksi dan merusak sel lebih
banyak. Lesi yang timbul meliputi kerusakan morfologi dan fungsional sel sesuai
dengan sel targetnya.
Infeksi tipe status menyelinap (steady state type) khas pada infeksi viral RNA
dimana sel bertahan dan terus memproduksi virus dengan budding. Virus dapat
menyebar dari sel ke sel tanpa ke lingkungan luar dari inang. Oleh karena itu
pembunuhan sel terus terjadi dalam hambatan oleh interferon.
Infeksi viral akut sering menghasilkan lekopenia, sehingga menyebabkan
nekrosis dalam folikel limfoid. Salah satu penyebab nekrosis mungkin efek sitolitik
langsung akibat replikasi virus atau akibat toksisitas. Penyebab lain leukopenia adalah
pelepasan kortikosteroid endogenus akibat penyakit klinis yang berat. Nekrosis folikel
limfoid dapat menyebabkan stimulasi antigenik dan siklus aktivitas limfosit pada
respon imun.
Infeksi integrasi khas pada virus onkogenik. Masa inkubasi biasanya bulanan
atau tahunan, dan penyakitnya bersifat kronis yang fatal. Virus berada karena integrasi
atau tertutup oleh antibodi. Contoh virus ini adalah virus Visna dan Scrapie pada
domba da musang.
Efek awal virus dalam sel dimana adanya perubahan sitopatik dengan gambaran
bentuk dan fungsi membran dan organel sel. Virus mengambil alih produksi protein
19
untuk dirinya. Massa untuk terbentuknya virus baru berkumpul dalam sel, kadangkadang dalam bentuk inclusion bodi.
Ada banyak contoh bahwa infeksi virus adalah akibat adanya reseptor spesifik
yang mengijinkan virus menyerang dan masuk ke dalam sel. Inang merespon infeksi
virus dengan cara fagositosis virus dan sel terinfeksi virus, memproduksi interferon,
antibodi humoral dan imunitas seluler.
Beberapa contoh afinitas jaringan spesifik untuk penyakit viral. Coronavirus
penyebab trnsmisible gastroenteritis (TGE) pada babi menyerang seluruh epitel villous,
sehingga villous mengalami atrofi; rotavirus pada diare anak sapi menyerang setengah
bagian atas villus, rotavirus epidemik diare pada mencit menyerang ujung villus;
parvovirus panleukopenia kucing menyerang epitelium cripta.
7.2.3. Parasiter
Agen parasit umumnya menyebabkan penyakit dengan kerusakan lokal sel atau
jaringan, dengan efeknya pada sirkulasi darah, dengan efek bentukan ruang parasit, dan
kompetisi memperoleh makanan. Perusakan lokal diantaranya akibat koksidiosis, atau
migrasi nematoda. Infeksi Strongylus sp. pada kuda adalah contoh dimana sebagian
siklus hidupnya dapat menyebabkan trombosis sebagian besar pembuluh darah dan
infark sebagian usus yang bersifat fatal. Protozoa darah dapat menyebabkan
mikrotrombi serta koagulasi intravaskuler. Kista cacing pita dapat membentuk ruang di
daerah vital atau nematoda yang menyumbat lumen. Parasit-parasit dalam pencernaan
mengisap darah atau menurunkan pertumbuhan hewan karena kurangnya suplai
makanan.
Secara umum penyebab gangguan adalah jumlah parasit yang menginfeksi.
Faktor virulensi dan respon imun yang timbul akibat infeksi parasit tidak sebaik pada
infeksi bakteri dan virus. Parasit lebih baik dari agen infeksi lain dari aspek daya
bertahan dalam tubuh inang tanpa menyebabkan terbunuhnya inang. Trichinella adalah
contoh parasit yang mampu mengambil alih sel inang tanpa membunuh tetapi
mengkonversi fungsi sel sekitarnya sebagai miliknya. Penyakit kompleks imun sangat
nyata terjadi pada kasus malaria, trypanosomiasis, dan schistosomiasis. Mekanisme
imun dipicu pelepasan histamin dalam mukosa pencernaan dan dapat mengusir
20
nematoda dari usus. Kematian hewan akibat parasit umunya jika terjadi kehilangan
darah inang, seperti pada kasus Haemonchus sp. dan Ancylostomum sp. Infeksi
Ostertagia sp. merupakan contoh ntuk mempelajari patogenesis dan menggambarkan
parasit dapat mengganggu fungsi lambung. Larva stadium 3 masuk ke kelenjar mukosa
lambung, dimana dia berkembang menjadi dewasa. Perkembangannya sekitar 10 hari
dan bertahan sampai 6 minggu. Lesi yang timbul pada pada mukosa lambung berupa
hiperplasia epitel kelenjar mukosa disertai kehilangan deferensiasi sel parietal yang
mengatur keasaman lambung. Keadaan ini menyebabkan pH lambung meningkat,
pepsinogen tidak dapat dikonversi menjadi pepsin, bakteri meningkat, dan hancurnya
hubungan antar sel. Perubahan ini menyebabkan diare, anoreksia dan kehilangan berat
badan.
7.2.4. Jamur
Agen jamur dapat menyebabkan penyakit dengan 3 cara yaitu: 1). Invasi
jaringan hidup oleh jamur, 2). Alergi akibat kontak atau hipersensitivitas antigen jamur,
dan 3). Toksisitas akibat makanan yang mengandung jamur. Kasus infeksi kronis
disebabkan oleh agen jamur yang persisten diantaranya blastomycosis atau
histoplasmosis. Banyak infeksi jamur bersifat oportunistik seperti aspergillosis pada
kantung hawa burung.
Penyakit alergi yang terkenal disebabkan oleh jamur adalah paru-paru peternak
yang hipersensitivitas dengan Micropolyspora faent yang banyak terdapat pada hay
basi. Penyakitnya dapat menyerang orang maupun ternak sapinya.
Aflatoksin terjadi akibat pertumbuhan Aspergillus flavus dan A.parasiticus,
yang berpotensi hepatotoksin. Jagung basi dapat beracun pada babi yang disebabkan
oleh spesies Fusarium. Eksema pada muka domba-domba di New Zealand bersifat
hepatotoksin akibat fotosensitivitas karena makan spora Sporidesmium bakeri.
7.2.5. Toksin
Agen toksik menyebabkan penyakit oleh kontak langsung atau absorbsi dan serangan
pada jaringan yang mudah kena. Kontak langsung oleh toksin kuat akan menyebabkan
degenerasi atau nekrosis atau kombinasi keduanya. Sedangkan absorpsi terjadi melalui
kulit, saluran nafas, dan pencernaan. Toksin memiliki predileksi pada jaringan atau
21
organ tertentu. Toksin dapat menyebabkan gangguan akut maupun kronis yang
mulanya mengganggu pengaturan metabolisme sampai nekrosis sel. Biasanya efek
toksin tergantung pada dosis, jaringan terkena dan sensitivitas spesies.
Metabolisme senyawa toksin adalah enzimatik dan terjadi dalam 2 fase. Fase I
adalah reaksi yang melibatkan senyawa toksik seperti oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
Fase II melibatkan sintesis dan sering disebut konyugasi. Toksin yang kuat sering
langsung dapat ke fase II. Metabolisme senyawa asing terjadi pada retikulum
endoplasma hepatosit oleh oksidase melalui hidroksilasi atau oksigenasi. Beberapa
senyawa mungkin dimetabolisme di usus oleh flora normal pencernaan.
Senyawa toksik diekskresi dalam urine baik dalam bentuk asli atau hasil
metabolisme fase I atau II. Proporsi masing-masing ekskresi tergantung faktor-faktor
susunan kimia senyawa, dosis, rute pemberian, spesies, strain, umur, seks, diet dan
lingkungan.
Efek toksik banyak yang menimbulkan lesi yang minimal. Oleh karena itu
diagnosis morfologi kasus toksisitas biasanya dilihat juga sejarah penyakitnya.
DAFTAR BACAAN
Thomson, R.G. 1978. General Veterinary Pathology. W.B.Saunders Co
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2002. Robbins Basic Pathology. 7thEd.
Saunders
Constantinides, P. 1993. General Pathobiology. Appleton and Lange
22
Download