Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

advertisement
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU SISTEM KERAMBA
JARING APUNG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM
Lutfi Hardian Murtiono, Dody Yunianto, Wa Nuraini
Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon
Jl. Laksdya Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian lahan budidaya kerapu sistem
keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam (TAD). Pengukuran kualitas perairan
dilakukan pada sembilan titik sampling yang ditentukan secara purposive. Analisis data
menggunakan metode matching dan scoring yang didasarkan pada parameter fisikakimia perairan. Aplikasi sistem informasi geografis digunakan sebagai alat bantu untuk
mengetahui luasan perairan. Hasil analisis menunjukkan luas perairan TAD dengan
kategori sangat sesuai (S1) adalah 290,51 ha, sesuai (S2) 213,79 ha dan tidak sesuai
(N) 618,48 ha.
Kata kunci : keramba jaring apung, budidaya laut, kerapu, kesesuaian ruang
ABSTRACT
The purpose of research is to analyze the suitability of the Inner of Ambon Bay for
mariculture floating cages system. Water quality analysis was collected from nine
sampling stations based on purposive. Analysis of the data using matching and scoring
method based on physical and chemical parameters of the waters. Geospatial
information system used in this research as a tool to analyze width of the bay. The
results of the research showed that suitability class S1 extends to 290,51 ha. Then,
suitability class S2 extends to 213,79 ha and unsuitable extends 618,48 ha.
Kata kunci : floating net cages, mariculture, grouper, site suitability
1
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
PENDAHULUAN
Pemilihan lokasi budidaya yang sesuai menjadi awal penentu keberhasilan
kegiatan usaha budidaya laut. Kehidupan organisme akuatik sangat dipengaruhi oleh
kualitas lingkungan perairannya. Semakin bagus media hidupnya maka akan dapat
tumbuh dengan baik, begitupun sebaliknya. Parameter kelayakan suatu perairan
meliputi tiga hal, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi. Boyd (1998) menyatakan
bahwa setiap organisme perairan memerlukan kisaran nilai parameter kualitas air
tertentu dan kisaran tersebut terkait dengan kondisi lokasi. Pemilihan lokasi budidaya
juga terkait dengan faktor resiko, kemudahan dan ekologis, dimana faktor resiko
berkaitan dengan masalah keterlindungan, keamanan dan konflik. Masalah perlindungan
dimaksudkan untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya laut, sedangkan faktor
ekologis berkaitan dengan parameter perairan (Arifin et al., 2014).
Ikan kerapu merupakan salah satu primadona komoditas budidaya laut yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Pemeliharaan ikan kerapu sistem keramba jaring apung
telah berkembang secara luas di Asia, khususnya di daerah tropis timur (China,
Hongkong, Taiwan) dan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura,
Thailand dan Vietnam) (Sim et al., 2005). Salah satu lokasi potensial untuk kegiatan
budidaya laut sistem keramba jaring apung adalah perairan Teluk Ambon Dalam
(TAD). Perairan TAD telah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai daerah perikanan
tangkap dan budidaya, jalur transportasi laut, daerah konservasi serta tempat rekreasi
dan olahraga (Selano et al., 2009). Lokasinya yang terlindung menyebabkan perairan
TAD cocok digunakan sebagai lokasi budidaya dan telah ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun 2011 – 2031 (Bappekot Ambon,
2011), dan telah dibuat dalam Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 24 Tahun 2012
sebagai kawasan pengembangan budidaya laut.
Meskipun telah ditetapkan dalam sebuah regulasi, namun pada kenyataannya
masih terjadi tumpang tindih terhadap pemanfaatan lahan perairan di TAD. Analisis
kesesuaian lahan ditujukan untuk mengarahkan kegiatan manusia agar dalam
pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya, sehingga pemanfaatan yang
diperolehnya dapat optimal dan menghindari adanya konflik kepentingan serta
kerusakan habitat, ekosistem serta sumberdaya laut (Yusuf, 2013). Keberadaan Teluk
Ambon Dalam yang dikelilingi oleh banyak kegiatan antropogenik serta pemanfataan
yang beragam, dimana salah satunya adalah untuk budidaya laut, maka perlu dilakukan
sebuah analisis kesesuaian lahan budidaya laut sistem keramba jaring apung di perairan
TAD. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kesesuaian lahan budidaya ikan
kerapu sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Ambon Dalam (128°11’29” 128°19’25” BT dan 3°37’40” - 3°39’50” LS), yang masuk dalam wilayah administratif
Kota Ambon. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada periode bulan
April – Juni 2015, dengan penentuan titik sampel secara purposive sampling yang
mengacu pada fisiografi lokasi sedapat mungkin mewakili atau menggambarkan
keadaan perairan tersebut. Lokasi pengambilan sampel sebanyak sembilan titik
sampling yang dicatat dengan menggunakan global positioning system (GPS). Sebaran
titik sampling terlihat pada Gambar 1 berikut.
2
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Gambar 1. Lokasi samping.
Matriks kesesuaian lingkungan perairan meliputi analisis terhadap kemampuan
(site capability) dan kesesuaian perairan (site suitability). Kapabilitas perairan (site
capability) umumnya terkait dengan lingkungan biogeofisik-kimia perairan sedangkan
kesesuaian perairan (site suitability) lebih berfokus pada faktor ekstrinsik seperti potensi
konflik, penggunaan lahan, dan infrastruktur (Szuster and Albasri, 2010). Pembobotan
setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan besarnya pengaruh parameter tersebut
terhadap peruntukannya. Hasil perkalian antara bobot dan skor masing-masing
parameter merupakan suatu skor dalam suatu peruntukan. Interval kelas kesesuaian
perairan diperoleh berdasarkan metode equal interval, yaitu selang tiap-tiap kelas
diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah
perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi dengan jumlah kelas (Prahasta,
2013). Kelas kesesuaian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2)
dan tidak sesuai (N) (Perez et al., 2005).
∑ π‘›π‘–π‘™π‘Žπ‘– π‘šπ‘Žπ‘˜π‘ π‘–π‘šπ‘Žπ‘™ − ∑ π‘›π‘–π‘™π‘Žπ‘– π‘šπ‘–π‘›π‘–π‘šπ‘Žπ‘™
π‘†π‘’π‘™π‘Žπ‘›π‘” π‘˜π‘’π‘™π‘Žπ‘  π‘˜π‘’π‘ π‘’π‘ π‘’π‘Žπ‘–π‘Žπ‘› (π‘₯) =
π‘—π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘˜π‘’π‘™π‘Žπ‘ 
Penentuan skor masing-masing kelas kesesuaian adalah sebagai berikut :
Kelas sangat sesuai (S1)
= >(∑maks – x)
Kelas sesuai (S2)
= (∑maks – 2x) – (∑maks – x)
Kelas tidak sesuai (N)
= <(∑maks – 2x)
Pendekatan aplikasi Sistem Informasi Geospasial (SIG) digunakan sebagai alat
bantu untuk membuat peta kesesuaian lahan. Program yang digunakan adalah ArcGIS
9.3. Analisis spasial dilakukan dengan melakukan interpolasi terhadap titik-titik stasiun
pengamatan yang merupakan suatu metode pengelolaan data titik menjadi area
(polygon). Hasil interpolasi dari masing-masing data kualitas air dan data sekunder
disusun menjadi sebuah peta tematik. Luasan perairan yang sesuai dihasilkan setelah
seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik dilakukan overlay
(tumpang susun).
3
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Tabel 1. Parameter penentuan kesesuaian lokasi budidaya.
No
1
2
Parameter
Site Capability
Kedalaman (m)
Kecepatan arus
(cm/detik)
3
Oksigen terlarut
(mg/l)
4
Substrat dasar
5
Salinitas (‰)
6
Suhu (°C)
7
pH
8
Ortofosfat (mg/l)
9
Nitrat (mg/l)
10
Kecerahan (m)
11
Turbiditas (NTU)
12
Nitrit (mg/l)
13
Amonia (mg/l)
14
1
BOD5 (mg/l)
Site suitability
Jalur transportasi
Kisaran
Angka
Penilaian
>10 - 20
5-10
<5 atau >20
20-40
10-<20 atau >40-75
<10 atau >75
≥5,0
≥3,0 - <5,0
5
3
1
5
3
1
5
3
<3,0
Pasir
Pasir berlumpur
Lumpur
29-31
27-<29 atau >31-33
<27 atau >33
28-30
26-<28 atau >30-31
<26 atau >31
7,5 - 8,0
7 - <7,5 atau >8,0-8,5
1
5
3
1
5
3
1
5
3
1
5
3
<7 atau >8,5
≤0,015
>0,015 - ≤0,8
1
5
3
>0,8
≤0,008
>0,008-0,4
0,4
≥5
3 - <5
<3
≤5
>5-20
1
5
3
1
5
3
1
5
3
>20
0
< 0,1
≥ 0,1
0 – 0,2
> 0,2 – 0,5
1
3
2
1
3
2
>0,5
1
≤20
>20 – 45
3
2
>45
1
Tidak mengganggu
pelayaran
5
Sedikit mengganggu
pelayaran
3
4
Bobot
Skor
Referensi
3
Bakosurtanal (1996)
3
Rachmansyah (2004)
3
3
SNI 01-6487.4:2014
(BSN, 2014);
Kepmen LH No
51/2004 (KLH,
2004); FAO (1989)
KKP (2013b)
2
KKP (2013b); SNI
01-6487.4:2014
(BSN, 2014)
2
KKP (2013b); Chou
and Lee (1997);
Rachmansyah (2004)
SNI 01-6487.4:2014
(BSN, 2014);
Kepmen LH No
51/2004
(KLH, 2004)
KKP (2013b);
Kepmen LH No
51/2004
(KLH, 2004)
Kepmen LH No
51/2004
(KLH, 2004)
2
2
1
1
Buitrago et al (2005)
1
1
1
1
3
Rachmansyah (2004);
Kepmen LH No
51/2004
(KLH, 2004)
KKP (2013b)
Chou and Lee (1997);
Kepmen LH No
51/2004 (KLH,
2004); FAO (1989)
Kepmen LH No 51
Tahun 2004 (KLH,
2004)
KKP (2013b)
Szuster and Albasri
(2010)
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
2
Sangat mengganggu
pelayaran
1
Sesuai RTRW sebagai
wilayah pengembangan
budidaya KJA
5
Kurang sesuai
Tidak sesuai
Rendah
Sedang
Tinggi
Tidak ada
Ada, kondisi buruk
Ada, kondisi baik
>500 m
200 - 500 m
<200m
3
1
5
3
1
5
3
1
5
3
1
Aspek legal
3
Resiko pencemaran
4
Keberadaan &
kondisi ekosistem
5
Pelabuhan /
dermaga
2
Beveridge (2004);
Rachmansyah (2004)
3
KKP (2013b)
1
KKP (2013b)
3
Van Der Wulp et al. (
2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Kualitas Perairan
Lingkungan perairan sebagai media hidup kultivan budidaya sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan keberlangsungan hidup ikan kerapu. Lingkungan
biofisik perairan seperti kualitas perairan, kuantitas perairan, batimetri, iklim,
keberadaan predator dan mikro serta makro organisme menjadi salah satu pertimbangan
dalam penentuan lokasi budidaya (Szuster and Albasri 2010).
Kondisi batimetri Teluk Ambon Dalam relatif landai dan dangkal jika
dibandingkan dengan Teluk Ambon Luar yang lebih curam dan dangkal. Hasil
pengukuran kedalaman perairan pada titik sampling di perairan Teluk Ambon Bagian
Dalam menunjukkan adanya variasi tingkat kedalaman yaitu 12 meter (stasiun 8)
sampai 37 meter (stasiun 4), dengan rata-rata 22,56 ± 9,32 meter. Kedalaman
merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya ikan kerapu dengan sistem
keramba jaring apung. Pada budidaya kerapu, kedalaman suatu perairan mempengaruhi
tingkat penetrasi cahaya, akumulasi sisa pakan dan penempatan lokasi keramba jaring
apung. Kedalaman maksimum disarankan tidak lebih dari 20 m untuk memudahkan
dalam memposisikan jangkar pemberat (Chou and Lee, 1997).
Hasil pengukuran kecepatan arus di perairan Teluk Ambon Dalam menunjukkan
rata-rata 9,71 ± 2,00 cm/detik dengan kisaran 5,70 – 12,40 cm/detik. Kecepatan arus
tertinggi saat pasang tercatat di stasiun 1 (Galala) dan terendah di stasiun 3 (Batu
Koneng). Sedangkan pada kondisi surut, arus tertinggi di stasiun 5 (Waiheru) dan 9
(Passo) dan terendah di stasiun 3 (Batu Koneng). Peranan arus dalam budidaya ikan laut
dengan sistem keramba jaring apung sangat penting, antara lain selain sebagai sirkulasi
air di dalam unit keramba, membersihkan timbunan sisa metabolisme biota kultur,
membawa oksigen terlarut serta dapat mengurangi organisme penempel (biofouling)
(Kordi, 2011). Untuk kegiatan budidaya laut, kecepatan arus lebih dari 0,50 m/detik
dapat mempengaruhi posisi jaring dan penjangkaran serta menyebabkan bergesernya
posisi rakit (FAO, 1989). Kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan pembesaran kerapu
macan dan kerapu bebek berkisar 20 – 50 cm/detik (Yulianto, 2012). Beveridge (2004)
menyarankan untuk kecepatan arus bagi budidaya dengan sistem keramba jaring apung
tidak melebihi 1 m/detik. Sedangkan Rachmansyah (2004) menyatakan kisaran arus
yang optimal untuk budidaya laut sistem KJA adalah 20 – 40 cm/detik. Sedangkan
5
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
untuk peruntukan zona pengembangan perikanan budidaya laut disarankan <0,75
m/detik (KKP, 2013).
Pengukuran parameter suhu perairan Teluk Ambon Bagian Dalam selama
penelitian menunjukkan kisaran antara 26,5 – 32,2°C, dengan nilai rata-rata 29,21 ±
1,83°C. Sebaran nilai rerata suhu yang berkisar antara 29,3 – 32,3°C saat pasang dan
26,5 – 28,7°C saat surut. Berdasarkan sebaran spasial, rata-rata suhu terendah tercatat di
stasiun 5 (Waiheru) dan tertinggi di stasiun 7 (Lateri). Suhu juga sangat berperan
mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan
peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi termasuk juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan
sebagainya (Effendi, 2003). Organisme akuatik perairan tropis akan tumbuh dengan
optimal pada kisaran suhu 25 - 32°C (Boyd, 1998). Temperatur perairan idealnya
berada dalam kisaran 27 - 31°C (Chou and Lee, 1997). Suhu perairan yang optimal
untuk budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah 28 – 30°C (Rachmansyah,
2004).
Kecerahan perairan Teluk Ambon Bagian Dalam berkisar antara 5 – 10 meter,
dengan rata-rata 7,67 ± 1,37 m. Sebaran kecerahan tertinggi yaitu di stasiun 2 (Poka)
dan 6 (Waiheru), sedangkan di stasiun 7 (Lateri) memperlihatkan nilai kecerahan yang
terendah. Menurut Selano (2009) bahwa variasi nilai kecerahan di Teluk Ambon sangat
dipengaruhi oleh kondisi musim dengan kecerahan minimum terjadi pada saat musim
timur. Selanjutnya disebutkan bahwa jika dibandingkan dengan kedalaman maksimum
perairan Teluk Ambon Dalam yang mencapai 30 – 40 m, maka nilai kecerahan sangat
rendah dan hal ini berhubungan dengan adanya aktivitas di sekitar maupun dari perairan
itu sendiri. Kondisi optimal kecerahan suatu perairan untuk kegiatan budidaya adalah
>3 m (Buitrago et al., 2005).
Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kisaran turbiditas di perairan
Teluk Ambon Bagian Dalam antara 0,34 – 6,22 NTU. Sedangkan nilai rata-rata
turbiditas adalah 2,89 ± 1,96 NTU. Nilai kekeruhan yang relatif tinggi yaitu pada
stasiun 7 (Lateri) yang diduga karena adanya limpasan dari lahan upland sehingga
menyebabkan tingginya tingkat sedimentasi di kawasan tersebut. Kekeruhan suatu
perairan berasal dari adanya padatan organik atau anorganik yang tersuspensi dalam
kolom air yang disebabkan oleh erosi tanah, limbah pertambangan, effluent dari limbah
rumah tangga dan buangan limbah industri lainnya (Beveridge, 2004). Kekeruhan
biasanya terjadi saat musim hujan dimana adanya runoff dari sungai yang bermuara ke
perairan teluk yang membawa berbagai material seperti logam berat dari buangan
limbah industri dan padatan bahan organik dan anorganik yang dapat mengganggu
sistem pernapasan ikan sehingga menyebabkan kematian karena kekurangan oksigen
(Loka et al., 2012). Chou and Lee (1997) menyarankan tingkat kekeruhan perairan tidak
melebihi 10 mg/l, idealnya kurang dari 5 mg/l karena partikel lumpur dapat menyumbat
dinding jaring sehingga menyebabkan terganggunya pertukaran air dan gejala
asphyxiation pada ikan.
Distribusi salinitas selama penelitian berkisar antara 30,2 – 33 ‰, dengan ratarata 31,80 ± 0,71 ‰. Rerata salinitas pada saat pasang adalah 31,84‰ dan rerata
salinitas saat surut adalah 31,68‰. Salinitas tertinggi saat pasang yaitu pada stasiun 3
(Batu Koneng) dan terendah di stasiun 5 (Waiheru). Sedangkan saat surut salinitas
tertinggi di stasiun 2 (Poka) dan terendah yaitu di stasiun 5 (Waiheru). Pada kebanyakan
ikan tropis, salinitas optimal yang dibutuhkan adalah dalam kondisi salinitas yang
6
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
normal laut, dan umumnya tidak dapat hidup dengan baik pada kondisi salinitas rendah
(Loka et al., 2012).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan rata-rata oksigen
terlarut di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam adalah 4,86 ± 0,67 mg/l. sedangkan
kisarannya adalah 3,43 sampai 5,84 mg/l. Di stasiun pengamatan 7 (Lateri), 8 (Nania)
dan 9 (Passo) ditemui nilai oksigen terlarut yang sangat rendah yaitu secara berurutan
3,86, 3,43, dan 3,88. Sedangkan nilai oksigen terlarut yang tinggi di stasiun 6
(Waiheru). Pada saat perairan pasang rerata oksigen terlarut adalah 5,42 mg/l dengan
kisaran 4,86 – 5,84 mg/l. Sedangkan pada saat surut rerata konsentrasi oksigen terlarut
adalah 4,31 mg/l dengan kisaran 3,43 – 5,26 mg/l. Kadar oksigen terlarut (dissolved
oxygen) berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada
pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis,
respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Konsumsi
oksigen berbeda pada tiap spesies ikan dimana ikan golongan pelagic seperti kakap
membutuhan lebih banyak dibandingkan golongan demersal seperti ikan kerapu (Loka
et al., 2012). Konsentrasi oksigen terlarut bagi biota laut adalah >5 mg/l (Chou and Lee,
1997; KLH, 2004). Idealnya konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 mg/l, namun untuk
ikan pelagic minimal 4 mg/l dan ikan demersal lebih dari 3 mg/l (FAO, 1989; Loka et
al., 2012).
Variasi pH pada setiap stasiun pengamatan dalam penelitian ini relatif rendah.
Hal ini terlihat pada seluruh pengambilan periode contoh baik saat pasang maupun
surut, tidak terlihat adanya perubahan nilai pH yang ekstrem. Kisaran pH dari
keseluruhan stasiun pengamatan di Teluk Ambon Bagian Dalam adalah 7,94 – 8,43,
sedangkan rata-ratanya yaitu 8,18 ± 0,10. Sedangkan nilai rerata pH saat pasang adalah
8,20 dan saat surut 8,15. Derajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas potensial
ion hidrogen dalam larutan yang dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen (mol/l)
pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+) (Beveridge, 2004; Boyd, 1998). Menurut Chou
and Lee (1997) nilai pH disesuaikan dengan karakteristik alami dan jarang melebihi 7,8
– 8,3. Kisaran pH untuk budidaya laut adalah 7,0 – 8,5 (BSN, 2014; KLH, 2004; Loka
et al., 2012).
Hasil pengukuran nitrit selama penelitian berkisar antara 0 – 0,002 mg/l dengan
nilai rata-rata 0,001 mg/l. Kisaran nitrit masih berada di bawah batas yang
diperbolehkan sesuai dengan KKP (2013b), yaitu <0,1 mg/l, sehingga dapat digunakan
untuk kegiatan budidaya laut. Nitrit (NO2-N) bersifat tidak stabil di perairan alami
dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara
ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi)
(Effendi, 2003). Kadar nitrit di perairan disarankan <0,1 mg/l (Wedemeyer, 1996).
Hasil pengukuran parameter nitrat selama penelitian berkisar antara 0,01 – 0,07
mg/l, dengan rata-rata 0,040 ± 0,017 mg/l. Sebaran konsentrasi nitrat tertinggi berada
pada stasiun pengamatan 8 (Passo) yaitu 0,07 mg/l dan terendah di stasiun 6 (Waiheru)
yaitu 0,01 mg/l. Hampir semua nitrat di perairan laut bersumber dari aliran sungai yang
dihasilkan oleh aktivitas pertanian, pertambakan, industri dan buangan rumah tangga
atau limbah penduduk (Cloern, 2001; Susana, 2004). Secara alami konsentrasi nitrogennitrat dalam air laut hanya beberapa mg/l dan merupakan salah satu senyawa yang
berfungsi dalam merangsang pertumbuhan biomassa laut sehingga secara langsung
mengontrol perkembangan produksi primer sehingga berhubungan erat dengan
kesuburan suatu perairan (Susana, 2004). Wedemeyer (1996) merekomendasikan kadar
nitrat di perairan kurang dari 1,0 mg/l. Sedangkan menurut Baku Mutu Air Laut untuk
7
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Biota Laut yang tertuang dalam Kepmen LH No. 51 tahun 2004 ditetapkan konsentrasi
nitrat dalam perairan <0,008 mg/l (KLH, 2004).
Hasil analisa laboratorium terhadap parameter amonia total (NH3-N) di perairan
Teluk Ambon Bagian Dalam diperoleh nilai konsentrasi sebesar 0,071 ± 0,021 mg/l.
Sedangkan kisaran konsentrasi ammonia total yaitu antara 0,035 – 0,104 mg/l. Kadar
amonia tertinggi ditemui di stasiun 7 (Lateri) yaitu 0,095 mg/l dan 8 (Nania) yaitu 0,094
mg/l. Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber
amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen
anorganik yang terdapat di tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik
(tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur (Effendi, 2003;
Susana, 2004). Efek sublethal amonia terhadap ikan adalah terjadinya penyempitan
permukaan insang sehingga mengakibatkan kecepatan proses pertukaran gas dalam
insang menurun, terjadinya penurunan jumlah sel darah, penurunan kadar oksigen
dalam darah, mengurangi ketahanan fisik dan daya tahan terhadap penyakit serta
terjadinya kerusakan struktural berbagai jenis organ (Sutomo, 1989). Kadar nitrogen
amonia dalam perairan tidak boleh melebihi 0,5 mg/l (Chou and Lee, 1997; FAO, 1989;
Loka et al., 2012). Sedangkan umumnya pembudidaya menyarankan untuk tetap
menjaga konsentrasi amonia pada level 0,01 mg/l (Wedemeyer, 1996). Baku Mutu Air
Laut untuk Biota Laut menetapkan <0,3 mg/l untuk amonia total di perairan (KLH,
2004).
Pengukuran konsentrasi fosfat selama penelitian menunjukkan nilai rata-rata
0,031 ± 0,02 mg/l, dengan kisaran 0,001 – 0,082 mg/l. Secara spasial distribusi fosfat
tertinggi ditemui di stasiun 8 (Nania) dan stasiun 9 (Passo) berturut adalah 0,059 mg/l
dan 0,056 mg/l. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan. Sebagai unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, fosfor
menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi
tingkat produktivitas perairan. Keberadaan fosfor yang berlebihan dan disertai dengan
keberadaan nitrogen akan memicu terjadinya ledakan pertumbuhan algae di perairan
(algae bloom) (Susana, 2004). Algae yang melimpah akan membentuk lapisan pada
permukaan perairan sehingga menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari.
Kriteria tingkat trofik pada perairan laut berdasarkan konsentrasi fosfat di perairan
menurut Hakanson and Bryhn (2008) yaitu Oligotrofik (<0,015 mg/l), Mesotrofik
(0,015 – 0,04 mg/l), Eutrofik (0,04 – 0,13 mg/l) dan Hipertrofik (>0,13 mg/l). Kadar
fosfat pada Baku Mutu yang telah ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut adalah <0,015 mg/l (KLH, 2004).
Konsentrasi rata-rata parameter BOD di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam
selama penelitian menunjukkan nilai 5,27 ± 2,50 mg/l. Kisaran nilai BOD adalah antara
1,25 – 10,29 mg/l. Pada kondisi perairan pasang, nilai rerata BOD5 adalah 5,64 mg/l dan
saat surut nilai rerata BOD5 adalah 4,90 mg/l. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air
(Davis and Cornwell, 1991). Kriteria tingkat pencemaran berdasarkan parameter BOD5
menurut Lee et al. (1978) adalah sebagai berikut : Tidak tercemar (<2,9 mg/l); tercemar
ringan (3,0 – 5,0 mg/l), tercemar sedang (5,1 – 14,9 mg/l) dan tercemar berat (≥15
mg/l). Nilai BOD di perairan alami berkisar antara 0,5 – 7,0 mg/l, sedangkan perairan
dengan kadar lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries and
Mills, 1996 diacu dalam Effendi, 2003). Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut
parameter BOD5 adalah kurang dari 20 mg/l (KLH, 2004).
8
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
9
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Gambar 2. Peta sebaran beberapa parameter kualitas air : suhu (a); turbiditas (b);
salinitas (c); oksigen terlarut (d); pH (e); nitrat (f); fosfat (g); BOD5 (h).
Kesesuaian Perairan
Hasil penelitian menunjukkan kondisi lingkungan perairan Teluk Ambon Dalam
secara umum masih layak sebagai lokasi budidaya kerapu sistem keramba jaring apung.
Kriteria kelayakan Teluk Ambon Dalam sebagai lokasi budidaya kerapu dengan sistem
keramba jaring apung tergambar dalam tabel berikut.
Tabel 2. Rekapitulasi rerata nilai parameter kemampuan perairan (site capability).
Stasiun Pengamatan
Parameter
1
Kedalaman (m)
Kecepatan arus (cm/dtk)
Oksigen terlarut (mg/l)
2
3
4
5
6
7
8
9
36
23
24
37
27
26
15
12
13
11,55
7,85
6,05
9,15
8,5
10,35
10,04
9,55
11,5
5,1
4,85
4,97
4,91
4,9
5,12
4,54
4,69
4,72
10
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Suhu (°C)
Salinitas (‰)
pH
28,55
29,31
29,35
29,63
29,03
28,7
29,55
29,55
29,4
31,5
32,48
32,03
31,7
31,68
30,58
32,05
31,96
32,15
8,26
8,09
8,24
8,24
8,18
8,12
8,27
8,32
8,21
Ortofosfat (mg/l)
0,034
0,02
0,008
0,021
0,042
0,032
0,036
0,059
0,056
Turbiditas (NTU)
0,8
2,06
2,07
3,1
0,65
2,12
5,99
3,93
5,31
0,03
0,03
0,045
0,03
0,02
0,045
0,06
0,06
0,05
Nitrat (mg/l)
Kecerahan (m)
7,5
8,5
7,5
8
8,5
8
6
7
8
Nitrit (mg/l)
0,001
0
0,001
0,002
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
Amonia (mg/l)
0,088
0,086
0,063
0,067
0,05
0,052
0,095
0,094
0,048
3,16
3,8
5,59
7,75
2,82
3,72
9,71
3,96
6,95
L
L
L
L
L
L
BOD (mg/l)
Substrat dasar
PB
PB
PB
Tabel 3. Rekapitulasi parameter kesesuaian perairan (site suitability).
Stasiun Pengamatan
Parameter
1
sangat
menggang
gu
tidak
sesuai
Jalur transportasi
Aspek legal
2
3
4
sedikit
mengganggu
sedikit
menggang
gu
sesuai
sesuai
sangat
menggang
gu
kurang
sesuai
5
6
7
8
9
tidak
mengganggu
tidak
menggang
gu
tidak
menggang
gu
tidak
menggang
gu
tidak
menggang
gu
sesuai
sesuai
sesuai
sesuai
sesuai
Resiko pencemaran
tinggi
sedang
sedang
tinggi
sedang
rendah
sedang
rendah
sedang
Pelabuhan / dermaga
<200 m
200-500 m
<200 m
<200 m
200-500 m
>500 m
>500 m
>500 m
>500 m
ada, buruk
ada, buruk
tidak ada
tidak ada
ada, buruk
tidak ada
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Keberadaan dan
kondisi ekosistem
Tabel 4. Rekapitulasi hasil perkalian bobot dan skor pada setiap stasiun pengamatan (9
stasiun).
Stasiun Pengamatan
Parameter
1
Kedalaman (m)
Kecepatan arus (cm/dtk)
2
3
4
5
6
3
3
3
3
3
7
8
9
3
15
15
15
9
3
3
3
3
9
9
3
9
Oksigen terlarut (mg/l)
15
9
9
9
9
15
9
9
9
Suhu (°C)
10
10
10
10
10
10
10
10
10
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Salinitas (‰)
pH
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Ortofosfat (mg/l)
10
10
15
6
6
6
6
6
6
Turbiditas (NTU)
10
10
10
10
6
10
6
10
6
Nitrat (mg/l)
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Kecerahan (m)
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Nitrit
3
5
3
3
3
3
3
3
3
Amonia
5
5
5
5
5
5
5
5
5
BOD
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Substrat dasar
9
9
9
3
3
3
3
3
3
Jalur transportasi
3
9
9
3
9
15
15
15
15
Aspek legal
2
10
10
6
10
10
10
10
10
Resiko pencemaran
3
9
9
3
9
15
9
15
9
Keberadaan dan kondisi ekosistem
3
3
5
5
3
5
5
5
5
11
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Pelabuhan / dermaga
Total Nilai
3
9
3
3
9
15
15
15
15
113
129
128
97
113
149
145
149
145
Pendugaan terhadap potensi luas lahan untuk kegiatan budidaya laut sistem
keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam menggunakan metode Sistem
Informasi Geospasial (SIG) dan diverifikasi dengan pengamatan lapangan dan
pendekatan professional adjustment. Teknik overlay terhadap beberapa parameter
kualitas air digunakan untuk menentukan luasan perairan yang layak untuk lokasi
keramba jaring apung.
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai selang kelas adalah 17,3 sehingga
didapatkan nilai kesesuaian untuk masing-masing kelas sebagai berikut : (a) Perairan
dengan kategori sangat sesuai (S1) mempunyai rentang total nilai >131,67; (b) Perairan
dengan kategori sesuai (S2) mempunyai rentang total nilai antara >114,33 sampai
dengan ≤131,67; dan (c) Perairan dengan kategori tidak sesuai (N) mempunyai rentang
total nilai ≤114,33.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 33, maka tingkat kesesuaian pada
setiap stasiun pengamatan terlihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Tingkat kelayakan / kesesuaian perairan di setiap stasiun pengamatan.
Stasiun pengamatan
Stasiun 1 (Galala)
Stasiun 2 (Poka)
Stasiun 3 (Batu Koneng)
Stasiun 4 (Halong)
Stasiun 5 (Hunuth)
Stasiun 6 (Waiheru)
Stasiun 7 (Lateri)
Stasiun 8 (Negeri Lama)
Stasiun 9 (Passo)
Tingkat kelayakan / kesesuaian
Sangat sesuai (S1)
Sesuai (S2)
Tidak sesuai (N)
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
ΣΏ
Hasil analisis secara spasial terhadap kesesuaian lahan budidaya laut dengan
sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam dibagi menjadi tiga
tingkatan kelayakan yaitu sangat sesuai (S1), yaitu apabila daerah ini potensial untuk
dikembangkan budidaya kerapu dengan keramba jaring apung karena memenuhi
persyaratan minimal untuk kehidupan ikan kerapu; sesuai, apabila daerah ini cukup
bermanfaat untuk dikembangkan budidaya kerapu namun terdapat faktor pembatas yang
memerlukan perlakuan khusus untuk meningkatkan kemampuannya; dan tidak sesuai,
yaitu bila daerah ini tidak dapat digunakan untuk budidaya kerapu sistem keramba
jaring apung.
12
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
25.87%
55.08%
19.04%
Sangat Sesuai (290,51 ha)
Sesuai (213,79 ha)
Tidak Sesuai (618,48 ha)
Gambar 3. Luasan kesesuaian lahan budidaya kerapu di Teluk Ambon Dalam
Berdasarkan Gambar 3 di atas memperlihatkan tingkat kesesuaian perairan
Teluk Ambon Dalam untuk kegiatan budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring
apung adalah seluas 504,29 ha (kategori sesuai dan sangat sesuai) atau 44,92% dari
keseluruhan perairan Teluk Ambon Dalam. Saat ini pemanfaatan lahan di perairan
Teluk Ambon Dalam masih sangat rendah yaitu baru 0,06% dari keseluruhan lahan
yang sesuai untuk budidaya laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan
Teluk Ambon Dalam memiliki prospek untuk pengembangan budidaya laut sistem KJA
karena masih memiliki lahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
Gambar 4. Peta kesesuaian lahan budidaya kerapu sistem keramba jaring apung di
perairan Teluk Ambon Dalam.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum lingkungan perairan
Teluk Ambon Dalam sesuai digunakan sebagai kawasan budidaya laut sistem keramba
jaring apung. Terdapat tiga parameter kualitas perairan yang melebihi baku mutu
13
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
lingkungan perairan untuk biota laut yaitu nitrat, fosfat dan oksigen terlarut. Tingkat
kesesuaian perairan Teluk Ambon Dalam untuk kegiatan budidaya kerapu dengan
sistem keramba jaring apung adalah seluas 504,29 ha (kategori sesuai dan sangat sesuai)
atau 44,92% dari keseluruhan luas perairan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Halim Sukma Aji dari
Badan Informasi Geospasial Jawa Tengah yang telah membantu dalam pembuatan peta
kesesuaian lahan untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, T., Bohari, R., Arlyza, I.S., 2014. Analisis Kesesuaian Ruang Berbasis Budidaya
Laut di Pulau-pulau Kecil Makassar: Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Forum
Geografi 28 (1), 91–102.
Bakosurtanal, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi
Geografis, Cibinong.
Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun
2011-2031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon.
Beveridge, M.C.M., 2004. Cage Aquaculture, 3rd ed. Blackwell Publishing, London.
368 p.
Boyd, C.E., 1998. Water Quality for Pond Aquaculture, 1st ed. Alabama Agricultural
Experiment Station, Auburn University, Alabama. 37 p.
BSN, 2014. SNI 01-6487.4-2014. Produksi pembesaran ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis, Valenciennes 1828) di karamba jaring apung (KJA). Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta. p 15.
Buitrago, J., Rada, M., Hernandez, H., Buitrago, E., 2005. A Single-Use Site Selection
Technique , Using GIS , for Aquaculture Planningβ€―: Choosing Locations for
Mangrove Oyster Raft Culture in Margarita Island , Venezuela. Environmental
Management 35 (5), 544–556. doi:10.1007/s00267-004-0087-9
Chou, R., Lee, H.B., 1997. Commercial Marine Fish farming in Singapore. Aquaculture
Research 28, 767–776.
Cloern, J.E., 2001. Our Evolving Conceptual Model of the Coastal Eutrophication
Problem. Marine Ecology Progress Series 210, 223–253.
Davis, M.L., Cornwell, D.A., 1991. Introduction to Environmental Engineering, 2nd ed.
Mc-Graw-Hill, Inc, New York. 822 p.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius, Yogyakarta. p 258.
FAO, 1989. Site Selection Criteria for Marine Finfish Netcage Culture in Asia. FAO,
Rome.
Hakanson, L., Bryhn, A.C., 2008. Eutrophication in the Baltic Sea, Nutrien Transport
Processes, Remedial Strategies., 1st ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin.
261 p.
KKP, 2013. Pedoman Teknis Penyusunan Peta Rencana Zonasi WP3K Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Diektorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Jakarta.
14
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
KLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
Tentang Baku Mutu Air Laut.
Kordi, M.G.K., 2011. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya Laut, 1st ed. Penerbit
ANDI, Yogyakarta. p 616.
Lee, C.D., Wang, S.B., Kuo, K., 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as
Biological Indicators of Water Quality with Refference to Community Diversity
Index. International Conference of Water Pollutan Control in Developing
Countries, Bangkok, Thailand.
Loka, J., Vaidya, N.G., Philipose, K.K., 2012. Site and species selection criteria for
cage culture, in: Philipose, K.K., Loka, J., Sharma, S.R.K., Damodaran, D. (Eds.),
Handbook on Open Sea Cage Culture. Central Marine Fisheries Research Institute,
Calicut, India, p. 143.
Perez, O.M., Telfer, T.C., Ross, L.G., 2005. Geographical Information Systems-based
Models for Offshore Floating Marine Fish Cage Aquaculture Site Selection in
Tenerife , Canary Islands. Aquaculture Research 36, 946–961. doi:10.1111/j.13652109.2005.01282.x
Prahasta, E., 2013. Mengelola Peta Dijital. Cara Mendapatkan dan Mengelola Peta
Dijital Penting dan Gratis di Internet. Informatika, Bandung.
Rachmansyah, R., 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng
dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. p 274.
Selano, D.A.J., 2009. Analisis Hubungan antara Beban Pencemaran dan Konsentrasi
Limbah Sebagai Dasar Pengelolaan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Ambon
Dalam. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p 373.
Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran
Spasial Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik
Pada Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan)
19 (2), 96–106.
Sim, S., Rimmer, M., Williams, K., Toledo, J.D., Sugama, K., Rumengan, I., Phillips,
M.J., 2005. Pedoman Praktis Pemberian dan Pengelolaan Pakan untuk Ikan
Kerapu yang dibudidaya. NACA, Bangkok, Thailand. p 18.
Susana, T., 2004. Sumber Polutan Nitrogen dalam Air Laut. Oseana XXIX (3), 25–33.
Sutomo, S., 1989. Pengaruh AmoniaTerhadap Ikan dalam Budidaya Sistem Tertutup.
Oseana XIV (1), 19–26.
Szuster, W.B., Albasri, H., 2010. Site Selection for Grouper Mariculture in Indonesia.
International Journal of Fisheries and Aquaculture 2 (3), 87–92.
Van Der Wulp, S.A., Niederndorfer, K.R., Hesse, K.J., Runte, K.H., Mayerle, R.,
Hanafi, A., 2010. Sustainable Environmental Management for Tropical Floating
Net Cage Mariculture, A Modelling Approach, in: XVIIth World Congress of the
International Commission of Agricultural and Biosystems Engineering (CIGR).
Canadian Society for Bioengineering (CSBE/SCGAB), Quebec City, Canada, pp.
1–10.
Wedemeyer, G.A., 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems, 1st ed.
Springer Science+Business Media, BV. 232 p.
Yulianto, H., 2012. Analisis Kesesuaian dan Luasan Perairan Budidaya Laut
Berdasarkan Peubah Ekosistem di Perairan Teluk Lampung. Tesis. Program Studi
15
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016
Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. p
116.
Yusuf, M., 2013. Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut Berkelanjutan di
Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ilmu Kelautan 18, 20–29.
16
Download