sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XX, Nomor 2, 1995 : 1 – 12 ISSN 0216 – 1877 BUDIDAYA IKAN LAUT DALAM KERAMBA JARING APUNG SERTA PROSPEKNYA oleh Mayunar 1) ABSTRACT MARINE FISH CULTURE IN FLOATING NETCAGE AND ITS PROSPECTS. Aquaculture or the farming of marine aquatic organism such as fish, Crustacea, seaweed and mollusks. The culture of marine fish was started in Indonesia of year 1978. Especially for marine fish culture, suitable fish species include are grouper, snapper, rabbitfish, seabass and wrasse or napoleon fish. The fish is commercially of the most important marine fish species and highly esteemed as food fish in Singapore, Hongkong, Taiwan, and Indonesia. Furthermore, since this species seem suitable for culture, the development of hatchery techniques is essential to produce large supplies of fries, either for culture to marketable size or for stocking. This paper described the site selection (water current, depth, temperature, pH, salinity, dissolved oxygen, nitrogen compound), constructions and culture techniques (stocking, feeding, growth, diseases/parasite), and other prospects. PENDAHULUAN permintaan pasar, baik domestik maupun internasional. Untuk memenuhi permintaan konsumen yang setiap tahunnya terus meningkat, beberapa pengusaha dan petani ikan di Kep. Seribu, Karimunjawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat telah melakukan budidaya ikan laut terutama dan jenis ikan kerapu, kakap merah, beronang dan ikan lemak atau napoleon fish. Meningkatnya permintaan pasar domestik dan internasional akan ikan laut Produksi ikan melalui usaha budidaya dimulai sejak tahun 1960, namun penerapan kolam dan keramba jaring apung sebagai sarana produksi untuk tujuan komersial baru dimulai pada tahun 1970 (PARKER & BROUSARD 1977). Selanjutnya, Usaha budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan Kep. Riau pada tahun 1978. Usaha budidaya ikan laut terus berkembang sejalan dengan meningkatnya 1 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PEMILIHAN LOKASI BUDIDAYA terutama dalam keadaan hidup perlu diimbangi dengan meningkatnya produksi terutama melalui usaha budidaya. Selama periode 1984 – 1992, produksi perikanan meningkat dari 2,2 juta ton menjadi 3,5 juta ton atau rata-rata 5,8 % per tahun (ANONYMOUS 1994). Produksi perikanan laut naik 5,8 %, perairan umum 1,4 % dan dari budidaya 8,9 % yang sebagian besar berasal dari budidaya tambak (udang, bandeng) dan kolam (ikan air tawar). Untuk memenuhi permintaan ikan laut dalam keadaan hidup, kontribusi produksi dari usaha budidaya perlu ditingkatkan. Peningkatan produksi selain meningkatkan volume dan nilai ekspor, juga dapat menyediakan protein hewani bagi masyarakat sehingga akan tercapai pola pangan berimbang (kebutuhan protein hewani dan nabati). Budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung atau keramba tancap banyak diminati oleh para usahawan baik pengusaha maupun petani ikan, karena memiliki keuntungan antara lain : jumlah dan mutu air selalu terjamin, pemangsa dapat dikendalikan, waktu panen dapat diatur dan ukuran lebih seragam, tidak memerlukan pengolahan tanah, produksi dijual dalam keadaan hidup sehingga harga jual lebih tinggi. Keuntungan lain dari keramba jaring apung adalah mudah dipindahpindahkan ketempat yang lebih produktif.. Beberapa faktor yang harus diperhatikan di dalam usaha budidaya ikan di keramba jaring apung adalah : lokasi, desain dan konstruksi keramba, padat tebar, ketersediaan pakan, jenis ikan yang dibudidayakan, mutu air, hama dan penyakit serta keamanan. Dalam tulisan ini hanya mencakup budidaya ikan kerapu, kakap merah, kakap putih dan beronang. Salah satu sarana pokok di dalam pengembangan budidaya laut adalah ketersediaan lahan atau lokasi yang cocok bagi komoditas yang akan dibudidayakan. Khusus untuk budidaya ikan laut, lokasi yang berpotensi dan dapat dikembangkan pada PJP II kurang lebih 3.600 ha (GAIGER 1989). Untuk 1 ha areal dapat menampung 100 – 125 unit keramba dengan jumlah kurungan 400 – 500 buah yang berukuran 3x3x3 m. keberhasilan di dalam usaha budidaya ikan laut tergantung pada pemilihan lokasi yang tepat dan benar dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, resiko dan hidrografi perairan. Lokasi budidaya ikan laut harus memenuhi persyaratan dan memperhatikan keadaan pasang, kondisi dasar perairan, arus dan konstruksi. Perairan tempat keramba jaring apung sebaiknya bertofografi landai, kedalaman 6 – 10 m, memiliki dasar pasir berlumpur atau lumpur berpasir, airnya jernih serta terhindar dari pencemaran dan pelumpuran (siltasi), karena dapat mempengaruhi bobot jaring, mutu air dan usaha budidaya. Selain itu juga harus terhindar dari gelombang kuat dan badai, sedangkan perbedaan pasang naik dan pasang surut sebaiknya kurang dan 100 cm. Selanjutnya, perairan tempat keramba jaring apung harus terhindar dari stratifikasi suhu dan oksigen serta berarus cukup, sehingga sirkulasi air tetap lancar. Lokasi perairan yang ditetapkan untuk usaha budidaya ikan harus memenuhi persyaratan fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika dan kimia yang harus dipertimbangkan antara lain adalah arus, suhu, kecerahan, pH, salinitas oksigen terlarut dan senyawa nitrogen. 2 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Arus Perairan Peningkatan suhu juga menyebabkan kadar oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme, seperti laju pernapasan dan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Arus adalah massa air baik horizontal maupun vertikal yang disebabkan oleh angin dan gaya (gradien, coriolis, gravitasi, gesekan, sentrifugal). Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme penempel (biofouling). Desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Di Singapura, kecepatan arus perairan untuk usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung berkisar 25 – 50 cm/detik, sedangkan perbedaan antara pasang naik dan pasang surut berkisar 3 m. (ANONYMOUS 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa kecepatan arus dibawah 25 cm/detik menyebabkan banyaknya organisme yang menempel pada jaring, sehingga akan mengganggu sirkulasi air. Kecepatan arus yang baik untuk usaha budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung adalah 5 – 15 cm/detik (AHMAD et al. 1991). Kecerahan Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut BIROWO & UKTOLSEJA (1976), faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton, zat organik dan bahan-bahan lain yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Kecerahan dapat berkurang akibat reklamasi pantai, buangan industri dan rumah tangga serta akibat lainnya. Perairan yang memiliki nilai kecerahan rendah pada waktu cuaca normal (cerah), memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel yang terlarut dan tersuspensi di dalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa serta mengganggu pernapasan ikan. Untuk budidaya perikanan dan konservasi biota laut, kecerahan sebaiknya > 3 m (KHL 1988). Suhu Air. Derajat Keasaman (pH) Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan di dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan biota akuatik lainnya. Suhu berpengaruh langsung pada proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses metabolisme dan siklus reproduksi (SVERDRUP et al. 1961). Kenaikan suhu air sebesar 10°C akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali lipat (WARDOJO 1975). Selanjutnya GUNARSO (1985) melaporkan bahwa ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya 0,03 °C. Suhu air yang baik untuk usaha budidaya ikan laut adalah 27 – 32°C. Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar antara 7,5–8,4. Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa, suhu air serta buangan industri dan rumah tangga. pH rendah atau tinggi sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Perairan yang bersifat asam (pH < 5) atau bersifat alkali (pH > 11), dapat menyebabkan kematian dan tidak terjadinya reproduksi pada ikan. Nilai pH yang optimal untuk budidaya ikan adalah 6,5–9,0 (BOYD & LICHTKOPPLER 1979). Nilai pH suatu perairan biasanya tinggi pada 3 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id sore hari dan rendah pada pagi hari, namun dalam periode pendek tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Konsentrasi oksigen terlarut bagi ke pentingan perikanan sangat bervariasi dan tergantung pada jenis, stadia dan aktivitas organisme. Selain untuk aktivitas kehidupan, kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat di gunakan untuk mendeteksi adanya pencemaran serta keragaman biota yang hidup di dalamnya (ALLEN & MANCY 1972). Untuk sekedar hidup diperukan 1 ppm oksigen terlarut, sedangkan untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 ppm. Apabila oksigen terlarut < 3 ppm dan berlangsung dalam waktu lama, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan berkurangnya nafsu makan ikan. Selanjutnya bagi kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang baik adalah 5–8 ppm (ANONYMOUS 1986; AHMAD et al. 1991). Salinitas Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan perairan payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik melalui sungai maupun run-off terutama pada musim penghujan. HOUDE (dalam AKATSU et al. 1982) melaporkan, ikan laut memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, namun salinitas juga merupakan salah satu faktor penentu terhadap perutmbuhan dan kelangsungan hidup. Selanjutnya BOYD & LICHTKOPPLER (1979) menyatakan, sebagian besar ikan-ikan muda (juvenil) lebih sensitif terhadap perubahan salinitas bila dibandingkan dengan ikan dewasa. Peningkatan salinitas, selain berpengaruh pada daya hantar listrik (conductivity) juga dapat meningkatkan tekanan osmotik yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi. Senyawa Nitrogen Nitrogen dalam air laut terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang bersifat racun terhadap ikan dan organisme lainnya hanya 3 senyawa yaitu ammonia (NH3-N), nitrit (N02-N) dan nitrat (N03-N). Senyawa nitrogen biasanya berasal dari atmosfer, sisa makanan, organisme mati dan hasil metabolisme hewan-hewan akuatik lainnya (SPOTTE 1979). Dari ke-3 senyawa tersebut, yang paling bersifat toksik pada ikan adalah amonia dan nitrit, sedangkan nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi tinggi. Pengaruh utama dari ke-3 senyawa tersebut adalah kerusakan organ-organ tubuh yang ada kaitannya dengan transpor oksigen (insang, sel-sel eritrosit dan jaringan penghasil eritrosit). Peningkatan konsentrasi amonia dalam darah dan jaringan akan menyebabkan perubahan pH darah dan interseluler yang selanjutnya akan menganggu reaksi enzym dan proses metabolisme pada otak dan syaraf Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis di dalam budidaya ikan laut. Oksigen dalam air berasal dari udara melalui diffusi dan hasil sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari fitoplankton. Kalarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi (altitude), salinitias dan tekanan udara. Penambahan tekanan udara serta peningkatakan suhu air dan salinitas, menyebabkan kelarutan oksigen rendah dan begitu sebaliknya. 4 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id (COLT & AMSTRONG-1981). Pembentukan senyawa amonia dalam air sangat dipengaruhi oleh laju metabolisme hewan-hewan akuatik yang bersifat amonialitik dan urealitik serta kondisi pH, suhu air dan salinitas. Apabila pH dan salinitas turun atau suhu naik, maka konsentrasi amonia akan meningkat (DAVITSON 1980). Konsentrasi amonia yang aman dan tidak beracun bagi ikan adalah kecil dari 0,1 ppm (AHMAD et al. 1991). sedangkan untuk keperluan budidaya ikan sebaiknya kecil dari 0,3 ppm (KLH 1988). Pengaruh utama dari senyawa nitrit adalah perubahan di dalam transpor oksigen dan oksidasi senyawa dalam jaringan. Nitrit dapat mengoksidasi ion ferro dalam haemoglobin menjadi ion ferri yang merubah haemoglobin menjadi metemoglobin (COLT & AMSTRONG, 1981). Daya racun nitirit lebih kuat di air asin daripada air tawar. Kalsium, karbonat dan ion khlorida dapat menaikkan toleransi terhadap nitrit sampai 60 kali, misalnya pada ikan Salmoid (PERONE & MADE dalam MAYUNAR 1990). Selain amonia dan nitrit, senyawa nitrat juga merupakan parameter penting di dalam budidaya ikan, karena nitrat merupakan bentuk oksidadi terbanyak dari nitrogen dalam air. Alga dan tumbuhan akuatik lainnya sangat mudah berasmiliasi dengan nitrat. Selain berpengaruh pada osmoregulasi dan transpor oksigen, konsenrasi nitrat yang tinggi juga dapat merusak darah, hati, pusat hematopoetik, fillamen insang dan tingkah laku yang tidak normal (MAYUNAR 1990; COLT & AMSTRONG, 1981). kurung yang akan kita pasang. Adapun bagian-bagian dari keramba jaring apung adalah : bingkai, pelampung, pengikat, jangkar, kurung-kurung dan pemberat (MAYUNAR & AHMAD, 1990). Bingkai Bingkai atau kerangka (Gambar 1) dapat dari kayu, bambu atau besi yang dilapisi bahan anti karat. Pemilihan bahan sebaiknya disesuaikan dengan tersedianya bahan di lokasi budidaya. Ukuran bingkai harus disesuaikan dengan ukuran kurungkurung yang akan digunakan sebagai wadah pembesaran. Ukuran jaring yang banyak digunakan adalah 5x5x3 m, 3x3x3 m atau 2x2x2 m, sehingga ukuran bingkai atau kerangka harus 12x12 m, 7x7 m atau 5x5 m. Garis tengah bambu yang bisa digunakan berkisar antara 12-15 cm dibagian pangkal dan 6–8 cm dibagian ujung. KONSTRUKSI KERAMBA Bahan utama yang harus disediakan di dalam usaha budidaya ikan laut adalah kerangka rakit. Kerangka rakit ini digunakan sebagai penggantung jaring atau kurung- 5 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Pelampung Pengikat Untuk mengapungkan keramba atau bingkai, dapat digunakan drum plastik, drum besi, styrofoam dan fiberglass. Untuk membuat satu unit rakit berukuran 7x7 m yang dibagi menjadi 4 bagian yang masingmasing berukuran 3x3 m, diperlukan 16–20 buah pelampung, sedangkan yang berukuran 5x5 m berkisar 13–14 buah (Gambar 2). Pengikat untuk pembuatan kerangka dapat menggunakan kawat yang bergaris tengah 0,4–0,5 cm atau tali plastik 0,8–1,0 cm. Walaupun mudah berkarat, kawat pengikat tahan dalam jangka waktu 1 tahun, sedangkan menggunakan tali plastik walaupun tidak berkarat namun bisa melar akibat gerakan ombak dan gelombang dan mengakibatkan rakit tidak simetris. Jangkar Sebagai penahan kerangka atau unit rakit agar tidak terbawa arus air, dapat menggunakan jangkar (berat 150–200 kg) atau blok beton (berat 500–1000 kg). Untuk tali jangkar digunakan tali plastik berdiameter 5 cm, sedangkan panjangnya 3 kali kedalaman air. Untuk 1 unit rakit paling sedikit digunakan 4 buah jangkar dan untuk 12 unit sebanyak 14–18 buah. Selanjutnya pada Gambar 3 dapat dilihat skema pemasangan jangkar pada beberapa unit rakit. 6 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id siomai) atau lebih dikenal dengan napoleon fish (WIBISONO 1990). Dari jenis tersebut yang paling banyak dibudidayakan dalam keramba jaring apung adalah ikan kerapu lumpur (Epinephelus suillus, E. tauvina), kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus maculatus, P. leopardus), kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kakap merah (Lutjanus argentimaculatus, L johni). kakap putih (Lates calcarifer) dan beronang (Siganus spp.). Keberhasilan usaha budidaya ikan laut selain ditentukan oleh pemilihan lokasi yang tepat dan benar, juga ditentukan oleh ketersediaan benih, pakan, padat tebar dan mutu air serta terjaminnya pasar dan harga. Kurung-kurung Kurung-kurung atau jaring dapat dibuat dari polyethylene (PE), polypropylene (PP) atau polyester (PES). Ukuran mata jaring yang digunakan tergantung dari ukuran ikan yang dibudidayakan dan biasanya berkisar antara 1–4 cm. Ukuran kurung-kurung adalah 5x5x5 m, 3x3x3 m atau 2x2x2 m. Sebagai penahan arus dan kurung-kurung tetap simetris. setiap sudutnya perlu diberi pemberat (Gambar 4). Pemberat yang digunakan biasanya terbuat dari timah atau semen dengan kisaran berat 2–5 kg. Ukuran dan Padat Tebar Padat tebar harus disesuaikan dengan ukuran benih (berat). Untuk benih berukuran 25–50 g, kepadatan optimal adalah 100 ekor/ m3 sedangkan ukuran 100–150 g adalah 40–50 ekor/m3. Ukuran dan padat tebar yang praktis tergantung pada jenis ikan yang dibudidayakan. Misalnya ikan kerapu, kakap merah dan kakap putih, ukuran optimal adalah 100–200 g/ekor dengan kepadatan 40–50 ekor/m3, sedangkan untuk ikan beronang adalah 50–75 ekor/m3 (ukuran 50–75 g). Pada Tabel 1 dapat dilihat ukuran awal dan kepadatan optimal beberapa jenis ikan laut yang dipelihara dalam keramba jaring apung. Gambar 4. Kurang-kurang yang dilengkapi dengan pemberat. Pakan TEKNIK BUDIDAYA Dalam usaha budidaya, sebagian besar biaya produksi adalah penyediaan pakan. Pakan yang umum digunakan adalah ikan rucah (tembang, tunjam, japuh) dan biasanya diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan jumlahnya disesuaikan dengan berat ikan. ANONYMOUS (1986) merekomendasikan Jenis ikan laut yang potensial dan cocok untuk dibudidayakan dalam keramba jaring apung antara lain adalah famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap merah), Latidae (kakap putih), Carangidae (kuwe, ekor kuning) dan Labridae (lemak/ 7 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id pemberian pakan pada ikan kerapu, kakap merah dan kakap putih yang diperlihara dalam keramba jaring apung, dimana dosisnya disesuaikan dengan berat ikan. Untuk ikan berukuran 50 g, pemberian pakan 10% dari total biomassa per hari, ukuran 100 g (8%), 300 g (3–5%) dan ukuran 500 g berkisar 3 %. Dengan menggunakan ikan rucah, rasio konversi pakan (FCR) adalah 7 : 1 . antara 0,3–0,9 % per hari dari berat badan, kakap merah (0,5–1,4 %), beronang (0,4–0,7 %) dan kakap putih (0,5–1,1 %). Mutu Air Di dalam budidaya ikan Iaut, parameter fisika dan kimia air yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup adalah suhu air, salinitas dan oksigen terlarut. Suhu air yang baik untuk budidaya ikan kerapu, kakap merah, kakap putih dan beronang adalah 27–32 °C, sedangkan oksigen terlarut 5–8 ppm. Selanjutnya, salinitas optimal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup adalah 27–34 ppt (kerapu), 10–25 ppt (kakap putih), 25–33 ppt (kakap merah) dan 28–31 ppt ppt untuk ikan beronang. Pertumbuhan dan Lama Pemeliharaan Untuk mencapai ukuran pasar yaitu 500 – 1500 g (ikan kerapu, kakap merah, kakap putih) diperlukan waktu 6–12 bulan dengan kelangsungan hidup 70–95 %, sedangkan untuk ikan beronang (200 – 500 g) dibutuhkan waktu 10–18 bulan. Laju pertumbuhan harian ikan kerapu berkisar 8 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id baik, pemberian pakan yang cukup, melakukan vaksinasi dan menghindarkan stress serta luka pada ikan. Disamping pencegahan, bagi ikan yang sakit perlu pengobatan (kuratif). Pengobatan penyakit sebagian besar dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan bahan kimia dan antibiotik (Tabel 2). Teknik pengobatan dapat dilakukan dengan cara perendaman, penyuntikan ataupun melalui makanan. Antibiotik umumnya digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur, sedangkan bahan kimia untuk penyakit yang disebabkan oleh parasit (DIANI et al. 1995). Penyakit dan Parasit Salah satu faktor atau kendala yang dapat menghambat keberhasilan di dalam budidaya ikan laut adalah penyakit dan parasit. Timbulnya penyakit terutama disebabkan adanya interaksi antara inang (ikan) dengan patogen serta lingkungan, dimana hal tersebut dapat terjadi apabila terganggunya keseimbangan lingkungan. Pada umumnya, organisme penyebab penyakit dan parasit adalah bakteri, jamur, virus, protozoa, krustasea dan cacing (DIANI et al. 1995). Jenis bakteri yang banyak menyerang ikan laut adalah Vibrio, Aeromonas, Streptococcus, Myxobacter dan Pseudomonas, sedangkan penyakit yang disebabkan virus yang baru dikenal adalah Lymphocystis. Selanjutnya penyakit yang disebabkan oleh jamur adalah Saprolegniasis (Saprolegnia sp.) dan Icthyosporidiosis yang disebabkan oleh Ichthyosporidium sp. Selain penyebab diatas, penyakit pada ikan laut juga dapat disebabkan oleh jenis protozoa, krustasea dan cacing atau dikenal dengan penyakit parasiter. Jenis protozoa yang sering menyerang ikan laut budidaya adalah Cryptocaryon, Trichodina dan Brooklynella, sedangkan jenis cacing adalah Diplectanum, Pseudometadena, Lechithochirium, sedangkan jenis cacing adalah Diplectanum, Pseudometadena, Lechithochirium dan Cucullanus. Selanjutnya dari golongan krustasea adalah Nerocila, Caligus dan Aega. Di dalam budidaya ikan laut khususnya masalah penyakit, tindakan yang lebih penting adalah upaya pencegahan (preventif). Pencegahan terutama ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang seimbang, sehingga daya tahan tubuh ikan meningkat terhadap penyakit. Teknik pencegahan antara lain adalah : menjaga mutu air agar tetap PROSPEK BUDIDAYA IKAN LAUT Menyadari pentingnya budidaya sebagai penghasil devisa maupun protein untuk kebutuhan domestik, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 23 tahun 1982 tentang "Pengembangan Budidaya Laut di Perairan Indonesia" yang selanjutnya diikuti Keputusan menteri Pertanian No. 473/Kpts/Um/7/1982 tentang "Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut di Indonesia" serta Keputusan Menteri Pertanian No. 362/Kpts/Rc.410/6/ 1989 tentang "Penyajian Informasi Lingkungan" dan "Penyajian Evaluasi Lingkungan". Budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali dirintis oleh nelayan Kep. Riau pada tahun 1978, dan seterusnya berkembang ke Kep. Seribu, Karimunjawa dan Sulawesi Selatan. Selain wilayah tersebut, budidaya ikan laut pada saat ini juga telah berkembang di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara. Pada daerah tersebut, sebagian besar ikan yang dibudidayakan adalah kerapu, 9 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Korea Selatan terutama dalam keadaan hidup. SUDJASTANI dalam IMANTO & BASYARIE (1993) melaporkan, kebutuhan ikan hidup di pasar Singapura dan Hongkong kurang lebih 250 ton/hari. Akibat perubahan pola makanan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kebutuhan ikan laut dalam negeri terus meningkat. Selain hal tersebut diatas, beronang, kakap merah dan lemak/siomai (napoleon fish), namun jenis yang terakhir sudah dilarang baik penangkapan maupun ekspornya (MAYUNAR & DJAMALI 1995). Jenis ikan tersebut diatas memiliki prospek cukup baik untuk dibudidayakan, mengingat besarnya permintaan pasar dunia seperti Hongkong, Singapura, Taiwan dan 10 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id lokasi untuk pengembangan budidaya ikan laut cukup tersedia yakni 3.600 ha. Disamping itu, pasok benih untuk menunjang kegiatan budidaya selain berasal dari alam juga dapat diperoleh dari panti-panti benih (hatchery). Budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung banyak diminati oleh para usahawan, karena memiliki keuntungan antara lain : jumlah dan mutu air selalu terjamin, pemangsa dapat dikendalikan dengan mudah, panen dapat dilakukan setiap saat dan tidak memerlukan pengolahan tanah. Keuntungan lain dari budidaya dalam keramba jaring apung adalah produksi dalam keadaan hidup dan ukurannya lebih seragam, sehingga dapat meningkaikan harga jual dan pendapatan. Dalam keadaan hidup, harga ikan kerapu berkisar antara Rp. 15.000 – 75.000 kakap merah Rp. 7.500 – 12.000 kakap putih Rp. 6.000 – 10.000 beronang Rp. 6.000 – 7.500 (pada hari raya Imlek/Cina berkisar Rp. Rp. 40.000 – 50.000) dan ikan lemak/siomai berkisar Rp. 100.000 – 150.000. tauvina. Kuwait lnst. for Sci. Res. : 56 – 58. ANONYMOUS 1986. Manual on floating netcage fish farming in Singapore's coastal water. Fisheries Handbook No. 1. Primary Production Department, Republic of Singapore : 17 pp. ANONYMOUS 1994. Statistik perikanan Indonesia tahun 1992 no. 22. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta : 73 pp. ASIKIN, T. 1985. Budidaya ikan kakap. Seri Perikanan XVII/119/85. Penerbit, Penebar Swadaya : 58 pp. BIROWO, S. dan H. UKTOLSEJA 1976. Sifat-sifat oseanografis perairan panai Indonesia. Makalah pada Simposium Pendekatan Ekologis untuk Pengelolaan Daerah Pesisir. Pertemuan II Bogor, tanggal 29 – 31 Maret 1976 : 24 pp. BO YD, C.E. and L. LICHTKOPPLER 1979. Water quality management in pond fish culture. Series No. 22, Auburn University, Alabama : 30 pp. DAFTAR PUSTAKA AHMAD, T. et al. 1991. Operasional pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, Badan Litbang Pertanian : 59 pp. ALLEN, H.E. and K.H. MANCY 1972. Design of measurement system for water analysis. In : Leonard, L.C. (ed.), Water and water pollution handbook volume 3. Marcel Dekker, Inc. New York : 971 – 1020. AKATSU, S., K.M. AL ABUDL-ELAH, N. GHAZAL and S.K. TENG 1982. Effect of salinity and water temperature on larval rearing and fingerling production of hamoor, Epinephelus COLT, J.E. and D.A. AMSTRONG 1981. Nitrogen toxicity to Crustacea, fish and mollusca. Bio-engineering Symposium. Stavanger 28 – 30 May, Vol. I. Berlin : 34 – 47. DAVITSON, B. 1981. The ammonia constrain in aquaculture. Oregon State, student paper, Corvallis : 74 pp. DIANI, S., MUSTAHAL, R. PURBA dan MAYUNAR 1995. Penyakit yang umum pada ikan laut budidaya. Prosiding Seminar Sehari Hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara – Serang, Cilegon 11 Maret 1995 : 44 – 53. 11 Oseana, Volume XX No. 2, 1995 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id MAYUNAR dan T. AHMAD 1990. Rekayasa kurung apung untuk budidaya ikan laut. Prosiding Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Lautan Bagi Budidaya. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. : PHP/KAN/ 10/1990 : 53 – 60. PARKER, N. and M.C. BROUSARD 1977. Selected bibliography of water reuse system for aquaculture the Texas Agricultural Experiment Station. Texas : 34 pp. SOPTTE, S.H. 1979. Fish and invertebrate culture. Willey Inter Scientific. New York : 155 pp. SVERDRUP, H.G. JOHNSON and R.H. FLEMING 1961. The ocean, their physics, chemistry and general biology. Prentice–Hill, Inc. Englewood : 1087 pp. WARDOJO, S.T.H. 1975. Pengelolaan kwalitas air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bogor : 80 pp. WIBISONO, R. 1990. Pemanfaatan sumberdaya hayati laut berwawasan lingkungan dalam kaitannya dengan usaha budidaya. Prosiding Seminar Pemanfaatan Sumberdaya Lautan Bagi Budidaya. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. : PHP/KAN/ 10/1990 : 18 – 33. GAIGER, P.J. 1989. The market potential for Indonesian seafarmed product: I. Finish. Seafarming Development Project in Indonesia (INS/8/008) under the auspisces of Directorate General of Fisheries, Department of Agricultural, Government of Indonesia, FAORome : 67 pp. GUNARSO, W. 1985. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik penangkapan. Fakultas Perikanan IPB : 150 pp. IMANTO, P.T. dan A. BASYARIE 1993. Budidaya ikan laut, pengembangan dan permasalahannya. Prosiding Rapat Teknis Ilmiah Penelitian Perikanan Budidaya Pantai di Tanjung Pinang, 29 April – 1 Mei 1993 : 93 – 105. KLH. 1988. Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 tanggal 19 Januari 1988. MAYUNAR dan A. DJAMALI 1995. Status dan perkembangan pembenihan ikan laut di Indonesia. Makalah Penunjang pada Seminar tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut di P3O–LIPI Jakarta, tanggal 17 April 1995 : 14 pp. MAYUNAR 1990. Pengendalian senyawa nitrogen pada budidaya ikan dengan sistem resirkulasi. Oseana XV ( 1 ) : 43 – 55. 12 Oseana, Volume XX No. 2, 1995