evaluasi status fisiologi pengaruh anestesi per injeksi dan per

advertisement
1
EVALUASI STATUS FISIOLOGI PENGARUH ANESTESI
PER INJEKSI DAN PER INHALASI DALAM RANGKA
OPERASI PENANAMAN IMPLAN TULANG SINTETIS
PADA DOMBA (Ovies aries)
RADITYA PRADANA PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Evaluasi Status
Fisiologi Pengaruh Anestesi Per Injeksi Dan Per Inhalasi Dalam Rangka Operasi
Penanaman Implan Tulang Sintetis Pada Domba (Ovies aries)” adalah benar
merupakan hasil karya saya dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke
Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Raditya Pradana Putra
NIM.B04061715
3
ABSTRACT
Raditya Pradana Putra. B04061715. Physiological Status Evaluation of
Injection and Inhalation Routes Anaesthetical Effects In Synthetical Bone
Implant Surgery Period on Sheep (Ovies aries). Under direction of Gunanti
and Dudung Abdullah S.M.
This study aimed to observe the effect of injection and inhalation
anasthetical method, such as, the value of oxygen saturation, heart frequency,
respiratory frequency and body temperature in sheeps model during the
synthetical bone implant surgery. Injection and inhalation anaesthetical methods
were used in this experiment. The local sheep (Ovies aries), as an animal model,
was used and prepared indoor for experiment adaptation. The method of this
research was divided into two methods: 1) The first treatment group P1 was
consisted of two sheeps and they were anaesthetical (per injection) using xylazine
hydrochloride 2% with a dose of sheep 0.1 – 0.2 mg/kg by intramuscular (IM) and
0.1 mg/kg by intravena (IV), 2) The second treatment group P2 was consisted of
two sheeps and they were anaesthetical (per inhalation) using isoflurane 1.5% 3% with a fresh-gas flow rate 25 ml/kg. The results showed that there are some
differential values, especially the injection anaesthetical route and inhalation
anaesthetical route oxygen saturation, heart frequency, respiratory frequency and
body temperature. It can be concluded that isoflurane as an inhalation
anaesthetical route is better than xylazine as an injection anaesthetical route.
Keywords: Anaesthetical, injection, inhalation, xylazine, isoflurane.
4
RINGKASAN
Raditya Pradana Putra. B04061715. Evaluasi Status Fisiologi Pengaruh
Anestesi Per Injeksi Dan Per Inhalasi Dalam Rangka Operasi Penanaman
Implan Tulang Sintetis Pada Domba (Ovies aries). Dibimbing oleh Gunanti
dan Dudung Abdullah S.M.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh anestesi per-injeksi dan
anestesi per-inhalasi dari nilai saturasi oksigen, frekuensi jantung, frekuensi nafas
dan suhu tubuh pada domba model selama operasi penanaman implan tulang.
Pada penelitian ini menggunakan teknik anestesi per-injeksi dan anestesi perinhalasi. Hewan model yang digunakan adalah domba lokal (Ovies aries) yang
diberi tempat tinggal di dalam ruangan dengan akses makanan dan air yang
mudah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Penelitian ini dibagi
menjadi dua metode: 1) Perlakuan pertama pada kelompok P1 (anestesi perinjeksi sebanyak dua domba) dengan menggunakan xylazine hydrochloride 2%
dengan dosis domba sebanyak 0.1 – 0.22 mg/kg melalui intramuskular (IM), 2)
Perlakuan kedua pada kelompok P2 (anestesi per-inhalasi sebanyak dua domba)
dengan menggunakan isofluran 1.5% - 3% dengan dosis aliran gas (oksigen) 25
ml/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anestesi per-injeksi dan anestesi perinhalasi memberikan perbedaan nilai saturasi oksigen, frekuensi jantung,
frekuensi nafas dan suhu tubuh. Hal ini dapat disimpulkan bahwa isofluran
sebagai anestesi per-inhalasi memberikan efek anestesi yang lebih baik daripada
xylazin sebagai anestesi per-injeksi.
Kata kunci: Anestesi, injeksi, inhalasi, xylazin, isofluran,
5
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya
untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah,
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
6
EVALUASI STATUS FISIOLOGI PENGARUH ANESTESI
PER INJEKSI DAN PER INHALASI DALAM RANGKA
OPERASI PENANAMAN IMPLAN TULANG SINTETIS
PADA DOMBA (Ovies aries)
RADITYA PRADANA PUTRA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
7
Judul
: Evaluasi Status Fisiologi Pengaruh Anestesi Per Injeksi
Dan Per Inhalasi Dalam Rangka Operasi Penanaman
Implan Tulang Sintetis Pada Domba (Ovies aries)
Nama
: Raditya Pradana Putra
NIM
: B04061715
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Drh. Hj. Gunanti, MS
Drh. Dudung Abdullah S.M.
NIP. 19620102 198703 2 002
NIP. 19500523 197701 1 001
Mengesahkan,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus :
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 1 Januari 1989 dari ayah yang
bernama Abdul Djamal dan ibu yang bernama Eny Murdiwati. Penulis merupakan
anak sulung dari dua bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari TK Aisyiah Pati, tahun 2000 penulis lulus
dari SD Negeri 1 Pati, tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 3 Pati, tahun
2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pati, dan pada tahun yang sama kuliah di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Mahasiswa IPB)
serta memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti berbagai organisasi
internal kampus seperti IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan
Indonesia) (2008-2009), Himpunan Minat Profesi SATLI (Satwaliar) (20082009), Komunitas Seni Steril (2008-2009), serta menjadi panitia dalam First
Congress of South East Asia Veterinary School Association (SEAVSA) yang
diadakan oleh FKH IPB (2010).
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April
hingga Juli 2009 dengan judul Evaluasi Status Fisiologi Pengaruh Anestesi Per
Injeksi Dan Per Inhalasi Dalam Rangka Operasi Penanaman Implan Tulang
Sintetis Pada Domba (Ovies aries).
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Keluarga tercinta (Bapakku Abdul Djamal, Ibuku Eny Murdiwati dan adikku
Tifani Malinda Putri) atas dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang
telah diberikan.
2. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS dan drh. Dudung Abdullah S.M. selaku pembimbing
skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, perhatian dan
kesabaranya dalam membimbing penulis.
3. Drh. Titiek Sunartatie. MSi, selaku dosen pembimbing akademik.
4. Drh. Riki Siswandi, Drh. Fakhrul Ulum, Pak Katim, Pak Kosasih dan Pak
Dahlan atas bantuan yang telah diberikan selama berjalannya penelitian.
5. Rekan-rekan sepenelitian (Shakerz) Kokol, Kobe, Gendis, Mato, Abe, Asme
atas kerjasama, dukungan, semangat dan kebersamaanya selama penelitian
berlangsung.
6. Ayu Puji Lestari atas bantuan, dukungan, semangat, perhatian, pengertian,
cinta dan kasih sayangnya.
7. Sahabat-sahabat terbaik seperjuangan di IPB (Jihan, Anang, Bakhtiar, Gilang,
Ika, Ilmi, Anggi) atas semangat, dukunganya dan bantuanya dalam penelitian
dan penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-teman Wisma Biru (Aero, Agus, Aguy, Hadi, Iin, Ijal, Nube, Reza,
Riza, Rofi, Soni, Zamzam) atas motivasi, bantuan, dan rasa kekeluargaan yang
telah diberikan.
9. Teman-teman Aesculapius FKH IPB (Ardi, Binol, Cipo, Ipin, Nina, Nobo, dan
semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu) serta Mas Wawan atas
bantuan dan motivasinya.
ii
10. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang
telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Desember 2010
Raditya Pradana Putra
iii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 1
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Domba Lokal............................................................................... 2
2.2 Saturasi Oksigen, Frekuensi Jantung, Frekuensi Nafas dan Suhu Tubuh ......... 3
2.2.1 Saturasi Oksigen ................................................................................... 3
2.2.2 Frekuensi Jantung ................................................................................. 4
2.2.3 Frekuensi Nafas .................................................................................... 5
2.2.4 Suhu Tubuh .......................................................................................... 6
2.3 Preanestesi .................................................................................................... 8
2.3.1 Atropin Sulfat ....................................................................................... 8
2.4 Anestesi ......................................................................................................... 9
2.4.1 Anestesi per-Inhalasi .......................................................................... 10
2.4.2 Isofluran ............................................................................................. 13
2.4.3 Anestesi per-Injeksi ............................................................................ 14
2.4.4 Tranquilizer dan Sedatif ..................................................................... 14
2.4.5 Xylazin ............................................................................................... 14
2.5 Implan Tulang Sintetis ................................................................................. 16
3. KERANGKA METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Metode ......................................................................................... 17
4. METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian....................................................................... 18
iv
4.2 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................ 18
4.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 18
4.3.1 Tahapan Persiapan Hewan Percobaan.............................................. 18
4.3.1.1 Hewan Percobaan ................................................................ 18
4.3.1.2 Adaptasi Lingkungan Baru .................................................. 19
4.3.2 Pengelompokan Hewan ................................................................... 19
4.3.2.1 Kelompok P1 ....................................................................... 19
4.3.2.2 Kelompok P2 ....................................................................... 20
4.3.3 Pre-Operasi, Operasi dan Post Operasi ............................................ 21
4.3.3.1 Pre Operasi .......................................................................... 21
4.3.3.2 Operasi ................................................................................ 22
4.3.3.3 Post-Operasi ........................................................................ 24
4.3.4 Parameter Penelitian ........................................................................ 24
4.3.5 Analisis Data ................................................................................... 24
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perbandingan Rata-rata Saturasi Oksigen pada Anestesi Per-Injeksi (P1) dan
Anestesi Per-Inhalasi (P2) .................................................................................. 25
5.2 Perbandingan Rata-rata Frekuensi Nafas pada Anestesi Per-Injeksi (P1) dan
Anestesi Per-Inhalasi (P2) .................................................................................. 26
5.3 Perbandingan Rata-rata Denyut Jantung pada Anestesi Per-Injeksi (P1) dan
Anestesi Per-Inhalasi (P2) .................................................................................. 28
5.4 Perbandingan Rata-rata Suhu Tubuh pada Anestesi Per-Injeksi (P1) dan
Anestesi Per-Inhalasi (P2) .................................................................................. 29
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan .................................................................................................. 32
6.2 Saran ........................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 33
LAMPIRAN ..................................................................................................... 37
v
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
Teks
1. Protokol Pelaksanaan Operasi dan Pengambilan Data P1 ............................... 19
2. Protokol Pelaksanaan Operasi dan Pengambilan Data P2 ............................... 21
3. Perbandingan Nilai Rata-Rata Saturasi Oksigen Pada Anestesi Per Injeksi (P1)
dan Anestesi Per Inhlasi (P2)…………………………………………………..25
4. Perbandingan Nilai Rata-Rata Frekuensi Jantung Pada Anestesi Per Injeksi (P1)
dan Anestesi Per Inhlasi (P2)…………………………………………………..26
5. Perbandingan Nilai Rata-Rata Frekuensi Nafas Pada Anestesi Per Injeksi (P1)
dan Anestesi Per Inhlasi (P2)…………………………………………………..28
6. Perbandingan Nilai Rata-Rata Suhu Tubuh Pada Anestesi Per Injeksi (P1) dan
Anestesi Per Inhlasi (P2)……………………………………………………….29
vi
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
Teks
1. Rumus Bangun Isofluran (Booth 1995) .......................................................... 13
2. Rumus Bangun Xylazin (Booth 1995) ............................................................ 16
3. Penimbangan Bobot Badan ............................................................................ 22
4. Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 22
5. Pencukuran Rambut ....................................................................................... 22
6. Penyayatan ..................................................................................................... 23
7. Pengeboran Tulang ........................................................................................ 23
8. Implan Tulang Sintetis ................................................................................... 23
9. Penanaman Implan Tulang Sintetis ................................................................ 23
10. Penjahitan .................................................................................................... 23
11. Pemerbanan ................................................................................................. 23
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
Teks
1. Tabel Data Operasi 1...................................................................................... 38
2. Tabel Data Operasi 2...................................................................................... 39
3. Tabel Data Operasi 3...................................................................................... 40
4. Tabel Data Operasi 4...................................................................................... 41
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahun jutaan orang menderita berbagai penyakit tulang yang
diakibatkan oleh trauma, tumor, ataupun patah tulang, kondisi ini diperparah
dengan kurangnya pengganti tulang yang ideal (Murugan dan Ramakrishna 2004).
Pengganti tulang (bahan sintetis) yang ideal yang dapat digunakan sebagai bahan
implan tulang pada saat ini sangat dibutuhkan dengan tujuan untuk membatasi
jumlah jaringan yang digunakan. Salah satu bahan sintetis yang sering digunakan
adalah campuran hidroksiapatit (HAp). Salah satu tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan metode anestesi yang aman dalam rangka operasi penanaman
implan tulang sintetis. Dalam penelitian ortopedi ini dipilih domba dewasa karena
berat tubuhnya dan dimensi tulang panjang pada domba mirip dengan manusia
(Newman et al. 1995). Sebelum dilakukan tindakan operasi, hewan harus dalam
keadaan teranestesi. Anestesi dilakukan dengan suntikan (per-injeksi) dan melalui
paru-paru
(per-inhalasi).
Pada
penelitian
kali
ini
akan
dicoba
untuk
membandingkan antara anestesi per-injeksi dengan anestesi per-inhalasi selama
operasi penanaman implan tulang sintetis dengan melihat gambaran nilai
fisiologisnya.
1.2 Tujuan
Melihat pengaruh anestesi per-injeksi dan per-inhalasi terhadap beberapa
nilai fisiologis yaitu nilai saturasi oksigen, frekuensi jantung, frekuensi nafas dan
suhu tubuh pada domba lokal (Ovis aries) selama operasi penanaman implan
tulang sintetis.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pemilihan
anestesi yang aman pada saat melakukan anestesi selama operasi penanaman
implan tulang sintetis terhadap keadaan fisiologis hewan.
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Domba Lokal
Domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku belah dan termasuk
dalam subfamili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk dalam
genus Ovis dan yang terdomestifikasi adalah Ovis aries (Blakely dan Bade 1991).
Mulyono (1998) mengatakan domba yang saat ini dikenal adalah domba lokal
atau peliharaan (Ovis aries) yang diduga keturunan moufflon liar dari Asia Tengah
Selatan dan Barat Daya. Bangsa domba di Indonesia ada beberapa macam,
diantaranya domba ekor tipis, domba priangan, domba ekor gemuk, domba
merino, domba suffolk dan domba dorset. Menurut Mulyono (1998), klasifikasi
ilmiah domba lokal sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
Subfamili
: Caprinae
Genus
: Ovis
Spesies
: aries
Domba merupakan salah satu spesies yang cocok untuk pengujian bahan
implantasi tulang (Ravaglioli et al. 1996). Pada periode 1990-2001, pemakaian
domba dalam penelitian ortopedik yang meliputi patah tulang (fraktur),
osteoporosis, bone-lengthening dan osteoarthritis sebanyak 9-12%. Jumlah ini
meningkat dibandingkan pada periode 1980-1989 yang hanya sebanyak 5%
(Martini et al. 2001, diacu dalam Pearce et al. 2007). Peningkatan penggunaan ini
berkaitan dengan isu-isu etis dan persepsi negatif publik terhadap penggunaan
hewan kesayangan untuk penelitian medis. Domba menawarkan keuntungan
untuk digunakan sebagai hewan model implantasi tulang karena domba memiliki
dimensi tulang panjang yang sesuai untuk implantasi pada pengimplanan manusia
dan prostesis (Newman et al. 1995, diacu dalam Pearce et al. 2007). Domba
merupakan model yang berharga untuk regenerasi tulang manusia dan aktivitas
remodelling (Chavassieux et al. 1987; den Boer et al. 1999; Pastoureau et al.
3
1989, diacu dalam Pearce et al. 2007). Komposisi mineral tulang pada manusia
dan domba tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan dilihat dari fisiologi
pergantian Mg2+ untuk Ca2+ pada tricalcium magnesium phosphate (TCMP)
(Ravaglioli et al. 1996, diacu dalam Pearce et al. 2007).
2.2 Saturasi Oksigen, Frekuensi Jantung, Frekuensi Nafas dan Suhu Tubuh
2.2.1 Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen adalah indikator untuk mengetahui persentase Hb yang
tersaturasi dengan oksigen saat pemeriksaan (Schutz 2001). Menurut Cunningham
(1992), saturasi adalah perbandingan volume oksigen yang terikat dengan
hemoglobin dalam darah dari keseluruhan volume oksigen dalam tubuh. Ikatan
antara hemoglobin dengan oksigen dalam keadaan normal mencapai 95%. Ikatan
ini terjadi ketika darah melewati paru-paru, maka oksigen akan berdifusi dari
alveolus ke dalam darah dan berikatan dengan hemoglobin berupa tekanan
oksigen (PO2). Menurut Guyton dan Hall (1997), pengikatan oksigen oleh Hb
ditentukan oleh tekanan oksigen (PO2). Bila PO2 tinggi, seperti dalam kapiler
paru-paru maka oksigen yang berikatan dengan Hb semakin banyak tapi bila PO2
rendah misal dalam kapiler jaringan maka sejumlah besar oksigen akan dilepas
dari hemoglobin (Hb).
Pulse oxymetri merupakan suatu teknik non invasive untuk mengukur dan
memastikan secara cepat saturasi oksigen pada arteri dengan memancarkan
cahaya melalui kulit (Kirk dan Warren 1995). Cara penggunannya dengan
menempelkan probe pada lidah, bibir, telinga, ekor dan jari kaki (Nelson dan
Counto 1998). Pembacaan melalui pulse oxymetri ini menggunakan sensor cahaya
yang berisi dua sumber cahaya (inframerah) yang akan diabsorbsi oleh
hemoglobin dan ditransmisikan melalui jaringan ke photodetector kemudian
dikonversikan ke dalam bilangan digital yang menunjukkan persen saturasi
(Schutz 2001). Beberapa faktor yang mempengaruhi ketepatan pengukuran pulse
oxymetri adalah perbedaan warna kulit, penurunan perfusi, hipotermia dan
peningkatan konsentrasi serum bilirubin dan anemia (Kirk dan Warren 1995).
Nilai saturasi oksigen dapat bervariasi dengan sejumlah penggunaan
oksigen oleh jaringan seperti terdapatnya perbedaan dalam nilai saturasi oksigen
pada pasien saat istirahat dibandingkan saat beraktifitas. Satu molekul hemoglobin
4
maksimal dapat membawa empat molekul oksigen, jika molekul hemoglobin
hanya membawa tiga molekul oksigen maka hanya 75% dari jumlah maksimum
molekul oksigen yang dapat dibawa oleh molekul hemoglobin. Seratus molekul
hemoglobin dapat membawa maksimal 400 molekul oksigen, jika 100 molekul
hemoglobin hanya membawa 380 molekul oksigen maka nilai persen saturasi
oksigen adalah 95% (Anonim 2007).
2.2.2 Frekuensi Jantung
Frekuensi jantung domba berkisar antara 80-150 kali/menit (Riebold et al.
1995). Menurut Kelly (1974), frekuensi jantung adalah laju jantung berdetak per
menit. Peningkatan frekuensi jantung disebut takikardia sedangkan frekuensi
jantung menurun disebut bradikardia. Frekuensi jantung domba didapat dengan
menggunakan bantuan stetoskop.
Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi
jantung yaitu:
1. Aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi kerja
jantung.
2. Ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu
ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol
adalah reaksi dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama
pengisian ruangan tersebut.
3. Kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi
jantung.
4. Asetilkolin, mengurangi frekuensi jantung.
5. Adrenalin, dapat menaikkan frekuensi jantung.
6. Atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung.
7. Morfin, dapat memperlambat frekuensi jantung.
8. Suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin
besar.
9. Berat badan, semakin berat badan seseorang atau hewan maka
frekuensi jantung juga semakin besar.
10. Umur, umur muda memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat.
5
Kelly (1974) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi frekuensi
jantung yaitu ukuran hewan, kondisi fisik, jenis kelamin, kebuntingan, parturasi,
laktasi, excitement, olahraga, postur, proses pencernaan makanan, ruminasi dan
suhu lingkungan. Menurut Ville et al. (1988), laju pompa jantung dipengaruhi
oleh aktivitas mamalia atau manusia itu sendiri. Jantung pada berbagai hewan
dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar (Kay 1998).
Kontrol syaraf kardiovaskular dipengaruhi oleh kontrol syaraf terhadap jantung
dan pembuluh darah. Kontrol syaraf terhadap jantung ini dilakukan oleh nodusatrial dan syaraf otonom. Nodus sino-atrial ini yang berfungsi untuk
mempertahankan agar jantung tetap berdenyut secara teratur tanpa kontrol syaraf
(Guyton dan Hall 1997).
2.2.3 Frekuensi Nafas
Bernafas atau ventilasi adalah tindakan membawa udara ke dalam dan
kemudian mengeluarkan udara dari paru-paru. Paru-paru adalah struktur kompleks
yang dirancang untuk memberikan pertukaran gas yang mudah, terutama oksigen
dan karbondioksida antara udara dan darah (Kelly 1974). Menurut Guyton dan
Hall (1997), tujuan utama dari pernafasan adalah menyediakan oksigen bagi
jaringan dan membuang karbondioksida. Salah satu proses respirasi adalah
ventilasi paru-paru yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan
alveoli. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu gerakan naik dan turun dari
diafragma untuk memperbesar dan memperkecil rongga dada dan depresi tulang
iga untuk memperbesar dan memperkecil diameter antroposterior rongga dada.
Pada hewan, frekuensi dan ritme pernafasan dapat diketahui dengan
menempatkan satu tangan di daerah flank bawah. Frekuensi nafas juga dapat
diketahui dengan melihat pergerakan nostril atau lebih efisien dengan auskultasi
pada thoraks atau trakea. Kisaran pernafasan normal pada domba adalah 20-40
kali/menit (Riebold et al. 1995). Tindakan bernafas diatur secara sengaja dan
refleks dengan memonitor fungsi pusat pernafasan di medulla oblongata (Kelly
1974). Dua mekanisme syaraf yang mengatur pernafasan yaitu pengatur volunteer
dan pengatur otomatis. Pengatur volunteer terletak di dalam cortex cerebri yang
mengatur impuls ke neuron motorik pernafasan melalui traktus kortikospinal.
6
Sedangkan pengatur otomatis terdapat di pons dan medulla oblongata yang
terbagi menjadi tiga kelompok neuron utama yaitu (1) kelompok pernafasan
dorsal, terletak pada bagian dorsal medula yang menyebabkan terjadinya inspirasi,
(2) kelompok pernafasan ventral, terletak di ventrolateral medula yang
menyebabkan ekspirasi atau inspirasi pada kelompok neuron yang dirangsangnya,
(3) pusat pneumotaksik, terletak pada bagian superior belakang pons yang
membantu kecepatan dan pola pernafasan (Guyton dan Hall 1997). Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan frekuensi nafas antara lain excitement, ketakutan, suhu
lingkungan yang tinggi, kelembaban, setelah olahraga dan obesitas (Kelly 1974).
2.2.4 Suhu Tubuh
Ditinjau dari pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua
golongan, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Pada poikiloterm suhu tubuhnya
dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan
dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin.
Hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas (Duke 1995). Pada hewan
berdarah panas suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam
otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan berdarah panas dapat
melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan
mengatur suhu tubuh. Hewan dalam kelompok ini mempunyai variasi suhu
normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan,
faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan
faktor jenuh pencernaan air (Swenson 1997). Contoh hewan berdarah panas
adalah bangsa burung dan mamalia (Guyton & Hall 1993). Domba termasuk
hewan berdarah panas atau homoiterm. Suhu tubuh normal pada domba adalah
38,9-40,5°C (Kelly 1974).
Suhu tubuh hampir seluruhnya diatur oleh mekanisme persyarafan umpan
balik. Mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di
hipotalamus yang disebut thermostat perifer yaitu reseptor panas dan dingin.
Termoreseptor pusat yaitu neuron yang peka terhadap panas dan dingin yaitu
nucleus preoptik dan nucleus hipotalamik anterior area preoptik. Dalam
mekanisme kerja kedua neuron ini mengadakan integrasi untuk menghasilkan
7
signal eferen yang berguna untuk mengatur pembentukan dan pengeluaran panas.
Pusat pengaturan suhu di hipotalamus mempunyai suhu kritis tertentu (suhu set
point), jika suhu berada diatas suhu tersebut maka mekanisme pengeluaran panas
diaktivasi dan jika dibawah suhu tersebut maka mekanisme pembentukan panas
mulai bekerja. Pemberian agen sedasi dapat menekan reaktifitas pengaturan suhu
di hipotalamus dan menyebabkan penurunan suhu (hipotermia). Penurunan suhu
akan memperlambat denyut jantung dan menekan metabolism sel otot jantung.
(Guyton dan Hall 1997).
Suhu tubuh yang dihitung dengan termometer tidak menunjukkan jumlah
total dari panas yang diproduksi, namun hanya merefleksikan keseimbangan
(keadaan tetap) yang ada antara produksi panas dan kehilangan panas. Suhu pada
permukaan kulit biasanya lebih rendah daripada bagian dalam tubuh. Tingginya
suhu tubuh merupakan hubungan yang penting terhadap kehilangan panas.
Walaupun suhu rektal tidak selalu menunjukan suhu tubuh pada hewan, namun
tetap tempat yang paling tepat untuk memperoleh ukuran (Kelly 1974).
Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu antara lain:
1. Ukuran hewan, semakin kecil hewan semakin tinggi suhu normal
tubuhnya.
2. Jenis kelamin, betina memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada
jantan.
3. Hewan bunting memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi.
4. Umur, hewan muda memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada
hewan tua.
5. Aktifitas makan, suhu tubuh hewan meningkat setelah makan, terutama
apabila makan terlalu banyak.
6. Olahraga (exercise).
7. Parturasi.
8. Terkena suhu atmosfer yang tinggi.
9. Excited, ketika hewan excited suhu tubuhnya meningkat.
10. Prosedur dalam pemeriksaan fisik dapat menyebabkan peningkatan suhu
tubuh.
8
Semua hewan yang sehat memiliki suhu tubuh yang bervariasi sepanjang
hari. Suhu rendah pada pagi hari, sedikit meninggi pada tengah hari dan mencapai
puncak sekitar pukul 6 sore. Pada hewan dibawah pengamatan klinis, suhu tubuh
biasanya diukur dua kali sehari (pagi hari dan malam hari). Perbedaan antara
kedua pembacaan tersebut merupakan variasi harian (Kelly 1974).
2.3 Preanestesi
Obat-obatan preanastesi digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pemberian agen anestesi baik itu anastesi lokal, regional ataupun umum.
Pemberian agen preanestesi bertujuan untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah,
meningkatkan keamanan pada saat pemberian agen anestesi, memperlancar
induksi anestesi, mencegah efek bradikardi dan muntah setelah ataupun selama
anestesi, mendepres reflek vagovagal, mengurangi rasa sakit dan gerakan yang
tidak terkendali selama recovery (Kumar 1996).
Agen preanastesi digolongkan menjadi 4 yaitu; antikolinergik, morfin
serta derivatnya, transquilizer dan neuroleptanalgesik (Kumar 1996). Sementara
menurut Sardjana dan Kusumawati (2004), obat-obat yang digunakan untuk
anastesi premedikasi meliputi antikolinergik, analgesik, neuroleptanalgik,
tranquilizer, obat dissosiatif dan barbiturate. Pada umumnya obat-obat preanastesi
bersifat sinergis terhadap anastetik namun penggunaanya harus disesuaikan
dengan umur, kondisi dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri,
teknik anestesi yang dipakai, adanya antisipasi komplikasi dan lainnya.
2.3.1 Atropin Sulfat
Atropin
merupakan
agen
preanestesi
yang
digolongkan
sebagai
antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik
mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik
kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan
pemberian
asetilkolin
dalam
jumlah
berlebih
atau
pemberian
antikolinesterase (Ganiswarna et al. 2001).
Atropin sulfat berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau.
Atropin dalam bentuk bubuk atau tablet harus disimpan dalam kontainer tertutup
9
dengan suhu 15º-30ºC, sedangkan dalam bentuk injeksi harus disimpan pada suhu
kamar. Atropin sebagai premedikasi diberikan pada kisaran dosis 0,02-0,04
mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intravena maupun intramuskular
(Plumb 2005), sedangkan menurut Rossoff (1994), atropin sebagai premedikasi
diberikan dengan dosis 0,03-0,06 mg/kg.
Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf
pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan
tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar
menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi
hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung)
bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun
tekanan darah secara langsung tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh
asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai antispasmodik yaitu
menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot polos atropin
mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin
(Ganiswarna et al. 2001).
2.4 Anestesi
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
agen anestesi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot
yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar. Anestesi umum
diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita mengalami
analgesia, amnesia dan tidak sadarkan diri sedangkan otot-otot mengalami
relaksasi dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki. Pertimbangan utama agar
anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin adalah memilih agen
anestesi yang ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anestesi, jenis operasi yang dilakukan dan peralatan serta
obat yang tersedia. Sifat anestesi yang ideal antara lain mudah didapat, murah,
10
tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernafasan
atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan. Agen anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain:
pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara
pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek
samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah
dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi
umur dan kondisi hewan (Anonim 2008).
Setelah hewan berada dalam kondisi anestesi harus dilakukan monitoring
anastesi terhadap: (1) Tingkat kedalaman anastesi melalui tekanan darah,
respirasi, reflek pupil, pergerakan bola mata dan kesadaran, (2) suhu tubuh,
umumnya
tubuh
tidak
mampu
mempertahankan
suhu
tubuhnya,
(3)
kardiovaskular melalui monitoring pulsus dan detak jantung dan (4) respirasi,
melalui pemeriksaan tipe respirasi dan komplikasi sistem respirasi (Sardjana dan
Kusumawati 2004).
Anestetikum dibagi dalam dua kelompok besar yaitu anestetikum umum
dan anestetikum lokal (Siswandono dan Soekardjo 1995). Anestesi umum adalah
suatu keadaan yang bersifat reversible yang dapat mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran, hilangnya persepsi nyeri (analgesi),
hilangnya memori (amnesi) dan relaksasi. Beberapa substansi yang dapat
menghasilkan keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik
(nitrous oxide), halogen hidrokarbon (halotan) dan struktur organik komplek
(barbiturat) (Morgan et al. 2002). Menurut McCurnin (2006), anestesi lokal
adalah kehilangan sensasi rangsang pada bagian tertentu dari tubuh sedangkan
anestesi umum adalah pemberian obat anestetik tertentu yang dapat menimbulkan
ketidaksadaran yang dikendalikan dan bersifat reversible. Anestesi injeksi
maupun inhalasi dapat menghasilkan anestesi umum.
2.4.1 Anestesi per-Inhalasi
Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), anestesi per-inhalasi adalah
senyawa yang dapat menimbulkan efek anestesi dan diberikan secara inhalasi
11
dengan oksigen sebagai pelarut. Anestesi per-inhalasi ini memiliki dua kelebihan
dibandingkan dengan anestesi intravena. Kedalaman anestesi dapat diubah dengan
cepat yaitu dengan cara mengubah kadar senyawanya. Senyawa dapat
dieleminasikan dengan cepat sehingga depresi pernafasan dapat dihindari. Contoh
anestesi per-inhalasi adalah siklopropan, etilen, nitrogen oksida, halotan, enfluran,
isofluran, kloroform, dietil eter dan metoksifluran.
Anestesi per-inhalasi ini memiliki tiga sifat dasar yaitu berbentuk cairan
pada suhu kamar, mempunyai sifat anestetik pada kadar rendah dan relatif mudah
larut dalam lemak, darah dan jaringan (Handoko 1998). Berkaitan dengan efek
pada sistem sayaraf pusat (SSP), maka anestesi umum baik parenteral maupun
inhalasi dibagi atas 4 tahap atau stadium (Handoko 2003):
1. Stadium I (analgesia): Melibatkan korteks otak, dimulai dari saat
pemberian anestesi sampai hilangnya kesadaran. Peredaran fungsinya
menimbulkan
analgesia
dengan
membatasi
kesadaran
secara
berangsur-angsur tetapi masih mampu untuk mengikuti perintah.
2. Stadium II (eksitasi/delirium): Melalui penghambatan pusat-pusat
yang lebih tinggi terjadi aktivitas yang meningkat pada otak tengah.
Menyebabkan hiperrefleksia (muntah), peningkatan sekresi kelenjar,
penambahan tonus otot, hilangnya kesadaran, midriasis, takikardi.
Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
3. Stadium III (toleransi/pembedahan): Pusat-pusat yang lebih dalam
dari SSP dilumpuhkan (batang otak dan sumsum tulang belakang).
Kepekaan refleks dan sekresi kelenjar akan berkurang, tonus otot
menurun, pupil sangat lebar, dan refleks cahaya hilang. Stadium ini
dibagi menjadi 4 berdasarkan gejala klinisnya, yaitu :

Tingkat 1: pernafasan teratur, miosis, pernafasan dada
dan pernafasan perut seimbang, belum tercapai relaksasi
otot lurik yang sempurna.

Tingkat 2: pernafasan teratur tapi kurang dalam, pupil
mulai melebar, refleks laring hilang sehingga bisa
dikerjakan intubasi.
12

Tingkat 3: pernafasan perut lebih dominan, relaksasi
otot lurik sempurna, pupil lebar tapi belum maksimal.

Tingkat 4: pernafasan perut sempurna karena paralisis
otot intercostae sempurna, tekanan darah mulai turun,
pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang.
4. Stadium IV (asfiksia): Pemblokan pusat-pusat vegetatif yang vital
pada medulla oblongata sehingga pernafasan dan jantung berhenti,
tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolap. Pada
stadium ini kelumpuhan pernafasan tidak dapat diatasi dengan
pernafasan buatan.
Anestesi per-inhalasi dapat diberikan dengan empat cara yaitu:
1. Metode terbuka (Open drop method): Metode ini jarang digunakan
tetapi biasanya digunakan pada keadaan darurat jika peralatan tidak
ada. Cara ini biasanya digunakan untuk anestetikum pada kapas yang
diletakkan di depan hidung pasien. Cara seperti ini tidak ekonomis
karena terlalu banyak gas yang dibuang ke udara sehingga kadar
anestetikum yang masuk tidak diketahui.
2. Metode setengah terbuka (Semiopen drop method): metode ini
menggunakan
masker
untuk
meminimalisir
terbuangnya
zat
anestetikum. CO2 yang dikeluarkan sering dihisap kembali. Oleh
karena itu O2 dialirkan melalui pipa yang terdapat di bawah masker
supaya kejadian hipoksia (kekurangan O2) dapat dihindari.
3. Metode
setengah
tertutup
(Semiclosed
method):
metode
ini
membutuhkan penggunaan mesin penganestesi. Udara yang dihisap
diberikan bersamaan dengan O2 murni yang dapat ditentukan
kadarnya, kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat
anestetik dapat ditentukan. Setelah pasien menghisap udara maka nafas
yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Pada metode ini hipoksia
dapat dicegah dengan pemberian O2 serta pemberian zat anestetikum
kadarnya dapat diatur.
4. Metode tertutup (Closed method): pada metode ini udara dialirkan
melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
13
mengandung anestetikum dapat digunakan lagi. Metode ini lebih
hemat, aman dan lebih mudah akan tetapi harga alatnya cukup mahal.
(Handoko 1998).
2.4.2 Isofluran
Isofluran merupakan cairan yang mudah menguap tidak dapat terbakar,
tidak berwarna dan tekanan uap yang relatif tinggi. Senyawa ini mengalir masuk
dan dieliminasi dengan cepat, relaksasi otot lebih kuat dibandingkan dengan
halotan dan menimbulkan efek depresi pernafasan. Laju biotransformasi dari
isofluran sangat sedikit yaitu kurang dari 3% sehingga sangat kecil kemungkinan
terjadinya kerusakan hati dan ginjal. Penggunaan isofluran dapat menyebabkan
depresi dari CNS, peningkatan aliran darah ke otak, depresi pernafasan, hipotensi,
vasodilatasi dan depresi dari miokardium sehingga frekuensi jantung menurun
(Plumb 2005). Dalam aplikasinya isofluran diberikan bersamaan dengan gas
sebagai pelarut, berupa oksigen atau N2O (Lumb and Jones 1996).
Pemberian isofluran pada hewan betina sebagai anestesi tidak akan
menimbulkan gangguan fertilitas ataupun kehamilan sehingga tidak menimbulkan
gangguan teratogenik pada keturunannya. Isofluran yang diberikan dengan alat
penguap tertutup (in-circuit vaporize closed system) lebih efektif dibandingkan
dengan pemberian secara semi tertutup (out-circuit vaporizer semi closed system)
karena durasi akan lebih panjang dan perubahan gejala klinisnya tidak terlalu
signifikan (Bednarski dan Muir 1991).
Gambar 1 Rumus Bangun Isofluran
Sumber Booth (1995)
14
Mendepres system saraf pusat
Menurunkan frekuensi jantung
ISOFLURAN
(Anonim 1999)
Mendepres pernafasan
Meningkatkan aliran darah otak (konsentrasi 1.5%)
Meningkatkan tekanan intrakranial
Merelaksasikan otot
Menurunkan tekanan darah
2.4.3 Anestesi per-Injeksi
Anastesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat. Keuntungan
pemberian anestetik intravena adalah cepat dicapai induksi dan pemulihan, sedikit
komplikasi pasca anestetik jarang terjadi, akan tetapi efek analgesik dan relaksasi
otot rangka sangat lemah. Agen anestesi yang umum dipakai adalah thiopental,
barbiturat, ketamin, droperidol dan fentanil. Pada tindakan yang lama biasanya
dikombinasikan dengan agen anestesi yang lain (Anonim1 2010).
2.4.4 Tranquilizer dan Sedatif
Tranquilizer dan sedatif adalah senyawa yang dapat menekan sistem syaraf
pusat sehingga menimbulkan efek sedasi (penurunan kepekaan) lemah sampai
tidur pulas atau hipnotik (Siswandono dan Soekardjo 1995). Agen ini biasa
digunakan untuk restrain dan mengurangi perlawanan serta rasa takut. Senyawa
ini juga membantu untuk mengurangi stress sebelum induksi dan saat sadar serta
membantu meningkatkan kemampuan menginduksi dari anestesi (Cornick 1994).
2.4.5 Xylazin
Xylazin merupakan cairan bening yang tidak berwarna yang tersedia
dalam sediaan 2% dan 10% atau dalam bentuk bubuk kering dengan cairan yang
telah disiapkan sehingga bisa diencerkan sesuai kebutuhan (Hall 1978). Menurut
Plumb (2005), xylazin sering digunakan untuk sedatif dan analgesik pada berbagai
spesies hewan dan terkadang digunakan sebagai obat emetikum pada kucing
sedangkan pada kuda dan ruminansia tidak meyebabkan muntah.
15
Xylazin menimbulkan efek relaksasi muskulus sentralis juga analgesi.
Kondisi tidur yang ringan sampai kondisi narkosis yang dalam dapat tercapai
tergantung pada dosis untuk masing-masing spesies hewan (Sardjana dan
Kusumawati 2004). Menurut Plumb (2005), perbedaan dapat terlihat sehubungan
dengan sensitivitas spesies terhadap xylazin. Hewan ruminansia (domba) sangat
sensitif terhadap xylazin bila dibandingkan dengan kuda, anjing atau kucing.
Ruminansia secara umum membutuhkan dosis xylazin kira-kira 1/10 dari dosis
yang dibutuhkan untuk kuda dalam memperlihatkan efek yang sama. Polyuria
pada ruminansia sering terlihat setelah pemberian xylazin, kemungkinan
disebabkan menurunnya produksi vasopressin (hormon ADH). Bradikardia dan
hipersalivasi juga terlihat dan dapat diatasi dengan pemberian atropin. Daya kerja
xylazine bila diberikan dosis maksimal (0.1 mg/kg IV atau 0.2-0.3 mg/kg IM)
dapat memberikan efek anestesi umum mendekati sekitar satu jam (Taylor 1991).
Xylazin termasuk ke dalam golongan turunan α2-adrenoreseptor agonis
yang dapat menimbulkan efek sedasi, analgesia dan muscle relaxan (Luna et al.
2000). Menurut Lumb and Jones (1996), xylazin menghasilkan sedasi dengan cara
mengaktifkan central α2 -adrenoreceptors yang menghasilkan hipoksemia tanpa
menyebabkan hipoventilasi sedangkan anestesi inhalasi dalam jumlah yang besar
dapat dihilangkan dari tubuh melalui kerja paru-paru. Alpha-2 adrenoreseptor ini
telah diidentifikasi berada di system saraf pusat, kardiovaskular, respiratory, renal,
endokrin, gastrointestinal dan system hematologi (Aanta et al. 1995). Menurut
Maze dan Tranquilli (1991), α2-adrenoreseptor dijelaskan terletak di presinap
neuron noradrenergik, α2-adrenoreseptor agonis mengerahkan efek penghambatan
pada fungsi system saraf pusat melalui penghambatan pelepasan norepinephrin
(NE) dari saraf simpatis. Hal ini menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun
sehingga menurunkan tingkat kewaspadaan, menurunkan frekuensi jantung dan
tekananan darah. Alpha-2 adrenoreseptor juga ditemukan di otot polos pembuluh
darah (non-presynaptic site) dan ketika diaktifkan akan menyebabkan
vasokonstriksi. Xylazine hydrochloride (rompun) dengan rumus kimia 2-(2,6xylidino)-5,6-dihydro-4H-1,3-thiazine hydrochloride (Booth 1995).
16
Gambar 2 Rumus Bangun Xylazin
Sumber Booth (1995)
Mendepres system saraf pusat
Mendepres pernafasan
Merelaksasikan otot
XYLAZIN
Hipersalivasi
(Plumb 2005)
Menghambat motilitas gastrointestinal
Menurunkan frekuensi jantung
Hipotermia
2.5 Implan Tulang Sintetis
Bahan yang dapat mengganti tulang disebut sebagai material implan.
Implan tulang atau bone graft adalah prosedur medis penggantian tulang yang
rusak atau hilang dengan implan. Jika implan tulang berhasil, ada kesempatan
baik bahwa area tersebut akan sembuh dengan baik sehingga memungkinkan
pasien untuk menggunakan tulang seperti biasa (Anonim2 2010).
Implan tulang dimungkinkan karena jaringan tulang memiliki kemampuan
untuk regenerasi sepenuhnya jika tersedia ruang untuk tumbuh. Ketika tulang asli
tumbuh, umumnya akan menggantikan material implan sepenuhnya yang
menghasilkan daerah terintegrasi sepenuhnya oleh tulang baru. Mekanisme
biologi
menyediakan
dasar
rasional
untuk
pengimplanan
tulang
yaitu
osteokonduktif, osteoinduktif dan osteogenesis (Klokkevold & Jovanovic 2002).
17
3. KERANGKA METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Metode
Induksi
Anestesi Umum
Umur
Berat Badan
Jenis dan Dosis
Operasi Penanaman
Agen Anestesi
Implan Tulang Sintetis
Xylazin
Isofluran
Status
Present
Saturasi
Oksigen
Frekuensi
Jantung
Frekuensi
Pernafasan
Suhu
Tubuh
18
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2009
bertempat di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi serta kandang Hewan Percobaan yang dikelola oleh Unit
Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab), Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian
Hewan percobaan yang digunakan domba lokal (Ovis aries) yang
berjumlah 4 ekor dengan kisaran umur 1,5-2 tahun dan berat badan rata-rata 19
kg. Domba dalam keadaan klinis sehat dan tidak bunting. Bahan yang digunakan
pada penelitian ini obat bius per-injeksi berupa xylazin 2% sedangkan obat bius
per-inhalasi berupa isofluran, antibiotik Cefotaxime 250 mg, NaCl fisiologis,
larutan ringer laktat, benang jahit (silk 3/0, cat gut chromic 3/0 dan 4/0, cut gut
plain 3/0), Rivanol, Levertrans, Peru Balsem, Gusanex, Iodine tincture 3%,
preparat sulfa, kapas, tampon, perban dan plester. Alat yang digunakan adalah alat
pulse oxymetri, peralatan anestesi perinhalasi, tabung oksigen, alat bedah minor,
meja bedah, lampu bedah, baju operasi, masker, dan tutup kepala operator, masker
untuk inhalasi, sarung tangan, tali, dysposible syiringe 1ml, termometer, pencukur
rambut dan jarum berdiameter segitiga dan bulat serta implan tulang
hidroksiapatit (HA), trikalsium fosfat (TKF) dan kitosan dengan diameter 4 mm
dan tebal 7 mm yang diperoleh dari Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
4.3 Metode Penelitian
4.3.1 Tahapan Persiapan Hewan Percobaan
4.3.1.1 Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 4 ekor domba lokal dengan rata-rata berumur
1,5-2 tahun dan berat badan rata-rata 19 kg. Domba dibagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok anestesi per injeksi (kelompok P1) dan kelompok anestesi per
19
inhalasi (kelompok P2). Kelompok 1 dan 2 masing-masing terdiri dari 2 ekor
domba.
4.3.1.2 Adaptasi Lingkungan Baru
Adaptasi domba dilakukan selama seminggu dengan akses makanan dan
air yang mudah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru.
Domba ditempatkan di kandang domba dan setiap domba ditempatkan di kandang
yang berbeda. Hewan diberi pakan konsentrat dan rumput pada pagi dan sore hari
dan air diberikan ad libitum.
4.3.2 Pengelompokan Hewan
4.3.2.1 Kelompok P1
Kelompok P1 dilakukan pada kelompok domba yang dibius secara per
injeksi (xylazin 2%) sebanyak 2 ekor domba. Domba terlebih dahulu diberikan
premedikasi dengan atropin sulfat 0.2 mg/kg (SC) sampai interval waktu 10 menit
sebelum dilakukan aplikasi anestesi dengan menggunakan xylazin 2% 0,2 mg/kg
(IM) dan maintenance 0,10 mg/kg (IV) setiap 15 menit. Protokol pelaksanaan
operasi dan pengambilan data P1 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Protokol pelaksanaan operasi dan pengambilan data P1
Kelompok P1
- Penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan fisik
- Pencukuran rambut
- Penghitungan dosis anestesi
- aplikasi atropine sulfat
Aplikasi xylazin
Operasi
Pengamatan parameter fisiologis
Penjahitan
Pre-operasi
Waktu
0
15
30
45
60
75
20
Perhitungan dosis atropin sulfat:

Sediaan : Atropine Sulfat 0,25 mg/ml

Dosis untuk domba: 0,15-0,3 mg/kg (SC)
→ 0,2 mg/kg
(Plumbs, 5th edition)
Perhitungan:
Dosis atropin = dosis untuk domba x berat badan domba
dosis sediaan
Perhitungan dosis xylazine:

Sediaan : Xylazine HCl 2 % (20 mg/ml)

Dosis untuk domba: 0,10-0,22 mg/kg (IM)
→ 0,2 mg/kg
0,10 mg/kg (IV)
(Plumbs, 5th edition)
Perhitungan:
Dosis Xylazine = dosis untuk domba x berat badan domba
Dosis sediaan
4.3.2.2 Kelompok P2
Kelompok P2 dilakukan pada kelompok domba yang dibius secara perinhalasi sebanyak 2 ekor domba (P2). Domba terlebih dahulu diinduksi dengan
menggunakan xylazin 2% secara injeksi intramuskular agar tidak mengalami
kesulitan dalam memasang masker inhalasi. Setelah domba tersedasi lalu diberi
isofluran yang bercampur dengan oksigen secara per inhalasi dengan
menggunakan
metode
mempertahankan
setengah
keadaan
anestesi.
tertutup
(semiclosed
Protokol
pengambilan data P2 dapat dilihat pada tabel 2.
method)
pelaksanaan
operasi
untuk
dan
21
Tabel 2. Protokol pelaksanaan operasi dan pengambilan data P2
kelompok P2
Pre-operasi
Waktu
0
15
30
45
60
75
- Penimbangan bobot badan
- Pemeriksaan fisik
- Pencukuran rambut
- Penghitungan dosis anestesi
Induksi xylazin
Aplikasi isofluran
Aplikasi oksigen
Operasi
Pengamatan parameter fisiologis
Penjahitan
Perhitungan dosis isofluran :

Oksigen murni dengan dosis 25 ml/kg BB
= BB x dosis oksigen
= BB x 10 ml/kg BB

Dosis isofluran 1.5%-3%
4.3.3 Pre Operasi, Operasi dan Post Operasi
4.3.3.1 Pre Operasi
Domba terlebih dahulu ditimbang bobot badannya untuk mengetahui dosis
anestesi yang akan diberikan (gambar 4). Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik
(physical examination) untuk mengetahui keadaan umum domba tersebut
sehingga dapat diketahui domba tersebut sehat dan telah siap untuk dioperasi
(gambar 5). Pencukuran rambut dilakukan pada daerah kaki belakang tepatnya
pada setengah medial dari os tibia pada sekitar 1/3 proksimal (gambar 6). Pada
kelompok P1, domba terlebih dahulu diberikan premedikasi dengan atropin sulfat
0.2 mg/kg (SC) sampai interval waktu 10 menit sebelum dilakukan aplikasi
anestesi dengan menggunakan xylazin 2% 0,2 mg/kg (IM) dan maintenance 0,10
mg/kg (IV) setiap 15 menit. Pada kelompok P2, domba diinduksi terlebih dahulu
22
dengan xylazin 2% dengan dosis yang sama baru kemudian dilakukan
maintenance dengan menggunakan Isofluran secara inhalasi dengan dosis 1.5%3% dan dosis oksigen 25 ml/kg BB setiap 15 menit. Setelah domba teranestesi
dilakukan pembersihan pada daerah target operasi dengan desinfektan Iodine
tincture 3%.
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Keterangan: Gambar 4 Penimbangan Bobot Badan, Gambar 5 Pemeriksaan
Fisik, Gambar 6 Pencukuran Rambut
4.3.3.2 Operasi
Penanaman implan tulang sintetis dilakukan dengan operasi secara aseptis
pada domba dibawah pengaruh anestesi dengan agen sedasi. Operasi dilakukan
dengan melakukan penyayatan selebar 3-4 cm pada kulit lalu subkutan kemudian
penyayatan otot (musculus peroneus tertius dan musculus flexor digitalis pedis
longus) dan jaringan periosteum. Otot (musculus peroneus tertius dan musculus
flexor digitalis pedis longus) disayat sejajar sumbu tulang pada bagian
proximomedial tulang tibia kiri hingga mencapai tulang (gambar 7). Penyayatan
dilakukan secara hati-hati agar tidak mengenai vena saphena dan nervus
saphenus. Musculus peroneus tertius akan tampak di bagian proximokranial
sedangkan musculus flexor digitalis pedis longus akan tampak di bagian
proximokaudal. Penanaman implan tulang sintetis dilakukan pada bagian tulang
tibia sekitar 1/3 proksimal dengan menggunakan bor untuk membuat lubang yang
sesuai dengan diameter dan kedalaman yang disesuaikan dengan ukuran material
implan tulang (gambar 8). Material implan tulang yang berbentuk silinder dengan
diameter 4 mm dan tebal 7 mm (gambar 9) ditanam pada lubang yang telah
dibuat. Penanaman implan dilakukan pada tulang tibia kaki kiri bagian medial
23
(gambar 10) sementara itu tulang tibia kaki kanan bagian medial sebagai kontrol
positif (hanya dilubangi tanpa diberi implan). Setelah itu penutupan jaringan
dilakukan dengan menjahit lepas periosteum, otot (musculus peroneus tertius dan
musculus flexor digitalis pedis longus), jaringan subkutan dan kulit menggunakan
jahitan sederhana (gambar 11) kemudian dilakukan pemerbanan (gambar 12).
Prosedur yang sama dilakukan pada tulang tibia kaki kanan bagian medial tetapi
lubang tidak diberi implan. Operasi dilakukan oleh orang yang sama untuk
mencegah terjadinya variasi dalam operasi. Pengukuran selama operasi dilakukan
setiap 15 menit sekali dengan parameter yang sama. Pengukuran dilakukan
sampai domba tersadarkan kembali atau maksimal 75 menit setelah domba
teranestesi.
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
24
Gambar 11
Gambar 12
Keterangan: Gambar 7 Penyayatan, Gambar 8 Pengeboran Tulang, Gambar 9
Implan Tulang Sintetis, Gambar 10 Penanaman Implan Tulang
Sintetis, Gambar 11 Penjahitan, Gambar 12 Pemerbanan
4.3.3.3 Post Operasi
Semua domba kemudian menerima antibiotik yang diberikan dengan
penyuntikan intramuskular yaitu Cefotaxime sodium 250 mg sebanyak dua kali
sehari selama 5 hari post operasi. Penggantian verban juga dilakukan setiap hari
sampai luka sembuh. Bagian bekas operasi dibersihkan dengan Rivanol lalu
diolesi campuran Levertrans dan peru balsam untuk mempercepat persembuhan
jaringan dan diberi iodium tingture sebagai desinfektan. Setelah itu disekitar luka
disemprot dengan Gusanex sebagai anti serangga, kemudian luka diverban
kembali. Penanganan post penanaman implan dilakukan pada hewan setiap hari
secara rutin sampai luka sembuh.
4.3.4 Parameter Penelitian
Parameter yang diukur selama penelitian ini adalah saturasi oksigen,
frekuensi jantung, frekuensi nafas dan suhu tubuh.
4.3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa secara deskriptif
dengan melihat nilai parameter fisiologis (saturasi oksigen, frekuensi jantung,
frekuensi nafas dan suhu tubuh).
25
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Domba lokal yang digunakan pada penelitian ini mempunyai rata-rata
umur 1.5 – 2 th dengan berat badan rata-rata 19 kg. Pemeriksaan keadaan
fisiologis awal menunjukkan hewan tersebut dalam keadaan yang sehat. Rata –
rata rentang nilai saturasi oksigen normal adalah 72%-90%, rata – rata rentang
nilai normal frekuensi jantung adalah 80-150 kali/menit, rata – rata rentang nilai
normal frekuensi nafas adalah 20-40 kali/menit (Riebold et al. 1995) dan rata –
rata rentang nilai normal suhu tubuh adalah 38.90C-40.50C (Kelly 1974).
Pengamatan terhadap nilai parameter fisiologis diatas dilakukan pada 4 ekor
domba yang diamati setiap 15 menit sekali selama 75 menit waktu operasi.
5.1 Perbandingan Nilai Rata-rata Saturasi Oksigen pada Anestesi Per-Injeksi
(P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2)
Tabel 3. Perbandingan Nilai Rata-rata Saturasi Oksigen pada Anestesi Per-Injeksi
(P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2).
P1
P2
Waktu
Saturasi O2
Waktu
Saturasi O2
(menit)
(%)
(menit)
(%)
15'
86 ± 1.4
15'
97 ± 1.4
30'
83 ± 2.8
30'
97 ± 0.7
45'
84 ± 3.5
45'
96 ± 2.8
60'
85 ± 2.1
60'
97 ± 1.4
75'
86 ± 1.4
75'
96 ± 0
100
Saturasi Oksigen (%)
95
90
P1
P2
85
80
Normal
75
70
65
15'
30'
45'
60'
75'
Waktu (menit)
Gambar 1. Perbandingan Nilai Rata-rata Saturasi Oksigen P1 dan P2.
26
Hasil nilai rata-rata saturasi oksigen, menunjukkan bahwa anestesi per
inhalasi memberikan nilai rata-rata saturasi oksigen yang lebih tinggi (95%)
daripada anestesi per injeksi (84%). Pada grafik anestesi per injeksi (P1),
gambaran nilai rata-rata saturasi oksigen menunjukkan perubahan setiap 15 menit
dan relatif meningkat. Pada menit ke-15 terjadi penurunan nilai rata-rata saturasi
oksigen sampai menit ke-30 yang merupakan akibat dari pengaruh xylazin yang
mendepres pernafasan sehingga penerimaan oksigen menurun (Luna et al. 2000).
Penurunan ini mencapai dibawah titik kritis saturasi oksigen yaitu 85%. Bila
penurunan nilai saturasi oksigen dibawah titik kritis ini berlangsung dalam waktu
yang lama dapat menyebabkan terjadinya hipoksia yang berakhir pada kematian
jaringan (Carol 1997). Namun nilai rata-rata saturasi oksigen kembali meningkat
pada menit ke-30, hal ini dikarenakan kompensasi jantung untuk meningkatkan
penerimaan oksigen. Sedangkan gambaran nilai rata-rata saturasi oksigen pada
anestesi per inhalasi (P2) menunjukkan perubahan yang tidak terlalu signifikan
(penurunan dan peningkatannya tidak terlalu tajam) bahkan cenderung tinggi di
atas nilai normal batas atas saturasi oksigen. Hal ini dikarenakan adanya suplai
oksigen dengan isofluran yang terlarut di dalamnya maka proses oksigenasi
mengalami peningkatan dan cenderung stabil (Soma 1997).
5.2 Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Jantung pada Anestesi
Per-Injeksi (P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2)
Tabel 4. Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Jantung pada Anestesi
Per-Injeksi (P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2).
P1
P2
Waktu
Frek Jantung
Waktu
Frek Jantung
(menit)
(/menit)
(menit)
(/menit)
15'
80±5.6
15'
68±11.3
30'
74±8.4
30'
75±4.9
45'
80±10.6
45'
73±1.4
60'
79±9.1
60'
65±7.0
75'
66±8.4
75'
70±2.8
Frekuensi Jantung (x/mnt)
27
150
130
110
P1
90
P2
Normal
70
50
15'
30'
45'
60'
75'
Waktu (menit)
Gambar 2. Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Jantung P1 dan P2.
Pada parameter frekuensi jantung, menunjukkan bahwa pada grafik
anestesi per injeksi (P1) menit ke-30 terjadi penurunan frekuensi jantung akibat
dari pengaruh xylaxin yang mendepres kardiovaskuler (Muir 2000). Xylazin
menyebabkan relaksasi otot sehingga menghambat tranmisi intraneural pada
impuls pusat dari sistem syaraf pusat, mendepres miokardial dan hipotensi
sehingga frekuensi jantung melemah (Booth 1995). Pada menit ke-45 mengalami
kenaikan sebagai akibat dari kompensasi jantung untuk memompa darah setelah
efek xylazin menurun. Pada menit ke-75 kembali menurun (bradikardia) akibat
pemberian maintenance. Hal ini dikarenakan xylazin menyebabkan rangsangan
pada nervus vagus sehingga mempengaruhi refleks sirkulasi yang mengakibatkan
frekuensi jantung menurun (bradikardia) akibat efek penghambatan rangsangan
parasimpatis oleh asetilkolin pada fungsi jantung (Guyton dan Hall 1997). Pada
grafik anestesi inhalasi (P2) menunjukkan perubahan yang tidak terlalu signifikan
yang ditunjukkan adanya penurunan dan peningkatan yang tidak terlalu tajam.
Menurut Eger (1994), semua anestesi per inhalasi termasuk isofluran menurunkan
frekuensi jantung (bradikardi). Penurunan frekuensi jantung sebagian besar
disebabkan oleh penurunan stroke volume sebagai hasil dari dosis yang terkait
depresi dalam kontraktilitas miokard. Pengaruh anestesi per inhalasi pada
frekuensi jantung adalah bervariasi dan tergantung pada agen dan spesies. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa kedua anestesi per injeksi maupun anestesi per inhalasi
28
dapat menurunkan frekuensi jantung sampai batas ambang bawah dari normal
frekuensi jantung.
5.3 Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Nafas pada Anestesi Per-Injeksi
(P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2)
Tabel 5. Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Nafas pada Anestesi Per-Injeksi
(P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2).
P1
P2
Waktu
Frek Nafas
Waktu
Frek Nafas
(menit)
(/menit)
(menit)
(/menit)
15'
28±6.3
15'
22±2.8
30'
18±3.5
30'
32 ± 0
45'
24±8.5
45'
26±2.8
60'
22±3.5
60'
32 ± 0
75'
25±8.5
75'
22±2.8
Frekuensi Nafas (x/mnt)
50
45
40
35
P1
30
P2
25
Normal
20
15
15'
30'
45'
60'
75'
Waktu (menit)
Gambar 3. Perbandingan Nilai Rata-rata Frekuensi Nafas P1 dan P2.
Hasil rata-rata frekuensi nafas, menunjukkan bahwa antara grafik anestesi
per injeksi dan per inhalasi mengalami fluktuasi berbeda pada menit tertentu. Pada
grafik anestesi injeksi (P1) mulai mengalami penurunan sampai menit ke-30. Hal
ini dikarenakan pemberian xylazin secara intramuskular dilakukan pada menit ke0 dan dibutuhkan waktu ±15 menit sehingga efek mendepres nafas mulai terlihat
maksimal pada menit ke-30. Hal ini sama halnya dengan yang terjadi pada menit
ke-60 yang mengalami penurunan karena pemberian maintenance dilakukan pada
menit ke-45 melalui intravena sehingga efek terdepresnya nafas lebih cepat
29
terlihat. Hasil grafik anestesi per inhalasi (P2) juga mengalami kenaikan dan
penurunan namun pada menit yang berbeda. Pada menit ke-15 nampak menurun
karena pengaruh induksi dari xylazin yang dapat mendepres pernafasan
(McCurnin 2006). Terdepresnya pernafasan ini menyebabkan terjadinya
penurunan volume tidal dan penurunan kerja pernafasan secara berlebihan (Plumb
2005). Setelah efek induksi xylazin mulai berkurang, frekuensi nafas kembali naik
pada menit ke-30 dan saat itu juga diberikan maintenance anestesi per inhalasi
dengan menggunakan isofluran. Anestesi per inhalasi juga dapat mendepres
fungsi sistem pernafasan (Muir 2000). Hal ini dapat terlihat setelah pemberian
maintenance isofluran terjadi penurunan nafas pada menit ke-45 dan mengalami
kenaikan setelah dilakukan penambahan dosis oksigen 500 ml pada menit ke-60.
Namun setelah pemberian isofluran dan oksigen dihentikan, frekuensi nafas
mengalami penurunan pada menit ke-75. Hal ini mungkin dikarenakan masih
adanya efek dari isofluran yang terdapat dalam tubuh domba. Kenaikan dan
penurunan frekuensi nafas keduanya masih dalam kisaran normal. Frekuensi
pernafasan pada P1 lebih rendah daripada normal dan P2 namun baik P1 dan P2
masih berada dalam kisaran nilai normal.
5.4 Perbandingan Nilai Rata-rata Suhu Tubuh pada Anestesi Per-Injeksi
(P1) dan Anestesi Per-Inhalasi (P2)
Tabel 6. Perbandingan Nilai Rata-rata Suhu Tubuh pada Anestesi Per-Injeksi (P1)
dan Anestesi Per-Inhalasi (P2).
P1
P2
Temperatur
Temperatur
Waktu
Waktu
Tubuh (0C)
Tubuh (0C)
(menit)
(menit)
15'
30'
45'
60'
75'
38.5±0.4
38±0.4
37.9±0.1
37±0.7
37.4±0.1
15'
30'
45'
60'
75'
38.6±0.7
38±1.2
38±1.0
37.8±1.0
37.3±0.3
30
41
Suhu Tubuh (0C)
40
39
38
P1
37
P2
Normal
36
35
15'
30'
45'
60'
75'
Waktu (menit)
Gambar 4. Perbandingan Nilai Rata-rata Suhu Tubuh P1 dan P2.
Suhu tubuh inti dikontrol oleh hipotalamus sehingga untuk mendapatkan
nilai refleksi suhu inti tubuh diperlukan pengukuran sensor suhu pada arteri
carotis interna yang mensuplai hipotalamus (West et al.2007). Dalam operasi ini
dilakukan pengukuran suhu secara per rektal sehingga hanya mendapatkan
perubahan suhu secara lokal saja. Menurut West et al (2007), pengukuran secara
per-rektal dapat mendapatkan hasil yang berbeda dari suhu inti, namun dapat
berguna untuk memantau perubahan relatif pada suhu tubuh. Pada parameter suhu
tubuh menunjukkan bahwa grafik anestesi per injeksi (P1) maupun anestesi per
inhalasi (P2) memiliki pola grafik menurun yang hampir sama. Grafik P2
menunjukkan pola yang cukup stabil dalam kisaran suhu normal. Namun grafik
P1 pada menit ke-60 mengalami penurunan 10C dibawah suhu normal sehingga
dapat dikatakan domba tersebut mengalami hipotermia ringan. Menurut Lumb dan
Jones (1996), hipotermia adalah menurunnya suhu tubuh dari hewan berdarah
panas, menurunnya metabolisme tubuh, serta berkurangnya kebutuhan oksigen.
Gejala hipotermia dihasilkan dari agen anestesi yang diberikan secara intravena.
Pada grafik anestesi per inhalasi (P2) menunjukkan bahwa domba tersebut
mengalami hipotermi. Hal ini tidak sesuai dengan McCurnin (2006), ketika α2agonist (xylazin) dipakai sebagai premedikasi, menurunnya suhu dapat dikurangi
sampai 50% atau lebih jika digunakan anestesi per inhalasi sebagai maintenance.
Menurut Oncken et al (2001), hipotermia dapat diklasifikasikan menjadi
hipotermia primer dan sekunder. Hipotermia primer disebabkan dari pasien yang
31
terpapar lingkungan yang dingin. Dalam hal ini mungkin dikarenakan hewan
sudah mengalami hipotermi sebelumnya akibat suhu lingkungan ruangan operasi
yang dingin karena memakai air conditioner. Hipotermia sekunder sendiri
disebabkan efek dari pemberian agen anestesi yang dapat mempengaruhi produksi
panas tubuh dan efek dari termoregulasi (Oncken et al. 2001).
32
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.2
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa isofluran sebagai
anestesi per inhalasi memberikan efek anestesi yang lebih baik daripada xylazin
sebagai anestesi per injeksi. Anestesi per inhalasi memiliki nilai rata-rata
parameter saturasi oksigen, frekuensi nafas dan suhu tubuh yang lebih tinggi dan
stabil daripada anestesi per injeksi dan untuk parameter frekuensi jantung
keduanya berada dalam nilai batas ambang bawah kisaran normal. Kedua anestesi
tersebut dapat digunakan dalam operasi penanaman implan tulang sintetis karena
tidak menyebabkan efek yang merugikan selama operasi berlangsung.
6.3
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan jumlah
sampel domba pada operasi penanaman implan sehingga dapat ditambahkan
pengujian statistik berupa analisa dengan menggunakan T-test.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Isofluran. Manuklau City Auckland: Rhodia New Zealand Limited
[8 Septermber 2010]
Anonim. 2008. http://heriblog.web.id/veterinary/preanastesi dan anastesi sebelum
operasi/ [10 Agustus 2010]
Anonim. 2007. http://www.pulseox.info/index.htm [09 Maret 2010]
[Anonim]1. 2010. http://titianputri.blogspot.com/2010/03/anastesi-umum-generalanasthetic.html [09 Maret 2010]
[Anonim]2.
2010.
Bone
Grafting.
[terhubung
http://en.wikipedia.org/wiki/Bone_grafting [9 Agustus 2010].
berkala].
Aantaa R, Marjamaki A, Scheinin M. Molecular Pharmacology of α2adrenoreseptor subtypes. Ann Med 1995; 27:439-449
Adisuwirdjo D. 2001. Buku Ajar Dasar
Peternakan.Unsoed, Purwokerto.
Fisiologi
Ternak.
Fakultas
Bednarski RM dan Muir WW. 1991. Closed System of Halothane and Isoflurane
With Vaporizer in The Anesthetic Circle. Veterinary Surgery 20 (5): 353356. ISSN:0161-3499
Booth NH. 1995. Drugs Acting on The Central Nervous System. Di dalam: Booth
NH, Keith RB. Editor. Veterinary Farmacology and Therapeutics. Ed ke2. Philadelphia: WB Saunders Company.
Blakely J dan Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan Edisi ke-4. Terjemahan. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Caroll P. 1997. Pulse Oximetry at Your Fingertips. R N 60.2 : 22-27
Cornick. 1994. Veterinary Anesthesia. Di dalam: Dennis MM, editor. Clinical
Textbook for Veterinary Technicians. Ed ke-3. Philadelphia: WB
Saunders Company.
Cunningham JG. 1992. Veterinary Physiology. Philadelphia: WB Saunders
Company.
Duke NH. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing: New
York.
Eger EI. 1994. New Inhaled Anesthetic. Anesthesiology 80: 906-922.
34
Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. 2001.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru.
Guyton AC & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Diterjemahkan oleh
dr. Irawati Setiawan, dr. LMA. Ken Ariata Tengadi, dr. Alex Santoso.
Jakarta : EGC.
Guyton DC & Hall. 1993. Fisiologi Hewan. Edisi 2. EGC. Jakarta.
Hall LW. 1978. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Revised 7th edition.
London: Bailiere Tindall.
Handoko T. 1998. Anestesi Umum. Dalam Ganiswara, Farmakologi dan Terapi.
Edisi ke-5. Jakarta : Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas
Indonesia.
Handoko T. 2003. Obat Susunan Syaraf Pusat. Di dalam: Sulistia GG, editor.
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Gaya Baru. Hlm 109-102.
Kay I. 1998. Introduction to Animal Physiology. Bioscientific Publisher Springer
Verlag, New York.
Kelly WR, 1974. Veterinary Clinical Diagnosis. Second Edition. Bailliera Tindall
London.
Kirk I dan Warren R. 1995. Kirk’s Current Veterinary Theraphy XII Small Animal
Practice. Michigan : W.B. Saunders Company.
Klokkevold PR, Jovanovic SA. 2002. Advanced Implant Surgery and Bone
Grafting Techniques. In Newman, Takei, Carranza, editors: Carranza's
Clinical Periodontology, 9th Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Co.
page 907-8.
Kumar A. 1996. Veterinary Surgical Techniques. New Delhi: Vikas Publishing
House.
Lumb WV, Jones EW. 1996. Lumb and Jones’ Veterinary Anesthesia. Ed ke-3.
USA: Williams and Wilkins.
Luna SPL, CS Noguiera, ML Cruz, F Massone, GB Castro. 2000. Romifidine or
Xylazine. Brazillian Journal of Veterinary Research and Animal Science.
Vol. 37 n2 Sao Paulo 2000. http://www.scielo.br/scielo.php?pid.
[Accessed on 6 June 2010]
Maze M, Tranqulli W. 1991. Alpha-2 adrenoreceptor agonist: Defining The Role
in Clinical Anesthesia. Anesthesiology ;74:581-605
35
McCurnin DM. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Edisi ke-6.
USA : W.B. Saunders Company.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. 2002. Nonvolatile Anesthetic
Agent. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition.
Mulyono S. 1998. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Muir WW. 2000. Handbook of Veterinary Anesthesia. Third Edition. Ohio: All of
the Department of Clinic Sciences.
Murugan R, Ramakrishna S. 2004. Bioresorbable composite bone paste using
polysaccharide based nano hydroxiapatite. Biomaterials 25:3829-3835
Nelson RW, Counto CG. 1998. Small Animal Internal Medicine. Missouri:
Mosby.
Newman E, Turner AS, Wark JD. 1995. The Potential of Sheep for The Study of
Osteopenia: current status and comparison with other animal models.
Bone 16: 277S- 284S.
Oncken A, Kirby R, Rudolff E. 2001. Hypothermia in Critically Ill Dogs and
Cats. Compend Contin Educ Pract Vet; 23: 506-520
Pearce AI, RG Richards, S Milz, E Schneider, SG Pearce. 2007. Animal models
for implant biomaterial research in bone: A review. European Cells and
Materials Vol. 13. 2007 (pages 1-10).
Plumb DC. 2005. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. Ed ke-5. Wisconsin:
Pharma Vet.
Ravaglioli A, Krajewski A, Celotti GC, Piancastelli A, Bacchini B, Montanari L,
Zama G, Piombi L. 1996. Mineral evolution of bone. Biomaterials 17:
617-622.
Riebold TW, Geiser DR, Goble DO: Clinical Techniques for Food Animal
Anesthesia. In Riebold TW, Geiser DR, Goble DO, editors: Large Animal
Anestheisa: Principles and Techniques, ed 2, Ames, IA, 1995, Iowa State
University Press: Alon E et al: Effects of Propofol and Thiopental on
Maternal and Fetal Cardiovacular and Acid-base variables in the pregnant
ewe, Anesthesiology 78:562, 1993.
Rossoff IS. 1994. Handbook of Veterinary Druges and Chemical,. Edisi
kedua, Pharmatox Publishing Company, Illinois, USA.
36
Sardjana IKW dan Kusumawati D. 2004. Anestesi Veteriner Jilid I. Gadjah Mada
University Press.
Schutz SL. 2001. Oxygen Saturation Monitoring by Pulse Oxymetry. Di dalam:
Debra JLM, Karen KC, editor. Procedur Manual for Critical Care. Ed
ke-4. Philadelphia: WB Saunders.
Siswandono dan Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga
University Press.
Soma LR. 1997. Textbook Of Veterinary Anesthesia. Edisi ke-3. Baltimore : The
Williams : Wilkins Company.
Swenson GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. Publishing Co. Inc :
USA.
Taylor PM. 1991. Anaesthesia in Sheep and Goat. Practice 13:31-36
Ville CA, Walker, Barnes WF. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.
West G, Heard D, Caulkett N. 2007. Zoo Animal And Wildlife Immobilization
And Anesthesia. Blackwell Publishing: Australia
0
LAMPIRAN
38
0
OPERASI 1
No. Domba:10
Berat badan : 20.2kg
INDUKSI
Tanggal:
Dosis:
KONTROL ANAESTHESIA
CATATAN KHUSUS
Aplikasi
09.20
Pemberian atropine 09.10
Terbius
09.35
Onset= 15 menit
WAKTU
Suhu
Nafas Jantung Reflex
Menit ke-
(oC)
/mnt
0'
15'
30'
45'
60'
75'
39,5
38.2
37.7
37,8
37,5
37,4
9 April 09
1x dosis IM
20
23
21
20
19
20
/mnt
96
84
68
72
72
60
SPO2
maintenance
Perlakuan/
Cubit
Reflex
pupil
(cm)
(%)
(ml)
Induksi 1xdosis IM
gejala2 lain
+
-
+
+
+
2
1,1
1,5
85
81
81
83
87
OPERASI MULAI
1x dosis IV
OPERASI SELESAI
39
1
OPERASI 2
No. Domba:8
Berat Badan:21 Kg
Tanggal:
Dosis:
21 April 09
2x dosis IM
KONTROL ANAESTHESIA
CATATAN KHUSUS
INDUKSI
Aplikasi
15.20
Pemberian atropine 15.09
Terbius
15.34
Onset= 14 menit
WAKTU
Suhu
Nafas Jantung Reflex
Cubit
+
-
Reflex
pupil
(cm)
1,5
1,7
1,5
Menit ke0'
15'
30'
(oC)
39,1
38,8
38,3
/mnt
36
32
16
/mnt
72
76
80
45'
60'
37,9
36,4
32
24
75'
90'
105'
120'
135'
37,3
37,3
37,0
37,0
36,6
32
32
20
20
16
SPO2
87
85
87
85
-
1,5
1,7
86
86
72
72
76
72
66
+
+
1,5
1,5
1,5
1,3
1,2
85
81
70
-
(%)
maintenance
(ml)
15.20=Induksi 2x dosis IM
Perlakuan/
gejala2 lain
15.34=DOMBA TERBIUS
15.45= OPERASI MULAI
16.07=
1x dosis IV
16.38=
Ix dosis IV
SADAR
OPERASI SELESAI
17.20=DOMBA SADAR
Ada tympani
40
2
OPERASI 3
No. Domba: 9
BB: 22,6 kg
Tanggal:
Dosis: Xylazin
21 Mei 09
2xdosis IM
Isofluran 1,5-3%
KONTROL ANAESTHESIA
CATATAN KHUSUS
INDUKSI
Aplikasi
08. 54
Pemberian Atropine= 08.45
Terbius
09.14
Onset 1= 3 menit, Onset 2= 2 menit
WAKTU
Suhu
Nafas
Jantung
Reflex
SPO2
maintenance
Perlakuan/
Cubit
Reflex
pupil
(cm)
Menit ke-
(oC)
/mnt
/mnt
(%)
(ml)
80
+
1,5
-
20
32
28
60
71
72
+
-
1,5
1,6
1,7
98
97
98
37,0
32
60
-
1,5
96
37,0
20
68
-
1,6
96
gejala2 lain
08.57= onset pertama
09.03=hipersalivasi
09.08=1x dosis IV
09.10= onset kedua
09. 14= TERBIUS,
OPERASI MULAI
09.23=Iso 2,5%
25’ Pemberian Oksigen 500ml
55’ 09.53=Iso 1,5 %
65’ 10.00=Iso 0% OFF dan
Pemberian oksigen 500 ml
70’ Pemberian oksigen I L
80’ 10.14= DOMBA SADAR,
Ada gerak bola mata, ada reflex
0'
38,7
28
15'
30'
45'
38,0
37,1
37,2
60'
75'
08.54=Induksi 2x dosis IM
-
-
41
3
OPERASI SELESAI
OPERASI 4
No. Domba: 2
Berat Badan: 17kg
Tanggal:
Dosis:
21 Mei 09
1x dosis IV
Isofluran 1,5-3%
KONTROL ANAESTHESIA
CATATAN KHUSUS
INDUKSI
Aplikasi
10.14
Pemberian atropine= 10.04
Terbius
10.16
Onset= 2 menit
WAKTU
Suhu
Nafas Jantung Reflex
SPO2
maintenance
Cubit
Reflex
pupil
(cm)
Menit ke-
(oC)
/mnt
/mnt
(%)
(ml)
0'
39,5
20
80
+
1,5
-
15'
39,1
24
76
-
1,5
96
30'
45'
60'
75'
38,9
38,7
38,5
37,5
32
24
32
24
78
74
70
72
+
1,5
1,5
1,5
1,5
96
94
98
96
10.14=Induksi 1x dosis IV
10.35=Iso 1,5%
11.01=Iso 2,5%
11.19=Iso 0% OFF
-
Perlakuan/
gejala2 lain
10.16= TERBIUS,
OPERASI MULAI
5’ 10.24=Iso 2,5% dan
Pemberian oksigen 500 ml
Pemberian oksigen 550 ml
25’ 10.43=Iso 1% dan
Pemberian oksigen 550 ml
Pemberian penicillin
40’ 10.56=Iso 2%
65’ 11.23= DOMBA SADAR
11.26= OPERASI SELESAI
Download