perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG TIMUR GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2012 SKRIPSI Oleh: Danang Tri Wibowo K5408023 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG TIMUR GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2012 Oleh: Danang Tri Wibowo K5408023 SKRIPSI Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Danang Tri Wibowo, PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG TIMUR GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2012.Skripsi.Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, Agustus 2012. Tujuan penelitian ini adalah : (1) Mengetahui bahaya lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian. (2) Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah penelitian. (3) Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi masyarakat di daerah penelitian. (4) Mengetahui kapasitas masyarakat di daerah penelitian. (5) Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP). Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling digunakan untuk memilih memilih masyarakat yang akan dijadikan narasumber di setiap desa yang diteliti. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah : (1) Tingkat bahaya di daerah penelitian didominasi oleh tingkat bahaya rendah yang terdiri dari delapan desa (47,05 %), tingkat bahaya tinggi yang terdiri dari enam desa (35,29 %), dan tingkat bahaya sedang terdiri dari tiga desa (17,64 %) yang dipengaruhi oleh jarak desa dari pusat erupsi, jenis dan ukuran piroklastik jatuhan yang mencapai desa, ketebalan endapan piroklastik, serta dampak yang ditimbulkan yaitu kesulitan air bersih dan kerusakan lahan pertanian. (2) Tingkat kerentanan di daerah penelitian didominasi oleh tingkat kerentanan rendah yang terdiri dari sepuluh desa (58,8 %), tingkat kerentanan sedang yang terdiri dari lima desa (29,41 %), dan tingkat kerentanan tinggi yang terdiri dari dua desa (11,76 %) yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia rentan, sikap dan partisipasi masyarakat, ketersediaan air bersih, kondisi bangunan, akses jalan dan alat transportasi, serta kesejahteraan masyarakat. (3) Tingkat keberadaan di daerah penelitian didominasi oleh tingkat keberadaan rendah yang terdiri dari sembilan desa (52,94 %), tingkat keberadaan tinggi yang terdiri dari empat desa (23,52 %) dan tingkat keberadaan sedang yang terdiri dari empat desa (23,52 %) yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, keberadaan sarana social ekonomi, infrastruktur sarana air bersih, dan kekayaan desa. (4) Tingkat kapasitas di daerah penelitian didominasi oleh tingkat kapasitas tinggi yang terdiri dari delapan desa (47,05 %), kapasitas rendah yang terdiri dari lima desa (29,41 %), dan tingkat kapasitas sedang yang terdiri dari empat desa (23,52 %) yang dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat, kapasitas institusional dan menejemen bencana, dan kapasitas ekonomi. (5) Tingkat risiko di daerah penelitian didominasi oleh tingkat risiko rendah yang terdiri dari sembilan desa (52,94 %), tingkat risiko sedang yang terdiri dari tujuh desa (41,17 %), dan tingkat risiko tinggi yang terdiri dari satu desa (5,88 %) yang dipengaruhi oleh tingkat bahaya, tingkat kerentanan, tingkat keberadaan, dan tingkat kapasitas desa. commit to user Kata kunci : AHP, penilaian risiko, bencana v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Danang Tri Wibowo, EMPLOYING ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) METHOD FOR RISK ASSESSMENT OF PYROCLASTIC FALLOUT IN EAST SLOPE OF MERAPI VOLCANO IN 2012. Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University. Surakarta, in August 2012. The purpose of this study were: (1) Knowing the level of pyroclastic fallout hazards in the area of research. (2) Knowing the vulnerability of communities in the area of research. (3) Knowing the existence of socio-economic population and community facilities in the area of research. (4) Knowing the capacity of communities in the area of research. (5) Knowing the level of risk pyroclastic fallout the area of research. In accordance with the purpose of research, this research uses descriptive method with the approach of Analytical Hierarchy Process (AHP ). Sampling technique used is Purposive Sampling. Purposive sampling used to select the people choose who will be the guest speaker at each of the villages studied. Data collection techniques using the documentation, direct observation, and interviews. The results of this study were: (1) The danger in other research areas are dominated by low-level hazards which consists of eight villages (47.05%), then a high level of danger which consists of six villages (35.29%), and the danger of being consists of three villages (17.64%) are influenced by the distance from the village center of eruption, type and size of pyroclastic fallout that reached the village, the thickness of the pyroclastic deposits, as well as the impact that clean water shortages and damage to agricultural land. (2) The vulnerability of the other research areas are dominated by the low susceptibility of ten villages (58.8%), then the level of vulnerability is made up of five villages (29.41%), and high levels of vulnerability which consists of two villages (11.76%) are influenced by the population of vulnerable age, attitudes and community participation, water supply, condition of buildings, access roads and transportation, and public welfare. (3) The existence of the other research areas are dominated by low-level presence of nine villages (52.94%), then the presence of high levels of four villages (23.52%) and levels of existence are made up of four villages ( 23.52%) are influenced by population density, the existence of socio-economic facilities, infrastructure, water supply, and the wealth of the village. (4) The capacity of the other research areas are dominated by a high level of capacity that consists of eight villages (47.05%) and low capacity of five villages (29.41%), and the level of capacity is made up of four villages ( 23.52%) are influenced by the capacity of communities, institutional capacity and disaster management, and economic capacity. (5) The level of risk in other research areas are dominated by the low level of risk is made up of nine villages (52.94%), then the level of risk is made up of seven villages (41.17%), and the high risk level of one village (5.88%) is influenced by the level of hazard, vulnerability, level of existence, and the capacity of village. commit to user Keywords: AHP, risk assessment, disaster vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Bahwa tiada yang orang dapatkan, kecuali yang ia usahakan, Dan bahwa usahanya akan kelihatan nantinya (Q.S. An Najm ayat 39-40) "Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaikbaik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat." (HR. Ibnu Majah, Ad Darimi, Al Hakim. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih. Mangesthi Luhur Ambangun Nagara (UNS) Manungsa punika kadosta wayang, manut dumatheng dhalang ingkang nglampahaken. Sae, ala, mulia, lan angkara dados rasukanipun gesang ingkang kedhah dipunadhepi. Ananging kamulyan lan keluhuran budi sejati bakal ngawonaken angkara, iri, lan dengki. Menungsa ingkang adiluhung punika, santun ing pitutur, solah bawa, lan ikhlas makarya. Tiyang ingkang paling bungah inggih punika tiyang ingkang eling lan waspada. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!!! commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT Karya ini kupersembahkan untuk : Keluarga, atas segala bimbingan, doa dan kasih sayangnya, dukungan moril maupun materiil yang tidak terhingga sehingga mengantarku hingga saat ini Kakakku dan adikku, atas semua dukungan dan kasih sayangnya, Almamater. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin penelitian 2. Bapak Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin penelitian 3. Bapak Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret sekaligus Pembimbing Akademik dan Pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan masukan 4. Ibu Pipit Wijayanti, S.Si, M.Sc, selaku Pembimbing II yang dengan sabar membimbing dan memberikan motivasi serta mengarahkan pemikiran penulis 5. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Geografi yang telah memberikan ilmu selama menempuh studi 6. BPPTK Yogyakarta, Badan Kesbangpol Kabupaten Boyolali, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Boyolali, BPS Kabupaten Boyolali, BAPPEDA Kabupaten Boyolali atas ijin dan data yang diperlukan 7. Bapak Camat Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo yang telah memberikan izin penelitiancommit dan data yang diperlukan to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8. Kepala Desa Cluntang, Mriyan, Sangup, Jemowo, Sumur, Lanjaran, Sruni, Mliwis, Ringinlarik, Kembangsari, Wonodoyo, Jombong, Sumbung, Gedangan, Sukabumi, Genting, Cepogo yang telah memberikan izin penelitian dan data yang diperlukan 9. Sahabat Geografi 2008 terimakasih atas kebersamaan kita semua 10. Sahabat Kost Wijaya 38 11. Nuzul Wachidah, atas bantuannya dalam pengumpulan data 12. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skrpsi ini, maka dengan segala kerendahan hati mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Surakarta, Agustus 2012 Penulis commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i HALAMAN PESETUJUAN............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii HALAMAN ABSTRAK................................................................................... iv HALAMAN MOTTO........................................................................................ vi HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vii KATA PENGANTAR....................................................................................... viii DAFTAR ISI….................................................................................................. x DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xvi DAFTAR PETA………………………………………………………………. xvii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii BAB I. PENDAHULUAN................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1 B. Identifikasi masalah………………………………………………………. 6 C. Pembatasan masalah………………………………………………………. 6 D. Perumusan Masalah...................................................................................... 7 E. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian........................................................................................ 8 1. Manfaat Teoritis....................................................................................... 8 2. Manfaat Praktis........................................................................................ 8 BAB II. LANDASAN TEORI........................................................................... 9 A. Tinjauan Pustaka.......................................................................................... 9 1. Metode Analytical Hierarchy Prosess (AHP)......................................... 9 2. Bencana.................................................................................................... 14 3. Risiko Bencana........................................................................................ 16 a. Bahaya……………………………………………………………... 16 b. Kerentanan…………………………………………………………. commit to user c. Keberadaan………………………………………………………… 18 xi 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id d. Kapasitas Masyarakat……………………………………………… 20 4. Gunungapi Merapi ……………………………….................................. 33 5. Piroklastik................................................................................................ 37 B. Penelitian yang Relevan............................................................................... 38 C. Kerangkan Pemikiran................................................................................... 44 BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 47 A. Daerah Penelitian.......................................................................................... 47 B. Waktu Penelitian.......................................................................................... 47 C. Pendekatan Penelitian................................................................................... 47 D. Populasi dan Sampel..................................................................................... 48 E. Data dan Variabel Penelitian………………................................................ 49 F. Teknik Pengumpulan Data........................................................................... 52 1. Observasi Lapangan............................................................................ 52 2. Wawancara.......................................................................................... 52 3. Dokumentasi………………………………………………………... 53 G. Teknik Analisis Data.................................................................................... 53 1. Mengetahui Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di Daerah Penelitian……………………………………………………………. 55 2. Mengetahui Kerentanan Masyarakat di Daerah Penelitian ………... 57 3. Memetakan Sarana Sosial Ekonomi Masyarakat di Daerah Penelitian……………………………………………………………. 59 4. Mengetahui Kapasitas Masyarakat di Daerah Penelitian………….... 61 5. Menilai Tingkat Risiko Lontaran Piroklastik di Daerah Penelitian… 64 H. Prosedur Penelitian………………………………………………………... 66 Batasan Operasional………………………………………………………. 67 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 70 A. Deskripsi Wilayah........................................................................................ 70 I. 1. Letak dan Luas.................................................................................... 70 2. Iklim.................................................................................................... 74 3. Geologi……………………………………………………………… commit to user Geomorfologi……………………………………………………….. 78 4. xii 82 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5. Tanah …………………………………………………….................. 84 6. Penduduk............................................................................................ 86 B. Hasil Penelitian dan Pembahasan................................................................. 94 1. Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di Daerah Penelitian………… 100 2. Kerentanan Masyarakatdi Daerah Penelitian ………………………. 108 3. Keberadaan Penduduk Dansarana Sosial Ekonomi Masyarakat di Daerah Penelitian................................................................................ 119 4. Kapasitas Masyarakat di Daerah Penelitian………………………… 126 5. Risiko Lontaran Piroklastik di Daerah Penelitian…………………... 140 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 147 A. Kesimpulan................................................................................................... 147 B. Implikasi....................................................................................................... 148 C. Saran............................................................................................................. 149 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 150 LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................... 153 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Desa-Desa Yang Berisiko Terlanda Material Piroklastik Jatuhan……………………………………………………….. 5 Tabel 2. Nilai Skala Perbandingan Pasangan Indikator.………………….. 12 Tabel 3. Pembagian Kelompok Warga dalam Penanggulangan Bencana………………………………………………………. 23 Tabel 4. Penetapan Status Bahaya Gunung Merapi………………….. 34 Tabel 5. Penelitian yang Relevan…………………………………….. 40 Tabel 6. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian……………….. 47 Tabel 7. Teknik Pengambilan Data……………………………...…..... 50 Tabel 8. Data Sekunder Penelitian …………………...……………..... 50 Tabel 9. Variabel Piroklastik dan Indikator Penyusunan Risiko Lontaran Gunungapi Merapi Kecamatan Musuk dan Cepogo Kabupaten Boyolali ………………………………... 51 Tabel 10. Nilai Skala Pembanding……………………………………... 54 Tabel 11. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik ……………...…………. 55 Tabel 12. Tabel Skala dan Bobot Variabel Bahaya …………………… 56 Tabel 13. Tabel Skoring Variabel Bahaya Setiap Desa ……………….. 56 Tabel 14. Tabel Skala dan Bobot Variabel Kerentanan ……………….. 58 Tabel 15. Tabel Skoring Variabel Kerentanan Setiap Desa …………… 59 Tabel 16. Tabel Skala Variabel Keberadaan Sarana Sosial Ekonomi …. 60 Tabel 17. Tabel Skoring Variabel Keberadaan Setiap Desa …………... 61 Tabel 18. Tabel Skala dan Bobot Variabel Kapasitas …………………. 62 Tabel 19. Tabel Skoring Variabel Kapasitas Setiap Desa ……………... 64 Tabel 20. Tabel Penghitungan Skor Risiko ……………………………. 65 Tabel 21. Tabel Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa………………….. 65 Tabel 22. Pembagian Wilayah Administratif dan Luas (Ha) Kecamatan Tabel 23. Tabel 24. di Kabupaten Boyolali……………….……………………… 71 Desa-Desa Daerah Penelitian ………………………………. commit to user & Ferguson …………... Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt 71 xiv 74 perpustakaan.uns.ac.id Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. digilib.uns.ac.id Besarnya Curah Hujan di Kabupaten Boyolali Tahun 20012010………………………………………………………….. 75 Hubungan Tinggi Tempat dan Suhu Udara …......................... 77 Sebaran Tanah Kabupaten Boyolali……………………………. 84 Kepadatan Penduduk Desa Lokasi Penelitian Tahun 2010….. 86 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tabel 28. di Desa Lokasi Penelitian Tahun 2010………………………. Komposisi Penduduk Kabupaten Boyolali Menurut Tabel 29. Kelompok Umur Tahun 2010………………………………... Tabel 30. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Usia Lima Tahun Ke Atas Tahun 2010…………………………………… Tabel 31. 88 89 91 Persentase Penduduk Usia Sepuluh Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2010.…………………………… 93 Tabel 32. Perbandingan Berpasangan Indikator Bahaya ………………. 94 Tabel 33. Matrik Prioritas Indikator Bahaya ..…………………………. 95 Tabel 34. Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR …………… 95 Tabel 35. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik …………………............ 95 Tabel 36. Perbandingan Berpasangan Indikator Kerentanan ………….. 96 Tabel 37. Matrik Prioritas Indikator Kerentanan……………………..... 96 Tabel 38. Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR……………. 96 Tabel 39. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik ………………………… 97 Tabel 40. Perbandingan Berpasangan Indikator Keterdapatan................ 97 Tabel 41. Matrik Prioritas Indikator Keterdapatan.................................. 97 Tabel 42. Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR..................... 98 Tabel 43. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik.......................................... 98 Tabel 44. Perbandingan Berpasangan Indikator Kapasitas...................... 98 Tabel 45. Matrik Prioritas Indikator Kapasitas........................................ 99 Tabel 46. Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR……………. 99 Tabel 47. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik………………………….. 100 Kondisi Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Tingkat Bahaya 101 Tabel 48. commit to user di Masing-Masing Desa……………………………………... xv 102 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 49. Skor Bahaya dan Kelas Bahaya Setiap Desa………………... 109 Tabel 50. Kondisi Aspek-Aspek dan Mempengaruhi Kerentanan Setiap Tabel 51. Desa………………………………………………………….. 111 Tabel 52. Tabel Skoring Variabel Kerentanan Setiap Desa…………… 120 Tabel 53. Kondisi Keberadaan Populasi dan Sarana Prasarana Masyarakat di Desa-Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi.. 122 Tabel 54. Tabel Skoring Variabel Keberadaan Setiap Desa…………… Tabel 55. Aspek-Aspek dang Mempengaruhi Kapasitas Desa-Desa di Lereng Timur Gunungapi Merapi…………………………… 127 Tabel 56. Tabel Skoring Variabel Kapasitas Setiap Desa……………… 131 Tabel 57. Skoring Risiko Terhadap Lontaran Piroklastik Jatuhan di Lereng Timur Gunungapi Merapi…………………………… 141 Tabel 58. Tabel Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa………………….. 142 commit to user xvi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Rencana Darurat Secara Sederhana ……………….. 25 Gambar 2. Tahapan Perencanaan Pengurangan Risiko Bencana ……... 32 Gambar 3. Tampilan 3 Dimensi Gunungapi Merapi Wilayah Kabupaten Boyolali ……………………………………….. 36 Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian ………………...…………. 46 Gambar 5. Diagram Alir Penelitian……………..…………………….. 69 Gambar 6. Diagram Tipe Curah Hujan Daerah Penelitian Menurut Schmidt Dan Ferguson...………………………………….. Gambar 7. 76 Grafik Jumlah Penduduk Desa Lokasi Penelitian Tahun 2010.………………………………………………………… 87 Gambar 8. Diagram Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010.…...……………………....................................... Gambar 9. 91 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2010……..................................................................... commit to user xvii 93 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR PETA Peta 1. Peta Administrasi Kabupaten Boyolali Tahun2010……….. Peta 2. Peta Kawasan Berpotensi Terlanda Material Piroklastik 72 Jatuhan Kabupaten Boyolali Tahun 2012…………………. 73 Peta 3. Peta Geologi Kabupaten Boyolali Tahun 2012…………… 81 Peta 4. Peta Tanah Kabupaten Boyolali Tahun 2012……………… 85 Peta 5. Peta Tingkat Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di DesaDesa Lereng Timur Gunungapi Merapi Tahun 2012……… Peta 6. Peta Tingkat Kerentanan Desa-desa di Lereng Timur Gunung Merapi Tahun Tahun 2012 ........................……..... Peta 7. 103 112 Peta Tingkat Keberadaan Penduduk dan Sarana Sosial Ekonomi Desa-Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi Tahun 2012………………................................................... Peta 8. Peta tingkat Kapasitas Desa-Desa di Lereng Timur Gunungapi Merapi Tahun 2012............................................ Peta 9. 123 132 Peta Tingkat Risisko desa-Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi Terhadap Lontaran piroklastik jatuhan Tahun 2012. 143 commit to user xviii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Responden Lampiran 2. Pedoman Wawancara Lampiran 3. Penghitungan Skor Bahaya, Kerentanan, Keberadaan, Kapasitas, dan RisikoPedoman Wawancara Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian Lampiran 5. Surat Perijinan commit to user xix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia umumnya mencari dan memilih tempat bermukim di daerah yang aman dan dekat dengan tempat mencari nafkah. Indonesia, negara agraris yang terletak di daerah tropis yang dikaruniai Tuhan dengan kesuburan tanah dan air yang melimpah. Namun dilain pihak, keadaan geologi Indonesia sangat unik, terletak di antara dua lempeng benua yang selalu bergerak (Sukandarrumidi, 2010:31). Pertemuan antara dua lempeng benua (benua Asia dan benua Australia) yang sifatnya dinamis sewaktu-waktu dapat bergeser akibat gerakan tektonik. Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus. Jalur gunungapi yang tidak kurang sekitar 300 gunungapi di kepulauan Nusantara membuat potensi bencana vulkanik semakin tinggi. Posisi Indonesia masuk ke dalam cincin api ‘ring of fire’, yakni suatu gugusan gunungapi aktif yang berada di bawah permukaan laut. Ini menjadikan Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) yang sangat melimpah sekaligus memiliki potensi bencana yang besar antara lain gempa tektonik, banjir, longsor, dan bencana vulkanik atau gunung meletus (Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarif, 2006:1). Salah satu potensi bencana vulkanik yang harus diwaspadai adalah erupsi Gunungapi Merapi, contohnya erupsi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Peristiwa tersebut memakan puluhan korban jiwa termasuk juru kunci Gunungapi Merapi Mbah Maridjan. Gunungapi Merapi adalah gunungapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunungapi teraktif di Indonesia. Secara astronomis terletak pada 7° 32’ 30’’ LS dan 110° 26’ 30’’ BT. Secara administratif, gunungapi ini terletak di perbatasan empat kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta di sisi selatan, Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, dan Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Gunungapi yang merupakan salah satutogunungapi yang teraktif di dunia ini commit user 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000 tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif kemudian menjadi eksplosif dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava (http://www.merapi.bgl.esdm.go.id). Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 6-10 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur (Otto Sukatno, 2007: vii). Menurut Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Pertambangan, Departemen Vulkanologi, gunungapi ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat. Berdasarkan catatan Direktorat Vulkanologi, sejak tahun 1548 gunung ini sudah meletus sebanyak lebih dari 70 kali. Sejarah erupsi Gunungapi Merapi menunjukkan bahaya primer terdiri dari aliran piroklastik atau awan panas yang oleh penduduk setempat disebut wedus gembel, dan jatuhan piroklastik. Sedangkan bahaya sekunder terdiri dari lahar dingin dan longsoran vulkanik. Berdasarkan ancaman bahaya tersebut, maka Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) mengklasifikasikan daerah sekitar Merapi menjadi beberapa kawasan rawan bencana, seperti yang terdapat dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi 2010. Berdasarkan peta kawasan rawan bencana tersebut, diketahui bahwa daerah disekitar lereng Gunungapi Merapi dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan rawan bencana, yaitu: a) Kawasan Rawan Bencana I Kawasan Rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda banjir atau lahar dingin. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi terkena material jatuhan dan lontaran batu (pijar). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id b) Kawasan Rawan Bencana II Kawasan ini berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar, dan lontaran abu serta batu (pijar). c) Kawasan Rawan Bencana III Kawasan ini memiliki risiko tertinggi karena paling dekat dengan sumber bahaya, sehingga sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar, guguran batu, dan lontaran batu pijar. Selain membagi menjadi tiga kawasan rawan bencana, dalam peta tersebut BPPTK juga membatasi batas lontaran abu ( material piroklastik jatuhan). Lontaran abu dan/atau lontaran piroklastik bukan merupakan bahaya utama letusan Gunungapi Merapi, namun cukup berbahaya karena merusak sarana prasarana sosial ekonomi dan pertanian. Lontaran piroklastik jatuhan dapat berupa bomb, lapilli, dan debu atau abu gunungapi. Batas lontaran diukur berdasarkan rata-rata jarak jangkauan letusan yang mencapai 10 km dari puncak gunung. Peta tersebut juga memperlihatkan bahwa kawasan rawan bencana I, II, dan III sebagian besar berada di lereng bagian barat dan selatan, sedangkan lereng bagian timur dan utara hanya sebagian kecil saja. Hal tersebut dikarenakan lereng sebelah timur Gunungapi Merapi terdapat Gunung Bibi yang menjadi pelindung alami terhadap aliran piroklastik. Keberadaan Gunung Bibi tersebut membelokkan arah aliran piroklastik ke arah selatan sehingga kawasan lereng timur Gunungapi Merapi tidak berpotensi terkena awan panas maupun lahar dingin, akan tetapi berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi 2010, kawasan lereng timur sangat berpotensi terlanda piroklastik jatuhan. Ancaman piroklastik jatuhan memang tidak seperti awan panas yang sangat berbahaya, namun piroklastik jatuhan dapat merobohkan bangunan, merusak lahan pertanian, dan merusak infrastruktur serta sarana prasarana masyarakat. Selain merusak, ancaman piroklastik jatuhan juga berpotensi menimbulkan kepanikan pada masyarakat sehingga menimbulkan adanya korban jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Boyolali, tercatat 30 orang meninggal dunia selama erupsi Gunungapi Merapi commit to user tahun 2010. Korban meninggal merupakan korban secara tidak langsung akibat perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id erupsi Gunungapi Merapi 2010, yaitu karena kecelakaan saat berusaha melarikan diri (mengungsi), kaget ketika terjadi erupsi sehingga terkena serangan jantung, dan sakit pernapasan akibat abu vulkanik. Adanya korban jiwa di daerah yang tidak termasuk kawasan rawan bencana menunjukkan kurangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kurangnya kesiapan pemerintah dan kepanikan masyarakat ketika terjadi letusan mengakibatkan potensi kerawanan sosial meningkat. Hal tersebut tidak perlu terjadi apabila masyarakat memiliki pemahaman spasial yang baik. Melalui pemahaman spasial yang baik, masyarakat dapat menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan, kearah mana mereka harus mengungsi, dan sebagainya, karena dengan pemahaman spasial, masyarakat mengetahui kondisi wilayahnya sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana harus dilakukan penilaian risiko bencana yang bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah berdasarkan tingkat risikonya terhadap bencana (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2010-2012:V). Penilaian risiko bencana ini sejalan dengan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2010-2012). Penilaian risiko terhadap lontaran piroklastik jatuhan di Boyolali dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kejadian bencana erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. Penilaian risiko bencana ini sangat penting dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap menejemen pengurangan risiko bencana yang telah dilakukan, sehingga dapat dilakukan peningkatan dan perbaikan sistem menejemen bencana agar semakin baik. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian risiko, adalah metode Analitycal Hierarchy Proces (AHP). Metode ini digunakan untuk melakukan penilaian bobot masing-masing indikator. Hal ini dikarenakan masing-masing indikator memiliki tingkat kepentingan atau kontribusi yang berbeda-beda dalam penilaian risiko bencana (Aisyah, 2009:13). Penggunaan metode AHP diharapkan dapat membantu memberikan bobot indikator sesuai tingkat kepentingannya sehingga penilaian risiko bencana dapat dilakukan sesuai to user kondisi di lereng timur Gunungapicommit Merapi. perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id Berdasarkan pengamatan peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi tahun 2010, secara administratif kawasan di lereng timur Gunungapi Merapi mencakup 2 (dua) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Musuk, dan Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Dua kecamatan tersebut, sebagian wilayahnya merupakan daerah yang berisiko terlanda lontaran material piroklastik jatuhan. Desa-desa tersebut terletak dalam radius 0 hingga 10 km dari pucak Gunungapi Merapi yang terdiri dari 9 (Sembilan) desa di Kecamatan Musuk, dan 8 (delapan) desa di Kecamatan Cepogo. Desa-desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Desa-Desa yang Berisiko Terlanda Material Piroklastik Jatuhan. Kecamatan Musuk Jarak (km) Kecamatan Cepogo Jarak (km) 1. Cluntang 5 1. Wonodoyo 5 2. Mriyan 5 2. Jombong 10 3. Sangup 5 3. Sumbung 10 4. Jemowo 10 4. Gedangan 10 5. Sumur 10 5. Sukabumi 10 6. Lanjaran 10 6. Genting 10 7. Sruni 10 7. Cepogo 10 8. Ringinlarik 10 8. Mliwis 10 9. Kembangsari 10 Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Boyolali dan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, Desember 2010. Desa-desa di lereng timur Gunungapi Merapi di atas memiliki keragaman kondisi geografis yang berbeda-beda, dengan kemiringan lereng yang beragam, mulai dari 0% hingga 70%. Selain itu, desa-desa tersebut memiliki karakteristik masyarakat dan pemerintahan yang berbeda-beda yang berakibat pada perbedaan pandangan dalam menghadapi bencana. Perbedaan tersebut tentu mempengaruhi besarnya risiko di masing-masing desa terhadap potensi lontaran piroklastik jatuhan, sehingga dengan diketahuinya tingkat risiko di masing-masing desa, masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana. Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian tentang risiko erupsi Gunungapi commit toMerapi user terhadap lontaran piroklastik 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jatuhan di lereng timur Gunungapi Merapi yang meliputi Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo. Untuk itu penelitian ini mengambil judul : “PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG TIMUR GUNUNGAPI MERAPI 2012”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas terdapat beberapa masalah yang timbul yaitu : 1. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi aktif dan berbahaya yang berpotensi menimbulkan bencana. 2. Lereng timur Gunungapi Merapi tidak termasuk dalam kawasan rawan bencana I, II, maupun III sehingga tidak menjadi prioritas penanganan bencana. 3. Lereng timur Gunungapi Merapi berisiko terlanda lontaran piroklastik jatuhan yang dapat merobohkan bangunan, merusak lahan pertanian, dan merusak infrastruktur serta sarana prasarana masyarakat. 4. Perhatian pemerintah untuk mengurangi risiko bencana di lereng timur Gunungapi Merapi masih rendah. 5. Sebagian besar masyarakat kurang menyadari risiko bencana erupsi Gunungapi Merapi sehingga tidak siap menghadapi bencana. 6. Perlunya dilakukan penilaian risiko bencana terhadap lontaran piroklastik jatuhan di lereng timur Gunungapi Merapi. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan beberapa permasalahan yang timbul di daerah penelitian, dengan mengingat keterbatasan tenaga, waktu, biaya, kemampuan penulis, dan untuk mempertajam serta memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka diperlukan pembatasan masalah sebagai berikut : commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1. Perlunya pemahaman yang menyeluruh tentang bahaya lontaran piroklasik, kondisi sosial ekonomi, dan prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian agar diketahui tingkat risiko bencana yang mungkin terjadi. 2. Perlunya pemahaman tentang besarnya kapasitas/kemampuan masyarakat sehingga dapat mengurangi risiko bahaya yang mungkin terjadi. 3. Perlunya penilaian tingkat risiko lontaran material piroklastik agar masyarakat siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. D. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang dan pembatasan masalah maka dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bahaya lontaran piroklastik jatuhan Gunungapi Merapi di daerah penelitian? 2. Bagaimanakah kerentanan masyarakat di daerah penelitian? 3. Bagaimanakah keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi di daerah penelitian? 4. Bagaimanakah kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah penelitian? 5. Bagaimanakah risiko lontaran piroklastik yang mungkin terjadi di daerah penelitian? E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bahaya lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian. 2. Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah penelitian. 3. Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi masyarakat di daerah penelitian. 4. Mengetahui kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah penelitian. 5. Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian. commit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : a. Memberikan masukan pengetahuan baru tentang kajian ilmu geografi bencana, dalam hal risiko bencana erupsi Gunungapi Merapi khususnya lontaran material piroklastiknya. b. Kajian tentang sosial-ekonomi dari hasil penelitian ini yaitu kondisi masyarakat di daerah penelitian. c. Penelitian ini merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teori-teori yang telah diperoleh di bangku kuliah dalam penerapannya di lapangan. d. Menjadi referensi peneliti yang lain di masa yang akan datang. e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai media pembelajaraan dalam pendidikan. 2. Manfaat Praktis Aplikasi praktis dalam konteks kehidupan dari hasil penelitian ini adalah: a. Memberi masukan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi bencana. b. Memberi masukan bagi pemerintah untuk perencanaan Program Kesiapsiagaan Berbasis Masyarakat dan Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat. c. Referensi bahan ajar pada mata pelajaran geografi di SMP kelas IX pada pokok bahasan Gejala Diastropisme dan Vulkanisme. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (2008:83), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Melalui hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut : 1) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam. 2) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. 3) Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. AHP mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1) Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensinya itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala 1: x. 2) Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya commit user aksioma ini tidak dapat dipenuhi dapat dibandingkan satu sama lain.toKalau 9 perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogenous dan harus dibentuk suatu‟cluster‟ (kelompok elemen-elemen) yang baru. 3) Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah keatas, Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu level dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen dalam level di atasnya. 4) Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap. Untuk menerapkan metode AHP, harus memenuhi empat prinsip dasar yakni pembuatan hierarki indikator, penilaian kriteria dan alternative indikator, sintesis prioritas, serta pengukuran konsistensi logis (Aisyah dkk, 2009:14). Secara umum, langkah-langkah penerapan metode AHP menurut Kadarsyah Suryadi dan Ali Ramdhani, 1998 dalam Syaifullah sebagai berikut: 1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut. Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya. 2) Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin commit to user diperlukan). 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3) Membuat matrik perbandingan berpasangan yang mengGambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat untuk kerangka konsistensi, mendapatkan informasi lain yang mungkin dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5. 4) Mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. Hasil perbandingan dari masingmasing elemen akan berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan perbandingan berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh Saaty disajikan dalam Tabel 2. 5) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi. 6) Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki. 7) Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemenuser elemen pada tingkat commit hirarki toterendah sampai mencapai tujuan. 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata. 8) Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 0,100. Tabel 2 . Nilai Skala Perbandingan Pasangan Indikator. Intensitas Keterangan Kepentingan Kedua elemen sama pentingnya, dua elemen mempunyai 1 pengaruh yang sama besar Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga 3 lainnya, pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya, 5 pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek. Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, 7 bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memeliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang 2, 4, 6, 8 berdekatan, nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka Kebalikan dibanding dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i Sumber: Thomas L Saaty (Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, 2008: 86) commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kelebihan dan Kelemahan AHP Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah : 1) Kesatuan (Unity) AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami. 2) Kompleksitas (Complexity) AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif. 3) Saling ketergantungan (Inter Dependence) AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier. 4) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring) AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa. 5) Pengukuran (Measurement) AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas. 6) Konsistensi (Consistency) AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas. 7) Sintesis (Synthesis) AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif. 8) Trade Off AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 9) Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus) AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda. 10) Pengulangan Proses (Process Repetition) AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan. Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut: 1) Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. 2) Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk 2. Bencana Pengertian Bencana (disaster), Penyebab Bencana dan Jenisnya Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Sunarto (2006:4) menyatakan bencana merupakan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang terjadi secara mendadak maupun perlahan-lahan, yang disebabkan oleh alam, manusia, atau keduanya dengan menimbulkan akibat bagi pola kehidupan dan penghidupan, gangguan pada sistem pemerintahan yang normal, atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat untuk menolong dan menyelamatkan manusia dan lingkungannya. Selain itu, World Meteorological Organization/WMO/TD No. commit to user 955, 1999: 2 menyebutkan sebagai berikut: 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Disaster: A serious disruption of the functioning of a society, causing widespread human, material or environmental losses whichexceed the ability of affected society to cope using only its own resources. Disaster are often classified according to their speed of onset (sudden or slow), or according to their cause (natural or man-made). Berdasarkan berbagai pendapat mengenai bencana di atas, dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang diakibatkan oleh faktor alam maupun non alam yang menimbulkan kerusakan dan korban jiwa, sehingga harus dilakukan upaya tindakan darurat atau penyelamatan. Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat dibagi menjadi dua yaitu alam dan manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi, misal tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (misal meteor), tidak adanya hujan pada suatu lokasi yang menyebabkan terjadinya kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Bencana oleh aktifitas manusia adalah terutama akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Eksploitasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan infrastruktur meningkat, alih tata guna lahan meningkat (Kodoatie & Sjarief, 2006:68). Menurut jenisnya, bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana non alam, bencana sosial (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Sunarto dan Lies Rahayu (2006:4) menjabarkan jenis-jenis bencana alam meliputi badai, banjir, erupsi gunungapi, gempa bumi, tsunami, longsor, dan bencana meteoric. Jenis-jenis bencana biologis mencakup epidemik, penyakit tanaman, pest, dan kepunahan spesies. Bencana antropogenik antaralain bencana teknologi, bencana struktural (kekeliruan dalam mengambil kebijakan oleh pemerintah), bencana sosial, serta bahaya moral. commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bencana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bencana alam akibat erupsi Gunung Merapi di permukiman lereng Timur Gunung Merapi khususnya akibat lontaran piroklastik jatuhan. 3. Risiko bencana Risiko menurut World Meteorological Organization/TD No. 955 (1999:32) adalah: Risk: Expected losses (of lives, persons injured, property damaged,and economic activity disrupted) due to a particular hazard for a given area and reference period. Based on mathematical calculation risk is the product of hazard and vulnerability. Risiko merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekwesi suatu bahaya (Aisyah dkk, 2009:19). Seiring perkembangannya, risiko bencana tidak hanya diukur berdasarkan probabilitas dari dampak atau konsekwesi suatu bahaya, namun juga mempertimbangkan kapasitas masyarakat . Untuk mengetahui besarnya risiko bencana, dalam penelitian ini menggunakan persamaan di bawah ini: Risiko (R) = ( Bahaya (H) + Kerentanan (V) + Keberadaan (E)) - Kapasitas (C) Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi. D.S., Muzani, M. (2009: 19) (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi Agustus, 2010) a. Bahaya (hazard) A threatening event, or the probability of occurrence of a potentially damaging phenomenon within a given time period and area (Meteorological commit user kutipan tersebut, bahaya dapat Organization/TD No. 955, 1999: 2). to Berdasar 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diartikan sebagai suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak semua bahaya selalu menjadi bencana. Bahaya dalam hal ini meliputi bahaya erupsi gunungapi Merapi yang memiliki sifat khusus dibandingkan gunungapi lainnya. Sukandarrumidi (2010: 73) mengemukakan bahaya yang mungkin ditimbulkan apabila terjadi erupsi gunungapi adalah: 1) Aliran piroklastik/awan panas Tidak semua gunungapi di Indonesia mengeluarkan awan panas pada saat erupsi. Awan panas adalah cirri khas erupsi gunung Merapi, yaitu berupa luncuran material vulkanik yang bersuhu ratusan derajat celcius. Daerah yang dilewati awan panas biasanya menjadi daerah yang menderita paling parah. Awan panas arah mengalirnya dipengaruhi oleh bentuk kawah/kepundan. Awan panas yang dikeluarkan Gunungapi Merapi bulan Oktober 2010 telah menghancurkan desa kinahrejo dan sekitarnya, termasuk menewaskan Mbah Maridjan, sang juru kunci. Semua terbakar, banyak korban nyawa, harta benda, termasuk ternak. 2) Kebakaran hutan Kebakaran hutan biasanya terjadi di sepanjang alur sungai yang dilalui oleh awan panas. Radius capaiannya bisa mencapai ratusan meter dari pinggiran sungai. Tanaman kayu mongering, rumput terbakar, namun dalam waktu singkat rumput segera tumbuh kembali. 3) Eksplosif/ letusan/piroklastik jatuhan Eksplosif/letusan/piroklasti jatuhan mengeluarkan material vulkanik dengan ukuran bom hingga debu. Bangunan rumah, terutama atap tidak mampu menahan beban timbunan material vulkanik ini, hingga akhirnya roboh. Pepohonan akan tertutupi dan terpanggang oleh panas material ini sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4) Banjir lahar dingin Lahar dingin adalah material-material vulkanik hasil erupsi gunungapi yang bentuknya berupa batu dengan ukuran sangat besar hingga batu kecil, kerikil, dan pasir. Banjir lahar dingin melewati sungai-sungai dan biasanya terjadi saat musim hujan dan membanjiri daerah hilir, memperdalam alur sungai, serta menimbulkan longsoran tebing. 5) Keluar dan menyebarnya uap belerang Uap belerang sangat berbahaya bagi manusia. Arah aliran uap beerang sangat bergantung pada arah angin. Uap belerang dapat menimbulkan sesak napas dan apabila berkelanjutan dapat mengakibatkan keracunan paru-paru yang mengakibatkan kematian. 6) Kesulitan air bersih Air bersih merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan. Namun jika terjadi bencana, mata air bisa saja hilang karena banyak tertimbun longsoran dan akibatnya air menjadi tercemar. Selain itu sarana prasarana yang rusak akibat bencana juga mempersulit mendapatkan air bersih. Akibatnya persediaan air bersih menjadi terbatas. b. Kerentanan (vulnerability) Degree of loss resulting from a potentially damaging phenomenon (Meteorological Organization/TD No. 955, 1999: 2). Kutipan ini dapat diartikan bahwa kerentanan merupakan kondisi ketidakmampuan akibat suatu fenomena atau peristiwa yang berpotensi merusak. Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 tidak ditemukan istilah kerentanan. Dalam ilmu sosial, kerentanan (vulnerability) merupakan kebalikan dari ketangguhan (resilience), kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep ketangguhan merupakan konsep yang luas, termasuk kapasitas dan kemampuan merespons dalam situasi krisis/konflik/darurat (emergency rersponse). Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespons dalam situasi darurat, bisa to user diimplementasikan baik padacommit tingkat individu, keluarga, masyarakat, dan 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id institusi (pemerintah maupun LSM). Kerentanan wilayah dan penduduk terhadap ancaman meliputi kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan kerentanan ekonomi. Kerentanan sosial ekonomi dapat bersifat generik berlaku untuk semua jenis ancaman. Sementara itu kerentanan fisik bersifat spesifik sesuai dengan jenis ancaman. Kerentanan yang bersifat generik dapat digunakan untuk semua ancaman, terkait dengan aspek sosial ekonomi wilayah dan penduduk di suatu wilayah. Indikator kerentanan sosial ekonomi terkait dengan tingkat kemiskinan, laju pertumbuhan ekonomi, densitas dan penyebaran penduduk, lama pendidikan formal, tingkat pengangguran, beban tanggungan, dan indikator sosial ekonomi lainnya (RAN-PRB 2010-2012: 219). Kerentanan dalam penelitian ini diartikan sebagai keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman (Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana:13). Kerentanan ini dapat berupa: 1. Kerentanan Fisik Kerentanan fisik merupakan kerentanan yang berkaitan oleh karakteristik bangunan dan infrastruktur pada suatu daerah, misal umur bangunan, material bangunan, dan konstruksi bangunan. 2. Kerentanan Sosial Kerentanan sosial merupakan kerentanan yang berkaitan dengan kondisi sosial dari masyarakat. Masyarakat harus dipisah-pisahkan antara balita, ibu hamil, orang cacat, dan lansia. 3. Kerentanan Ekonomi Kerentanan ekonomi berkaitan dengan kondisi perekonomian masing masing rumah tangga yang menempati suatu daerah tertentu, misal berupa pekerjaan, pendapatan, dan tabungan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 20 digilib.uns.ac.id 4. Kerentanan Lingkungan Kerentanan lingkungan berkaitan dengan mudah tidaknya kerusakan terjadi pada sumberdaya air, lahan, udara, flora, fauna, dan komponen lingkungan lainnya. c. Keberadaan (exposure) Keberadaan merupakan kondisi fisik yang berpengaruh terhadap besar kecilnya risiko. Keberadaan mempunyai peranan yang sangat penting, karena keberadaan adalah sarana penunjang kehidupan. Semakin suatu daerah memiliki populasi dan sarana sosial ekonomi tinggi, maka semakin besar risiko yang dimiliki (Aisyah dkk, 2010:17). Terdapat empat indikator keberadaan, sebagai berikut: 1) Populasi Populasi adalah keseluruhan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah yang berpotensi terhadap risiko bencana. Kondisi populasi berkaitan dengan kepadatan penduduk suatu wilayah. 2) Bangunan fisik Bangunan fisik adalah semua bangunan yang dibangun di daerah yang berpotensi terhadap risiko bencana. Bangunan tersebut meliputi rumah, sekolah, kantor, tempat ibadah dan pasar. 3) Infrastuktur sarana air Infrastruktur sarana air adalah sarana penunjang ketersediaan air bersih. Infrastruktur sarana air meliputi pipa saluran air bersih, bak penampungan air, irigrasi 4) Total kekayaan desa Kekayaan desa adalah total rata-rata kekayaan desa dalam kurun waktu tertentu. Kekayaan desa dapat diperoleh di monografi desa. d. Kapasitas Masyarakat Menururt Djaelani (2008 : 20), kapasitas adalah kemampuan potensial commit to user sesungguhnya yang ada dalam masyarakat untuk menghadapi bencana perpustakaan.uns.ac.id 21 digilib.uns.ac.id menggunakan berbagai sumber daya, baik manusia atau materi untuk melakukan pencegahan dan tanggap darurat bencana yang efektif. Aisyah dkk (2010: 26) menyatakan bahwa kapasitas adalah gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau akibat dari bencana. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa kapasitas merupakan kondisi masyarakat yang menunjukkan kesiapan dan posisi masyarakat terhadap suatu kejadian, dalam hal ini kesiapan dalam menghadapi ancaman bencana. Faktor-faktor penentu kapasitas menurut Aisyah dkk (2010: 18) terdiri dari: 1) Tata guna lahan Tataguna lahan adalah kesesuaian penggunaan lahan sesuai dengan peruntukannya sehingga ketika terjadi bencana tidak menghambat upaya penyelamatan diri. Tataguna lahan dalam hal ini meliputi pola/persebaran permukiman dan jalan. 2) Penyuluhan kebencanaan Penyuluhan kebencanaan dapat diartikan sebagai upaya penyadaran masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana agar risiko bencana dapat ditekan. Pemberian penyuluhan dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang bergerak di bidang mitigasi bencana. Penyuluhan diberikan kepada masyarakat atau perwakilan masyarakat di kantor kepala desa ataupun di rumah warga, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya meminimalisir risiko bencana. 3) Pelatihan/simulasi tanggap darurat bencana Pelatihan/simulasi tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan pelatihan/praktek untuk menangani dampak buruk terjadinya bencana meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Dengan adanya commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pelatihan tanggap darurat diharapkan masyarakat siap menghadapi bencana sehingga risiko semakin kecil. 4) Kurikulum sekolah Memasukkan pendidikan kebencanaan pada kurikulum sekolah dipandang sangat penting terutama pada sekolah-sekolah yang terletak pada daerah rawan bencana. Dengan masuknya pendidikan kebencanaan dalam kurikulum sekolah, maka kesadaran masyarakat dapat dilatih sejak dini. 5) Partisipasi masyartakat dalam pengurangan risiko bencana Partisipasi masyarakat yang rentan terkena bencana merupakan hal yang penting dalam melakukan tindakan tanggap darurat serta melakukan monitoring atas proses penanganan bencana yang dilakukan. Masyarakat di sebuah daerah yang memiliki potensi mengalami bencana harus terlibat dan dilibatkan dalam upaya pengurangan risiko bencana. 6) Kelompok lokal penanggulangan bencana Masyarakat adalah pihak pertama yang merasakan dampak suatu bencana. Oleh karena itu, dalam suatu kelompok masyarakat harus dibentuk kelompok-kelompok penanggulangan bencana yang beranggotakan masyrakat setempat. Dalam kelompok atau komunitas masyarakat, masing-masing anggota wajib melakukan persiapan. Warga dapat menentukan prioritas anggota masyarakat yang wajib dibantu saat evakuasi. Pembagian kelompok warga dalam penanggulangan bencana disajikan dalam Tabel 3. 7) Bantuan rekonstruksi Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi pembangunan kembali sarana dan prasarana, pembangkitan kembali kehidupan sosial dan budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat, dan penggunaan peralatan yang lebih baik (Naryanto. HS dkk, 2009:146). Pasca terjadinya bencana, dibutuhkan partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat, untuk membantu dalam upaya peningkatan kondisi sosial, commit to user 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi layanan public, serta peningkatan layanan utama dalam masyarakat. Tabel 3. Pembagian Kelompok Warga dalam Penanggulangan Bencana. Kelompok Tugas Menyebarkan rancangan evakuasi Evakuasi kepada warga Memandu kelompok warga ke pengungsian Membantu korban Penyelamatan Mencari korban yang hilang Memberi pertolongan Pangobatan pertama bagi korban & perawatan Merawat korban yang luka dan sakit Membawa warga ke lokasi pengungsian Membawa korban ke Transportasi rumah sakit Mendukung mobilitas kelompok lain Menyiapkan Dapur umum kebutuhan pangan para pengingsi Pencari bantuan Mencari bantuan pangan, sandang, tenaga medis, obat, tenda, tandu, dan kebutuhan lain Syarat anggota Pria/wanita umur 20-40 tahun Sehat jasmani dan rohani Memiliki daya tahan stres Mampu bekerja dibawah tekanan Pernah terlibat dalam bidang kesehatan, kepanduan, atau olahraga Memiliki kemampuan medis dan perawat (untuk kelompok pengobatan dan perawatan) Trampil menggunakan kendaraan mobil, trik (untuk kelompok transportasi) Mampu memasak makanan sehat dan higienis untuk kelompok besar Mempunyai koneksi dengan lembaga yang dapat member bantuan Patner instansi Tim SAR Satkorlak / Satlak TNI / POLRI PMI Rumah sakit Dinkes Dinsos Dinhub LSM Sumber: Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil Kebijakan Dan Pelaksana Program, 2007:109 8) Bantuan kondisi darurat dari APBD Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara umum dana penganggulangan bencana bersumber dari dana DIPA (APBN dan APBD). Pada saat terjadi kondisi darurat, BNPB menggunakan dana siap pakai yaitu dana yang dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipakai sewaktu-waktu apabila terjadi bencana (Naryanto. HS dkk, 2009:134). Penyaluran dana harus dilakukan secara transparan, dan tepat sasaran commit to user 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sesuai kondisi darurat yang dialami suatu daerah. Selain itu bantuan dalam kondisi darurat juga bisa berasal dari lembaga swasta. 9) System peringatan dini System peringatan dini merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, 2008:3) 10) System komunikasi System komunikasi merupakan salah satu hal yang cukup penting dalam upaya untuk mengurangi risiko bencana. System komunikasi yang ada di masyarakat menunjukkan tinkat kesiapsiagaan masyarakat itu sendiri. Dengan system informasi yang baik, informasi jika sewktu-waktu terjadi bencana dapat segera diterima masyarakat. Oleh Karena itu, sebaiknya system komunikasi masyarakat sudah canggih, meliputi adanya internet, HT, HP, televise, radio, sirine, pengeras suara, dan dipadukan dengan alat komunikasi tradisional seperti kentongan. 11) Rencana darurat Rencana darurat merupakan serangkaian rencana persiapan untuk menangani dampak buruk terjadinya bencana meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Rencana tanggap darurat disusun oleh masyarakat bersama pihak yang berwenang dengan tujuan agar warga siap menghadapi bencana. Dalam Panduan Penanganan Bencana bagi Pengambil Kebijakan dan Pelaksana Program (2007:109), rencana tanggap darurat setidaknya memuat system peringatan dini, rencana penyelamatan, dan persiapan lokasi pengungsian. Dengan adanya rencana darurat, ketika terjadi bencana maka masyarakat dapat langsung melakukan tindakan sesuai rencana, misalnya ketika terdapat peringatan berupa sirine, commit to usermenuju titik kumpul sementara kentongan, dll, masyarakat langsung 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kemudian bersama-sama menuju lokasi pengunngsian. Berikut ini skema rencana darurat secara sederhana. Peringatan Dini Menyelamatkan Diri Menuju Titik Kumpul Awal Sirine Running text di televise Warta radio Kentongan Prioritas wanita hamil, orang cacat, anak-anak, dan manula Membawa identitas dan dokumen berharga yang mudah dibawa Lokasi terdekat yang mudah dijangkau warga dan kendaraan evakuasi Lokasi Pengungsian Gambar 1. Skema rencana darurat secara sederhana. Sumber: Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil Kebijakan Dan Pelaksana Program, 2007:108 12) Menejemen risiko Menejemen risiko adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana berupa perencanaan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencanan, maupun sesudah terjadi bencana. Kegiatan menejemen risiko bencana tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, yang terdiri dari: a. Pencegahan/Mitigasi Pencegahan merupakan upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman dari suatu bencana, sedangkan mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi atau meminimalkan risiko bencana. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik yang berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. commit to user 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1) Penyusunan peraturan perundang-undangan 2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur 4) Pembuatan brosur/leaflet/poster 5) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6) Pengkajian / analisis risiko bencana 7) Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan 8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. 6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana. 7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan commit to user tahan gempa dan sejenisnya. 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana). b. Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan dilaksanakan sebelum kejadian bencana yang diarahkan pada antisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Kesiapsiagaan mencakup upaya yang memungkinkan pemerintah, masyarakat dan individu merespon situasi bencana secara cepat dan efektif dengan menggunakan kapasitas sendiri. Kesiapsiagaan mencakup penyusunan rencana tanggap darurat bencana, pertolongan pertama dan penyelamatan, serta pembentukan mekanisme tanggap darurat yang sistematis. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi, kegiatan yang dilakukan antara lain : 1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya. 2) Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan 4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. 5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning) 7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan) 8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan) Kesiapsiagaan terhadap bencana erupsi Gunung berapi sangat commit yang to user penting, salah satu langkah dilakukan adalah pendugaan atau 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id peramalan suatu kejadian erupsi gunung karena dengan ramalan itu dapat dilakukan penanggulangan dini terhadap kerusakan serta korban jiwa. Pada dasarnya aktivitas vulkanisme di dalam perut bumi sangat sulit diketahui, orang hanya dapat mengamati dan mengukur beberapa gejalanya di permukaan bumi. Meskipun demikian, orang berusaha mengetahui kapan dan berapa besarnya erupsi yang akan terjadi agar dapat memperkecil bahaya yang ditimbulkannya. Hal itu dimungkinkan karena adanya gejala-gejala yang mendahului suatu erupsi, misalnya gempa bumi, suhu tanah di sekitar vulkan naik, kadang-kadang mengalami pembumbungan, perubahan-perubahan kondisi kimia gas, lava abu vulkanis, dan sebagainya (Vitasari, 2011: 11). Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi yaitu Aktif Normal, Waspada, Siaga dan Awas. 1) Aktif Normal: Pemantauan dan pengamatan dilakukan namun dengan frekuensi yang tidak terlalu intensif (Paripurno PSMB UPN Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasan Rawan Bencana III, II dan I dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Khusus untuk kegiatan di daerah puncak, masyarakat harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP) (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011) 2) Waspada: Mulai diberlakukan piket harian di luar jam kerja untuk memantau perkembangan aktivitas gunung yang bersangkutan. Pemantauan aktivitas gunung tersebut baik dari aspek geologi, fisika dan kimia serta pemantauan visual (tinggi asap, suhu solfatar, suhu air kawah dan suhu air panas) dari pos lebih ditingkatkan lagi frekuensinya. Semua informasi tersebut akan disampaikan kepada pemerintah daerah seminggu sekali (Paripurno commit to user 2009 : 63). Masyarakat dalam PSMB UPN Veteran Yogyakarta, 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kawasan Rawan Bencana III, II dan I dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Khusus untuk kegiatan di Kawasan Rawan Bencana III, masyarakat harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP) (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011) 3) Siaga: Pada status ini laporan harian terhadap perkembangan aktivitas gunung mulai diberlakukan. Informasi ini juga disampaikan melalui radio komunikasi. Beberapa ahli akan ditempatkan di pos pemantauan yang terdekat dengan pusat aktivitas gunung tersebut (Paripurno PSMB UPN Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasan Rawan Bencana III harus mempersiapkan diri untuk mengungsi, dalam koordinasi Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP) (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011) 4) Awas: Bila Gunung ditetapkan statusnya dalam keadaan „awas‟, maka daerah-daerah yang berkemungkinan terkena ancaman letusan dianjurkan untuk dihindari, dengan mengosongkan daerah tersebut dan mengevakuasi penduduk ke tempat yang aman. Penyebarab informasi kepada masyarakat terus menerus dilakukan dengan memanfaatkan semua media yang ada : media cetak, media elektronik, internet dan sebagainya (Paripurno PSMB UPN Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasa Rawan Bencana III harus sudah mengungsi dan masarakat dalam Kawasan Rawan Bencana II dan I harus meningkatkan kewaspadaannya dan mematuhi Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP). Apabila ancaman letusan cenderung membesar maka masyarakat di Kawasan Rawan Bencana II harus mengungsi. Khusus masyarakat commitBencana to user I yang bermukim dekat dengan dalam Kawasan Rawan 30 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sungai yang berhulu di daerah puncak agar lebih meningkatkan kewaspadaannya terhadap ancaman lahar bila terjadi hujan (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, dalam Vitasari 2011). c. Tanggap Darurat Tanggap darurat, serangkaian kegiatan untuk memberikan bantuan kepada korban bencana yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; 2) Penentuan status keadaan darurat bencana; 3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 4) Pemenuhan kebutuhan dasar; 5) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. d. Pemulihan Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) Perbaikan lingkungan daerah bencana; 2) Perbaikan prasarana dan sarana umum; 3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; 4) Pemulihan sosial psikologis; commit to user 5) Pelayanan kesehatan; 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 6) Rekonsiliasi dan resolusi konflik; 7) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; 8) Pemulihan keamanan dan ketertiban; 9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan 10) pemulihan fungsi pelayanan publik Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi. Tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna yang dilakukan untuk meningkatkan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang rusak akibat bencana sehingga menjadi lebih baik. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. 1) Pembangunan kembali prasarana dan sarana; 2) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; 3) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat 4) Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; 5) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; 6) Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; 7) Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau 8) Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. Perencanaan pengurangan risiko bencana disajikan dalam Gambar 2. commit to user 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 2. Tahapan Perencanaan Pengurangan Risiko Bencana Sumber : Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana 13) Kapasitas pemerintah lokal/desa Kapasitas adalah gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau akibat dari bencana (Aisyah dkk 2010: 26). Dalam penelitian ini, kapasitas pemerintah lokal dirtikan sebagai kekuatan pemerintah desa untuk mengurangi risiko bencana. Kekuatan tersebut meliputi bagaimana pemerintah desa dalam melakukan kegiatan menejemen risiko bencana. 14) Akses memperoleh bantuan nasional Akses memperoleh bantuan nasional yang dimaksud adalah kemampuan masyarakat untuk mencari bantuan darurat. Bantuan bisa didapatkan dari lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan. Pemerintah desa maupun masyarakat yang mampu dan memiliki akses kuat ke pihak lain harus mencari bantuan.pencarian bantuan dapat menghubungi kantor pemerintahan terdekat, kepolisian, atau kantor pelayanan public milik pemerintah. Selain itu dapat pula menghubungi stasiun radio atau televise yang dapat memberikan bantuan secara cepat dan langsungkejadian bencana sekaligus permohonan bantuan ke commit to user 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berbagai pihak (Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil Kebijakan Dan Pelaksana Program, 2007:114). 15) Peta bahaya Peta bahaya adalah peta yang diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintah. Peta tersebut menginformasikan kemungkinan bahaya yang mengancam, serta sebaran daerah bahayanya. Peta bahaya harus terpasang di tempat-tempat umum agar mudah dijangkau masyarakat. 4. Gunungapi Merapi Gunungapi Merapi adalah gunungapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunungapi teraktif di Indonesia. Secara astronomis terletak pada 7° 32‟ 30‟‟ LS dan 110° 26‟ 30‟‟ BT. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara ( Data Dasar Gunungapi Indonesia, 1979:250) Menurut Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Pertambangan, Departemen Vulkanologi, gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1006, gunung ini sudah meletus sebanyak lebih dari 70 kali. Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Gunung yang merupakan salah satu gunungapi yang teraktif di dunia ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000 tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif kemudian menjadi eksplosif dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava (dikutip dari situs resmi BPPTK, http://merapi.bgl.esdm.go.id ). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 34 digilib.uns.ac.id Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 610 tahun sekali. Letusan-letusan Gunungapi Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur (Otto Sukatno, 2007: vii). Keaktifan Gunungapi Merapi ditetapkan dalam status bahaya seperti diuraikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Penetapan Status Bahaya Gunungapi Merapi Tingkat No Tanda-Tanda Peringatan Dini Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan visual, Aktif Normal 1 kegempaan, dan gejala vulkaik tidak memperlihatkan (Level I) adanya kelainan. Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang Waspada 2 tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, (Level II) kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya. Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan Siaga visual/pemeriksaan kawah, kegempaan, dan metoda 3 (level III) lain saling mendukung. Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan. Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi Awas 4 berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data (Level IV) pengamatan, segera akan diikuti letusan utama. Sumber: Naryanto. HS dkk, 2009:134 Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Gunungapi Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Gunungapi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua (www.merapi.bgl.esdm.go.id). Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil (www.merapi.bgl.esdm.go.id). Menurut Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Gunungapi Merapi dapat dibagi atas 4 bagian: (a) PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu) Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ± 700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. commit to user Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan. (b) MERAPI TUA (60.000 – 8000 tahun lalu) Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltik dari awanpanas, breksiasi lava dan lahar. (c) MERAPI PERTENGAHAN (8000 – 2000 tahun lalu) Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan “debris-avalanche” ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah Pasarbubar. (d) MERAPI BARU (2000 tahun lalu – sekarang) Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari Gunungapi Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Gunungapi Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan commit to user sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra (www.merapi.bgl.esdm.go.id). Gambar 3: Tampilan 3 dimensi Gunungapi Merapi wilayah Kabupaten Boyolali. Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Gambar di atas menunjukkan penampang tiga dimensi Gunungapi Merapi wilayah Kabupaten Boyolali, tepatnya di sisi lereng timur Gunungapi Merapi. Warna merah menunjukkan Kawasan Rawan Bencana 3 dan warna kuning menunjukkan Kawasan Rawan Bencana 2. Kawasan Rawan Bencana 3 dan Kawasan Rawan Bencana 2 hanya mencakup Taman Nasional Gunungapi Merapi, sedangkan permukiman-permukiman di lereng timur Gunungapi Merapi tidak termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana 3 dan Kawasan Rawan Bencana 2, namun termasuk dalam kawasan yang berisiko/berpotensi terlanda material piroklastik jatuhan dengan ukuran lebih dari 2 mm. commit to user 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. Piroklastik Piroklastik adalah batuan yang bertekstur klastik yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan gunungapi, dengan material asal yang berbeda, dimana material penyusun tersebut terendapkan dan terkonsolidasi sebelum mengalami transportasi (“rewarking”) oleh air atau es (William 1982 dalam Endarto, 2005:47). Batuan hasil letusan gunungapi dapat berupa suatu hasil lelehan yang merupakan lava dan dapat pula berupa produk ledakan atau eksplorasif yang bersifat fragmental dari semua bentuk cair, gas, atau padat yang dikeluarkan dengan jalan erupsi. Berdasarkan ukurannya, material piroklastik dapat dibedakan sebagai berikut: a) Bomb Gunungapi Bom adalah gumpalan-gumpalan lava yang mempunyai ukuran lebih besar dari 64 mm. Daerah ini sebagian atau semuanya berwujud plastik pada waktu tererupsi. Beberapa bom mempunyai ukuran sangat besar. Sebagai contoh bomb yang berukuran sangat besar dengan diameter 5 meter seberat 200 kg. bomb gunungapi merupakan bahan hamburan yang dikeluarkan dalam kondisi cair, sehingga selama bahan tersebut berada di udara memungkinkan terjadinya bentuk membulat hingga menyudut. Berdasarkan bentuk luarnya, bomb gunungapi dibedakan menjadi: (1) Bom terputar, merupakan bomb yang berbentuk airmata atau menampakkan gejala telah terputar akibat pergerakan memutar selama di udara. (2) Bom tahi-sapi, merupakan bomb yang berbentuk pipih akibat benturan yang terjadi akibat benturan ketika masih berada dalam kondisi setengah padat. (3) Bom kerak roti, merupakan bomb dengan ciri-ciri jaringan retakan terbuka pada bagian permukaannya, dimana retakan tersebut akan meluas kearah dalam setelah terjadi pembekuan. (4) Bom pita, yaitu bom yang memanjang seperti suling dan sebagian commit todengan user arah sama. gelembung-gelembung memanjang 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (5) Bom teras, yaitu bomb yang mempunyai inti dari material yang terkonsolidasi terlebih dahulu, mungkin dari fragmen-fragmen sisa erupsi terdahulu pada gunungapi yang sama. b) Block Gunungapi Block gunungapi merupakan batuan piroklastik yang dihasilkan oleh erupsi eksplosif dari fragmen batuan yang telah memadat lebih dahulu dengan ukuran lebih besar dari 64mm. c) Lapilli Lapilli berasal dari bahasa latin lapillus, yaitu nama untuk hasil eksplosif gunungapi yang berukuran 2mm - 64mm. d) Debu/abu Gunungapi Debu gunungapi adalah batuan piroklastik yang berukuran 2mm – 1/256 mm yang dihasilkan oleh pelemparan dari magama akibat erupsi eksplosif. Ada juga debu gunungapi yang terjadi karena proses penggesekan pada waktu erupsi gunungapi. B. Penelitian yang Relevan Aisyah, N. dkk (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Penerapan Sistem Indikator Berbasis Komunitas untuk Pemetaan dan Analisis Risiko Terhadap Bahaya Awan Panas di Merapi Tahun 2009 bertujuan mengetahui tingkat risiko terhadap awan panas di lereng Merapi. Metode yang digunakan adalah metode berbasis analisis risiko berbasis indikator dan skoring dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot masingmasing indikator. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling, dengan kriteria daerah yang dialiri awan panas yaitu Kawasan Rawan Bencana 3 dan Kawasan Rawan Bencana 2 terdiri dari 29 desa. Hasil penelitian menunjukkan tiga tingkat risiko awan panas, yaitu risiko tinggi, sedang, dan rendah. Desa dengan tingkat risiko tinggi terdiri dari 9 desa, desa dengan tingkat risiko sedang terdiri dari 13 desa, desa dengan tingkat risiko commit to user rendah terdiri dari 7 desa. perpustakaan.uns.ac.id 39 digilib.uns.ac.id Deliana (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Tingkat Bahaya lahar Gunung Merapi Terhadap Lapangan Golf Merapi Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tujuan : (1) mengetahi arah aliran lahar, termasuk luapan lahar yang menuju ke lapangan golf, dan (2) mengetahui mengetahui tingkat bahaya lahar di daerah lapangan golf Merapi. Metode yang digunakan adalah metode klasifikasi dengan pemberian skor melalui system skoring. Pemberian skor suatu parameter berdasarkan kontribusi parameter tersebut terhadap proses kejadian lahar. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling, dengan mempertimbangkan morfologi DAS dan morfologi sungai Kuning dan sungai Gendol. Hasil penelitian menunjukkan arah aliran lahar dan luapan lahar yang mengarah ke lapangan golf melalui beberapa lembah. Tingkat bahaya lapangan golf merapi dinyatakan terletak pada daerah dengan tingkat bahaya III dan IV. Mudmainah Vitasari (2011) Melakukan penelitian dengan judul “Asesmen Kerentanan Dan Kapasitas Desa Dalam Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang”. Mengetahui kerentanan Kawasan Rawan Bencana terhadap erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prioritas kerentanan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, mengetahui kapasitas Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, mengidentifikasi tindakan/aksi kesiapsiagaan bencana yang akan dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, mengetahui prioritas tindakan/aksi kesiapsiagaan bencana yang akan dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Penelitian ini menggunakan untuk metode penelitian deskriptif dan historis pendekatan Vulnerability and Capacity Assesment (VCA) dan analisis skoring, Participatory Rural Appriasal (PRA) dan semiPRA. Penelitian ini direncanakan berjudul “Penggunaan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk Penilaian Risiko Lontaran Piroklastik di Lereng Timur Gunungapi Merapi 2012” dengan tujuan untuk mengetahui bahaya lontaran commit tomengetahui user piroklastik jatuhan di daerah penelitian, kerentanan masyarakat di 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id daerah penelitian memetakan sarana sosial ekonomi masyarakat di daerah penelitian mengetahui kapasitas masyarakat di daerah penelitian menilai tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah penerapan indikator berbasis masyarakat, dengan teknik scoring menggunakan metode AHP (Analitycal Hierarchy Process). Penelitian yang relevan secara singkat diuraikan dalam Tabel 5. commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Kerangka Pemikiran Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007). Salah satu bencana yang terjadi karena faktor alam adalah bencana erupsi gunungapi, seperti yang terjadi pada gunung Merapi. Gunung Merapi memiliki tipe letusan yang khas, mulai dari eksplosif hingga disertai luncuran awan panas. Sebagai akibat dari tipe letusan tersebut, gunung Merapi menyimpan potensi bahaya yang beragam, yaitu ancaman bahaya primer meliputi ancaman awan panas, kebakaran hutan, serta eksplosif atau lontaran material piroklastik. Bahaya sekunder letusan gunung Merapi meliputi banjir lahar dingin dan kesulitan air bersih. Berdasarkan potensi berbagai bahaya yang mengancam, gunung Merapi dibagi menjadi 4 (tiga) zona bahaya yang dibatasi kriteria bahaya tertentu dan divisualkan sebagai kawasan rawan bencana I, kawasan rawan bencana II, kawasan rawan bencana III, serta kawasan yang berpotensi terhadap lontaran material piroklastik hasil letusan. Kawasan yang berpotensi terhadap lontaran material piroklastik diukur berdasarkan jarak rata-rata jangkauan letusan gunung Merapi kira-kira mencapai 10 km dari puncak Merapi. Kawasan yang berpotensi terkena lontaran piroklastik jatuhan adalah lereng timur gunung Merapi yang mencakup 2 (dua) kecamatan yaitu kecamatan Musuk, dan kecamatan Cepogo kabupaten Boyolali. Dua kecamatan tersebut, sebagian wilayahnya merupakan daerah yang berpotensi terlanda lontaran material piroklastik jatuhan. Kawasan lereng timur gunung Merapi tidak menjadi bagian utama kawasan rawan bencana I, II, dan III, tetapi hanya sebagian kecil saja. Hal tersebut dikarenakan lereng sebelah timur gunung Merapi terdapat gunung Bibi yang menjadi pelindung alami terhadap aliran piroklastik. Keberadaan gunung Bibi tersebut membelokkan arah aliran piroklastik ke arah userkawasan rawan bencana I, II, dan selatan. Meskipun tidak termasukcommit bagian to utama 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id III, kawasan lereng timur dan utara memiliki risiko yang sama besarnya terhadap kemungkinan terlanda lontaran material piroklastik jatuhan dan perlu diwaspadai. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui besarnya risiko bencana erupsi gunung Merapi terhadap lontaran piroklastik jatuhan yang mungkin terjadi di daerah penelitian, sehingga diharapkan masyarakat memiliki kesiapan yang cukup untuk menghadapi bahaya yang mungkin terjadi. Penilaian besarnya risiko lontaran piroklastik dalam penelitian ini harus melalui beberapa tahapan, yaitu analisis bahaya, analisis kerentanan, analisis keberadaan populasi dan sarana prasarana, dan analisis kapasitas masyarakat. Untuk mengetahui nilai bahaya, kerentanan, keterdapatan, dan kapsitas, dihitung dengan pembobotan masing-masing indikator terlebih dahulu. Pembobotan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), setelah itu dilakukan scoring menggunakan skala tertentu. Setelah diketahui nilai bahaya, kerentanan, keterdapatan, dan kapsitasnya, tahap selanjutnya adalah menganalisis risiko bencana. Melalui tahapan-tahapan tersebut dapat diperoleh informasi tentang besarnya risiko lontaran piroklastik akibat erupsi Gunung Merapi di daerah penelitian. Informasi tersebut mempunyai peranan untuk dapat mengetahui besarnya potensi di setiap desa yang diteliti. Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram alir Gambar 4. commit to user 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bencana Erupsi Gunung Merapi Kawasan Rawan Bencana 1 Kawasan Rawan Bencana 2 Kawasan Rawan Bencana 3 Kawasan Berpotensi Terlanda Lontaran Piroklastik Jatuhan di Lereng Timur Gunung Merapi (0-10 km) Perlu dilakukan analisis risiko Bahaya Kerentanan Ketidaksiapan masyarakat menghadapi bencana Keberadaan Tingkat Risiko Terhadap Lontaran Piroklastik Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian. commit to user Kapasitas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Daerah / Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di lereng bagian timur Gunungapi Merapi, tepatnya di sebagian Kecamatan Musuk dan sebagian Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian di Kecamatan Musuk terdiri dari 9 (sembilan) desa, dan di Kecamatan Cepogo terdiri dari 8 (delapan) desa. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo termasuk daerah berisiko terhadap erupsi Gunungapi Merapi dan berpotensi terkena dampak langsung erupsi Gunungapi Merapi terutama lontaran piroklastik jatuhan. B. Waktu Penelitian Penelitian ini direncanakan selama sembilan bulan, dimulai bulan Desember 2011 hingga bulan Agustus 2012. Waktu tersebut digunakan mulai dari tahap persiapan, penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data, pengolahan data hingga penyusunan laporan penelitian, dengan perincian sebagai berikut. Tabel 6. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian. Waktu No 1 2 3 4 5 6 Kegiatan 2011 Des Jan Feb Mar 2012 Aprl Mei Juni Juli Agst Persiapan Penulisan proposal Penyusunan instrumen Pengumpulan data Analisis data Penulisan laporan C. Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan pendekatan deskriptif, dengan desa sebagai satuan analisis. Menurut Nawawi (1990: 45), Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, commitkeadaan to user obyek penelitian pada saat dengan menggambarkan/melukiskan 47 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dalam penelitian ini metode deskriptif dilakukan untuk mengungkapkan fakta, masalah dan karakteristik masyarakat di kawasan berpotensi terkena lontaran piroklastik jatuhan Gunungapi Merapi Kabupaten Boyolali. Penelitian ini menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan sistem indikator berbasis masyarakat. Penggunaan sistem indikator berbasis masyarakat dikarenakan lontaran piroklastik jatuhan tidak dapat dibatasi dengan analisis topografi, sehingga data-data diambil dan dianalisis berdasarkan informasi masyarakat. Dalam penelitian ini, metode AHP digunakan untuk menentukan bobot masing-masing indikator sesuai dengan tingkat kepentingannya. Penentuan bobot indikator dilakukan untuk melakukan skoring bahaya, kerentanan, keberadaan, serta kapasitas masyarakat sehingga diperoleh skor risiko terhadap lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian. D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan masyarakat desa di Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo yang termasuk dalam kawasan berisiko terhadap erupsi Gunungapi Merapi dan berpotensi terlanda lontaran piroklastik jatuhan. 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari objek atau individu – individu yang mewakili suatu populasi (Tika, 1997:33). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara purposive sampling yaitu sampel yang dipilih secara cermat dengan mengambil orang atau obyek penelitian yang selektif dan mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Sampel yang diambil memiliki cirri-ciri khusus dari populasi sehingga dapat dianggap cukup representative (Tika, 1997: 53). Dalam penelitian ini purposive sampling digunakan untuk memilih masyarakat yang akan dijadikan narasumber di setiap desa yang diteliti. Ciri-ciri masyarakat yang dijadikan commit to user sampel adalah tokoh masyarakat/perangkat desa (kepala desa / sekretaris desa), 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengurus organisasi pengurangan risiko bencana (jika ada), serta wakil masyarakat korban bencana yang diwakili oleh ketua RT/RW. Sampel narasumber pada setiap desa di daerah penelitian adalah 10 orang dengan rincian satu orang perangkat desa (kepala desa / sekretaris desa), satu orang pengurus organisasi pengurangan risiko bencana (ketua / wakil ketua / sekretaris), dan delapan orang perwakilan warga yang diwakili oleh ketua RT. Dalam hal ini, perwakilan warga ditentukan secara sistematis dengan mempertimbangkan kemerataan di setiap desa. Jumlah total sampel adalah 170 orang. Teknik pengambilan sampel tersebut dipilih selain sudah dapat mewakili populasi yang ada, karena adanya keterbatasan tenaga, waktu, biaya, dan pengetahuan yang dimiliki. E. Data dan Variabel Penelitian 1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dari beberapa sumber dan dibedakan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau objek yang diteliti, atau ada hubungannya dengan yang diteliti (Tika, 1997:67). Data primer diperoleh langsung melalui observasi lapangan daerah penelitian dan wawancara. Dalam hal ini observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik daerah penelitian. Wawancara dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di permukiman yang dinilai rawan bencana di Kecamatan Musuk dengan menggunakan lembar pedoman wawancara yang bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan bahaya lontaran piroklastik, dan kerentanan social ekonomi, serta kapasitas masyarakat. Data primer dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan commitditoluar user dilaporkan oleh orang atau instansi diri peneliti sendiri, walaupun data 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang dikumpulkan itu sesungguhnya data yang asli (Tika, 1997:67). Data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer dan sebagai alat bantu analisa data. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. Tabel 7. Teknik Pengambilan Data No. Teknik Pengambilan Data 1. Observasi Langsung Data Kondisi fisik a. Jalan b. sistem air bersih 2. Wawancara 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tingkat pendidikan Mata pencaharian Fasilitas umum Kesiapan mengahadapi bencana Persepsi masyarakat terhadap bencana Sikap masyarakat Kesiapan masyarakat Dampak lontaran piroklastik Bahaya lontaran piroklastik Tabel 8. Data Sekunder Penelitian No 1 2 Data Sekunder Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Tahun 2010 Monografi Penduduk Tahun 2010 Sumber Data BPPTK BPBD Kab. Boyolali Monografi Desa Kecamatan Musuk dalam Angka Tahun 2010 Kecamatan Cepogo dalam Angka Tahun 2010 Kabupaten Boyolali dalam Angka tahun 2010 2. Variabel Variabel merupakan konsep yang memiliki variasi nilai. Pengukuran variabel merupakan kegiatan untuk menentukan nilai suatu unsur penelitian. Sesuai dengan judul penelitian yaitu “Penggunaan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Untuk Penilaian Risiko Lontaran Piroklastik Di Lereng Timur Gunungapi Merapi 2012”, maka variabel yang diteliti adalah variabel yang dapat mewakili faktor-faktor yang menjadi kriteria dalam menganalisis risiko lontaran commit to user 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id material piroklastik Gunungapi Merapi. Variabel-variabel tersebut dirinci dalam sejumlah indikator yang disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Variabel dan Indikator Penyusunan Risiko Lontaran Piroklastik Gunungapi Merapi Kecamatan Musuk dan Cepogo Kabupaten Boyolali. No. Variabel Indikator 1. Bahaya 1. Kawasan berpotensi terlanda piroklastik jatuhan 2. Jarak dari pusat erupsi 3. Ketebalan endapan piroklastik 4. Jenis dan ukuran piroklastik jatuhan 5. Kerusakan tempat tinggal 6. Kerusakan lahan pertanian 7. Kesulitan air bersih 2. Kerentanan 1. Presentase penduduk lansia ( >65 tahun ) 2. Presentase penduduk < 5 tahun 3. Presentase ibu hamil 4. ketersediaan air bersih 5. Tingkat kesejahteraan 6. Tipe bangunan 7. Akses jalan 8. Transportasi 9. Sikap masyarakat menghadapi bencana 10. Partisipasi komunitas 3. Keterdapatan 1. Populasi 2. Jumlah bangunan fisik 3. Infrastuktur sarana air 4. Total kekayaan desa 4. Kapasitas 1. Penyuluhan 2. Pelatihan tanggap darurat 3. Partisipasi masyarakat 4. LSM atau kelompok local kebencanaan 5. Manajemen risiko 6. Sistem peringatan dini 7. Peta bahaya 8. Kapasitas pemerintah lokal 9. Rencana emergensi 10. Komunikasi 11. Ketersediaan dana darurat 12. Akses memperoleh bantuan nasional Sumber: Aisyah, N. dkk dan modifikasi. commit to user 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id F. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi Lapangan Tika (1997: 67) mengartikan observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian. Kegiatan observasi dilakukan secara langsung terhadap obyek di tempat penelitian dengan cara sistematik atau berstruktur, yaitu menentukan unsur-unsur utama yang akan diobservasi secara sistematik. Unsur-unsur yang ditentukan tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian yang telah dibuat. Dalam hal ini, observasi langsung dilakukan untuk memperoleh data penggunaan lahan meliputi permukiman, lahan pertanian, perkebunan, dan hutan serta kondisi fisik meliputi jalan dan prasarana air bersih. 2. Wawancara Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung dari informan sehingga data yang diperoleh dapat lebih dipercaya. Menurut Nasution dalam Tika (1997: 75) wawancara (interview) adalah suatu bentuk komunikasi verbal. Jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Melalui wawancara dengan informan, maka akan didapat data yang akurat dan relevan. Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada informan untuk mendapatkan data mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara terbuka dan terstruktur. Dimana pokok-pokok pertanyaan diatur secara terstruktur agar pertanyaannya lebih terarah dengan orang yang diwawancarai mengenai maksud dan tujuan dari wawancara yang dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan guna memperoleh data yang lengkap, lebih baik dan dapat dipercaya. Wawancara dilakukan dengan masyarakat dimasing-masing daerah sampel berdasarkan atas panduan wawancara yang telah disusun sebelumnya. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh data tentang: tingkat pendidikan, mata pencaharian, adat istiadat terkait Gunungapi Merapi, fasilitas umum, to user kesiapan mengahadapi bencana, commit persepsi masyarakat terhadap bencana, sikap 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id masyarakat, kesiapan masyarakat, dampak lontaran piroklastik, bahaya lontaran piroklastik. 3. Dokumentasi Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data atau informasi secara tertulis atau dalam bentuk Gambar atau peta yang didapat dari kantor atau instansi yang terkait, perpustakaan dan arsip yang menunjang penelitian. Teknik ini dilaksanakan dengan mencatat, menyalin, mempelajari dan memilah data yang termuat baik berupa peta, diagram, maupun buku-buku sesuai kebutuhan penelitian. Metode dokumentasi digunakan untuk mencari data mengenai kawasan rawan bencana merapi, dampak erupsi, monografi penduduk di daerah penelitian. G. Teknik Analisis Data Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data agar lebih mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Secara umum, analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan dari analisis kualitatif (diskriptif) dan analisis kuantitatif (skoring). Pendekatan kualitatif akan diterapkan dalam analisis risiko lontaran material piroklastik Gunungapi Merapi. Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan pembobotan masing-masing indikator untuk menentukan prioritas setiap indikator terhadap indikator lainnya. Penentuan bobot indikator menggunakan metode AHP dengan langkah sebagai berikut: a. Membuat matrik perbandingan berpasangan Nilai perbandingan indikator dibuat berdasarkan tingkat kepentingan setiap indikator dalam penilaian risiko lontaran material piroklastik Gunungapi Merapi. Nilai perbandingan dapat ditentukan sesuai intensitas kepentingan terhadap sesama indikator, dengan skala yang disajikan dalam Tabel 10. b. Menyusun sintesis prioritas yang berfungsi sebagai cara untuk memperoleh keseluruhan proritas indikator. Pada tahap ini, setiap nilai perbandingan berpasangan dibagi dengan jumlah nilai perbandingan berpasangan tiap kolom matrik. Selanjutnya dilakukan penjumlahan nilai pembagian tiap baris. Nilai commit user jumlah indikator menghasilkan pembagian antara nilai total tiap baris to terhadap 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nilai prioritas tiap indikator. Nilai ini dikalikanterhadap bobot setiap factor dan menghasilkan nilai bobot setiap indikator. Skor akhir untuk memperoleh nilai bahaya, kerentanan, keterdapatan, dan kapasitas diperoleh dengan mengalikan bobot setiap indikator dengan nilai skala setiap indikator yang diperoleh dari hasil survey, sesuai dengan persamaan berikut: H = wH1 x X’H1 + wH2 x X’H2 + wH3 x X’H3 + …… + wHn x X’Hn V = wV1 x X’V1 + wV2 x X’V2 + wV3 x X’V3 + …… + wVn x X’Vn E = wE1 x X’E1 + wE2 x X’E2 + wE3 x X’E3 + ………..+ wEn x X’En C = wC1 x X’C1 + Wc2 x X’C2 + wC3 x X’C3 + ……… + wCn x X’Cn R = (wH+wV+wE) – wC Keterangan: W= bobot indikator X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey Tabel 10. Nilai Skala Pembanding Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8 Kebalikan Keterangan Kedua elemen sama pentingnya, dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga lainnya, pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya, pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek. Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memeliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i Sumber: Thomas L Saaty (Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, 2008: 86) c. Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan commit toagar user menghasilkan keputusan yang adalah yang mendekati sempurna 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 0,100. Untuk memeriksa konsistensi hierarki digunakan rumus sebagai berikut: CI = ( ( ) Tabel 11. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik ) Apabila CR <0,100, maka kopmposisi prioritas dan bobot indikator dapat diterima. Ukuran Matrik 1,2 3 4 5 6 7 8 Nilai IR 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 Ukuran Matrik 9 10 11 12 13 14 15 Nilai IR 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59 Berikut ini adalah Gambaran singkat dari beberapa metode/teknik analisis yang dilakukan. 1. Mengetahui bahaya lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian. Untuk mengetahui tingkat bahaya erupsi gunung merapi, digunakan teknik skoring dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa factor bahaya yang diakibatkan oleh lontaran piroklastik jatuhan. Masing-masing indikator bahaya mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala penilaian antara 1 – 3. Skor bahaya lontaran piroklastik gunung Merapi dihitung dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran indikator bahaya masing-masing desa diketahui, tingkat bahaya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas bahaya yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kelas bahaya dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator bahaya disajikan dalam Tabel 12, hasil skoring dan pembagian kelas bahaya masing-masing desa disajikan dalam tabel 13. Nilai bahaya setiap desa dihitung dengan persamaan: H = wH1 x X’H1 + wH2 x X’H2 + wH3 x X’H3 + …… + wHn x X’Hn Keterangan: W= bobot indikator commitdari to user X’= nilai skala indikator yang diperoleh skoring data hasil survei 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 12. Tabel Skala Dan Bobot Variable Bahaya Variabel Komponen Indikator Bahaya Kemungki Kawasan nan berpotensi terlanda bahaya piroklastik jatuhan Jarak dari pusat erupsi Jenis dan ukuran piroklastik jatuhan Ketebalan endapan piroklastik Kesulitan air bersih Kerusakan tempat tinggal Kriteria Berada pada jarak 10 km dari pusat erupsi 0-5 km 6-10km Bomb ( ukuran material > 64mm ) lapilli ( ukuran material 2-64 mm ) Abu / debu ( ukuran material <2mm) >2cm <2cm Mengalami kesulitan air bersih tidak mengalami kesulitan air bersih kerusakan parah, merobohkan seluruh bangunan Kerusakan ringan, merobohkan sebagian atap tidak terdapat kerusakan yang berarti Skala Bobot 3 3 2 3 2 1 3 1 3 1 3 2 1 Kerusakan lahan pertanian kerusakan parah, terkubur kerikil dan pasir Kerusakan ringan, tertutup abu dan dapat ditanami lagi tidak terdapat kerusakan yang berarti 3 2 1 Total Bobot Dan Total Skor Variabel Bahaya Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi. D.S., Muzani, M. 2009: 19 dan modifikasi. Tabel 13. Tabel Skoring Variable Bahaya Setiap Desa No Desa Total Skor Tingkat Bahaya 1 Cluntang 2 Mriyan 3 Sangup 4 Jemowo 5 Sumur 6 Lanjaran 7 Sruni 8 Ringinlarik 9 Kebangsari 10 Wonodoyo 11 Jombong 12 Sumbung 13 Gedangan 14 Sukabumi 14 Genting 16 Cepogo 17 Mliwis commit to user 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah penelitian. Untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat, digunakan teknik skoring dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa indikator kerentanan masyarakat terhadap lontaran piroklastik jatuhan. Masingmasing indikator kerentanan mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala penilaian antara 1 – 3. Skor kerentanan masyarakat dihitung dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran indikator kerentanan masing-masing desa diketahui, tingkat kerentanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas kerentanan yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kelas kerentanan dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator kerentanan disajikan dalam Tabel 14, hasil skoring dan pembagian kelas kerentanan masing-masing desa disajikan dalam tabel 15. Nilai bahaya setiap desa dihitung dengan persamaan: V = wV1 x X’V1 + wV2 x X’V2 + wV3 x X’V3 + …… + wVn x X’Vn Keterangan: W= bobot indikator X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey commit to user 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 14. Tabel Skala dan Bobot Variable Kerentanan Variabel Komponen Indikator Kerenta Kerentana Presentase nan n sosial penduduk lansia ( >65 tahun ) Presentase penduduk < 5 tahun Presentase ibu hamil Sikap masyarakat menghadapi bencana Partisipasi komunitas Kerentana n lingkunga n Ketersediaan air bersih Kerentana n fisik Tipe bangunan Akses jalan Transportasi Kerentana n ekonomi Tingkat kesejahteraan Kriteria Persentase <10% Persentase 10-20% Persentase >20% Skala 1 2 Bobot 3 Persentase <10% 1 Persentase 10-20% 2 Persentase >20% 3 Persentase <10% 1 Persentase 10-20% 2 Persentase >20% 3 Masyarakat bersikap pasrah 3 Masyarakat menunggu pemberitahuan 2 pemerintah Masyarakat aktif mempersiapkan diri 1 menghadapi bencana Semua masyarakat sadar melakukan 3 tindakan pengurangan risiko Sebagian masyarakat sadar melakukan 2 tindakan pengurangan risiko Masyarakat tidak melakukan tindakan 1 pengurangan risiko Air bersih tersedia dari mata air/sumur, dari pdam, dapat langsung 1 diakses ke rumah warga Air bersih tersedia dari mata air, tidak 2 menjangkau rumah warga Air bersih berasal dari penampungan 3 air hujan Bangunan permanen >60% 1 Bangunan permanen 30-60% 2 Bangunan permanen <30% 3 Aspal 1 Makadam 2 Batu kerikil 3 Kendaraan beroda 4 muatan banyak 1 (truk) Kendaraan beroda 4 muatan sedikit 2 (mobil) Kendaran roda 2/jalan kaki 3 Masyarakat sejahtera >60% 1 Masyarakat sejahtera 30-60% 2 Masyarakat sejahtera <30% 3 Total Bobot dan Skor Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi. D.S., Muzani, M. 2009: 19 (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi Agustus, 2010) dan modifikasi. commit to user 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 15. Tabel Skoring Variable Kerentanan Setiap Desa No Desa Total Skor Tingkat Kerentanan 1 Cluntang 2 Mriyan 3 Sangup 4 Jemowo 5 Sumur 6 Lanjaran 7 Sruni 8 Ringinlarik 9 Kebangsari 10 Wonodoyo 11 Jombong 12 Sumbung 13 Gedangan 14 Sukabumi 14 Genting 16 Cepogo 17 Mliwis 3. Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi masyarakat di daerah penelitian. Untuk mengetahui sarana social ekonomi masyarakat, digunakan teknik skoring dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa indikator keberadaan sarana social ekonomi masyarakat. Masing-masing indikator keberadaan sarana social ekonomi mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala penilaian antara 1 – 3. Skor keberadaan sarana social ekonomi masyarakat dihitung dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran indikator keberadaan sarana social ekonomi masingmasing desa diketahui, tingkat keberadaan sarana social ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kelas keberadaan sarana social ekonomi dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator keberadaan sarana social ekonomi disajikan dalam Tabel 16, hasil skoring dan pembagian kelas keberadaan sarana social ekonomi masing-masing desa disajikan dalam tabel 17. Nilai keberadaan sarana social ekonomi setiap desa dihitung dengan persamaan: commit to user 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E = wE1 x X’E1 + wE2 x X’E2 + wE3 x X’E3 + ………..+ wEn x X’En Keterangan: W= bobot indikator X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey Tabel 16. Skala Variabel Keberadaan Sarana Sosial Ekonomi Variabel Komponen Indikator Keberad Populasi Kepadatan aan penduduk Bangunan fisik Rumah, sekolah, tempat ibadah, kantor pemerintahan, pasar Infrastrukt ur sarana air bersih Ketersediaan sarana air bersih Kekayaan desa ( pad ) Total kekayaan desa Kriteria Skala Kepadatan penduduk <10 1 jiwa/ha Kepadatan penduduk 10-25 2 jiwa/ha Kepadatan penduduk >25 3 jiwa/ha Terdapat rumah, sekolah, tempat ibadah, kantor 3 pemerintahan, dan pasar Terdapat rumah, sekolah, tempat ibadah, kantor 2 pemerintahan, Terdapat rumah, tempat ibadah, 1 kantor pemerintahan Sarana air meliputi pipa saluran air bersih, bak penampungan 3 air, irigrasi Sarana air meliputi pipa saluran air bersih, bak penampungan 2 air Sarana air meliputi bak 1 penampungan air < 50 juta rupiah dalam satu 1 tahun Antara 50 juta sampai 100 juta 2 rupiah dalam satu tahun > 100 juta rupiah dalam satu 3 tahun Total Bobot dan Skor Bobot Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi. D.S., Muzani, M. 2009: 19 dan modifikasi. commit to user 61 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 17. Skoring Variable Keberadaan Setiap Desa No Desa Total Skor Tingkat keberadaan 1 Cluntang 2 Mriyan 3 Sangup 4 Jemowo 5 Sumur 6 Lanjaran 7 Sruni 8 Ringinlarik 9 Kebangsari 10 Wonodoyo 11 Jombong 12 Sumbung 13 Gedangan 14 Sukabumi 14 Genting 16 Cepogo 17 Mliwis 4. Mengetahui kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah penelitian. Untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat, digunakan teknik skoring dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa indikator kapasitas masyarakat terhadap lontaran piroklastik jatuhan. Masing-masing indikator kapasitas masyarakat mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala penilaian antara 1 – 3. Skor kapasitas masyarakat dihitung dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran indikator kapasitas masyarakat masing-masing desa diketahui, tingkat kapasitas masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas kapasitas yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kelas kapasitas masyarakat dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator kapasitas masyarakat disajikan dalam Tabel 18, hasil skoring dan pembagian kelas kapasitas masyarakat masing-masing desa disajikan dalam tabel 19. Nilai kapasitas setiap desa dihitung dengan persamaan: commit to user 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C = wC1 x X’C1 + Wc2 x X’C2 + wC3 x X’C3 + ……… + wCn x X’Cn Keterangan: W= bobot indikator X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey Tabel 18. Tabel Skala dan Bobot Variable Kapasitas Variabel Komponen Indikator Kapasit Kapasitas Penyuluhan as masyaraka kebencanaan t Kapasitas institusion al dan menejeme n bencana Kriteria Mendapat pemyuluhan secara berkala sebelun dan sesudah bencana langssung kepada warga Mendapat penyuluhan hanya sesudah terjadi bencana, melalui perwakilan warga Tidak/belum mendapat penyuluhan kebencanaan Pelatihan / Mendapat pelatihan / simulasi tanggap simulasi darurat sebelum dan sesudah kejadian tanggap bencana, langsung melibatkan semua darurat warga bencana Mendapat pelatihan / simulasi tanggap darurat sesudah bencana, melalui perwakilan warga Tidak / belum mendapatkan pelatihan / simulasi tanggap darurat Partisipasi Masyarakat secara individu maupun publik kelompok sadar dan melakukan dalam tindakan pengurangan risiko bencana pengurangan Sebagian masyarakat sadar melakukan risiko tindakan pengurangan risiko bencana Masyarakat tidak melaukan tindakan pengurangan risiko bencana Kelompok Terdapat kelompok penanggulangan lokal bencana yang aktif secara mandiri penanggulan maupun atas pengawasan pemerintah gan bencana Terdapat kelompok penanggulangan bencana, masih tergantung pemerintah Tidak terdapat kelompok penanggulangan bencana Rencara Belum memiliki rencana dan darurat persiapan darurat seperti titik kumpul sementara, lokasi pengungsian, dan penunjuk arah evakuasi Memiliki rencana dan persiapan darurat yaitu titik kumpul sementara lokasi pengungsian, dan penunjuk arah evakuasi Sistem Sistem peringatan dini canggih, peringatan menggunakan alat modern, dini menjangkau seluruh warga Sistem peringatan dini semi modern, perpaduan alat tradisional dan modern, tidak menjangkau seluruh warga commit to user dini secara Sistem peringatan tradisional, kurang menjangkau Skala 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 1 3 3 2 1 Bobot 63 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sistem komunikasi Menejemen risiko Kapasitas pemerintah lokal/desa Peta bahaya Kapasitas ekonomi Ketersediaan dana darurat Akses memperoleh bantuan nasional warga Sistem komunikasi perpaduan antara tradisional dan modern, dan secara lengkap, misal menggunakan kentongan, ht, hp, sirine, radio Sistem komunikasi perpaduan antara tradisional dan modern, namun kurang lengkap Sistem komunikasi masih tradisional Warga bersama pemerintah menyusun rencana aksi pengurangan risiko bencana Tidak terdapat rencana aksi pengurangan risiko bencana Pemerintah lokal memiliki inisiatif pengurangan risiko bencana, dan siap melakukan tindakan tanpa harus menunggu pemerintah pusat Pemerintah lokal memiliki inisiatif pangurangan risiko bencana namun tetap menunggu unstruksi pemerintah Pemerintah lokal menunggu instruksi pemerintah pusat Terdapat peta bahaya, jumlahnya banyak dan dipasang di tempat umum Terdapat peta bahaya, jumlahnya sedikit, terdapat di kantor kepala desa Tidak terdapat peta bahaya Memiliki dana alokasi khusus kebencanaan Tidak memiliki dana alokasi khusus kebencanaan Memiliki hubungan baik dengan lembaga pemerintah maupun nonpemerintah di bidang kebencanaan Memiliki hubungan dan dukungan hanya dari lembaga pemerintah Tidak memiliki hubungan dan dukungan dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah lainnya 3 2 1 3 1 3 2 1 3 2 1 3 1 3 2 1 Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi. D.S., Muzani, M. 2009: 19 (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi Agustus, 2010) dan modifikasi. commit to user 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 16 17 Tabel 19. Skoring Variable Kapasitas Setiap Desa Desa Total Skor Tingkat Kapasitas Cluntang Mriyan Sangup Jemowo Sumur Lanjaran Sruni Ringinlarik Kebangsari Wonodoyo Jombong Sumbung Gedangan Sukabumi Genting Cepogo Mliwis 5. Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian. Perhitungan risiko (risk) lontaran material piroklastik dapat dilakukan dengan memperhitungkan nilai bahaya (hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai keberadaan (exposure) dan nilai kapasitas (capasity). Penilaian risiko lontaran piroklastik berdasarkan hasil penskoran data yang diperoleh sesuai tujuan 1 - 4, dengan skala setiap indikator antara 1-3. Setelah diketahui besarnya nilai bahaya (hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai keberadaan (exposure) dan nilai kapasitas (capasity) di setiap desa, kemudian dilakukan penilaian risiko dengan rumus sebagai berikut: R = (wH+wV+wE) – wC Keterangan: R : Risiko V : Kerentanan (vulnerability) w : total skor E : Keberadaan (exposure) H : Bahaya (hazard) C : Kapasitas (capasity) Pemetaan tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian dilakukan berdasarkan data penghitungan penilaian risiko di masing-masing desa. Dalam peta ini tingkat risiko dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelas, dengan interval yang dihitung dengan rumus: – commit to user 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Untuk mempermudah analisis dan perhitungan untuk menilai risiko, maka nilai bahaya (hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai keberadaan (exposure) dan nilai kapasitas (capasity) di setiap desa disajikan dalam satu Tabel seperti Tabel 20. Kelas risiko disajikan dalam Tabel 21. Tabel 20. Penghitungan Skor Risiko No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Desa Skor Bahaya Skor Kerentanan Skor Keberadaan Skor Kapasitas Skor Risiko *) Cluntang Mriyan Sangup Jemowo Sumur Lanjaran Sruni Ringinlarik Kembangsari Wonodoyo Jombong Sumbung Gedangan Sukabumi Genting Cepogo Mliwis *) Skor Risiko diperoleh dari (Skor Bahaya+Skor Kerentanan+Skor Keberadaan) - Skor Kapasitas Tabel 21. Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 16 17 Desa Cluntang Mriyan Sangup Jemowo Sumur Lanjaran Sruni Ringinlarik Kebangsari Wonodoyo Jombong Sumbung Gedangan Sukabumi Genting Cepogo Mliwis Skor Risiko commit to user Tingkat Risiko 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dari awal sampai akhir penelitian. Penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan Tahap persipan meliputi kegiatan studi pustaka guna memperoleh literature dan hasil penelitian yang relevan serta melakukan kajian data awal untuk keperluan penyusunan proposal. 2. Tahap Penyusunan Proposal Proposal penelitian merupakan tahap awal yang harus dilakukan sebelum melakukan suatu penelitian yang kemudian digunakan untuk mengurus perijinan birokrasi penelitian. Dalam proposal penelitian, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, kajian teori, kerangka pemikiran, hasil penelitian yang relevan, serta metodologi penelitian yang digunakan. 3. Tahap Penyusunan Instrumen Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data yang memerlukan instrumen adalah wawancara untuk mengetahui karakteristik demografi masyarakat di daerah penelitian. 4. Tahap Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan kegiatan studi dokumentasi dari dokumen, buku serta arsip yang terdapat pada instansi terkait dengan masalah penelitian ini serta kerja ceking lapangan melalui observasi dan wawancara. 5. Tahap Pengolahan Data Pengolahan data merupakan pemrosesan data yang dipeoleh untuk diorganisasikan ke dalam bentuk yang lebih sederhana agar lebih mudah dibaca dan diintepretasikan. Kegiatan yang dilakukan adalah mengatur urutan data serta mengorganisasikan ke dalam suatu pola dasar sehingga mudah dilakukan penafsiran. commit to user 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 6. Tahap Penyusunan Laporan Penyusunan laporan merupakan tahap akhir dalam penelitian. Data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan skripsi. Dalam penyusunan laporan tersebut, tata cara penulisannya harus sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar. Sehingga akan memudahkan bagi para pembaca untuk memahami atau mencerna hasil penelitian yang telah dilakukan. Merupakan tahap akhir penelitian berupa penyusunan laporan dalam bentuk hardcopy dan softcopy sebagai output kegiatan penelitian secara nyata. I. Batasan Operasional Model AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternative (Saaty 2008: 85). Bencana adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang terjadi secara mendadak maupun perlahan-lahan, yang disebabkan oleh alam, manusia, atau keduanya dengan menimbulkan akibat bagi pola kehidupan dan penghidupan, gangguan pada sistem pemerintahan yang normal, atau kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat untuk menolong dan menyelamatkan manusia dan lingkungannya (Sunarto 2006:4). Risiko merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana). commit to user 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bahaya adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik dari faktor alam, dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda , dan dampak psikologis (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008). Kerentanan adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman (Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana: 13). Keberadaan merupakan kondisi fisik yang berpengaruh terhadap besar kecilnya risiko. Keterdapatan mempunyai peranan yang sangat penting, karena keberadaan adalah sarana penunjang kehidupan. Semakin suatu daerah memiliki populasi dan sarana social ekonomi tinggi, maka semakin besar risiko yang dimiliki (Aisyah, N., dkk, 2010: 17). Kapasitas adalah gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat resiko atau akibat dari bencana. Dapat dikatakan bahwa kapasitas merupakan kondisi masyarakat yang menunjukka kesiapan dan posisi masyarakat terhadap suatu kejadian, dalam hal ini kesiapan dalam menghadapi ancaman bencana (Aisyah N., dkk, 2010:18). Piroklastik adalah batuan hasil letusan gunungapi dapat berupa suatu hasil lelehan yang merupakan lava dan dapat pula berupa produk ledakan atau eksplorasif yang bersifat fragmental dari semua bentuk cair, gas, atau padat yang dikeluarkan dengan jalan erupsi (William 1982 dalam Endarto, 2005:47). commit to user 69 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Peta KRB Peta zona aman Batas risiko lontaran piroklastik Batas administrasi daerah penelitian Identifikasi faktor risiko lontaran piroklastik Faktor bahaya, faktor kerentanan, faktor keberadaan, faktor kapasitas Pembobotan indikator faktor risiko dengan metode AHP Kerja lapangan Skoring Skor bahaya Skor kerentanan Skor keberadaan Skor kapasitas Peta bahaya Peta kerentanan Peta keberadaan Peta kapasitas Peta risiko lontaran piroklastik Analisis peta risiko lontaran piroklastik commit to user Gambar 5. Diagram Alir Penelitian.