BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu umumnya dikenal dengan nama ubi kayu merupakan komoditi yang banyak ditanam di Indonesia. Ubi kayu (Manihot esculenta) mempunyai arti terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain. Ubi kayu berbentuk seperti silinder yang ujungnya mengecil dengan diameter rata-rata 2-5 cm dan panjang sekitar 20 – 30 cm. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam bentuk masih berkulit. Umbinya memiliki kulit yang terdiri dari dua lapis yaitu kulit luar dan kulit dalam. Daging ubi berwarna putih atau kuning. Dibagian tengah daging umbi terdapat suatu jaringan yang tersusun atas serat. Ubi kayu segar banyak mengandung air dan pati. Pengeringan umbi-umbian sering dilakukan sebagai usaha pengawetan (Muchtadi, 1989). Di Indonesia, ketela pohon menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk keperluan yang lain seperti bahan obatobatan. Kayunya dapat digunakan sebagai pagar kebun atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan (Rukmana, 1997). Klasifikasi tanaman ketela pohon menurut Rukmana (1997), adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji Sub divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua 6 7 Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Spesies : Manihot utilissima Pohl.; Manihot esculenta Crantz sin. Ciri-ciri utama ubi kayu jalaktowo adalah jenis ubi kayu jalaktowo memiliki warna daging yang putih, dengan diamater kurang lebih 7-10 cm. Lama waktu panen ubi kayu jalaktowo kurang lebih 8 hingga 12 bulan setelah tanam. Ubi kayu merupakan tanaman tipikal daerah tropis. Iklim panas dan lembab dibutuhkan untuk pertumbuhannya sehingga tanaman ini tidak dapat tumbuh pada suhu kurang dari 10oC. Suhu optimum pertumbuhan sekitar 25-27oC dan tumbuh baik pada ketinggian 1500 m atau lebih. Curah hujan yang diperlukan rata-rata 500-5000 mm per tahun. Ubi kayu dapat tumbuh pada tanah berpasir hingga tanah liat, maupun pada tanah yang rendah kesuburannya (Grace, 1977). Komposisi kimia ubi kayu hampir sama dengan komposisi umbi-umbian lain didaerah tropis. Komposisi tersebut dapat dipengaruhi oleh varietas tanaman, tanah, umur, iklim (Misgiyarta, 2009). Ubi kayu mengandung pati yang sangat tinggi. Kandungan pati sangat dipengaruhi oleh umur ubi kayu. Semakin tua umur ubi kayu maka kandungan patinya semakin besar (Ainuri, 1992). Pati ubi kayu merupakan granula berwarna putih, berukuran 5-35 mikron, yang disintesa dari tanaman melalui polimerissasi dari sejumlah besar glukosa dan tersedianya sebagai persediaan makanan selama masa pertumbuhan. Pati merupakan polimer glukosa yang saling mengikat melalui ikatan oksigen pada rantai 1,4-glikosidik pada rantai lurus dan 1,6 pada rantai cabang (Meyer, 1973). Ubi kayu memiliki sifat atau karakter sebagai berikut: mengandung air (65%), kadar pati (34,6%), serta sianida (HCN). Secara umum ubi kayu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ubi kayu manis yang tidak beracun dan ubi kayu pahit yang beracun. Zat yang bersifat racun pada ubi kayu adalah HCN (asam sianida). Menurut Sosrosoedirjo dan Samad (1983), 8 berdasarkan kadar HCN, ubi kayu dapat dibedakan menjadi empat golongan yaitu: a. Ubi kayu yang tidak berbahaya dengan kadar kurang dari 50 mg HCN tiap kg ubi kayu (Contoh: Adira 1, Gading). b. Ubi kayu yang agak beracun dengan kadar 50 – 80 mg HCN tiap kg ubi kayu segar (Contoh: Adira IV). c. Ubi kayu yang beracun dengan kadar 80 – 100 mg HCN tiap kg ubi kayu segar. d. Ubi kayu yang sangat beracun dengan kadar lebih dari 100 mg HCN tiap kg ubi kayi segar (Contoh: Pengkang, Pucuk Biru, Muara). Tanaman ubi kayu menjadi perhatian utama sebagai sumber karbohidrat selain beras karena budidayanya sederhana dan biaya pengusahaannya relatif lebih murah dibandingkan tanaman lain. Selain itu ubi kayu mempunyai tingkat produksi yang tinggi dengan biaya produksi yang rendah (Muljoharjo, 1981). Ubi kayu lebih baik dipanen pada saat kadar air mencapai 50 – 80 persen. Diatas kadar air tersebut kurang menguntungkan, karena ubi yang didapat banyak mengandung air dan kadar patinya rendah. Pemanenan di bawah kadar air 50 persen menghasilkan umbi yang keras karena umbi menjadi berkayu sehingga banyak mengandung serat (Wahyuningsih, 1990). Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang mempunyai pola hubungan antara tingkat ketuaan, kekerasan dan kandungan pati. Hal ini sesuai dengan Abbot dan Harker (2001) dan Wills et al (2005) yang menyatakan bahwa pada umumnya dengan bertambahnya tingkat ketuaan umbi-umbian akan semakin keras teksturnya karena kandungan pati yang semakin meningkat, akan tetapi apabila terlalu tua kandungan seratnya bertambah sedangkan kandungan pati menurun. Waktu panen ubi kayu berkisar antara 9 – 12 bulan (Kartasapoetra, 1994). 9 2. MOCAF (Modified Cassava Flour) Mocaf adalah tepung dari ubi kayu yang diproduksi dengan prinsip memodifikasi sel ubi kayu melalui fermentasi bakteri asam laktat (BAL). Mocaf adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung ubi kayu yang dimodifikasi. Cara lain pembuatan mocaf adalah dengan cara memendam sawut ubi kayu dengan penambahan enzim tertentu (Subagio, 2009). Secara umum penimbangan, proses pengupasan, pembuatan mocaf pemotongan, meliputi perendaman tahap-tahap (fermentasi), pengeringan dan penepungan. Karakteristik mocaf dipengaruhi oleh jenis kultur dan lama fermentasi ubi kayu (Amanu, 2014). Ubi kayu mengandung senyawa sianogenik yang terdiri dari linamarin dan lotaustralin dengan perbandingan 10 : 1 (dimana senyawa ini dapat berubah menjadi sianida yang sangat beracun). Sedangkan Lotaustralin memiliki jumlah yang lebih sedikit apabila dibandingkan denga linamarin. Perbandingannya berkisar antara 3-7% lotustralin berbanding dengan 93-97% linamarin. Linamarin dan lotaustralin larut dalam air dan dapat hancur oleh panas diatas suhu 1500C (Nambisan, 1999). Oleh karena itu perlu dilakukan proses pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan kandungan sianogenik pada ubi kayu. Mocaf dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176 – 1989 (Rev. 1 – 1995). Walaupun dari komposisi kimianya tidak terlalu jauh berbeda, mocaf mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung ubikayu pada umumnya (Subagio, 2009). Ciri khas dari mocaf berupa tepung yang citarasa ubi kayu telah hilang. Tetapi yang istimewa pada mocaf yaitu tidak mengandung gluten sehingga aman untuk penderita autism (Duryatmo, 2009). Perbandingan komposisi kimia mocaf dan tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1. Mocaf memiliki karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung ubi kayu pada umumnya. 10 Kandungan protein mocaf lebih rendah apabila dibandingkan dengan tepung ubi kayu, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa. Tabel 2.1 Perbedaan Komposisi Kimia MOCAF dengan Tepung Ubi kayu No 1 2 3 4 5 6 7 Parameter Mocaf Kadar air (%) Max 13 Kadar protein (%) Max 1,0 Kadar abu (%) Max 0,2 Kadar pati (%) 87 Kadar serat (%) 3,4 Kadar lemak (%) 0,8 Kadar HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Sumber: Codex Stan 176-1989 Tepung Ubi kayu 13 1,2 0,2 85 4,2 0,8 Tidak terdeteksi Tabel 2.2 Perbedaan Sifat Fisik MOCAF dengan Tepung Ubi kayu No 1 2 3 4 Parameter Mocaf Besar Butiran (mesh) Max 80 Derajat Keputihan 88 - 91 Kekentalan (mPa.s) 52 – 55 (2% pasta panas) Kekentalan (mPa.s) 75 – 77 (2% pasta dingin) Sumber: Codex Stan 176-1989 Tepung Ubi kayu Max 80 85 – 87 20 – 40 (2% pasta panas) 30 – 50 (2% pasta dingin) Untuk perbandingan sifat organoleptik mocaf dan tepung ubi kayu tercantum dalam Tabel 2.3.Mocaf menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi citarasa dan aroma ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan diolah. Hal ini diakibatkan oleh hidrolisis granula pati yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. 11 Tabel 2.3 Perbedaan Sifat Organoleptik MOCAF dengan Tepung Ubi kayu No 1 2 3 Parameter Mocaf Warna Putih Aroma Netral Rasa Netral Sumber: Codex Stan 176-1989 Tepung Ubi kayu Putih agak kecoklatan Kesan ubi kayu Kesan ubi kayu Menurut Wahyuningsih (2009) ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar dihasilkan mocaf dengan mutu baik, antara lain sebagai berikut: a. Bahan Baku: 1. Varietas ubi kayu mempengaruhi karakteristik mocaf yang dihasilkan, dimana berbeda varietas akan berbeda cara fermentasi dan aplikasinya, misalkan untuk varietas mentega sangat baik untuk kue dan biskuit. 2. Umur ubi yang digunakan sebaiknya berumur sedang (jika terlalu tua serat banyak dan jika terlalu muda rendemen akan kurang). 3. Mutu baik, tidak bogel atau bercak-bercak hitam (tanda disimpan sudah lama) b. Selama penelitian, hindari dari kontaminasi dengan kotoran agar hasil bisa putih dan bersih. c. Fermentasi harus berjalan sempurnya, waktu fermentasi menjadi sangat penting secara teknis maupun ekonomis. Lama fermentasi tergantung dari tipe produk yang dikehendaki. d. Jika menggunakan alat pengering. Suhu pengeringan tidak boleh terlalu tinggi agar pati tidak mengalami gelantinisasi dan tidak terlalu rendah yang menyebabkan tumbuhnya jamur selama pengeringan (± 50oC). e. Pengayakan semakin kecil semakin baik, tetapi jumlah sortiran juga akan semakin besar. Apabila dibandingkan dengan pati tapioka, viskositas mocaf lebih rendah. Hal ini disebabkan karena pada tapioka komponen pati mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada mocaf komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun apabila lama fermentasi 72 jam akan didapatkan produk mocaf yang mempunyai viskositas mendekati tapioka. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi yang lama maka akan 12 semakin banyak sel ubi kayu yang pecah sehingga liberasi granula pati menjadi sangat ekstensif. Liberasi pati akan memudahkan membentuk jaringan tiga dimensi antar komponen, sehingga mendorong timbulnya konsistensi yang lebih baik dari produk. Liberasi pati ini juga meningkatkan kemampuan mengikat air dan mendorong kemudahan terdispersinya butirbutir tepung pada sistem pangan (Wahyuningsih, 2009). Aminudin, dkk. (2010), telah mencoba membuat mocaf dengan bakteri asal laktat berupa Lactobacilus achidophillus FNCC 0051 dan Lactobacillus plantarum FNCC 0125, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa inokulasi dengan L. Plantarum sebanyak 106 cfu/ml dihasilkan mocaf terbaik dengan keasaman berupa asam laktat 0,29%. Mocaf tersebut berwarna putih, sifat pengembangan sebesar 6,8 ml/g atau 99,31%; viskositas puncak 6,95 dP (85oC) dan balik 11,17 dP (27oC) lebih tinggi daripada tepung ubi kayu yang tidak difermentasi. Konsistensi gel yang dihasilkan pun sangat tinggi. Semakin lama fermentasi, maka viskositas pasta panas dan dingin akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan selama fermentasi mikrobia akan mendegradasi dinding sel yang menyebabkan pati dalam sel akan keluar (Subagio, 2009). 13 Tabel 2.4 Syarat Mutu Mocaf Menurut SNI No 1 1.1 1.2 1.3 2 3 4 4.1 4.2 5 6 7 8 9 10 11 12 12.1 12.2 12.3 12.4 13 14 14.1 Kriteria Uji Keadaan Bentuk Bau Warna Benda-benda asing Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak Kehalusan Lolos ayakan 100 mesh Lolos ayakan 80 mesh Kadar air Abu Serat Kasar Derajat putih (MgO = 100) Belerangdioksida (SO2) Derajat asam Satuan Persyaratan - Serbuk halus Normal Putih Tidak ada Tidak ada %b/b %b/b %b/b %b/b %b/b %b/b ml NaOH 1 N/100 g/mg/kg mg/kg Min. 90 100 Maks. 13 Maks. 1,5 Maks. 2,0 Min. 87 Negatif Maks. 4,0 HCN Cemaran logam Cadmium (Cd) mg/g Timbal (Pb) mg/g Timah (Sn) mg/g Merkuri mg/g Cemara Arsen (As) mg/g Cemaran Mikroba Angka Lempeng Total (35oC, 48 Koloni/g jam) 14.2 Escherichia coli APM/g 14.3 Bacillus cereus Koloni/g 14.4 Kapang Koloni/g Sumber: SNI 7622-2011 Maks. 10 Maks. 0,2 Maks. 0,3 Maks. 40,0 Maks. 0.05 Maks. 0,5 Maks. 1 x 106 Maks. 10 < 1 x 104 Maks. 1 x 104 14 3. Fermentasi Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan pangan yang disebabkan oleh enzim. Enzim yang berperan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan tersebut (Buckle et al., 2007). Fermentasi merupakan istilah umum yang menunjukkan degradasi glukosa atau bahan organik secara anaerob (Lehninger, 1982). Produk pangan fermentasi dihasilkan dengan melibatkan aktivitas mikroba dalam produksinya. Selama fermentasi terjadi aktivitas pemecahan komponen pangan karena aktivitas enzimatis mikroba terutama enzim amilase, protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi komponen-komponen sederhana seperti asam, alkohol, karbondioksida, peptide, asam amino, asam lemak dan komponenkomponen lainnya. Secara bersama-sama komponen-komponen tersebut menyebabkan modifikasi tekstur, aroma dan rasa sehingga dihasilkan karakteristik produk yang unik dan berbeda dengan produk asalnya (Syamsir, 2010). Proses fermentasi ini dapat dijelaskan dari beberapa faktor; (a) Sebagai bakteri yang bersifat fakultatif anaerob BAL dapat membangun proses fermentasi, dimana oksigen masih terdapat pada media, dengan laju pertumbuhan BAL yang cepat dengan banyak terdapatnya gula-gula yang dapat difermentasi (sukrosa, glukosa, dan fruktosa), fermentasi tersebut dapat mendukung tumbuhnya flora lainnya; (b) BAL memproduksi sejumlah besar asam laktat sehingga menurunkan pH dengan cepat sekitar pH 4.5, dengan demikian lingkungan pertumbuhannya menjadi bersifat selektif terhadap mikroorganisme yang tidak bersifat toleran terhaap asam (Loebis, 2012). Terdapat dua macam fermentasi, yaitu fermentasi spontan (alami) dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang berjalan secara alami tanpa adanya penambahan starter. Sedangkan fermentasi tidak spontan adalah fermentasi yang berlangsung dengan penambahan starter atau ragi. Kekurangan dari fermentasi spontan adalah 15 memerlukan waktu yang lama dan dan resiko gagal yang tinggi. Gagalnya fermentasi dapat menyebabkan hasil jadi busuk dan atau tumbuhnya mikrobia pathogen dan beresiko terhadap kesehatan (Huch et al, 2008). Dengan adanya penambahan starter pada media fermentasi membuat proses fermentasi menjadi lebih terkontrol daripada fermentasi alami (Giraud et al, 1994). Proses fermentasi dalam pembuatan tepung modifikasi ubi kayu bertujuan untuk meningatkan nilai gizi dan memperbaiki sifat fisikokimia yang terkandung di dalam tepung modifikasi ubi kayu (Darmawan dkk, 2013). Fermentasi ubi kayu melalui proses perendaman (retting) dapat mereduksi toksin cyanogen yang terdapat secara indigenus pada berbagai konsentrasi (300 hingga 500 ppm), dan meningkatkan palatibilitas umbi tersebut untuk proses lebih jauh. Dengan proses fermentasi, umbi menjadi lunak, cyanigenik glikosida indigenus (linamarin dan lotaustralin) akan terdegradasi (Ayarnor, 1985), dan akan terbangun karakteristik flavor (Ampe et al dan Oyewole, 1990). Menurut Tester dan Karkalas (1996) dalam Nur Richana dan Suarni (2010) pada proses gelantinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen berperan mempertahankan struktur integritas granula. Terdapat gugus hidroksil bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air. 4. Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif yang tidak membentuk spora dan dapat memfermentasikan karbohidrat untuk menghasilkan asam laktat (Frazier, 1998). Dalam pengolahan pangan BAL dapat melindungi dari pencemaran bakteri patogen, meningkatkan nutrisi, dan berpotensi memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia. Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat 16 (glukosa) menjadi asam laktat. Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat (Amin dan Leksono, 2001). Hampir semua BAL hanya memperoleh energi dari metabolisme gula sehingga habitat pertumbuhannya hanya terbatas pada lingkungan yang menyediakan cukup gula atau bisa disebut dengan lingkungan yang kaya nutrisi. Kemampuan mereka untuk menghasilkan senyawa (biosintesis) juga terbatas dan kebutuhan nutrisi kompleks BAL meliputi asam amino, vitamin, purin dan pirimidin (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari metabolisme gula (karbohidrat). Asam laktat yang dihasilkan akan menurunan nilai pH dan menimbulkan rasa asam. Keadaan ini juga dapat mengambat pertumbuhan beberapa jenis mikroorganisme lainnya (Buckle, 1985). Bakteri asam laktat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Golongan homofermentatif mampu memfermentasi gula menghasilkan sebagian besar asam laktat (>85%) dan menghasilkan sejumlah kecil asam asetat, CO2 dan zat-zat volatile. Sedangkan golongan heterofermentatif hanya mampu menghasilkan asam laktat kurang dari 50% dan sejumlah besar asam asetat, etanol, gliserol, manito dan CO2 (Sneath, 1984). Keuntungan penggunaan bakteri asam laktat untuk industri adalah sifatnya yang non patogenik, tidak membentuk toksin, mikroaerofilik, dan aerotoleran sehingga membutuhkan proses fermentasi yang sederhana, dapat tumbuh dengan cepat, dapat memfermentasi berbagai jenis substrat yang murah, dan pertumbuhannya mampu mencegah pembusukan dan kontaminasi oleh mikroba lain, serta dapat memproduksi bakteriosin (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Bakteri asam laktat disebut food grade microorganism atau dikenal sebagai organisme yang Generally Recognized As Save (GRAS) yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan bahkan beberapa 17 jenis bakteri tersebut berguna bagi kesehatan. Bakteri asam laktat (BAL) bermanfaat untuk peningkatan kualitas higiene dan keamanan pangan melalui penghambatan secara alami terhadap flora berbahaya bersifat pathogen. bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai pengawet makanan karena mampu memproduksi asam organik, menurunkan pH lingkungannya dan mensekresikan senyawa yang mampu menghambat mikroorganisme pathogen seperti H2O2, diasetil, CO2, asetaldehid, d-isomer asam amino dan bakteriosin (Kusmiati, 2002). Bakteri asam laktat akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Subagio, 2008). Selanjutnya granula pati tersebut mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik terutama asam laktat yang akan terimbibisi (terperangkap) dalam bahan dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak disukai konsumen. Aroma alami ubi kayu hampir hilang sehingga terjadi peningkatan dalam penerimaan sensorinya (Loebis, 2012). Mekanisme fermentasi asam laktat dapat dianggap berlangsung dari glukosa melalui pembentukan asam piruvat menjadi asam laktat. Berikut merupakan fermentasi asam laktat: Reaksinya: C6H12O6 2C2H5OCOOH + Energi energi Prosesnya: 1. Glukosa asam piruvat (proes Glikolisis) energi C6H12O6 2C2H3OCOOH + Energi 2. Dehodrohenasi asam piruvat akan membentuk asam laktat 2 C2H3OCOOH + 2 NADH2 C2H5OCOOH + 2 NAD Piruvat Dehidrogenasi 18 Energi yang terbentuk dari glikolisis hingga terbentuk asam laktat: 8 ATP – 2 NADH2 = 8-2 (3 ATP) = 2 ATP (Poedjiadi, 1994) 5. Lactococcus lactis Lactococcus lactis termasuk genus Streptococcus, grup Lactic Streptococci dan famili Streptococcaceae (Schleifer, 1986). L. lactis merupakan bakteri asam laktat homofermetatif, bersifat gram positif, katalase negatif, berbentuk kokus atau bulat yang hidup secara berpasangan membentuk rantai pendek atau panjang (Frazier dan Westoff, 1978). Diameternya kurang dari 2µm (Pelczar dan Chan, 1988). Spesies ini tidak dapat hidup pada pH 9,2 dan 9,6; konsentrasi NaCl 4%; suhu 39,5oC dan 40oC; tidak dapat hidup pada kondisi suhu 60oC selama 30 menit; tidak memproduksi NH3 dari arginin; dapat tumbuh pada suhu 10oC; tidak memproduksi asetoin/diasetil serta termasuk grup N serologis (Sharpe, 1979). Bakteri ini tahan terhadap konsentrasi garam tidak lebih dari 2-4% dan kebutuhan nutrisi bakteri ini kompleks dengan suhu optimumnya sekitar 37oC. Boonme et al. (2003) mengatakan bahwa Lactococcus lactis dapat tumbuh dan menghasilkan asam laktat secara optimim pada suhu 30oC dengan pH 6,5. L. lactis mempunyai habitat hidup pada susu dan produk susu. L. lactis menghasilkan bakteriosin nisin. Nisin merupakan bakteriosin yang mempunyai spektrum luas yaitu memiliki daya antimikroba terhadap berbagai jenis mikroorganisme seperti Bacillus, Clostridium, Streptococcus, Staphylococcus, Lactococcus, dan Micrococcus (Marugg, 1991). Penelitian Rekapermana (1995) menunjukkan bahwa L. lactis menghasilkan bakteriosin dan hidrogen peroksida yang mampu menekan pertumbuhan P. Flourescens dan Alcaligenes. Lactococcus lactis bersifat hormofermentatif yang sebagian besar hasilnya merupakan asam laktat. Glukosa dioksidasi menjadi piruvat melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP), selanjutanya piruvat direduksi 19 menjadi asam laktat oleh enzim lakltat dehidrogenase menggunakan kelebihan NADH (Page, 1989). B. Kerangka Berpikir Ubi kayu merupakan salah satu sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari angka tetap (ATAP) BPS tahun 2013 mencapai 23,93 juta ton diperkirakan pada tahun 2014 berdasarkan angka ramalan (Aram) I BPS 2014 produksi tersebut meningkat menjadi 26,4 juta ton atau naik sebesar 10,38%. Pemanfaatan ubi kayu untuk menaikkan nilai ekonomisnya akhir-akhir ini dinilai masih kurang. Ubi kayu dapat dijadikan tepung dan digunakan sebagai pensubtitusi tepung gandum dalam pembuatan produk pangan. Akan tetapi tepung ubi kayu memiliki beberapa kelemahan yaitu warna kurang putih, viskositas rendah, daya rehidrasi rendah dan aroma ubi kayu yang sangat khas, hal inilah yang membuat tepung ubi kayu kurang diminati. Sehingga dikembangkan tepung ubi kayu yang diolah dengan menggunakan teknologi fermentasi terlebih dahulu, yang hasilnya dikenal dengan nama mocaf (Modified Cassava Flour). Mocaf (Modified cassava flour) merupakan produk tepung dari ubi kayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikroba yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan, berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut. Secara umum proses pembuatan mocaf meliputi tahap-tahap penimbangan, pengupasan, pemotongan, perendaman (fermentasi), pengeringan dan penepungan. Konsentrasi starter dan lama fermentasi diduga memberikan pengaruh terhadap sifat fisik-kimia mocaf yang dihasilkan meliputi warna (derajat putih), viskositas, daya serap air, kadar pati, derajat keasaman, kadar asam total dan total padatan terlarut. Bahan yang digunakan adalah ubi kayu varietas Jaraktowo yang diperoleh dari Pasar Tawangmangu dan starter yang digunakan adalah Lactococcus lactis. Secara lebih jelas kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. 20 Kebutuhan tepung terigu meningkat Adanya inovasi tepung Ubikayu Umumnya digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku pembuatan gaplek. Karakteristik tepung ubi kayu tanpa modifikasi tidak menarik dan nilai ekonomi kurang. - Viskositas rendah - Warna tepung kurang putih - Rasa ubi kayu masih khas Perlu adanya modifikasi agar didapatkan karakteristik yang diinginkan MOCAF (Modified Cassava Flour) Dapat menambah nilai ekonomis tepung ubikayu dan memperbaiki mutu mocaf Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: Adanya pengaruh lama waktu fermentasi dan konsentrasi starter bakteri Lactococcus lactis FNCC 0086 terhadap sifat fisik dan kimia mocaf.