PARLIAMENTARY BRIEF Series #4 Tindak Pidana Terkait Kelautan dan Kemaritiman Dalam Rancangan KUHP Penulis : Ahmad Martin Hadiwinata Editor : Supriyadi Widodo Eddyono 2016 ii | Parliamentary Brief Parliamentary Brief : Series #4 Tindak Pidana Terkait Kelautan dan Kemaritiman Dalam Rancangan KUHP Penulis Ahmad Martin Hadiwinata Editor Supriyadi Widodo Eddyono Desain Sampul Antyo Rentjoko Sumber Gambar Freepik.com Lisensi Hak Cipta This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License ISBN : 978-602-6909-27-5 Diterbitkan oleh : Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, PasarMinggu Jakarta Selatan, Indonesia – 12510 Phone/Fax. (+62 21) 7945455 E-mail: [email protected] Website: icjr.or.id Berkolaborasi dengan : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dipublikasikan pertama kali pada: Mei 2016 Parliamentary Brief | iii Kata Pengantar Pada masa pemberlakuannya KUHP di Indonesia sekitar tahun 1915, prinsip kemaritiman yang dianut oleh Kerajaan Belanda adalah Mare Liberum yang menyatakan wilayah laut sebagai laut bebas yang dapat diakses oleh siapapun tanpa ada pengecualian. Konsepsi ini berhadaphadapan dengan doktrin mare clausum yang dianut sebagian negara maritim besar yang menyatakan bahwa laut tertutup dan tidak bisa diakses oleh pihak lain dengan mudah. Prinsip mareliberum tersebut digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke dalam Samudera Hindia dalam usaha memperluas perdagangan ke Nusantara. Konteks ini menunjukkan pengaturan hukum dan konsepsi kelautan pada masa itu menjadi alat untuk melindungi kepentingan dagang Belanda terhadap wilayah nusantara. Dalam KUHP hanya terdapat ketentuan mengenai tindak pidana pelayaran. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat perkembangan hukum pidana pada masa itu belum mengatur bagian laut dan perairan secara mendalam. Ditambah lagi, KUHP terbit sebelum disepakatinya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 (United Nations Convenstions on The Law of The Sea). Namun, serupa dengan KUHP, dalam R-KUHP hanya terdapat satu bagian pengaturan yang terkait khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran. Kegiatan pelayaran merupakan salah satu bagian dari aspek kegiatan kemaritiman dan menjadi bagian dari hukum terkait laut secara luas. Dalam arti luas, hukum laut mencakup segala aspek penggunaan dan pemanfaatan laut dan sumber daya yang terdapat di lautan. Hendaknya R-KUHP berjalan lebih maju dengan mengatur bidang lain, mengingat selain pelayaran, pemanfaatan laut dan kemaritiman memiliki cakupan sektor yang lebih luas diantaranya kegiatan perikanan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI Aliansi Nasional Reformasi KUHP iv | Parliamentary Brief Parliamentary Brief | v Daftar Isi Kata Pengantar……………………………………………………………………………… iii Daftar Isi……………………………………………………………………………………….. v I. Pendahuluan……………………………………………………………………………. 1 II. Perkembangan Hukum Pidana Kelautan dan Kemaritiman………. 6 III. Pengaturan Pidana Kelautan dan Kemaritiman dalam RKUHP…… 13 Profil Penulis......................................................………………………..…. 17 Profil Aliansi Nasional Reformasi KUHP …………………………………………. 19 Profil Lemaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)…………………. 21 Profil Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)……………………. 23 vi | Parliamentary Brief Parliamentary Brief | 1 I. Pendahuluan Sejak Juni 2015, Presiden Republik Indonesia telah mengajukan draft final mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut RKUHP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.1 Tindakan ini merupakan langkah yang lebih maju untuk mendorong adanya upaya perubahan terhadap Wetboek Van Strafrechts Voor Netherland Indische atau KUHP peninggalan belanda yang telah diterjemahkan berbagai pakar ke Bahasa Indonesia.2 Diketahui bersama, KUHP tidak akan terlepas dari sejarah kolonialisme di Indonesia. KUHP berserta dengan hukum-hukum lainnya dibuat untuk melindungi kepentingan dagang dari Vereenigde Oost Indische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda.3 Pada masa pemberlakuannya KUHP di Indonesia sekitar tahun 1915, prinsip kemaritiman yang dianut oleh Kerajaan Belanda adalah Mare Liberum yang menyatakan wilayah laut sebagai laut bebas yang dapat diakses oleh siapapun tanpa ada pengecualian. Konsepsi ini berhadaphadapan dengan doktrin mare clausum yang dianut sebagian negara maritim besar yang menyatakan bahwa laut tertutup dan tidak bisa diakses oleh pihak lain dengan mudah. Prinsip mareliberum tersebut digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke dalam Samudera Hindia dalam usaha memperluas perdagangan ke Nusantara.4 Konteks ini menunjukkan pengaturan hukum dan konsepsi kelautan pada masa itu menjadi alat untuk melindungi kepentingan dagang Belanda terhadap wilayah nusantara. Dalam KUHP yang dimaksud dengan wilayah laut Indonesia masih merujuk kepada aturan kolonial, yaitu "Territoriale zee en maritieme 1 Presiden Republik Indonesia. Surat No. R-35/Pres/06/2015 Perihal Rancangan UndaUnadng tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sumber: http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/07/Surat-Presiden-ke-DPRuntuk-Pembahasan-RUU-KUHP-5-Juni-2015.jpg. 2 Dikutip dari Yance Arizona yang menjelaskan bahwa telah ada kesepakatan untuk melakukan perubahan terhadap Wetboek Van Straftrechts Voor Netherland Indische (KUHP) dengan KUHP baru yang akan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Kesepakatan tersebut adalah hasil dari Seminar Hukum Nasional yang dilaksanakan pada tanggal 11 – 16 Maret 1963 di Jakarta yang terselenggara atas kerjasama Lembaga Hukum Nasional dan Perhimpunan Sarjana hukum Indonesia. Lihat Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm 20-21. 3 Alamo D. Laiman, Dewi Savitri Reni, Ronald Lengkong, dan Sigit Ardiyanto. The Indonesian Legal System and Legal Research. Publikasi September 2009; Diperbaharui Tom Kimbrough pada Juli 2011. Sumber: http://www.nyulaw global.org/globalex/ Indonesia.html. 4 Dikdik Mohamad Sodik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. PT Refika Aditama, Bandung: 2011. Hal. 5. 2 | Parliamentary Brief kringen ordonantie (TZMKO), S. 1939 442" atau disebut Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan-lingkungan Maritim 1939.5 Ketentuan ini telah dianggap tidak berlaku karena TZMKO telah dicabut oleh UU No. 4/Prp/1960 yang kemudian juga dicabut oleh UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Terakhir, telah terbit Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang secara tegas menunjuk wilayah perairan Indonesia beserta dengan hak-hak yang melekat dalam wilayah tersebut. Dalam KUHP hanya terdapat ketentuan mengenai tindak pidana pelayaran. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat perkembangan hukum pidana pada masa itu belum mengatur bagian laut dan perairan secara mendalam. Ditambah lagi, KUHP terbit sebelum disepakatinya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 (United Nations Convenstions on The Law of The Sea).6 Adapun cakupan tindak pidana pelayaran yang telah diatur di KUHP dijelaskan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Pengaturan Pidana Pelayaran dalam KUHP No. Norma KUHP Perampasan barang-barang Buku I Ketentuan Umum 1. Pasal 40 Kejahatan terhadap Rambu/Tanda pelayaran Buku II Kejahatan, Pasal 2. 196 dan Pasal 197 Kejahatan Pembajakan di laut, tepi laut, Kejahatan Pelayaran, Bab 3. pantai dan di sungai XXIX Pasal 438-Pasal 451 4. Keterangan palsu isi surat ijin berlayar Pasal 451bis – 452 5. Pelanggaran Perjanjian Pasal 453 – 458 Penumpang menyerang Nahkoda/ Pasal 459, 460 6. insubordinasi Pemberontakan diatas kapal Indonesia Pasal Pasal 461 7. 459 Permufakatan Jahat Tidak melakukan Pasal 462, 463 8. pekerjaan Pidana bagi penumpang yang tidak menuruti Pasal 464 9. perintah nahkoda , tidak memberikan pertolongan dan insubordinasi Nahkoda kapal Indonesia yang dengan Pasal 466, 467 maksud menguntungkan diri sendiri atau 10. orang lain secara melawan hukum atau untuk menutupi perbuatan 5 Pasal 439 ayat (2) KUHP. Indonesia telah meratifikasi konvensi hukum laut PBB dalam UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea. 6 Parliamentary Brief | 3 Nakhoda kapal Indonesia yang bukan karena terpaksa atau bertentangan dengan hukum meninggalkan kapal melakukan atau membiarkan kapalnya atau muatannya kemungkinan ditangkap, ditahan atau dirintangi Seorang nakhoda kapal Indonesia yang bukan karena terpaksa sengaja tidak memberi kepada penumpang kapalnya apa yang wajib diberikan kepadanya Membuang barang muatan bukan karena terpaksa dan bertentangan dengan hukum Perusakan barang muatan dan keperluan kapal penumpang gelap Menyalahgunakan dengan bendera Indonesia Menyerupai Kapal Perang Menjalankan profesi sebagai awak kapal yang bukan pekerjaannya Pengangkutan atau Barang untuk Peradilan Nakhoda tidak memberi pertolongan apabila kapal tabrakan 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Pasal 468 Pasal 469 Pasal 470 Pasal 471 Pasal 472 Pasal 472 bis Pasal 473 Pasal 474 Pasal 475 Pasal 476, Pasal 477 Pasal 478 Dalam Naskah Akademik R-KUHP versi Juni 2015, terdapat intensi untuk melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang sektoral yang berada di luar KUHP yang diberlakukan saat ini.7 Hukum pidana yang banyak diatur diluar KUHP dan bersifat sektoral dianggap meninggalkan kaedah atau prinsip-prinsip hukum pidana yang dimuat dalam Buku I KUHP dan mengarah kepada kriminalisasi norma. Selain itu, dianggap terjadi dualisme sistem hukum pidana yang berjalan saat ini antara sistem hukum pidana yang dibangun berdasarkan KUHP, dan sistem hukum pidana yang dibangun berdasarkan undang-undang yang tersebar di luar KUHP. Namun, serupa dengan KUHP, hanya terdapat satu bagian pengaturan dalam R-KUHP yang terkait khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran.8 Kegiatan pelayaran merupakan salah satu bagian dari aspek kegiatan kemaritiman dan menjadi bagian dari hukum terkait laut secara luas. Dalam arti luas, hukum laut mencakup segala aspek penggunaan dan pemanfaatan laut dan sumber daya yang terdapat di lautan.9 Hendaknya 7 Naskah Akademik RUU KUHP. Hal 5. Bab XXXIV mengenai Tindak Pidana Pelayaran RKUHP. 9 M. Husseyn Umar. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Buku I Cetakan Kedua. PT. Fikahati Aneska. Jakarta: 2015. Hal 5. 8 4 | Parliamentary Brief R-KUHP berjalan lebih maju dengan mengatur bidang lain, mengingat selain pelayaran, pemanfaatan laut dan kemaritiman memiliki cakupan sektor yang lebih luas diantaranya kegiatan perikanan. Kebijakan hukum terkait pemanfaatan sumber daya laut dan perairan telah mengalami berbagai perkembangan peraturan perundangundangan. Perkembangan tersebut dapat ditandai dengan berlakunya berbagai undang-undang yang mengatur kelautan serta ratifikasi berbagai ketentuan terkait dengan kemaritiman. Ditambah lagi berbagai komitmen Pemerintah Indonesia dalam hukum internasional yang bersifat soft law.10 Berbagai undang-undang dan konvensi yang telah diratifikasi tersebut yaitu: 1. 2. 3. 4. UU No. 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS/Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) 5. UU No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan Ikan Dan Tumbuhan 6. UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia 7. UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana telah diubah UU NO. 45 TAHUN 2009 8. UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana 9. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang 10.UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah UU No. 1 Tahun 2014 11.UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran 12.UU No. 21 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks 13.UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan 14.UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam 10 Beberapa komitmen Pemerintah Indonesia terkait dengan hukum internasional yang bersifat lunak khususnya dalam sektor perikanan seperti: Tata laksana perikanan bertanggung jawab 1995, International Plan Of Action To Prevent, Deter And Eliminate IUU Fishing Tahun 2001, Regional Plan Of Action To Prevent, Deter And Eliminate IUU Fishing Tahun 2007, National Plan Of Action To Prevent, Deter, And Eliminate IUU Fishing yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50/MEN/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing Tahun 2012-2016, terakhir adanya komitmen dalam Pedoman Sukarela Perlindungan Perikanan Skala Kecil Tahun 2014. Parliamentary Brief | 5 Arah perubahan R-KUHP seharusnya sejalan dengan upaya memperbaiki pengaturan mengenai tindak pidana terkait kelautan dan kemaritiman. Terlebih dalam era pemerintahan hari ini, muncul semangat untuk membangkitkan kejayaan kemartiman Bangsa Indonesia melalui upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Kejahatankejahatan terkait dengan pemanfaatan laut dan sumber daya dikandungnya semakin berkembang dimana diperlukan upaya yang lebih maju. Salah satu sumber daya laut yang penting adalah perikanan yang harus tetap terjaga kelestariannya mengingat berbagai sumber daya lain seperti kehutanan dan pertambangan telah dieksploitasi. Kejahatan terkait perikanan akan terkait erat dengan kejahatan Illegal, unregulated dan unreported fishing yang menimbulkan kerugian hingga mencapai 100 triliun.11 Banyak sebab yang menunjukkan masih terjadinya kejahatan IUU Fishing. Terdapat 12 modus pelanggaran perikanan dan 9 modus pelanggaran terkait perikanan lainnya (Tabel 1.2).12 Tabel 1.2 Modus Pelanggaran Perikanan dan Pelanggaran Terkait Perikanan Lainnya Modus Pelanggara Perikanan 1. Pemalsuan dokumen pendaftaran kapal; 2. Bendera kapal dan registrasi ganda; 3. Menangkap ikan tanpa izin/dokumen pelayaran; 4. Modifikasi kapal secara ilegal; 5. Menggunakan nakhoda dan ABK asing; 6. Tidak mengaktifkan pemantauan kapal; 7. Transit yang ilegal; 8. Pemalsuan data logbook; 9. Pelanggaran jalur penangkapan ikan; 10. Penggunaan alat tangkap terlarang; 11. Tidak memiliki/bermitra dengan UPI; 12. Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditetapkan dalam izin. 11 Modus Pelanggaran Terkait Perikanan Lainnya 1. Transaksi BBM ilegal; 2. Tindak pidana terkait imigrasi; 3. Tindak pidana kepabeanan; 4. Tindak pidana pencucian uang; 5. Tindak pidana pajak; 6. Korupsi; 7. Pelanggaran serius HAM (perbudakan, perbudakan anak dan perdagangan orang); 8. Transaksi narkoba; 9. Tindak pidana ketenagakerjaan. Tidak ada data pasti menyangkut angka kerugian negara dalam beberapa pemberitaan muncul angka hingga mencapai Rp. 300 Triliun. 12 Mas Achmad Santosa,“Alam pun Butuh Hukum & Keadilan”, Asas Prima Pustaka, Jakarta, Cetakan Pertama. 2016. 6 | Parliamentary Brief Makalah ini bermaksud mengangkat dua pokok permasalahan. Pertama, bagaimana perkembangan pengaturan tindak pidana dalam undangundang sektoral yang terkait kelautan dan kemaritiman, yaitu dalam UU Kelautan, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pelayaran dan perikanan. Permasalahan pertama ini akan dijawab dengan menganalisis ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang terkait kelautan dan kemaritiman. Kedua bagaimana ketentuan tidak pidana terkait kelautan dan kemaritiman dalam RKUHP. Kedua, akan mengulas berbagai pengaturan ketentuan pidana dalam RKUHP dan membandingkan dengan ketentuan yang telah ada dalam undangundang sektoral kelautan dan kemaritiman. Sehingga akan menghasilkan kelemahan RKUHP dan khususnya perkembangan pemidanaan dalam UU Sektoral. II. Perkembangan Kemaritiman Hukum Pidana Sektor Kelautan dan bagian ini, akan membahas mengenai ketentuan tindak pidana yang telah diatur dalam berbagai undang-undang sektoral kelautan dan kemaritiman diluar KUHP dalam pengaturan kewilayahan UU Kelautan dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Secara khusus, penulis akan menitikberatkan pada aspek mengenai pengaturan kegiatan dalam UU Pelayaran dan UU Perikanan. a. Pengaturan Pidana Dalam UU Kelautan, dan UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara umum, mengenai pengelolaan kelautan telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang disahkan pada 17 Oktober 2014,.13 UU No. 32 Tahun 2014 mengatur mengenai penyelenggaraan kelautan Indonesia yang meliputi: a. wilayah Laut; b. Pembangunan Kelautan; c. Pengelolaan Kelautan; d. pengembangan Kelautan; e. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut; f. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di Laut; dan g. tata kelola dan kelembagaan.14 Terkait dengan wilayah laut, UU No. 32 Tahun 2014 menegaskan mengenai wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi termasuk juga laut lepas dan kawasan dasar laut internasional.15 Wilayah perairan yang menjadi dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh, yaitu pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.16 Wilayah yurisdiksi Indonesia meliputi Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan Landas Kontinen.17 Pembagian zona-zona tersebut berkonsekuensi 13 Indonesia. Undang-Undang Tentang Kelautan. UU No. 32 Tahun 2014. LN No. 294 Tahun 2014 TLN 5603. 14 Ibid, Pasal 4. 15 Ibid, Pasal 6 ayat (1). 16 Ibid, Pasal 7 ayat (1). 17 Ibid, Pasal 7 ayat (3). Parliamentary Brief | 7 terhadap hak penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum di dalam zona-zona maritim tersebut. Hanya terdapat satu ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2014, yaitu dalam Pasal 49 yang mengatur tindak pidana administratif terkait Izin lokasi.18 Mengenai Izin lokasi meliputi izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan Laut yang mencakup permukaan Laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar Laut pada batas keluasan tertentu.19 Ketentuan terkait dengan Izin lokasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yaitu UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014.20 UU No. 27 Tahun 2007 merupakan ketentuan khusus yang mengatur mengenai penataan ruang dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.21 UU No. 27 Tahun 2007 memiliki keterkaitan erat dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyusunan Norma dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundangundangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.22 Perencanaan strategis berupa Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berupa RSWP-3-K setara dengan perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007.23 Perencanaan Zonasi Wilayah 18 Pasal 49 berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 19 Ibid Penjelasan Pasal 47 ayat (1). 20 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 27 Tahun 2007. LN No. 84 Tahun 2007 TLN No. 4739. 21 Berdasarkan Pasal 6 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dapat dikatakan UU No. 27 Tahun 2007 dan UU 32 Tahun 2014 merupakan hukum yang khusus mengatur mengenai pengelolaan wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 6 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007. Yang berbunyi: “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.” Lih: Indonesia, Undangundang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 68 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4725. 22 Penjelasan Bagian Umum angka 1 pragraf kedua UU No. 26 Tahun 2007. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 23 Penjelasan Pasal 9 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) UUNo. 27 Tahun 2007 menjelaskan 3 hal bahwa: (a) RSWP-3-K Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007; (b) Jangka waktu berlakunya RSWP-3-K Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sesuai dengan Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 8 | Parliamentary Brief Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tingkat provinsi berupa setara dengan perncanaan pemetaan rencana tata ruang wilayah dalam UU No. 26 Tahun 2007.24 Perencanaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tingkat kabupaten/kota setara dengan kerincian pemetaan rencana tata ruang wilayah tingkat kabupaten/kota dalam UU No. 26 Tahun 2007.25 Ruang lingkup UU No. 27 Tahun 2007 meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.26 UU No. 27 Tahun 2007 mewajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Perencanaan PWP3K.27 Pokok pengaturan utama dalam UU No. 27 Tahun 2007 adalah terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.28 Secara khusus pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota dimandatkan untuk menyusun Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.29 Sebelum diubah UU No. 1 Tahun 2014, pokok pengaturan pemanfaatan sumber daya dalam UU No. 27 Tahun 2007 adalah HP-3 yang kemudian diubah menjadi skema perizinan dalam izin lokasi dan izin pengelolaan.30 Untuk mendapatkan izin pengelolaan sebagai izin final, diperlukan 26 ayat (4) UU No. 26 Tahun 2007; (c) RSWP-3-K Provinsi dan RSWP-3-K Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi sesuai dengan Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007. 24 Penjelasan Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007 huruf a yang menjelaskan bahwa skala peta RZWP-3-K Provinsi disesuaikan dengan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14 ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007. Kawasan pemanfaatan umum setara dengan kawasan budidaya dan kawasan konservasi setara dengan kawasan lindung sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. 25 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007: Pemerincian perencanaan pada tiap-tiap zona, dan tingkat ketelitian skala peta perencanaan disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (5). ayat (6), dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 26 Ibid, Pasal 2. 27 Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri dari: (a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K); (b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); (c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K); (d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K). Lih: Ibid, Pasal 7 ayat (3). 28 Ibid Pasal 5. 29 Pasal 7 ayat (5) UU PWP3K, Ibid. 30 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 Indonesia. UndangUndang Tentang perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No. 1 Tahun 2014. Pasal 16 dan Pasal 17. Parliamentary Brief | 9 adanya syarat memiliki izin lokasi.31 Dasar menerbitkan izin lokasi adalah berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.32 Terkait dengan aturan perizinan tersebut, diatur adanya tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A. Namun tidak ditemukan satu rumusan mengenai tindak pidana terhadap kegiatan pemanfaatan ruang laut yang tidak berdasarkan atas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ataupun rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Baru sedikit daerah yang memiliki pengaturan mengenai pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik dalam Peraturan Daerah tentang RSWP-3-K dan RZWP-3-K. Minimnya pengaturan mengenai penataan ruang pesisir ini dapat menimbulkan konflik pemanfaatan dapat membahayakan dan merugikan pemanfaatan yang telah ada (existing). Untuk itu seharusnya ada ketentuan larangan menerbitkan izin pemanfaatan ruang apabila belum ada pengaturan mengenai pemanfaatan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil. Prinsip regulatori sistem yang dianut dalam UU No. 26 tahun 2007 memandatkan bahwa setiap pemanfaatan ruang dan sumber daya wajib didasarkan atas ketentuan peraturan perencanaan ruang. Sehingga terdapat berbagai ketentuan larangan menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang melanggar perencanaan ruang. Perumusan tindak pidana dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan UU No. 1 Tahun 2014 memiliki perbedaan mendasar dengan UU No. 26 Tahun 2007. Jika dalam UU No. 26 Tahun 2007 terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perencanaan ruang (RTRW) dapat dikenakan sanksi pidana. 33 Namun dalam UU No. 27 Tahun 2007 tidak ditemukan adanya ketentuan jika ditemukan adanya pemanfaatan ruang pesisir yang tidak sesuai dengan RSWP-3K dan RZWP-3-K. Selain tindak pidana administratif dalam Pasal 75 dan Pasal 75A, UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur 12 (dua belas) kejahatan dalam pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut diancam pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Lihat tabel 2.2).34 Selain itu UU No. 27 Tahun 2007 juga mengatur mengenai kelalaian tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi dan kewajiban reklamasi.35 31 Ibid, Pasal 16 ayat (2). Ibid, Pasal 17 ayat (1). 33 Lihat Pasal Pasal 69, Pasal 70, Pasal 72, dan Pasal 73 UU No. 26 Tahun 2007. 34 Pasal 35 jo. Pasal 73 UU No. 27 Tahun 2007. 35 Pasal 74 setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau b. tidak 32 10 | Parliamentary Brief b. Pengaturan Pidana Dalam UU Pelayaran dan UU Perikanan Dalam pemanfaatan perairan bagi pelayaran, sejak 7 Mei 2008 telah disahkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang terbagi dalam dua puluh dua bab.36 Dalam ketentuan umum dijelaskan bahwa Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.37 Ruang lingkup UU No. 17 Tahun 2008 mencakup semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia.38 Selain itu juga berlaku kepada kapal asing yang berada di perairan Indonesia dan kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.39 Terkait dengan tindak pidana, UU No. 17 Tahun 2008 mengatur ketentuan Pidana pada Bab XIX dari mulai pasal 284 hingga pasal 336. Ketentuan pidana dalam UU No. 17 Tahun 2008 mengatur 53 (lima puluh tiga) rumusan norma perbuatan dengan empat subjek pelaku pidana meliputi setiap orang, nakhoda kapal, awak kapal, pejabat dan korporasi. Jenis tindak pidana yang dirumuskan oleh UU No. 17 Tahun 2008 mencakup mulai tindak pidana administratif, tindak pidana formil dan materil termasuk juga mengatur mengenai tindak pidana korporasi. Ketentuan aturan mengenai UU No. 17 Tahun 2008 mengatur kegiatan lain menyangkut juga khusus dalam kegiatan Perikanan.40 Ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengalami perkembangan dengan revisi dan tambahan dalam UU No. 45 Tahun 2009 (kedua undang-undang tersebut akan disebut UU Perikanan) tindakan hukum terhadap pelaku IUU Fishing. Secara tegas, Pasal 4 UU Perikanan membatasi ruang lingkup berlakunya terhadap subjek dan objek pengaturannya. Keberlakuan UU Perikanan kepada setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 36 Indonesia, Undang-Undang Tentang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008. LN No. 64 Tahun 2008 TLN No. 4849. Terdapat dua puluh dua Bab. 37 Ibid., Pasal 1 angka 1. 38 Ibid Pasal 4 huruf a. 39 Ibid PAsal 4 huruf b dan c. 40 Bagian umum penjelasan pragraf 16 menjelaskan bahwa peraturan perundangundangan lain yang berkaitan dengan pelayaran termasuk di dalamnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta sepanjang aspek keselamatan dan keamanan pelayaran tunduk pada pengaturan UU Pelayaran. Parliamentary Brief | 11 maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan terhadap setiap kapal perikanan baik yang berbendera Indonesia maupun kapal berbenderaasing.41 Wilayah perikanan yang diatur dalam meliputi seluruh wilayah perairan dan lautan Indonesia. Wilayah pengelolaan dan perikanan baik untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: seluruh perairan Indonesia, Zona ekonomi ekslusif Indonesia serta sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.42 Secara tegas dalam Pasal 29 mengatur mengenai pelaku usaha perikanan di Indonesia yang hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian hanya kepada badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.43 Ketentuan ini dihubungkan dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982.44 Perubahan UU Perikanan diperkuat dengan adanya tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup oleh penyidik dan/atau pengawas perikanan.45 bukti permulaan yang cukup 41 Pasal 4 menjelaskan ruang lingkup berlakunya UU Perikanan. Terdapat 3 konteks bagi kapal perikanan yaitu: (a) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; (b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan (c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing. 42 Pasal 5 UU Perikanan. 43 Pasal 29 UU Perikanan. 44 Konsep pengaturan dalam Pasal 29 ayat (2) mendapat kritik dikaitkan dengan ketentuan Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai (coastal state) harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati ZEE. Apabila negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan, maka negara pantai melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat (4), memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan negara berkembang. Fakta dan situasi perikanan menunjukkan terjadi penurunan jumlah produksi perikanan sebagai contoh komoditas skipjack tuna yang menurun pada tahun 1998 sebesar 45.768 menurun dari tahun 1997 sebesar 49.682. Lihat Ramlan, Konsep Hukum Tata Kelola Perikanan Perlindungan Hukum Industri Perikanan dari Penanaman Modal Asing Indonesia. Sertara Pres: Malang. 2015. Hal. 219. 45 Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan. 12 | Parliamentary Brief diterangkan dalam penjelasan dengan unsur-unsur: kapal perikanan berbendera asing, tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.46 Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran Surat Edaran No. 1 Tahun 2015, menegaskan tidak diperlukan adanya perstujuan ketua Pengadilan Negeri dalam tindakan khusus ini. Terhadap kapal yang terlibat kejahatan pencurian ikan di laut wajib ada persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat ataupun tingkat pengadilan yang telah dilimpahkan perkara.47 Tindakan ini merupakan terobosan hukum untuk memberikan efek jera kepada pelaku pencuri ikan khususnya kepada pelaku kapal perikanan berbendera asing. Tindakan khusus penenggelaman kapal tidak dapat dilakukan sewenang-senang tetapi hanya ditujukan kepada kapal berbendera asing yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah Indonesia. Ketentuan pidana dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XV dari mulai Pasal 84 hingga Pasal 103. Berdasarkan inventarisir yang dilakukan terdapat 20 norma perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Perikanan. Kejahatan dan Pelanggaran yang diatur masih kurang melihat modus pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perikanan.48 Pengaturan mengenai tindak pidana dalam perikanan melihat lebih mendalam dari sisi subjek pelaku yang telah mengakui pelaku yang lebih luas yaitu orang, nakhoda kapal, pejabat termasuk nelayan skala kecil/pembudi daya skala kecil dengan penurunan ancaman pidana. Terkait subjek orang yang diperluas termasuk korporasi.49 Pokok penting adalah adanya aspek terkait dengan pelaku kapal berbendera asing yang dapat dikenakan pidana terhadap pelanggaran kebijakan perikanan nasional. Selain mengatur ketentuan tindak pidana dalam perikanan, UU Perikanan juga mengatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan yang khusus berwenang memeriksa, mengadili. dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.50 46 Penjelasan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan. Mahkamah Agung. Surat Edaran Nomor 01/Bua.6/Hs/SP/III/2015 tentang Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Perikanan. Jakarta Maret 2015. 48 Lihat Mas Achmad Santosa. Alam pun Butuh Hukum & Keadilan, Asas Prima Pustakan, Jakarta, Cetakan Pertama. 2016. 49 Pasal 1 angka 14 UU Perikanan. 50 Pasal 71 ayat (3) UU Perikanan. 47 Parliamentary Brief | 13 III. Pengaturan Pidana Kelautan dan Kemaritiman dalam RKUHP Dalam Buku I, Pasal 4 mengenai asas wilayah atau teritorial menjelaskan mengenai keberlakuan ketentuan pidana menyangkut wilayah Indonesia, dalam kapal Indonesia, dan akibat yang dialami atau terjadi di wilayah indonesia atau dalam kapal indonesia. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai mengenai awak kapal, definisi kapal dan kapal Indonesia, nakhoda, dan penumpang.51 Dari buku I RKUHP tersebut, Tidak ditemukan penjelasan mengenai wilayah laut Indonesia yang berbeda dengan KUHP yang merujuk kepada TZMKO. Seharusnya RKUHP merujuk kepada berbagai peraturanperaturaan terkait dengan kelautan untuk menentukan wilayah laut Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, telah ditegaskan dalam UU Kelautan, wilayah laut Indonesia yang terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Persoalan penegakan hukum di dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulat memiliki perbedaan. Konsekuensinya adalah penegakan hukum terkait perikanan di wilayah perairan teritorial dengan wilayah yurisdiksi. Dalam buku II hanya terdapat, bagian khusus mengenai Tindak Pidana Pelayaran diatur dalam Bab XXXIV yang terbagi dalam delapan bagian dengan 35 ketentuan pasal.52 Selain itu, terdapat 8 pasal lain yang terkait dengan kegiatan kemaritiman yaitu Pasal 371, Pasal 372, Pasal 375, Pasal 376, Pasal 565, Pasal 566, Pasal 567, Pasal 662. Secara keseluruhan terdapat 12 tindak pidana terkait dengan kegiatan kelautan dan kemaritiman dalam RKUHP. Tabel 3.1 Tindak Pidana Terkait Kegiatan Kemaritiman dalam RKUHP No. Norma 1. Tindak Pidana terkait Rambu Pelayaran 2. Tindak Pidana Perusakan Kapal 3. 4. Perdagangan Orang di Kapal Pengangkutan Orang untuk Diperdagangkan dengan Menggunakan Kapal Penghancuran dan Perusakan Bangunan Perompakan dan Perampasan Kapal 5. 6. 51 Pasal RKUHP Pasal 371 dan PAsal 372 Pasal 375 dan 376 Pasal 565 Pasal 567 Pasal 662 Pasal 707-713 Pasal 168, Pasal 182, Pasal 183, PAsal 196 dan Pasal 202 RKUHP Rancangan KUHP Final, 5 Juni 2015 sumber: http://reformasikuhp.org/r-kuhp/. Diakses pada 20 MEi 2016. Bab XXXIV mengenai Tindak Pidana Pelayaran Pasal 707-Pasal 741. 52 14 | Parliamentary Brief 7. 8. 9. 10. 11. 12. Pemalsuan Surat Keterangan Kapal dan Laporan Palsu Pembangkangan dan Pemberontakan di Kapal Tindak Pidana Nakhoda Kapal Perusakan Barang Muatan dan Keperluan Kapal Menjalankan Profesi sebagai Awak Kapal Penandatanganan Konosemen dan Tiket Perjalanan Pasal 714-717 Pasal 718-721 Pasal 722-731 Pasal 732 Pasal 733-734 Pasal 735-736 Tindak pidana yang diatur dalam RKUHP sangat terbatas dalam sektor pelayaran semata. Sementara tidak ada satupun pengaturan RKUHP yang terkait dengan bidang sektor dalam perikanan. Dalam sektor perikanan memiliki kekhususan dimana adanya tindak pidana administratif terhadap pelaku perikanan diluar nelayan kecil. Subjek yang diatur dalam RKUHP terkait dengan tindak pidana kelautan dan kemaritiman meliputi setiap orang, nakhoda, awak kapal dan penumpang kapal Indonesia (Tabel 3.2). Hanya empat subyek yang diatur dalam RKUHP dimana tidak termasuk ketentuan sektoral yang khusus. Misalnya pemilik kapal, pelaku usaha skala kecil (nelayan kecil dan pembudidaya kecil), kapal berbendera asing, termasuk dalam hal ini pajabat yang memiliki kewenangan menerbikan perizinan. Secara khusus dalam UU Perikanan terhadap pelaku skala kecil diberikan pembedaan pemidanaan yang diperingan.Termasuk dalam UU Pelayaran subyek lain seperti petugas pandu yang tidak diatur, padahal dalam UU Pelayaran mengatur mengenai petugas pandu sementara dlam UU Perikanan. Tabel 3.2 Subyek Hukum Pelaku Tindak Pidana dalam RKUHP No. Subyek Hukum 1. Setiap Orang 2. 3. 4. Pasal Pasal 371-372, 375-376, 375-376, Pasal 565567, Pasal 567, 662, Pasal 707-712, 715- 716, 719, 721, 732-737, Nakhoda Pasal 713-714 ayat (1), 717, 722-724 ayat (1), 725-731 dam 738 Awak Kapal 714 ayat (2), Pasal 718 ayat (1) huruf b, Pasal 718 ayat (2) Penumpang kapal Pasal 718 ayat (1) huruf a, Pasal 718 ayat (2), Indonesia 724 ayat (2) Parliamentary Brief | 15 IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari pembahasan diatas, RKUHP sangat minim dalam pengaturan mengenai kejahatan yang telah berkembang dalam sektor kelautan dan kemaritiman. Ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. R-KUHP tidak merujuk kepada penjelasan mengenai wilayah lautan Indonesia. Berbeda dengan KUHP yang merujuk kepada TZMKO 1938 dalam menetapkan wilayah laut Indonesia. Padahal telah ada beberapa ketentuan perundang-undangan yang menetapkan wilayah laut Indonesia yang tidak. b. Kejahatan yang diatur hanya terbatas dalam sektor pelayaran namun dengan membandingkan dengan pengaturan kejahatan pidana dalam UU Pelayaran RKUHP sangat minimalis dengan menghilangnya norma pidana yang lebih maju dan menjadi lebih sedikit. Secara khusus subyek pelaku yang tidak mengikuti perkembangan pengaturan dalam hukum pelayaran. c. Tidak ada pengaturan khusus dalam kejahatan perikanan khususnya terkait dengan IUU Fishing, padahal dalam naskah akademik terdapat inventarisir atas Undang-Undang Perikanan yang termasuk menjadi bagian UU Sektoral yang mengatur mengenai tindak pidana perikanan. d. RKUHP juga mengancam perkembangan upaya melawan IUU Fishing yang terjadi di Indonesia. Tindakan khusus dengan penenggelaman dan/atau pembakaran kapal terhadap kapal asing pelaku illegal fishing dapat bergerak mundur jika tidak diatur subyek pelaku “kapal asing”. Rekomendasi adalah: a. Merujuk kepada wilayah laut Indonesia yang terbagi dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Untuk menegaskan hak kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dalam penegakan hukum pidana termasuk komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional. b. Melakukan perbandingan norma permbuatan yang diatur antara RKUHP dengan undang-undang sektor dalam bidang kelautan dan kemaritiman. Hal ini untuk memastikan pekembangan hukum sektoral tidak terabaikan khususnya dengan karakteristik khusus. Misalnya dalam pengaturan terhadap pelaku kejahatan yang berbeda. c. Perlu memastikan ketentuan pidanan khusus yang berkaitan dengan upaya memberantas IUU fishing menjadi norma yang diakui dalam ketentuan RKUHP. Tujuannya untuk memastikan upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan IUU Fishing tidak berjalan mundur. 16 | Parliamentary Brief Parliamentary Brief | 17 Profil Penulis Ahmad Martin Hadiwinata, SH., MH adalah Kepala Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan diKesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Komite Eksekutif di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Saat ini Aktif dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP 18 | Parliamentary Brief Parliamentary Brief | 19 Profil Aliansi Nasional Reformasi KUHP Aliansi Nasional Reformasi KUHP ini dibentuk pada tahun 2005 oleh organisasi-organisasi yang perhatian terhadap reformasi hukum pidana, untuk menyikapi Draft Rancangan Undang-Undang KUHP yang dirumuskan pada Tahun 1999-2006 oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, terutama yang berkenaan isu Reformasi Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia. Fokus utama dari kerja Aliansi Nasional Reformasi KUHP adalah untuk mengadvokasi kebijakan reformasi hukum pidana, dalam hal ini RKUHP. Dalam melakukan advokasi, Aliansi memiliki dua fokus utama: (i) mendorong lahirnya rumusan-rumusan pengaturan delik yang berperspektif HAM dan (ii) mendorong luasnya partisipasi publik dalam proses pembahasan dan perumusan ketentuan dalam KUHP. RKUHP memiliki beberapa masalah mendasar, baik berkaitan dengan pilihan model kodifikasi, maupun pengaturan delik-delik pidananya. Berbagai rumusan delik seperti pengaturan delik kejahatan negara dan delik susila ataupun agama berpotensi melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Potensi pelanggaran hak ini mencakup hak perempuan dan anak, hak sipil politik, kebebasan pers dan media, hak atas lingkungan dan sumber daya alam dan kebebasan beragama. Untuk memperluas jaringan kerja dan dukungan dari publik, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengembangkan advokasi di tingkat nasional dan di seluruh Indonesia atas RUU KUHP. Aliansi Nasional Reformasi KUHP ini juga dibentuk sebagai resource center advokasi RKUHP, sehingga masyarakat dapat mengakses perkembangan RKUHP di Parlemen dan juga berbagai informasi seputar advokasi RKUHP. Sepanjang tahun 2006-2007, berbagai kegiatan utama Aliansi di seluruh Indonesia mencakup: (1) seri diskusi terfokus (FGDs) dan diskusi publik untuk menjaring masukan dari berbagai daerah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera, Batam, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Papua, (2) Penyusunan berbagai dokumen kunci, seperti kertas-kertas kerja tematik (11 tema), Daftar inventaris Masalah (DIM), leaflet, dan berbagai alat kampanye lainnya, (3) Pembuatan website yang berisi seluruh informasi mengenai pembahasan RKUHP, baik aktivitas-aktivitas Aliansi, paper-paper pendukung, kertas kerja, maupun informasi lain yang berkaitan dengan RKUHP. 20 | Parliamentary Brief Pada tahun 2013, Pemerintah mengajukan kembali RUU KUHP ke DPR. Aliansi juga melakukan proses pemantauan pembahasan dan telah memberikan masukan ke DPR atas Naskah RUU KUHP Tahun 2012. Aliansi mencatat masih ada berbagai permasalah dalam RUU KUHP yang saat ini akan dibahas kembali antara Pemerintah danDPR. Aliansi akan terus mengawal pembahasan dan memberikan masukan untuk memastikan reformasi hukum pidana di Indonesia sesuai dengan yang diharapkan. Keanggotaan dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersifat terbuka bagi organisasi-organisasi non pemerintah di Indonesia. Sampai saat ini anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP adalah Elsam, ICJR, PSHK, ICW, LeIP, AJI Indonesia, LBH Pers, Imparsial, KontraS, HuMA, Wahid Institute, LBH Jakarta, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, dan ECPAT. Sekretariat Aliansi Nasional Reformasi KUHP: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Jln. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia - 12510 Phone/Fax. (+62 21) 7945455 Email: [email protected] http://icjr.or.id | @icjrid Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Indonesia, 12510 Phome/Fax. (+62 21) 7972662, 79192564 / (+62 21) 79192519 Email: [email protected] Laman: www.elsam.or.id Parliamentary Brief | 21 Profil Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuh kembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Pengintegrasian Prinsip dan Norma HAM dalam Kebijakan dan Hukum Negara 2. Pengintegrasian Prinsip dan Norma HAM dalam Kebijakan tentang Operasi Korporasi yang berhubungan dengan Masyarakat Lokal 3. Penguatan Kapasitas Masyarakat Sipil dalam Memajukan HAM Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIA Tel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564 Telefax.: (+62 21) 7919 2519 Email: [email protected] Website: www.elsam.or.id Media Sosial: Linimasa di Twitter: @elsamnews, @elsamlibrary Kunjungi kami di Facebook: @perkumpulanelsam, @elsamjkt 22 | Parliamentary Brief Parliamentary Brief | 23 Profil Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kesejahteraan nelayan adalah kunci mengatasi kemiskinan dan mewujudkan kedaulatan bangsa. Kesadaran itulah yang mendorong organisasi-organisasi nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil, baik laki-laki maupun perempuan, di awal tahun 2008 melakukan pertemuan di Jakarta dan mendeklarasikan terbentuknya KPNNI (Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional). KPNNI selanjutnya bertugas mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi nelayan tingkat nasional. Pada Tanggal 11-12 Mei 2009 di Manado, yang dihadiri oleh sedikitnya 100 pimpinan nelayan dari berbagai wilayah di Indonesia, berlangsunglah Kongres Nelayan Tradisonal Indonesia I bertepatan dengan diselenggarakannya World Ocean Conference (WOC). Organisasi nelayan ini selanjutnya disebut Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). KNTI sebagai organisasi nelayan tradisional akan memperjuangkan semua hal yang terkait dengan hajat hidup dan kepentingan masa depan nelayan, pembudidaya ikan, dan garam tradisional. Prioritas 2015-2017 sebagai berikut: Berperan aktif menginisiasi dan menyusun instrumen perlindungan nelayan, baik berupa RUU Perlindungan Nelayan dan Pembudidaya Ikan, RPP Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil, maupun implementasinya di tiap-tiap daerah. Membangun penguatan dan kemandirian ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan. Memperkuat partisipasi dan perlindungan kepada nelayan perempuan. Meningkatkan kapasitas organisasi dan pengetahuan anggota terhadap hukum dan kebijakan public terkait. Berperan aktif dalam upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Melakukan advokasi dan pendampingan tehadap anggota yang tengah memperjuangkan pemulihan hak-hak konstitusionalnya. 24 | Parliamentary Brief Dalam upaya memperkuat perekonomian nelayan tradisional, KNTI mempunyai inisiatif membentuk koperasi nelayan sebagai soko guru semua unit usaha yang dijalani oleh anggota KNTI. Usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya dan garam, maupun pengolahan hasil perikanan yang mempunyai nilai tambah paling besar akan dikelola berbasiskan koperasi sekretariat Jl. Yusuf Adiwinata Nomor 33, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: +62 21 3152246 Faks: +62 21 3905772 Email: [email protected] www.knti.or.id