Isolasi Gen Pengkode Flavonoid 3’5’Hidroksilase (F3’5’H) Herba Pecut Kuda (Stachytarpheta indica auct. non (L.) Vahl) Mega Dewi Haristianita, Murni Saptasari, Dwi Listyorini Universitas Negeri Malang Email: [email protected] ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi gen F3’5’H Stachytarpheta indica menggunakan metode PCR dengan primer forward 5'-TGATGCTGCTAAAGCAT TCT-3' dan reverse 5'-GTGCACGCAGGTGACATATG-3'. Fragmen DNA yang diperoleh tidak menunjukkan spesifik gen target, namun berdasarkan analisis peak kromatogram menunjukkan adanya domain yang berbeda (domain conserve dan domain tidak conserve). Stachytarpheta indica diduga memiliki dua lokus homolog gen flavonoid 3’5’ hidroksilase seperti yang telah dilaporkan ditemukan pada Petunia hybrida (Hf1 dan Hf2). Desain primer yang tepat perlu dilakukan untuk dapat mengamplifikasi masing-masing sekuen homolog gen, difokuskan kepada tiap lokus yang pernah dilaporkan yaitu gen flavonoid 3’5’ hidroksilase Petunia hybrida lokus Hf1 atau lokus Hf2. Kata kunci : Isolasi gen F3’5’H, Stachytarpheta indica, Pecut Kuda Herba Pecut kuda (Stachytarpheta indica auct. non (L.) Vahl) atau snakeweed (Inggris) merupakan salah satu tumbuhan obat. Herba pecut kuda dimanfaatkan sebagai bahan obat karena memiliki beberapa kandungan senyawa kimia, salah satunya mengandung senyawa flavonoid (Roger, 2012). Flavonoid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder yang berdasarkan struktur molekulnya dibagi menjadi jenis flavonol, flavon, flavonon, isoflavon, katecin, antosianidin serta kalkon (Ferreyra et al., 2000). Enzim dalam jalur biosintesis flavonoid memiliki berbagai fungsi yang berbeda salah satunya mengkatalisasi hidroksilasi pada gugus C-3 dan C-5 menghasilkan pigmen antosianin (sianidin, pelargonidin, delphinidin) pada tumbuhan dan memiliki kemampuan antioksidan yang lebih kuat (Dovichi et al., 2011). Warna bunga herba pecut kuda yang umumnya dikenal di Indonesia adalah ungu, merah muda, dan juga putih (WhinkelShierly, 2010). Pigmen pada bunga dipengaruhi oleh senyawa antosianin yang terakumulasi di vakuola sel. Enzim F3’5’H dikode oleh gen F3’5’H yang telah berhasil diisolasi dari kelompok Asterid diataranya Solanales (Solanum, Petunia), Gentianales (Gentiana), dan Lamiales (Mol et al., 1999). Penelitian yang berhubungan dengan analisis molekular gen F3’5’H pada kelompok Verbenaceae masih belum banyak dilaporkan secara jelas. Isolasi gen F3’5’H pada herba pecut kuda perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk mendukung penelitian selanjutnya dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. METODE Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Maret 2013. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini meliputi preparasi alat dan bahan, isolasi DNA total, desain primer, amplifikasi gen dengan metode PCR, dan sekuensing di Eijkman Institute for Molecular Biology (Lembaga Biologi Molekular Eijkman) Jakarta. Herba pecut kuda yang dijadikan objek penelitian adalah tumbuhan herba pecut kuda (Stachytarpheta indica auct. non (L.) Vahl) yang 1 berwarna bunga ungu. Sampel daun diserbukkan menggunakan nitrogen cair dan isolasi DNA menggunakan prosedur mengikuti kit isolasi DNA tumbuhan dari MachereyNagel, Jerman dengan modifikasi. Primer didesain berdasarkan daerah conserve gen flavonoid 3’5’ hidroksilase Petunia hybrida (GenBank accession No.: A29011(Hf1), A29013(Hf2)). Proses amplifikasi berlangsung dengan suhu denaturasi awal 94°C 5 menit, dalam 33 siklus meliputi denaturasi 94°C 1 menit, annealing 55°C 1 menit, ekstensi 72°C 1 menit, setelah PCR selesai tube dikeluarkan dari mesin PCR dan hasilnya dilihat secara kualitatif menggunakan elektroforesis pada agarose 1,5% dengan DNA marker 1 kbps. Hasil amplifikasi yang diduga telah mengamplifikasi gen target di baca urutan basanya menggunakan alat sekuenser. Analisis data hasil sekuensing menggunakan fasilitas software BIOEDIT untuk mengubah data file hasil sekuensing menjadi data file fasta, CLUSTALX untuk mensejajarkan sekuen fragmen teramplifikasi primer forward dan reverse, serta BLAST digunakan untuk pensejajaran sekuen hasil sekuesing dengan sekuen gen referensi serta untuk mengetahui nilai query (kesamaan) dengan gen referensi. HASIL Isolat murni DNA total yang diperoleh sebanyak 210 ng/µl. Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR menghasilkan fragment DNA sepanjang kurang dari 200 bp. Hasil sekuensing fragmen DNA yang menunjukkan panjang basa 182 bp yang teramplifikasi primer forward dan 183 bp untuk yang teramplifikasi primer reverse, menunjukkan fragmen yang diperoleh tidak spesifik, terlihat dari banyaknya urutan basa yang tidak terbaca yang ditunjukkan dengan munculnya notasi N. Sekuen DNA dikoreksi menggunakan aplikasi online PeakTrace untuk memaksimalkan pembacaan peak (puncak-puncak kromatogram) notasi N. Kromatogram dari fragmen sekuen primer forward maupun fragmen sekuen primer reverse menunjukkan sekuen ganda pada bagian tengah sampai dengan akhir fragmen (Gambar 1). A B Gambar 1. Bagian dari Sekuen yang Terbaca ‘N’ Memiliki Peak Ganda (anak panah) Hasil Koreksi Dengan Peak Trace, A: Sekuen Teramplifikasi Primer Forward; B: Sekuen Teramplifikasi Primer Reverse, Garis putus-putus merah: Permulaan Domain Homolog 2 Fragmen ganda diduga dimulai dari basa ke 70, sedangkan urutan basa nukleotida kurang dari basa ke 70 menunjukkan puncak kromatogram yang relatif spesifik. Domain B memiliki sekuen yang tidak spesifik dan merefleksikan adanya dua sekuen yang overlap (Gambar 1). Hasil sekuensing diilustrasikan seperti pada gambar 2. 3’ Hf1 5’ A 5’ Hf2 3’ A B Gambar 2. Ilustrasi dugaan overlap hasil sekuensing Ket: A. Domain conserve, B. Domain homolog Analisis pensejajaran dengan sekuen gen gen flavonoid 3’5’hidroksilase Petunia hybrida menggunakan software BLAST menunjukkan kesamaan atau query 7% untuk sekuen yang teramplifikasi primer forward dan 65% untuk sekuen yang teramplifikasi primer reverse. PEMBAHASAN Fragmen yang teramplifikasi primer forward dan reverse tidak menunjukkan sekuen yang spesifik yang ditunjukkan dengan banyaknya notasi N. Urusan basa nukleotida dibaca oleh alat sekuensing berdasarkan peak (puncak grafik) kromatogram yang mencirikan suatu basa nukleotida, umumnya menggunakan pembeda warna. Sekuen tidak spesifik ditunjukkan oleh kromatogram dan karakterisasi hasil sekuensing dapat dilakukan berdasarkan kromatogram tersebut (McGill, 2012). Penelitian ini memperoleh sekuen dengan puncak kromatogram ganda mulai dari 70 bp hingga akhir ujung 3’. Puncak kromatogram ganda ini diduga disebabkan oleh adanya lebih dari satu DNA templet dalam reaksi. Lebih dari satu DNA templet yang ada dalam reaksi bisa berarti dua genom yang tercampur menjadi satu atau adanya sekuen homolog yang ditemukan dalam genom. Dua DNA templet yang teramplifikasi dan dibaca bersamaan oleh alat sekuensing memiliki susunan sekuen yang tidak identik (McGill, 2012). Percobaan pensejajaran fragmen DNA dari forward dan reverse “secara paksa” untuk mengetahui apakah kedua fragmen tersebut merupakan komplemen menghasilkan fragmen yang tidak spesifik, ditunjukkan dengan adanya banyak notasi N dan degenerate nucleotide yaitu notasi W yang mewakili basa T atau A; K yang mewakili basa G atau T; Y yang mewakili basa T atau C; R yang mewakili basa G atau A (Brand, 2011). Hasil pensejajaran fragmen sekuen dari primer forward dan reverse memang menunjukkan posisi yang sama terhadap gen target referensi (Lampiran 1), namun tidak ditemukan konsensus yang spesifik (Gambar 3.7). Kemungkinannya sekuen dari primer forward merupakan segmen dari gen yang posisinya jauh dari gen target. Hal ini menunjukkan primer forward dan reverse mengamplifikasi sekuen basa yang tidak komplemen. 3 Query merupakan frekuensi basa nukleotida yang sama dengan sekuen gen referensi yang ditunjukkan dengan persentase kesamaan. Sekuen fragmen dari primer forward memiliki kesamaan 7% dan sekuen fragmen dari primer reverse memiliki nilai kesamaan lebih besar dari 65%. Nilai query sekuen nukleotida minimal 25% untuk menunjukkan bahwa sekuen yang didapat merupakan bagian dari gen target (Koonim et al., 2003). Sekuen yang diperoleh masih memiliki banyak bagian yang tidak spesifik (notasi N) sehingga nilai query diatas masih berdasarkan sebagian sekuen yang bisa terbaca spesifik dari kromatogram. Hasil analisis diatas masih merupakan hasil sementara yang perlu dikaji lebih lanjut lagi. Fragmen ganda dan sekuen yang tidak komplemen yang diperoleh diduga disebabkan oleh kesalahan desain primer. Desain primer memegang peran penting untuk memastikan gen atau DNA yang teramplifikasi adalah spesifik atau tunggal (Thompson, 2006). Primer yang didesain tidak spesifik atau terlalu umum dijumpai urutannya disepanjang gen target menyebabkan munculnya lebih dari satu tapak perlekatan primer (binding side) (McGill, 2012). Hasil visualisasi fragmen hasil PCR (Gambar 3.1) menunjukkan satu pita, sehingga kemungkinannya fragmen yang teramplifikasi sebenarnya terdiri atas dua fragmen namun memiliki panjang basa yang sama sehingga nampak hanya satu pita. Primer yang didesain diduga menginisisasi amplifikasi pada daerah yang conserve dari sekuen pengkode flavonoid 3’5’hidroksilase yang identik dengan Petunia hybrida karena didesain berdasarkan daerah conserve sekuen gen flavonoid 3’5’hidroksilase (Hf1 dan Hf2). Holton et al. (1993) melaporkan pada Petunia hybrida ada dua lokus yang representatif sebagai gen flavonoid 3’5’hidroksilase yaitu lokus Hf1 dan lokus Hf2. Sekuen ganda pada basa < 70 bp ke arah ujung 3’ menunjukkan adanya amplifikasi ganda dengan panjang fragmen yang sama. Hal ini bisa memunculkan dugaan bahwa Stachytarpheta indica memiliki Hf1 dan Hf2 dengan karakter sekuen yang conserve ( < 70 bp) dengan Hf1 dan Hf2 Petunia hybrida. Daerah conserve merupakan bagian urutan gen yang memiliki susunan basa yang konstan pada sekelompok makluk hidup sehingga dapat dijadikan pengenal gen target (Tang et al., 2012). Suatu gen tidak semuanya memiliki bagian conserve. Sekuen gen flavonoid 3’5’hidroksilase yang telah dilaporkan di bank gen memiliki susunan basa dan panjang basa yang bervariasi (Lampiran 2), sehingga perancangan primer perlu memperhatikan hal tersebut. Hasil penelitian ini diketahui bahwa pendesainan primer pada daerah conserve dari spesies atau kultivar yang berbeda memberikan kemungkinan untuk terjadi amplifikasi ganda yang menyebabkan kesulitas dalam identifikasi gen target. Primer yang didesain sebaiknya dapat mengamplifikasi secara spesifik lokus gen target. Referensi sekuen gen yang berasal dari kerabat yang tidak dekat perlu dikaji dari sudut pandang lain yaitu diantaranya posisi translasi yang benar (Open Reading Frame atau ORF), ekson-intron (Thomas et al., 2006), serta homologi evolusioner (Thompson, 2006). Hal lain yang harus diperhatikan dalam merancang primer adalah bahwa gen yang mengkode sifat tertentu pada beberapa jenis makhluk hidup umumnya memiliki kesamaan namun bersifat spesifik baik dalam hal urutan basa nukleotida maupun urutan asam amino (Thomas et al., 2006). SIMPULAN DAN SARAN Isolasi gen flavonoid 3’5’hidroksilase dari Stachytarpheta indica dengan menggunakan metode PCR menghasilkan sekuen yang tidak spesifik. Stachytarpheta indica diduga memiliki dua lokus gen flavonoid 3’5’hidroksilase yaitu lokus Hf1 dan 4 Hf2 seperti pada Petunia hybrida. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah desain primer yang tepat perlu dilakukan untuk dapat mengamplifikasi masing-masing sekuen homolog gen, difokuskan kepada masing-masing sekuen gen dari masing-masing lokus yang pernah dilaporkan yaitu gen flavonoid 3’5’ hidroksilase Petunia hybrida lokus Hf1 atau lokus Hf2. DAFTAR RUJUKAN Brand, Veronica. 2011. Degenerate Primer Design Using Computational Tools. Journal Computational Biology 775: 1-14 Dovichi, S., Lajolo, F. 2011. Flavonoid and Their Relationship to Diseases of The Central Nervous System. Journal Brazilian Sociaty Food Nutrition Sao Paulo 36: 123-135 Holton, T,A., Brugliera., Lester., Tanaka., Menthing, L., Stevenson., Cormish. 1993. Cloning and Expression of Cytochrome P450 Genes Controlling Flower Colour. Nature 366: 276-279 Holton, T.A. & Cornish , E.C. 1995. Genetic and Biochemistry of Anthocyanin Biosynthesis. Plant Cell 1995: 1071-1083 Koonim, E.V., Galperin, M.Y. 2003. Sequence Function Computational Approaches in Comparative Genomics. California University McGill. 2012. Trubleshooting Sequencing Product. McGill University and Genome Quebec innovation Centre Sequencing Servise Mol, J., Grotewold, E., Koes, R. 1999. How Genes Paint Flowers and Seeds. Trends Plant Science 3: 212-217 Rogers, G. 2012. Landscape Plant for South Florida: Poterweed, (Online), (http://neotropicalsavana.us.id, diakses pada 10 September 2012) Tang, L., Gao, H., Zhu, X., Wang, X., Zhou, M., Jiang, R. 2012. Construction Small Intelligent Focused Mutagenic Libraries Using Well Designed Combination Degenerate Primers. BioTechniques 149-158 Thompson, B., Denis. 2006. Finding Homologous Genes With Primers Designed Using Evolutionary Models (Dissertation). North Caroline State University Thomas, P.J., Anand, T., Suresh, P., Janarthnan., S., Vincent. 2006. Designing Specific Oligonukleotide Primers for Metallothionein Genes. Indian Journal of Biotechnology vol. 5, pp.120-122 Winkel-Shirley, B. 2010. Flavonoid Biosythesis A Colourfull Model for Genetics, Biochemistry, Cell Biology, and Biotechnology. Plant Phsiology 126:485-493 5