EPISTEMOLOGI HADIS Niila Khoiru Amaliya PENDAHULUAN Nabi Muhammad SAW. telah memberikan dua peninggalan bagi umat Islam, yaitu al-Qur‟an dan sunnah rasul. Kedua hal ini menjadi sangat penting karena menjadi sumber ajaran dan pedoman hidup bagi umat Islam baik dalam pengamalan keberagamaannya dengan Khaliknya maupun kehidupan dengan sesama makhluk. Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah yang sudah diyakini sebagai yang Qath’iy al-wurud tidak menghadapi problem sepelik seperti problem yang dihadapi hadis. Al-Qur‟an lebih banyak dihadapkan pada persoalan penafsiran dari pada persoalan otentisitasnya. Sedangkan hadis tidak hanya dihadapan pada problem pemahaman akan tetapi juga pada problem otentisitasnya. Terlebih, problem otentisitas ini dapat memberikan dampak pada tidak diterimanya hadis sebagai sumber ajaran oleh segolongan umat muslim sendiri dengan hanya menerima al-Qur‟an sebagai sumber ajaran dan pedoman hidup. Berbagai alasan baik naqli maupun aqli dikemukakan untuk menolak kehujjahan hadis. Problem yang muncul dan atau dimunculkan untuk menolak hadis baik oleh kalangan musim sendiri maupun kaum orientalis, diantaranya adalah anggapan bahwa hadisyang ada sekarang ini bukanlah sesuatuyang benar-benar berasal dari Nabi SAW. dan dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya,akan tetapi hadis pada mulanya hanyalah dongeng-dongengbelaka karena baru muncul setelah wafatnya Nabi dengan jarak waktu yang cukup lama dengan para mukharrij1 hadis. Sehingga dianggap sebagai hal yang tidak mungkin jika para mukharrij benar-benar mendapatkan sesuatu dari orang yang jarak waktu hidupnya cukup lama. Selain itu,juga ada anggapan bahwa hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab hadis sekarang ini bertentangan dengan al-Qur‟an dan logika. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di atas membawa pemikiran umat muslim untuk berfikir filosofis dalam menemukan pijakan epistemologis hadis, supaya hadis memiliki dasar filosofis yang kuat sebagai prasyarat suatu ilmu pengetahuan. Sehingga bisa diterima karena secara ilmiah juga bisa dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pada latar belakang problematika di atas, tulisan ini hendak berusaha mencari jawaban atas persoalan bagaimanakah hadis yang merupakan peristiwa masa lalu, yang sudah terlepas dengan masa kini bisa diketahui kebenarannya? Adakah yang menjembatani untuk sampai kesana? Inilah hal-hal yang bersifat epistemologis yang akan ditelusuri. A. Epistemologi Epistemologi, yang biasa dikenal dengan filsafat pengetahuan, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang berarti pengetahuandan logos yang berarti teori. Jadi secara etimologi, epistemologi berarti teori 1 Mukharrij hadis sebagai perawi, orang yang meriwayatkan, mengumpulkan dan menyusun hadis dalam sebuah kitab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim. pengetahuan.2 Persoalan-persoalan dalam epistemologi dapat dikatakan meliputi bahasan tentang: (1) bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? (2) Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? (3) Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai? (4) Apa perbedaan antara pengetahuan pra pengalaman dengan purna pengalaman?.3Sedangkan menurut Harold H.Titus persoalan dalam epistemologi ada tiga hal, yaitu : (1) persoalan asal pengetahuan (2) persoalan tentang apa yang kelihatan dan hakikatnya (3) persoalan verifikasi.4 Dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan. Selain itu, sebagaimana pengertiannya secara bahasa, epistemologi bisa disebut sebagai cabang filsafat yang membahas teori tentang pengetahuan. Ada klasifikasi yang cukup berbeda dalam epistemologi, yaitu antara apa yang dinamakan “pengetahuan” dan “ilmu”. Pengetahuan disebut denganknowledgedan bersifat non-ilmiah sedangkan ilmu disebut dengansciencedan bersifat ilmiah. Olehkarenanya, epistemologi sebagai teori tentang pengetahuan cakupannya lebih luas dari pada Filsafat ilmu. Hal ini karenadalam pengetahuan ada yang ilmiah, tidak ilmiah dan semi ilmiah. Pengetahuan yang ilmiah itulah yang disebut ilmu. Ilmu merupakan kombinasi dari deduktif dan induktif yang dibuat dengan sistem tertentu yang bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri. Dalam epistemologi, ada dua asumsi dasar tentang sumber pengetahuan, yaitu rasionalismedanempirisme. Rasionalisme merupakan aliran yang menekankan akan pentingnya rasio, akal -atau yang oleh Deskartes kemudian dikenalkan dengan istilah ide bawaan- dalam perannya sebagai sumber pengetahuan. Dalam sejarah dikenal bahwa peletak dasar aliran ini adalah Plato.5 Dalam pandangan Plato, pengetahuan empiris tidak dapat memberikan pengetahuan yang pasti karena sifatnya selalu berubahubah sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya. Maka bagi Plato, sesuatu yang di balik wilayah indera lebih iapercayai. Wilayah itu adalah wilayah ide yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Olen karenya, melalui ide bawaan itu, manusia dapat mengenal dan memahami sesuatu.6 Empirisime adalah aliran yang menekankan pada pentingnya indera 2 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, FilsafatIlmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 16 3 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, FilsafatIlmu (Yogyakarta: Liberti, 2002), hlm. 32. 4 Harold H. Titus et.al., Persoalan-PersoalanFilsafat, Terj. H.M.Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 187-188. 5 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 49-50. 6 Amin Abdullah, "Aspek Epistemologis Filsafat Islam" dalam Irma Fatimah (edit.), FilsafatIslamKajianOntologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hlm, 29. sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh pengetahuan.7 Dapat dikatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan adalah dari pengalamannya. Peletak dasarnya adalah Aristoteles. Berbalikan dengan Plato, Aristoteles tidak menganggap bahwa sumber pengetahuan adalah dari ide, akan tetapi baginya manusia dapat mengetahui sesuatu itu melalui proses pengamatan inderawi, bersifat empiris. Baginya, meskipun pengamatan inderawi itu berubah-ubah, dengan pengamatan yang terus-menerus terhadap obyek yang konkrit akal akan dapat mengabstraksikan idenya dari obyek tersebut .8Menurut Hobbes, pengalaman Inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.9 Dalam pergolakan pertentangan antara rasionalisme dan empirisisme kemudian muncul aliran yang melakukan sintesis antar keduanya, yaitu yang beranggapan bahwa pengetahuan manusia adalah berasal dari keduanya, yaitu inderawi dan rasio. Aliran ini berusaha mengatasi dua aliran sebelumnya dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Aliran ini dipelopori oleh Immanuel Kant.10 Dalam epistemologi, pengetahuan tidak hanya berkaitan dengan konsep-konsep seperti kebenaran dan reliabilitas tapi juga terkait dengan konsep keyakinan, pembuktian dan sebagainya. Brian Carrr dan D.J. O‟Connor, mengungkapkan ada tiga teori dasar epistemologi tentang keyakinan, yaitu: 1. Keyakinan sebagai sikap mental yang disebut sebagai teori mentalistik, yang pertama kali diungkapkan oleh David Hume. Hume mendefinisikan keyakinan sebagai “ide yang hidup”. Hume menafsirkan pemikiran sebagai kehadiran ide-ide tertentu dalam kesadaran dan lebih jauh menganggapnya sebagai persepsi biasa. Menurut Hume, ilmu harus dipahami dari the science of men yang menelaah bagaimana proses berpikir manusia dan bagaimana ia membentuk pandangan-pandangannya serta sampai pada keyakinan tentang hakekat fenomena. Dalam hal ini keyakinan adalah bagian dari ide yang hadir dalam konstruksi realitas. 2. Keyakinan sebagai kecenderungan perilaku, sebagaimana dikemukakan teori disposisional. Keyakinan adalah sesuatu yang dirasakan oleh pikiran, yaitu yang membedakan antara ide-ide pertimbangan dari fiksi imajinasi dan yang mengubah semua itu sebagai prinsip-prinsip yang mengatur semua tindakan. C.S Pierce dan beberapa penganut positivisme logis abad XX, seperti Hans Reichenbach dan Rudolf Carnap, serta filsuf Inggris, Braithwaite dan Ryle adalah pendukung teori disposisional. Meski demikian, Braithwaite meletakkan keyakinan sebagai self-knowledge dalam tiga fase. 7 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 21. 8 Amin Abdullah, "Aspek Epistemologis".. .., h1m. 31-32 9 Mohammad Muslih, FilsafatIlmu……,hlm. 53. 10 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu...., hlm. 59. 3. Keyakinan sebagai keadaan mental. Menurut Ramsey, keyakinan merupakan “peta realitas”, yang berfungsi dalam analogi. Pada Armstrong, ditemukan penyamaan struktural antara pemikiran dan realitas.11 Teori-teori ini sebenarnya menempatkan keyakinan sebagai bagian dari kesadaran Subyektif yang terlibat dalam proses “pembacaan” dalam realitas, baik pada Skeptisisme David Hume maupun keraguan kritis Rene Descartes. Dalam kaitannya justifikasi epistemik ada hirarki dimana keyakinan diukur dari “pasti”, “jelas”, “melewati batas keraguan rasional” hingga kualitas “pasti salah”. 12 Dengan demikian, pengetahuan dapat dikatakan sebagai bagian dari jenis keyakinan. Hal ini dapat ditarik dalam diskursus hadis. karena hadis merupakan keyakinan tentang kebenaran hadis sebagai data sejarah masa lalu yang dapat diidentifikasi melalui rekaman-rekaman atau memori-memori kolektif para sahabat sebagai suatu pengetahuan yang pasti. Maksimal yang dapat dilakukan dalam upaya merekonstruksi masa lalu itu adalah membuat suatu opini yang tentatif atau dzan. Keyakinan terhadap kebenaran hadis sebagaimana pengalaman langsung manusia yang sering dikaitkan dengan refleksi nalar, sehingga keyakinan tentang hadis diukur dengan kualifikasi tertentu. Kualifikasi pertama membentuk basis pengetahuan dan yang kedua merupakan prosedur keilmuan. Oleh karena itu, aktivitas ilmiahsesungguhnya adalah upaya mencari hubungan logis antara keyakinan dengan obyek pengetahuan atas dasar “sebab” dengan kriteria dan prosedur tertentu. Dengan demikian, dalam interelasi antara pengetahuan, keyakinan, obyek dan subyeknya yang mendasarkan pada keyakinan saja bukan merupakan faktor satu-satunya yang menjadikan subyek yakin. Hal ini karena subyek mengamati suatu fenomena dulu, kemudian menarik kesimpulan atas dasar kualifikasi tertentu. Sebagai contoh, apabila seseorang melihat gerak terbang pada burung yang kemudian menyimpulkan bahwa burung tersebut terbang. Maka keyakinan adalah sesuatu yang melekat pada subyek dan yang membuat subyek dalam keadaan yakin. Hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan “negasi-afirmasi” di mana pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya. (2) pengetahuan mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan bahwa hal itu harus diafirmasi. Terhadap keyakinan tentang obyek tertentu, pengetahuan tidak terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja metodologi keilmuan, negasi-afirmasi adalah dua hal yang tidak 11 Sebagaimana dipaparkan oleh Wahyuni Sifatur Rahmah, lihat Wahyuni Sifatur Rahmah, Epistemologi Hadis : Sunni dan Syi'i, Thesis, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006. him. 30-32. 12 Lihat dalam Roderick M.Chilsolm, Theory of Knowledge (New Jersey: Prentice Hall, 1989), hlm. 16. dapat dipisahkan.13 B. Tolok Ukur Kebenaran dalam Epistemologi Dalam epistemologi, yang menjadi salah satu persoalan pentingnya adalah tentang validitas atau ukuran kebenaran. Untuk menentukan kebenaran ini terdapat beberapa teori, di antaranya teori korespondensi, koherensi. Antara ilmu dan pengetahuan memiliki standar sendiri-sendiri. Oleh karenanya, keyakinan sebagai salah satu pengetahuan, akan menjadi pengetahuan yang benar jika memenuhi persyaratan berikut: ( 1 ) obyektifitas atau kesesuaian keyakinan dengan obyeknya dan apa adanya (2) subyektifitas atau keniscayaan jiwa (afektivitas). Dalam teori persesuaian tentang kebenaran, George E. Moore menyatakan bahwa kebenaran sebagai persesuaian beragam buah pikiran mengenai realitas menjadi suatu rumusan yang serasi, rasional dan logis. Apabila suatu ide sesuai dengan “rekannya” di dunia realitas, maka itu adalah ide yang benar. Kebenaran merupakan predikat ide-ide, pernyataan-pernyataan serta kepercayaan-kepercayaan yang harus memiliki hubungan yang sejajar dengan fakta-fakta yang mereka cerminkan. Dengan demikian, sifat umum kebenaran adalah persesuaiannya dengan kenyataan.14 Teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan diangggap benar apabila sesuai dengan fakta. Maka jika tidak sesuai dengan fakta, pernyataan tersebut dianggap tidak benar. Sedangkan teori koherensi menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila sesuai atau koheren dengan pernyataan-pernyataan yang dahulu, yang sudah diterima kebenarannya. Makapenghadapannya bukan pada fakta atau realita seperti dalam korespondensi, akan tetapi dihubungkan dengan pernyataan-pernyataan lain. Menurut F.R. Ankersmit, sebagaimana dijelaskan Syamsul Anwar, perselisihan antara dua teori ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya keduanya bukan teori vang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Teori korespondensi menunjukkan kepada apa yang kita maksudkan jika mengatakan bahwa suatu pernyataan benar atau bisa disebut mendefinisikan konsep. Sedangkan teori koherensi menunjukkan “bagaimana” menetapkan kebenaran suatu pernyataan atau dengan kata lain menunjukkan ukuran untuk mengecek kebenaran itu.15 Dalam wacana Islam, menurut S.I Poeradisastro, sebagaimana dikutip Miska Muhammad Amin, epistemologi berjalan dari tingkat-tingkat (1) contemplation perenungan tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan alQur‟an (2) sensation (penginderaan) (3) perception (pencerapan) (4) representation (penyajian) (5) concept (konsep) (6) judgment (pertimbangan) 13 Wahyuni Sifaturrahmah, "Epistemologi "....., hlm. 33-34. Dalam Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika Studi Orientasi Filsafat Ilmu pengetahuan (Bandung: Remaja Karya, 1985), hlm.92 15 Syamsul Anwar, "Epistemologi Hukum Islam: Studi atas Pemikiran Al-Ghazali dalam al-Mustasfa> Min 'Ilm al-Ushu>l", Desertasi, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2001. hlm. 284-287. 14 dan reasoning (penalaran).16Epistemologi dalam Islam tidak seperti di dunia Barat. Apa yang berkembang di Barat tidak mencukupi untuk dijadikan kerangka teori dalam epistemologi Islam. Hal ini karena epistemologi Barat cenderung bergerak di wilayah natural sciences sedangkan epistemologi Islam lebih pada humanities atau social sciences. Abid al-Jabiri, seorang intelektual Islam mentipologikan epistemologi dalam Islam pada tiga tipologi, yaitu (1) epistemologi bayani (2) epistemologi Irfani (3) epistemologi burhani. Epistemologi bayani bersumber dari teks, nash atau wahyu. Tolok ukur kebenarannya adalah keserupaan antara teks dengan realitas. Sedangkan epistemologi irfani sumber utamanya adalah intuisi berdasarkan pengalaman hidup pelaku. Dengan pendekatan intuitif, dzauq bersifat ladunni, standar validitasnya adalah empati, simpati, universalreciprocity juga apa yang disebut understandingothers. Adapun epistemologi burhani, bersumberkan pada realitas/alwaqi’ (alam, sosial, humanitas) juga al-’ilmal-husuli. Dengan pendekatan filosofis-saintifik, tolok ukur di dalamnya adalah teori korespondensi, koherensi serta pragmatis.17 C. Konstruksi Epistemologi Hadis. Ketika membahas epistemologi hadis, hal ini akan berbeda dengan metodologi kajian hadis atau yang disebut ulum al-hadis. Kajian epistemologi hadis akan lebih berfokus pada tataran konsep-konsep dasar sebagai bangunan epistemologi hadis. Persoalan yang mendasar di sini adalah bisakah hadis yang merupakan peristiwa masa lalu, yang sudah terlepas dengan masa kini bisa diketahui kebenarannya? Adakah yang menjembatani untuk sampai kesana? Dalam sejarah, telah dikenal bahwa Imam Syafi‟i adalah tokoh yang pernah melakukan usaha pembuktian adanya ketersambungan hadis yang ada sekarang dengan masa lalu, artinya memang benar berasal dari Nabi meskipun berjarak zaman yang panjang. Upaya inidilakukandengan menganalogikan dengan proses di pengadilan. Bahwa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada waktu kejadian suatu kasus adalah disandarkan kepada para saksi. Para saksi inilah yang dianalogikan sebagai periwayat –jika dalam hadis-. Dengan demikian, Imam Syafi‟i membuktikan bahwa pengetahuan tentang masa lalu dapat diketahui kebenarannya, yaitu dengan bersumber dari para saksi. Para saksi inilah yang menjembatani pengetahuan ke masa lalu. Dalam hadis, para saksi ini berada dalam struktur hadis yang disebut sanad. Susunan ini berantai dari saksi pertama hingga saksi terakhir yang membukukan hadis. Sebagai saksi pertamanya adalah sahabat. Posisi ini memegang peranan yang sangat penting. Berawal dari pemahaman dan pencerapan para saksi pertama inilah, hal-hal yang dari Nabi diriwayatkan turun-temurun. 16 Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam; Pengantar Filsafal Pengetahuan Islam (Jakarta: Ul Press, 1983), hlm. 11. 17 Seperti dipaparkan Mohammad Muslih dari Bunyah al-Aql al-‘Arabi karya Abid alJabiri. Lihat Mohamamad Muslih, Filsafat Ilmu ……, hlm. 164-198. Secara lebih lanjut, epistemologi hadis berangkat dari teks yang identik dengan khabar sebagai otoritas. Hadis merupakan warisan pemikiran yang diberitakan oleh para sahabat dari Nabi saw. Perlu diketahui, bahwa problematika dalam epistemologi hadis tidak seperti dalam epistemologi secara umum. Dalam epistemologi hadis problem tidak pada salah-benar secara logika, tapi pada “kemungkinan sahih” dan “status” yang lain yang bertingkattingkat atau pada degradasi kualitas hadis. Hal ini karena hadis sebagai otoritas yang dijadikan rujukan yang memiliki problem antara “ungkapan” dan “makna”. Oleh karena itu, epistemologi hadis menunjukkan keterkaitan antara khabar di satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi lain. Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan pada dua macam: (1) khabar yang memungkinkan pengetahuan yang pasti (dharury) atau bersifat mutawatir.Tolok ukurnya ada dua hal: a) para periwayatnya harus memberitahukan apa, yang diketahui secara pasti. b) jumlah periwayat harus lebih dari empat orang, berdasarkan wahyu dan persyaratan persaksian. Proses ini juga harus terjadi secara tawatur atau berulang-ulang. Khabar ini disebut juga dengan hadis mutawatir. Khabar yang ke (2) yaitu apa yang disampaikan oleh seseorang (ahad). Khabar ini diketahui melalui persepsi dan disampaikan kepada beberapa orang sesudahnya. Status khabar ini tidak seperti sebelumnya, mutawatir yang memungkinkan pengetahuan pasti. khabar ahad belum memenuhi kriteria korespondensi dan juga afektifitas. Oleh karenanya, secara epistemologis, khabar ahad belum bisa mencapai pengetahuan meskipun dianggap valid. 1. Unsur-unsur Dalam Hadis. a. Sanad Hadis memiliki beberapa unsur. Di antara unsur tersebut yang pertama adalah sanad. Sanad adalah jalannya matan, atau silsilah atau susunan periwayat yang memindahkan matan dari sumbernya yang pertama. 18 Jadi unsur sanad ini berisi rantai periwayat yang berisi nama-nama periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut serta kalimatkalimat yang menyambungkannya. Kalimat-kalimat inilah yang menunjukkan bagaimana cara hadis tersebut disampaikan dan diterima oleh masing-masing periwayat. Selain itu, kalimat-kalimat ini juga membawa konsekuensi tersendiri terhadap nilai kualitas hadis. Kedudukan sanad sangat penting dalam hadis karena sebagai bukti dan rangkaian saksi yang mampu menjembatani untuk sampai kepada sumber informasi. Jika rangkaian sanad bisa dinyatakan sahih, dapat dikatakan bahwa kualitas hadis dapat dipercaya karena dibawa dan diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dapat dipercaya. Tinggal melakukan penelitian kesahihan pada matan. Fenomena sanad nampaknya sesuatu yang khas dalam tradisi 18 „Ajja>j al-Khat}i>b,Usu>l al-Hadi<s{‘Ulu<muhu wa Must{alah{uhu (Beirut: Da>r alFikr,1989) hlm.31-32 Islam. Penyandaran periwayatan dilakukan sebagai bukti pertanggung jawaban seorang periwayat atas apa yang diriwayatkannya. Sehingga, suatu informasi yang tidak ada sanadnya, bisa dipertanyakan kebenarannya.Demikian juga dengan hadis, jika suatu hadis tidak ada sanadnya maka tidak dianggap sebagai hadis. Perhatian ulama terhadap sanad ini cukup besar. Penelitian terhadap periwayat harus dilakukan dengan kritis dan teliti. Karena sanad inilah yang bertanggung jawab atas isi informasi yang diriwayatkan. Penelitian secara kritis dan sangat teliti ini dilakukan sebagai upaya dalam menyelamatkan hadis dari berbagai problemnya; baik problem bercampur dengan hadis palsu, atau problem yang ditimbulkan olehkealpaan atau kelupaan periwayat. Untuk itulah ulama kemudian berijtihad dan berusaha keras menyusun kriteria-kriteria dalam penelitian dan penilaian kesahihan hadis, baik dari sisi sanad maupun matan. Dalam penelitian sanad, ada beberapa hal yang harus diteliti, yaitu; para periwayat yang membawa hadis dan kalimat-kalimat yang menyambungkannya atau sighat tahammul wa al-ada‟. Apakah itu haddas}ana>, akhbarana>, sami’tuatau yang lainnya yang hal ini juga membawa dampak pada kualitas hadis. Terkait dengan periwayat, ada poin-poin yang harus diteliti baik kapasitas intelektualnya, sehingga terhindar dari problem-problem kesalahan ingatan maupun kualitas agama dan moralnya sehingga ia bisa terpercaya ketika meriwayatkan suatu hadis. Secara lebih rinci, Syuhudi Ismail menyebutkan bahwa syarat-syarat yang harus ada dalam diri periwayat sehingga apa yang diriwayatkan dianggap sah adalah bahwa orang atau perawi tersebut harus: 1) beragama Islam, 2) Baligh, 3) berakal, 4) tidak fasik, 5) terhindar dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatannya (terjaga akhlak perilakunya), 6) mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya, 7) jika ia memiliki catatan hadis, maka catatannya itu dapat diercaya dan 8) mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadis yang diriwayatkan secara makna.19 Sifat-sifat yang tersebut di atas adalah yang disebut dalam kategori adil dan dlabitsebagaimana yang sering disebutkan. Adil terkait kualitas agama dan moral akhlaknya, sedangkan dlabit terkait dengan kapasitas intelektual perawi. Untuk mengetahui keadilan dan kedlabitan perawi sudah barang tentu harus menelusuri dan meneliti biografinya; baik kurun hidup, tempat hidup, orang-orang yang menjadi guru atau orang yang darinya ia mendapatkan riwayat hadis, murid-murid nya atau orangorang yang meriwayatkan hadis darinya -sehingga bisa diketahui muttas{il tidaknya sebuah rangkaian sanad- juga pada penilaianpenilaian baik atau penilain buruk terhadap perawi atau yang biasa 19 H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) hlm. 56-57 disebut jarh} wa al-ta’di>l. Semua ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, kritis dan teliti. Sedangkan yang terkait dengantahammul wal adaatau tata cara periwayatan hadis yang ditandai dengan lafaz-lafaz tertentu,secara umum, ulama membagi tata cara penerimaan hadis pada delapan macam cara, yaitu 1) al-Sama min lafdzi al-Syaikh, 2) al-Qira>’ah ‘ala> al-Syaikh, 3) Al-Ija>zah, 4) al-Muna>walah, 5) alMuka>tabah, 6) al-I’la>m, 7)Al-Washiyyah, 8) al-Wija>dah Lafadz –lafadz yang biasa digunakan dalam metode sama‟ adalah : sami’tu, haddas}ana>, haddas}ani>, akhbarana>, qa>la lana>, dzakara lana>.Dalam metode qira>’ah terdapat lafaza-lafadz qara’tu ‘ala> fula>n, qara’tu ‘ala> fula>n wa ana> asma’u fa aqarra bihi. Dalam metode ija>zah ada lafadz-lafadz Akhbarana>, haddas}ana>). Dalam metode muna>walah terdapat lafaz-lafaz : na>walani>, na>walana>. Dalam metode muka>tabah ada lafazlafaz : kataba ilayya fula>n, akhbarani> bihi mukatabatan dan Akhbarani> bihi kita>batan. Dalam metode I’la>m terdapat lafaz : akhbarana> a’laman. Dalam metode washiyyah terdapat lafaz Ausha> Ilayya. Dan dalam metode wija>dah ada lafaz wajadtu bikhat}t}i fula>nin Haddas}ana> Fula>n. Selain Lafaz yang menunjukkan cara penerimaan riwayat tersebut, dalam sanad juga terdapat Hurf yang berfungsi sebagai penyambung dalam suatu sanad. Huruf tersebut adalah ‘An dan Anna. Hadis yang menggunakan harf sambung ‘An disebut hadis Mu’an’an sedangkan hadis yang menggunakan harf Anna disebut hadis Muannnan. b. Matan Unsur kedua dalam dalam struktur hadis adalah matan. Matan secara bahasa adalah inti, merupakan isi dari hadis.Kalimat inti yang mengandung pesan dari hadis.20 Penelitian tehadap matan, terkait juga dengan periwayatan hadis yang bersifat bial- lafzi> dan bi al-ma’na> dimana mayoritas hadis diriwayatkan secara bi al ma’na>. Bagaimana pencerapan sahabat dalam mendengar, memahami, memaknai suatu informasi dari Rasul akan terinterpretasi dalam matan. Oleh karenanya penelitian terhadap matan juga perlu dilakukan dengan cermat dan teliti. Menurut Hasjim Abbas, ada beberapa hal yang mendasar dalam penelitian terhadap matan yang penting dikemukakan yaitu 1) Obyek forma penelitian matan 2) potensi bahasa pengantar matan, 3) hipotesa dalam penelitian matan 4)status marfu’dan mauqufnya hadis. Adapun obyek forma penelitian matan hadis mencakup 1) Uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkaan matan, 2) uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau uji teks redaksi, 3) Uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula matan 20 Abdurrah}man> al-Suyu>t}i>,Tadri>b al-Ra>wi Nawa>wi>(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1998), Juz I. hlm. 42 fi> Syarh}i Taqri>b al- hadis.21 Potensi bahasa Matan, bahwa teks hadis yang ada dapat terbentuk dari periwayatan bi al-lafdzi> dan bi al-ma’na. Pada kedua model pembentukan redaksi teks matan ini peran kreatifitas perawi dalam upaya memvisualkan obyek berita hadis relative besar, oleh karenanya asas metodologi dalam pengujian redaksi teks matan tekanannya pada mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusakcitra informasi hadis dan kemungkinan penyusutan atau penyesatan inti pernyataan aslinya. Oleh karenanya, penerapan pengujian validitas teks terjadi mekanisme pada peluang terjadinya penempatan kata yang mura>dif (sinonim), eufimisme (penghalusan), adanya pengungkapan informasi yang selengkap kronologi kejadian atau sebaliknya ada penyingkatan, subyek berita yang sengaja dianonimkan karena kode etik sesama sahabat, adanya idraj> (penyisipan), ziya>dah(tambahan), adanya ungkapan karena keraguan (syakk min al-ra>wi) dan sebagainya.22 Sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya sya>dz dan „illahdalam matan yang menjadi syarat diterimanya suatu matan hadis. 2. Periwayatan Hadis. Sebagaimana diketahui, hadis-hadis Nabi yang sekarang mewujud dalam bentuk teks dan terkodifikasi dalam kitab-kitab kumpulan hadis para Mukharrij Hadis, sebelumnya telah melalui proses dan perjalanan periwayatan yang panjang. Hadis tersebut, pada awalnya adalah hasil kesaksian sahabat Nabi atas sabda, perbuatan dan taqrir atau ketetapan Nabi SAW dan atau halihwal tentang Nabi SAW. Apa yang disaksikan ini kemudian disampaikan kepada orang lain begitu seterusnya hingga sampai kepada para mukharrij hadis.Sehingga hadis menjadi laporan tentang hal ihwal atau sunnah Nabi SAW. Cara periwayatan hadis pada masa Nabi SAW. lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu jika dibandingkan dengan periwayatan sesudahnya. Hal ini karena pada masa Nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang pemalsuan, juga karena pada masa itu orang akan lebih mudah mengadakan pengecekan langsung kepada Nabi SAW. jika ada informasi yang dianggap janggal atau dipertanyakan atau diragukan kesahihannya,23 Makin jauh jarak dengan Nabi, makin sulit pengujian kebenaran suatu hadis. Pada generasi setelah Nabi, khususnya masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tidak begitu banyak terjadi. Motif untuk kehati-hatian nampaknya menjadi faktor utama tidak banyaknya terjadi periwayatan pada masa dua khalifah ini. 24Namun pada masa dua khaifah setelahnya, yaitu Masa Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, kondisi periwayatan 21 Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2004), hlm.59 Ibid., hlm.60 23 Lihat'Ajja>j al-Khat}i>b, Al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n (Kairo: Da>r al-Fikr, 1993), hlm. 67-68. 24 Ibid, hlm. 81-83 22 tidak sedemikian ketat lagi. Sikap sangat hati-hati tidak begitu menonjol.Pada masa ini, periwayatan hadis telah begitu meluas dan mulai sulit dikendalikan. Pertentangan politik turut mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan hadis.25 Sehingga semakin komplek persoalan dalam periwayatan hadis. Riwayat hadis yang dimiliki sahabat ada yang langsung diperoleh dari Nabi dan ada yang dari sahabat lain. Ini berarti tidak semua sahabat berstatus sebagai saksi primer dalam periwayatan suatu hadis, bisa jadi ia menjadi saksi sekunder. Pada generasi-generasi sesudahnya, kehati-hatian dalam periwayatan hadis semakin lama semakin luntur, meskipun masih ada juga ulama yang menjaga tradisi ini. Kondisi yang demikian ini akhirnya berakibat pada diperlukannya penelitian yang mendalam terhadap suatu hadis, baik dari sisi sanad maupun matannya secara lebih dalam. 3. Tolok Ukur Kebenaran dalam Hadis Sebagai salah satu unsur dalam epistemologi, tolok ukur kebenaran merupakan sesuatu yang mutlak. Dalam ilmu hadis, tolok ukur kebenaran juga telah disusun oleh para ulama. Dalam sejarah telah terlihat bagaiman ghirah umat Islam dalam menjaga hadis. Sikap hati-hati yang ditunjukkan merupakan bukti bagaimana mereka begitu memberikan perhatian dalam menjaga dan menyelamatkan sunnah. Dalam kerangka ini, para ulama telah merumuskan kaedah-kaedah untuk meneliti hadis.Lahirnya ilmu jarh} wa al-ta’di>l, ilmu ila>l al-hadi>s}, ta>ri>kh al-Ruwat, merupakan bukti adanya upaya mendalam dalam meneliti hadis. Selain itu, untuk menjaga otentisitasnya, dalam penelitian hadis juga melibatkan berbagai disiplin ilmu lain, seperti bahasa, sejarah, psikologi, sosiologi, etika dan bidang ilmu lain yang terkait dan bisa digunakan dalam pendekatan pemahaman hadis. Standar penelitian terhadap hadis, berdasarkan teori kebenaran di atas, dilakukan dalam semua unsurnya, baik yang terkait dengan unsur pertama, yaitu sanad maupun unsur kedua, yaitu matan. Kriteria kesahihan hadis yang telah dirumuskan ulama dapat diketahui dariadanya kriteria hadis sahih yang lima, yaitu: (1) Sanadnya muttasil atau bersambung (2) diriwayatkan oleh perawi yang adil(3) diriwayatkan oleh perawi yang dlabit (4) terhindar dari sya>z}(5) terhindar dari „illat.26 Untuk mempraktikkan kriteria-kriteria di atas bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kaitan dengan penilaian terhadap rawi, kapasitas intelektual maupun kualitas moral merupakan halyang pelik dan tidak sederhana. Hal ini dilakukan dengan standar tinggi dan sangat hati-hati, tidak 25 Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekalan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.49. 26 Lihat Subh}i al-Sha>lih},Ulu>m al-Hadis}wa Must}ala>h}uhu (Beiru>t : Da>r al-„Ilmi li al-Malayin, 1977),hlm.145 sembarangan. Begitu juga dalam proses untuk mengetahui kebenaran formasi lafaz hadis, merupakan usaha yang membutuhkan keluasan ilmu, ketelitian dan kekritisan yang tinggi. Pada dasarnya, sanad bukanlah teori yang direkonstruksi tapi sesuatu yang ada yang harus ditetapkan kebenarannya dan terlepas dari subyek. Jika sanad sudah dinyatakan sah, maka la menjadi suatu fakta. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa teori kebenaran dalam hadis berawal dan kebenaran korespondensi. Sedangkan penelitian lanjutannya, yaitu yang terkait dengan matan, oleh para ulama dilakukan dengan memeriksa dan meneliti kesesuaiannya dengan nash-nash yang sudah ada, yang sudah diterima, baik itu al-Qur‟an maupun hadis shahih lainnya. Proses ini bisa dikatakan merupakan proses dalam teori koherensi. Jadi, dapatlah diketahui bahwa dalam penelitian hadis dilakukan dua teori kebenaran sekaligus, baik yang korespondensi maupun yang koherensi. Dengan penelitian yang seperti ini akan memberikan manfaat pada diketahuinya otentisitas hadis sehingga suatu khabar bisa dinyatakan benar-benar suatu hadis, bukan hanya diduga sebagai hadis. Oleh karenanya tidak akan ragu lagi ketika menggunakan hadis sebagai sumber ajaran agama, disamping al-Qur‟an. PENUTUP Dari penelusuran yang telah dilakukan, dapat diambil benang merah bahwa hadis, sebagai pengetahuan di masa lampau, masa yang tidak dialami oleh generasi sesudahnya, dapat diketahui kebenarannya. Yaitu dengan berdasar pada kesaksian para perawi. Para perawi inilah yang menjembatani untuk bisa sampai pada pengetahuan masa lalu tersebut. Tentu saja dalam hal ini memiliki ukuran validitas tertentu. Pada hadis, standar tersebut adalah penelitian pada sanad dan pengujian pada matan. Dengan berdasar pada teori kebenaran koherensi dan korespondensi, penelitian terhadap hadis mencakup dua proses teori kebenaran ini sekaligus. Penelitian terhadap sanad bisa dikatakan melalui proses korespondensi, sedangkan penelitian terhadap matan dilakukan dengan teori koherensi, yaitu dengan melakukan recek kesesuaian dengan nash-nash yang sudah diterima sebelumnya, seperti al-Qur‟an. Wallahu A’la>m bi al-Sawa>b. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta, TERAS, 2005 Abdullah, Amin. “Aspek Epistemologis Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (edit.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992. Ahmad Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994. al-Khatib, „Ajja>j. Al-Sunnah Qablaal-Tadwi>n. Kairo: Da>r al-Fikr, 1993. al-Khatib,‟Ajjaj. Us{u>l al-Hadis}‘Ulu>muhu wa Must}alah}uhu . Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1989. al-Shalih Subhi. Ulu>m al-Hadis} wa Mustalahuhu. Beiru>t: Da>r al-ilmi li alMalayin, 1977 al-Suyuti, Adurrahman, Tadri>b al-Ra>wi fi> Syarh}i Taqri>b Beirut: Dar al-Fikr, 1998. al-Nawawi. Amin, Miska Muhammad. Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Jakarta: UI Press, 1983. Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum Islam: Studi atas Pemikiran Al-Ghazali dalam al-Mustasfa Min ‘llm al-Ushul”, Desertasi, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2001. Chilsolm, Roderick, M. Theory of Knowledge. New Jersey: Prentice Hall, 1989. Dirjosisworo, Soedjono. Pengantar Epistemologi dan Logika Studi Orientasi Filsafat Ilmu Pengetahuan . Bandung: Remaja Karya, 1985. Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahehan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Muslih, Mohammad. Filsafat ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan . Yogyakarta: Belukar, 2005. Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Rahmah, Wahyuni Sifatur. "Epistemologi Hadis : Sunni dan Syi'i", Thesis, Yogyakarta. Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti, 2002. Titus, Harold H. et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, Terj. H.M.Rasjidi . Jakarta: Bulan Bintang, 1984.