BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia
dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak
yang melekat pada setiap individu sejak lahir disebut Hak Asasi Manusia
(HAM). HAM adalah sekumpulan hak yang menjamin orang untuk hidup
sesuai dengan martabat manusianya, baik sebagai individu dan kelompok.1
Hakikat keberadaan dan dasar HAM semata-mata untuk kepentingan manusia
itu sendiri. Artinya, setiap individu tetap memiliki HAM tanpa terkecuali.2
Pekerjaan, kedudukan, golongan maupun status sosial bukan faktor yang
membedakan HAM satu dengan yang lainnya.
Upaya masyarakat internasional untuk menjamin perlindungan HAM
terlihat setelah Perang Dunia II (PD II). Negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui sebuah deklarasi HAM pada tanggal 10
Desember 1948 dalam Sidang Majelis Umum PBB. 18 tahun kemudian, yaitu
tanggal 16 Desember 1966 Majelis Umum PBB melalui Resolusi MU PBB No.
2200 A (XXI) mengesahkan International Covenant on Civil and Political
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1
Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai aplikasi), Pustaka Setia,
Bandung, 2011, hlm. 223
2
H. A. Masyhur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Hukum Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 47
1"
"
Rights/ ICCPR (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik) dan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Right/ ICESCR (Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).3 Sedangkan, tahap
implementasi dari kedua perjanjian internasional tersebut diserahkan kepada
masing-masing negara melalui ratifikasi. Perjanjian tersebut tidak dapat
dipaksakan keberlakuannya di suatu negara karena setiap negara merdeka
memiliki kedaulatan. Artinya, negara memiliki peran yang sangat penting
dalam penegakan HAM bagi setiap individu, dalam kata lain dapat disebutkan
bahwa HAM adalah jaminan negara terhadap warga negaranya.
Setiap orang pada prinsipnya merupakan penerima manfaat HAM.4
Tetapi, dalam prakteknya ada dua kategori penerima manfaat yang biasanya
harus dibedakan terlebih dahulu. Pertama, kelompok-kelompok yang dianggap
lebih rentan dari kelompok lainnya dan secara tradisional telah menjadi sasaran
proses diskriminasi; kelompok-kelompok rentan membutuhkan perlindungan
khusus terhadap haknya. Kedua, siapa yang menjadi penanggung jawab atau
pemegang kewajiban atas pemenuhan hak kelompok-kelompok rentan tersebut.
Masalah yang kedua sangat berkaitan dengan isu pekerja migran dan orangorang asing (bukan warga negara bangsa), di mana pembagian tanggung jawab
antara negara asal dan negara penerima kadang-kadang menimbulkan
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
3
"Ibid, hlm. 67"
Pasal 22 DUHAM : “Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, memiliki hak atas
jaminan sosial dan berhak atas perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya yang diperlukan bagi
martabatnya dan perkembangan kepribadiannya secara bebas”.
4
2"
"
kesulitan.5 Pekerja migran pada era globaliasi saat ini sangat memungkinkan
untuk melintasi batas satu negara dengan yang lainnya. Kondisi seperti ini
dapat meningkatkan mobilitas pekerja migran di dunia secara universal
maupun dalam kawasan regional.
Pekerja migran dalam pandangan HAM harus diberi perlindungan
terhadap pribadinya maupun keluarganya. Perlindungan terhadap pekerja
migran dapat diatur melalui instrumen HAM secara umum maupun khusus.
Instrumen umum HAM telah mengatur tentang pekerja migran, seperti ICCPR
dan ICESCR, kedua kovenan tersebut bersifat universal. Selain itu, ada the
European Convention on Human Rights /ECHR (Konvensi Eropa Tentang Hak
Asasi Manusia) yang berlaku dalam kawasan Eropa semata. Instrumen tersebut
memang hanya menjelaskan perlindungan terhadap setiap individu. Tetapi,
dapat diartikan perlindungan yang diberikan konvensi tersebut juga termasuk
perlindungan
terhadap
pekerja
migran
di
bawah
yurisdiksi
negara
penandatangan konvensi.
Instrumen khusus tentang perlindungan hak asasi pekerja migran juga
sudah diatur, seperti the 1990 International Convention on the Protection of
Human Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (UN
Migrant Workers Convention) yang berlaku secara universal dan dapat
digunakan untuk membuat kerangka perundang-undangan nasional tentang
migrasi atau dibawa ke tingkat regional. Kawasan Eropa juga telah membuat
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
5
Asbjorn Eide, et al, “Economic, Social and Cultural Rights”, terj. Rini Adriati, Brill
Academic Publisher, London, 2001, hlm. 21
3"
"
standar perlindungan pekerja migran melalui the European Convention on the
Legal Status of Migrant Workers 1997 (Konvensi Eropa tentang Status Hukum
Pekerja Migran). Konvensi tersebut membicarakan tentang berbagai hak,
termasuk rekrutmen, ijin kerja dan ijin tinggal, kondisi kerja dan reunifikasi
keluarga, serta migrasi berulang.6 Meskipun konvensi ini hanya mengatur
dengan tegas perlindungan terhadap para pekerja migran yang berdokumen.7
UN Migrant Workers Convention merupakan perjanjian yang paling
komprehensif di dalam bidang migrasi dan hak asasi. Konvensi tersebut
merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang dimaksudkan sebagai
sarana perlindungan kelompok manusia yang paling rentan. Setidaknya ada dua
alasan bahwa pekerja migran sangat berpotensi menjadi korban pelangaran hak
asasi: (i) pekerja migran sebagai non-nationals atau orang yang jauh dari
negara asal tentunya dapat meningkatkan tingkat kerentanan mereka; (ii)
sebagai pekerja yang aktif sering tidak mampu secara ekonomi dapat
menyebabkan perlakuan pihak-pihak tertentu kepada mereka menjadi tidak
adil.8
Pekerja migran memiliki hak asasi yang telah mendapatkan
pengakuan secara universal di dalam UN Migrant Workers Convention, yaitu
sebagai berikut:
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
6
Ibid, hlm. 414-420
" Pranoto Iskandar, Standar Internasional Migrasi Ketenagakerjaan Berbasis HAM, IMR
Press, Cianjur, 2006, hlm. 59
8
De Guchteneire and Pecoud, Migration and Human Rights The UN Convention on
Migrant Workers Rights, Cambridge University Press, UK, 2009, hlm. 1-3
7
4"
"
1.! Hak atas hidup dari buruh migran dan anggota keluarganya harus
dilindungi oleh hukum (Pasal 9);
2.! Tidak seorangpun buruh migran dan anggota keluarganya dapat
diperbudak maupun diwajibkan untuk kerja paksa (Pasal 11 ayat
[1] dan [2]);
3.! Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan dan
keamanan pribadi (Pasal 16);
4.! Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas perlindungan
yang efektif dari negara terhadap tindakan kekerasan, kerugian
fisik, ancaman dan intimidasi, baik yang dilakukan oleh pejabat
publik maupun perseorangan, kelompok ataupun lembaga. (Pasal
16 ayat 3);
5.! Buruh migran dan anggota keluarganya, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara kolektif, tidak boleh menjadi sasaran penangkapan
atau penahanan yag sewenang-wenang (Pasal 16 ayat 4); dan
6.! Buruh migran dan anggota keluarganya berhak atas kebebasan
untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk
mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis
atau bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai
dengan pilihannya (Pasal 13 ayat 2).
PBB telah berupaya memberikan perlindungan hak asasi pekerja
migran melalui UN Migrant Workers Convention dan Uni Eropa melalui the
European Convention on the Legal Status of Migrant Workers 1997, maka
kemudian diharapkan kawasan regional seperti ASEAN segera membuat
instrumen tentang perlindungan pekerja migran di kawasan Asia Tenggara. Hal
tersebut menjadi penting mengingat di Asia Tenggara masih terjadi beberapa
pelanggaran HAM terhadap pekerja migran seperti kerja paksa maupun
pembatasan kebebasan berpendapat. Ratusan Anak Buah Kapal (ABK) telah
ditemukan pada bulan April 2015 sebagai korban kerja paksa dan penyiksaan
yang diduga dilakukan oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand di
Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Achmad Santoso, Ketua Tim Satgas
Pemberantasan Illegal Fishing, menyebutkan jumlah korban perbudakan
5"
"
terbanyak adalah warga negara Myanmar, yakni sebanyak 256 orang. Warga
negara Kamboja sebanyak 58 orang merupakan korban terbanyak kedua,
sisanya delapan orang berasal dari Laos. Berdasarkan pengakuan salah satu
ABK, sebagian besar dari mereka telah dieksploitasi sekitar 10 tahun tanpa
bayar. Bahkan, beberapa mengaku sempat dilecehkan dan dikurung dalam sel.
Luka lebam dan sayatan di sekujur tubuh badan menjadi bukti kerasnya
penyiksaan.9
Pelanggaran hak asasi pekerja migran juga terjadi di Singapura, pada
26 November 2012, sopir bus yang mayoritas pekerja migran dari daratan
China melakukan mogok kerja di perusahan tempat mereka bekerja.
Pemogokan yang dilakukan oleh sekitar 150 sopir yang berasal dari China
tersebut berawal dari masalah gaji yang menurut mereka lebih rendah dari
sesama sopir yang berasal dari Malaysia. Akibat dari tindakan itu, Pemerintah
Singapura pun akhirnya mendeportasi 29 pekerja migran yang berasal dari
China dan menangkap lima lainnya.10 Tindakan Pemerintah Singapura tersebut
telah melanggar hak asasi pekerja migran yang telah diatur oleh hukum
internasional, bahwa pekerja migran berhak untuk bebas menyatakan pendapat.
Bukan hanya itu, terdapat ribuan anak pekerja migran dari Indonesia
di Malaysia tidak mengenal bangku sekolah. Anak-anak itu akhirnya banyak
yang bekerja sebelum waktunya. Persoalan pendidikan anak-anak pekerja dari
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
9
Elisa Valenta Sari, Benjina, Kisah Perbudakan Ratusan Nelayan di Timur Indonesia,
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150407155215-92-44823/benjina-kisah-perbudakanratusan-nelayan-di-timur-indonesia/, diakses pada tanggal 5 November 2015, pukul 15.12 WIB.
10
Wahyudi Djafar, et al, Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN,
Laporan Penelitian, Internatioanal NGO Forum on Indonesia Development and ICCO, 2014, hlm.
45
6"
"
Indonesia memang telah lama menjadi isu sentral di Sabah.11 Pelanggaran hak
asasi pekerja migran dan keluarganya berpeluang semakin meningkat,
mengingat akan dilaksanakannya Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pencapaian
Komunitas
ASEAN
semakin
kuat
dengan
ditandatanganinya ”Cebu Declaration on the Estabilishment of an ASEAN
Community by 2015” oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN
di Cebu Filipina, 13 Januari 2007.12 Pembentukan ASEAN Economic
Community merupakan sebuah sarana untuk mencapai tujuan ASEAN yang
telah ditentukan dalam piagam.13 Salah satu pilar untuk mendukung pelaksanan
ASEAN Economic Community (AEC) tersebut adalah arus bebas tenaga kerja
profesional diantara negara-negara ASEAN. Pekerja migran dalam kondisi
seperti ini rentan terhadap pelanggaran HAM karena tidak ada standar baku
tentang perlindungan pekerja migran di Asia Tenggara. Perlu pembentukan
sebuah instrumen untuk mengatur secara khusus perlindungan terhadap pekerja
migran berdasarkan asas kepastian hukum. ASEAN telah berusaha melalui The
Vientiane
Action
Programme
(2004-2010)
yang
dimandatkan
untuk
memperluas sebuah instrumen ASEAN pada Perlindungan dan Pemajuan Hak
Asasi Pekerja Migran. Pada Januari 2007 ASEAN telah menyepakati
Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
11
M. Aji Surya, “Kisah-Kisah di Tapas Batas”, Peduli, edisi 4/ Desember 2014, hlm. 5
C.P.F. Luhulima, et al, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 109-110
13
Pasal 1 ayat (5) Piagam ASEAN : “ Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang
stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomi melalui fasilitas yang efektif
untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan
investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional; pekerja
berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih luas”.
12
7"
"
(DPPMW).14 Kesepakatan itu mungkin hanya bersifat soft law, tetapi
setidaknya ada sebuah petunjuk bagi negara-negara ASEAN untuk
perlindungan dan pemajuan hak asasi pekerja migran.
Sebenarnya perlindungan hak asasi pekerja migran tersebut tidak
hanya tergantung pada sebuah peraturan hukum semata. Perlindungan hukum
bagi pekerja migran harus dilihat sebagai sebuah sistem. Artinya, peraturan
hukum hanya akan bekerja jika ada faktor pendukung lain, misalnya lembaga
hukum serta aparat penegak hukumnya. Negara-negara ASEAN juga harus
membuat lembaga yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan
dan penegakan hak asasi pekerja migran. Selaras dengan tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan
hak-hak asasi dan kebebasan fundamental, maka ASEAN butuh membuat
sebuah mekanisme HAM regional.15
ASEAN membentuk ASEAN Intergovermental Commission on
Human Rights (AICHR) pada tanggal 23 Oktober 2009. Badan HAM tersebut
merupakan badan HAM yang menyeluruh secara garis besar bertanggungjawab
atas pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Badan ini bekerja sesuai
dengan Term Of Reference (ToR) yang disahkan oleh pertemuan MenteriMenteri Luar Negeri ASEAN pada tahun 2009.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
14
Andy Hall, Migrant Workers’ Rights to Social Protection in ASEAN, Friedrich-EbertStiftung, Singapore, 2011, hlm. 24
15
Pasal 14 ayat (1) Piagam ASEAN
8"
"
Menyikapi
terbentuknya
AICHR,
penilaian
cukup
menarik
dikemukakan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Navi Pillay. Menurut
Pillay, pembentukan AICHR merupakan “sebuah langkah maju dan penting ke
depan” bagi “promosi dan perlindungan HAM” setiap orang yang hidup di
lingkungan ASEAN. Namun, pada sisi lain Pillay juga kecewa karena badan
ini “sangat minim mandat perlindungan (lack of a clear protection
mandate)”.16 Pendapat Pillay tersebut memang dapat dibenarkan karena ketika
melihat mandat yang diberikan kepada AICHR melalui ToRnya masih terdapat
kelemahan-kelemahan.
Komisi yang beranggotakan sepuluh negara anggota ASEAN ini
memiliki 14 mandat. Tetapi, hanya tiga mandat yang dianggap memiliki sifat
perlindungan, yaitu meliputi: (i) mengembangkan strategi-strategi pemajuan
dan perlindungan HAM dan kebebasan fundamental untuk melengkapi
pembentukan Komunitas ASEAN; (ii) mengembangkan suatu Deklarasi Hak
Asasi Manusia ASEAN untuk menciptakan kerangka kerja sama HAM melalui
berbagai konvensi ASEAN dan instrumen-instrumen lain yang terkait dengan
HAM; (iii) memajukan pelaksanaan instrumen-instrumen ASEAN sepenuhnya
terkait dengan HAM. AICHR dapat membuat sebuah strategi perlindungan hak
asasi manusia dan dapat menciptakan sebuah instrumen hak asasi manusia serta
dapat mengawasi pelaksanaan berbagai instrumen yang berkaitan dengan HAM
termasuk pelindungan terhadap para pekerja migran.
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
16
Wahyudi Djafar, et al, Op. Cit, hlm. 53
9"
"
ASEAN memiliki tujuan perlindungan dan pemajuan HAM di
kawasan Asia Tenggara, sebagaimana yang telah tercantum di dalam Piagam
ASEAN. Tetapi, jika melihat mandat yang diberikan kepada AICHR, maka
tujuan Piagam ASEAN tersebut tampaknya sulit untuk dicapai. Mandat yang
diberikan kepada AICHR masih dianggap kurang tegas sebagai upaya
perlindungan HAM. Padahal, jika mengacu pada Pasal 14 ayat (1) Piagam
ASEAN menegaskan bahwa tujuan dibentuknya AICHR sebagai badan HAM
ASEAN
adalah
untuk
menjamin
berjalannya
fungsi
pemajuan
dan
perlindungan HAM di kawasan Asia Tenggara.
AICHR merupakan badan antarpemerintah dan bagian integral dari
struktur organisasi ASEAN. AICHR hanya sebatas badan konsultasi serta
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya wajib berpedoman pada prinsipprinsip yang telah ditentukan, misalnya tidak campur tangan urusan dalam
negeri
negara-negara
anggota
ASEAN.17
Kondisi
tersebut
akhirnya
menimbulkan sebuah anggapan bahwa mekanisme HAM ASEAN merupakan
forum negosiasi politik. Kemudian, pemahaman dalam pelaksanaan prinsip
non-intervensi oleh beberapa negara masih dianggap terlalu kaku dan
konservatif. Hal itu kemudian membuat AICHR tidak bisa menjalankan misi
pencarian fakta di negara-negara anggota ASEAN.
Berdasarkan mandat yang dimiliki AICHR tersebut, maka dapat
dilihat perbedaan yang sangat jauh dengan Badan HAM PBB. Badan HAM
PBB memiliki dua prosedur sekaligus yang menjadi kewenangan mereka
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
17
Term of Reference AICHR
10"
"
dalam mendapatkan informasi seperti : (i) adanya prosedur penerimaan
komplain dari individu, di mana setiap individu maupun organisasi memiliki
kesempatan untuk mengajukan laporan secara langsung tentang pelanggaran
HAM yang terjadi tanpa harus melalui institusi negara; dan (ii) adanya
prosedur khusus yang juga menjadi kewenangan Badan HAM PBB untuk
menunjuk individu atau kelompok kerja guna menjadi pelopor khusus dan
melakukan monitoring, pemeriksaan, dan pelaporan secara publik tentang
situasi perlindungan HAM di negara tertentu, walupun proses ini juga harus
diawali dengan persetujuan negara yang bersangkutan.18 Prosedur pelaporan
oleh individu sangat relevan dengan upaya pemajuan dan perlindungan hak
asasi pekerja migran karena seringkali pelanggaran terhadap pekerja migran
bersifat tertutup.
B. Rumusan Masalah Penelitian
1.! Bagaimanakah mekanisme perlindungan hak-hak pekerja migran dalam
kerangka AICHR ?
2.! Bagaimanakah memperkuat AICHR dalam rangka perlindungan hak asasi
pekerja migran?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
18
Wahyudi Djafar, et al, Op. Cit, hlm. 74
11"
"
1.! Mengkaji mandat, fungsi dan kerangka kelembagaan AICHR
berdasarkan ToRnya dan mengetahui mekanisme perlindungan hakhak pekerja migran di Asia Tenggara oleh AICHR.
2.! Mengidentifikasi dan mengevaluasi kelemahan-kelemahan AICHR
melalui ToR yang dimilikinya. Hasil dari evaluasi tersebut dapat
menjadi acuan terhadap penguatan peran AICHR dalam upaya
perlindungan HAM di Asia Tenggara, khususnya perlindungan hakhak pekerja migran.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman di
bidang hukum HAM internasional, khususnya hak asasi pekerja
migran. Hak-hak pekerja migran yang disimpulkan di dalam
penelitian ini merujuk pada instrumen HAM internasional yang
bersifat universal maupun yang bersifat regional dapat mempermudah
mengaplikasikannya dalam upaya perlindungan para pekerja migran
di tempat kerja oleh badan HAM ASEAN. Hal tersebut bukan tanpa
sebuah alasan, karena di dalam penelitian ini terdapat temuan-temuan,
fakta-fakta serta instrumen hukum internasional maupun prinsipprinsip yang relevan yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
memperbaiki mekanisme HAM di ASEAN serta sebagai masukan
12"
"
bagi pengembangan sistem AICHR. Pengembangan sistem AICHR ini
tentu dapat berdampak pada kepastian terhadap perlindungan hak-hak
pekerja migran di Asia Tenggara.
2. Manfaat Praktis
Penelitian
ini
dapat
menjadi
stimulan
terhadap
semangat
pembangunan sistem perlindungan HAM di Asia Tenggara,
khususnya perlindungan hak asasi pekerja migran. penelitian ini
tentunya dapat bermanfaat sebagai dorongan bagi perwakilan negaranegara anggota ASEAN, khususnya perwakilan Indonesia untuk
membuat sebuah instrumen internasional yang mengikat tentang
perlindungan hak-hak pekerja migran. Selain itu, penelitian ini juga
dapat dijadikan pertimbangan untuk memperkuat fungsi dan
kewenangan AICHR dengan merevisi ToR yang dimilikinya.
Penguatan sistem HAM ASEAN merupakan sebuah jaminan bagi
kesejahteraan dan keamanan pekerja migran.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian terhadap ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights (AICHR) telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu
dalam bentuk karya ilmiah yang memiliki perbedaan dan persamaan masingmasing. Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian yang diusulkan ini :
13"
"
1.! “Democration, Regional Integration, and Human Rights: the Case of
the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights” oleh
Yongwook Ryu dan Maria Ortuoste,19 yang dipublikasikan melalui
the Pacific Review pada tahun 2014 yang menganalisis mengenai
latar belakang negara-negara ASEAN yang pada akhirnya bersepakat
untuk membuat AICHR sebagai badan HAM ASEAN yang
dikaitkan dengan proyek ASEAN Community sebagai bentuk
integrasi regional. Penelitian ini membahas peran AICHR sebagai
badan HAM ASEAN untuk memajukan dan melindungi HAM setiap
individu, khususnya hak-hak pekerja migran. Persamaan karya tulis
Yongwook Ryu dan Maria Ortuoste dengan karya tulis ini adalah
terletak pada objek kajiannya, di mana keduanya membahas AICHR.
Selain itu, kedua karya ilmiah ini juga membahas sejarah
perkembangan mekanisme HAM di ASEAN. Perbedaannya, karya
tulis Yongwook Ryu dan Maria Ortuoste menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi terbentuknya AICHR, sedangkan karya tulis ini
fokus pada analisis penguatan kewenangan dan fungsi AICHR untuk
memajukan dan melindungi HAM setiap individu di Asia Tenggara.
2.! “ASEAN and Its Approach to Forced Migration Issues” oleh
Sriprapha
Petcharamesree,20
yang
diterbitkan
melalui
the
"""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
19
"Yongwook Ryu dan Maria Ortuoste, Democratization, Regional Integration, and Human
Rights: the Case of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, The Pacific
Review, Vol. 27, No. 3, 2014, hlm. 357-382"
20
"Sriprapha Petcharamesree, ASEAN and Its Approach to Forced Migration Issues, The
International Journal of Human Rights, 2016, Vol. 20, No. 2, hlm. 173-190"
"
14"
"
International Journal of Human Rights pada tahun 2016 yang
mengkaji masalah migrasi dalam konteks ASEAN serta menganalisa
dampak rezim HAM ASEAN terhadap pendekatan ASEAN dalam
menangani isu migrasi. Penelitian ini membahas permasalahan
pekerja migran serta mekanisme perlindunganya melalui AICHR.
Persamaan karya tulis Sriprapha dengan penelitian ini adalah pada
mekanisme perlindungan terhadap pekerja migran dalam konteks
ASEAN. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya bahwa karya
tulis Sriprapha mengkaji permasalah migrasi secara umum, seperti
pekerja migran, pencari suaka dan pengungsi, sedangkan penelitian
ini secara spesifik membahas permasalahan pekerja migran dan
perlindungannya dalam konteks sistem AICHR.
Perbedaan yang mendasar adalah penguatan peran AICHR yang
dikaitkan upaya perlindungan hak-hak pekerja migran sebagai fokus penelitian
ini. Maka, berdasarkan hal tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa penelitian
yang diajukan ini adalah asli. Apabila ada penelitian yang membahas hal yang
serupa dan luput dari penelusuran peneliti, penelitian ini sekiranya dapat
dipergunakan sebagai pelengkap untuk memperluas sumber ilmu pengetahuan.
"
"
"
"
15"
"
Download