BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) merupakan salah satu ikan asli perairan Indonesia yang masuk dalam keluarga Anabantidae. Menurut Froese & Pauly (2007) ikan ini berasal dari kepulauan Sumatera, Jawa dan Kalimantan sedangkan penyebarannya sudah meliputi Asia Tenggara, Cina dan India, menurut Nelson (2006) penyebarannya hingga Afrika. Ikan gurame hidup di perairan air tawar, jarang sekali hidup di air payau (Nelson, 2006) dan ikan gurame tidak memerlukan air mengalir sebagai tempat hidupnya (Tarwiyah, 2001). Pembudidayaan ikan gurame mudah diusahakan dan hasilnya dapat mencapai 80 ton per hektar (Taufik, 2010). Selain itu, ikan gurame memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena harga jual ikan cukup stabil, keuntungan yang dapat diperoleh dari budidaya ikan ini dapat mencapai tiga kali lipat dari modal awal menurut Setya (1999). Pembudidayaan ikan gurame tidak terlepas dari terinfeksinya ikan oleh bakteri Aeromonas hydrophila, yang dampaknya sangat merugikan para pembudidaya ikan gurame. Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh para pembudidaya ikan karena berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Kerugian tersebut dapat berupa kematian ikan dan penurunan kualitas ikan, sehingga secara ekonomis akan berakibat pada penurunan harga (Albanjari, 2009). Bakteri patogen merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh pembudidaya 1 2 ikan, kehadirannya dapat menyebabkan kematian benih hingga 90% (Marlina, 2008). Aeromonas hydrophila merupakan jenis bakteri yang banyak ditemukan di perairan air tawar, bakteri ini dapat menginfeksi hewan air bahkan manusia juga dapat terinfeksi oleh bakteri ini. Penyakit yang diinfeksi oleh Aeromonas hydrophila terjadi bila kualitas air yang berada di kolam dalam kondisi buruk, terutama apabila kandungan bahan organiknya meningkat akibat perubahan musim dari panas ke hujan, perubahan kondisi lingkungan dan temperature yang dingin (Siegel et al., 2002). Sejak beberapa tahun ke belakang produksi ikan gurame mengalami penurunan akibat suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Pada bulan Oktober tahun 2005, terjadi kematian lebih kurang 47 ton ikan gurame dan 2,1 juta ekor benih yang siap untuk dipasarkan milik kelompok tani ikan Mutiara Sukma di Kanagarian Lubuk Pandan. Berdasarkan hasil uji laboratorium, ikan gurame tersebut positif terinfeksi bakteri dengan ditemukannya bakteri Aeromonas hydrophila pada ginjal dan adanya borok. Bakteri tersebut mengakibatkan nafsu makan berkurang, tukak pada kulit dan penimbunan cairan di rongga tubuh, sehingga menimbulkan kematian pada ikan gurame (Diraja, 2007). Penanggulangan masalah yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila terhadap Osphronemus gouramy banyak dilakukan oleh para pembudidaya ikan dengan menggunakan bahan kimia dan antibiotik. Namun dengan cara ini telah banyak menimbulkan masalah diantaranya berupa pencemaran lingkungan, timbulnya organisme yang resisten terhadap bahan-bahan tersebut serta timbulnya 3 masalah residu pada produk perikanan (Albanjari, 2009). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan penelitian untuk mengurangi dampak terjadinya pencemaran lingkungan salah satunya digunakan bahan alami untuk menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan gurame (Marlina, 2008). Usaha untuk mengurangi permasalahan yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila juga dapat dengan cara memilih indukan ikan yang resisten terhadap bakteri tersebut dengan menggunakan penanda genetik. Penggunaan penanda genetik molekuler telah berkembang lebih dari dua dekade terakhir, terutama penggunaan penanda genetik mikrosatelit pada budidaya perikanan akan mendominasi beberapa tahun mendatang (Magoulas, 1998). Aplikasi penanda genetika banyak digunakan untuk mengidentifikasi garis keturunan atau strains, menentukan keanekaraman spesies, dan meningkatkan kualitas indukan ikan (Rashed et al, 2009). Penanda genetik yang sering digunakan dalam penelitian seleksi indukan diantaranya, Mikrosatelit (Dahle et al., 2006), RAPD (Rashed et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Rashed et al. (2009) RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) maupun SSR (Simple Sequence Repeat). Penelitian yang dilakukan oleh Dahle et al. (2006) diperoleh hasil, seleksi indukan ikan yang berasal dari empat lokasi yang berbeda dengan menggunakan penanda genetik mikrosatelit memiliki tingkat polymorphism yang tinggi dibandingkan dengan dibandingkan penanda genetik Allozyme, Hemoglobin, dan Pantophysin. Pengunaan penanda genetik untuk analisis variasi genetik juga digunakan dalam menganalisis variasi genetik pada ikan gurame yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Beberapa penelitian mengenai analisis variasi genetik 4 ikan gurame yang terinfeksi Aeromonas hydrophila telah dilakukan sebelumnya dengan penanda yang berbeda-beda seperti RAPD (Holipah, 2006) dan ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) (Muhsinin, 2007). Hasil penelitian dengan menggunakan penanda RAPD menunjukan hasil ditemukannya pola larik DNA spesifik yang membawa alel-alel resisten dan sensitif terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Penelitian dengan menggunakan penanda ISSR, hasil amplifikasi yang menunjukan bahwa pada DNA gurame yang resisten dan sensitif ditemukkan lokus mikrosatelit yang berlimpah pada DNA gurame tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian selanjutnya untuk mencari motif mikrosatelit pada DNA gurame yang resisten dan sensitif dengan mendesain primer mikrosatelit (Eka, 2010). Primer yang dihasilkan pada penelitian Eka (2010) digunakan lebih lanjut untuk menyeleksi primer yang tepat agar dapat membedakan pola larik DNA gurame yang resisten dan DNA gurame yang sensitif. Penggunaan primerprimer mikrosatelit hasil rancangan perlu dilakukan pengujian dan optimasi primer agar didapatkan hasil yang baik. Optimasi primer mikrosatelit telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2009) memperlihatkan primer SSR GE 1.7 dapat membedakan antara DNA gurame yang resisten dan sensitif dengan suhu annealing 44°C, sedangkan hasil penelitian Arrizqiyani (2009) dengan menggunakan suhu annealing sebesar 43°C dua primer yaitu GE 1.4 dan GE 1a mampu membedakan populasi ikan gurame yang resisten dan sensitif, akan tetapi masih menghasilkan jumlah pita DNA lebih dari empat. Menurut Rahman et al. (2000) peningkatan suhu annealing terutama selama 5 beberapa siklus pertama mampu meningkatkan kespesifikan pita DNA. Hasil penelitian selanjutnya dengan menggunakan penanda genetik mikrosatelit menunjukan bahwa, amplifikasi menggunakan penanda genetik Mikrosatelit pada gel agarosa 3% telah mampu membedakan pola larik DNA gurame yang terkait sifat resisten dan sensitif. Penelitian yang dilakukan oleh Habibah (2009) menggunakan primer GE.1.10, GE.17, GE.1.9 dan GE.1.4 diperoleh hasil hanya primer GE.1.0 yang dapat membedakan pola larik DNA gurame yang resisten pada gel agarosa 3%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Safirini (2009) menggunakan primer GE.1.b, GE.2.4, GE.3.1 dan GE.1.3 diperoleh hasil primer GE.1b dapat membedakan pola larik DNA gurame resisten menggunakan gel agarosa 3%. Penggunaan gel agrosa memiliki keuntungan diantaranya, biaya murah, daya listrik lebih rendah waktu elektroforesis lebih singkat, pewarnaan lebih mudah (Fatchiyah, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka akan dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan penanda mikrosatelit yang dalam aplikasinya untuk menyeleksi indukan gurame yang resisten dan sensitif terhadap Aeromonas hydrophila. Penelitian ini menggunakan primer mikrosatelit GE. 1.10 dan GE. 1.b dengan suhu annealing 49,5°C yang dielekroforesis menggunakan gel agarosa 3%. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah pola larik DNA koleksi indukan Osphronemous gouramy sampel dibandingkan dengan DNA kontrol yang membawa alel-alel yang terkait 6 sifat ketahanan terhadap Aeromonas hydrophila menggunakan primer mikrosatelit GE.1.10 dan GE.1B? C. Pertanyaan Penelitian 1. Primer manakah diantara GE.1.10 dan GE.1b yang dapat membedakan pola larik DNA gurame kontrol dengan pola larik DNA gurame sensitif? 2. Sampel DNA gurame manakah yang menunjukan kecenderungan membawa alel-alel yang terkait sifat ketahanan terhadap Aeromonas hydrophila? 3. Berapakah nilai heterozigosiras dan nilai PIC (Polymorphic Information Content) pada primer Mikrosatelit yang digunakan pada penelitian ini? D. Batasan Masalah 1. Sampel DNA kontrol berasal dari ikan populasi Blusafir yang membawa alel terkait sifat resisten dan sensitif terhadap bakteri Aeromonas hydrophila hasil penelitian Saptiani (2005) dan Meita (2005). 2. Sampel DNA indukan ikan gurame berasal dari Tasikmalaya dan Sukabumi yang merupakan koleksi indukan Balai Perikanan Air Tawar Sukabumi. 3. Analisis Variasi Genetik pada penelitian ini hanya berdasarkan DNA, sifat fenotip tidak dikaitkan dengan sifat lainnya. 4. Primer SSR yang digunakan adalah GE 1.10 dengan motif (GCA)5 (GTG)7 dan dengan motif GE 1.b. (GTT)10 5. Suhu annealing yang digunakan 49,5°C. 7 E. Tujuan Penelitian Untuk membandingkan pola larik indukan gurame yang resisten terhadap bakteri Aeromonas hydrophila dengan pola larik DNA sampel. F. Manfaat Penelitian 1. Untuk menambah informasi mengenai variasi genetik indukan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) yang resisten terhadap Aeromonas hydrophila 2. Untuk mendapatkan indukan gurame yang resisten terhadap Aeromonas hydrophila 3. Membantu para pelaku program persilangan ikan gurame untuk dapat merancang dan menyeleksi melalui analisis keragaman genetika dan tetua. 4. Membantu mempercepat proses waktu persilangan dan seleksi F1.