PERANAN KOMUNIKASI ARTIFAKTUAL

advertisement
Freska Y. Rompas, Peranan Komunikasi Artifaktual
PERANAN KOMUNIKASI ARTIFAKTUAL
TERHADAP PEMBENTUKAN CITRA DIRI
Freska Y. Rompas
Latar Belakang
Perilaku
kita
sering
mengkomunikasikan siapa atau bagaimana
kita (Stewart&Sylvia : 1996) tidak hanya itu
saja, ternyata benda-benda yang kita gunakan
juga dapat mengkomunikasikan siapa dan
bagaimana kita. Tidak terlepas dari hal
tersebut, benda-benda maupun perilaku kita
dalam berkomunikasi sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh
nilai-nilai budaya dan
kebudayaan di sekitar kita.
Dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar, Deddy Mulyana mengatakan, tanpa
memperhatikan sungguh-sungguh bagaimana
budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk
komunikasi nonverbal dan pemaknaan
terhadap pesan nonverbal tersebut, kita bisa
gagal berkomunikasi dengan orang lain.
Komunikasi nonverbal, komunikasi
tanpa kata, komunikasi yang menggunakan
tanda-tanda dan atau isyarat sebagai bentuk
pesan, termasuk di dalamnya komunikasi
artifaktual.
Ketika kita sedang berada di depan
cermin, terkadang kita melihat sosok berbeda
dengan apa yang kita pikirkan. Kita melihat
sosok orang lain di cermin, bukan diri kita.
Pada saat seperti itu orang akan menyalahkan
cermin yang tak mampu memenuhi
harapannya.
Gambaran tentang diri seseorang (self
image) memegang peranan sangat penting
dalam komunikasi, baik dengan orang lain
(interpersonal) maupun dengan diri sendiri
(intra personal). Self image ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh gambaran fisik seseorang
(physical image) serta penampilan fisiknya
(physical appearnce). Seperti masyarakat
Amerika yang selalu mencurahkan segenap
waktu dan tenaganya untuk memodifikasi
gambaran
fisiknya
dalam
rangka
meningkatkan dan memperkuat citra diri.
Selama gambaran fisik berpengaruh besar
dalam menentukan citra diri, maka orang akan
berusaha untuk meningkatkan penampilannya.
Pokok Permasalahan
Seperti telah dipaparkan
di atas
tersirat bahwa manusia sebagai mahluk sosial
yang berbudaya, menganggap penampilan
memegang
peranan
penting
dalam
menentukan identitas sosial dan citra diri
dalam bersosialisasi dan hal tersebut
mempengaruhi perilaku diri dan perilaku
orang lain yang berhubungan dengan kita.
Makalah ini akan mengulas tentang
bagaimana komunikasi non verbal labih
khususnya pada komunikasi artifaktual
memegang
peranan
penting
dalam
menentukan citra diri, terlepas dari apakah kita
bermaksud berkomunikasi atau tidak.
Pendekatan Teoritis:
Appearance Communcates Meaning
(Leathers 1976)
Penampilan
mengkomunikasikan
makna. Komunikasi lewat penampilan atau
komunikasi
artifaktual
(artifactual
communication) berbeda dengan komunukasi
kinesik atau proksemik, meski kadang saling
berhubungan.
Komunikasi
artifaktual
merupakan bagian dari komunikasi non
verbal. Artinya, mencakup segala sesuatu yang
dipakai
orang
untuk
memodifikasi
penampilannya. Tidak heran bila banyak orang
berusaha
untuk
menyempurnakan
penampilannya dengan menggunakan pakaian
mahal sampai melakukan operasi plastik.
Pembahasan komunikasi artifaktual akan
menitikberatkan pada hal-hal tersebut.
a) Penampilan Tubuh
Beberapa studi menunjukkan, bentuk
tubuh
seseorang akan mempengaruhi
prilakunya. Meskipun ada beberapa pakar
yang menyangkal hal tersebut. Kretschmer
(1970) misalnya, membagi orang yang
mempunyai kesamaan (morfologs) kedalam
tiga kelompok, yaitu asthenic, athletic, dan
pyknic. Kelompok athletic adalah orang-orang
yang mempunyai tubuh berotot. Sedangkan
kelompok pyknic dijumpai pada orang-orang
gendut.
Wells dan Siegel (1970) menyatakan,
orang-orang endomorph tampak kolot,
pemalas, lemah, cerewet, simpatik, hangat,
mudah sepakat, lebih tergantung pada orang
lain, dan lebih percaya pada orang lain.
INSA NI No. 9./Th.XXIII/ Ju li/ Juli/2005
51
Freska Y. Rompas, Peranan Komunikasi Artifaktual
Contoh, figur Cepot dalam pewayangan adalah
figur yang sering dipersepsi orang sebagai
figur yang cerewet, pemalas, dan gampang
terpancing isu. Kelompok mesomorph
dianggap sebagai orang yang kekar, petualang,
lebih dewasa, dan percaya diri. Contoh,
Silverster Stalone, atau Arya Kamandanu.
Sedangkan orang-orang eclomorph tampak
lebih ambisius, pencuriga, gampang gugup,
pesimistik, dan pendiam.
Secara umum, daya tarik fisik
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
interaksi dengan orang lain. Seseorang yang
merasa memiliki daya tarik fisik yang kuat
akan merasa berhasil dalam interpersonal,
ketimbang orang yang mempunyai daya tarik
fisik rendah.
Hubungan antara bentuk tubuh dan
prilaku seseorang juga dapat dikacaukan
dengan apa yang disebut self fulfilling
prophecy. Contoh, apakah orang gendut
pemalas namun ramah merupakan fungsi dari
bentuk tubuhnya atau karena ekspektasi
sosialnya? Dengan demikian, pada dasarnya
gambaran tentang tubuh seseorang lebih
penting daripada bentuk tubuh yang
sesungguhnya.
b) Gambaran Tubuh
Setiap orang memiliki gambaran atau
kesan yang lengkap tentang tubuh mereka
sendiri. Gambaran tubuh merupakan konsep
yang bersifat personal. Seseorang tidak lagi
digambarkan sebagai eclomorph, endomorph,
atau mesemorph. Orang akan melihat dirinya
sendiri dalam pengertian negatif atau positif,
dan hal itu akan menentukan puas tidaknya
seseorang dengan tubuhnya. Jadi, gambaran
tubuh seseorang dipengaruhi oleh konsep diri.
Kadang pengertian cantik dikaitkan
dengan
perangai dan prilaku seseorang,
namun konsep tubuh ideal yang diterima
secara umum akan menggiring orang pada
penilaian tentang cantik. Kita tidak bisa
pungkiri saat ini banyak artis wanita muda
yang mempunyai perangai buruk di mata
masyarakat. Tetapi kita juga tidak bisa
menyangkal bahwa mereka cantik, sexy, dan
menggemaskan.
Sesungguhnya terdapat gambaran
ideal tentang penampilan tubuh di masyarakat,
yang selanjutnya akan menjadi konsep tubuh
bagi
seseorang.
Tatkala
seseorang
mengembangkan konsep tubuh yang negatif,
maka konsep tubuh yang negatif dapat
mempengaruhinya dalam berkomunikasi.
52
Secred dan Jourard (1968) telah
melakukan penelitian tentang kateksis tubuh
(body cathexis), yaitu derajat perasaan puas
atau tidak puas dengan bagian-bagian tubuh.
Diketahui, kateksis tubuh erat kaitannya
dengan konsep diri dan gambaran tubuhnya
juga mempunyai implikasi terhadap prilaku
seseorang. Orang yang memiliki konsep tubuh
negatif
akan
cenderung
menghindari
pandangan yang menunjukkan kekurang
sempurnaan tubuhnya, begitu pula sebaliknya.
Ketika kita menyuruh seseorang untuk
menilai tubuhnya sendiri lalu dihubungkan
dengan figur ideal, maka biasanya muncul
distorsi hasil penilaian. Orang tersebut akan
menganggap sama atau malah lebih baik dari
figur ideal. Distorsi persepsi tentang tubuh
tersebut memang sering terjadi. Untuk menjadi
komunikator perlu disadari ada tiga perbedaan
gambaran tubuh, yaitu yang dipersepsikan
sendiri, menurut persepsi orang lain, dan
refleksi gambaran tubuh yang sebenarnya.
Penelitian Jourard dan Secord
menemukan, lelaki merasa lebih puas dengan
bentuk tubuhnya yang lebih besar dari
sebenarnya. Wanita lebih menyukai memiliki
tubuh yang kecil tetapi dengan buah dada yang
besar. Selanjutnya dikatakan, wanita berpikir
bahwa laki-laki lebih suka pada orang yang
kecil. Sementara lelaki berpikir, wanita
menginginkan lelaki yang besar.
c) Tubuh dan Daya Tarik
Pada umumnya orang sangat peduli
dengan penampilan orang lain. Terkadang
teman kita bertanya bagaimana tampang
pacarnya. Orang belajar sesuatu dari orang lain
lewat penampilannya. Wajah dan penampilan
seseorang bisa dijadikan indikator latar
belakang, karakter, kepribadian, bakat, dan
hobinya.
Beberapa
penelitian
tentang
kecantikan menyebutkan, daya tarik fisik
memainkan peranan penting dalam hubungan
interpersonal.
Kita
akan
memberikan
tanggapan yang baik kepada orang yang
menarik ketimbang orang yang tidak menarik.
Penelitian lain menyebutkan, orang dengan
daya tarik akan lebih unggul dibandingkan
dengan orang yang tidak menarik dalam
kesuksesan, kepribadian, stabilitas, seksualitas,
daya persuasi, kebahagian. Pasien rumah sakit
yang tidak menarik biasanya jarang
dikunjungi, memerlukan perawatan lebih
lama, kuang gembira, dan jarang berhubungan
dengan pasien lama. Daya tarik dan
INSA NI No. 9./Th.XXIII/ Ju li/ 2005
Freska Y. Rompas, Peranan Komunikasi Artifaktual
penampilan fisik ternyata juga berkaitan
dengan masalah kencan dan perkawinan. Daya
tarik fisik lebih banyak berperan dalam masa
pacaran atau kencan yang mempunyai tujuan
jangka pendek
Penelitian yang dilakukan Coombs
dan Kenkel (1966) menggambarkan, laki-laki
kebanyaakn menolak wanita yang kurang
cantik, sedangkan wanita tidak ambil peduli
soal wajah. Di India, menurut Singh (1964),
kaum pria menginginkan isteri yang lebih
cantik dari isterinya sendiri, sementara wanita
mengharapkan lelaki yang mempunyai
kesamaan fisik dengan suaminya. Bartel dan
Saxe (1976) mngatakan, lelaki mungkin akan
berubah secara drastis ketika diberitahu
pasangannya tidak menarik.
Secara rasional hal itu memang bisa
dijelaskan. Lelaki yang tidak menarik dan
menikahi wanita cantik harus menutupi
ketidakseimbangnnya dengan mencapai sukses
dibidang lain, seperti kedudukan tinggi atau
mencari materi sebanyak mungkin. Sedangkan
wanita tidak menarik yang menikahi lelaki
tampan, tidak perlu mencari kompensasi.
Menurut Murstein (1972), itu semua terkait
dengan daya tarik seks seseorang (sex appeal).
Beberapa aspek juga dapat mempengaruhi,
seperti situasi, waktu, pengalaman, dan
preferensi seseorang.
Daya tarik seks juga dapat
diidentifikasi dengan kesenangan dan cinta
yang diperoleh dari pengalaman dini, baik
dengan teman maupun kedua orang tua.
Mereka akan memilih pasangan yang memiliki
banyak kesamaan. Namun perlu diingat,
tanggapan terhadap karakteristik fisik
semacam itu hanya terbatas pada sekelompok
orang saja atau pada media massa yang
dijadikan idola, hanya yang mempunyai
hubungan rendah dengan kepakaran seksual.
Studi yang dilakukan Nevid (1984)
menunjukkan, ada pertimbangan tertentu bagi
laki-laki untuk memilih wanita, apakah
sekadar untuk hubungan seksual atau untuk
jangka panjang. Daya tarik ternyata juga dapat
meningkatkan harga diri, khususnya bagi para
wanita. Selain itu, daya tarik seseorang juga
mempunyai
pengaruh dimata
hukum.
Sejumlah studi menunjukkan, terdakwa yang
menarik cenderung tidak bersalah, atau paling
tidak, akan mendapatkan hukuman yang
ringan.
Penelitian pengaruh waktu terhadap
daya tarik dilakukan oleh Uary dan Eckland
(1982). Mereka mengamati foto wajah 1300
siswa SMU laki-laki dan perempuan. Mereka
memberi penilaian daya tariknya, lalu
dibandingkan kehidupannya
15 tahun
kemudian. Hasilnya, siswi SMU yang dulu
mempunyai daya tarik menikah dengan lakilaki tampan dan berpenghasilan tinggi. Lakilaki yang kurang menarik di sekolah
berpendidikan tinggi dan menikahi wanita
berpendidikan tinggi dibanding lelaki yang
menarik ketika sekolah, tetapi tinggkat
pendapatan mereka berbeda, Diduga, ada
hubungan antara pengucilan dari pergaulan
laki-laki yang tidak menarik dengan hasrat
untuk mencapai pendidikan lebih tinggi.
d) Pakaian Sebagai Media Komunikasi
Pakaian merupakan media komunikasi
yang penting. Stone mengatakan, pakaian
menyampaikan pesan, pakaian bisa dilihat
sebelum kata-kata terdengar. Pesan yang
dibawa pakaian bergantung pada sejumlah
variabel, seperti latar belakang budaya,
pengalaman, dan lainnya.
Kefgen dan Specht menyatakan, ada
tiga dimensi informasi tentang individu yang
disebabkan oleh pakaian:
1. Pakaian melambangkan dan
mengkomunikasikan informasi tentang emosi
komunikator. Contoh Gald Rags (pakaian
ceria), Widow’s Weed (pakaian berkabung).
Pakaian juga digunakan untuk membangkitkan
emosi massa dalam hal patriotisme dan
nasionalisme, seperti baju hijau PPP, baju
kuning Golkar, baju merah PDIP.
2. Pakaian juga berpengruh terhadap
tingkah laku pemakainya sebagaimana tingkah
laku orang yang menanggapinya. Seorang
penyanyi rock identik dengan pakaian yang
asal-asalan dan ditafsirkan bahwa orang
tersebut brutal. Polisi yang tidak berseragam
akan kehilangan identifikasi sosial dan
kekuasaan dalam menjalankan tugasnya.
Dengan menggunakan seragam tertentu, orang
telah menyerahkan haknya sebagai individu
untuk bertindak bebas, dan selanjutnya ia
harus menyesuaikan dan tunduk pada aturan
kelompoknya.
3.
Pakaian berfungsi untuk
membedakan seseorang dengan orang lain,
atau kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Dari pakaian kita bisa mengenali seseorang
apakah dia dari kelompok musik rock, seorang
murid
SMU.
Zweig
mengemukakan,
kelompok umur yang berbeda akan
membedakan pula kebiasaan mereka dalam hal
INSA NI No. 9./Th.XXIII/ Ju li/ Juli/2005
53
Freska Y. Rompas, Peranan Komunikasi Artifaktual
berpakaian. Anak-anak muda biasanya
memakai pakaian yang bervariasi dan
mencolok, sedangkan orang tua biasanya
memakai pakaian yang sederhana dan kuno.
Pakaian sebagai media komunikasi
dibuktikan juga lewat penelitian Gibbins
(1969). Menurutnya, ada tiga kategori
pengertian yang dapat timbul. Pertama,
fashion ability, derajat penerimaan orang lain
terhadap pakaian seseorang sebagai masa kini,
cerah, dan cantik. Kedua, socialibility, derajat
di mana pakaian dapat menjelaskan peran
sosial pemakai dan pembuatnya tampak
feminim atau maskulin. Ketiga, formality,
derajat yang menentukan apakah pakaian
seseorang akan membuatnya tampak resmi
atau santai. Reed (1973) menggunakan
metodologi lain untuk melukiskan kategori
pakaian, sikap,dan karakteristik kepribadian.
Hasilnya terbagi dalam empat kategori.
1. High Fashion
Wanita kategori ini memiliki
perhatian besar terhadap pakaian,
dan membelanjakan sejumlah
besar
penghasilannya
untuk
pakaian. Wanita seperti ini
cenderung
tidak
sependapat
dengan kedua orang tuanya dalam
masalah sosial, tidak menyukai
kegiatan religius, cenderung
menganut filosofi New Left, tetapi
mereka gemar terlibat dengan
program kemanusiaan.
2. Low Fashion
Termasuk dalam kategori ini
adalah wanita yang menginginkan
dirinya
dianggap
menarik.
Kelompok ini cenderung bersikap
moderat.
3. Non Fashion
Wanita seperti ini berasal dari
latar belakang sosial ekonomi
rendah. Mereka lebih dogmatis,
konservatif dalam politik, dan
cenderung bersikap Machiavelli.
4. Counter Fashion
Kategori ini terdiri dari wanitawanita muda yang paling tidak
tertarik pada pakaian. Mereka
dipandang sebagai orang yang
individualistik,
berhati-hati,
lembut, sabar, gelisah, dan liberal.
Mereka juga menganggap dirinya
sebagai orang yang kurang formal
dan kurang sophisticated.
54
e) Kosmetika Sebagai Media
Komunikasi
Laki-laki seperti halnya wanita selalu
meningkatkan pemakaian kosmetika untuk
memantapkan
penampilannya.
Marvin
Westmore, pemilik M S Westmore cosmetic
studio di Encine, California menekankan,
sebagian besar kliennya mempunyai masalah
dengan self image. Westmore (1973) pernah
melakukan studi tentang pengaruh prilaku
seseorang setelah menggunakan pruduk
kosmetika westmore. Sebelum dilakukan make
up secara estetika, kebanyakan klien westmore
merasakan kekurangan, seperti muka terasa
hampa lantaran ada yang tidak lengkap
dikulitnya, bagian mata tampak lemah karena
alis tidak berekspresi secara tajam, kulit
keriput dan kurang segar, bibir terasa lembek,
dan keluhan lain.
Kosmetika juga berkaitan dengan
masalah penciuman (elfactory) dan bau badan
(body smell). Sebagaimana pandangan dan
pendengaran sesuatu yang penting pada
masyarakat barat, penciuman pun tak kalah
penting. Setiap tahun orang Amerika
menghabiskan jutaan dollar untuk berbagai
produk pengharum badan. Majalah Time tahun
1980 melaporkan, lebih dari 750 juta dollar
dikeluarkan untuk keperluan parfum pria saja.
Peranan bau badan dalam interaksi manusia
sangat bervariasi dari setiap budaya. Bau
badan bukan hanya mekanisme pengaturan
jarak, tetapi juga bagian yang komplek dari
sistem prilaku.
f) Mengubah Penampilan Dengan
Operasi Plastik
Cara paling drastis untuk mengubah
body image, sekaligus self image adalah
melalui operasi plastik. Motivasi orang untuk
melakukan
operasi
plastik
dapat
diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu
tekanan perasaan yang bersifat eksternal dan
internal.
Tekanan
eksternal
mencakup
kebutuhan untuk menyenangkan orang lain,
pikiran paranoid (orang berpikir bahwa ia
dapat menyenangkan orang lain), dan ambisi
sosial yang mengganggu lantaran cacat fisik.
Orang yang mempunyai pikiran paranoid
beraggapan, dengan mengubah penampilan
fisiknya, lingkungannya akan dapat menerima
kehadirannya. Pada beberapa kasus, operasi
plastik dilakukan karena tekanan eksternal
INSA NI No. 9./Th.XXIII/ Ju li/ 2005
Freska Y. Rompas, Peranan Komunikasi Artifaktual
kurang menyenangkan bagi pasien. Operasi
plastik jadi kurang menyenangkan, karena
masalah sesungguhnya yang dihadapi pasien
bukanlah cacat penampilan personalnya.
Sebaliknya, orang yang melakukan
operasi plastik lantaran motivasi internal akan
merasa lebih puas dengan perubahan
gambaran tubuh dan gambaran diri. Faktor
utama dari motivasi internal biasanya karena
depresi dan perasaan ketidaksempurnaan.
Namun perlu diingat, orang dikenal oleh
penampilannya.
Seperti dituturkan Edgerton, orang
yang melakukan operasi plastik akan
menghadapi pengalaman traumatis karena
kehilangan identitas diri, dan memerlukan
waktu cukup lama untuk menjadi lebih senang
dengan identitas barunya. Menurut Kurt
Wagner, psikiater kulit, ketika seseorang
datang ke ahli bedah, wajahnya tampak
murung dan pasrah. Begitu selesai operasi,
biasanya akan tampak ceria dan penuh
harapan. Menurutnya, beberapa wanita dengan
payudara kecil mempunyai prilaku yang tidak
menentu. Mereka biasanya enggan bersalin
pakaian di depan wanita lain, dan mereka
sangat malu berada di depan laki-laki. Operasi
plastik ternyata juga dapat menimbulkan efek
negatif dan positif, khususnya dalam prilaku.
Seseorang yang habis melakukan operasi
plastik hidung merasa kecewa, karena hasilnya
sama sekali tidak sesuai dengan keinginannya.
Hidungnya tidak mirip dengan hidung orang
tuanya. Kemudian ia tidak mau berkumpul
dengan anggota keluarga sampai sesuatu dapat
mengubah kembali wajahnya.
Kesimpulan
Dengan mempelajari komunikasi
artifaktual kita dapat mempelajari beragam
perilaku yang ada disekitar kita, dan tidak
menutup kemungkinan membantu kita hidup
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita.
Selama body image merupakan sesuatu yang
penting dalam identitas sosial, maka
komunikasi artifaktual perlu mendapat
perhatian. Dengan kata lain, penggunaan
kosmetik, pakaian dan operasi plastik perlu
dipikirkan
selama
dapat
membantu
menciptakan
body
image,
membantu
pembentukan sosial, di mana kita dapat
berkomunikasi dengan baik.
Daftar Pustaka
Sihabudin, Ahmad, 1992
Komunikasi Artifaktual, Erlangga,
Mulyana, Deddy, 1990
Komunikasi Antar Budaya, PT Rosdakarya-Bandung.
Mulyana, Deddy 2001,
Ilmu Komunikasi-Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya-Bandung,
Tubs, Stewart L Sylvia Moss, 1996
Human Communication,Prinsip-Prinsip Dasar. Pengantar: Dr. Deddy Mulyana,M.A, Buku Pertama, PT.
Rosdakarua-Bandung.
FRES KA YOSINA ROMPAS, Ssos, Lahir DI Jakarta, 12 Maret 1979, memperoleh gelar Sarjama Ilmu
Ko munikasi dari Seko lah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) W iduri tahun 2002. Alamat: Jl. KH.
Wahid Hasyim No. 25, Rt 006/016 Kebon Sirih-Menteng, Jakarta Pusat-10340, Telepon: 021-54800552, 08170700506
INSA NI No. 9./Th.XXIII/ Ju li/ Juli/2005
55
Download