Robby Milana KOMUNIKASI POLITIK “WALI KAKI LIMA” JOKO WIDODO Oleh : Robby Milana NPM : 2008960052 Dosen : DR. Firdaus Syam MAGISTER ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2010 1 Robby Milana BAGIAN I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik yang terjadi antara Pemerintah Kota DKI Jakarta melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan masyarakat Tanjung Priok pada 14 April 2010, bukan merupakan konflik pertama yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat di Indonesia. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh konflik yang seringkali terjadi di banyak daerah di Indonesia. Biasanya konflik disebabkan karena pemerintah ingin melakukan relokasi pedagang kaki lima (PKL), penggusuran untuk alih fungsi lahan, menciptakan ketertiban dan keindahan tata kota, dan lain sebagainya. Satpol PP kemudian dijadikan ujung tombak dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan Perda. Jika ditelaah dengan cermat, konflik yang terjadi di Tanjung Priok disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah karena masalah koordinasi, sosialisasi dan kebijakan. Tiga hal itu pada akhirnya menunjukkan karena tidak adanya komunikasi politik yang baik dari pemerintah kepada masyarakat dan PT Pelindo, yang pada perkembangannya telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Tercatat ada 1 orang korban meninggal dunia dan 114 korban luka pada kasus eksekusi lahan di Tanjung Priok ini. Hampir di setiap daerah di Indonesia mengalami kasus serupa. Satpol PP atau aparat kepolisian terkesan selalu “main hajar” dalam melaksanakan perintah dari pemerintah yang tidak jarang menimbulkan korban. Boleh jadi memang demikian instruksi yang diberikan oleh pemerintah kepada para aparatnya. Seakan tidak terdapat ruang dialog untuk mencari solusi yang nir-kekerasan. Dalam konteks ini, kerugian harta dan jiwa tidak akan dapat dihindarkan. Sebagai contoh, pada kasus relokasi pedagang kaki lima, seringkali Satpol PP merusak dan membawa barang dagangan pemilik PKL tanpa ada ganti rugi sedikit pun dari pemerintah. Seandainya memang PKL bersalah karena telah 2 Robby Milana menggunakan lahan yang tidak semestinya, pemerintah tetap harus membuka ruang dialog agar menemukan alternatif-alternatif solusi yang sebisa mungkin damai dan bersifat win-win solution. Sebuah fakta bahwa cara-cara bijak jarang digunakan oleh Pemerintah Daerah. Ada kesan “arogansi struktural” dalam penyelesaian masalah semacam ini. Namun demikian, ada beberapa Kepala Daerah yang masih bersedia untuk berkeringat demi melakukan cara-cara yang komunikatif, bijak, dan dilakukan dengan tujuan agar setiap pihak merasa tidak dirugikan. Cara inilah yang dilakukan oleh Joko Widodo, Walikota Solo, saat melakukan relokasi PKL. Relokasi bukan saja berjalan dengan damai, namun juga mendapat dukungan dari para PKL. Joko Widodo berprinsip bahwa tujuan tidak boleh bertentangan cara untuk mencapai tujuan itu. Sebagai bagian dari pemerintah Indonesia, cara yang ditempuh Joko Widodo termasuk “aneh”, dalam pengertian berani berbeda dengan pemerintah di daerah lain. Wajar jika kemudian Majalah Tempo menganugerahinya gelar “Wali Kaki Lima”. B. Perumusan Masalah Melihat latar belakang masalah di atas, masalah dapat dirumuskan menjadi, “Bagaimanakah komunikasi politik yang dilakukan Joko Widodo dalam melaksanakan kebijakkannya melakukan relokasi Pedagang Kaki Lima?”. Perumusan masalah ini nantinya akan memunculkan rumusan lanjutan, “Bagaimanakah dampak dari komunikasi politik yang dilaksanakannya itu terhadap karir politik dan kepemimpinannya selaku Walikota?” C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan komunikasi politik Joko Widodo selaku walikota Solo terhadap para Pedagang Kaki Lima (PKL). 2. Untuk menemukan pola komunikasi politik yang efektif dan nir-kekerasan yang dapat dilakukan seorang Kepala Daerah. 3. Untuk mengetahui keselarasan antara komunikasi politik yang dilaksanakan dengan landasan teori yang digunakan, yakni teori Empati dan Homofili. 3 Robby Milana E. Kerangka Teori 1. Komunikasi politik Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja, mulai dari tokoh partai, dosen, mahasiswa, hingga tukang ojek dan penjaga warung di kaki lima. Tidak heran jika ada yang menjuluki komunikasi politik sebagai sekedar neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tidak lebih dari istilah belaka. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental di kehidupan seharihari. Tidak satu pun manusia yang tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang komunikasinya sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar soal kenaikan harga BBM, merupakan contoh kecenderungan komunikasi politik itu. Menurut Gabriel Almond, komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”1 Menurut Dan Nimmo, Political communication is communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict.2 Sementara Jack Plano mendefinisikan komunikasi politik sebagai penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, 1 2 http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2007/05/04 Ibid. 4 Robby Milana dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.3 Robin dan Ring menyatakan komunikasi politik sebagai penyebaran arti, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik. Komunikasi politik bisa juga dikatakan merupakan proses melakukan ekspresi pendapat, pandangan atau perilaku, baik perorangan maupun kelompok lembaga yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai masalah yang berhubungan dengan pemerintah dan pembangunan.4 Dari definisi-definisi di atas, komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan dan penyebaran tindakan yang dilakukan komunikator yang memiliki makna. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik. Komunikasi politik mengantarkan setiap lembaga atau pemangku kepentingan untuk menentukan sikap politik dengan berpegang pada kepentingan dan cakupan konsekuensi atas bergulirnya kebijakan tersebut. Nimmo menyebutkan cakupan komunikasi politik terdiri dari komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media komunikasi politik, khalayak komunikasi politik dan efek (akibat) komunikasi politik.5 Dalam praktiknya, komunikasi politik memiliki bentuk-bentuk yang lebih konkret dalam retorika politik, agitasi, propaganda politik, kampanye politik, pembentukan opini publik, lobby politik, dan lain sebagainya. Keberlanjutan realisasi kebijakan politik pemerintah sangat tergantung dari sejauh mana hal tersebut mendapat dukungan kuat melalui sikap politik dari semua kalangan khususnya yang berkepentingan terhadap kebijakan perberasan. Kebijakan perberasan dapat berjalan mulus apabila komunikasi yang dijalankan sesama pemangku kepentingan menghasilkan komunikasi yang efektif. Lasswell, 3 Ibid. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10031/2/2008msn.pdf 5 Ibid. 4 5 Robby Milana dalam Ferdiansyah, mengemukakan bahwa komunikasi yang efektif dan sesuai dengan yang diharapkan apabila faktor-faktor kunci dalam komunikasi seperti sender, enconding, pesan, media, decoding, penerima, respons, feedback dan gangguannya diperhatikan dengan baik.6 Peran komunikasi politik pemangku kepentingan dan kebijakan sangat menentukan pencitraan dari masing-masing kepentingan di mata publik. Proses komunikasi politik yang dilakukan pada akhirnya akan melahirkan kesimpulan politik atau sering disebut sikap politik. Sikap politik dan partisipasi komunikasi politik pemerintah, organisasi masyarakat, kalangan DPR dan pengusaha kaki lima, diharapkan berperan dalam membangun manajemen yang adil dan kuat bagi pemerintah selaku otoritas utama di dalam mengatur perdagangan, ketertiban lingkungan dan keindahan tata kota di Indonesia. 2. Teori Empati dan Homofili Asumsi dasar teori ini adalah, komunikasi politik akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksi diri dengan baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak.7 Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Berlo memperkenalkan teori yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty (teori penurunan dari penempatan diri dalam diri orang lain), artinya komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikan.8 Homofili dapat digambarkan sebagai suasana dan kondisi kepribadian dan kondisi fisik. Komunikasi yang dilaksanakan atas dasar kesamaan (homofili), akan lebih efektif dan lancar dibanding komunikasi yang dilaksanakan atas dasar ketidaksamaan.9 6 Ibid. Firdaus Syam, “Komunikasi Politik”, Diktat mata kuliah Komunikasi Politik MIKOM UMJ, 15 Mei 2010. 8 http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10031/2/2008msn.pdf 9 Firdaus Syam, Op. Cit. 7 6 Robby Milana Komunikasi politik model homofili dengan mudah dilihat pada politikus atau kader partai di Indonesia, yaitu memiliki kostum yang seragam. Atau dapat dilihat pada diri seorang Kepala Daerah tertentu yang merupakan seorang putera daerah di wilayah kepemimpinannya. Dia memiliki bahasa, pakaian, adat atau budaya yang sama dengan masyarakat yang dipimpinnya. Dan Nimmo mengemukakan beberapa prinsip homofili dalam komunikasi dari hasil risetnya yaitu; pertama, orang-orang yang mirip dan sesuai satu sama lain, lebih sering berkomunikasi dibanding dengan orang yang tidak memiliki persamaan sifat dan pandangan. Kedua, komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila sumber dan penerima adalah homofili karena orang-orang yang mirip cenderung menemukan makna sama dan diakui secara bersama. Ketiga, homofili dan komunikasi saling memelihara karena makin banyak komunikasi di antara mereka, makin cenderung dapat berbagi pandangan dan 10 komunikasi. 10 http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10031/2/2008msn.pdf 7 melanjutkan Robby Milana BAGIAN II KOMUNIKASI POLITIK SIMPATIK JOKO WIDODO A, Sekilas Tentang Joko Widodo Joko Widodo lahir di Surakarta (Solo) pada 21 Juni 1961. Joko merupakan putera daerah di tempat dia menjabat sebagai Walikota untuk masa bakti 20052010. Joko dicalonkan oleh PDI-P untuk naik menjadi Walikota.11 Insinyur yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang mebel ini awalnya banyak yang meragukan kepemimpinannya. Namun setahun setelah dia memimpin, banyak gebrakan progresif yang dilakukannya. Joko banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya sebagai pengusaha mebel. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding "Solo: The Spirit of Java", Joko Widodo mampu mendongkrak prestasi Kota Solo. Joko berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo dan menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Solo. Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Joko Widodo lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Joko melakukan komunikasi langsung secara rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL. Dalam suatu kesempatan, Ayah dari tiga orang anak ini mengakui sulitnya memimpin sebuah kota. Jika dibandingkan dengan pengalamannya dalam memimpin sebuah perusahaan, memimpin kota jauh lebih kompleks. Meski sempat bungkam terkait rencananya untuk kembali maju sebagai calon Walikota Solo periode 2010-2015, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk kembali maju. 11 http://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Widodo 8 Robby Milana Selama menjadi Walikota, tidak terdengar kasus korupsi yang dia lakukan. Bahkan uniknya Joko Widodo juga tidak “tunduk” kepada pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Ketika dia mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Solo agar bersedia membantu masyarakat miskin yang sakit dengan tidak memberatkan biaya pengobatan mereka, Joko menekankan, bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMB-nya. Kebijakan ini bisa dijadikan indikasi bahwa Joko juga menolak kolusi. Paling tidak, demikian yang selama ini dipublikasikan media. B. Komunikasi Politik Joko Widodo 1. Langkah Relokasi Pedagang Kaki Lima Nama Joko Widodo menjadi semakin popular setelah dia melakukan relokasi PKL. Berawal pada tahun 2005 ketika Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Walikota Solo, membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga Kota Solo. Dari hasil survey ditemukan bahwa kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan. Joko memang sudah mempunyai program untuk menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Namun hasil survey tersebut membuat Joko menghadapi dilema. Di satu sisi dia merupakan seorang Walikota baru yang tidak ingin memancing konflik dengan para PKL di awal masa kepemimpinannya. Namun di sisi lain dia tidak dapat menutup mata untuk merespons keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman. Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun dengan cara yang strategik dan hati-hati. Tiga Walikota sebelumnya terbukti tidak mampu melakukan relokasi. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota jika mereka digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan sekedar “gertak sambal”. Sejak dibangun, kantor Walikota Solo sudah dua kali dibakar, yakni pada tahun 1998 dan 1999. Secara kultural, memang 9 Robby Milana masyarakat Solo dikenal sebagai masyarakat yang lembut dan santun. Namun diakui juga bahwa masyarakat Solo sangat reaksioner dan mudah terbakar emosinya. Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Joko memiliki pengalaman dalam melakukan lobby dan negosiasi bisnis yang disebutnya "lobi meja makan". Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sudah jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Joko Widodo mengundang dan mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tidak ada pembicaraan mengenai relokasi. Joko sama sekali tidak menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya disampaikan. Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, dimana Joko hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Joko mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka. Dan memang waktu yang tepat. Ketika Joko Widodo mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Joko Widodo, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Joko berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang. Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Joko juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Joko juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Joko berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura. Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Joko 10 Robby Milana juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan. Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Joko Widodo menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. Strategi ini jelas unik dan konstruktif. Langkah Joko Widodo kemudian mengundang kekaguman dari banyak pihak, baik lokal maupun nasional. Di saat para Kepala Daerah lebih senang menggunakan Satpol PP untuk melakukan penggusuran, Joko justru menggunakan komunikasi politik yang simpatik dan strategik. Tidak tanggung-tanggung majalah Tempo menganugerahkan Walikota ini sebagai salah satu pemimpin terbaik pada tahun 2008. Tempo bahkan menjulukinya sebagai “Wali Kaki Lima”. Sebuah bukti bahwa komunikasi yang baik dapat memberikan efek yang baik, terutama kepada seorang pemimpin jabatan publik. 2. Komunikasi Politik: Antara Teori dan Praksis Dalam teori “Empati dan Homifili” dikatakan bahwa sebuah komunikasi politik akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksikan diri dengan baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikator melaksakan komunikasinya dengan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain dan dilaksanakan atas dasar kesamaan. Joko Widodo bisa jadi belum pernah mengetahui teori empati dan homofili. Namun apa yang dilakukannya tampak selaras dengan teori ini. Hipotesa ini didasarkan pada beberapa hal berikut; 11 Robby Milana Pertama, Joko Widodo memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan alternatif berupa tempat berdagang yang lebih baik daripada di jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi dengan para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal, memperluas jalan dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Kedua, Joko Widodo menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak 54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa dan dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan” merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yang simpatik dan berusaha memahami posisi para PKL. Ketiga, Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih melakukan pengusiran dengan kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” dan pakaian adat. Arak-arakan yang dilakukan ini menunjukkan bahwa Joko ingin menunjukkan “kesamaan” dengan para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin membangun Kota Solo menjadi lebih baik, dan kesamaan bahwa mereka berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian adat yang sama, musik yang sama, tarian yang sama. Keempat, Tindakan Joko Widodo sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap ekonomi kecil dan pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah kepemimpinannya Joko dengan sukses membangun ekonomi kerakyatan. Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap Walikota mereka berpihak pada masyarakat. Teori empati dan homofili diaktualisasikan oleh Joko Widodo dengan baik. Teori empati dan homofili menjadi sebuah “instrumen” komunikasi politik 12 Robby Milana yang efektif bagi Walikota Solo ini dalam melaksanakan kepemimpinannya. Lima tahun dalam masa jabatannya, tidak terdapat gejolak yang berarti dari masyarakat terhadap Joko Widodo. Semua hanya karena komunikasi yang dilaksanakannya sangat efektif. C. Efek Komunikasi Politik Komunikasi memiliki efek, baik langsung atau tidak. Dalam kasus Joko Widodo di atas, ada beberapa efek yang timbul dari pelaksanaan komunikasi politiknya. Pertama, Joko Widodo mendapatkan feedback positif dari para PKL saat melakukan relokasi. Sehingga tujuan melakukan relokasi dapat terlaksana tanpa gejolak. Kedua, Joko Widodo mendapat pencitraan positif, baik dari masyarakat lokal maupun nasional. Dia dianggap sebagai pemimpin yang “memanusiakan” warganya. Ketiga, Masyarakat mendukung kepemimpinan Joko Widodo selama masa bhaktinya tanpa gejolak dan sentimen politik. Keempat, Kota Solo mengalami perkembangan pesat dari segi sosial, ekonomi dan politik selama kepemimpinan Joko Widodo akibat dari kepemimpinannya itu didukung oleh masyarakat. Komunikasi bukan barang baru dalam dunia politik. Namun komunikasi yang baik dan efektif sangat jarang diterapkan oleh para pemimpin politik untuk menjalankan kepemimpinannya. Sehingga tidak jarang terjadi kesungkanan, benturan, bahkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Boleh jadi, sebagian besar konflik yang meletus di Indonesia antara pemerintah dengan masyarakat adalah karena kurang atau tidak adanya komunikasi yang baik. Sesederhana itu. 13 Robby Milana DAFTAR PUSTAKA Firdaus Syam, “Komunikasi Politik”, Diktat mata kuliah Komunikasi Politik MIKOM UMJ, 15 Mei 2010. http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2007/05/04 http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10031/2/2008msn.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Widodo http://berita.liputan6.com/sosok/200902/172923/Joko.Widodo.Pilih.Diplomasi.Ke timbang.Penggusuran http://harianjoglosemar.com/berita/joko-widodo-ingin-fokus-dan-jaga-konsistensi12580.html http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/22/LU/mbm.20081222.LU12 9061.id.html http://www.bengawan.org/2009/01/jokowi-tokoh-2008-versi-tempo/ http://padang-today.com/index.php?today=article&j=1&id=485 14