II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Rawa Rawa adalah wilayah sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang masuk ke pedalaman atau sejauh dirasakan pengaruh gerakan pasang, sehingga rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagian muka air tanah turun mencapai jeluk (depth) > 50 cm dari permukaan tanah (Noor 2004). Rawa mempunyai beberapa istilah padanan, antara lain disebut swamp, marsh, atau bog. Secara khusus, tanah rawa disebut dengan flooded soils, waterlogged atau submerged soils (Moorhan dan Breemen 1976; Ponnamperuma 1977 dalam Noor 2004). Hasil pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut di Cisarua, Bogor tahun 1992 disepakati istilah rawa pasang surut mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal swamp) dan rawa lebak (swampy atau nontidal swamps). Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut atau sungai sekitarnya, sedangkan rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah antara 25-50 cm (Noor 2004). 2.2 Tipologi Lahan Rawa Berdasarkan macam dan tingkat kendala dalam pengembangan dan pengelolaan, khususnya untuk pertanian, lahan rawa dibagi menjadi lima tipologi yaitu (1) lahan potensial, (2) lahan sulfat masam, (3) lahan gambut, (4) lahan salin atau pantai, dan (5) lahan lebak. Berdasarkan tinggi rendahnya luapan, lahan pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan, yaitu tipe A, B, C, dan D. Sedangkan lahan lebak berdasarkan tinggi dan lamanya genangan dibagi menjadi tiga tipe genangan, yaitu lebak dangkal, tengahan dan dalam. Selanjutnya, berdasarkan jenis tanahnya, kawasan rawa ditempati tiga kelompk tanah utama, yaitu (1) tanah gambut (peat soil), (2) tanah marin sulfat masam (acid sulphate soils), dan (3) tanah aluvial non sulfat masam, termasuk tanah salin (Subagyo, 2006). Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (Subagyo 2006) 2.3 Kendala Pengembangan Lahan Rawa Menurut Noor (1996) hampir semua lahan rawa pasang surut yang terdapat di Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya mempunyai faktor pembatas berupa kendala tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah. Sifat kimia tanah berupa kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,0 - 4,5), kahat hara makro, pada lahan gambut kahat hara mikro (Cu dan Zn) adanya ion atau senyawa yang meracuni (Al, Fe, dan SO4), dan bahan organik atau gambut yang mentah merupakan faktor yang menghambat bagi pertumbuhan tanaman. Kendala dan faktor pembatas berupa tata air yang sukar dikendalikan dan tingkat kesuburan lahan yang rendah diakibatkan oleh adanya tanah sulfat masam dan gambut (Sarwani 1994; Noor 1996; Widjaya Adi 1997). Rifani (1998) mengemukakan kendala agrofisik lahan rawa itu dapat berupa tanah yang masam, kesuburan tanah yang rendah, kemungkinan terjadinya keracunan aluminium dan besi, lapisan pirit yang terdapat pada permukaan tanah, gambut terlalu tebal, fluktuasi air pasang dan surut, perubahan kuantitas dan kualitas air pada musim hujan dan kemarau yang dapat berdampak buruk terhadap tanaman pertanian. Menurut Buman dan Driessen (1985) dalam Adimiharja et al. (2004), sifat kimia yang menjadi masalah utama adalah kemasaman yang tinggi, kadar Al +3 , Fe+2, dan sulfat yang tinggi , salinitas, kahat hara makro dan sebagian hara mikro. Sifat dan watak lahan rawa antara lain sifat fisika yang jelek, kerapatan lindak yang rendah, sifat kering tak balik, serta ketahanan penetrasi yang rendah sehingga menyulitkan dalam mekanisasi pertanian. Noor dan Saragih (1997) mengungkapkan kurang matangnya tanah, kadar lempung dan gambut yang nisbi tinggi membuat tanah bersifat lunak sehingga tidak mampu menahan tekanan berat. Reaksi pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe digambarkan sebagai berikut: Fe2O3 + SO42- + 8CH2O + 1/2O2 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat Pirit akan membahayakan tanaman apabila terangkat kepermukaan dan teroksidasi sehingga menjadi racun. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian melakukan pengolahan tanah di lahan rawa (Noor 2004). Menurut Noor (2004), masalah keteknikan pada lahan rawa menyangkut serangan karat yang kuat dan daya dukung lahan yang rendah. Kondisi masam pada tanah ini diikuti oleh kelarutan sulfat yang tinggi akan menyerang bangunan dari semen dan alat-alat atau mesin pertanian dari besi. Keadaan ini akan mempercepat terjadinya kerusakan pada alat dan mesin-mesin pertanian yang digunakan. Alat pertanian yang umumnya dapat dipakai untuk waktu 4-5 tahun, di lahan sulfat masam hanya dapat bertahan 2-3 tahun dan lebih dari itu alat sudah harus diganti . Alihamsyah (1993) menyatakan keragaman kondisi lahan, tata ruang, keterpencilan lokasi, ketersediaan suku cadang, dan egroekosistem yang spesifik menyebabkan alsintan yang cocok untuk dikembangkan di daerah pasang surut masih sangat terbatas. Hasil program penelitian dan mekanisasi pertanian di Balittra Banjarbaru mengungkapkan kenyataan bahwa sebagian alat dan mesin pertanian, baik yang diimpor maupun di produksi dalam negeri belum banyak dimanfaatkan petani karena kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani. Selain itu, kebijakan dan penerapan alat mekanisasi yang ada kurang tepat, sehingga perkembangannya terhambat. 2.4 Lahan Rawa Lebak Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal tiga bulan dengan ketinggian minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian disebut dengan lahan rawa lebak (Noor 2004). Mac Kinnon et al. (2000) menyebutkan rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau banjir kiriman. Menurut Nugroho et al. (1991) luas lahan rawa lebak mencapai 13.28 juta hektar. Lahan ini memiliki prospek sebagai penghasil produksi pertanian tidak hanya pada musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau panjang dengan jumlah yang lebih luas dan beragam. Potensi lahan rawa lebak pada musim kemarau merupakan kelebihan yang tidak ditemukan pada agroekologi lainnya. Karena pada musim kemarau, rawa yang tadinya membentang sejauh mata memandang akan berubah menjadi kawasan hijau pertanian dengan berbagai ragam komoditas dari padi, jagung, kedelai, ubi jalar, buah-buahan dan berbagai macam sayuran (Noor 2004). 2.5 Pertanian Tradisional di Lahan Rawa Kalimantan Selatan Pengetahuan lokal mengenai pengelolaan lahan rawa di Kalimantan berkembang dengan turun temurun. Sifat lahan yang kering di musim kemarau dan tergenang di musim hujan, serta adanya ’bahaya’ dari kondisi tanah menyebabkan petani tradisional harus mengembangkan cara penyiapan lahan, teknik bertanam yang tepat, serta pemilihan jenis padi yang sesuai. Sifat tanah yang masam dan tingginya genangan air di lahan rawa mengakibatkan tidak semua varietas padi dapat dikembangkan. Varietas lokal lebih tahan akan kemasaman, muka air yang tinggi, batang kuat, pertumbuhannya mengikuti tinggi muka air, dan lebih tahan rebah. Penyesuaian kondisi iklim dengan kegiatan pertanaman padi juga dilakukan petani. Gambar 2 memberikan informasi bagaimana petani lokal tradisional pada lahan gambut dan lahan rawa umumnya di Kalimantan Selatan dalam mempersiapkan lahannya (Ramonteu et al. 2000). Gambar 2 Kegiatan pertanian tradisional di Kalimantan Selatan (Ramonteu et al. 2000) Bertani merupakan pekerjaan utama masyarakat tradisional Banjar. Dengan menggunakan varietas padi lokal maka kegiatan penanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun (indeks pertanaman 100%). Varietas lokal memiliki umur tanam hingga panen yang cukup lama yaitu mencapai usia 9– 10 bulan, sejak disemai (meneradak) dibulan Oktober dan panen bulan AgustusSeptember (Ramonteu et al. 2000). Meskipun kini sudah dikembangkan varietas dengan umur yang lebih singkat, tidak sedikit petani yang tetap menggunakan varietas lokal karena harga jual yang relatif lebih mahal (Hidayat, 2010). Gambar 2 memberikan gambaran aktivitas pertanian tradisional di Kalimantan Selatan (Ramonteu, et al. 2000). Penanaman padi oleh masyarakat banjar meliputi penyemaian (meneradak), pembesaran bibit (meampak dan melacak), penyiapan lahan (menajak), penanaman dan panen. 2.5.1 Penyemaian (Meneradak atau Menugal) Penyemaian benih disebut juga menugal atau meneradak, karena prosesnya menggunakan alat tugal (Tim Inventarisasi Istilah dan Alat-Alat Pertanian Pasang Surut Kalimantan Selatan 1969). Penyemaian benih padi dilakukan pada saat musim hujan di atas pematang yang tidak tergenang air, atau di tempat lain yang terhindar dari bahaya terendam apabila curah hujan tinggi. Benih dibiarkan tumbuh hingga agak besar, kira-kira berumur 35-40 hari (Rifani 1998). Gambar 3 Benih yang telah disemai (diteradak) 2.5.2 Pemindahan Bibit Pertama (Meampak) Pemindahan padi pertama menurut istilah lokal meampak adalah kegiatan pemindahan benih padi yang telah disemai sebelumnya (diteradak), ke petakan sawah yang sudah berair (Gambar 4). Tujuan meampak (pemindahan bibit) yaitu untuk meningkatkan kemampuan tumbuh dan mendorong perbanyakan anakan tanaman (Tim Inventarisasi Istilah dan Alat-Alat Pertanian Pasang Surut Kalimantan Selatan 1969). Fase ini berlangsung 2 – 2,5 bulan (Ramonteu et al. 2000). Gambar 4 Pemindahan bibit pertama (meampak) 2.5.3 Pemindahan Bibit Kedua (Melacak) Melacak adalah pemindahan tahap kedua bibit yang telah diampak, dengan tujuan merangsang perbanyakan anakan untuk memperoleh bibit yang cukup dan menunggu waktu tinggi permukaan air untuk pertanaman akhir yang tepat. Gambar 5 Pemindahan bibit kedua (melacak) Pemindahan tanaman akan diperoleh manfaat ketahanan tanaman dalam masa pertumbuhannya karena usianya cukup tua. Selain itu anakan yang ditanam sangat menghemat benih. Selama tahap persemaian pertama (meampak), lahan lainnya dipersiapkan untuk pemindahan bibit untuk kedua kalinya. Persiapan lahan untuk pemindahan kedua ini mencakup penebasan vegetasinya (menajak). Pada kondisi tertentu, misalnya tanah yang topografinya relatif tinggi akan menghilangkan tahap melacak. 2.5.4 Penanaman Akhir Sebulan setelah melacak, lahan yang tersisa disiapkan untuk penanaman akhir. Hasil melacak yang telah mempunyai anakan melimpah digali untuk ditanam, setelah bagian atas dan akarnya dipangkas. Setiap lubang diisi dengan 23 bibit tergantung varietas yang digunakan. Gambar 6 Penanaman akhir 2.6 Jenis – Jenis dan Bagian Tajak Tajak mula-mula dikembangkan dari kecamatan Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Alat ini dikembangkan petani sejak ratusan tahun silam sebagai bentuk peralatan adaptif yang sekaligus dapat mencegah terbongkarnya lapisan pirit pada bagian bawah, yang dapat menyebabkan kemasaman tanah dan meracuni tanaman. Ada beberapa jenis dan istilah tajak yang digunakan, menurut Team Inventarisasi Pasang Surut Kalimantan Selatan (1969) ada dua tipe tajak, yaitu tajak bulan, berbentuk bulan sabit dan tajak surung, disebut juga tajak bedandan dengan bentuk mata lurus dan ujung mata agak rata dan besar. Menurut Sjarifuddin dan Wahyudi (1992) ada tiga tipe tajak, pertama tajak surung, bentuk matanya lurus dan ujung matanya agak rata dan besar, kedua tajak bungkul, bentuk matanya seperti parang biasa, tajak ini paling banyak dipakai masyarakat, dan ketiga tajak bulan, matanya berbentuk seperti bulan sabit. Rifani (1998) ada dua jenis tajak, yaitu tajak bulan yang berbentuk bulan sabit, dan tajak surung atau tajak bedandan yang bermata lurus dengan ujung matanya agak rata dan besar. Sedangkan menurut Ramonteu et al. (2000) ada dua jenis tajak yang digunakan, yaitu tajak bulan dan tajak surung, dengan penjelasan yang sama dengan Rifani (1998). (a) (b) (c) Gambar 7 Tajak surung (a), tajak bulan (b)dan tajak bedandan (c) Menurut Sjarifuddin dan Wahyuhadi (1992) tajak surung umumnya digunakan pada sawah dataran rendah yang terletak di tepi sungai besar yang sering disebut sawah pasang surut. Untuk di Kalimantan Selatan terletak ditepi sungai Barito. Tajak ini memiliki teknik cara pengoperasian yang lebih sulit. Tajak bulan digunakan untuk menebas rumput pada sawah dataran tinggi dan membalik lapisan atas tanah. Tajak bedandan (tajak bungkul) lebih umum digunakan oleh masyarakat dan teknik pengoperasiannya relatif lebih mudah, terutama pada kedalaman air 10-15cm. Digunakan di sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan sawah beririgasi yang digenangi air. Namun sulit digunakan pada lahan kering. Tajak terdiri beberapa bagian, yaitu mata dengan lebar 10 cm, gagang (tangkai), puting (penghubung tangkai dan hulu) yang terbuat dari besi, salut (penguat sambungan puting dan hulu) terbuat dari kuningan, besi atau tembaga, serta hulu (pengangan) yang terbuat dari kayu. Berat alat ini mencapai 3 kg dengan sudut antara gagang dan mata condong ke muka mencapai 85°. Cara mempergunakannya yaitu tangan kiri memegang hulu, tangan kanan pada gagang. Tajak diangkat ke atas setinggi kepala, diayunkan ke bawah tepat pada permukaan tanah seperti bermain golf, sambil dikemudikan. Selanjutnya tajak ditarik, dimana rerumputan yang dipotong terbawa kesamping (Gambar 8). Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan mengupas tipis lapisan tanah kurang dari 5 cm jika air surut (Hidayat 2010). Gambar 8 Gerakan menajak 2.7 Penyiapan Lahan Menurut Noor, (2004) penyiapan lahan rawa dapat dilakukan secara fisikmekanik, kimia dan hayati. Namun sebagian petani lokal tradisional di Kalimantan Selatan lebih mengandalkan cara fisik, yaitu menggunakan tajak. Umumnya kegiatan penyiapan lahan meliputi menajak, memuntal, dan mehambur. Pada dasarnya prinsip pengolahan tanah yang dilakukan hanya ditujukan untuk memotong atau mengikis rumput dan gulma yang tumbuh di sawah. Pertumbuhan gulma di lahan rawa, khususnya lahan sulfat masam sangat cepat yang setiap musim dapat menghasilkan antara 2-3 ton bahan kering perhektar. Menurut Balittra (2001) dalam Noor (2004), gulma yang tumbuh pada pertanaman padi di lahan rawa berjumlah 19 jenis. Species gulma yang dominan adalah purun tikus (Eleocharis dulcis) dan dari genus rumput liar (Cyperus sp). Gulma pururn tikus ini tergolong sukar dikendalikan, dan tumbuh spesifik pada lahan sulfat masam karena tahan terhadap kemasaman tanah yang tinggi (pH 2,5 – 3,5) sehingga menjadi vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam. 2.7.1 Menajak Menajak disebut juga menabas sawah atau merincang adalah kegiatan menebas gulma maupun sisa tanaman padi di sawah yang berair dengan menggunakan tajak (Sjarifuddin dan Wahyuhadi 1992). Alat tajak ini efektif digunakan jika kedalaman air pada saat pengolahan tanah berkisar 5-15 cm. Sistem pengolahan tanah dengan alat tajak ini dalam bidang pertanian modern dikenal dengan istilah pengolahan tanah secara minimum (minimum tillage). Untuk mengolah tanah dengan peralatan tajak ini rata-rata dibutuhkan sekitar 2030 HKO per hektar (Hidayat 2010). 2.7.2 Memuntal Pada kegiatan penyiapan lahan menggunakan tajak, gulma ditebas, dibentuk menjadi tumpukan-tumpukan sebesar bola kaki (puntal), yang selanjutnya dibiarkan terendam air selama 1-2 bulan sambil menunggu bibit padi cukup besar dan kuat untuk ditanam (lacak). Gumpalan tumpukan gulma dan sisa panen ini sewaktu-waktu dibalik untuk mempercepat dan meratakan perombakan secara alamiah. Adakalanya dipotong-potong atau dicincang. Ada kalanya tumpukan gulma ditumpuk memanjang, dinamakan baluran. 2.7.3 Mehambur Gumpalan gulma (puntalan) yang telah membusuk akan disebarkan ke permukaan lahan secara merata (hambur), proses ini dinamakan mehambur. Penyiapan lahan secara tradisional ini dikenal dengan sistem tajak-puntal-hambur (Noor 1996). Kondisi ini tidak selalu sama, tergantung situasi dan kondisi. Pada kondisi air yang cukup dalam, gulma hasil menajak hanya dibusukkan dan terurai sebagai bahan organik hingga masa tanam tiba, dan jika kondisi yang sudah cukup dekat dengan musim tanam, tebasan gulma hanya diangkut ke tepi sebagai galangan. (a) (b) (c) Gambar 9 Sistem tajak (a), puntal (b), hambur (c) 2.8 Kearifan Lokal Penyiapan Lahan di Kalimantan Selatan Model pembangunan yang saat ini berlaku di negara-negara berkembang termasuk Indonesia memiliki kelemahan dasar yakni selalu memandang rendah terhadap sektor tradisional yang berkembang di masyarakat setempat. Model sektor tradisional dianggap sebagai suatu sektor yang bersifat konservatif dan statis. Dimana indikator pertanian akan berhasil apabila petani mau menerima atau mengadopsi teknologi pertanian baru. Namun sistem pertanian tradisional yang berkembang dalam budaya lokal selama berabad-abad telah menunjukkan kemampuanya dalam menyediakan makanan bagi satu generasi petani ke generasi berikutnya. Sehingga pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya tradisional dapat digunakan sebagai masukan terhadap pembangunan pertanian saat ini (Sutanto 2005). Pengetahuan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur (Hidayat 2010). Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Sistem pertanian tradisional yang berkembang dalam budaya lokal selama berabad-abad menunjukkan bahwa sistem ini telah menunjukkan kemampuannya dalam menyediakan makanan bagi satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu aspek penting dalam pertanian tradisional adalah indegeneous knowledge atau yang disebut kearifan lokal. Kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhannya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada (Pawluk et al. dalam Sutanto 2001). Masyarakat mengumpulkan informasi dan hasil pengamatannya terhadap kondisi lingkungan lokal untuk memecahkan masalah produksi pertanian. Selanjutnya disampaikan secara oral dari generasi ke generasi, sehingga terjadi pemahaman cukup mendalam terhadap sumberdaya alam lokal dan proses-proses yang berlangsung. Menurut Furukawa (1996) dalam Noor (2007) budidaya pertanian temasuk penyiapan lahan, pengelolaan air dan hara, serta konservasi tanah dan air merupakan pengetahuan lokal spesifik yang perlu digali dan dikembangkan. Kearifan budaya lokal yang turun temurun menunjukkan keunggulannya, sehingga modernisasi pertanian tidak harus diartikan sebagai menghapus pertanian tradisional yang sudah mengakar di masyarakat. Penyiapan lahan sistem tajak-puntal-hambur secara tradisional oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki sejumlah kelebihan. Penggunaan tajak sebagai alat penyiapan lahan tidak mengakibatkan terangkatnya pirit ke permukaan sehingga aman bagi pertumbuhan tanaman. Pembenaman bahan organik hasil perombakan gulma juga menyumbangkan sejumlah hara ke tanah. Hasil penelitian Djajakirana et al. (1999) dalam Noor (2004) menunjukkan bahwa penyiapan lahan dengan pembenaman bahan organik (puntal) menurunkan reaksi kemasaman air tanah dari pH 3,0 sebelum penyiapan lahan menjadi pH 6,20 sesudah penyiapan lahan. Cara penyiapan sistem tajak-puntal-hambur juga berhasil menaikkan pH dari 3,9 sebelum penyiapan lahan menjadi pH 5,8 sesudah penyiapan lahan. Tradisi turun temurun melakukan persiapan lahan menggunakan alat tradisional tajak dirasakan lebih nyaman bagi masyarakat setempat. Terlebih masa penyiapan lahan yang cukup lama dan indeks pertanaman 100%, petani memiliki waktu yang cukup untuk mengolah tanah tanpa terburu-buru, sehingga tajak tetap dipilih sebagai alat penyiapan lahan dan pengolah tanah. Pengembangan peralatan pertanian modern di lahan rawa pasang surut untuk mendukung sistem pertanian modern juga diintroduksi melalui programprogram bantuan teknik. Petani diperkenalkan dengan peralatan baru seperti traktor tangan (hand tractor), sabit bergerigi, dan mesin perontok gabah (power thresher). Khusus untuk traktor tangan, penggunaannya di lahan rawa pasang surut masih belum banyak diminati. Kendala teknis sifat fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya merupakan lahan sulfat masam sehingga pengolahan tanah dengan traktor tangan dapat menyebabkan lapisan pirit teroksidasi serta terangkat ke permukaan tanah dan meracuni tanaman padi. Secara sosial ekonomi, penggunaan traktor tangan ini berarti pengeluaran tambahan bagi petani untuk biaya pengolahan tanah. Selama ini pengolahan tanah banyak dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan petani sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya. Kegiatan pengolahan tanah tradisional di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D Kalimantan Selatan masih banyak menggunakan peralatan tajak. Khusus untuk di tipe A, selain peralatan tajak petani menggunakan parang untuk membersihkan gulma pada saat pengolahan tanah. Menurut Hidayat (2010) pengetahuan menyangkut sistem peralatan yang digunakan dalam usahatani di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pemikiran dan upaya mencoba-coba (trial and error) sehingga akhirnya ditemukan peralatan-peralatan yang adaptif bagi lingkungan setempat Selama ini penelitian mengenai aspek teknik tajak sebagai alat penyiapan lahan yang paling tepat di lahan rawa belum banyak dilakukan. Dengan mempelajari aspek ergonomi pada proses menajak akan menjadi dasar dalam pengembangan aspek teknik tajak sebagai alat penyiapan lahan yang tepat di lahan rawa, membantu memperbaiki pola gerak untuk mengurangi kelelahan kerja, serta berguna untuk pengembangan alat ini menjadi alat yang lebih ergonomis serta mekanis. 2.9 Ergonomi 2.9.1 Definisi dan Aplikasi Ergonomi Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan. Ergonomi dapat diterapkan pada aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-design) meliputi perangkat keras maupun lingkungan kerja (working enviroment). Disamping itu ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan factor keselamatan dan kesehatan kerja (Nurmianto 2005). Menurut Shanavas (1987), ergonomi adalah suatu ilmu terapan yang bertujuan untuk mencocokkan (to match) kebutuhan suatu produk, pekerjaan, dan tempat kerja dengan orang yang menggunakannya, sehingga mampu meningkatkan efisiensi kerja dan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan manusia, serta meningkatkan kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan dalam proses kerja. Ergonomi merupakan ilmu perancangan berbasis manusia Human Centered Design) dirasakan menjadi penting hingga saat ini. Hal ini menjadi penting, sebab manusia merupakan sumber utama dari sebuah sistem, adanya regulasi nasional mapun internasonal mengenai sistem kerja dimana manusia terlibat di dalamnya serta para pekerja adalah human being. Ilmu terapan yang banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi dan fisiologi. Untuk menjadi ergonomi diperlukan pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem kerangka otot. Yang berhubungan dengan hal tersebut adalah Kinesiologi Biomekanika, yaitu aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis system kerangka-otot manusia. Ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk mengatasi masalah postur dan pergerakan tubuh manusia di tempat dan ruang kerjanya. Disamping itu, hal yang vital pada penerapan ilmiah untuk ergonomi adalah antropometri, yaitu kalibrasi tubuh manusia. Dalam hal ini, terjadi penggabungan dan pemakaian data antropometri dengan ilmu-ilmu statistik yang menjadi prasyarat utamanya (Nurmianto 2005). Pertambahan jumlah penduduk menuntut ketersediaan pangan yang lebih banyak. Sementara itu, tenaga kerja dibidang pertanian semakin sulit didapat. Mekanisasi pertanian menjadi salah satu solusi mengatasi masalah ini. Namun selama ini banyak alat-alat pertanian yang diimpor dari luar negeri, dimana desain yang digunakan menggunakan ukuran tubuh masyarakat setempat, sehingga desain tidak sesuai dengan ukuran tubuh masyarakat Indonesia. Disisi lain berkembang alat dan mesin yang desain yang hanya didasarkan proses trial and error. Dengan mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip ergonomi di bidang mekanisasi pertanian diharapkan akan membantu tersedianya alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan dimensi tubuh (antropometri) masyarakat Indonesia, meningkatkan efisiensi, kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan dalam proses kerja. 2.9.2 Pengukuran Beban Kerja Lehman (1995) mendefinisikan kerja sebagai semua aktivitas yang secara dan berguna dilakukan manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai umat keseluruhan. Secara umum jenis kerja dibedakan menjadi dua bagian yaitu kerja fisik (otot) dan kerja mental. Kondisi fisik subjek yang berpengaruh terhadap beban kerja antara lain jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi, dan riwayat penyakit. Fisik lelaki umumnya lebih kuat dari wanita, sedangkan usia memiliki tingkatan yang berbeda. Pada usia 25 – 35 tahun merupakan kondisi tubuh paling prima dari manusia, dan pada usia di atas 40 tahun, kondisi fisik tubuh semakin jauh menurun. Pada kerja mental pengeluaran energi relatif kecil dibandingkan pada kerja fisik dimana tubuh akan menghasilkan perubahan dalam konsumsi oksigen, heart rate, temperature tubuh dan perubahan senyawa kimia dalam tubuh. Perlunya menganalisa konsumsi energi yang dipakai pada beberapa pekerjaan tertentu adalah masih menduduki prioritas utama dan bertujuan antara lain memilih frekuensi dan periode istirahat pada manajemen waktu kerja, mencari metode alternatif pemilihan peralatan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan, sebagai dasar perancangan alat dan mesin yang ergonomis, serta hal yang tidak kalah pentingnya adalah hubungannya dengan pengukuran fitness dan penerapannya untuk perancangan aktivitas kerja maupun jenis pekerjaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas sehari-hari, manusia membutuhkan energi. Jumlah energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme tubuh secara keseluruhan saat melakukan aktifitas disebut dengan Total Energy Cost (TEC). Nilai TEC merupakan penjumlahan dari Basal metabolis Energy (BME) dan Work Energy Cost (WEC). Menurut Syuaib (2003), BME merupakan konsumsi energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi minimal fisiologisnya. Sedangkan menurut Nurmianto (2008) metabolisme basal adalah konsumsi enegi secara konstan pada saat istirahat dengan perut dalam keadaan kosong. BME tergantung dari ukuran tubuh (berat dan tinggi badan) dan jenis kelamin (pria atau wanita). Sedangkan WEC (Work Energy Cost) merupakan jumlah energi tambahan yang harus dikeluarkan oleh tubuh ketika melakukan suatu aktivitas kerja. Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori seorang pekerja selama 24 jam ditentukan oleh tiga hal : 1. Kebutuhan kalori untuk metabolisme basal. Keterangan kebutuhan seorang laki-laki dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal ± 100 kilo joule (23,87 kilo kalori) per 24 jam per kg BB. Sedangkan wanita dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal ± 98 kilo joule (23,39 kilo kalori) per 24 jam per kg BB. 2. Kebutuhan kalori untuk kerja. Kebutuhaan kalori untuk kerja sangat ditentukan oleh jenis aktivitas kerja yang dilakukan atau berat ringannya pekerjaan. 3. Kebutuhan kalori untuk aktivitas-aktivitas lain diluar jam kerja. Rata-rata kebutuhan kalori untuk aktivitas diluar kerja adalah ± 2400 kilo joule (573 kilo kalori) untuk laki-laki dewasa dan sebesar 2000 – 2400 kilo joule (425 – 477 kilo kalori) per hari untuk wanita dewasa. Dalam terminologi energi kerja, terdapat istilah Total Energy Cost per Weight (TEC’). TEC’ merupakan nilai dari TEC yang dinormalisasi untuk mengetahui nilai beban kerja objektif yang diterima oleh seseorang saat melakukan kerja dengan menghilangkan faktor berat, karena pada saat seseorang bekerja, energi yang harus dikeluarkan bukan hanya untuk aktivitas kerja itu sendiri, tetapi juga harus mengeluarkan energi tambahan untuk membawa berat badannya. Oleh karena nilai TEC pada masing-masing subjek harus dibagi dengan faktor berat badan yang disebut dengan Total Energy Cost per Weight (TEC’). Dengan bertambah kompleksnya aktivitas otot, maka beberapa hal yang patut dijadikan pokok bahasan dan analisa terhadap manifestasi kerja tersebut yaitu denyut jantung (heart rate), tekananan darah (blood pressure), keluaran paru (cardiac output) , komposisi kimia darah (latic acid content), temperature tubuh (body temperature), kecepatan berkeringat (sweating rate), kecepatan membuka dan menutupnya ventilasi paru (pulmonary ventilation) serta konsumsi oksigen (oxygen consumption) (Wignjosoebroto 2008). Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a. Merasakan denyut yang ada pada arteri radial pada pergelangan tangan. b. Mendengarkan denyut dengan stetoskop. c. Menggunakan ECG (electrocardiogram), yaitu mengukur signal elektrik yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada. d. Menggunakan Heart Rate Monitor (HRM), mengukur detak jantung di dada pada waktu tertentu, dilengkapi display pada receiver yang di pergelangan tangan. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan berbagai cara, denyut jantung merupakan variabel yang paling mudah untuk diukur. Pengukuran beban kerja secara tidak langsung menggunakan pencatat denyut jantung secara kontinyu membuka gambaran umum dari seluruh aktivitas yang dilakukan pada hari tersebut. Menggunakan alat ini memungkinkan untuk memisahkan berbagai macam aktivitas sesuai dengan denyut jantungnya (Astrand dan Rodalh (1977) dalam Syuaib (2003)). Denyut jantung (Heart Rate / HR) permenit subjek direkam oleh alat Heart Rate Monitor (HRM). HRM adalah metode pengukuran yang paling umum dan paling nyaman digunakan untuk mengukur suatu beban kerja fisiologis (physiological strain). Banyak peneliti ergonomika percaya bahwa meningkatnya tingkat laju denyut jantung dapat menunjukkan beban kerja, baik secara fisik maupun mental, karena terdapat korelasi yang linier terhadap konsumsi energi fisik (physical energy cost). Oleh karena itu data kontinyu dari laju denyut jantung pada suatu aktivitas berguna sebagai indikator dari beban kerja psikofisiologis. Nilai denyut jantung umumnya sangat dipengaruhi faktor-faktor personal, psikologis, dan lingkungan, sehingga untuk menghindari subyektifitas perhitungan nilai denyut jantung harus dinormalisasi agar diperoleh nilai denyut jantung yang lebih obyektif (Syuaib 2003). 2.9.3 Metode Step Test Pengukuran beban kerja fisik di lapangan dengan metode pengukuran denyut jantung memiliki kelemahan, sebab hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan lainnya. Menurut Herodian (1997), salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan menggunakan metode step test atau metode langkah. Dengan metode ini dapat diusahakan selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, terutama di lapang, sehingga ketidak stabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah di analisa. Beberapa faktor individual seperti jenis kelamin, umur, berat dan tinggi badan harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur. 2.9.4 Antropometri Istilah Antropometri berasal dari “antro” yang berarti manusia dan “metri” yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia . Antropometri merupakan istilah yang digunakan dalam pengukuran sifat fisik tubuh manusia yang mengenai panjang, tebal, berat, atau volume maupun faktor lain yang berkaitan dengan rancangan suatu alat. Pengukuran antropometri dibedakan menjadi 2 tipe yaitu struktural atau statik dan tipe dinamik. Tipe statik menghasilkan data dimensi tubuh dalam keadaan diam, seperti tinggi badan atau tinggi bahu. Sedangkan pada tipe dinamik, pengukuran lebih memperhatikan kemampuan gerak manusia dalam melakukan aktivitas (Sanders dan McCormick 1987). Data antropometri digunakan untuk mengetahui dimensi fisik ruang kerja, alatalat, furnitur, dan pakaian agar terjadi kesesuaian antara manusia dan alat, untuk memastikan terhindarinya ketidak cocokan antara dimensi alat dengan dimensi pengguna. Perbedaan ukuran tubuh pada masing-masing populasi tidak mengikuti perbandingan yang baku, karena adanya perbedaan spesifik untuk tiap anggota tubuh. Data mengenai ukuran antropometri tergantung pada rata-rata populasi yang diukur karena rata-rata ukuran tubuh manusia. Di Benua Eropa misalnya akan mempunyai perbedaan dengan ukuran rata-rata orang di Benua Asia. Demikian juga perbedaan jenis kelamin akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh sangat diperlukan dalam suatu ruang kerja yang baik sehingga dapat menurunkan beban kerja Secara umum data antropometri yang diterapkan untuk hal-hal yang khusus, cukup diambil dari persentil ke-5, ke-50, ke-95 atau antara persentil ke-5 sampai persentil ke-95. Persentil ke-100 hanya diterapkan pada rancangan yang digunakan oleh semua orang contoh perlengkapan di rumah-rumah sakit. Untuk alat yang dapat diatur sesuai dengan subjeknya, misalnya posisi tempat duduk, posisi pegangan kendali, desain sebaiknya dirancang agar dapat memenuhi selang persentil ke-5 sampai ke-95. Distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean (rata-rata) dan standar deviasi (Gambar 10). Sumber : Nurmianto (2004) Gambar 10 Distribusi normal dan perhitungan persentil Persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih dari nilai tersebut. Misalnya : 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95 percentil; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 percentil. Besarnya nilai percentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi normal (Nurmianto 2008). 2.9.5 Analisis Gerak (Motion Analysis) Analisis gerak (motion analysis) adalah analisa yang dilakukan terhadap beberapa gerakan bagian badan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, sehingga gerakan yang kurang efektif dapat dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan sehingga diperoleh penghematan dalam waktu kerja (Sutalaksana dkk 2004). Analisis gerak merupakan analisis dari gerakan pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Wignjosoebroto (2008), Analisis gerakan adalah suatu analisis tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Ilmu ini pertama kali dikembangkan oleh Frank dan Lilian Gilberth pada tahun 1885 (Barnes 1980). Tujuan dari analisis gerak adalah untuk menghilangkan atau mengurangi gerakan yang kurang efektif untuk mendapatkan gerakan yang cepat dan efektif (Niebel 1988). Dengan studi ini ingin diperoleh gerakan-gerakan standar untuk penyelesain suatu pekerjaan, yaitu rangkaian gerakan yang efektif dan efisien. Aktivitas penyiapan lahan pertanian secara tradisional oleh masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan sangat unik dan berbeda dengan pola umumnya. Penggunaan tajak sebagai alat penyiapan lahan berbeda cara pengoperasiannya dengan cangkul sebagai alat pengolah tanah tradisional yang umum digunakan. Bentuk dan fungsinya yang khas perlu dipelajari pengembangan alat ini. Menurut Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2011), tubuh manusia memiliki suatu selang alami gerakan (SAG). Gerakan dalam SAG yang baik memperbaiki sirkulasi darah dan fleksibilitas sehingga dapat mencapai gerakan yang lebih nyaman dan produktivitas yang lebih tinggi. Meskipun syarat untuk mencapai gerakan tersebut pengguna sebaiknya mencoba untuk menghindari gerakan berulang dan ekstrim dalam SAG nya selama periode waktu yang lama. Masih menurut Openshaw (2006), ada 4 zona berbeda yang mungkin dihadapi manusia ketika duduk dan berdiri, yaitu: 1. Zona 0 (Zona Hijau/Green Zone). Zona yang dianjurkan untuk sebagian besar gerakan-gerakan. Terdapat tekanan minimal pada otot dan sendi. 2. Zona 1 (Zona Kuning/Yellow Zone). Zona yang dianjurkan untuk sebagian besar gerakan-gerakan. Terdapat tekanan minimal pada otot dan sendi. 3. Zona 2 (Zona Merah/Red Zone). Banyak posisi yang ekstrim pada anggota-anggota tubuh. Terdapat lebih besar tekanan pada otot dan sendi. 4. Zona 3 (Melewati Zona Merah/Beyond Red Zone). Posisi paling ekstrim pada anggotaanggota tubuh, sebaiknya dihindari jika memungkinkan, terutama ketika mengangkat beban berat atau kegiatan yang berulang-ulang. Zona-zona tersebut merupakan selang-selang dimana anggota-anggota tubuh dapat bergerak secara bebas. Zona 0 dan 1 termasuk dalam gerakan-gerakan sendi terkecil sedangkan Zona 2 dan 3 menunjukkan posisi-posisi yang lebih ekstrim. Untuk lebih rinci, Tabel 1 dan Gambar 11 berikut selang gerakan dari beberapa zona gerakan : Tabel 1 Selang gerakan dari beberapa zona Fleksi (flexion) Tangan Pergelangan Gerakan Zona 0 Zona 1 Zona 2 Zona 3 0 – 10 11 – 25 26 – 50 51+ Ekstensi (extension) 0–9 10 – 23 24 – 45 46+ Deviasi Radial (radial deviation) 0–3 4–7 8 – 14 15+ Deviasi Ulnar (ulnar deviation) 0–5 6 – 12 13 – 24 25+ 0 – 19 20 – 47 48 – 94 95+ Ekstensi (extension) 0–6 7 – 15 16 – 31 32+ Aduksi (adduction) 0–5 6 – 12 13 – 24 25+ Abduksi (abduction) 0 – 13 14 – 34 35 – 67 68+ Fleksi (flexion) Punggung Selang dari zona gerakan (dalam °) Tulang Belakang Leher Fleksi (flexion) 0 – 10 11 – 25 26 – 45 46+ Ekstensi (extension) 0–5 6 – 10 11 – 20 21+ Berputar (rotational) 0 – 10 11 – 25 26 – 45 46+ Menbengkok ke samping (lateral bend) 0–5 6 – 10 11 – 20 21+ Fleksi (flexion) 0–9 10 – 22 23 – 45 46+ Ekstensi (extension) 0–6 7 – 15 16 – 30 31+ Berputar (rotational) 0–8 9 – 20 21 – 40 41+ Menbengkok ke samping (lateral bend) 0–5 6 – 12 13 – 24 25+ Sumber : Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2006) Untuk dapat menggambarkan bagaimana SAG, Gambar 11 memberikan gambaran berbagai posisi tubuh manusia pada berbagai kondisi gerakan. Selanjutnya, dengan mempelajari pola gerakan pada menajak akan dapat diketahui SAG yang terjadi pada aktivitas tersebut. Sumber : Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2011) Gambar 11 Macam-macam selang gerakan Dari selang-selang gerakan di atas, yang terjadi pada saat melakukan menajak adalah gerakan pada tulang belakang, leher, punggung, dan pergelangan tangan, jika merujuk pada Gambar 11, maka gerakan menajak dapat ditunjukkan seperti pada gambar berikut :