BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi etika

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Studi etika bisnis terutama etika bisnis yang berkaitan dengan ethico-religious
system dapat dikategorisasikan dengan berbagai macam pendekatan atau pun metode,
yang pada hasilnya akan menghasilkan sebuah konsep. Seperti yang dilakukan oleh
Toshihiko Izutsu (Izutsu, 2002a) yang berbicara mengenai konsep-konsep leksikal
yang berkaitan dengan leksim-leksim Al-Qur’an pada level penalaran tertinggi
(komprehensif dan mempertimbangkan faktor-faktor relasi semantik) dengan
menggunakan metode analisis semantik struktural. Penelitian yang dilakukan
Toshihiko menjadi sebuah titik acuan bagi penelitian lain yang menggunakan metode
ilmiah dalam pemecahan masalah leksim naskah-naskah suci (holy scripture) semisal,
Some Linguistic Difficulties in Translating the Holy Quran from Arabic into English
(Ali, Brakhw, Nordin, & Shaik, 2012). Perlu diingat bahwa penelitian Toshihiko
berfokus pada monoreligion approach yaitu Islam dengan data yang diambil pada AlQur’an. Data-mining yang dilakukan oleh Toshihiko mempertimbangkan aspek
welthancauung pada kategorisasi unit semantik yaitu leksim. Perbedaan mendasar pada
penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Toshihiko adalah, 1) Penelitian ini
1 menggunakan polyreligion approach yaitu Yudaisme, Kristen dan Islam 2) Terdapat
perbedaan metode yang radikal relatif dengan metode yang digunakan oleh Toshihiko.
Walaupun secara cukup Toshihiko telah menyebutkan leksim – leksim yang berkaitan
dengan konsep etika Al-Qur’an beserta penjelasannya tetapi kesimpulan yang ditarik
oleh Toshihiko belum menyentuh signifikansi dan partisipasi leksim terhadap etika itu
sendiri. Lebih tepatnya, untuk apa/sebagai apa leksim tersebut digunakan pada etika?
Pertanyaan ini belum terjawab pada penelitian yang dilakukan oleh Toshihiko.
Penelitian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan apakah dapat dilakukan sebuah
pendekatan ilmiah yang menghubungkan analisis semantik dengan etika. Istilah etika
dan etika religius pada penelitian ini dapat saling tergantikan, kecuali peneliti berkata
sebaliknya.
Yang menarik menjadi sebuah diskusi adalah signifikansi dari leksim (lexeme)
pada sebuah arti (meaning). Sebelum mendiskusikan leksim secara lebih jauh, peneliti
memberikan gambaran mengenai leksim dan pengaruhnya terhadap interpretasi pikiran
manusia yang diambil pada kitab Perjanjian Lama,
‫( עַל־כֵּן ָֽי ַ ֲעזָב־אִ יׁש אֶ ת־ָאבִיו וְאֶ ת־אִ מ ֹּו וְדָ בַק בְאִׁשְת ֹּו ְוהָיּו ְל ָבשָר ֶא ָחָֽד‬Ber 2:24) [1]
Dengan translasi pada metabahasa Inggris adalah sebagai berikut, (peneliti akan
memberikan alasan pemilihan metabahasa pada bagian metode), diasumsikan bahwa
Bereshis/Genesis 2:24 dengan bahasa Ibrani sebagai objek bahasanya.
2 [1.m] Therefore shall an ish leave his av and his EM, and shall cleave unto his ISHA:
and they shall be [BASAR ECHAD]
Apa yang menjadi masalah di dalam teks tersebut? Tentunya adalah dua leksim
‫(( ְל ָבשָר אֶ ָחָֽד‬Le)Basar Echad pada [1.m] Baca : (Le)Basar Ekhad pada translasi fonologi
Indonesia). Kenapa bisa menjadi masalah besar ? Hal ini karena menyangkut mengenai
etika pernikahan dari umat Kristiani maupun umat Yahudi. Dua leksim ini menjadi
penentu apakah etis atau tidakkah poligami di dalam Agama Kristen. Terdapat berbagai
macam klaim dengan berbagai macam metode dan argumen beberapa contoh argumen
yang tidak menyetujui mengenai poligami dalam Agama Kristen. Pada Konferensi
Lambeth misalnya,
“In the case of polygamy, there is a universal standard – it
is understood to be a sin, therefore polygamists are not admitted to
positions of leadership including Holy Orders, nor after
acceptance of the Gospel ...” (Lambeth, 2008)
Secara tegas bahwa konferensi tersebut tidak menyetujui bahwa terdapat
adanya poligami dalam Agama Kristen (dalam hal ini adalah Kristen Angelikan) dan
pernyataan tersebut memperkuat konferensi yang serupa pada tahun 1988 yang
menyatakan bahwa konstruksi rumah tangga ideal adalah rumah tangga monogami
(Lambeth, 1988). Beberapa sumber lain misalnya pendapat St. Augustine (Clark,
3 1996). Terdapat pula argumen yang menyetujui mengenai pernikahan polygami,
semisal Women In Islam Vs Women In Judaeo-Christian Tradition: Myth & Reality
(Azeem, 2014). Perlu diingat bahwa perbedaan ini ada karena adanya perbedaan
metode yang poros masalahnya terdapat pada frase ‫ ְלבָשָ ר אֶ ָחָֽד‬. Mari diskusikan contoh
ini dengan integrasi pada analisis semantik.
Pertama, menurut semantik (Pitt & Katz, 2000), apakah ‫ ְלבָשָ ר אֶ ָחָֽד‬bersifat
komposional yang berarti setiap leksim dapat berdiri sendiri dan bisa diartikan secara
literal baik leksim ‫שר‬
ָ ‫[( ְל ָב‬Le]basar) yang memiliki definisi metabahasa “flesh” atau
dalam Bahasa Indonesia “daging” dan ‫( אֶ ָחָֽד‬ekhad) yang berarti “One—[United]” atau
dalam Bahasa Indonesia “tunggal”.
(1.d)...{...[[‫] ֶא ָחָֽד‬np [‫] ָבשָר‬np[‫}]]] ְל‬ [...United-Flesh]literal
Menurut diagram (1.d) dapat dilihat bahwa pada poin literal hal ini tidaklah
mungkin karena, arti dari ‫(( ְל ָבשָר ֶא ָחָֽד‬Le)Basar Ekhad) adalah sesuatu yang sebelumnya
telah bersatu, lalu kemudian terpisah, dan bersatu kembali dalam bentuk satu daging
(Something fleshy (flesh) that tore apart in separate entity then reunited as one entity).
‫ ְלבָשָ ר‬di sini tentunya adalah daging yang dimiliki Adam, seperti pada ayat sebelum [1]
‫וַי ֹּאמֶר הָֽ ָָאדָ ם ז ֹּאת ַה ַפעַם ֶעצֶם מֵּ ָֽ ֲע ָצ ַמי ּו ָבשָר ִמבְשָ ִרי‬.... (Gen 2:23) [2]
4 [2.m] And the adam said, This is now etzem of my etzem, and basar of my basar;
......
Poin literal tidaklah mungkin karena dalam kenyataannya secara fisik Adam
dan Hawa tidak pernah menjadi satu daging. Memang membingungkan jika semantik
dari kalimat ini harus dipaksakan dalam makna literal. Berati jika makna literal tidak
memungkinkan maka (1.d) harus dinyatakan pada makna non-literal hal itu menjadikan
bahwa (1.d) tidak bisa dijadikan frase komposional.
[2.d] {.......[ ‫] ְל ָבשָר ֶא ָחָֽד‬np}  “Family”
Dalam posisi non-komposional diskusi lebih lanjut bisa dilakukan misalnya
apakah leksim ini berhubungan dengan status perkawinan? Alias dengan adanya ‫ְלבָשָ ר‬
‫ אֶ ָחָֽד‬perkawinan hanya boleh dilakukan dengan monogami? Secara logika seharusnya
tidak mungkin (sebelum diberikan bukti lebih lanjut), ingat bahwa pada jika kita frasa
nomina ‫ ֶא ָחָֽד‬kemudian diartikan sebagai
“mono” atau tunggal secara literal dan
membiarkan frasa nomina daging (‫ ) ְלבָשָ ר‬memliki arti non-literal adalah menyalahi
aturan non-komposionalitas. Seperti dalam [2.d] ‫ ְלבָשָ ר אֶ ָחָֽד‬harus diartikan bersamaan
dalam arti yang berbeda dari makna literalnya. Berarti ((Le)Basar Ekhad), dapat
dimaknai sebagai “keluarga” atau “family” atau makna lain yang secara definitif
berlaku dan dapat dibuktikan pada data yang berada di lingkungan Bible. Bukti dari
pernyataan ini terdapat pada cerita Solomon di buku raja-raja bahwa dia memiliki 700
5 istri dan 300 selir, tentunya jika ((Le)Basar Ekhad) ‫ ְלבָשָ ר אֶ ָחָֽד‬adalah hukum dan etika
untuk mengadakan perkawinan monogami tidak mungkin Solomon akan memiliki 700
istri dan 300 selir, sebuah pernyataan yang memiliki alasan yang sangat kuat karena di
dalam Bible sendiri tidak ada pernyataan eksplisit mengenai pernikahan monogami.
‫ׁשיו אֶת־לִבָֹּֽו׃‬
ָ ָ‫) ַויְהִי־ֹלו נָׁשִ ים שָ ר ֹּות ׁשְ בַע מֵּא ֹּות ּופִ ָֽ ַלגְׁשִ ים ׁשְֹלׁש מֵּא ֹּות ַוי ַּטּו נ‬Kgs 11:31( [3]
And he had nashim sarot sheva me'ot (seven hundred royal wives), and Three hundred
pilagshim (Concubines); and Hie nashim inclined libo (His heart).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua hal dalam
paparan linguistik terutama dalam ,penjabaran naskah kuno, yang menjadi sangat
pening. 1) Bahwa naskah dalam kitab suci sering kali diinterpretasikan berbeda, hal ini
terutama akan dipengaruhi oleh berbagai macam strategi metode penarikan
interpretasi, ideologi interpreter, dan dapat pula dipengaruhi oleh berbagai kepentingan
yang dapat membuat interpretasi naskah kitab suci menyimpang dari arti sebenarnya.
Beberapa kritisi mengenai Bible dan Al-Qur’an tentunya telah diterbitkan oleh
berbagai macam kritikus walaupun di dalam penelitian ini bahasan mengenai kritikan
tajam kepada ketiga kitab suci tersebut tidak akan menjadi fokus, kritikus-kritikus yang
terkenal di dalam penyampaian kritikannya antara lain M.Quraish Shihab (Shihab,
2011), Dr. Zakir Naik (Naik, 2012), Anish Shorrosh (Hefley & Hefley, 1975; Shorrosh,
2001), William Campbell D.D, Ahmad Deedat (Deedat, 1994), Yusuf Estes (Llc,
6 2010), dan beberapa pemikir-pemikir lainnya. Tentu saja kritikan dapat berupa kritikan
yang pro dan kontra terhadap level interpretasi Bible maupun Al-Qur’an. 2) Ternyata
leksim dalam sebuah naskah berpengaruh besar terhadap cara interpretasi mau pun
hasil dari interpretasi sebuah frase dan kalimat di dalam objek bahasa. Hal ini
mengharuskan terdapat metode yang dapat secara cukup menjelaskan mengenai
leksim-leksim baik dalam level sintaksis maupun semantik, secara umum Toshihiko
sendiri mengungkapkan bahwa metode terbaik dalam menganalisis naskah kitab suci
adalah metode Structural Semantic Analysis. Peneliti berpendapat bahwa dalam
penelitian yang dilakukan Toshihiko (Izutsu, 2002a) pada pembatasan yang sangat
ketat yaitu berada pada level universal Al-Qur’an belum dapat membuat SSA menjadi
leading pattern dalam menganalisis leksikon di dalam kategorisasi Al-Qur’an.
Terdapat beberapa semantik yang diambil berdasarkan budaya di luar universal AlQur’an. Seperti budaya pada masa pra-Islam, yang menjadi landasan semantik leksim
dan kemudian disimpulkan sebagai “true meaning” dari objek bahasa yang
metabahasanya diamanatkan kepada Bahasa Inggris. Tentunya hal ini akan menjadi
aspek kelemahan dari penelitian Toshihiko (Izutsu, 2002b).
Penelitian ini akan berfokus terhadap prinsip Ethico-Religious utang-piutang.
Output utama dari penelitian ini adalah menemukan konsep-konsep etika agama
terutama dalam aspek utang-piutang nantinya dapat diaplikasikan pada taraf ideal
perilaku manusia sebagai makhluk homo economicus. Selama ini utang piutang
dianggap sebagai sebuah transaksi yang penting terutama di dalam prinsip Islami
7 karena terdapat deklarasi mengenai utang piutang yang termaktub di dalam Al-Qur’an
pada surat Al-Baqarah ayat 282,
]4[﴾٢٨٢ :٢﴿.................. ۚ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَنتُم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُّم َسمًّى فَا ْكتُبُوه‬
Dengan arti sebagai berikut (Metabahasa : Bahasa Inggris), Sahih International
O you who have believed, when you contract a debt for a specified term, write it
down.............[4.m]
Bukan hanya di dalam Al-Quran saja, akan tetapi ayat-ayat yang berkaitan
dengan pembahasan mengenai utang-piutang terdapat pada Bible baik dalam Tanakh
maupun dalam Perjanjian Baru, semisal (Lev 25:35), (Deut 15:1), (Deut 15:2, (Deut
15:9), (Deut 31:10), (Ps 37:21), (Prov 22:26), (Ezek 18:7) Hal ini tentunya
menciptakan sebuah pertanyaan yang sangat penting : Apakah terdapat relasi antara
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Bible dan Al-Qur’an. Relasi ini adalah sebuah
kunci untuk dapat menyatakan bahwa jika dan hanya jika terdapat sebuah hubungan
antara konsep Biblical Ethico-Religous dengan Qur’anic Ethico relgious tentunya
terdapat platform yang nantinya bisa terbentuk dari hubungan keduanya. Yang
menjadi masalah adalah apakah konsep yang dimiliki oleh Bible dan Al-Qur’an (
peneliti di dalam penelitian ini menggunakan istilah Bible untuk merujuk pada kitab
Tanakh dan Perjanjian Baru), begitu berbeda dan saling berkontradiksi satu sama lain,
ataukah hubungan keduanya merupakan hubungan yang saling mengisi satu sama lain.
Kontradiksi maupun Indikasi yang terdapat dalam hubungan keduanya tentunya harus
diketahui pada level standar moral yang berlaku di dalam Bible maupun Al-Qur’an.
8 Pada level mikro inilah analisis semantik menjadi sebuah metode yang dapat
menjelaskan “true meaning” dari leksim-leksim dan sintaksis-sintaksis Biblical
maupun dari Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena standar moral akan diketahui hanya
pada level leksikal maupun sintaksis (kalimat yang terdiri dari leksim-leksim dan telah
dibubuhi dengan berbagai macam morfem maupun fonem secara orthografis)
Jika telah diketahui standar moral dari masing-masing kitab suci tentunya akan
dapat ditarik sebuah kesimpulan apakah platform dari Ethico-Religius dari AgamaAgama Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi) tersebut saling berkaitan kontradiktif atau
indikatif? Jika terdapat keterkaitan indikatif, tentunya kesimpulan dari dari penelitian
ini nantinya akan menjadi : Uniplatform, antara ketiga konsep ethico-religious utangpiutang Agama-Agama Abrahamik, Tentunya jika sifatnya adalah kontradiktif maka
hasil dari penelitian ini akan menjadi : Multiplatform. Atas dasar-dasar itulah judul
yang pada topik penelitian ini adalah : Konsep Ethico-Religious Utang Piutang pada
Agama-Agama Abrahamik : Uniplatform atau Multiplatform? Perlu diketahui bahwa
secara natural peneliti memiliki anggapan awal (belum menggunakan analisis lebih
dalam) bahwa pada prinsipnya uniplatform konsep antar ketiga agama ini jauh lebih
memiliki alasan yang sangat kuat untuk menjadi sebuah kenyataan.
1.2.
Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah utama yang menjadi fokus dari
penelitian adalah platform dari konsep ethico-religious utang-piutang pada Agama-
9 Agama Abrahamik. Bagaimanakah sifat hubungan konsep antar ketiga agama ini?
Tentunya sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas terdapat beberapa masalah
yang harus terpecahkan terlebih dahulu.
1. Permasalahan Interpretasi Kontemporer
Permasalahan yang menjadi salah satu bahasan penting dalam
penelitian ini adalah permasalahan Interpretasi kontemporer yang sering
kali menggunakan metode dengan tingkat diversifikasi yang tinggi.
Tentunya interpretasi ini bukanlah “true meaning” dari kitab-kitab suci
tersebut, tetapi adalah interpretasi subjektif dari berbagai macam interpreter
yang dipengaruhi oleh ideologi, dasar ilmu, dan kepentingan dari masingmasing personal atau pun kelompok. Pembahasan antara interpretasi
kontemporer yang akan dikonfrontasikan dengan analisis semantik akan
menjadi sebuah cara untuk memecahkan masalah ini.
2. Permasalahan Universalitas Data
Interpretasi Kontemporer menggunakan data universal yang sangat
masif. Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah data universal
yang merujuk pada sumber data pada masing-masing agama, semisal pada
agama Islam data universalnya adalah Al-Qur’an, sedangkan hadis/sunah
digunakan sebagai data di luar data universal tetapi tetap mendukung data
universal. Pada penelitian ini data universal ditetapkan sebagai kitab suci
masing-masing agama. Sehingga terdapat asumsi besar bahwa secara
10 semantik dengan menggunakan pembatasan universalitas data, segala
sumber data akan menjawab masalah-masalah yang diajukan dari
penelitian ini secara mandiri tanpa adanya interpretasi lebih lanjut dengan
data di luar data universal.
Bahasan dari data universal ini akan menjadi sebuah asumsi penting
dan akan digunakan seterusnya dalam penelitian ini.
3. Permasalahan Konsep
Setelah diketahui permasalahan pada poin satu (1) dan dua (2) dan
setelah dilakukan analisis semantik maka akan diketahui poin arti
leksim/sintaks yang dapat diajukan menjadi konsep standar moral.
Penelitian mengenai konsep standar moral utang-piutang ini merupakan
inti dari bahasan ini. Sehingga untuk menjawab masalah konsep ini
diperlukan dua metode, satu metode mayor yaitu metode analisis semantik
untuk menganalisis segmen-segmen data universal yang sudah terpilih
untuk dihasilkan sebuah “true meaning” dari data yang nantinya akan
berubah menjadi standar moral, dan kemudian metode moral reasoning
untuk memberikan contoh contoh dari standar moral tersebut.
4. Permasalahan Platform
Permasalahan ini adalah bahasan terakhir dari penelitian ini,
pemecahan dari masalah ini akan bersamaan dengan pemecahan masalah
konsep. Yang menarik dari permasalahan ini adalah peneliti akan berusaha
untuk mencari benang merah antara konsep-konsep utang-piutang Anta
11 agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Mungkin topik ini adalah topik yang
paling kontroversial dalam penelitian ini.
Permasalahan-permasalahan tersebut akan lebih lanjut dibahas dalam bahasan
penelitian.
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menciptakan sebuah kesimpulan dan
mengenai konsep ethico-religious utang-piutang pada agama-agama Abrahamik.
Kesimpulan tersebut dapat menjadi titik acuan sifat platform dari konsep utangpiutang ketiganya. Dengan diketahui sifat platformnya, baik itu uniplatform maupun
multiplatform, landasan dari aplikasi etika yang didasarkan pada kode-kode standar
moral dapat dijalankan secara mapan. Penelitian ini juga bertujuan untuk meneruskan
dan mengembangkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa
peneliti terdahulu semisal Toshihiko dan Al Faruqi (Al-Faruqi, 1989, 2013; Izutsu,
1984).
1.4.
Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui “true meaning” dari sumber data, maka akan diketahui
bagaimana sebenarnya standar moral yang berlaku dan bagaimanakah etika yang
sebenarnya harus dicermati oleh para pelaku ekonomi non-atheis. Dasar dari para
pelaku ekonomi untuk bertindak dapat diketahui ketahui jelas karena penelitian ini
12 menjadi sebuah breakthrough dalam hal etika utang-piutang yang selama ini
didominasi oleh etika islami. Aplikasi dari hasil penelitian ini akan membuka mata
akademis dan juga praktisi bahwa sebenarnya agama memiliki peranan penting dalam
jiwa mereka dan dapat menjadikan masa depan sistem perekonomian global menjadi
lebih baik. Penelitian ini adalah penelitian rintisan dari penelitian yang lain yang lebih
besar dan lebih teknis, dan kontribusi penelitian ini terhadap ilmu pengetahuan dapat
menjadi sesuatu yang signifikan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan berfokus pada topik ethico-religious utang-piutang agama-
agama Abrahamik yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya bahwa “true meaning” dari ayat-ayat suci pada ketiga kitab suci agama
tersebut tidak bergantung pada interpretasi kontemporer yang subjektif, menjadikan
bahasan dari penelitian ini harus dapat mengungkapkan “true meaning” pada
sistematika metode yang nantinya akan menggunakan analisis semantik struktural
pada komunikasi tertulis. Dokumen historis yang akan digunakan dan berhubungan
dengan penelitian ini adalah Al-Qur’an, Tanakh dan Perjanjian Baru, sebagai data
universalnya. Sedangkan data-data pendukung yang dapat diambil adalah hadis.
Komentar-komentar di dalam Al-Qur’an, Tanakh, maupun Bible yang terkait dengan
utang-piutang maupun yang tidak terkait secara langsung tidak dapat dikategorikan
sebagai data universal dan data pendukung serta tidak akan diolah di dalam metode
13 penelitian. Lebih lanjut, data universal akan menciptakan asumsi bahwa ruang lingkup
pengolahan data dibatasi hanya pada ketiga pada ketiga kitab suci tersebut dan
mengimplikasikan bahwa hasil dari pembahasan telah dapat secara cukup terpenuhi
dari pengolahan data ketiganya.
Beberapa data pendukung lainnya yang nantinya dapat dijadikan rujukan
penelitian ini dan masuk ke dalam pembahasan studi antara lain data historis ketiga
agama tersebut, termasuk benang merah yang terdapat di dalam struktur inti agama
Islam, Yahudi dan Kristen. Bahasan yang dimasukkan di dalam ruang lingkup
penelitian ini harus dapat memenuhi prinsip-prinsip yang nantinya akan dijelaskan di
dalam bagian metode. Perlu diingat kembali bahwa metode yang akan digunakan di
dalam penelitian ini adalah metode analisis semantik sebagai metode awal untuk
mengungkapkan standar moral yang sebenarnya berlaku dengan merujuk pada arti
sesungguhnya data yang diambil dari sumber data.
Implikasi dari adanya standar moral yang sebenarnya akan diteruskan kepada
proses yang lebih aplikatif, dengan adanya moral reasoning pada level konseptual,
beberapa contoh aplikatif dapat disimulasikan secara komprehensif. Pembahasan
mengenai uniplatform dan multiplatform akan dilakukan setelah adanya pembahasan
mengenai standar moral dan akan menjadi titik acuan bagaimanakah seharusnya dunia
akademis maupun praktis dalam menyikapi etika utang-piutang yang antar agama yang
telah diketahui dari pengolahan sumber data secara sistematis berbasis ilmu
pengetahuan.
14 Lebih detail, bahwa penelitian ini akan secara mikro mengolah leksim-leksim
yaitu satu individual kata yang tidak bersifat ortografis dengan menggunakan berbagai
macam metode semantik (dibahas dalam metode). Satu individual kata ini akan dipilih
berdasarkan konteks dari bahasan ini yaitu utang-piutang yang memiliki keterkaitan
dengan nilai-nilai moral dan memiliki wilayah potong intra (intraseksi) konsep pada
ketiga-agama tersebut. Pemilihan kata ini merujuk pada beberapa prinsip (salah
satunya sudah dijelaskan pada kalimat sebelumnya) selain prinsip tersebut. Peneliti
menggunakan istilah leksim inti untuk mengungkapkan kata non-ortografis yang
dipilih. Kata tersebut harus berkaitan dengan data universal dan data pendukung.
Interseksi yang digunakan untuk mendukung analisis platform.
Pada lingkup makro hubungan antara individual leksim akan dibahas dengan
mempertimbangan hubungannya pada kalimat lain di data universal. Hubungan ini
akan ditimbang baik berdasarkan faktor formal maupun representasional dan harus
memiliki denotasi yang relevan dengan masalah yang difokuskan.
15 
Download