Problematika Kewarisan di Masyarakat Lombok Timur - AIFIS

advertisement
Problematika Kewarisan di Masyarakat Lombok Timur:
Kajian Faktor dan Alasan Berperkara di Pengadilan Agama Selong
By: Muhammad Jihadul Hayat**
Abstract
The results of the study reveal that the types of inheritance cases handled by the
PA Selong, among others: inheritance related to joint property, relating to inheritance
heir replacement, inheritance pertaining to wills mandatory, relating to the grant
inheritance wealth before death, and inheritance pertaining to third parties. The
inheritance judge actions filed by the majority of the heirs of the heirs of women against
men. In general, the reasons on which the litigant inheritance is not doing legitimate
inheritance according to Islamic law and administration/ the division of property is only
to some heirs to the detriment of most of the other heirs, especially for girls and offspring.
Those, factors that encourage high inheritance case in PA Selong is an awareness and
public assessment of the existence of the PA Selong and applicable law, ie the public
aware of the PA Selong as a promising institution that is not part obtained when using
a weak role of customs and social institutions in seek mediation in inheritance disputes.
Abstrak
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis-jenis perkara kewarisan yang
ditangani oleh PA Selong antara lain: (1) kewarisan yang berkaitan dengan harta
bersama; (2) kewarisan yang berkaitan dengan ahli waris pengganti; (3) kewarisan
yang berkaitan dengan wasiat wajib; (4) kewarisan yang berkaitan dengan
penghibahan harta sebelum kematian; dan (5) kewarisan yang berkaitan dengan
pihak-pihak ketiga. Perkara-perkara kewarisan tersebut mayoritas diajukan oleh
pihak ahli waris perempuan melawan pihak ahli waris laki-laki. Secara umum
alasan-alasan yang menjadi dasar berperkara kewarisan adalah belum dilakukannya
pembagian warisan yang sah sesuai ketentuan hukum Islam dan
pemberian/pembagian harta hanya kepada sebagian ahli waris sehingga merugikan
sebagian ahli waris yang lain terutama bagi anak perempuan dan keturunannya.
Dengan demikian, faktor yang mendorong tingginya perkara kewarisan di PA Selong
adalah adanya kesadaran serta penilaian masyarakat tentang eksistensi PA Selong
dan hukum yang diterapkan, yaitu masyarakat menyadari PA Selong sebagai
**Mahasiswa
Jurusan Al-Akhwalul As-Syaksiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2011. Email: [email protected].
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
249
institusi yang menjanjikan bagian yang tidak didapatkan jika menggunakan adat
kebiasaan dan lemahnya peran institusi sosial dalam mengupayakan mediasi pada
sengketa kewarisan.
Kata Kunci: Warisan, Lombok Timur dan Pengadilan Agama.
A. Pendahuluan
Kompetensi peradilan agama dalam bidang waris mengalami pasang
surut. Sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1882 muncul staatsblad No.
152 dan No. 153 yang berisi pembentukan peradilan agama untuk wilayah
Jawa dan Madura.1 Kewenangan peradilan agama tidak disebutkan secara
jelas dalam staatsblad ini2 maka pengadilan agama tersebut dengan
sendirinya menetapkan perkara-perkara yang masuk wewenangnya,3
termasuk menyelesaikan perkara waris bagi umat Islam.4 Keputusan politik
atas perubahan dan tambahan staatsblad 1882 No. 152 terjadi dengan
munculnya staatsblad 1937 No. 116 dan No. 610.
Staatsblad 1937 No. 116 jo No. 610 tidak mengakomodasi hukum
waris sebagai wewenang pengadilan agama. Wewenag pengadilan agama
dalam staatsblad 1937 No. 116 pasal 2a hanya terbatas perkara
perkawinan.5 Tahun yang sama muncul Ordonantie 1937 No. 638 dan No.
639 yang menandakan lahirnya pengadilan agama di Kalimantan Selatan
dan Timur dengan sebutan Kerapatan Qadi untuk tingkat pertama dan
Kerapatan Qadi Besar untuk tingkat banding yang berkedudukan di
Banjarmasin.6 Kewenangannya sama sebagaimana pengadilan agama di
1Lihat
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 263.
2Basiq Djalil, Peradilan Agma di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 51.
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Realita, cet. II (Malang:
UIN-Malang Press, 2009), hlm. 85.
3Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syari’ah, edisi revisi (Depok: Anggota IKAPI, 2010), hlm. 36. Jaenal Arifin, Peradilan
Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, hlm. 263.
4Lihat Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, edisi revisi (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 118.
5Ibid., hlm. 119-120. Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Sketsa Peradilan Agama, (Jakarta, Depag RI, 2000), hlm. 11. Basiq Djalil,
Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 57-58. Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai
Reformasi Hukum di Indonesia, hlm. 265. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum
Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 6.
6Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 67.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 120.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
250
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
Jawa dan Madura yaitu tidak termasuk bidang waris.7 Bustanul Arifin
menyebut kondisi ini sebagai puncak penyempitan kewenangan pengadilan
agama.8
Setelah Indonesia merdeka, muncul Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun
1957
yang
menetapkan
pembentukan
pengadilan
agama/Mahkamah Syar’iyah untuk wilayah selain Jawa dan Madura.9
Wewenang Mahkamah Syar’iyah ini termasuk perkara waris.10 Secara
yuridis PP No. 45 Tahun 1957 mengatur kewarisan menjadi kewenangan
peradilan agama (untuk wilayah luar Jawa-Madura) tetapi bukan dalam arti
mutlak melainkan setengah-setengah dan tidak menyelesaikan problem.
Hal ini tampak pada persoalan wewenang mengadili, bahwa kewarisan juga
merupakan wewenang pengadilan negeri, yang dalam kenyataannya
pengadilan agama hanya terbatas dalam mengeluarkan fatwa.11
Tahun 1989 muncul Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang berlaku nasional sebagai manifestasi politik hukum
nasional sebagaimana diamanatkan dalam GBHN.12 Menurut asas
personalitas keislaman dan konsep wawasan nusantara maka masalah
waris seluruh umat Islam di Indonesia ditempatkan dalam suatu gugus
wawasan nusantara yaitu di bawah yurisdiksi lingkungan peradilan agama.13
Hal ini dapat dipastikan melalui pendekatan konsideran huruf d juncto
penjelasan umum angka 1 alinea kedua jucnto pasal 107 ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 menyatakan semua peraturan peradilan agama yang lama
(staatsblad 1882-152, 1937-116 dan 610, 1937-638 dan 639, serta PP No.
45/1957) dinyatakan tidak berlaku.14
Kemunculan UU No. 7 Tahun 1989 tidak lantas menyelesaikan
masalah secara total, melainkan masih menyisakan hak opsi atau pilihan
hukum yang disinyalir oleh beberapa yuris sebagai kecacatan. Yahya
7Departemen
Agama RI Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Sketsa Peradilan Agama, hlm. 11.
8Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 51.
9Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Realita, hlm.
116.
10Lihat Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, hlm. 51-52. Basiq Djalil, Peradilan Agma di Indonesia, hlm. 76.
11Baca Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, hlm. 71.
12Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 127.
13M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1997), hlm. 148-149.
14 Ibid.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
251
Harahap menyebutkan hak opsi mengandung problema hukum acara.15
Kewenangan mengadili perkara waris umat Islam masih saling tarik ulur
antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri, terbukti dengan
adanya hak opsi sebagaimana penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989
angka 2 alinea keenam yang disinyalir mementahkan alinea kelima.
Kewenangan menyelesaikan perkara waris di lingkungan peradilan
agama baru terealisasikan secara sempurna setelah diundangkannya UU
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Kewenangan penuh peradilan agama dalam
menyelesaikan sengketa waris umat Islam ditandai dengan dihapusnya
pilihan hukum sebagaimana penjelasan umum paragraf kedua UU No. 3
Tahun 200616 yang menyatakan pilihan hukum dihapus. Tentu ini
memperjelas kompetensi absolut pengadilan agama dalam menjalankan
fungsinya.
Pengadilan agama dalam menjalankan fungsinya secara umum
dipenuhi oleh perkara-perkara perkawinan sedangkan perkara-perkara
kewarisan tergolong jarang. Ini tentu kurang seirama dengan
dihapuskannya hak opsi dalam UU No. 3 Tahun 2006 bahwa perkara
waris umat Islam Indonesia sudah menjadi wewenang penuh pengadilan
agama yang tidak perlu lagi dibagi ke pengadilan negeri. Kondisi berbeda
ditunjukkan oleh Pengadilan Agama Selong (selanjutnya disebut PA
Selong) yaitu selain perkara perkawinan, dipadati juga oleh perkara
kewarisan meskipun kuantitasnya tidak sama. Menurut data statistik pada
situs perkara.NET17 bahwa PA Selong menangani perkara waris paling
banyak jika dibandingkan dengan PA lain di bawah yurisdiksi Pengadilan
Tinggi Agama Mataram.
Pada tahun di bulan oktober 2014 PA Selong telah menerima 43
perkara. Pada tahun 2013 PA Selong menerima sebanyak 91 perkara, dan
pada 2012 sebanyak 87 perkara.18 Berbeda dengan PA Mataram yang
hanya menangani 9 perkara pada tahun 2014, 17 perkara pada tahun
Ibid., hlm. 166-171.
Ali Muhtarom, “Menggali Hukum Kewarisan Islam dalam Tata PerundangUndangan Peradilan Agama”
(http://www.ptasamarinda.net/pdf/Menggali%20Hukum%20Waris%20d%20In
donesia.pdf PDF akses tanggal 4 November 2014), hlm. 4-5.
17 Situs yang digunakan sebagai layanan online satuan kerja pengadilan agama
seluruh Indonesia.
18 http://perkara.net/v1/?c_pa=pa.sel akses 9 Oktober 2014.
15
16
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
252
201319 dan PA Praya menangani 41 perkara pada tahun 2014, 56 perkara
pada tahun 2013.20 Secara akumulasi tiga tahun tersebut, PA Selong
menangani sebanyak 241 perkara waris. Tahun 2012, jumlah perkara waris
di PA Selong sebanyak 87 perkara dengan komposisi sebanyak 80
merupakan perkara kontentius21 yaitu perkara yang di dalamnya
mengandung sengketa antara pihak-pihak22 dan 7 perkara voluntair23 yaitu
perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak terdapat
sengketa sehingga tidak ada lawan.24 Tahun 2013 sebanyak 86 perkara
kontentius dan 5 perkara voluntair. Tahun 2014 sebanyak 40 perkara
kontentius dan 3 perkara voluntair.25
Angka perkara sebagaimana tersebut di atas sangat menarik untuk
dikaji karena sudah pasti hal itu tidak terlepas dari praktik hukum waris
dalam masyarakat. Salah satu faktor krusial misalnya maraknya pembagian
waris saat pewaris masih hidup. Kenyataan ini dibenturkan dengan
keadaan sosial-religius masyarakat yaitu homogen beragama Islam yang
secara normatif dalam Islam kewarisan merupakan akibat dari kematian.
Secara nalar kondisi ini menjadi dilema, di satu sisi masyarakat dihadapkan
dengan adat dan di sisi lain terdapat gairah mematuhi hukum sesuai ajaran
agama.
B. Praktik Kewarisan Masyarakat Lombok Timur
1. Potret Sosial Keagamaan Masyarakat Lombok Timur
Masyarakat Lombok Timur mayoritas beragama Islam. Jumlah
penduduk agama Islam selama tahun 2013 adalah sebanyak 1.095.489 jiwa
atau sekitar 99,94 persen, sedangkan pemeluk Kristen sebanyak 137 orang,
dan Hindu 539 orang. Dilihat dari ketersedian fasilitas peribadatan,
Kabupaten Lombok Timur dikenal dengan sebutan seribu masjid,
misalnya pada tahun 2013 tercatat masjid sebanyak 1.184, Gereja dan Pura
masing-masing 1 unit dan masing-masing berada di kecamatan Selong.26
19
http://perkara.net/v1/?c_pa=pa.mtr akses 9 Oktober 2014.
20www.papraya.go.id/index.php?option=com_wrapper&view=wrapper&Itemid=
150 akses 9 Oktober 2014.
21 http://perkara.net/v1/?c_pa=pa.sel akses 9 Oktober 2014.
22 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 41.
23 http://perkara.net/v1/?c_pa=pa.sel akses 9 Oktober 2014.
24 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, hlm. 41.
25 http://perkara.net/v1/?c_pa=pa.sel akses tanggal 9 Oktober 2014.
26Lihat di http://www.pemda.lotim.go.id/ akses 2
Januari 2015. BPS Kabupaten
Lotim, Indek Pembangunan Daerah dan Manusia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012,
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
253
Tabel 1
Jumlah Pemeluk Agama Dirinci per Kecamatan
di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2013
Kristen/
No Kecamatan
Islam
Hindu
Budha
Jumlah
katolik
1.
Keruak
47.384
4
17
0
47.405
2.
Jerowaru
51.006
0
0
0
51.006
3.
Sakra
52.587
0
10
0
52.597
4.
Sakra Barat
46.221
0
0
0
46.221
5.
Sakra Timur
41.968
0
0
0
41.968
6.
Terara
70.311
7
12
0
70.330
Montong
7.
37.509
0
0
0
37.509
Gading
8.
Sikur
69.128
13
4
0
69.145
9.
Masbagik
91.941
3
16
0
91.960
10. Pringgasela
48.991
1
0
0
48.992
11. Sukamulia
29.870
6
22
0
29.898
12. Suralaga
49.481;
0
0
0
49.481
13. Selong
74.701
32
150
0
74.883
14. Labuhan Haji 51.579
15
9
0
51.603
15. Pringgabaya
93.002
15
22
0
93.039
16 Suela
38.006
4
0
0
38.010
17. Aikmel
91.064
0
18
0
91.082
18. Wanasaba
60.914
0
0
0
60.914
19. Sembalun
18.330
0
123
0
18.453
20. Sambelia
31.496
37
136
0
31.669
Sumber Data: BPS Kabupaten Lombok Timur dan Kemenag Kab. Lombok Timur
Jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur berdasarkan hasil
Sensus Penduduk tahun 2012 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik
(BPS) berjumlah 1.116.745 jiwa dengan rincian 519.898 laki-laki dan
596.847 perempuan.27 Sehingga seks ratio-nya sebesar 87 per 100, artinya
(Selong: BPS Kabupaten Lombok Timur, 2013), hlm. 35. Bandingkan dengan Abdul
Kadir Jaelani, “Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun
2013 Perspektif Good Governence”, Skripsi Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2014, hlm. 171.
27BPS Kabupaten Lombok Timur, Lombok Timur Dalam Angka 2012, (Selong:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur, 2102), hlm. 3
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
254
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
tiap 100 wanita terdapat 87 pria. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah
penduduk perempuan lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki.28
Mayoritas masyarakat Lombok Timur berprofesi sebagai petani.
Tanaman pangan diwilayah Kabupaten Lombok Timur yang memiliki
potensi pengembangan adalah tanaman padi yang merupakan tanaman
utama, selain itu tanaman jagung, ketela pohon/ubi jalar yang berkembang
di wilayah Kecamatan Aikmel, Terara, Suela dan Pringgabaya.
Pengembangan tanaman Holtikultura di Kabupaten Lombok Timur
berupa sayur-sayuran dengan potensi pengembangan berada di kecamatam
Sembalun, merupakan kawasan penghasil komoditi bawang putih/merah,
wortel, kubis, tomat, kentang dan lain-lain.29 Potensi SDM di Kabupaten
Lombok Timur mayoritas mempunyai keahlian di bidang pertanian dan
perdagangan serta ada yang memiliki keterampilan alami membuat
kerajinan patung tetapi dalam jumlah yang terbatas. Dengan demikian
dapat dikatakan masyarakat cenderung melakukan kegiatan bertani atau
berusaha membuka suatu usaha kecil seperti pengrajin patung, anyaman
bambu, tenun timbul dan upaya keahlian alami masyarakat; terutama di
wilayah terisolasi/terpencil meskipun demikian dapat memberikan
keuntungan bagi wilayah Lombok Timur.30
Khusus untuk bidang keagamaan, di Lombok Timur terdapat
sebuah ormas Islam mayoritas, yaitu Nahdlatul Wathan. Ormas Nahdlatul
Wathan bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan Islam. Misalnya
terdapat dua institusi perguruan tinggi di bidang keagamaan yang berada di
bawah naungan Nahdlatul Wathan, yaitu Institut Agama Islam
Hamzanwadi Pancor dan Institut Agama Islam Hamzanwadi Anjani.
Selain itu, Nahdlatul Wathan juga memiliki pondok pesantren baik pada
tingkat SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.
2. Reaktualisasi Hukum Kewarisan di Masyarakat
Hukum diterapkan dalam lingkungan sosialnya yaitu masyarakat.
Sistem sosial bersifat terbuka, yaitu selalu mengalami proses saling
pertukaran dalam bentuk masukan dan keluaran dengan lingkungannya.31
Hukum di sini ditekankan pada fungsinya menyelesaikan konflik-konflik
28Ibid,
hlm. 81.
Aminudin, Profil Kabupaten Lombok Timur, (Selong: BPS Kabupaten
Lombok Timur, 2013), hlm. 32.
30Ibid, hlm. 25.
31Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 27.
29Moh.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
255
yang timbul dalam masyarakat secara teratur.32 Pada waktu timbul suatu
sengketa dalam masyarakat maka ia memberikan tanda bahwa diperlukan
suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan.33 Pembiaran terhadap
sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat terciptanya
suatu kerja sama yang produktif dalam masyarakat.34Pada saat itulah
dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan
dalam masyarakat sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses
kerja sama yang produktif.35
Hukum dalam interaksinya dengan sub sistem lain dalam masyarakat
bersifat dinamis. Misalnya hubungannya dengan ekonomi. Ekonomi
sebagai suatu tindakan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan
fisik dikategorikan das sein, dan hukum sebagai suatu sistem norma yang
dibuat untuk mendisiplinkan tingkah laku manusia termasuk dalam
kategori das sein. Hukum dipandang sebagai sistem yang terpadu secara
logis, bebas dari kontradiksi-kontradiksi di dalam tubuh sistem itu dan
dipandang dari segi keberlakuannya secara empirik.36 Yahya Harahap
menjelaskan dalam perkembangan hukum adat di Indonesia telah terjadi
pos-pos penting perubahan misalnya dalam bidang hukum kewarisan.
Pada tanggal 1 November 1961 terjadi penerobosan fundamental dengan
lahirnya putusan Mahkamah Agung dalam perkara No. 179K/Sip/1961 yang
dikenal Hukum kewarisan Adat Baru. Dalam pertimbangannya jelas
ditegaskan:37
1) Anak Laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak dan
kedudukan yang sama atas harta warisan orang tua,
2) dengan hak dan kedudukan yang sama, bagian anak laki-laki dan
anak perempuan adalah sama,
3) nilai yang seperti itu, bukan hanya didasarkan atas rasa
prikemanusiaan dan keadilan umum,
4) akan tetapi hal itu didasarkan juga atas kesadaran hukum yang
hidup di seluruh Indonesia.
Ibid.
Ibid., hlm 28.
34 Ibid.
35 Ibid.
36Max Weber, On Law in Economy and Society (New York: A Clarion Book, 1954),
hlm. 11. Dalam Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, hlm. 29.
37M. Yahya Harahap, “Preaktik Hukum Waris Tidak Pantas Membuat
Generalisasi” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 128.
32
33
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
256
Dengan putusan ini, lahirlah hukum adat kewarisan baru yang
berintikan pemberian hak dan bagaian yang sama bagi anak laki-laki dan
anak perempuan. Putusan ini dianggap jauh melangkah daripada nilai-nilai
hukum adat lama dan murni. Menurut hukum kewarisan adat lama yang
murni, di beberapa daerah dan suku yang yang menganut garis keturunan
unilateral dengan stelsel garis kebapakan (patrilineal), maka anak
perempuan tidak mempunyai hak dan kedudukan mewarisi harta
peninggalan orang tua. Maka sejak tahun 1961 nilai-nilai hukum kewarisan
adat tidak lagi secara murni dan konsekuen diterapkan. Peradilan di
lingkungan peradilan umum menjadikan hukum adat kewarisan baru
tersebut menjadi landasan menyelesaikan sengketa pembagian harta
warisan sejak tahun 1961.38
Menurut Yahya Harahap, hukum adat kewarisan baru tersebut
menimbulkan kegalauan yurisdiksi. Dampak yang ditimbulkan merangsang
para pencari keadilan mengacaukan masalah yurisdiksi peradilan umum
dengan peradilan agama.39 Kekuatan ini menjadi semakin jelas apabila
dikaitkan dengan PP No. 45 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak secara tegas
menyebutkan bahwa kewarisan ummat Islam merupakan kompotensi
absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. PP No. 45 Tahun
1957 yang diundangkan pada tanggal 9 Oktober 1957 dalam lembaran RI
tahun 1957 nomor 99 menyebutkan.40
(1) Pengadilan Agama/Mahkamah Sjar'iah memeriksa dan
memutuskan perselisihan antara suami-isteri jang beragama
Islam, dan segala perkara jang menurut hukum jang hidup
diputus menurut hukum Agama Islam yang berkenaan dengan
nikah, thalaq, rudju', fasach, nafaqah, maskawin (mahar),
tempat kediaman (maskan), mut'ah dan sebagai, hadhanah,
perkara waris-mal-waris, waqaf, hibah, sadaqah, baitulmal dan
lain-lain jang berhubungan dengan itu, demikian djuga
memutuskan perkara pertjeraian dan mengesahkan bahwa siarat
ta'lik sudah berlaku.
Ibid.
Ibid., hlm. 131.
40 Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama di
Luar Jawa- Madura.
38
39
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
257
(2) Pengadilan Agama/Mahkamah Sjar'iah tidak berhak memeriksa
perkara- perkara jang tersebut dalam ajat (1), kalau untuk perkara
itu berlaku lain dari pada hukum Agama Islam.
Menurut Yahya Harahap Rumusan ketentuan ini tidak secara tegas
meletakkan kewenangan pengadilan agama mengadili sengketa kewarisan
bagi yang beragama Islam. Yurisdiksinya digantungkan atas rumusan
samar, sepanjang hal itu merupakan kesadaran hukum yang hidup.41 Pada
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih menyisakan
problem kebebasan choice of forum hingga diamandemen oleh UU No. 3
Tahun 2006.
Permasalahan yurisdiksi yang dimaksud adalah pada umumnya pihak
perempuan akan mengajukan sengketa kewarisannya ke pengadilan negeri
kerena pengadilan negeri akan menerapkan nilai hukum adat kewarisan
yang akan memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Di sisi lain pihak laki-laki akan mengajukan sengketa
kewarisannya ke pengadilan agama dengan motivasi pengadilan agama
akan menerapkan nilai-nilai ketentuan fara’id yang menjaminnya
mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan.42 Konsekuensi dari
permasalahan di atas mengisyaratkan sengketa kewarisan selalu didominasi
faktor motivasi keuntungan. Motivasi faktor sikap islami, hampir tidak
bergetar.43
Pertautan hukum dan ekonomi dalam konteks di atas menunjukkan
hukum selalu berinteraksi dengan subsistem yang lain. Pertautan hukum
dan ekonomi akan tampil dalam konteks pembacaan empirik misalnya peri
kelakuan manusia yang didasari oleh pertimbangan-pertimbangan
ekonomi.44 Perbuatan seseorang yang tampak sebagai suatu perbuatan
hukum karena perbuatan tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang
diharuskan, makanya belum tentu seorang mematuhi hukum atas motif
menaati hukum.45
41Lihat M. Yahya Harahap, “Preaktik Hukum Waris Tidak Pantas Membuat
Generalisasi” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
hlm. 131.
42 Ibid., hlm. 131-132.
43 Ibid., hlm. 133.
44 Max Weber, On Law in Economy and Society (New York: A Clarion Book, 1954),
hlm. 11. Dalam Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, hlm. 29.
45 Ibid.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
258
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
Menurut penelitian Erman Rajagukguk pada tahun 2009 bahwa di
pulau Lombok eksis tiga sistem hukum. Prtama, hukum adat sasak yang
bercirikan patrilineal di mana kaum perempuan tidak mendapat harta
warisan dari orang tuanya, misalnya di daerah Sade Lombok Tengah. Pada
dasarnya masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa
garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan
dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi keluarga suaminya,
karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin.46 Kedua, Hukum Islam
yaitu pembagian warisan berdasarkan ketentuan laki-laki mendapatkan
sebanyak dua kali bagian perempuan. Hukum Islam begitu eksis terutama
di Lombok bagian Timur. Hal ini ia dasarkan pada struktur masyarakat
yang hampir seluruhnya beragama Islam dan pendidik-pendidik agama
Islam banyak berasal dari Lombok Timur.47
Ketiga, hukum yang diterapkan oleh pengadilan negeri. Yang
menarik dalam pemaparan Erman Rajagukguk adalah Pengadilan Negeri
Selong membatalkan hibah dan membagi warisan dengan rasio dua
berbanding satu. Pembagian ini terjadi pada perkara Baiq Fadlah et.al., v.
Baiq Saeah menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sebagai anak
perempuan berhak mewarisi dengan mendapat setengah bagian yang
menurut Hukum Adat Sasak disebut sepersonan. Di sisi lain PN selong
memutus dengan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan hal ini
terdapat dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Selong tanggal 27
Desember 1982 No. 164/P.N.Sel/1982/Pdt antara Inaq Sanah et.al v.
Kadirun et.al (1982).48
Pengadilan Negeri mengutip pula penelitian “Perkembangan
Hukum Adat Suku Sasak” yang dilakukan oleh Fakultas Hukum
Universitas Mataram pada tahun 1979. Sejak tahun 1951 di daerah pulau
Lombok, khususnya di daerah Kecamatan Masbagik (Lombok Timur)
telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Kewarisan Adat khususnya
tentang kedudukan anak wanita. Jika menurut Hukum Adat yang lama
anak wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewarisi barangbarang tidak bergerak seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya
sudah diakui dimana kedudukan wanita sebagai ahli waris dan berhak pula
46 Erman Rajagukguk, Pluralisme Hukum Waris: Studi Kasus Hak Wanita di Pulau
Lombok,
Nusa
Tenggara
Barat,
(file
PDF
dipublikasikan
melalui
http://www.ermanhukum.com ) hlm. 3-4.
47 Ibid., hlm. 6-9.
48 Ibid., hlm. 21-23.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
259
memperoleh harta warisan peninggalan orang tuanya bersama-sama
dengan saudara laki-lakinya.49
3. Susunan Kekerabatan Masyarakat Lombok Timur dan
Terbukanya Kewarisan
Menurut Hukum Adat Sasak Tradisional, Suku Sasak menarik garis
keturunan dari pihak laki-laki (patriachat).50 Pada kaum bangsawan Suku
Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan kaum laki-lakinya mendapat gelar
Lalu. Pada masyarakat lapisan bawah baik perempuan maupun laki-laki
tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya dipanggil Inaq
(berarti ibu) dan laki-laki dipanggil Amaq (bapak).51 Susunan kekerabatan
dapat dilihat dalam prosesi perkawinan masyarakat Sasak. Praktik
perkawinan di masyarakat Lombok Timur tak terlepas dari praktik global
masyarakat Sasak, yaitu terkenal dengan sebutan praktik kawin lari atau
dalam bahasa Sasak disebut merariq.52
Proses perkawinan dimulai dengan tindakan pemuda atau tubajang
membawa lari si gadis baik dengan atau tanpa persetujuan si gadis atau
dedare yang diinginkannya dari kekuasaan orang tuanya atau keluarganya.
Selanjutnya seorang gadis tersebut dibawa lari dan tinggal di bale
penyebo’an.53 Selama proses nyebo’ terdapat tenggang waktu sebelum akad
pernikahan berlangsung, biasanya selama dua samapai tujuh hari. Selama
tenggang waktu ini pihak keluarga baik laki-laki maupun perempuan
mempersiapkan acara akad nikah. Termasuk dalam tenggang waktu ini
terdapat proses nyelabar, yaitu pembicaraan perwakilan keluarga laki-laki
kepada keluaraga perempuan tentang biaya yang harus diberikan oleh
keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai simbol upah jasa
membesarkan anaknya. Biaya ini disebut pisuke. Istilah lain dari nyelabar
adalah mbait wali yaitu proses negosiasi jumlah uang pisuke. Setelah terjadi
kesepakatan barulah ditentukan lokasi akad nikah yang biasanya dilakukan
di tempat tinggal pihak laki-laki.
49
Ibid.
50Ibid.
51
Ibid.
52Solichin
Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masadepannya, (Jakarta: Kuning
Mas, 1992), hlm. 22 dalam M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), hlm. 151.
53Lihat M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press,
2008), hlm. 152. Bale Penyebo’an dalam bahasa Indonesia berarti rumah bersembunyi
semintara sebelum akad nikah dilangsungkan. Biasanya bale penyebo’an adalah rumah
keluarga atau kerabat sang pemuda tersebut.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
260
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
Setelah terjadinya akad nikah maka sang istri mengikuti suaminya
tinggal dikediaman keluarga pihak laki-laki. Dari prosesi ini, secara sepintas
masyarakat sasak menganut sistem patrilineal terutama mengenai tempat
tinggal yaitu patrilokal. Pelaksanaan merariq pada kasus tertentu terutama di
daerah kota seperti Mataram, Bengkel, dan Selong dilakukan dengan cara
yang lebih sopan yaitu proses merariq didahului oleh proses atau tindakan
sang laki-laki melakoq/belakoq atau ngendeng merariq. Dalam Bahasa
Indonesia berarti meminta restu orang tua si gadis atau perempuan54 Bagi
sebagian jumlah masyarakat Sasak ada yang beranggapan bahwa
pernikahan yang dilakukan tanpa kawin lari model ini kurang memuaskan,
sehingga pelaksaannya merupakan suatu keharusan. Dalam keadaan yang
tradisional misalnya masyarakat di pedesaan inilah yang terjadi, meskipun
pada dasarnya banyak juga keluarga yang tidak memandang penting proses
ini.55
Ada beberapa prinsip yang dianggap menjadi basis filosofis proses
merariq ini yaitu menunjukkan prestige keluarga perempuan dan superioritas
laki-laki sekaligus inferioritas perempuan. Dalam konteks prestige,
perempuan disimbolkan milik istimewa yang sangat berharga suatu
keluarga yang tidak didapatkan dengan meminta. Sedangkan dalam
konteks superioritas laki-laki, perempuan tak lebih seperti suatu barang
yang bersifat pasif dan tak berdaya.56 Garis keturunan dalam adat Sasak
tidak menutup pada satu keluarga atau satu garis keturunan melainkan
tetap mengakui dua garis keturunan yaitu bapak dan ibu, hanya saja dalam
kenyataannya cenderung patrilineal.
Konsekuensi pernikahan adalah terjadi ikatan hak dan kewajiban
antara laki-laki/suami terhadap istri dan anak-anaknya. Salah satu
kewajiban suami adalah memberikan nafkah kepada keluarganya meskipun
dalam tataran riil kerap ditemukan bahwa perempuan pula ikut mencari
nafkah bersama suaminya. Dalam tradisi pertanian di Lombok Timur
terdapat saat-saat perempuan sangat berperan signifikan misalnya saat
panen padi atau mataq dan pada saat panen cabe atau mbau sebiye. Pada saat
panen padi khususnya padi yang jenisnya bertangkai panjang atau pade
pataq atau pade jamak (bukan gabah) yang menjadi pelakunya adalah para
54Bandingkan
dengan M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), hlm. 154.
55Bandingkan dengan Tim Departemen P dan K, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1995), hlm. 33. Dalam M. Nur Yasin,
Hukum Perkawinan Islam Sasak, hlm. 76.
56Lihat M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, hlm. 157-158.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
261
perempuan. Alat yang digunakan disebut rengkapan, yaitu kater yang
terbuat dari besi silet, papan seukuran telapak tangan dan sebatang ranting
bambu atau kayu bulat berukuran panjang 10 cm dan diameter 1 cm.
Adapun panen cabe sudah seperti otoritas kaum perempuan.
Kaitannya dengan isu kewarisan, yaitu salah satu kebiasaan yang
populer di masyarakat Lombok Timur adalah memberikan beberapa petak
sawah, ladang, atau kebun bagi anak laki-lakinya yang sudah menikah
untuk digunakan memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini sudah lumrah
dilakukan dalam konteks struktur masyarakat petani di Lombok. Berbeda
dengan perempuan apabila sudah menikah tidak diberikan sebagaimana
anak laki-laki karena ia mengikuti suaminya. Proses ini berlangsung begitu
lama turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi kebiasaan
masyarakat Lombok Timur. Selama perempuan tidak merasa dirugikan
maka tidak akan timbul suatu sengketa apapun.
Kondisi semacam inilah yang dijustifikasi dalam studi-studi
terdahulu sebagai praktek pembagian warisan ketika pewaris masih hidup,
misalnya penelitian Murdan dan Jayak di Desa Landah dan Desa Jago
Kabupaten Lombok Tengah. Kabupaten Lombok Timur hampir
keseluruhan penduduknya beragama Islam kental dan dikenal dengan
sebutan seribu masjid sehingga sudut pandang yang digunakan adalah
Hukum Kewarisan Islam. Salah satu rukun mewarisi adalah muwarrits, yaitu
orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki dan hukmy.57 Sebagaiman
salah satu hadis Nabi Muhammad saw., yang berbunyi:
58
‫مه تزك حقا اوماال فهى لىرثته بعد مىته‬
Waris mewarisi berfungsi sebagai penggantian kedudukan dalam
memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan
orang yang ditinggalkannya.59 Pengertian ini tidak sekali-sekali bila orang
yang akan diganti kedudukannya masih ada dan berkuasa penuh terhadap
harta miliknya atau orang yang akan menggantikannya tidak berwujud di
saat penggantian terjadi.60 Suatu pembagian warisan akan dianggap sah
oleh masyarakat Lombok Timur apabila melibatkan kepala desa dan
disaksikan oleh kepala dusun, keluarga, dan tokoh masyarakat di kampung
tersebut.61 Pembagian warisan ini dilakukan setelah pewaris meninggal
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Maarif, 1981), hlm. 36.
Ibid., hlm 38.
59 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 79.
60 Ibid.
61 Wawancara dengan Amaq Taharah
57
58
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
262
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
dunia. Perlu dicatat, pewaris yang dimaksud adalah laki-laki atau ayah.
Apabila yang meninggal lebih dahulu adalah perempuan atau ibu maka
harta warisan tidak akan dibagi dan tetap dikuasai oleh ayah. Artinya baru
terbuka kewarisan jika yang meninggal adalah laki-laki
C. Faktor dan Alasan yang Mendorong Tingginya Perkara Waris di
Pengadilan Agama Selong
Prinsip suatu gugatan diajukan ke pengadilan antara lain memuat
dasar hukum, kepentingan hukum, suatu sengketa, dibuat dengan cermat
dan terang serta memenuhi ketentuan formil maupun materiil.62 Siapa saja
yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain sehingga
mengakibatkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesaikan sendiri
persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada pengadilan untuk
menyelesaikan masalah itu sesuai hukum yang berlaku.63 Apabila ia
menghendaki campur tangan pengadilan maka ia harus mengajukan surat
permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasanya dan
ditujukan kepada ketua pengadilan yang menguasai wilayah hukum pihak
yang digugat.64 Dasar hukum yang dimaksud dapat berupa peraturan
perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan
yang sudah diakui sebagai hukum.65
Syarat mutlak pengajuan gugatan ke pengadilan adalah adanya
kepentingan hukum secara langsung dan melekat pada diri penggugat.66
Kepentingan hukum tersebut lebih spesifik berkarakter suatu sengketa
yang benar-benar terjadi. Dasar hukum dan kepentingan hukum yang
berisi suatu sengketa tersebut dipaparkan dalam fundamentum petendi atau
posita. Dalam proses persidangan setelah pembacaan gugatan, posita
tersebut dikaji kebenarannya dengan mendengarkan para pihak. Pada
proses inilah nilai-nilai sosial yang hidup di masyarakat masuk menjadi
dalil-dalil perkara. Dalil-dalil tersebut diungkapkan oleh para pihak,
didengarkan, dan diuji kebenarannya oleh hakim.
62Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 18-24.
63 Ibid., hlm. 17.
64 Pasal 118 HIR dan pasal 142 R.Bg.
65Jerimias Lemek, Penuntun Membuat Gugatan, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 7
dalam Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, hlm.
18.
66Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
hlm. 19.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
263
Setelah dicapai suatu kesimpulan dan dituliskan dalam berita acara
persidangan, serta hakim telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum
yang terungkap, barulah proses kualifisir dilakukan dan dituangkan dalam
bagian konsideran putusan. Setelah dilakukan serangkaian tersebut barulah
konstituiring atau ditetapkan hukumnya dan dituangkan dalam amar
putusan.67 Putusan hakim tersebut, menjadi alat rekayasa sosial (law as a tool
of social engineering) atau alat kontrol sosial (law as a tool of social control) dalam
ruang yang lebih sempit atau lokal. Pada pengadilan terjadi proses interaksi
antara hukum yang abstrak dengan hukum yang kongkrit, maka putusan
pengadilan merepresentasikan keadilan lokal. Putusan pengadilan menjadi
alat penyelesai konflik di tengah masyarakat, dan pengadilan sendiri
menjadi pabrik keadilan itu sendiri.
Berdasarkan alasan di atas, suatu putusan pengadilan dapat menjadi
bahan studi untuk menemukan bagian kebiasaan masyarakat dalam kasus
tertentu misalnya kecenderungan masyarakat dalam kasus pembagian harta
waris ataupun kekayaan. Norma-norma hukum adat waris yang hidup
dalam masyarakat sedikit banyak dielaborasi dari putusan pengadilan
tersebut. Setelah penelaahan beberapa putusan hakim Pengadilan Agama
Selong, terdapat beberapa alasan perkara yang ditemukan.
1. Belum Dilakukan Pembagian Waris yang Sah
Suatu konflik atau sengketa yang diajukan ke pengadilan berdasar
atas kenyataan yang terjadi. Kenyataan tersebut dijelaskan dalam surat
gugatan pada bagian fundamentum petendi. Pada bagian fundamentum petendi
atau posita terdapat dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum
yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari suatu gugatan.68 Posita
terbagi menjadi dua bagian yaitu feitelijke gronden dan rechtlijke gronden.
Feitelijke gronden menjelaskan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
yang terjadi atau duduk perkara, dan rechtlijke gronden adalah dasar yuridis
tuntutan. Posita akan ditimbang kebenarannya oleh majlis hakim dalam
bagian konsideran putusan, sehingga dapat diverifikasi kebenarannya.
Salah satu dalil yang populer digunakan oleh para penggugat
mengajukan gugatannya adalah belum dilakukannya pembagian waris
secara sah dan merata yang bertentangan dengan hukum Islam. Menurut
salah satu hakim yang penyusun wawancarai setidaknya ada dua alasan
67A. Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 32-37.
68Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
hlm. 29.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
264
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
yang paling sering menjadi dasar alasan konflik waris di Pengadilan Agama
Selong yaitu belum dilakukan pembagian waris dan pembagian waris
dengan cara menyimpang atau melawan hukum.69 Beberapa kasus yang
penyusun teliti menunjukkan pola penguasaan harta warisan sepihak
menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan tuntutan. Misalnya pada
perkara nomor 0614/Pdt.G/2013/PA.Sel antara Muhli alias Amaq Anto
dkk., melawan Asrudin alias Amaq Eli, dkk. Pada duduk perkara poit 4,
Penggugat mengajukan dalil yang menyebutkan:70
Bahwa menurut hemat Penggugat obyek sengketa sebagaimana tersebut pada
angka 2 huruf a dan b di atas adalah merupakan harta peninggalan Pewaris
yaitu Almarhum Samsiah Alias Amaq Nursamat yang belum pernah dibagi
waris dan harus dibagi waris secara merata oleh para ahli warisnya yang
berhak sesuai dengan bagian yang seharusnya diterima berdasarkan aturan
hukum yang berlaku yaitu berdasarkan Hukum Islam [fara’id];
Tergugat dalam eksepsi tidak menyangkal belum dibagi waris tetapi
mengatakan harta tersebut telah dihibahkan kepada penggugat dan
mengajukan bukti T.1 berupa fotocopy surat pernyataan
pemberian/hibah, tertanggal 30 Januari 1993, telah bermeterai, dan sesuai
dengan aslinya. Dalil eksepsinya berbunyi:71
Bahwa benar obyek sengketa tersebut sampai saat ini belum dibagi waris
akan tetapi sudah dihibahkan oleh pewaris kepada anak-anak-laki-laki dan
cucu dari anak laki-laki sebelum ia meninggal dunia dengan pembagian
sebagai berikut;
Majlis hakim dalam pertimbangannya setelah memeriksa bukti-bukti
yang relevan baik dari penggugat maupun tergugat serta keterangan saksisaksi dibawah sumpah, menilai sebagai dalil tetap dan atau telah terbukti
bahwa harta tersebut belum dibagi waris. Lalu pada amar putusan poin 4
majlis hakim menetapkan Almarhum Samsiah alias Amaq Nursamat
meninggalkan harta warisan yang belum terbagi kepada ahli waris dan ahli
waris penggantinya.72
Perkara nomor 0511/Pdt.G/2013/PA.Sel antara Inaq Mariyun,
dkk., melawan Sahar, dkk. Poin 7 dan 10 posita perkara ini, didalilkan
bahwa harta warisan objek yang disengketakan belum dilakukan
pembagaian waris. Dalam eksepsi maupun pokok perkara, tergugat
69Wawancara Harun JP, S.Ag., M.H.
dan Drs. H. Fauzi, S.H. Hakim-hakim
Pengadilan Agama Selong.
70Putusan Pengadilan Agama Selong Nomor 0614/Pdt.G/2013/PA.Sel, hlm. 7.
71Ibid., hlm. 7.
72Ibid., hlm. 34.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
265
menyangkal dengan dalil bahwa objek yang disengketakan bukan harta
warisan dari pewaris melainkan pemberian dari pihak lain kepada
kakeknya. Pihak penggugat mampu membuktikan bahwa objek sengketa
adalah harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Sedangkan tergugat
tidak mampu membuktikan bantahannya. Majlis hakim dalam putusannya
membenarkan dalil gugatan penggugat dan menetapkan bagian para ahli
waris.73
Perkara nomor 0578/Pdt.G/2013/PA.Sel pada posita 5 dan
petitum 9, penggugat menyatakan bahwa harta-harta yang menjadi objek
sengketa belum dibagi waris dan memohon pengadilan membagi waris
harta tersebut kepada ahli waris yang berhak. Tergugat yang merupakan
paman dan bibi penggugat membenarkan bahwa objek sengketa belum
dibagi waris. Sebagian tergugat yang lain membantah karena kepemilikan
objek sengketa yang dialamatkan kepadanya merupakan hak sah dari jual
beli dengan paman dan bibi penggugat (sebagian tergugat yang lain).
Hakim dalam putusannya membenarkan objek sengketa belum dibagi
waris dan menetapkan bagian ahli waris dengan ketentuan 2:1. Pihak yang
terbukti beri’tikad baik membeli sebagian harta warisan pada saat dikuasai
oleh sebagian tergugat dan diakui oleh tergugat (paman dan bibi)
penggugat dilindungi kepentingannya oleh hakim.74
Pensyari’atan hukum kewarisan Islam bertujuan untuk menciptakan
keteraturan dalam perpindahan harta orang yang telah meninggal dunia.
Memelihara harta dengan jalan yang telah ditentukan agar tercapai
kemaslahatan bagi orang yang meninggal dunia dan orang yang
ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia,
secara otomatis menjadi hak bagi para ahli waris yang ditinggalkan sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur oleh hukum Islam. Prinsip ini disebut
sebagai asas ijbari. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan
dengan “peralihan harta”, bukan “pengalihan harta”. Peralihan berarti
beralih secara otomatis atau dengan sendirinya, sedangkan pengalihan
berarti melalui usaha seseorang.75 Konsekuensinya, jika suatu harta
dikuasai atau dimiliki dengan jalan usaha (perbuatan hukum) seseorang
maka penguasaan atau kepemilikan itu tidak dapat dikategorikan sebagai
kewarisan. Misalkan hibah, wasiat, jual beli, gadai, sedekah dan perbuatan
hukum lainnya tidak dapat dikualifisir sebagai bagian hukum waris.
Putusan Pengadilan Agama Selong nomor 0511/Pdt.G/2013/PA.Sel.
Putusan Pengadilan Agama Selong nomor 0578/Pdt.G/2013/PA.Sel.
75 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 17-19.
73
74
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
266
Unsur ijbari dari segi jumlah dapat dipahami dari lafaz mafrūdān yang
berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan.76 Secara terminologi
berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Maksudnya
adalah suatu yang telah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan
sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.77 Dari pengertian ini,
segala praktik peralihan harta di dalam masyarakat dengan jalan
menyimpangi aturan jumlah bagian yang telah ditentukan dalam hukum
Islam tidak dapat sebut sebagai kewarisan Islam. Unsur ijbari dari segi
penerima peralihan berarti seluruh ahli waris yang berhak atas harta
warisan sudah ditentukan secara pasti.78 Konsekuensinya adalah segala
praktik pembagian waris di masyarakat yang tidak memberikan bagian
harta waris kepada ahli waris yang berhak atau kewarisan dilakukan dengan
cara mengecualikan sebagian ahli waris yang seharusnya menerima, adalah
menyimpang dari ketentuan kewarisan Islam. Suatu kewarisan hanya akan
sah apabila diberikan kepada seluruh ahli waris yang memiliki hak baik
laki-laki maupun perempuan. Apabila ahli waris yang berhak lebih dari
seorang maka tidak ada pembenaran penguasaan secara monopoli di
dalam kewarisan Islam. Hak-hak tersebut harus dibagi sesuai dengan
bagian masing-masing ahli waris. Apabila hak tersebut tidak dibagikan atau
hak tersebut dikuasai oleh salah-satu pihak maka akan menimbulkan
kerugian bagi pihak yang tidak menguasai.
Penguasaan dan penentuan penerima waris secara sepihak bukan
praktik yang sesuai dengan aturan Kewarisan Islam. Segala praktik
penguasaan atau kepemilikan harta yang dianggap sebagai akibat
kewarisan, tetapi menyimpang dari prinsip-prinsip di atas, dapat dikatakan
tidak memenuhi ketentuan Hukum Islam yang berlaku sehingga
pengadilan agama mempunyai celah untuk membatalakan praktik tersebut.
Dari enam belas putusan yang penyusn teliti, hanya terdapat satu kasus
yang terbukti pernah dilakukan pembagian waris yang dianggap sah oleh
majelis hakim, yaitu kasus pada putusan nomor 250/Pdt.G/2013/PA.Sel.
Dalam kasus tersebut hakim memutuskan menolak tuntutan penggugat
untuk membagi kembali harta warisan dan sebaliknya menguatkan hasil
perdamaian terdahulu. Selain mempertimbangkan pengakuan penggugat
tentang pernah dilakukan bagi waris secara damai, tampaknya hakim juga
memperhatikan bahwa bagian para pihak telah mendekati bagian
Ibid.
Ibid.
78 Ibid.
76
77
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
267
berimbang. Pada perkara tersebut penggugat sebagai anak perempuan
mendapatkan 2.700 m2, T1 sebagai anak laki-laki mendapat 4.950 m2, dan
cucu ahli waris pengganti mendapatkan 3.500 m2.
2. Hibah yang Merugikan Sebagian Ahli Waris
Hibah adalah dasar penguasaan harta yang kerap menjadi objek
sengketa dalam banyak perkara waris di Pengadilan Agama Selong. Hibah
dalam sistem pembagian harta di masyarakat Lombok Timur kerap
menjadi pemicu konflik. Tindakan pewaris dalam pembagian harta pada
saat masih hidup sering mengabaikan asas bilateral kewarisan Islam yang
berakibat ruginya salah satu pihak, yaitu pihak perempuan. Bagian
perempuan dalam pembagian hibah ini kerap diabaikan oleh pewaris dan
ahli waris lainnya. Bahkan hibah sering digunakan sebagai jalan untuk
menguasai lebih banyak harta warisan oleh sebagian ahli waris terhadap
ahli waris yang lain.79 Selama pewaris masih hidup, ahli waris yang
dirugikan tidak dapat melakukan perlawanan, karena secara umum
tindakannya tersebut akan dianggap sebagai tindakan tercela yang juga
berseberangan dengan kondisi sosial saat itu.80 Secara psikologis, pada
kebanyakan orang, diantara pedoman tingkah laku yaitu adat kebiasaan.
Adat kebiasaan itu diambil oper begitu saja, tanpa pertimbangan lebih
lanjut.81 Oleh karena itu, tindakan masyarakat dalam hal apapun lebih suka
mengikuti alur yang sudah ada.
Setelah harta tersebut dikuasai, lalu sebagian atau seluruhnya dijual
kepada pihak ketiga tanpa mempertimbangkan bagian ahli waris lainnya,
sehingga dalam kesempatan yang terbuka, ahli waris yang merasa
dirugikan/dilanggar haknya mengajukan tuntutan. Pola pembagian dan
penguasaan semacam ini sering menjadi alasan gugatan di Pengadilan
Agama Selong.82 Keabsahan hibah sesuai ketentuan syari’ah atau
perundang-undangan diukur berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu apakah
hibah dilaksanakan dengan i’tikad baik, apakah hibah telah sejalan dengan
79Wawancara dengan Drs. H. Abdul Kabir, S.H., M.H. Panmud Gugatan
Pengadilan Agama Selong sekaligus Wakil Rektor Institut Agama Islam Hamzanwadi
(IAIH) Pancor, Selong. Juga Wawancara dengan Drs. H. Fauzi, S.H. Hakim Pengadilan
Agama Selong.
80 Ibid.
81Gerungan W.A., Psikologi Sosial, dalam M. Jandra, Hukum Islam Tentang Waris,
Asuransi dan Pengadilan, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm.
160.
82Wawancara Harun JP, S.Ag., M.H.
dan Drs. H. Fauzi, S.H. Hakim-hakim
Pengadilan Agama Selong.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
268
ruh syari’at Islam dan apakah hibah tidak bertentangan dengan peraturan
hukum dan atau perundang-undangan.
Putusan Pengadilan Agama Selong yang membatalkan hibah dapat
dilihat dalam tiga putusan, yaitu:
(1) putusan nomor
0614/Pdt.G/2013/PA.Sel; (2) putusan nomor 211/Pdt.G/2013/PA.Sel;
dan putusan nomor 510/Pdt.G/2013/PA.Sel. Dalam konsideran
disebutkan bahwa hibah pewaris atas seluruh hartanya yang ditujukan
kepada sebagian anak-anaknya sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk
ahli waris yang lain, digolongkan sebagai hibah yang dilakukan dengan
tujuan agar harta-harta pewaris tidak jatuh kepada ahli waris yang lain
(anak perempuan) atau untuk menghindari adanya pembagian warisan
secara fara’id kepada para ahli waris. Serta dalam persidangan tidak
terbukti adanya persetujuan dari ahli waris yang lain, maka hibah yang
demikian diputus tidak dilaksanakan dengan i’tikad baik. Majlis hakim
dalam menilai perkara di atas juga menyatakan hibah yang dilakukan
pewaris tidak sejalan dengan ketentuan atau ruh syari’at Islam. Beberapa
dalil yang dikutif antara lain:
‫يأيها الذيه أمىىا كىوىا قىميه با لقسط شهدآء هلل ولى علً اوفسكم اوالىلديه واالقزبيه ان يكه‬
83
‫غىيا او فقيزا فاهلل اولً بهما فال تتبعىا الهىي ان تعدلىا‬
84
‫ال ضزر والضزار‬
85
‫اتقىا هللا وعدلىا بيه اوالدكم‬
86
‫ فلى كىت مفضال احدا لفضلت الىساء‬,‫سىوا بيه اوالدكم في العطية‬
Adapun dalil lain yang digunakan hakim adalah pasal 210 dan 211
Kompilasi Hukum Islam dan pasal 921 jucnto pasal 1086 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pada intinya menjelaskan porsi maksimal hibah
sepertiga dari jumlah harta warisan dan hibah tersebut dalam pembagian
waris dimasukkan ke dalam boedel warisan, yaitu hibah turut dihitung
sebagai bagian dari harta kekayaan. Baik hibah tersebut dilakukan sebelum
atau sesudah Kompilasi Hukum Islam diundangkan. Alasan yang
dikemukakan di atas merupakan alasan-alasan yang didalilkan secara
tertulis dalam gugatan. Alasan tersebut diperiksa serta diputus
kebenarannya oleh majlis hakim dan dituangkan dalam suatu putusan
An-Nisa 2:135.
HR. Malik Bin Anas r.a.
85 HR. Bukhari dan Baihaqy r.a.
86 HR. Ibnu Abbas r.a.
83
84
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
269
sehingga secara tekstual alasan-alasan tersebut dapat dilacak dalam putusan
majelis hakim. Tingginya perkara waris di Pengadilan Agama Selong pada
dasarnya tidak terlepas dari akumulasi berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain adanya kesempatan menerapkan hukum yang lebih
sesuai dengan keadilan (kesadaran hukum), pengaruh proliferasi peradilan
agama baik secara kelembagaan maupun kewenangan terutama dalam
bidang waris yang belakangan memudahkan masyarakat dalam mengakses
keadilan, dan rendahnya peran institusi sosial lainnya dalam
mengupayakan mediasi.
3. Kesadaran Hukum Masyarakat
Kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam
masyarakat tentang hukum. Pandangan itu bukanlah pertimbangan
rasional atau produk pertimbangan menurut akal semata, tetapi
berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu agama, ekonomi,
politik dan lini kehidupan yang lainnya. Faktor-faktor tersebut bersifat
dinamis, maka pandangan manusia tentang kehidupan baik orientasi
maupun prilaku selalu berkembang. Kondisi ini menyebabkan hukum
yang lahir selalu berubah. Tidak ada ukuran tentang isi hukum yang
berlaku objektif, yaitu yang dapat diterima semua orang secara ilmiah.87
Dalam konstruksi hukum waris masyarakat Lombok Timur, tidak terlepas
dari struktur sosial masyarakat masa lalu88 dan perubahan soasial masa
kini.
Jauh sebelum Islam datang, Lombok telah dikuasai oleh orangorang Bali. Imperialisme Bali melalui kerajaan Karangasem yang berpusat
di Mayura Cakra Negara menganut agama Hindu. Menurut hukum waris
agama Hindu harta warisan jatuh kepada laki-laki.89 Secara fisik
peninggalan Bali tidak begitu banyak ditemukan di Lombok Timur, akan
tetapi secara kultural terutama hukum waris sangat kuat.90 Eksistensi
kewarisan selalu didasarkan pada adanya hubungan, baik hubungan darah
(nasab) maupun hubungan perkawinan. Khusus hubungan hukum yang
didasarkan pada hubungan nasab atau genealogi, maka perlu ditunjuk
87Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima, cetakan
keempat (Yogyakarta: Liberty, 2008), hlm. 120.
88 Wawancara dengan H. Abdul Kabir, S.H., M.H.
89 Ibid.
90 Ibid.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
270
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
berbagai pasal hukum Hindu yang memperkuat dasar sistem kekeluargaan
tersebut.91
Menurut Gede Pudja, para ahli hukum Hindu berpendapat terdapat
dua penafsiaran mengenai terbukanya kewarisan yaitu pembagian waris
hanya dapat dilakukan setelah orang tua meninggal dan pembagian waris
dapat dilakukan selagi orang tua masih hidup. Pembagian pada saat
pewaris masih hidup tidak bersifat riil melainkan bersifat formil. Sistem ini
dikembangkan oleh salah satu aliran hukum Hindu yang disebut
Dayabhaga. Aliran ini yang berpengaruh di Indonesia, sehingga praktik
hukumnya pun nyata ada di dalam masyarakat Hindu di Bali dan
Lombok.92 Tingginya perkara waris di Pengadilan Agama Selong bukanlah
variabel independen, melainkan bergantung pada tingkat perkembangan
dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk melemahnya kultur
tradisional dan menguatnya kultur modern. Tingginya perkara waris baru
logis jika dijelaskan dari perubahan struktur masyarakat sebelum Islam
datang, hingga Islam berkuasa penuh. Masyarakat Hindu di bawah
kekuasaan kerajaan Karangasem menerapkan hukum waris yang hanya
memberikan bagian waris kepada anak laki-laki.93 Anak perempuan hanya
mendapatkan pesangon berupa beras pada saat panen padi.94 Sampai Islam
datang ke Lombok dan perlahan membuka kewarisan bagi perempuan.
Puncaknya adalah saat lahirnya undang-undang tentang peradilan agama
yang menjadi keran bagi masyarakat berperkara.95 Kondisi ini sejalan
dengan kecenderungan ahli waris sebagai pihak yang mengajukan gugatan
ke Pengadilan Agama Selong. Dari 30 putusan yang dikumpulkan, terdapat
16 putusan yang dikabulkan.
No
Nomor Putusan
1
2
510/Pdt.G/2013/PA.Sel
410/Pdt.G/2013/PA.Sel
Penggugat
Anak Perempuan
Anak Perempuan
Tergugat
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki
91Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepsir Kedalam Hukum Adat Bali
Dan Lombok, Cetakan I (ttt: CV Junasco, 1977), hlm. 66-67.
92 Ibid.
93 Wawancara dengan H. Abd. Kabir, S.H., M.H., dan Drs. H. Fauzi, S.H.
94 Ibid., bandingkan Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepsir Kedalam
Hukum Adat Bali Dan Lombok, hlm. 55.
95Wawancara dengan H. Mujemal, S.H., Panitera Pengganti. Wawancara dengan
H. Abd. Kabir, S.H., M.H, Panitera Muda Gugatan. Wawancara dengan Drs. H. Fauzi,
S.H. Hakim.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
3
4
5
6
806/Pdt.G/2012/PA.Sel
532/Pdt.G/2012/PA.Sel
211/Pdt.G/2013/PA.Sel
269/Pdt.G/2013/PA.Sel
Anak Perempuan
Anak Perempuan
Anak Perempuan
Anak Perempuan
7
177/Pdt.G/2013/PA.Sel
Anak Perempuan
8
250/Pdt.G/2013/PA.Sel
Anak Perempuan
9
578/Pdt.G/2013/PA.Sel
Anak Perempuan
10
320/Pdt.G/2013/PA.Sel.
Anak Perempuan
11
614/Pdt.G/2013/PA.Sel
12
511/Pdt.G/2013/PA.Sel
13
14
349/Pdt.G/2009/PA.Sel
877/Pdt.G/2013/PA.Sel
Anak Perempuan dan lakilaki
Anak Perempuan dan lakilaki
Istri kedua
Istri ketiga dan anak angkat
15
393/Pdt.G/2013/PA.Sel
Keturunan dari istri pertama
16
246/Pdt.G/2010/PA.Sel
Anak Perempuan
271
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki dan
perempuan
Anak Laki-laki dan
perempuan
Anak Laki-laki dan
perempuan
Anak Laki-laki dan
perempuan
Anak Laki-laki
Anak Laki-laki
Keturunan istri pertama
Istri keenam
Keturunan dari istri
kedua
Pihak Ketiga
Berdasarkan tabel di atas, jika dilihat dari perantara yang
menghubungkan penggugat dengan pewaris maka pada dua belas putusan
pertama, selalu ada anak perempuan baik secara langsung menjadi pihak
penggugat ataupun menjadi perantara. Berdasarkan fakta ini, kewarisan
bagi kelompok waris perempuan, yaitu anak perempuan dan keturunannya
menjadi problematika sendiri yang memacu tingginya perkara waris yang
ditangani oleh Pengadilan Agama Selong, meskipun faktor itu tidak berdiri
sendiri. Tingginya perkara waris tersebut tidak terlepas dari motivasi para
pihak. Proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum
mengenai bagaimana menyelesaikan sengketa itu dilihat sebagai suatu
proses untuk mempertahankan kerja sama yang produktif.96 Untuk dapat
menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan keterangan
mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya di masa
96Satjipto
Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 28.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
272
yang akan datang apabila suatu keputusan diajatuhkan.97 Proses hukum
dan ekonomi ini menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian
atau penstrukturan masyarakat.98 Argumentasi ini bersesuaian dengan
struktur masyarakat yang didominasi oleh petani. Menurut salah satu
hakim yang penyusun wawancarai, secara ekonomis tanah mengalami
kenaikan harga terutama di daerah Lombok Timur bagian selatan.99
Diantara penyebab naiknya harga tersebut adalah keberadaan Bandara
Internasional Lombok dan Waduk Pandan Dure.100
Dalam kultur masyarakat pertanian, tanah merupakan harta paling
berharga. Kurangnya bagian atas tanah tentu saja menjadi problem yang
amat serius. Problem ini harus diselesaikan secepat dan seefesien mungkin
sehingga dengan pengetahuan dan kulturnya masyarakat akan menilai
proses mana yang akan digunakan. Penilaian ini tentu saja berafiliasi
dengan keadilan secara ekonomi, keadilan menurut hukum agama, jaminan
kepastian hukum dan didukung oleh kondisi hukum adat yang tidak
menguntungkan salah satu pihak. Pengadilan agama sebagai salah satu
institusi keadilan di tengah-tengah masyarakat yang memendam konflik
akibat kultur tradisionalnya, menjadi institusi yang paripurna. Pengadilan
agama menjadi institusi yang menampung pengharapan bagi perempuan
yang tidak memperoleh haknya secara adat atau perdamaian pada masa
lampau.
Pengadilan agama mewakili negara sebagai institusi yang
memberikan kepastian hukum atas kepemilikan harta warisan yang belum
jelas kepemilikannya. Pengadilan Agama juga menerapkan hukum yang
disyari’atkan sebagaimana agama dan kepercayaan para litagan sesuai
dengan mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam. Hasrat
masyarakat merealisasikan kehendak ekonomi, kepastian hukum, dan
melaksanakan tuntunan agama, meletakkan pengadilan agama sebagai
pilihan yang paling tepat diantara institusi-institusi yang lain. Narasumber
penelitian misalnya menyebutkan bahwa hal yang mempengaruhi tingginya
perkara waris di PA Selong dibandingkan dengan PA Praya adalah tingkat
Ibid.
Ibid.
99 Wawancara dengan Drs. H. Fauzi, S.H. Hakim.
100 Ibid.
97
98
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
273
kepadatan penduduk Lombok Timur lebih tinggi dibanding dengan
Lombok Tengah dan mayoritas beragama Islam.101
Menurut narasumber penelitian, salah satu isu yang mendorong
masyarakat mengajukan perkara waris ke pengadilan agama adalah
berkembangnya anggapan masyarakat terhadap pengadilan agama sebagai
pengadilan yang bernilai murah dibanding harta yang akan didapatkan jika
berhasil memenangkan perkara. Disamping adanya anggapan tentang
gampangnya berperkara di pengadilan agama, ada anggapan masyarakat
tentang keterjaminan bagiannya jika menggunakan jasa pengadilan dalam
menyelesaikan perkaranya.102
Dari sisi yuriidis, pilihan para pihak ke pengadilan agama tentu saja
tidak terlepas dari ketentuan tertutupnya opsi hukum para pihak tentang
pengajuan perkara warisnya ke instansi selain pengadilan agama, yaitu
pengadilan negeri. Pada undang-undang pengadilan agama terdahulu
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1989) hak opsi atas perkara waris masih
terbuka bagi para calon litigan yang hendak mengajukan perkaranya,
apakah ke pengadilan agama atau ke pengadilan negeri. Setelah undangundang yang lebih baru (Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) diterapkan
hak opsi menjadi tertutup karena ketentuan hak opsi pada undang-undang
yang lama telah dihapus oleh undang-undang yang baru. Menurut asas
perundang-undangan maka hukum yang diterapkan adalah hukum yang
baru. Undang-undang yang baru meletakkan pengadilan agama sebagai
satu-satunya institusi keadilan yang memiliki otoritas formal menangani
perkara kewarisan bagi ummat Islam di Indonesia. Akses masyarakat atau
salah satu pihak yang pihak lain menjadi tertutup.
Pengadilan agama akan menerapkan hukum waris yang telah
memenuhi standar keadilan, yaitu Kompilasi Hukum Islam ataupun
aturan-aturan yang dijelaskan dalam literatur fikih. Salah satu tolak ukur
keadilan yang sangat pasti disebutkan dalam Qur’an adalah an-Nisā’ ayat 7.
Seorang laki-laki dan seorang perempuan berhak mendapat warisan dari
pihak ayah maupun ibunya. An-Nisā’ ayat 7 merupakan dasar bagi
kewarisan bilateral.103 Arah peralihan harta yang dikehendaki dalam anNisā’ ayat 7 merupakan suatu keadilan yang tidak terbatas pada jenis
kelamin, tetapi mengakomodasi kedua jenis kelamis manusia yaitu laki-laki
101Wawancara dengan H. Mujemal, S.H., Panitera Pengganti. Wawancara dengan
H. Abd. Kabir, S.H., M.H, Panitera Muda Gugatan. Wawancara dengan Drs. H. Fauzi,
S.H. Hakim.
102 Wawancara dengan H. Mujemal, S.H.
103 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 20.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
274
dan perempuan. Hal ini berarti, setiap orang berhak menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat garis keturunan lakilaki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.104 Para ahli hukum
Islam menyebut prinsip tersebut sebagai asas bilateral. Asas bilateral
dipertegas lagi dalam an-Nisā’ ayat 11 dan 12 yang menyebutkan bagian
laki-laki dan perempuan.
Hukum adat yang hanya melihat dari satu garis keturunan saja tidak
akan sejalan dengan prinsip kewarisan Islam. Konsekuensinya, praktik
praktik kewarisan masyarakat yang berlandaskan hukum adat yang bias
gender atau kebiasaan kewarisan yang mendiskriminasi salah satu jenis
kelamin bertolak belakang dengan hukum yang dikehendaki Islam dan
juga hukum yang dikehendaki oleh negara. Jika dalam suatu masyarakat
terdapat praktik kewarisan yang unilateral dan disisi lain terdapat wacana
bilateral maka akan terjadi disparitas tentang keadilan. Pihak yang
diuntungkan oleh praktik kewarisan unilateral akan bertahan, sedangkan
pihak yang tidak diuntungkan akan berusaha menggunakan hukum
kewarisan bilateral. Pada kondisi ini, konflik dipicu oleh antinomi dua atau
berbagai norma yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.
Proses di atas memberi pemahaman tentang fungsi hukum dalam
masyarakat, yaitu untuk memberi bentuk dan ketertiban dalam
kehidupan ekonomi, sosial dan kepastian status kepemilikan atas harta
warisan itu sendiri. Untuk palaksanaan fungsi itu, dibutuhkan suatu
isntitusi yang mampu memutus antinomi berbagai norma yang
berkembang. Terjadinya antinomi tidak lepas dari perkembangan
kebutuhan masyarakat, perkembangan mana telah menempatkan
masyarakat memilih salah satu dari berbagai institusi yang lain.
4. Lemahnya Peran Institusi Sosial dalam Mediasi
Menurut John Rawls sebagaimana dijelaskan oleh Ach Tahir bahwa
institusi sosial memiliki peran besar dalam distribusi hak-hak dan
kewajiban dasar beserta keuntungannya. Institusi-institusi sosial adalah
tempat tumpuan warga untuk mendapatkan keadilan. Keberhasilan
dan kegagalan dalam mendistribusikan keadilan amat bergantung
kepada kinerja institusi sosial yang ada. Institusi sosial berfungsi
menyelenggarakan keadilan sosial.105 Dalam hal ini yang dimaksud
institusi sosial adalah figur-figur informal yang memiliki peran strategis
Ibid., hlm. 19-20.
Tahir, “Problematika Hakim Dalam Menghadapi Antinomi” Jurnal
Supremasi Hukum Vol. 1, No. 1 Tahun 2012, hlm. 149.
104
105Ach.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
275
dalam struktur masyarakat Islam Lombok Timur misalnya tuan guru
(disingkat TG), kepala desa dan tokoh masyarakat.
Tuan guru adalah tokoh masyarakat yang bergelut pada bidang
agama, terutama dalam bidang ibadah. Pada aspek muamalat, seperti
penanganan konflik perorangan dalam masyarakat atau konflik tentang
kepemilikan, tuan guru hanya berperan pasif, yaitu hanya sebagai
konsultan keagamaan. Sebagai konsultan keagamaan, tuan guru biasa
menjadi rujukan masyarakat untuk mendapatkan fatwa tentang suatu hal,
termasuk kewarisan. Sebagai konsultan waris, tuan guru hanya berfungsi
menjelaskan aspek-aspek kewarisan menurut agama Islam atau tempat
masyarakat bertanya tentang bagian-bagian ahli waris menurut Islam. 106
Dalam bagian ini, apabila terjadi konflik, masyarakat biasanya mengadukan
perkaranya kepada kepala desa selanjutnya dibuat musyawarah dengan
melibatkan kepala desa tersebut. Salah satu narasumber penyusun
menyebutkan, tuan guru hanya sebagai bertanya tentang hukum Islam dan
itu pada hal-hal yang dianggap ibadah. Dalam bidang waris, tuan guru
hanya mengajarkan tentang materi-materi kewarisan Islam di pondok
pesantren atau musalla tempat mereka mengajar.107
Dapat disimpulkan, tuan guru berfungsi sebagai pemilik otoritas
terbatas pada permasalahan hukum-hukum agama terutama dalam hal
ibadah. Adapun mengenai konflik waris, tuan guru tidak berperan aktif.
Selama masyarakat memaknai bahwa pembagian waris adalah bagian
tuntunan agama Islam yang harus dituruti maka masyarakat akan meminta
pendapat kepada tuan guru mengenai cara-cara yang akan diterapkan dalam
pembagian, itu pun kalau di dalam masyarakat itu sendiri tidak terdapat
tokoh agama atau orang yang dianggap mengerti tentang hukum waris
Islam.
Kepala desa tampaknya lebih berperan dalam bidang pembagian
waris di masyarakat dibanding tuan guru. Misalnya, ketika terjadi
pembagian waris, masyarakat biasanya mengundang kepala desa atau
tokoh masyarakat di dusunnya masing-masing untuk duduk bersama
memusyawarahkan bagian semestinya. Hal ini terjadi apabila pewaris
belum lama meninggal dan masyarakat beriktikad baik menyelesaikan
warisnya secara kekeluargaan. Berbeda dengan perkara waris yang
disengketakan di pengadilan yaitu perkara-perkara yang relatif lama
dipendam.
106
107
Ibid.
Wawancara dengan H. Abdur Rasyid dan H. Syamsudin.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
276
Instrumen mediasi di dalam masyarakat sebenarnya ada yaitu pemerintah
desa tersebut. Pemerintahan desa sebagai unit terkecil dari kekuasaan
eksekutif memiliki peran yang sangat strategis dalam masyarakat. Kepala
desa memiliki kewajiban mendamaikan konflik masyarakat di desa. Dalam
pembagian waris, kepala desa selalu dilibatkan. Menurut salah satu
narasumber, tidak disebut pembagian waris bila tidak melibatkan kepala
desa.108 Pada awal pembagian waris, pada dasarnya memang melibatkan
aparatur desa akan tetapi dalam hal konflik yang telah lama tidak
terselesaikan maka masyarakat akan memilih ke pengadilan karena dengan
kepala desa tidak berhasil.
D. Penutup
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan
bahwa alasan-alasan yang mendorong masyarakat Selong berperkara waris
di pengadilan agama adalah belum dilakukannya pembagian waris yang sah
sesuai ketentuan hukum kewarisan Islam dan pembagian atau pemberian
harta kepada sebagian ahli waris sehingga merugikan bagi sebagian ahli
waris yang lain terutama bagi anak perempuan dan keturunannya. Dengan
demikian, faktor yang mendorong tingginya perkara waris di Pengadilan
Agama Selong adalah kebiasaan masyarakat yang hanya membagikan harta
kepada anak laki-laki tanpa memberikan bagian yang proporsional kepada
anak perempuan. Serta lemahnya peran institusi sosial dalam
mengupayakan mediasi pada sengketa waris.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-Maarif, 1981.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Buku Kedua, terj. Afif
Muhammad, Jakarta: Basrie Press, 1994.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, terj. Mujahidin Muhayan, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2012.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 10, terj. Abdul Hayyie alKattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
108
Wawancara Amaq Taharah
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
277
A. Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
A. Sukris Sumardi, Dekonstruksi Hukum Progresif: Ahli Waris Pengganti dalam
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin, Yogyakarta: UII Press, 2005.
__________, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Kencana, 2005.
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta:
INIS, 1998.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: Pt Gunung Agung, 1984.
Anton Bakker, Metode-metode Flsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Basiq Djalil, Peradilan Agma di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003.
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2011.
David S. Powers, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan, (Yogyakarta:
LKiS, 2001
Departemen Agama RI Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
Sketsa Peradilan Agama, Jakarta, Depag RI, 2000.
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Realita,
cet. II, Malang: UIN-Malang Press, 2009.
Erman Rajagukguk, Pluralisme Hukum Waris: Studi Kasus Hak Wanita di
Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, (file PDF dipublikasikan
melalui http://www.ermanhukum.com).
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum
Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts, Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2010.
Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepsir Kedalam Hukum Adat
Bali Dan Lombok, Cetakan I, ttt: CV Junasco, 1977.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
278
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
H.M. Sutomo, “Dinamika Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Studi
atas Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1991-2002)”,
Disertasi Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(2008).
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2011.
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syari’ah, edisi revisi, Depok: Anggota IKAPI, 2010.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1995.
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,
Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2008.
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 (Studi Kasus
Terhadap Tuan Guru), ttt: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2011.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
Muchit A. Karim (ed.), Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan
Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2008.
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1999.
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing,
2009.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat, Jakarta: CV Rajawali, 1987.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Muhammad Jihadul Hayat: Problematika Kewarisan di Masyarakat...
279
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta:
Rajawali, 1982.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kelima,
cetakan keempat Yogyakarta: Liberty, 2008.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Cet-XI. Bandung: Alfabeta, 2010.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi
Revisi 2010, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983.
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:
Sinar Grafika, 2005.
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneallogi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20, Jakarta: Pustaka Mizan, 2005.
Zaenul Haq, “Pelaksanaan Pewarisan pada Masyarakat Hukum Adat Suku
Sasak di Desa Rembitan Lombok Tengah”, (Yogyakarta: Universitas
Gajah
Mada,
2012)
etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDe
tail&act=view&typ=html&buku_id=56309&obyek_id=4 akses 9
Oktober 2014.
Murdan, “Praktek Kewarisan di Desa Landah Kecamatan Praya Timur,
Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB Perspektif Hukum
Islam”, skripsi menjadi koleksi Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
(Yogyakarta: UIN sunana Kalijaga).
Ach. Tahir, “Problematika Hakim Dalam Menghadapi Antinomi” Jurnal
Supremasi Hukum Vol. 1, No. 1 Tahun 2012.
Puji Wulandari Kuncorowati, “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum
Masyarakat di Indonesia” Jurnal Civics, Vol. 6, No. 1 Juni 2009.
Ali Muhtarom, “Menggali Hukum Kewarisan Islam dalam Tata
Perundang-Undangan
Peradilan
Agama”
(http://www.ptasamarinda.net/pdf/Menggali%20Hukum%20Waris
%20d%20Indonesia.pdf PDF akses tanggal 4 November 2014.
Supriatna, “Hand Out Hukum Kewarisan Islam 1”, Jurusan Al-Ahwal
Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Suanan Kalijaga
Yogyakarta 2012.
PANGGUNG HUKUM
Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol.1, No.2, Juni 2015
Download