BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat Arab Jahiliyah. Sedikitnya ada empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur’an ketika itu dan untuk seterusnya. Pertama, Islam mendudukkan anak bersamaan dengan orang tua pewaris serentak sebagai ahli waris. Dalam kewarisan di luar Islam orang tua baru mungkin dapat warisan kalau pewaris mati tidak berketurunan. Kedua, Islam juga memberi kemungkinan beserta orang tua (minimal dengan ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi arab Jahiliyah yang menjadikan istri sebagai salah satu bentuk harta warisan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu.1 Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak. Di antara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan di 1 Abdul Ghofur Anshori, 2005, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan Adaptabilitas, Gadjah Mada University Pres, Yogyakarta, hlm. 29 1 2 dunia layaknya sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut. Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena ia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan, untuk itu manusia memerlukan lawan jenisnya dalam menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai makhluk beragama, manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan ilmu agamanya.2 Terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia, yaitu : agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Kelima hal ini disebut dengan daruriyat al-khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.3 Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun nafsu itu sendiri cenderung ke arah keburukan. Nafsu yang tidak dikontrol dan 2 3 Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm. 2 Wahbah Al-Zuhayli, 2002, Al-Wajiiz Fii Ushuul Al-Fiqh, Darul Fikr, Damaskus, hlm.92 3 dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia. Kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok: (1). Hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dengan hambaNya, yang disebut dengan hablun min Allah. (2). Hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya, yang disebut dengan hablum minannas atau hukum muamalat. Salah satu aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama Surah An-Nisaa ayat 7, 8, 11, 12 dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh 4 Rasulullah saw, melalui hadistnya. Namun demikian penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan para pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.4 Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, tetapi seyogyanya karena ingin agar dapat melaksanakan ketentuan hukum waris ini sebagaimana menurut ketentuan hukum Islam, mengingat sebagian besar bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam. Sekalipun di antara mereka penganut agama Islam, tetapi belum tentu memiliki pengetahuan yang mantap tentang kewarisan Islam, sekalipun hanya sekadar dasar-dasarnya. Mungkin seorang muslim yang taat pada aturan agamanya menginginkan untuk melaksanakan hukum waris Islam, tetapi kadang-kadang ia ragu dan takut salah yang akan menimbulkan dosa, sehingga untuk menghilangkan keragu-raguan atau kekhawatiran berbuat salah terhadap harta peninggalan itu, ia akan meminta jasa pengetahuan para sarjana hukum. Tentu saja pengetahuan hukum waris Islam ini akan lebih penting lagi bagi seorang hakim dan pengacara yang menghadapi perkara demikian yang secara moral berkewajiban untuk menguasai pengetahuan hukum waris Islam tersebut. 4 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 3 5 Urgensi kewarisan yang lain adalah karena kewarisan berkaitan langsung dengan harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuanketentuan (rincian bagian) sangat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Pentingnya masalah hukum kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya untuk mempelajarinya. Seperti sabda Beliau yang diriwayatkan Ahmad Ibnu Hambal: Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak; pelajarilah pula faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang hampirhampir dua orang bersengketa dalam faraidl dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberitahu bagaimana penyelesaiannya. Hukum Kewarisan Islam atau yang juga dikenal the Islamic Law of Inheritance mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, misalnya Civil Law atau Common Law. Di dalam hukum Islam ketentuan materiil bagi orang-orang yang ditinggalkan si mati (pewaris), telah digariskan dalam AL-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci dan jelas. Adapun di dalam sistem hukum Barat pada pokoknya menyerahkan persoalan harta peninggalan si mati berdasarkan kepada keinginan yang bersangkutan itu sendiri, yaitu si mati membuat wasiat pada saat hidupnya. Dengan perkataan lain, kehendak atau keinginan si mati merupakan sesuatu yang utama dan hukum baru ikut campur, apabila ternyata si mati tidak meninggalkan wasiat yang sah. Hukum Kewarisan Islam telah merombak secara mendasar sistem kewarisan yang berlaku pada masa sebelum Islam yang pada pokoknya tidak memberikan hak kewarisan kepada wanita dan 6 anak-anak. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam telah meletakkan dasar keadilan hukum yang sesuai dengan hak asasi dan martabat manusia.5 Di tinjau dari pespektif sejarah, implementasi hukum kewarisan Islam pada zaman penjajahan Belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya dikalahkan oleh sistem kewarisan hukum adat. Pada masa itu diintrodusir teori resepsi yang bertujuan untuk mengangkat hukum kewarisan adat dan menyisihkan penggunaan hukum kewarisan Islam.6 Banyak para sarjana hukum Barat menganggap Hukum Kewarisan Islam tidak mempunyai sistem hukum hukum Islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal. Sementara itu, di kalangan umat Islam sendiri banyak pula yang mengira tidak ada sistem tertentu dalam hukum kewarisan Islam, sehingga menimbulkan sebuah anggapan seolah-olah hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang sangat rumit dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum kewarisan Islam menurut fiqh kebudayaan Arab itu sangat sulit diterima masyarakat Islam di Indonesia.7 Pada masyarakat muslim Indonesia sudah lama mengenal pewarisan adat dan pewarisan Islam tetapi pemahaman dan perilaku/praktek mengenai harta waris belum sepenuhnya berdasarkan tuntutan agama Islam, baik alQur’an dan as-Sunnah maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan waris yang berlaku di Indonesia. 5 Tahir Azhary, 1992, Karakteristik Hukum Kewarisan Islam dalam Bunga Rampai Hukum Islam, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 4 6 Muhibbin, 2007, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia, Jurnal Ilmiah Buana, Jakarta, hlm. 74 7 Abdullah Siddik, 1984, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, Wijaya, Jakarta, hlm. 52 7 Hukum waris yang berlaku di Indonesia terdiri dari hukum waris adat misalnya waris adat patrilineal, waris adat matrilineal dan waris adat parental. Ada juga yang melakukan pembagian waris dengan pola waris adat digabung dengan waris Islam, dan ada juga menurut BW atau hukum perdata yang berlaku di Indonesia.8 Teori tertib parental menjelaskan bahwa semua harta benda kepunyaan kedua orang tua diwariskan kepada anaknya dengan sama rata.9 Sedangkan dalam tertib pembagian waris matrilineal bahwa yang menjadi ahli waris adalah semua anak dari nasab ibu, tegasnya setidak-tidaknya di semua daerah (seperti Minangkabau) di mana si ayah tetap tinggal menjadi anggota dari “claen”nya (famili sendiri). Jika yang meninggal itu laki-laki maka yang menjadi ahli warisnya adalah saudara yang perempuan beserta anak-anak mereka.10 Adapun pembagian waris dengan sistem parental hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris oleh karena anak perempuan keluar dari golongan famili patrilinealnya semua, sesudah mereka menikah (kawin), maka anak laki-laki mendapat warisan dari bapak maupun dari ibu dan pada asasnya berhak atas semua harta benda.11 Masyarakat muslim Kotagede adalah masyarakat yang agamis, artinya dalam setiap kehidupan mereka sehari-hari selalu menerapkan adat istiadat yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist Rasullulah. Berdasarkan hal tersebut 8 Hilman Hadikusuma, 1983, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, hlm. 56 R. Vandijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Edisi Terjemah oleh Mr. A. Soekardi, Sumur, Bandung, hlm. 49 10 Ibid, hlm. 50 11 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris…, Op. Cit, hlm. 116 9 8 maka dalam pembagian harta warisan masyarakat muslim Kotagede juga masih berpedoman pada sistem kewarisan Islam dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat yaitu dengan cara tashaluh atau jalan damai melalui cara pembagian yang sama antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Namun demikian tidak jarang pembagian warisan secara tashaluh yang dilaksanakan oleh masyarkat muslim Kotagede menemui kendala yaitu ada ahli waris yang tidak dapat menerima pembagian warisan secara tashaluh. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna penyusunan tesis dengan mengambil judul : PELAKSANAAN TASHALUH DALAM PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT MUSLIM KOTAGEDE YOGYAKARTA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penulisan tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan tashaluh pada masyarakat muslim Kotagede Yogyakarta sesuai dengan Pasal 183 KHI dalam pembagian warisan? C. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian tentang pelaksanaan tashaluh dalam pembagian warisan pada masyarakat muslim Kotagede 9 Yogyakarta sampai saat ini belum pernah ada. Berdasarkan penelusuran penulis terdapat satu hasil penelitian yang dilakukan oleh : Prof. Dr. H. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., dengan judul Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Daerah Kotagede Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut difokuskan pada pengetahuan dan minat melakukan hukum kewarisan di kalangan masyarakat Islam di Kotagede. Berbeda dengan penelitian yang hendak penulis lakukan difokuskan pada pelaksanaan tashaluh (jalan damai) dalam pembagian warisan pada masyarakat muslim Kotagede. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tashaluh dalam pembagian warisan pada masyarakat muslim Kotagede Yogyakarta. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam pelaksanaan tashaluh dalam pembagian warisan pada masyarakat muslim Kotagede Yogyakarta. E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji aturan yang bersifat normatif yang dituangkan dalam kitab Fiqih di dalam Islam mengenai pembagian warisan, sehingga menjadi pedoman umat Islam dalam menyelesaikan permasalahan warisan 10 2. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan tashaluh pada masyarakat muslim Kotagede Yogyakarta sesuai dengan Pasal 183 KHI dalam pembagian warisan.