PERBANDINGAN INGAN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM Penulis : Agil Jaelani, Andri Milka, Muhammad Iqbal Kraus, ABSTRAK Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya akibat bagi ahli waris. Pada azasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak hak dan kewajiban dibidang hukum ukum kekayaan saja, sedangkan untuk hak dan kewajiban dibidang hukum lain seperti perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan pemberian kuasa. tidak idak dapat diwariskan. Adapun hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang dapat diwariskan, yaitu hak dari suami untuk menyangkal keabsahan anak. Pada penulisan ini kami mencoba untuk menelaah lebih jauh mengenai sistem hukum waris Islam dan hukum waris Barat dengan menggunakan metode perbandingan. Tujuannya dari penelitian ini adalah sekedar untuk mengetahui pola persamaan dan perbedaan dari 2 bentuk peraturan hukum yang ada ada, pada intinya baik peraturan hukum waris islam dan hukum waris barat memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga penelitian penelitian kami ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana 1 edukasi bagi masyarakat terutama yang awam dengan masalah hukum waris. Mengingat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia penganut muslim, maka dalam penyelesaian perkara warisnya ada kecederungan menggunakan hukum waris Islam namun tidak ditutup kemungkinan bahwa hukum perdata barat juga digunakan sebagai alternative penyelesaian perkara waris. HUKUM WARIS PERDATA BARAT I Dasar Hukum Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata Prinsip Umum dalam Kewarisan; a) Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta b) Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan beralih demi hukum. Pasal 833 KUHPerdata, menimbulkan hak menuntut c) Yang berhak mewaris menurut UU mereka yang mempunyai hubungan darah (Pasal 832 KUHPerdata) d) Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi e) Setiap orang cakap mewaris kecuali pasal 838 KUHPerdata (onwaardig) II Pengertian Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris. III Cara Mewaris Menurut ketentuan UU dan testament KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni: 1) Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris. 2) Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu. 2 3) Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu. 4) Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap tersebut di atas dapat berpengaruh besar terhadap ahli waris, maka oleh KUHPerdata kepada mereka secara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dahulu sebelum memilih salah satu sikap itu. Hak-hak berpikir ini diatur dalam pasal 1023 sampai pasal 1029 KUHPerdata. 5) Akibat dari penerimaan warisan secara penuh atau tanpa syarat (point 1) adalah bahwa harta warisan dan harta kekayaan pribadi dari ahli waris dicampur menjadi satu, berarti bahwa semua hutang-hutang pewaris diambil alih oleh ahli waris, dan ia tidak dapat menolak warisan itu . HUKUM WARIS ISLAM I Pengertian Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa baiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan . II Dasar Hukum a) Dasar Hukum Kewarisan Islam b) Al-Qur’an c) Beberapa ayat AL-Qur’an yang langsung mengatur pembagian harta warisan adalah sebagai berikut : 3 - O.S.IV:7. Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris - Q.S.IV:11. Mengatur perolehan anak, ibu dan bapak - Q.S.IV:12. Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal kalaalah - Q.S.IV:33. Mengatur mengenai mawali seorang yang dapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam seperjanjiannya - Q.S.IV:176. Menerangkan arti kalaalah d) Sunnah Rasul, yakni hadits Jaabir bin Abdullah, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, Ali bin Thalib, Saad bin Abi Waqqas, Ibnu Abbas, dan lain-lain. e) Ijtihad, misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami atau isteri. III Asas-Asas Hukum Waris Islam Menurut Prof.Dr.Amir Syarifudin, ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah : a) Asas Ijbari (memaksa=compulsory) b) Peralihan harta peninggalan berlaku dengan sendirinya tanpa digantungkan pada kehendak masing-masing pihak. c) Asas Bilateral d) Bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan. e) Asas Individual f) Pemilikan harta peninggalan yang diberikan dapat dimiliki secara individu. g) Asas Keadilan Berimbang h) Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan keajiban yang harus ditunaikannya. i) Asas Kematian j) Peralihan harta seorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. 4 PERSAMAAN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM 1) Segala harta warisan akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli warisnya. 2) Dalam hal biaya pemakaman mayat, tidak ada perbedaan antara hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar biaya pemakaman mayat tersebut. 3) Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli waris. 4) Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament. 5) Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah sama, yaitu keluarga sedarah dari si Pewaris. PERBEDAAN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM Bentuk harta warisan Pada dasarnya berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan. Yang diwariskan kepada semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya bagi mereka, akan tetapi utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataannya berpindah juga kepada semua ahli warisnya. Mewaris Hutang Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, 5 biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Mengutip Pendapat Mr.Ter Haar mengatakan bahwa “hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris”. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwaris oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris. Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapim dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu. Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke 1 para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke 2; orang-orang yang oleh beberapa pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen) . Hukum BW mengenal 4 golongan ahli waris yang bergiliran hak atas harta warisan, dengan pengertian apabila golongan ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang memiliki hak, demikianlah selanjutnya. KESIMPULAN 1) Dalam hukum Islam, kewarisan merupakan suatu kewajiban yang tidak digantungkan pada kehendak masing-masing pihak. Sedangkan dalam hukum perdata barat, jika terbuka suatu warisan, ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau menerima dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu. 2) Dalam hukum Islam yang diwariskan kepada ahli waris itu adalah barangbarang peninggalan si pewaris dalam keadaan bersih, jadi setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si pewaris. Seperti apa yang telah diuraikan bahwa pembayaan hutang itu tidak boleh mendatangkan 6 kesempitan pada ahli waris tersebut, dengan demikian tanggung jawab para ahli waris menurut hukum Islam adalah terbatas sebanyak harta peninggalan yang ia dapatkan. Sedangkan dalam KUHPerdata tanggung jawab para ahli waris tersebut, apakah ia menerima atau menolak warisan itu. 3) Dalam hukum kewarisan Islam para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan – kekurangan yang timbul karena harta peninggalan tidak cukup untuk menutupi hutang si pewaris. Sedangkan menurut KUHPerdata harta kekayaan pribadi dapat dipakai untuk mencukupi pelunasan hutang hutang si pewaris bila ia menerima warisan itu secara penuh atau tanpa syarat. Menggantungkan kehendak untuk mewaris seperti yang dianut oleh sistem kewarisan perdata barat dirasakan tidak sesuai dengan prinsip kekeluargaan yang ada karena terdapat kemungkinan bahwa ahli waris menolak warisan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan seperti halnya yang terjadi pada kasus Soeharto dimana salah satu ahli warisnya yakni Hutomo Mandala Putra menolak menjadi ahli waris. Dari kasus tersebut banyak pihak yang memperkirakan bahwa itu merupakan trik Hutomo Mandala Putra untuk mengindari penyelidikan hukum atas harta yang bersangkutan terkait kasus korupsi yang melilitnya. Maka diperlukan hukum kewarisan nasional yang didalamnya tersirat kaedah hukum kewarisan Islam yang mengatur bahwa ahli waris wajib mewaris termasuk mewaris hutang pewaris tetapi terbatas atas harta warisan yang diperoleh ahli waris tersebut. 7