Azas Pe/engkap Statuta Roma 1998 tentang ICC 339 AZAS PELENGKAP STATUTA ROMA 1998 TENTANG PENGADILAN PIDANA lNTERNASIONAL H. Suwardi Martowirono Penulis artikel ini membahas mekanisme dan sistem kerjasama antara International Criminal Court dengan negara-negara pihak dalam rangka pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam proses peradilan keiahatan terhadap kemanusiaall. Penulis ini juga mellgulas sejarah sampai munculnya gagasan pembentukan ICC. Umum Sebagaimana diketahui bahwa dalam United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries 011 the Establishment of an International Criminal Court di Roma (Italy), pada tanggal 17 Juli 1998 yang lalu telah disahkan Statute of International Criminal Court, disingkat Rom.e Statute 1998 (Statuta Roma 1998). Dengan pengesahan tersebut maka terbentuklah badan baru di lingkungan PBB yaitu International Criminal Court (disingkat ICC). Namun Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court (Pengadilan Pidana Internasional) tersebut baru berlaku (entry into force) nanti setelah diratifikasi oleh 60 negara. Makalah ini bermaksud memaparkan terutama tentang mekanisme atau sistim kerjasama antara ICC dengan negara-negara pihak dalam rangka pelaksanaan yurisdiksi ICC di dalam mengadili pelaku kejahatan Nomor 4 Tahun 2001 340 Hukum dan Pembangunan yang berada di bawah yurisdiksinya, yaitu The crime of genocide, crimes against humanity, war crimes dan The crime of aggression, berdasarkan azas pelengkap (complementary principle) sebagai sa lah satu azas dasar (basic prinsiple) dari Statuta Roma 1998, dan permasalahannya. Latar Belakang Sejarah Bahwa ide dan eksistensi ICC merupakan suatu proses sejarah perjuangan kemanusiaan yang panjang sejak setelah berakhirnya Perang Dunia ke-J yang ditandai dengan kegagalan dalam mewujudkan Pengadilan Pidana Internasional untuk mengadili penjahat-penjahat perang dan kemudian dilanjutkan lagi setelah berakhirnya Perang Dunia ke-ll dengan pembentukan "International Military Tribunal for The Major War Criminals of The European Axis", yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Nuremberg Tribunal", pada tahun 1945, dan kemudian pad a tahun 1948 dibentuk pula "International Military Tribunal for The Prosecution and Punishment of The Maior War Criminal in The Far East", yang lebih dikenal dengan sebutan "Tokyo Tribunal". Bahwa kedua Military Tribunal itu dibentuk oleh negara-negara sekutu pemenang perang (lnggris, Amerika Serikat, Perancis dan Uni Sovyet) dan bertujuan mengadili tokoh-tokoh penjahat Perang Dunia ke-ll dari negara-negara Eropa Axis, yang akan dihukum oleh suatu putusan bersama dari pemerintahan sekutu (will be punishment by the joint decision of the government of the Allies), dimana masing-Illasing negara sekutu harus mengambil langkah-Iangkah yang perlu agar penyidikan dan proses pengadilan dapat terlaksana terhadap tokoh-tokoh penjahat perang yang ditahan oleh mereka, untuk diadili oleh Tribunal (Art. 3 London Agreement on war criminal 1945). Adapun jeniskejahatan yang diadili belum ada hukulll lllateriinya yang memberikan ancaman hukuman pada saat kejahatan itu dilakukan, oleh karena itu dalam proses peradilannya diterapkan prinsip berlaku surut, yang menyimpang dari prinsip-prinsip umum hukum pidana. demi untuk menegakkan keadilan dari pada membiarkan pelaku kejahatan tidak dituntut dan tidak dihukum. Bahwa Military Tribunal tersebut bersifat ad hoc (sementara) karena dibentuk khusus untuk mengadili dan menghukum tokoh-tokoh penjahat perang dari Negara Eropa Axis dan Jepang di Timur Jauh yang kejahatannya telah dilakukan dalam kurun waktu tertentu yaitu se lama Oktober - Desember 2001 Azas Pe/engkap Statuta Roma 1998 tentang ICC 341 Perang Dunia ke-II. Adapun jenis kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal adalah : a. crimes against peace; b. war crimes; c. crimes against humanity. Kemudian dalam dekade terakhir pada abad ke XX oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dibentuk dua pengadilan pidana Internasional, yaitu: a. "the international Criminal Tribunal for Former Yugoslavia" (disingkat ICTY), pada tanggal 23 Mei 1993 ; b. "the international Criminal Tribunal for Rwanda" (dis ingkat ICTR) pada tahun 1994. Kedua pengadilan internasional itu juga bersifat ad hoc karena dibentuk hanya untuk mengadili kejahatan-kejahatan tertentu, pada saat tertentu dan di wilayah tertentu, yaitu: a. ICTY untuk mengadili kejahatan-kejahatan tertentu yang dilakukan sejak 1 Januari 1991 hingga sekarang dan locus delicti-nya di wilayah bekas negara Yugoslavia. Adapun jenis kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICTY adalah: I) Grave breaches of Geneva Convention of 1949; 2) Violation of the Laws or Custom of war; 3) Genocide; 4) Crimes against humanity. b. ICTR untuk mengadili kejahatan tertentu yang dilakukan di wilayah negara Rwanda dan tetangganya, sedangkan tempos delicti-nya dari tanggal 1 J anuari 1991 sampai dengan 1994. Adapun jenis kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICTR adalah: 1) Genocide; 2) Crimes against humanity; 3) Violation of Art. 3 Common to the Geneve Convention 1994 and additional Protocol [111977. Ke-empat pengadilan pidana internasional itu baik dalam Charter of the international Military Tribunal maupun dalam Statuta pembentukannya tidak diatur dengan negara pihak atau negara nasional, karena, misalnya dalam Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal, semua negara sekutu pemenang perang sepakat untuk menyerahkan tokoh-tokoh penjahat Nomor 4 Tahun 2001 342 Hukum dan Pembangunan perang musuhnya kepada Tribunal, dan tidak ada pilihan lain, walaupun berdasarkan Charter of the International Military Tribunal tidak mengesampingkan kemungkinan masing-masing negara sekutu terse but mengadili penjahat perang nazi lainnya. Begitu pul a dalam proses peradilan yang dilakukan oleh ICT Y dan ICTR tidak melibatkan banyak negara, dimana negara yang warganegaranya menjadi korban justru sangat berkepentingan agar pelaku kejahatan harus diadili dan dihukum oleh pengadilan pidana internasional itu , walaupun tidak menutup kemungkinan pengadilan nasional dapat mengadili, tetapi dalam hal terjadi .. concurrent jurisdiction", Pengadilan pidana internasional (ICTY dan ICTR) mempunyai primacy (keunggulan) (Iihat pasal 9 Statuta ICTY dan pasal 8 Statuta ICTR). Jadi ke-empat pengadilan pidana imernasional yang telah dibentuk sampai saat ini, statusnya dan fungsinya adalah sebagai pengganti pengadilan nasional, sehingga dalam proses penyelenggaraan pengadilannya tidak diperlukan suatu azas kerjasama tertentu (khusus) sebagai landasan kerjasama amara Tribunal dengan negara nasiona!. Berbeda dengan ICC yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dari hampir semua negara di dunia baik anggota PBB maupun bukan, melalui suatu perjanjian internasional, yang diselenggarakan karena dorongan keprihatinan seluruh masyarakat internasional yang tergoncang hati nurani kemanusiannya karena kejahatan itu telah mengancam perdamaian. keamanan dan kesejahteraan dunia, yang mungkin bisa terulang kembali. Maka ICC adalah merupakan Pengadilan Pidana Imernasional masa depan, yang bersifat permanen (tetap) dan tidak menerapkan prinsip berlaku surut, sehingga proses peradilannya sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum pidana yang bersifat universal, karena dalam Statuta Roma 1998 telah diatur hukum materinya yang memberikan ancaman hukuman. Selain dari pada itu karena ICC pembentukannya tidak terkaitkan pada kasus tertentu yang terjadi pada saat dan tempat tertentu , tetapi didasarkan pada pertimbangan kepentingan umat manusia untuk masa depan, dengan asumsi kemungkinan terulangnya lagi kejahatan yang mengancam perdamaian. keamanan dan kesejahteraan dunia, maka akan melibatkan partisipasi seluruh (banyak) negara di dunia. yang tentunya di dalam proses penyelenggaraan peradilannya diperlukan kerjasama dan untuk kepentingan kerjasama itu diperlukan suatu azas yang menjadi landasan kerjasama amara ICC dengan negara pihak (negara nasional), bahwa azas tersebut dalam statuta disebut complementary principle (asas Okrober - Desember 200l j Azas Pe/engkap Siatuta Roma 1998 tentang ICC 343 pelengkap) yang merupakan salah satu azas dasar yang menjiwai berdirinya ICC dimana ICC statusnya dan fungsinya tidak menggantikan pengadilan nasional atau merupakan perluasan dari pengadilan nasional, tetapi justru hanya sekedar melengkapi dalam hal negara nasional (negara pihak) tidak bersedia (unwilling) atau tidak mampu (unable) mengadili. Azas Pelengkap Dan Permasalahannya ICC sebagai badan peradilan pidana yang bersifat tetap (permanent) dan untuk masa depan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang telah melakukan kejahatan berat yang merupakan kejahatan yang sangat serius yang menjadi keprihatinan seluruh masyarakat internasional (the most serious crimes oj concern to the international community as a whole), karena dilakukan dengan sangat keji/kejam yang tidak dapat dibayangkan dan yang sangat menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (unimaginable atrocities that deeply shock the consience oj humanity) dan telal1 mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia (well-being the world). Adapun kejahatan-kejahatan yang dimaksudkan itu adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 5, 6, 7 dan 8 Statuta Roma 1998, yang terdiri dari: a. the crime of genocide; b. crimes against humanity; c. war cnmes; d. the crimes of aggression. or Karena sifat kejahatannya yang luar biasa (extra-ordinary) dan akibatnya yang sangat serius maka yang menjadi tujuan pembentukan ICC adalah: a. menghukum pelaku kejahatan; b. mencegah terulangnya lagi kejahatan-kejahatan itu; c. mengakhiri dan mencegah adanya "impunity" ("kebebasannya dari hukuman"). maka untuk mencapai tujuan itu harus dijamin adanya penuntutan yang efektif (eJective prosecution) dengan mengambil tindakan-tindakan l1ukum dalam tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama internasionaI. Nomor 4 Tahun 2001 344 Hukulll dan Pembangunan Oleh karena setiap kejahatan itu sudah dapat dipastikan terjadi di suatu wilayah negara nasional (negara pihak) dan dilakukan oleh warga negara dari suatu negara nasional (negara pihak), maka berdasarkan azas kedaulatan negara tindakan hukum di tingkat nasional haruslah dilakukan lebih dahulu, tetapi karena sifat kejahatan dan akibatnya yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia maka kerjasama internasional diperlukan. Dalam rangka kerjasama internasional itulah diterapkan complementary principle (azas pelengkap) dalam arti apabila proses peradilan yang efektif melalui tindakan hukum di tingkat nasional tidak dapat berjalan baru dilaksanakan yurisdiksi ICC. Dengan demikian maka pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam ani kewenangan ICC mengadili, didasarkan pada azas dasar. Namun demikian berlakunya yurisdiksi ICC atas ke-empat jenis kejahatan tersebut tanpa persetujuan negara pihak terlebih dahulu, karena bcrdasarkan statuta setiap negara yang telah menjadi negara pihak dengan sendirinya (otomatis) menerima berlakunya yurisdiksi ICC atas ke-empat jenis kejahatan itu. Ketentuan ini didasarkan pada azas melekat (ini1erefll I automatic principle) yang juga merupakan azas dasar sebagaimana dijabarkan dalam pasal 12, 13, 14 dan 15 Statuta. Adapun azas pelengkap antara lain tercantum dalam Preamble dan pasal I Statuta ICC, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 17 tentang "issues of admissibility" (peri hal penerimaan perkara untuk diadili). Dalam Preamble dinyatakan bahwa : "... ICC established under Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction" . Art. ·1 Statuta berbunyi antara lain: " ICC ... shall have the power to exercise its jurisdiction ... and shall be complementary to national criminal jnrisdiction" . Kemudian Art. 17 tentang issues of admissibility menentukan bahwa" ... a case is inadmissible (tidak dapat diterima untuk diad iii) where: a. "The case is being investigated or prosecuted by a State which has jurisdiction over it . b. "The case has been investigated by a State which has jurisdiction over it and the State has decided not to prosecute the person concerned ... ": c. "The person concerned has already tried for conduct which is the subject of the complaint, and a trial by the Court is not permitted under article 20, paragraph 3"; Oktober - Desember 2001 Azas Pe/engkap Staluta Ro",,:, 1998 tentang ICC 345 d. "The case is not of sufficient gravity to justify further action by the Court" . Dari ketentuan tersebut di atas tersimpul bahwa kewenangan mengadili (yurisdiksi) ICC tidak dapat dilaksanakan karena proses peradilan di tingkat nasional sedang atau telah dilaksanakan. Dengan demikian yang diutamakan atau didahulukan adalah tindakan-tindakan hukum di tingkat nasional. Walaupun dalam pasal tersebut terdapat pula pengecualian dimana ICC dapat mengadili (admissible) dalam hal sebagai berikut : a. " ... , unless the State is unwilling or unable genuinely to carry out the investigation or prosecution; b." the State has decided not to prosecute the person concerned " tetapi keputusan itu sebagai hasil dari ... the unwillingness or inability of the State genuinely to prosecuted". Kemudian dalam pasal I7 ayat 2a, b dan c ditentukan adanya "unwillingness" , yaitu : a. "The proceedings were or are being undertaken or the national decision was made for the purpose of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction. of the Court referred to in article 5"; b. "There has been an unjustified delay in the proceedings which in the circumtances is inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice" ; c. "The proceedings were not or are not being conducted independently or impartially". Sedangkan untuk menentukan "inability" in a particular case pasal 17 paragrap 3 menentukan sebagai berikut: "In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary ivedence and testimony or otherwise unable to carry OUI its proceedings" . Demikian ketentuan mengenai azas pelengkap (complementarv principle) yang tercantum dalam Preamble dan pasal 1 Statuta ICC serra penjabarannya dalam pasal I7 Statuta ICC. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ICC tidak dirancang untuk mengganti peradilan nasional, tetapi lIntuk Nomor 4 Tahun 2001 346 Hukum dan Pembangunan melengkapi. ICC hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman (safety net), ketika sistim peradilan nasional hancur (collapsed) atau telah berkompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut. Namun dari ketentuanketentuan itu dapat juga disimpulkan bahwa ICC pada hakekatnya dirancang untuk menjadi suatu badan peradilan Supranasional yang independent, karena diberikan kewenangan menilai dan menentukan apakah peradilan nasional dari suatu negara itu "unwilling" atau "unwillingness" dan "unable" atau "inunability". Hal ini lebih dipertegas lagi dalam pasal 20 ayat 3 a dan b tentang ne bis in idem, dimana terdapat pengecualian, yaitu walaupun Statuta ICC mengakui berlakunya azas "ne bis in idem" tetapi dalam hal menu rut ICC bahwa peradilan lain di dalam mengadili perkara-perkara kejahatan sebagaimana terse but dalam pasal 6 (genocide), pasal 7 (crimes against humanity) dan pasal 8 (war crimes) , bermaksud untuk melindungi orang yang bersangkutan (Terdakwa) dari pertanggungan jawab pidana atau di daIam proses peradilannya tidak dilakukan dengan bebas (not conducted independently) atau memihak (not impartially), maka perkara tersebut dapat diadili lagi oleh ICC, dengan demikian azas "ne bis in. idem" dikesampingkan. Dari ketentuan ini menunjukkan betapa besarnya kekuasaan ICC sebagai peradilan supranasional. Selain dari pada itu menunjukkan pu la bahwa ketentuan ini dibuat dengan mengantisipasi kemungkinan peradilan lain, dalam hal ini yang dimaksudkan peradilan nasional, melakukan proses peradilan yang tidak adil (unfair trial). Hal tersebut menjadikan azas pelengkap tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pengecualian tersebut oleh sementara pihak dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Sedangkan di pihak lain berpendapat bahwa ICC harus diberikan kewenangan seperti itu agar sebagai suatu badan peradilan dapat berjalan efektif dalam arti mempunyai kemampuan menangkal dan menghukum dan dengan demikian mencegah jatuhnya korban. Berdasarkan azas pelengkap sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat dibedakan , dalam situasi bagaimana ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya , dan dalam situasi bagaimana ICC tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya, dengan cara menerapkan sistim admissibility sebagaimana tercantum dalam pasal 17 Statuta. Jadi tujuan diterapkan azas pelengkap dengan sistim admissibility adalah untuk menentukan jurisdiksi (kewenangan untuk mengadili) antara ICC dan Negara Nasional cq. Peradilan Nasional, dengan beberapa OklOber - Desember 2001 Azas Pe/engkap Statuta Roma J998 tentang JCC 347 ketentuan pengecualian mengenai "unwillingness" dan "inability" (pasal 17 ayat 2 dan 3) dan masalah "ne bis in idem" (pasal 20 ayat 3 (a) dan (b). Setelah ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya maka untuk selanjutnya pelaksanaan yurisdiksi ICC didasarkan pada azas melekat (inherent / aotomatic ptinciple), dimana setiap negara yang telah menjadi negara pihak (misalnya melalui ratifikasi) dengan sendirinya (otomatis) menerima berlakunya yurisdiksi ICC atas ke-empat jenis kejahatan tersebut (lihat pasal 12, 13, 14 dan 15 Statuta). Oleh karena ICC di dalam melaksanakan yurisdiksinya terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan tidak mungkin bekerja sendiri, maka harus melakukan kerja-sama internasional. Adapun kerja-sama internasional itu meliputi antara lain: a. ICC dengan negara pihak (pasal 13 sub a Statuta); b. ICC dengan Dewan Keamanan PBB (pasal 13 sub b Statuta); c. ICC dengan negara non-pihak (pasal 12 ayat 2 dan 3 Statuta); d. ICC dengan Prosecutor yang berinisiatif melakukan penyidikan (investigation) berdasarkan azas proprio motu (karena jabatannya). Kerja-sama ICC dengan Negara Pihak (pasal 13 sub a Statuta) Dalam pasal l3 a Statuta tentang "exercise of jurisdiction" ditentukan sebagai berikut : "The court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to in article 5 in accordance with the provissions of this Statuta if: a. "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by a State Party in accordance with article 14" ; Dari ketentuan pasal 13 sub (a) menunjukkan bahwa pelaksanaan jurisdiksi (exercise of jurisdiction) ICC didasarkan pada (setelah ada) pengaduan kepada Prosecutor oleh negara pihak. J adi penyidikan baru dapat dilakukan setelah ada pengaduan oleh Negara Pihak. Hal mana dipertegas lagi dalam pasal 14 ayat (1) dimana Negara Pihak dapat mengadukan kepada Prosecutor untuk menyidik dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang atau beberapa orang tertentu harus didakwa karena melakukan kejahatan tersebut. Nonwr 4 Tahun 200J 348 Hukum dan Pembangunan Kerja-sama ICC dengan Dewan Keamanan PBB (pasal 13 sub b Statuta) Dalam pasal 13 sub b Statuta tentang "exercise of jurisdiction" ditentukan sebagai berikut : "the court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to an article 5 in accordance with the provission of this Statuta if : b. "a situation in which one or more of such crime appears to have been commited is referred to the Prosecutor by the security council acting under chapter VII of the charter of the United Nations". Dari ketentuan pasal l3 sub b menunjukkan bahwa pelaksanaan jurisdiksi didasarkan pada (setelah ada) pengaduan kepada Prosecutor oleh Dewan Keamanan. Jadi penyidikan baru dapat dilakukan setelah ada pengaduan Dewan Keamanan. Namun demikian berdasarkan pasal 16 Statuta atas permintaan Dewan Keamanan, dapat diadakan penundaan penyidikan atau penuntutan untuk jangka waktu 12 bulan dan permintaan itu dapat diperbaharui. Ketentuan pasal 16 Statuta ini mengundang berbagai pertanyaan. Sebagian besar negara berpendapat bahwa sifat politis dan mekanisme permintaanl pengaduan Dewan Keamanan ini perlu dilengkapi oleh mekanisme lain. Apakah permintaan Dewan Keamanan untuk menunda penyidikan atau penuntutan ini dapat ditolak oleh ICC? Apakah dengan adanya ketentuan pasal 16 mengurangi independensi ICC? Apakah dengan adanya pasal 16 menunjukkan tidak adanya kedudukan yang setara dalam hubungan kerja-sama antara ICC dengan PBB cq. Dewan Keamanan? Kerja~a ICC dengan Negara non-Pihak (Pasal 12 ayat 2 dan 3 Statuta) Pasal 12 ayat 2 dan 3 Statuta berbunyi sebagai berikut : 1. "A State which ... "; 2. "In the case of articles 13 (6), paragraph (a) or (b), the Court may exercise its jurisdiction if one or more of the following States are Parties to this Statute or have accepted the jurisdiction of the Court in accordance with paragraph 3"; a. 'The State on the territory of which the act or omission in aquestion occured or, if the crime was comited on board a vessel or aircraft, the State of registration of tehat vessel or aircraft"; b. 'The State of which the person being investigated or prosecuted a national" ; Oktober - Desember 2001 Azas Pelengkap Statuta Rama 1998 tentang ICC 349 3. "If the acceptence of a State which is not a Party to this Statute is required under paragraph 2, that State may, by declaration lodge with the Registrar, accept the exercise of jurisdiction by the Court with respect to without any delay or exception in accordance with Part 9; Dari ketentuan pasal 12 paragrap (2) dapat disimpulkan bahwa ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila: a. Kejahatan itu dilakukan di wilayah negara pihak; b. Pelaku kejahatan atau tersangka (orang yang dituntut atau disidik) adalah warganegara negara pihak. Selain dari pada itu untuk negara non-pihak berdasarkan pasal 12 ayat 3, dengan suatu deklarasi dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi (the exercise of Jurisdiction) ICC sepanjang mengenai kasus kejahatan terkait (yang dipermasalahkan) , jadi penyerahan kepada Prosecutor untuk melakukan penyidikan atau penuntutan itu hanya didasarkan pada State Consent on a case-by-case basis (bersifat kasuistis). Hal tersebut dapat terjadi jika pelaku kejahatan atau tersangka (orang yang dituntut atau yang disidik) adalah warga negara non-pihak, namun terhadapnya dapat diberlakukan yurisdiksi ICC, karena kejahatan itu dilakukan di wilayah negara pihak, atau pihak tersangka kebetulan sedang berada di salah satu wilayah negara pihak. Hal inilah yang menjadi masalah bagi negara non-pihak, maka untuk memberlakukan yurisdiksi ICC dalam pasal 12 paragrap (3) dibuka kemungkinan bagi negara non-pihak untuk membuat dekJarasi yang menyatakan menerima yuridiksi ICC sepanjang mengenai kasus kejahatan terkait (yang dipermasalahkan), sehingga pelaku kejahatan atau tersangka (orang yang dituntut dan disidik) yang berstatus warga negara non-pihak dapat disidik, dituntut, dan diadili oleh ICC. Partisipasi negara non-pihak dalam proses peradilan ini adalah dalam rangka kerjasama internasional dan bantuan di bidang peradilan sebagaimana diatur dalam Part. 9 Statuta ICC tentang International Cooperation and Judicial Assistance. Namun ketentuan yang memungkinkan memberlakukan jursidiksi ICC pada pelaku/tersangka warganegara dari negara non-pihak ini oleh sementara pihak dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya mengenai The Law ~f Treaties . Nomar 4 Tahun 2001 350 Hukum dan Pembangunan Kerja-sama ICC dengan Prosecutor (pasal 13 dan 15 Statuta) Pasal 13 c Statuta ICC tentang "Exercise of Jurisdiction", berbunyi sebagai berikut : "The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to article 5 in accordance with the provision of this Statuta if : c. The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such a crime in accordance with article 15". Jadi dalam pasal 13 c prosecutor mempunyai inisiatif unruk melakukan penyidikan, dan dalam pasal 15 tentang "Prosecutor" lebih ditegaskan lagi bahwa karena jabatannya (proprio motu) dapat melakukan investigation (penyidikan) berdasarkan informasi tentang terjadinya kejahatan yang berada di lingkungan yurisdiksi ICC dan mengajukan perkara kepada ICC tanpa adanya pengaduan (referral) dari negara pihak. Pasal 15 (Prosecutor) lengkapnya berbunyi sebagai berikut : I. "The Prosecutor may initiate investigation proprio motu on the basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court"; 2. "The Prosecutor shall analyse the seriousness of the information ' recieved. For this purpose, he or she may seek additional information from States, organs of the United Nations, intergovernmental or non-governmental organizations, or other reliable sources that he or she deems appropriate, and may receive written or oral testimony at the seat of the Court" ; 3. "If the Prosecutor concludes that there is a reasonable basis to proceed with an investigation, he or she shall snbmit to the PreTrial Chamber a request for authorizations of an investigation, together with any supporting material collected. Victims may make representations to the Pre-Trial Chamber, in accordance with the Rules of Prosedure and Evidence"; 4. "If The Pre-TriaJ Chamber, upon examination of the request and the accompanying material, considers that there is a reasonable basis to proceed with an investigation, and that the case appears to fall within the jurisdiction of the Court, it shall authorize the commencement of the investigation, without prejudice to subsequent determinations by the Courts with regard to the jurisdiction and admissibility of a case"; 5. "The refnsaJ of the Pre-TriaJ Chamber, to authorize the investigation shall not preclude the presentation of a subsequent reqnest by the Oktober - Desember 2001 Azas Pe/engkap StaJuta Rama 1998 tentang ICC 351 Prosecutor based on new facts or evidence regarding the same situation" ; 6. "If, after the preliminary examination referred to in paragraps I and 2, the Presecutor concludes that the information provided does not constitute a reasonable basis for an investigation, he or she shall inform theose who provided the information. This shall not preclude the Prosecutor from considering further information submitted to him or her regarding the same situation in the light of new facts or evidence". Walaupun inisiatif Prosecutor untuk melakukan investigasi dibatasi dengan adanya persyaratan persetujuan lebih dahulu dari Pre-Trial Chamber, tetapi jika ditolak ia dapat mengajukan lagi pennohonan persetujuan didasarkan pada fakta-fakta baru atau bukti-bukti sehubungan dengan situasi yang sarna. Dari pasal 12 a dan b, pasal 13 ayat c dan pasal 15 menunjukkan bahwa ketentuan ini merupakan antisipasi terhadap kemungkinan adanya kecenderungan negara pihak yang pada umumnya tidak akan menyerahkan penyidikan kepada prosecutor, dan ketentuan-ketentuan mi juga merupakan akibat atau pengaruh dari pandangan atau gagasan tentang yurisdiksi universal yang dapat mengikat semua warga negara di manapun di dunia tanpa memandang apakah negara dari warga negara tersebut merupakan negara pihak atau tidak. Sedangkan kecenderungan negara-negara nasional tersebut disebabkan karena Prosecutor di dalam melakukan penyidikan tidak hanya didasarkan pada informasi-informasi dari negara, organ-oragan dari PBB dan intergovermental tetapi juga dari non-governmental organizations (LSM) atau other reliable sources, yang kredibilitasnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Selain kerja sarna sebagaimana diuraikan di muka, demi suksesnya pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam Part 9 Statuta (pasal 86-102) diatur lebih rinci tentang "international cooperation and judicial assistance". Dalam kerjasama ini kedudukan ICC sebagai pihak yang mempunyai kewenangan (authority) untuk membuat permohonan kerja-sama dan bantuan hukum dan negara pihak sebagai pihak yang mempunyai kewajiball hukum untuk bekerja-sama dan memberikan bantllan, terutama di bidang penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu dalam pasal 86 (general obligation to cooperate) ditekankan bahwa negara pihak harus melakukan kerja-sama penuh dengan ICC dan dalam pasal 88 (avaibility of procedures under national law) ditegaskan lagi bahwa Nomar 4 Tahun 2001 352 Hukum dan Pembangunan negara pihak hams menjamin tersedianya prosedur berdasarkan hukum nasional untuk semua bentuk kerjasama yang diakui dalam bagian ini. l. 2. 3. 4. 5. Bidang-bidang yang menjadi obyek kerjasama meliputi antara lain: Penyerahan orang kepada pengadilan (Surrender of persons to the Court) (Art. 89); Permohonan-permohonan yang saling bersaing (Competing requests) (Art. 90); Permohonan penahanan dan penyerahan (Contents of request for arrest and su"ender) (Art. 91); Permohonan penahanan sementara (Provisional arrest) (Art. 92): Bemuk kerja-sama lainnya (Other forms of cooperation) (Art. 93) yang terdiri dari : a. Identiflkasi dan keberadaan orang atau lokasi dari item-item; b. Pengambilan bukti, termasuk pengakuanltestimony di bawah sumpah dan pembuatan bukti, termasuk pendapat ahli dan laporan yang diperlukan Pengadilan; c. Menanyakan kepada setiap orang yang diperiksa atau dituntut; d. Layanan dokumen, termasuk dokumen-dokumen peradilan; e. Mempermudahimembantu kehadiran orang secara sukarela sebagai saksi atau ahli di hadapan Pengadilan; f . Penyerahan sementara orang-orang seperti yang ditetapkan dalam ayat 7; g. Pemeriksaan tempat atau lokasi (kejadian), termasuk penggalian dan penggalian lokasi kubur; h. Pelaksanaan pengejaran dan penyitaan; I. Ketentuan catatan dan dokumen, termasuk catatan dan dokumen resmi; j. Perlindungan korban dan saksi serta penyelamatan bukti-bukti; k. Identiflkasi, pelacakan dan pembekuan atau penyitaan nang, harta benda serta alat-alat yang digunakan untuk kejahatan untuk tujuan yang pada akhirnya merupakan penyitaan, tanpa mengurangi hak bonafide pihak ketiga; I. Setiap jenis bantuan lain yang tidak dilarang oleh hukum dari Negara yang diminta, dengan memperhatikan kemudahan pemeriksaan dan penuntutan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan; Dalam hal negara pihak gagal memenuhi permohonan keJja-sama sebingga menghambat ICC melaksanakan yurisdiksinya, maka ICC dapat OJaober - Desember 2001 Azas Pelengkap StatUla Roma 1998 tentang 1CC 353 membawa masalah ini kepada Assembly of States Parties (Dewan negaranegara pihak) atau kepada Dewan Keamanan PBB (pasal 87 ayat 7 Statuta) jika perkaranya yang melimpahkan Dewan Keamanan PBB. Kesimpulan Pembahasan ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan Statuta Roma 1998 dan mendapatkan masukan untuk digunakan sebagai bahan pertirnbangan di dalam menentukan kebijaksanaan politik pemerintah dalam rangka ratifikasi Statuta tersebut. Jika melihat kepada Jatar belakang dan tujuannya, semua negara dan bangsa di dunia akan sepakat dan setuju atas pembentukan ICC, tetapi apakah semua negara akan segera meratifikasi Statuta Roma, hal mana tergantung kepada isinya (substansi) dan sejauh mana dampaknya terhadap kepentingan nasionaL Oleh karena itu dengan mengkaji azas pelengkap (complementary principle) yang merupakan azas dasar (basic principle) dari Statuta Roma, dapat diketahui kedudukan, yurisdiksi, tujuan dan mekanisme kerja ICC dalam melaksanakan yurisdiksinya. Berdasarkan uraian dan pembahasan permasalahan yang berkaitan dengan azas pelengkap (complementary principle) sebagaimana teIah diutarakan di muka, maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa : a. ICC tidak dibentuk untuk menggantikan atau merupakan perluasan peradilan nasional tetapi sekedar untuk melengkapi, sebagai pengadilan pidana internasional untuk masa depan yang bersifat tetap dan tidak menerapkan azas berlaku surut sehingga proses peradilannya sesuai dengan azas-azas umum hukum pidana yang bersifat universal karena dalam Statuta telah diatur hukum materielnya yang memberikan ancaman hukuman; b. Yurisdiksi ICC baru dapat dilaksanakan jika negara pihak "tidak bersedia" (unwilling) atau tidak mampu / tidak dapat (unable) meIaksanakan penyidikan atau penuntutan (pasal 17 ayat (1) sub a Statuta), atau proses penyidikan telah dilaksanakan tetapi kemudian negara pihak telah mengambil keputusan tidak menuntut kepada orang yang bersangkutan karena "unwillingness" (ketidaksediaan atau keengganan) atau "inability" (ketidakmampuan sesuai kondisi objektif) (pasal 17 ayat (I) sub b Statuta); Nomar 4 Tahun 2001 354 Hukum dan Pembangunan c. Kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICC (pasal 12 ayat (I) Statuta); d. Kejahatan yang dilakukan terjadi di wilayah negara pihak dan pelaku kejahatan adalah warganegara negara pihak (pasal 2 ayat (2) Statuta) ; e. Dalam hal pelaku kejahatan adalah warganegara dari negara non-pihak ICC masih dimungkinkan melaksanakan yurisdiksinya jika negara nonpihak membuat deklarasi yang menyatakan menerima yurisd iksi ICC sepanjang mengenai kejahatan terkait berdasarkan state consent all a case by case basis (kasuistis) (pasal 12 ayat (3) Statuta); f. Dalam hal terjadi situasi seperti yang dimaksudkan dalam pasal 20 oyat (3) sub a dan b Statuta. dimana azas ne bis ill idem dapat dikesampingkan: g. Adapun mekanisme kerja ICC di dalam melaksanakan yurisdiks inya didasarkan pada adanya pengaduan/penyerahan perkara, yaitu sebaga i berikut: I) Setelah ada pengaduan/penyerahan perkara kepada Prosecutor oleh negara pihak; 2) Setelah ada pengaduan/penyerahan perkara kepada Prosecutor oleh Dewan Keamanan PBB ; 3) Setelah permohonan kewenangan Prosecutor kepada Pre-Trial Chamber untuk melakukan penyidikan lebih lanjut disetujui. Penyidikan ini dilakukan atas inisiatif Prosecutor karena jabatannya (proprio motu), lanpa persetujuan negara pihak. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta yang berhubungan dengan kewenangan untuk menilai (mempertimbangkan) bahwa telah terjadi situasi "unwilling" (tidak bersedia) dan "unwillingness" (ketidaksediaan/ keengganan) dan "inability" (ketidakmampuan sesuai kondisi objektif) dan situasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) sub a dan b serta ketentuan lain yang berhubungan dengan kewenangan Prosecutor untuk berinisiatif melakukan penyidikan tanpa persetujuan negara pihak dan kemungkinan pelaku kejahatan warganegara non-pihak dapat diadili oleh ICC adalah dibuat agar ICC sebagai bad an peradilan berjalan efekti f dan mempunyai kemampuan penangkal, sesuai dengan tujuan dibenruknya ICC yaitu menghukum pelaku kejahatan, mencegah terulangnya kejahatan dan mengakhiri atau mencegah adanya "impunity". Selain daripada itu ketentuan tersebut dibuat berdasarkan asumsi yang dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah perang di dunia bahwa pada umumnya ada OklOiJer - DesemiJer 200! Azas Pelengkap Sta/uta Rama 1998 tentang ICC 355 kecenderungan pada negara-negara nasional untuk tidak mgm (keengganan) mengadili warganegaranya sendiri. Juga dalam rangka kerja-sama internasional dan bantuan hukum antara ICC dengan negara pihak, dimana dimungkinkan kewajibankewajiban internasional negara pihak yang didasarkan pada perjanjian bilateral dengan negara lain dapat dikesampingkan demi mendahulukan kewajiban hukum internasional kepada ICC, dan ketentuan-ketentuan lain yang memberikan kesan mengesampingkan aspek kedaulatan negara. Hal itu semua karena didorong oleh tujuan demi suksesnya pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam rangka menegakkan keadilan, hak-hak asasi manusia, keamanan, perdamaian dan kesejahteraan dunia. Setelah mengkaji berbagai permasalah sekitar pelaksanaan yurisdiksi ICC, maka dalam kerangka ratifikasi perlu dikaji sampai sejauh mana manfaatnya bagi kepentingan nasional, hal mana tergantung pada persepsi negara nasional yang tentunya didasarkan pada berbagai pertimbangan antara lain aspek hukum dan aspek politik. Jika persepsi negara nasional didasarkan pada pertimbangan bahwa demi efektifitas kerja ICC sebagai lembaga peradilan internasional yang bertujuan menghukum pelaku-pelaku kejahatan yang serius dan mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia dan mengakhiri impunity serta didasarkan pad a pengalaman dalam sejarah perang dunia bahwa adanya kecenderungan negara-negara nasional untuk tidak ingin mengadili warganegaranya sendiri, maka persepsi ini lebih didasarkan pada pendekatan hukum (legalitas). Jika pendekatan ini memang dirasakan sebagai kebutuhan bagi suatu bangsa dalam peranannya ikut serta memelihara perdamaian dan keamanan internasional. maka keikutsertaan pada ketentuan statuta tersebut tidak akan dirasakan sebagai suatu kerugian. Tetapi jika persepsi negara nasional tersebut tidak semata-mata didasarkan pada pendekatan hukum tetapi juga memperhatikan aspek kepentingan nasional lainnya seperti politik,. terutama misalnya dalam masalah kejahatan perang atau pelanggaran HAM baik yang berhubungan dengan sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional, dimana kejahatan perang atau pelanggaran HAM yang timbul itu sebagai sisi negatif dalam perjuangan bangs a yang mulia dalam upaya menegakkan perdamaian dan keamanan serta kesatuan dan persatuan bangsanya , sehingga upaya untuk menyelesaikan/mengatasi sisi negatifnya itu tidak selalu melalui proses peradilan, mung kin melalui proses rekonsiliasi atau perdamaian. Maka jika pendekatan ini yang ditempuh Nomor 4 Tahun 2001 356 Hukum dan Pembangunan ketentuan dalam statuta itu akan dirasakan tidak bennanfaat, karena tidak memberikan kesempatan kepada negara nasional sebagai negara berdaulat untuk mencari penyelesaian sendiri. Namun demikian, terlepas dari permasalahan tersebut di atas, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa StalUta Roma te lah disahkan dalam Komperensi Diplomatik PBB pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma, hal mana menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara di dunia dapat menerima keberadaan ICC, walaupun hal tersebut belum menjamin bahwa clalam waktu dekat ini Statuta Roma sudah dapat berlaku. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka cepat atau lambat Statuta Roma akan berlaku dan Indonesia harus menentukan sikapnya. Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam Statuta Roma , Indonesia harus mempersiapkan diri agar jajaran peradilan mulai dari aparat penyelidik, penyidik, penuntut umum dan pengadilan berjalan efektif dan efisien serta profesional di dalam meningkatkan kemampuan teknis dan pengetahuan sehingga tidak ada eelah-eelah untuk dinilai "unwillingness" dan" unability". Hal mana dengan telah diundangkan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, merupakan wadah dan landasan hukum bagi proses penyidikan, penuntutan dan penyidangan perkara "ehe crime of genocide" dan "crimes againse humanity". namun karena dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tidak diatur tentang "war crimes", maka masih terdapat kekosongan hukum. Karena dengan meratifikasi Statuta Roma 1998 berarti negara pihak hanya sekedar menerima (mengakui) yurisdiksi ICC atas ke-empat jenis kejahatan tersebut, tetapi tidak berarti bahwa ketentuan tentang ke-empat jenis kejahatan itu berlaku dan dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan peradilan nasional, maka masih perlu segera diundangkan "Undang-Undang Hukum Perang" yang memuat ketentuan tentang kejahatan perang baik yang biasa maupun yang extra-ordinary seperti yang tereantum dalam Statuta Roma 1998. OklOber - Desemha 2IXI/