PERADILAN HAM, INDONESIA DAN PERADABAN Oleh : Artidjo Alkostar2 Sejak awal tahun 1990an, hak asasi manusia (HAM) menjadi “agama baru” dan merupakan bahasa universal dalam tata pergaulan masyarakat bangsa internasional. Membicarakan HAM berarti membicarakan tentang anak cucu Adam dan bangsa manusia, dengan tidak mebeda-bedakan suku, agama, ras, kebangsaan (nasionalisme) dan keyakinan politik. Nilai (value) dari HAM adalah kemerdekaan (liberty), pesamaan (equality), otonomi (autonomy) dan keamanan (security). Lebih dari nilai inti (core value) dari HAM adalah martabat manusia (dignity) (see Dauglass Cassel, 2001). Menghargai dan menegakan HAM merupakan syarat utama dalam pembangunan masyarakat beradab (civilized society). Untuk itu, pengakan HAM menjadi kewajiban asasi bagi umat manusia agar diri dan komunitasnya, tetap menunjukan eksistensinya dan berperan secara bermartabat. Tegaknya peradaban umat manusia, selalu berkorelasi dengan peran aktif para penegak hukum yang handal, seperti yang pernah ditunjukan oleh sejarah peradaban manusi yaitu Hammurabi, Solomon (Nabi Sulaiman), Moses (Nabi Musa), Muhammad SAW, Charlemagne, King John, John Marsall dan lai sebagainya. Disamping peran the Great Lawgiver (penegak hukum yang agung) tersebut, kesaksian sejarah juga membuktikan bahwa tegaknya HAM, keadilan dan peradaban itu terbangun oleh adanya peran pro-aktif masyarakat dalam mengontrol jalanya pemerintahan dengan (operasionalisasi kekuasaan). Interaksi positif proses jalanya pemeritahan dengan sikap kritis rakyat akan menghasilkan pemerintahan yang sehat dan menumbuhkan sikap bertanggung jawab baik pihak eksekutif, legislatif maupun 2 Disampaikan dalam diskusi HAM yang diselenggarakan oleh PUSHAM UI, Yogyakarta, 15 Juni 2002 1 yudikatif. Interaksi politik yang transparan dan penyelenggaraan kekuasaan negara yang terkontrol dan bermuatan spirit kerakyatan akan mengeliminasi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berbentuk korupsi politik dan pelanggaran HAM yang berarti. Rezim ultranasionalis dan resialis NAZI di Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM berat, sehingga para pejabat teras rezim Nazi Hitler di seret ke Mahkamah HAM Internasional yaitu Pengadilan Nuremberg. Pada era 1930an sampai 1945 itu banyak pelanggaran HAM selain dilakukan oleh Nazi Hitler, juga dilakukan oleh Fascis Itali dan Imperialis Jepang yang mengakibatkan terjadinya Revolusi Perang Dunia II atau Chaos. Pelanggaran berat HAM adalah manivestasi dari ketidakberadaban atau barbarisme. Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Jepang terjadi di China, Korea, Indonesia dan lainlain. di indonesia, korban kejahatan HAM seperti korban Romusha (kerja paksa), Jughun lanfu (budak seks) dimensi hukumnya masih menjadi persoalan, baik di Jepang sendiri maupun di tempat diman korban berdomisili, termasuk di China dan Korea. Naziisme, Fascisme, Ulteranasionalisme dan Imperialisme yang terjadi dan memicu Perang Dunia II itu telah merobek perdaban dan melakukan pelanggaran HAM berat dengan cara melecehkan martabat manusia ___dengan berbagai corak dan variasinya. Seperti kejahatan perang, pembunuhan sistematis terhadap ras tertentu, perbudakan dan lain sebagainya. Setelah terjadi Chaos, masyarakat Internasional melalui PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) memformulasikan Kosmos yaitu aturan umum tentang HAM yang dikenal dengan nama Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Penyelesain pelanggaran berat di era sebelum dan pada waktu Perang Dunia II itu di selesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM Internasional ad hoc, yaitu Nuremberg Tribunal yang dibentuk oleh negara sekutu, dan Tokyo Tribunal yang di bentuk oleh negara Amerika Serikat. 2 Pelanggaran HAM sistemik yang dilakukan oleh Pemerintahan Apartheid di Afrika Selatan berakhir dengan membentuk Kosmos yaitu Konstitusi Revolusionedan membentuk South Africa’s Truth and Reconciliation Comission (TRC). Pelanggaran HAM dengan corak keberutalan yang dilakukan Pesiden Slobodan Milosevic di Bosnia Hesegovina diakhiri dengan mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Milosevic dan kroninya dengan mekanisme pengadilan HAM Internasional ad hog yang dibentuk oleh PBB (dipelopori oleh Dewan Keamanan PBB) yaitu the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY). Dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rwanda diselesaiakan melaui pembentukan Mahkamah HAM Internasional yang dibentuk oleh PBB juga yaitu The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Hingga saat ini ada beberapa model (Cassel, 2002) dalam upaya menuntut dan mengadili pelanggaran HAM berat, yaitu: 1. Penuntutan dan Pengadilan Reguler, seperti penuntutan terhadap Pinoched di Chilli, John Walker Lind di Amerika Serikat 2. Internasional atau Extra-teritorial, seperti tuntutan Spanyol untuk mengekstradisi Phinoched dari Inggris 3. Nasional tapi spesial, sperti pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dalam kasusu pelanggaran HAM di Timor Timor, dan/atau (yad) Tanjung Priok. 4. Mix model seperti dicontohkan di Sierra Lione dan Kamboja, dimana mayoritas hakimnya dari kamboja dan selebihnya dari negara lain yang difasilitasi PBB, atau sebaliknya. Dan di Kamboja ini belum terlaksana karena PBB keberatan untuk bergabung karena Pemerintahan Kamboja cenderung akan melindungi kroni Pol Pot, sehingga pengadilannya diprediksi akan menjadi sandiwara hukum. 5. Internasional ad hoc, seperti dicontohkan dalam ICTY dan ICTR. 3 6. Pengadilan yang administrasinya dilakukan oleh PBB seperti yang dilakukan di Kosovo dan Timor Timur selama berada dalam kekuasaan UNTAET, karena di daerah tersebut belum ada pemerintahan . 7. Pengadilan Internasional yang permanen, yang otoritasnya global seperti halnya ICC (the International Criminal Court). 8. Pengadilan Militer regular yang mengadili tentara dan musush tentara. 9. Pengadilan Militer Khusus Model pengadilan dalam upaya mengadili pelanggaran HAM berat ini terlihat tergantung pada kondisi sosial politik dari negara yang bersangkutan. Tetapi yang terpenting bagi proses suatu pengadilan HAM adalah tegaknya keadilan dan pemulihan ketertiban. Hal ini menurut adanya pengadilan yang independen, dukungan nasional dan internasional, serta adanya legitimasi sosial, maral dan yuridis. Pengadilan pelanggaran HAM dengan terdakwa Slobodan Milosovic sebagai mantan presiden (eks) Yugoslavia merupakan pengadilan kejahatan perang terbesar setelah Nuremberg. Milosovic merupakan (mantan) Presiden pertama yang diadili Pengadilan HAM Internasional dengan dakwaan melakukan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes). Seperti haslnya kasus Rwanda ada Perdana Menteri Jean Kambandda yang (akan) didakwa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan genosida di Tribunal ICTR. Makna simbolik dari pengadilan (HAM) Milosovic menunjukan bahwa setiap kekuasaan selalu memiliki batas limitasinya sendiri. Seperti juga dipertontonkan oleh kekuasaan Hitler, Mussolini, Idi Amin, Ferdinand Marcos, Pinochet, Soeharta dan lain-lain. Sejarah mengajarkan bahwa tidak ada kekuatan suatu rezim yang abadi, sebaliknya kekuasaan alamiah haru selalu tunduk dan bertanggung jawaab kepada 4 rakyat, hati nurani dan hukum. Dampak dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa diktator berpengaruh buruk terhadap kondisi makrokosmos dan mikrokosmos kondisi buruk makrokosmos berupa terpuruknya kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan hukum. Seperti halnya terlihat pada masa dan pasca rezim Marchos di Philipina dan Soeharta di Indonesia. Dampak kondisi mikrokosmos yaitu kondisi phisik dan kejiwaan dari para pelaku kejahatan kemanusiaan, Hitler bunuh diri karena taakut pada bayangan perbuatannya sendiri, Idi Amin tidak sanggup menatap mata rakyatnya yang pernah dilanggar haknyaa, sehingga dia harus mencari suaka di negeri orang, markos terpaksa harus di asingkan ke negara lain, Pinochet dikejar-kejar oleh oran atau keluarga yang pernaah didhalimi, sehingga dimasa tuanya jiwanya selalu gelisah. Soeharta lebih aneh lagi, karena dimas tuanya tidak mau untuk dikatakan sehat, karena kalau sehat ditunggu oleh pengadilan. Di awal taahun 2000 terjadi adanya kemajuan dari Internasional Humen Rights Law (IHRL), yang memiliki sisi lain dari Internasional Humanitarian Law (IHL), dimana UNIVERSAL JURISDICTION menjadi topik utama dari dalam IHRL. Universal Jurisdiction merupakan VISI baru dari IHRL. Secara yuridis, ada ketentuan yang ditetapkan dalan the International Criminal Court (ICC). Dengan adanya the Rome Statute, ICC mempunyai yurisdiksi untuk menuntut dan mengadili pihak yang Non State Partites (negera yang tidak meratifikasi) yang melakukan kejahatan di dalaaam teri toriaal dari States Partites (negara yang mertifikasi) atau dalam territoriaal negara-negara yang menyetujui yurisdikasi ICC. ICC bukan hanya pengadilan yang mengadili perkara antara negara satu denga yang lain, separti International Court of Justice, tetapi lebih dari itu merupakan A criminal Court. Dan tidaka hanya mendakwah dan mengadili para tiran dari negara-negara kecil seperti yugoslavia dan Rwanda, tetapi dapat menyeret dan mengadili para pemimpin negeranegara besar. Paradigma dari Universal Jurisdiction adalah globaal justice. Pada saat 5 ini universal jurisdiction merupakan tantangaan bagi Pengacara, Jaksa dan Hakim untuk memperluas wawasan mereka tentang keadilaan hakiki, hak asasi dan nilai kemanusiaan. Sebagai suatu ide bagi komunitas internasional, universal jurisdiction selalu berkorelasi dengan world law, global justice, dan democracy in the world. Sebagai salah satu kasus yang melibatkan universal jurisdiction adala perkara negara Congo melawan Belgium yang ditangani oleh the International Court of Justice (ICJ) selaku organ pokok dari PBB. Putusan ICJ yang di umumkan 14 Februari 2002, dimana Menteri Luar Negeri Congo, Mr. Abdulaye Yerodia Ndombosi di adukan oleh Pemerintah Belgium karena dianggap melakukan kejahatan perang dan genosida. Kendatipun perbuatan Mr. Yerodia itu tidak terjadi di dalam territorial Belgium. Hal ini menunjukan bahwa spirit dari hukum Belgium adalah universalisme, dimana pengadilan Belgium diberi mandat oleh hukum untuk mengadili setiap kasus kejahatan perang dan genosida, dengan tidak membedakan (mempertimbangkan) dimana kejahatan itu terjadi dan dilakukan oleh siapa. Lebih dari itu, Pengadilan Belgium memiliki otoritas untuk mengadili secara in absentia. Fenomena ini menunjukan bahwa dimas mendatang tidak ada tempat bagai pelanggar HAM untuk bersembunyi. Pelanggaran HAM dimaksud termasuk vertikal konflikdan horizontal konflik seperti yang terjadi di Rwanda. Universal jurisdiction memberi pelajaran bagi komunitas internasional bahwa permasalahan dunia terutama yang menyangkut pelanggaran HAM, akibat buruk bagai peradaban serta kompleksitas bukunya, tidak dapat diselesaikan oleh hanya satu ras bangsa (tertentu) saja, atau satu negara saja, tetapi harus melibatkan komitmen komunitas internasional, hubungan antar bangsa, komunitas LSM yang memiliki kepekaan, kepedulian dan komitmen bagi peradaban umat manusia. Dalam mas transisi dari rezim otoritarian orde lama ke arah pemerintahan negara demokratis di Indonesia saat ini, Pengadilan HAM Indonesia dapat 6 memainkan peran penting dalam proses membangun Indonesia masa depan. Kepercayaan rakyat di dalam negeri dan dunia Internasional akan pudar apabila Pengadilan HAM gagal memainkan strateginya menegakan keadilan hakiki dan tegaknya hukum secara otentik. Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab mempunyai tanggung moral yuridis dan politis untuk memacu terlaksananya supremasi hukum dan menuntaskan masalah pelanggaran HAM yang terjadi selama orde baru dan sesudahnya. Tegaknya supremasi hukum di Indonesia akan menjadi batu ujian apakah bangsa Indonesia mampu dan bersunguh-sunguh menegakkan keadilan dan menghormati HAM dalam upaya menuju masyarakat beradab, atau kalau gagal akan mengalami kebangkrutan moral yang berkepanjangan. Pengadilan HAM di Indonesia merupakan salah satu bagian dari Sistem Peradilan di Indonesia. Pengadilan HAM memiliki tugas penting untuk membangun rasa kepercayaan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kedaulatan dan kepastian hukum di Indonesia saat ini. Pengadilan merupakan pengantar (agent) dari peradaban, demokratisasi dan pembebasan. Proses pengadilan yang anggun dan kredibel akan mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan pesan pendidikan nurani bagi bangsa manusia. Proses peradilan merupakan interakasi naluri kemanusiaan dan akal sehat. Nilai kemanusiaan sebagai anugrah dari Allah Yang Maha Kuasa merupakan suatu yang sakral. Untuk itu, pengadilan di Indonesia harus mampu meningkatkan penghargaan terhadap martabat manusia, intefritas nasional dan kepercayaan Internasional. Eksistensi dan peran pengadilan HAM adalah menghargai nilai kemanusiaan, hak-hak korban, hak-hak pelaku, sensitifitas sosial dan moralitas universal. Syarat lain untuk membangun kepercayaan publik dan integritas pengadilan adalah menjamin Independence Judiciary (independensi pengadilan). Ada sekita 20 pasal yang mengatur prinsip dasar (basic priciples) tentang independence judiciary 7 yang di tentukan oleh PBB tahun 1985. Pasal-pasal tersebut antara lain menentukan bahwa “The independence of the judiciary shall be guaranted by the State and enshirned in the Constitution or law of the country. It is duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary”. Untuk itu pemerintah Indonesia, pengadilan itu sendiri, dan masyarakat harus menjaga, membangun dan menjamin independensi pengadilan di Indonesia. Tegaknya keadilan dan supremasi hukum merupakan salah satu jalan menuju pencerahan bagi Indonesia masa depan. Hukum selalu terlibat dan mengikuti revormasi. Revolusi yang baik adalah revolusi yang melibatkan dan dipandu oleh hukum, dan menghasilkan sesuatu yang berkeadilan. Hukum yang baik akan membari jalan revolusi yang baik. Hukun yang baik akan menjadi pemberi arah bagi peradaban. Pengadilan HAM adil merupakan suatu proses sosialisasi bagi pendidikan rakyat agar menghormati dirinya sendiri, orang lain dan seluruh komunitas manusia. 8