Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana Inle17U1Sional 313 YURISDIKSI DAN "ADMINISSmILITY" PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL' Muladi Penulis artikel ini mengulas yurisdiksi dan administrasi Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional tersebut didasarkan atas Statuta Rorna tentang Pidana lnternasional 1998. Pembahasan yurisdiksi ICC dikaitkan dengan pokok perkara, waktu, teritorial dan personal. Pembahasan administrasi ICC, misalnya, dikaitkan dengan apakah suatu kasus dapat diterirna atau tidak. Pengantar Langkah untuk memidana para pelaku kejahatan perang (war criminals) sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno atas dasar pandangan dan kepercayaan yang bersumber pada agama dan filsafat. Hal ini menumbuhkan keyakinan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat fundamental yang tak dapat dilanggar. Pada tahun 1474 seorang yang bernama Peter von Hagenbach telah dipidana mati (dipenggal kepalanya), karena telah melakukan kekejaman (atrocities) dalam pendudukan kota Breisach. Dalam perang saudara (civil war) Amerika terdapat larangan dilakukannya perilaku tidak manusiawi dengan ancaman pidana berat termasuk pidana mati. Dapat dicatat bahwa Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 merupakan kodifikasi pertama tentang hukum perang, 1 Disampaikan pacta Lokakarya tentang Pembahasan Statuta Roma 1998 (lCC). Hotel Millenium, Jakarta, 23-24 Oktober 2001. Nomor 4 Tahun 2001 314 Hukum dan Pembangunan yang lebih menekankan pada kewajiban dan tugas negara~negara serta tidak dimaksudkan untuk menciptakan pertanggungjawaban pidana secara individual. Baru dalam pengadilan penjahat perang di Nuremberg hal ini diterapkan. Perjuangan untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court = fCC) telah dimulai 50 tahun yang lalu untuk mengadili pelanggaran HAM berat seperti "genocid". Hal ini nampak dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 260 tanggal 9 Desember 1948, yang mengadopsi "Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocid". Di sini antara lain ditekankan betapa pentingnya kerjasama internasional untuk membebaskan manusia dari perbuatan~ perbuatan kejam dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi kemanusiaan. Kerjasama internasional di sini berkaitan dengan usul tentang kemungkinan adanya "international penal tribunal" atau "international judicial organ" dan untuk itu ditugaskan kepada "the International Law Commission" (lLC) untuk mengkajinya. Dalam hal ini Prof. Bassiouni bahkan menyatakan bahwa perjuangan tersebut sudah dimulai sejak tahun 1919 sebagai akibat Perang Dunia I. Selanjutnya dipersiapkan suatu komite untuk mempersiapkan proposal. Rencana Statuta selesai pada tallUn 1951 yang kemudian direvisi pada tahun 1953. Penundaan pembahasan oleh Majelis Umum PBB terjadi akibat masih adanya persoalan yang berkaitan dengan definisi Agresi (Agression). Pada bulan Desember 1989 Majelis Umum PBB minta ILC untuk mengkaji kemungkinan yurisdiksi ICC mencak.'Up juga perdagangan obat bius (drug trafficking). Selanjutnya pada tahun 1993 ketika konflik di bekas Jugoslavia merebak, muncul dakwaan telah terjadinya "war crimes. crimes against humanity and genocide" bahkan dalam bentuk "ethnic cleansing". Hal ini lebih mendorong usaha untuk mengkahiri penderitaan manusia yang meluas. Dibentuklah kemudian apa yang dinamakan "the ad hoc International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia" untuk mengadili para pelanggar. Tidak lama setelah itu ILC telah menyelesaikan Rancangan Statuta ICC dan pada tahun 1994 Rancangan ini disarnpaikan kepada Majelis Umum PBB. Majelis kemudian membentuk Komite ad hoc untuk pembentukan ICC yang mengadakan rapat dua kali pada tahun 1995. Selanjutnya Majelis Umum membentuk Komite Persiapan llmuk mempersiapkan "consolidated draft text" dalam rangka konperensi diplomatik. Kornite persiapan ini bertemu mulai tahun 1996~ 1998, dan Oktober - Desember 200] Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana lnternasional 315 pada sidang terakhir bulan Maret dan April 1998 teks Rancangan berhasil disempurnakan. Pada sidang yang ke-52 , MU PBB memuruskan untuk menyelenggarakan "UN Diplomatic Conference of Penipotentiaris · on the Establishment of an ICC" di Roma mulai tanggal 15 luni sampai 17 luli 1998 untuk menuntaskan dan mengadopsi konvensi tentang pembentukan ICC tersebut, yang kemudian terkenal dengan nama The Rome Statue of the ICC, UN Doc. Al Con! J83/9 (17 luli 1998). Urgensi Keberadaan ICC Dalam rangka operasionalisasinya, efektivitas penerapan Statuta ICC tidak terlepas dari "legal spirit" yang menggambarkan mengapa ICC diperlukan. Dalam hal ini ada "general spirit" berupa semangat universal untuk mengamankan penghormatan terhadap HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan dasar (fundamental freedom). Lebih-Iebih di dalam situasi konflik. Di samping spirit yang bersifat umum tersebut, ada spirit yang bersifat kJ1UsuS (specific spirit) sebagai berikut : (a) Menciptakan keadilan bagi semuanya (to achieve justice for all). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa ICC sebenamya merupakan "the missing link" dalam sistem hukum internasional. Apa yang dinamakan the International Court of Justice (ICJ) di Den Haag , mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus antar negara (cases between States), bukan individual dan ICC menangani mekanisme penegakan hukum yang berkaitan dengan pertanggung jawab pidana individual (individual responsibility) yang dituduh melakukan pelanggaran HAM be rat (gross violation of human rights) ; (b) Untuk mengakhiri apa yang disebut "impunity" (sikap mengabaikan tanpa mernberi hukuman); Pada masa lalu apa yang dinarnakan "the principle of individual criminal accountability" dalam pelanggaran HAM berat dianggap sebagai sesuatu yang monumental (cornerstone) dalam hukum pidana internasional. Hal ini harus diterapkan secara merata dan tanpa perkecualian karena hierarchi , baik di lingkungan pemerintahan sipil maupun militer (constitutional responsible rulers, public officials or private individuals); Nomar 4 Tahun 2001 316 Hukum dan Pembangunan (c) Untuk membantu mengakhiri konflik. Keberadaan pengadilan kriminal internasional ini, sebagaimana pengadilan-pengadilan ad hoc semacam (Fromer Jugoslavia, Rwanda), diharapkan dapat menimbulkan efek pencegahan (deterrent effect) dan mengakhiri pelbagai konflik yang terjadi (misalnya "ethnic conflict") yang disertai dengan kekerasan dan kekejaman; (d) Untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan (deficiencies) dari pelbagai pengadilan ad hoc yang ada; Pelbagai pengadilan ad hoc yang telah digelar (misalnya Fromer Jugoslavia dan Rwanda), banyak dikritik karena memberlakukan keadilan selektif (selective justice). Seharusnya harus diterapkan secara konsisten di tempat lain seperti Kamboja dan lain-lain . Keterlambatan pembentukan mahkamah ad hoc mempunyai implikasi yuridis yang berat seperti hilang atau hancurnya barang-barang dan alat bukti, larinya tersangka, para saksi sudah pindah dan su lit dicari, atau diintimidasi. Investigasi menjadi sangat mahal dan kehendak politik untuk memberi mandat menjadi sangat lemah. Keterbatasan mahkamah ad hoc atas dasar waktu dan tempat mempersulit keleluasaan penegakan hukum. Sebagai contoh adalah terjadinya pembunuhan terhadap ribuan pengungsi konflik etnik di Rwanda, tetapi mandat Mahkamah ad hoc untuk Rwanda terbatas untuk kasus-kasus yang terjadi setelah itu. (e) Mengambil alih, seandainya lembaga peradilan pidana nasional tidak mau atau tidak mampu berbuat (unwilling or unable to act). Secara normal lembaga nasional harus diberi kesempatan pertama untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat. Namun dalam situasi konflik, baik internal atau internasional, lembaga-lembaga peradilan nasional seringkali tidak mau dan tidak mampu berbuat, baik karena harus mengadili warganegaranya send iri yang kadang-kadang posisinya sangat tinggi ataupun karena ketidakberdayaan (collapsed) lembaga peradilan terse but seperti yang terjadi di Rwanda ; (f) Untuk mencegah timbulnya kejadian serupa di masa datang. Kecuali beberapa pengadilan mil iter setelah Perang Dunia II dan . Pengadilan ad hoc untuk bekas Jugoslavia dan Rwanda, seringkali pelanggar HAM berat di mas a lalu lolos dari proses pengadilan. Dengan demikian "effective deterrence" tujuan utama pembentukan ICC. Oktober - Desember 2001 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana Internasional 317 Menurut Prof. M. Cherrif Bassiouni (sering diberi predikat sebagai "father of the ICC), tanggal 17 Juni 1998 yaitu saat diadopsinya Statuta ICC , tidak hanya merupakan "point of arrival" , tetapi juga merupakan saat keberangkatan menuju suatu tujuan baru yaitu ber!akunya Statuta ICC secara efektif (the entry into force) melalui ratiflkasi 60 negara. Hal ini jelas merupakan kontribusi yang visioner kepada "an international rule of law". Jangkauan Statuta Statuta ICC yang oleh Scabas disebut sebagai "a benchmark in the progressive development of international human rigahts", dan oleh seorang penulis yang lain Johansen dinamakan "the most important institutional innovation since the founding of the United Nations" , mengatur substansi yang sangat lengkap, baik yang mengatur hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum adminstrasi. Sistematikanya adal:ih sebagai berikut : Preamble Part 1 Establisment of the Court (Art. 1-4); Part 2 Jurisdiction, Admissibility and Applicable Law (Art. 5-21); Part 3 General Principles of Criminal Law (Art. 22-33); Part 4 Composition and Administration of the Court (Art. 34-52); Part 5 Investigation and Prosecution (Art. 53-61); Part 6 The Trial (Art. 62-76); Part 7 Penalties (Art. 77-80); Part 8 Appeal and Revision (Art. 81 -85); Part 9 International Cooperation and Judicial Assistance (Art. 86-102); Part 10 Enforcement (Art. 103-111); Part 11 Assembly of State Parties (Art. 112); Part 12 Financing (Art. 113-118); Part 13 Final Clauses (Art. 119-128). Namar 4 Tahun 2001 318 Hukum dnn Pembangunan Yurisdiksi ICC Di atas telah disinggung bahwa ICC yang akan berkedudukan di Den Haag Belanda akan menjadi pelengkap dari the International Court of Justice (ICJ) yang sudah ada di sana, yakni suatu pengadilan yang mengadili perselisihan antar negara sebagai negara. Di lain pihak ICC berkaitan dengan proses penuntutan dan pemidanaan terhadap individual. Bahkan terbuka luas peran serta individual sebagai korban (Art. 68 Statuta ICC). Yurisdiksi merupakan parameter hukum (legal parameters) yang berkaitan dengan pelbagai situasi yang berkaitan dengan dilakukannya kejahatan dan dapat dijadikan pedoman bagi bekerjanya atau berjalannya pengadilan. Yurisdiksi ICC berkaitan dengan pelbagai parameter sebagai berikut : 1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara (Subjecr maller jurisdiction) (ratione materiae); Hal ini menunjuk kepada perlbagai kejahatan sangat be rat (the most serious crimes) dalam hal mana ICC berwenang untuk memprosesnya. Kejahatan-kejahatan tersebut adalah : Genocida (the crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan agresi (the crimes of aggression). (Art . 5.1) Pada Art. 5.2 dinyatakan bahwa sepanjang mengenai kejahatan agresi , Pengadilan hanya akan menetapkan yurisdiksinya setelah ada kesepakatan terhadap definisi kejahatan agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan Pengadilan menerapkan yurisdiksinya dalam kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta yang mengatur tentang amandemen melalui "Review Conference" yang dapat dilakukan setelah 7 (tujuh) tahun sejak berlakunya secara efektif Statuta ICe. Catatan : Untuk memperjelas unsur-unsur kejahatan terkait, dapat dikaji rumusan Rancangan final tentang "the elements of crimes" dari laporan Komite Persiapan ICC. 2. Turisdiksi yang berkaitan dengan waktu (Temporal jurisdiction) (ratione temporis). Berbeda dengan beberapa tribunal ad hoc sebelumnya yang memungkinkan kewenangan tribunal untuk menerapkan prinsip retro- Oktober - Desember 200J Yurisdiksi dan Admissibility Pengailiian Pidann Internasiannl 319 aktif dengan alasan keadilan atau atas dasar penerapan hukum kebiasaan internasional. Hans Kelsen misalnya saja dalam hal ini menyatakan bahwa as as nullum crimen merupakan asas keadilan (principle of justice) dan membiarkan tokoh-tokoh NAZI bebas tanpa pemidanaan adalah sesuatu yang tidak adil (unjust). ICC secara tegas menerapkan asas legalitas yang tidak memungkinkan penerapan peraturan berlaku surut (nullum crimen nulla poena sine lege). (Art. 11 (1) dan Art. 24). Kritik terhadap ICC tentang hal ini diserahkan jawabannya kepada pengadilan nasional masing-masing dan apabila dilakukan oleh negaranegara yang jumlahnya banyak, tidak mustahil dilakukan amandemen sesuai prosedur yang berlaku yang diatur dalam Art. 121 dan 123 Statuta (universal jurisdiction). Berlakunya asas legalitas tersebut mengandung perkecuaJian yang dialUr dalam Art. 12 (3) jo Art. 11 (2) yaitu apabila negara yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (ad hoc declaration) yang diajukan pada Panitera bahwa negara tersebut dapat menenma pelaksanaan yurisdiksi oleh Pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan yang bersangkutan yang dilakukan pada masa lalu, sesuai dengan Bagian 9 Statuta (International Cooperation and Judicial Assistance). Asas legalitas ini dalam konteks yang berbeda juga tersurat dan tersirat dalam Art 22 dan 23 Statuta ICC. Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya (continuous crimes), maka penyelesaiannya sepenuhnya pada pertimbangan Pengadilan. 3. Yurisdiksi territorial (space/territorial jurisdiction) (ratione loci); Asas ini diatur dalam Art. 12 (2) (a) yang menegaskan bahwa Pengadilan mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan si pelaku. Pengadilan juga mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara-negara yang menerima yurisdiksinya atas dasar pernyataan ad hoc (ad hoc declaration) dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan Territorial atau wilayah diperJuas tidak hanya mencakup daratan. Di dalam Statuta ICC konsep wilayah mencakup pula kapal (on board vessel) dan pesawat terbang (aircraft) yang didaftarkan di negara peserta. Namar 4 Tahun 200] 320 Hukum df1n Pembangunan 4. Yurisdiksi personaIJindividual (personnaljurisdiction) (ratione personae); Di dalam Art 12 (2) (b) diatur bahwa ICC mempunyai yurisdiksi terhadap warganegara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan (the State of which the person accused of the crime is a national). Atas dasar Art 12 (3) sebagaimana dikemukakan di atas, ICC dapat juga mempunyai yurisdiksi warganegara bukan peserta yang telah menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc (Art. 12 (3) ) atau mengikuti keputusan Dewan Keamanan PBB . Dalam Art. 27 (Irrelevance of official capacity) ditentukan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan Statuta berlaku sarna bagi siapa saja (shall equally to all persons) tanpa membedakan kapasitas pejabat di suatu negara apakah sebagai "Head of State or Goverment", anggota parlemen atau pejabat pemerintah yang lain. Bahkan imunitas yang melekat pada seseorang atas dasar hukum internasional (mis. Para diplomat) dalam hal ini tidak menghalangi yurisdiksi ICC (shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person) (Art. 27(2) ). Selanjutnya Art 28 seeara tegas mengatur " Responsibility of" commanders and other superiors". Komandan militer dan atasan tidak lepas dari pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan di bawah komando dan kontrol efektifnya, atau bawahannya , khususnya apabila mereka gagal untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneegah atau menekan perbuatan itu atau untuk mengajukan si pelaku kepada yang berwenang untuk penyidikan dan penuntutan, padahal ia tahu atau seharusnya tahu bahwa si pelaku sedang melakukan kejahatan. Termasuk dalam hal ini perbuatan berupa "disregarded information" yang menjurus pada kejahatan omisionis. (Art. 28 (2) (a). Pengeeualian dalam yurisdiksi (exclusion of jurisdiction) diatur dalam Pasal 26 Statuta, yaitu terhadap orang yang masih berada di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan yang dituduhkan. Selain itu terdapat suatu pasal yang "highly controversial" dan dinilai oleh sebagaian negara sebagai sebuah eaeat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (a blemish on the independence and impartiality of the Court). Pasal tersebut adalah pasal 16 yang mengatur tentang Penangguhan penyidikan dan penuntutan (Defferal of investigation or prosecution) selama duabelas bulan (bisa diperbaharui) alas permintaan Dewan Keamanan PBB setelah mengadopsi OklOber - Desember 200! Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana fnternasianal 321 resolusi atas dasar Chapter VII Piagam PBB. Yang penting dalam hal ini Dewan Keamanan (Security Councif) harus menentukan adanya "a threat to the peace", "a breach 0/ the peace" or an "act of aggression" sebagaimana diatur dalam Art. 39 Piagam PBB (Charter 0/ the .United Nations). ICC tidak boleh enggan untuk menilai alasan tersebut. Hal ini juga disebut sebagai "Security Council veto o/prosecution". Admissibility ICC Berbeda dengan yirisdiksi, 'admissibility" merupakan diskresi pada tahap lanjutan untuk menentukan apakah perkara yang berada di bawah yurisdiksi ICC dapat diadili oleh ICC. Akan nampak di sini hubungan yang kompleks antara sistem hukum nasional dan ICC. Hubungan tersebut bersifat komplementer sebagaimana ditegaskan di dalam Paragraf 10 Preamble Statuta ditegaskan bahwa "the ICC established under this Statute shall be complementary to national crimillal jurisdictions". Hal ini ditegaskan kembali dalam Art. I Statuta. Istilah "complementary" ini menggantikan istilah yang digunakan tribunal ad hoc yaitu "primacy" yang mengandung arti bahwa yurisdiksi pengadilan internasional merupakan hak. Dalam Art. 17 (1) ditegaskan bahwa ICC menentukan bahwa suatu kasus tak dapat diterima (inadmissible) apabila: (a) kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, keeuali Negara tersebut sungguhsungguh (genuinely) tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) melakukan penyidikan dan penuntutan; (b) Kasus tersebut telah disidik oleh Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, dan Negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang terlibat, keeuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan (unwilllingness) atau ketidakmampuan (inability) Negara yang sungguh-sungguh (genuinely) untuk menuntut. (Catatan: Penafsiran kata-kata sungguh-sungguh (genuinely) sepenuhnya diserahkan pada penilaian ICC); (e) Si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sarna (ne bis in idem), kecuali terjadi apa yang dinamakan peradilan pura-pura (sham proceeding) sebagai berikut : Namar 4 Tahun 200f 322 Hukum dan Pembangunan - proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi (shielding) si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau - proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka (independently) atau tidak bersifat memihak (impartially) sesuai dengan normanorma "due process" yang diakui oleh hukum internasional dan tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku. Art. 20 (3). (d) kasus tersebut tidak eukup gawat (memadai) untuk memberikan pembenaran langkah-langkah lanjutan pengadilan. Ukuran untuk menentukan ketidakmauan (unwillingness) terdapat dalam Art. 17 (2) yang mencakup standar-standar sebagai berikut: (a) proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) Terjadi keterlambatan proses peradilan yang tak dapat dibenarkan (unjust delay); (e) Proses peradilan tidak dilaksanakan seeara merdeka dan tidak ll1emillak. Selanjutnya pad a Art. 17 (3) terdapat ukuran untuk ll1enentukan ketidakmampuan (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni apabila Pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa terjadi kegagalan seeara menyeluruh atau substansial atau ketiadaanlketidaksediaan sistem pengadilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu untuk menyelenggarakan proses peradilan. Penutup Dalam hal ini perlu dihayati apa yang dikatakan oleh Prof. Cherif Bassiouni bahwa berhasil atau tidaknya ICC dalam ll1eneapai tujuannya sedikit banyak akan tergantung pada langkah-langkah ICC yang bernuansa "predictability, consistency, publicly perceived fairness, and when appropriate it must have the courage and wisdom to temper the harsness of the law, with understanding and compassion". Oktober - Desember 200/ Yurisdiksi dan Admissibility Pengadi/an Pidana Incemasional 323 Daftar Pustaka Association Internationale de Droit Penal, ICC Ratification and National Implementing Legislation , eres , 1999. Bassiouni, M Cherif, Crime Against Humanity in International Criminal Law, Martinus Nijhoff Pub!. , London, 1992. Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice , UN, New York, 1997. Forum Asia, Regional Workshop on the ICC, Bangkok, Thailand, 12-13 June 2000. Gutman, Roy and Rieff, David, Crimes of War, What the Public Should Know, WW Norton & Company , New York, 1979. Report of the Preparatory Commission for the ICC, Part 2 (Finalized Draft Text of the Elements of Crimes. Robertson, Geoffrey, Crime Against Humanity, A Struggle for Global Justice , The Penguin Press, 1999. Rome Statute oflCC , 17 July 1998. Steiner, Henry J. And Alston, Philip, International Human Rights in Context, Law, Politics, Morals, Clarendon Press, Oxford, 1996. Schabas, A, William, An Introduction to the International Criminal Court , Cambridge University Press, 2001. Nomor 4 Tahun 2001