APAKAH INDONESIA PERLU MERATIFIKASI STATUTA ICC? ROMLI ATMASASMITA1 A. Posisi Negara Peratifikasi Statuta ICC Statuta ICC dalam kerangka Hukum Internasional adalah suatu Treaty (perjanjian internasional) yang memiliki perbedaan karakteristik baik terhadap hukum perjanjian internasional (Kovensi PBB tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of the Treaty, VCLT tahun 1969) maupun terhadap perjanjian hubungan diplomatik ( Vienna Convention on Diplomatic Relations (1961)..2 Berdasarkan situs resmi ICC tercantum sebanyak 114 negara peratifikasi Statuta ICC; berdasarkan situs CICC terdapat 116 negara peratifikasi. Negara Anggota Asean yang telah meratifikasi adalah Kambodja. Anggota DK PBB yang meratifikasi Statuta ICC adalah Inggeris dan Perancis. Amerika Serikat, Cina, Rusia, Israel dan Libya, tidak meratifikasi Statuta ICC dengan pertimbangan politis. Beberapa Negara peratifikasi lainnya mengajukan deklarasi terhadap beberapa ketentuan Statuta ICC. Bahkan AS telah mengadakan Perjanjian Imunitas Bilateral (Bilateral Immunity Arrangment) dengan banyak negara peratifikasi Statuta ICC dengan “memanipulasi” ketentuan Pasal 98 Statuta ICC.3 1 Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad Perbedaan mencolok yaitu Statuta ICC menganut prinsip “non-impunity” terhadap setiap pelaku pelanggaran terhadap Statuta ICC (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) artinya, pemberlakuan ketentuan Statuta ICC tidak terikat pada ketentuan mengenai “imunitas diplomatik” sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 31 Konvensi Wina Tahun 1961 yang memberikan hak imunitas agen diplomatik suatu negara dari tuntutan pidana hukum negara setempat. Statuta ICC (1998) berbeda mendasar dengan VCLT (1969) karena perjanjian pembentukan ICC bersifat imperatif-represif serta dikesampingkan kemungkinan untuk reservasi, dan tidak eksplisit memberikan pengakuan atas prinsip “state sovereignty” sebagaimana lazimnya terdapat pada setiap perjanjian internasional. 33 Pasal 98 Statuta ICC: di bawah titel :”Cooperation with respect to waiver of immunity and consent to surrender: (1) The Court (ICC,pen,) may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested State to act inconsistently with its obligation under international law with respect to the State or diplomatic immunity of a person or property of a third State, unless the Court can first obtain the cooperation of that third State for the waiver of the immunity”. (2) The Court may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligaitons under international agreements pursuant to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the sending State for the giving of consent for surrender. 2 1 B.Kedudukan dan Yurisdiksi ICC Pengakuan atas Statuta ICC sejak draft awal tahun 1974 yang telah disusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB dan telah diberlakukan efektif sejak tanggal 17 Juli 2002 telah melaluli jalang panjang dengan perdebatan khususnya mengenai eksistensi dan legalitas ICC. Statuta ICC adalah suatu perjanjian internasional pembentukan ICC untuk memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights) seperti, genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Tujuan Statuta ICC antara lain menegakkan hukum internasional terhadap pelanggaran HAM yg berat sehingga dicegah munculnya kezaliman dan impunitas atas pelaku pelanggaran ham yang berat di satu sisi, dan di sisi lain korban pelanggaran ham yg berat tsb tetap dijamin memperoleh perlindungan hukum paripurna termasuk kompensasi dari negara atau pelaku. Persoalan mendasar bagi negara peserta dalam pembahasan draft statuta adalah, yurisdiksi ICC ke dalam yurisdiksi pengadilan nasional. Negara peserta akhirnya sepakat bahwa ICC merupakan pelengkap yurisdiksi pengadilan nasional (asas komplementaritas) dan hanya akan mengambil alih yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan nasional tidak ada keinginan (unwilling) atau tidak ada kemampuan (unable) untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan mandiri. C.Posisi ICC terhadap Negara Peratifikasi dan Non-Peratifikasi Implementasi yurisdiksi ICC terhadap kedaulatan hukum negara peratifikasi relatif lebih efektif dibandingkan dengan negara non-peratifikasi dengan alasan pertama, terhadap Statuta ICC, negara peratifikasi tidak dapat mengajukan resrervasi (non-reserved convention)4 sehingga setiap negara peratifikasi wajib (mandatory obligation) melaksanakan seluruh ketentuan dalam Statuta ICC. Kewajiban atas Statuta tersebut tidak dapat ditolak atau dihindari dengan alasan bahwa ketentuan ICC bertentangan dengan sistem hukum nasional negara peratifikasi.5 Alasan kedua, Statuta ICC tidak mengakui hak imuntas diplomatik Pasal 120 Statuta ICC:” No reservation may be made to this Statute”. Pasal 27 di bawah titel, Part III Observance, Application and Interpretation of Treaties” dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (UN Convention on the Law of Treaties-VNLT-1969) menegaskan sebagai berikut:” A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46. Article 46 di bawah Section 2 “Invalidity of Treaties; menyatakan: (1) A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding 4 5 2 kepala negara atau menteri atau pejabat negara lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negara ybs. Bagi negara non-peratifikasi, hak imunitas diplomatik masih melekat sepenuhnya dan tidak dapat dipengaruhi oleh keberadaan Statuta ICC.Alasan ketiga, ICC memiliki kewenangan untuk menentukan apakah negara peratifikasi tidak memiliki keinginan (unwilling) atau tidak memiliki kemampuan(unable) untuk melaksanakan peradilan atas pelanggaran HAM yang berat secara independen dan bebas dari tekanan dan atau pengaruh apapun.6 Alasan keempat, ICC berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang telah diputus oleh pengadilan nasional yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.7 Alasan kelima, sekalipun secara eksplisit ICC hanya berlaku prospektif (non-retroaktif) akan tetapi kebiasaan dan praktik pembentukan Mahkamah Adhoc terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat sebelum dibentuk ICC telah berjalan sejak pembentukan Mahkamah Adhoc Rwanda (1993) dan Yugoslavia (1994). Sedangkan sistem hukum pidana Indonesia sesuai dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) menganut asas non-retroaktif tidak ada kekecualian serta menganut asas ne bis in idem (non bis in idem) sesuai Pasal 76 KUHP. D. Asas Non-Retroaktif Ketentuan ICC hanya diberlakukan untuk pelanggaran HAM berat setelah terbentuknya ICC (non retro-aktif), akan tetapi terbuka kemungkinan untuk diberlakukan retroaktif, jika didasarkan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, sebagaimana pembentukan Mahkamah Adhoc untuk Yugoslavia, Rwanda, dan Kamboja. Pemberlakuan retroaktif tsb di atas merupakan precedent atas keberhasilan proses peradilan terhadap pejahat perang dunia kedua di Nuremberg dan Tokyo, yang kemudian dinyatakan sebagai salah satu prinsip umum hukum internasional untuk pelanggaran HAM berat. competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and oncerned a rule of its internal law of fundamental importance. (2) A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. 6 Pasal 17 Statuta ICC 7 Pasal 20 Statuta ICC di bawah titel “Ne bis in idem” menyatakan sebagai berikut: (3) No person who has been tried by another court for a crime referred to in article 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the other court: (a) were for the purpose of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court; or (b) Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in a manner which, in the circumstances, was inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice. 3 Pembentukan Mahkamah Adhoc berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB (RDKPBB) dan putusan yang telah dilaksanakan merupakan kebiasaan dan praktik hukum internasional atau yurisprudensi yang diakui sebagai salah satu sumber hukum internasional. Atas dasar kebiasaan dan praktik serta yurisprudensi tersebut maka sangat sulit bagi negara peratifikasi Statuta ICC untuk menolak pengajuan resolusi DK PBB pembentukan Mahkamah Adhoc dibandingkan dengan negara anggota tetap DK PBB -karena memiliki hak veto- sekalipun negara ybs tidak menjadi negara peratifikasi Statuta ICC. Selain pertimbangan di atas, keberadaan ICC masih memiliki kelemahan karena sampai saat ini organisasi ICC di dalam struktur organisasi PBB belum dapat dipastikan apakah merupakan lembaga berdiri sendiri dan independen, seperti International Court of Justice (ICJ) atau lembaga berada di bawah Dewan Keamanan PBB. Satu hal yang pasti dari ketentuan Statuta ICC, ialah bahwa, peranan dan pengaruh DK PBB tidak dapat diragukan yang secara eksplisit terdapat di dalam ketentuan yang menegaskan bahwa, Jaksa Penuntut internasional tidak dapat memulai penyidikannnya di dalam tenggat waktu 12(duabelas) bulan sebelum DK PBB memutuskannya.8 E. Posisi Indonesia terhadap kepentingan meratifikasi Statuta ICC Persoalan Statuta ICC bagi Indonesia mengenai apakah Indonesia perlu meratifikasi Statuta ICC dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Di dalam hukum internasional khususnya di dalam Piagam PBB tidak ada satupun ketentuan yang mewajibkan setiap negara anggota PBB untuk mengadopsi dan meratifika suatu perjanjian internasional. Pasal 2 para 4 Piagam PBB menyatakan: “ All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integerity or political independence of any State, or in any other manners inconsistent with the Purpose of the United Nations”. Pasal 2 para 7 menyatakan: “ Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of Pasal 16 Statuta ICC di bawah titel “Deferral of Investigation or prosecution; menyatakan: “ No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 months after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has requested the Court to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions. 8 4 any State or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII.Dalam konteks uraian angka 1 di atas, PEMRI harus mengingat kembali penyelesaian berbagai peristiwa pelanggaran HAM (dalam konteks pasca ketentuan BAB XA UUD 1945 tentang HAM) di Indonesia sejak peristiwa G 30 S Papua, Trisakti Semanggi; Peristiwa Maluku; dan penyelesaian terhadap peristiwa GAM di Aceh melalui MOU dan kasus pelanggaran HAM di Timor Leste melalui pembentukan KKP yang hasilnya telah dilaporkan kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Lester. Kemungkinan dampak ratifikasi Statuta ICC khusus mengenai pemberlakuan retroaktif melalui pembentukan Mahkamah Adhoc atau Mahkamah Adhoc Hibrid di Indonesia terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat masa lampau terutama terhadap peristiwa yang telah diselesaikan menurut cara Indonesia dan GAM Aceh dan dengan Pemerintah Timor Lester. Dalam konteks peristiwa pelanggaran HAM di Timor Leste, Pemerintah Timor Lester sebagai negara peratifikasi memiliki posisi politik lebih kuat dari sudut hukum internasional dibandingkan dengan Indonesia sebagai negara bukan peratifikasi. Ratifikasi Statuta ICC oleh Indonesia akan mudah mendorong korban-korban pelanggaran HAM warga negara Timor Lester mendesak Pemerintahnya untuk mengajukan pengaduan kepada ICC dan akan memaksa pemerintah Indonesia melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Statuta ICC. Keadaan ini justru tidak kondusif bagi hubungan baik kedua negara. (2) Dampak ratifikasi Statuta ICC baik di bidang hukum ketatanegaraan, hukum, politik,ekonomi dan sosial . Dampak hukum ratifikasi terhadap sistem ketatanegaraan adalah ratifikasi Statuta ICC , adalah NKRI telah “menyerahkan” sebagian kedaulatan hukum untuk memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat kepada ICC, terlepas dari status hukum pelaku pejabat publik yang seharusnya memiliki imunitas diplomatik. Dampak konstitusional adalah, pemerintah NKRI telah menerima yurisdiksi ICC ke dalam struktur ketatanegaraan RI dan sekaligus menegasikan amanat UUD 1945 yaitu hanya diakui dua puncak kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Dampak hukum dari ratifikasi Statuta ICC, adalah perubahan mendasar asas-asas hukum dan 5 norma-norma kelembagaan dan proses-proses hukum pidana dalam perkara pelanggaran HAM berat. Dampak politik dari ratifikasi Statuta ICC, adalah bahwa, pengakuan eksistensi ICC ke dalam yurisdiksi nasional NKRI rentan terhadap instabilitas kehidupan politik nasional di mana pro dan kontra dengan dalih nasionalisme akan berkepanjangan ketika terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Sedangkan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lampau pada beberapa wilayah NKRI masih belum diselesaikan secara tuntas sehingga kemungkinan tekanan-tekanan internasional dengan dalih “unwilling” atau “unable” akan tetap merupakan isu yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan stabiliitas di bidang politik, keamanan, ekonomi,keuangan dan perdagangan internasional. Dampak sosial dari ratifikasi ICC, adalah bahwa dengan pengambil-alihan suatu peristiwa pelanggaran HAM berat oleh ICC rentan terhadap timbulnya ketidak percayaan masyarakat luas terhadap pemerintah karena dipandang tidak mampu melaksanakan proses peradilan yang independen atas dasar kekuatan hukum nasional yang telah berlaku terhadap pelanggaran HAM berat (UU Nomor 26 tahun 2000). Pengakuan MPI ke dalam yurisdiksi nasional menimbulkan isu nasionalisme yang sangat panas di dalam iklim politik nasional dan akan selalu menjadi beban sejarah NKRI baik kini maupun di masa yad. F.Solusi Indonesia menghadapi masalah ratifikasi Statuta ICC-suatu saran Merujuk pada uraian pada huruf A sd E di atas, saya menyarankan : Pertama, Pemerintah Indonesia (PEMRI) menunda ratifikasi Statuta ICC dengan pertimbangan dampak-dampak sebagaimana telah diuraikan di atas. Selain pertimbangan tersebut di atas, PEMRI dapat menyatakan pendapat jika diperlukan dalam forum internasional atau pertanyaan negara lain bahwa, peratifikasian Statuta ICC belum diperlukan –sebagaimana halnya negara anggota Asean lainnya- karena Indonesia telah memiliki sistem hukum yang dapat menegakkan perlindungan HAM setiap warga negara dalam keadaan apapun yaitu berdasarkan UUD 1945 Bab XA tentang HAM, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pembentukan KOMNAS HAM dan KOMNAS PEREMPUAN dan Komnas Perlindungan Anak. Dalam pelaksanaan ketentuan UU di atas diakui masih ada kelemahan-kelemahan maka kelemahan-kelamahan sisi perundang-undangan perlu dilakukan amandemen melalui sistem hukum nasional dan 6 tidak diperlukan untuk meminta bantuan ICC untuk turut serta menegakkan perlindungan HAM di Indonesia. Kedua, Pemri wajib melakukan revisi atau perubahan terhadap UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan memasukkan ketentuan tentang Kejahatan perang dan agresi serta memperkuat keberadaan Pengadilan HAM dengan ketentuan Hukum Acara yang spesifik dan khusus dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM Berat di Indonesia termasuk menghapuskan ketentuan kewenangan rektroaktif Pengadilan HAM. Ketiga, melakukan kajian secara mendalam terhadap struktur organisasi dan tata kerja KOMNAS HAM dan hubungan kerja dengan Kejaksaan Agung RI serta kewenangan Pengadilan HAM. 7