GAMBARAN KESIAPAN AKREDITASI RUMAH SAKIT VERSI 2012 PADA STANDAR SASARAN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA TAHUN 2014 OLEH: Eko Setia Nugraha NIM : 109101000039 PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H / 2016M FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN Skripsi, Maret 2016 Eko Setia Nugraha, NIM : 109101000039 Gambaran Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 pada Standar Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun 2014 85 + xix halaman, 1 bagan, 3 gambar, 2 tabel, 6 lampiran ABSTRAK Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa akreditasi dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, pada 2014, Status akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta masih menggunakan akreditasi 2009 sehingga dikategorikan telah kadaluarsa karena telah melebihi tenggat waktu tiga tahun. Berdasarkan wawancara, sejak tahun 2013 pihak Rumah Sakit Haji Jakarta telah mempersiapkan untuk mengikuti standar akreditasi rumah sakit versi 2012. Namun, pelaksanaan standar akreditasi versi 2012 mengalami beberapa keterlambatan dari target yang ditetapkan. Penelitian ini ditujukan untuk melihat gambaran kesiapan Rumah Sakit Haji Jakarta dalam mendapatkan akreditasi versi 2012 pada sasaran keselamatan pasien. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Informan penelitian dipilih melalui metode purposive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah 1 anggota pokja akreditasi SKP, 2 perawat, 1 seksi unit farmasi, 2 pasien. Triangulasi sumber, metode dan data digunakan untuk meningkatkan validitas penelitian. Sesuai akreditasi 2012, terdapat enam sasaran dalam Sasaran Keselamatan Pasien. Terdiri dari ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat, kepastian tepat lokasi tepat prosedur tepat pasien operasi, pengendalian risiko infeksi dan pengurangan risiko pasien jatuh. Dari enam standar tersebut didapatkan hasil dokter operator sangat jarang menandai lokasi operasi dengan penanda khusus dan rumah sakit tidak memiliki dokumen untuk monitoring dan evaluasi untuk pasien risiko jatuh. Sedangkan pada sasaran lain, penyediaan dokumen dan implementasi sudah dilakukan. Rumah sakit Haji Jakarta perlu melakukan sosialisasi terkait penandaan lokasi operasi secara lebih intensif dan persuasif dan juga melengkapi dokumen monitoring dan evaluasi dalam pengurangan risiko pasien jatuh. Daftar bacaan: (1994 - 2016) ii FACULTY MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH INTENTION HEALTH SERVICE MANAGEMENT Undergraduate Thesis, March 2016 Eko Setia Nugraha, NIM : 109101000039 An Overview of Readiness of Accreditation 2012 version Process on Patient Safety Standard Goal in Jakarta Haji Hospital at 2014 85 + xix page, 1 chart, 3 image, 2 table, 6 attachment ABSTRACT The Ministry of Health of Republic Indonesia state that accreditation is conducted for increasing a quality of health care so that can increase a trust of patient. Based on the preliminary studies that has been conducted, in 2014, accreditation status of Haji Hospital Jakarta still use 2009 accreditation version so that can be categorized as an expired accreditation because of exceed 3 years as the limit of accreditation time. Based on interview, since 2013 the hospital was preparing for getting a 2012 accreditation version. Nevertheless, the process to get the accreditation encountered retardation by the target. This research aimed to make an overview of Jakarta Haji Hospital readiness in getting a 2012 accreditation version on the patient safety goal. This research uses a qualitative method. Informants in this research are chosen by purposive sampling method. The informants are 1 person from the member of accreditation working group of patient safety goal, 2 nurses, 1 person from pharmacy unit and 2 patients. Based on 2012 accreditation version, there are six goals on the patient safety goal. There are identifying patient, increasing an effective communication, managing alert drugs, to make sure right location, procedure and patient operation, reducing infection risk and decreasing patient fall risk. From that six standard, the results are operating doctor very rare mark the operation location using a special marker and hospital does not have a monitoring and evaluation form for decreasing patitent fall risk. On the other goals, requiring document and implementing have been completed. Haji hospital need to make a socialization regarding operation location marking intensively and persuasively and complete an evaluation and monitoring documents regarding decreasing patient fall risk. References: (1994 - 2016) iii GAMBARAN KESIAPAN AKREDITASI RUMAH SAKIT VERSI 2012 PADA STANDAR SASARAN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA TAHUN 2014 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh Eko Setia Nugraha NIM: 109101000039 Pembimbing I, Pembimbing II, dr. Yuli Prapancha Satar, MARS NIP. 19530730 198011 1 001 Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D NIP. 19761209 200604 2 003 PEMINATAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M iv PENGESAHAN DEWAN PENGUJI Skripsi dengan judul Gambaran Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Pada Standar Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun 2014 telah diajukan dalam sidang ujian skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Maret 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM.) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Jakarta, Maret 2016 Penguji I Riastuti Kusuma Wardani, MKM NIP. 1980516 200901 2 005 Penguji II Dr. Ela Laelasari, M. Kes NIP. 19721002 200604 2 001 Penguji III Susanti Tungka, SKM, MARS v LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, Maret 2016 Eko Setia Nugraha vi RIWAYAT HIDUP Nama : Eko Setia Nugraha Tempat/Tgl Lahir : Bireuen, 14 Januari 1992 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status : Belum Menikah Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Jl. Medan-Banda Aceh, Dusun Sejahtera, Desa Geulanggang Baro, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Aceh 24251 Riwayat Pendidikan: 1. TK Nurul Hilal (1996 – 1997) 2. SD Negeri 12 (Cot Gapu) Bireuen (1997 – 2003) 3. SMP Negeri 1 Bireuen (2003 – 2006) 4. SMA Negeri 1 Bireuen (2006 – 2009) 5. S1 Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta (2009 – sekarang) vii KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Standar Sasaran Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun 2014”. Shalawat dan salam juga tercurah bagi junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Keluarga tercinta Ibunda Rosmanidar, S.Pd dan Ayahanda Mardi Ahmad, SE serta adikku Dessy Purnamasari yang selalu mendoakan secara tulus dan memberikan dorongan baik moril maupun materil. 2. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat serta pembimbing skripsi. 4. Ibu Raihanna Nadra Alkaff, SKM, M.MA dan bapak dr. Yuli Prapancha Satar, MARS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, arahan dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Ela Laelasari, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu dan memberi masukan selama perkuliahan. viii 6. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat dan seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, terima kasih untuk seluruh ilmu dan nasihat yang diberikan selama ini. Mohon maaf atas semua kesalahan yang dilakukan penulis selama masa perkuliahan. 7. Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM dan ibu Susanti Tungka, MARS sebagai penguji di sidang skripsi 8. Keluarga lainnya seperti Om, Tante, Sepupu dan semua yang telah memberi dukungan serta senantiasa mengingatkan untuk lulus kuliah. 9. Bapak dr. Chairul Radjab Nasution, SpPD-KGEH, FINASIM, M.Kes yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis baik di Rumah Sakit Haji Jakarta dan magang di Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan RI. 10. Seluruh pihak Rumah Sakit Haji Jakarta yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, khususnya pada Pak Kusnanto, informan dalam hal ini Ibu Yati dan Pak Muzammil serta lainnya. 11. M. Iqbal Nurmansyah, selaku teman sekelas dalam perkuliahan dan menjadi teman diskusi dalam berbagai hal. Serta teman-teman lain seperjuangan di jurusan yang kuliahnya telat lulus dan sudah memberi motivasi satu sama lain. 12. Terakhir kepada seluruh kenalan dan teman yang ada di berbagai daerah khususnya yang telah memberikan kritik membangun maupun nasihat selama saya ada di perantauan. ix Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Penulis berdo’a semoga semua setiap bantuan yang telah kalian berikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin Terakhir kiranya penulis berharap semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca umumnnya و ا لسال م عليكن ورحمة ا هلل و بر كا ته Hormat saya Eko Setia Nugraha x DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL .......................................................................................... i ABSTRAK ...................................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... iv LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... vi RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xix BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ........................................................................... ... 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... ... 6 1.3.Pertanyaan Penelitian ................................................................. ... 7 1.4. Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................... 7 1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................... 7 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Rumah Sakit ............................................................... 8 1.5.2. Bagi Peneliti ........................................................................ 8 1.5.3. Bagi Peneliti Lain ............................................................... 9 1.6.Ruang Lingkup .............................................................................. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akreditasi Rumah Sakit ............................................................... 10 2.1.1 Maksud Akreditasi Rumah sakit .................................... 10 2.1.2 Penyelenggaraan Akreditasi Rumah Sakit ................... .. 12 xi 2.1.3 Tujuan Rumah Sakit …................................................... 13 2.1.4 Manfaat Akreditasi ….................................................. .. 13 2.1.5 Langkah-Langkah Pelaksanaan Akreditasi ….............. .. 16 2.1.6 Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit Secara Nasional.. . 16 2.1.7 Keputusan Akreditasi Rumah Sakit ….......................... . 18 2.2 Perbedaan Akreditasi Lama dan Baru ........................................... 20 2.3 Sasaran Keselamatan Pasien (Akreditasi Rumah Sakit Kementerian Kesehatan Tahun 2012 ..................................................................... .. 22 2.3.1 Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien ..................... .. 22 2.3.1.1 Maksud dan Tujuan Sasaran I .......................... .. 22 2.3.1.2 Elemen Penilaian Sasaran I . ................. .. 23 2.3.2 Sasaran II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif ..... .. 24 2.3.2.1 Maksud dan Tujuan Sasaran II ......................... .. 24 2.3.2.2 Elemen Penilaian Sasaran II . ................ .. 25 2.3.3 Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Pelru Diwaspadai ........................................................................... .. 25 2.3.3.1 Maksud dan Tujuan Sasaran III ........................ .. 25 2.3.3.2 Elemen Penilaian Sasaran III . ............... .. 26 2.3.4 Sasaran IV: Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi .............................................................. .. 27 2.3.4.1 Maksud dan Tujuan Sasaran IV ........................ .. 27 2.3.4.2 Elemen Penilaian Sasaran IV . .............. .. 28 2.3.5 Sasaran V: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan ............................................................ .. 29 2.3.5.1 Maksud dan Tujuan Sasaran V ....................... .. 29 xii 2.3.5.2 Elemen Penilaian Sasaran V . ................ .. 29 2.3.6 Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh ............ .. 30 2.3.6.1 Maksud dan Tujuan SasaranV I ...................... .. 30 2.3.6.2 Elemen Penilaian Sasaran VI . ....................... .. 30 2.4 Keselamatan Pasien . ................................................................... .. 31 2.5 Kerangka Teori ........................................................................... .. 32 BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH......................... 3.1. Kerangka Pikir .......................................................................... ............... 40 3.2 Definisi Istilah .......................................................................... ................ 41 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ...................................................................................... 43 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... ................ 43 4.3 Informan Penelitian.................................................................. ................ 43 4.4. Instrumen Penelitian ................................................................ ................ 44 4.5 Metode Pengumpulan Data ..................................................... .................. 44 4.6 Validasi Data ........................................................................... ................. 45 4.7 Pengolahan dan Analisis Data .....…......................................... ................. 46 4.7.1 Pengolahan Data ….......................................................................... 46 4.7.2 Analisis Data …..................................................................... .......... 47 BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Informan Penelitian..................................... ..... 48 5.2 Profil Rumah Sakit Haji.............................................................. ... 49 5.2.1 Visi dan Misi Rumah Sakit Haji .................................... 49 5.2.1.1 Visi Rumah Sakit Haji Jakarta .................................... 49 xiii 5.2.1.2 Misi Rumah Sakit Haji Jakarta ................................... 49 5.2.2 Akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta ............................. 50 5.2.3 ISO 9001:2000 ............................................................... 50 5.2.4 Kebijakan Mutu di Rumah Sakit Haji Jakarta ................ 50 5.3 Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien ....................................... 51 5.4 Sasaran II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif ...................... 54 5.5 Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai ..................................................................................... 56 5.6 Sasaran IV: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat pasien Operasi ..................................................................... 58 5.7 Sasaran V: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan ..................................................................... 60 5.8 Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh .............................. 62 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 65 6.2 Kesiapan RS Haji dalam menghadapi akreditasi versi 2012 pada sasaran keselamatan pasien .................................................................................... 65 6.3 Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien ................................................... 66 6.4 Sasaran II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif .................................. 68 6.5 Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai ........... 70 6.6 Sasaran IV: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien Operasi ........................................................................................... 71 6.7 Sasaran V: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan ..... 73 6.8 Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh ........................................... 75 xiv BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan .................................................................................................... 78 7.2 Saran ........................................................................................................... 81 7.2.1Bagi Rumah Sakit Haji Jakarta ............................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 82 LAMPIRAN xv DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Kerangka Teori .............................................................................. xvi 33 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Kerangka Pikir ............................................................................. 40 Gambar 5.1 Lemari Penyimpanan Obat High Alert ........................................ 57 Gambar 5.2 Stiker Tentang Pedoman Hand-hygiene ...................................... 62 xvii DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Definisi Istilah ................................................................................. 41 Tabel 4.1 Sumber Perolehan Data Berdasarkan Informan dan Metode Pengumpulan Data ............................................................. xviii 46 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Daftar Telaah Dokumen dan Observasi Lampiran 3 SK Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta tentang Ketepatan Identifikasi Pasien Lampiran 4 SK Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta tentang Peningkatan Komunikasi yang Efektif Lampiran 5 SK Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta tentang Peningkatan Keamanan Obat Lampiran 6 SK Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta Panduan Instalasi Bedah xix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang memegang peranan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010 “Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat”. Berbagai upaya pemerintah dan masyarakat telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit, diantaranya adalah akreditasi rumah sakit. Rumah sakit yang telah memiliki akreditasi akan mampu memberikan jaminan hukum kepada pelanggan dan masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit sudah baik dan sesuai dengan standar yang diterapkan (Departemen Kesehatan RI, 2000). Melalui Undang-Undang (UU) terbaru mengenai rumah sakit, yaitu UU No. 44 tahun 2009, pada pasal 40 bagian ketiga juga disebutkan bahwa semua rumah sakit di Indonesia wajib melaksanakan akreditasi dengan tujuan agar mutu rumah sakit semakin meningkat. Sementara dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit juga menegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus berdasarkan pada etika dan moral. Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) tahun 2012 melalui Kementerian Kesehatan melakukan standarisasi penilaian akreditasi rumah sakit terhadap empat hal terpenting yaitu : 1). Kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien, 2). Kelompok 1 2 standar manajemen rumah sakit, 3). Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, dan 4). Sasaran millennium development goals. Dimana pada proses pelaksanaanya melibatkan seluruh sumber daya manusia professional rumah sakit dari mulai tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan. Dalam akreditasi rumah sakit, sumber daya manusia telah diatur yakni melalui penentuan jumlah dan spesifikasi tenaga serta fasilitas penunjang layanan yang harus dimiliki oleh rumah sakit tersebut (Soepojo, 2002). Sumber daya terstandarisasi seperti SDM, manajemen dan teknologi terstandarisasi merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk menghadapi persaingan dan menciptakan rumah sakit yang mempunyai jasa pelayanan kesehatan berkualitas yang merupakan indikator untuk meningkatkan citra rumah sakit dan profitabilitasnya (Hafizurrachman, 2009). Perubahan paradigma standar akreditasi baru diaplikasikan pada pelayanan berfokus pasien, dimana kepuasan pasien menjadi standar utama. Kesinambungan pelayanan harus dilakukan baik saat merujuk keluar maupun serah terima pasien di dalam rumah sakit. Proses akreditasi bukan hanya meneliti secara cross sectional tetapi juga longitudinal, serta hasil survey pencapaian RS terhadap skoring yang ditentukan berupa level-level pencapaian pratama, madya, utama dan paripurna (KARS, 2012). Manfaat langsung dari akreditasi baru, yaitu RS mendengarkan pasien dan keluarganya, menghormati hak-hak pasien, dan melibatkan pasien dalam proses perawatan sebagai mitra; meningkatkan kepercayaan publik bahwa RS telah melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien; menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien yang memberikan kontribusi terhadap kepuasan karyawan; 3 modal negosiasi dengan asuransi kesehatan dan sumber pembayar lainnya dengan data tentang mutu pelayanan menciptakan budaya yang terbuka untuk belajar dari pelaporan yang tepat dari kejadian yang tidak diharapkan; dan menetapkan prioritas pada kualitas dan keselamatan pasien di semua tingkat (RSUD Dr. Soegiri Lamongan, 2015). Dengan adanya akreditasi versi 2012 yang dikeluarkan oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit, beberapa rumah sakit tengah mempersiapkan diri untuk bisa mengikuti akreditasi tersebut. Dalam prosesnya, beberapa rumah sakit masih mengalami hambatan atau dapat dikatakan belum siap untuk mengikuti akreditasi tersebut dikarenakan oleh beberapa sebab. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang menyebutkan bahwa rumah sakit belum siap menghadapi akreditasi versi 2012 karena belum memiliki kebijakan terkait dengan pelaksanaan petugas terhadap perlindungan dokumen rekam medis dari kerusakan dan kehilangan, tidak adanya pokja, sarana prasarana yang tidak menunjang dan keterbatasan sistem manajemen rumah sakit (Prawira & Asfawi, 2016). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan di RS umum Rajawali Citra Kabupaten Bantul terkait analisis kesiapan menghadapi akreditasi pada bidang pelayanan keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana, menyebutkan bahwa masih terdapat kesulitan dalam persiapan sumber daya manusia mengingat staf yang ditunjuk untuk menyiapkan perangkat akreditasi belum memahami ilmu kesehatan keselamatan kerja (Hariyono, 2013). Rumah sakit haji Jakarta merupakan salah satu rumah sakit yang tidak berbeda dengan rumah sakit lainnya, yaitu merupakan bagian dari sistem kesehatan yang juga melayani masyarakat umum tanpa memandang perbedaan agama dan suku bangsa yang 4 di dukung oleh peralatan canggih dan di tangani oleh tenaga yang berkualitas dan profesional. Pada tahun 2014, RS Haji Jakarta terakhir kali mendapatkan akreditasi oleh Badan Akreditasi Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009 dengan enam belas pelayanan yang terakreditasi atau terakreditasi penuh. Status akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta telah kadaluarsa karena telah melebihi tenggat waktu yakni tiga tahun. Oleh karena itu, pihak Rumah Sakit Haji Jakarta telah mempersiapkan untuk mengikuti standar akreditasi rumah sakit versi 2012 sejak tahun 2013. Namun, berdasarkan wawancara dengan pihak rumah sakit, pelaksanaan standar akreditasi versi 2012 mengalami beberapa keterlambatan dari target yang ditetapkan, semula awal 2014 lalu diundur menjadi pertengahan 2014 dan masih terjadi keterlambatan. Pada akreditasi versi 2012 terdapat beberapa sasaran yang dilakukan penilaian dimana salah satu sasarannya ialah sasaran keselamatan pasien. Keselamatan pasien sudah menjadi isu tidak hanya di Indonesia namun di negara berkembang maupun negara maju lainnya. sebuah studi menunjukkan bahwa terdapat 10% pasien di rumah sakit mengalami kejadian yang tidak diinginkan dimana setengahnya merupakan tindakan yang dapat dicegah. Selain itu, penelitian di beberapa negara juga menyebutkan angka yang tidak sedikit terhadap kejadian yang tidak diinginkan seperti Australia sebesar 16,6%, Selandia Baru sebesar 12,9%, Inggris sebesar 10,8% dan Swedia sebesar 12,3% (Zegers, Wollersheim, Wensing, Vincent, & Grol, 2013). Data terkait kejadian tidak diinginkan dan kejadian nyaris cedera di Indonesia masih cukup sulit untuk didapatkan. Laporan data insiden keselamatan pasien untuk setiap provinsi yang diterbitkan pada tahun 2007 menyebutkan bahwa Provinsi DKI 5 Jakarta menempati urutan tertinggi yaitu yaitu 37,9%. Selain itu, insiden keselamatan pasien pada provinsi lainnya ialah Jawa Tengah 15,9%, D.I. Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur 11,7%, Sumatera Selatan 6,9%, Jawa Barat, 2,8%, Bali 1,4%, Sulawasi Selatan 0,7%) (KKP-RS, 2008). WHO dalam bukunya menyebutkan bahwa situasi di negara berkembang memerlukan perhatian lebih dalam hal keselamatan pasien dimana negara tersebut cenderung lebih memiliki infrastruktur dan peralatan yang miskin, pasokan dan kualitas obat yang kurang, kurang baiknya manajemen limbah dan pengendalian infeksi, kurangnya kinerja personel dikarenakan kurangnya motivasi dan kemampuan teknis dan kekurangan pendanaan menjadikan kemungkinan terjadinya insiden yang merugikan jauh lebih besar ketimbang negara maju. WHO juga menyebutkan bahwa dilaporkan sekitar 77% kasus obat palsu dan dibawah standar terjadi di negara berkembang (World Health Organization, 2005). Kejadian tidak diinginkan yang merupakan dampak dari rendahnya keselamatan pasien memiliki dampak buruk terhadap rumah sakit, petugas kesehatan maupun pasien dimana diantaranya ialah berdampak terhadap peningkatan biaya pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan konflik antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktek, penyebaran ke media masyarakat yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit, selain itu rumah sakit dan dokter bersusah payah melindungi dirinya dengan asuransi, pengacara dan berakhir pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit (Departemen Kesehatan, 2006). 6 Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti “Gambaran Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Standar Sasaran Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun 2014”. 1.2 Rumusan Masalah Rumah Sakit Haji Jakarta pertama terakreditasi oleh Badan Akreditasi Departemen Kesehatan RI pada bulan April 1998 dengan lima pelayanan yang terakreditasi yaitu Unit Gawat Darurat, Administrasi, Keperawatan, Pelayanan Medik dan Rekam Medik. Selanjutnya, RS Haji Jakarta terakhir diakreditasi pada tahun 2009 dengan 16 pelayanan dengan menggunakan standar lama, sehingga dapat disimpulkan bahwa rumah sakit haji belum mendapatkan akreditasi versi 2012 pada tahun 2014. Belum terakreditasinya RS Haji dengan versi 2012 adalah karena beberapa hal yaitu : 1) tertundanya akreditasi yang seharusnya dilaksanakan setiap 3 tahun sekali tetapi tertunda selama 5 tahun yaitu dari tahun 2009 sampai 2014, 2) Akreditasi baru lebih sulit dan harus mengajukan hal-hal baru dalam prosesnya, sehingga sampai dengan sekarang RS Haji Jakarta sedang mempersiapkan akreditasi versi baru tersebut, 3) Halhal yang dinilai kurang selama pelaksanaan akreditasi yaitu implementasi pelaksanaan dan penyediaan dokumen dari standar yang diberlakukan. Dalam studi pendahuluan, berdasarkan wawancara dengan pihak rumah sakit, juga disebutkan bahwa pelaksanaan standar akreditasi versi 2012 mengalami beberapa keterlambatan dari target yang ditetapkan, semula awal 2014 lalu diundur menjadi pertengahan 2014. Penelitian ini juga berfokus pada sasaran keselamatan pasien pada akreditasi versi 2012. Sasaran keselamatan pasien menjadi sebuah isu penting di Indonesia. Di Indonesia sendiri, mengingat pentingnya aspek keselamatan pasien maka Kementerian 7 Kesehatan sendiri telah membuat Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit dimana peraturan ini dibuat untuk mempersiapkan rumah sakit agar dapat meningkatkan keselamatan pasien. Selain itu, pemerintah juga menempatkan aspek keselamatan pasien pada salah satu sasaran akreditasi versi 2012. Sedangkan secara kuantitatif, untuk melihat angka kejadian tidak diinginkan dan kejadian nyaris cedera di Indonesia, harus diakui bahwa data tersebut masih sangat langka karena standar pelayanan di Indonesia masih kurang optimal (Rasdini, Wedri, & Mega, 2014). 1.3. Pertanyaan Penelitian Bagaimana gambaran kesiapan Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 pada standar sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta tahun 2014? 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahui gambaran kesiapan Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 pada standar sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta tahun 2014. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran I keselamatan pasien (ketepatan identifikasi pasien) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 2. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran II keselamatan pasien (peningkatan komunikasi yang efektif) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 3. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran III keselamatan pasien (peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 8 4. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran IV keselamatan pasien (kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 5. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran V keselamatan pasien (pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 6. Diketahui gambaran kesiapan pada sasaran VI keselamatan pasien (pengurangan risiko pasien jatuh) di Rumah Sakit Haji tahun 2014. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Rumah Sakit Penelitian ini diharapkan untuk mengetahui informasi jumlah dokumen yang dimiliki Rumah Sakit Haji Jakarta serta implementasinya dalam penilaian akreditasi standar sasaran keselamatan pasien. Serta dijadikan gambaran dalam menentukan strategi kerja dalam pemenuhan dokumen penilaian akreditasi standar sasaran keselamatan pasien. 1.5.2 Bagi Peneliti 1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran kesiapan penilaian akreditasi rumah sakit. 2. Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian serta pengembangan kompetensi diri dan disiplin ilmu yang diperoleh selama perkuliahan. 9 1.5.3 Bagi Penelitian Lain Sebagai informasi mengenai gambaran kesiapan penilaian akreditasi rumah sakit. Serta menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul “Gambaran Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Pada Standar Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta Tahun 2014” merupakan penelitian kualitatif. Dilaksanakan pada tahun 2014 di Rumah Sakit Haji Jakarta yang beralamat di Jl. Raya Pondok Gede no. 4 Jakarta Timur. Penelitian dikhususkan pada standar sasaran keselematan pasien untuk mengetahui implementasi dan proses pemenuhan kecukupan dokumentasi yang berguna untuk penilaian akreditasi yang diselenggarakan KARS. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, telaah dokumen, wawancara mendalam, pengumpulan data primer dan sekunder. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab dua berikut akan diuraikan teori-teori yang digunakan sesuai dengan topik penelitian antara lain yang berhubungan dengan akreditasi rumah sakit. 2.1. Akreditasi Rumah Sakit Peraturan Menteri Kesehatan RI, No 159a/MENKES/PER/II/1998 tentang Rumah Sakit di sebutkan bahwa : Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan bahwa Rumah Sakit memenuhi standar minimal yang ditentukan Akreditasi merupakan pengakuan resmi yang biasanya diberikan oleh Pemerintah terhadap lembaga sertifikasi yang memenuhi standar EN-45012, yaitu persyaratan internasional bagi sebuah lembaga sertifikasi. Sertifikasi merupakan pengakuan resmi terhadap keberhasilan penerapan system mutu di perusahaan berdasarkan pada standar system mutu. Di Indonesia, lembaga yang berwenang memberikan akreditasi kepada lembaga sertifikasi adalah Komite Akreditasi Rumah Sakit (Depkes RI, 2000). 2.1.1 Maksud Akreditasi Rumah Sakit Menurut (KARS, 2012) : 1. Memberikan standar-standar operasional rumah sakit dan fasilitas kesehatan dan pelayanan lain yang berhubungan. 2. Menghubungkan program survey dan akreditasi yang akan menjadi anggota dari profesi kesehatan, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain yang berhubungan secara sukarela. 10 11 3. Menghubungkan program-program pendidikan dan riset dan menerbitkan hasil dari itu, yang akan lebih lanjut maksud lain dari organisasi, dan untuk menerima bantuan, pemberian dan warisan dan perlengkapan, dan mendukung organisasi. 4. Memberikan tanggungjawab dan menghubungkan kegiatan-kegiatan lain menyesuaikan dengan opersional dari penyusunan standar,survey dan program akreditasi. Akreditasi memiliki ciri: a. Bersufat sukarela dari organisasi kesehatan b. Lebih dari persyaratan yang ada pada lisensi c. Tujuan untuk mengarahkan organisasi menuju optimasi penampilan daripada hanya sekedar pencapaian minimum d. Pencapaian secara maksimal standar maksimal Survey akreditasi menyampaikan sasaran untuk evaluasi yang identik dengan kekuatan dan kelemahan yang diperlukan untuk peningkatan manajemen dan pirantinya, untuk pengajaran dan pelatihan , untuk menjamin adanya tindakan-tindakan perbaikan dan mendemonstrasikan keinginan-keinginan fasilitas yang diperlukan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu. Licensing adalah aktifitas pemerintah menyatakan bahwa fasilitas kesehatan telah memenuhi standar minimum untuk kesehatan dan kemananan. Akreditasi rumah sakit berkaitan dengan penilaian kepatuhan terhadap standar-standar yang mencakup seluruh fungsi dan kegiatan rumah sakit. Sumber daya atau sarana dan prasarana, manajemen, pelayanan medik, perawatan, fungsi penunjang umum, diagnostic, rekam medis, hak pasien dan sebagainya. 12 Peningkatan mutu adalah seharusnya dimulai dari keinginan diri sendiri (rumah sakit) secara keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan penampilan atas citra dirinya dengan kesadaran , bahwa semakin bermutu rumah sakitnya akan semakin banyak memperoleh keuntungan dalam arti luas. Sebelum di akreditasi, mulai (di evaluasi) oleh pihak luar (KARS dan Kemenkes), rumah sakit tersebut akan menilai dirinya sendiri lebih dulu. Proses akreditasi Rumah Sakit secara garis besar adalah (KARS, 2012): ˜ Sebelum dilakukan akreditasi oleh Tim Akreditasi, Rumah Sakit mempersiapkan diri senaik-baiknya melaksanakan dan melengkapi apa saja yang akan dinilai, dengan melakukan penilaian diri sendiri dengan instrument atau kuisioner. ˜ Pada saatnya Komite Akeditasi RS melakukan pemeriksaan ( survey) ke Rumah Sakit tersebut dan memeriksa dokumen- dokumen yang ada, peralatan medis, mengamati kegiatan pelayanan medis, mewawancarai manajer, staf medis, paramedis, dan non medis, serta pasien dan keluarganya. 2.1.2. Penyelenggaraan Akreditasi Rumah sakit Menurut (Depkes RI, 2000) Standar pelayanan Rumah Sakit dan Standar pelayanan Medis telah di tetapkan berdasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 436/MENKES/SK/VI/1993. Standar yang digunakan untuk akreditasi mengacu pada standar dalam Surat Keputusan Menteri tersebut dan pertimbangan lain yang telah ditetapkan. Yang berwenang melakukan akreditasi Rumah Sakit, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, maupun swasta adalah “Komisi Akreditasi Rumah Sakit“, suatu tim yang bersifat non struktural yang di bentuk berdasar Keputusan 13 Direktur Jenderal Pelayan Medik Depkes RI, terdiri atas unsur-unsur: PERSI ,Organisasi profesi bidang kesehatan, Ahli Perumahsakitan, Departemen Kesehatan, dan Instansi/ unit terkait. 2.1.3. Tujuan Akreditasi Rumah Sakit Menurut (Depkes RI, 2000) Tujuan umum dari akreditasi adalah untuk mendapatkan gambaran seberapa jauh rumah sakit di Indonesia telah memenuhi berbagai standar yang ditentukan, dengan demikian mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan Khusus Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada Rumah Sakit yang telah mencapai tingkat pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan Memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua fasilitas, tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-baiknya. Memberikan jaminan dan kepuasan kepada “costumer “ dan masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit di selenggarakan sebaik mungkin. 2.1.4. Manfaat Akreditasi Manfaat dari akreditasi antara lain : 1. Bagi Rumah Sakit, menurut (Depkes RI, 2000) a. Akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasdi antara rumah sakit dan bahan akreditasi yang akan memberikan saran perbaikan atau rekomendasi untuk peningkatan mutu pelayanan rumah sakit melalui pencapaian standar yang ditentukan. 14 b. Rumah sakit dapat mengetahui pelayanan yang berada dibawah standar atau perlu ditingkatkan. c. Penting untuk rekrutmen dan membatasi “Turn Over “ staf rumah sakit karena pegawai akan lebig senang, tenang dan aman bekerja di rumah sakit yang akan di akreditasi. d. Dengan perkembangan asuransi Kesehatan, semakin banyak perusahaan asuransi yang mempersyaratkan pesertanya untuk berobat di Rumah sakit yang telah terakreditasi. e. Alat untuk negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan f. Status Akreditasi dapat dijadikan alat untuk marketing pada masyarakat. g. Pemerintah akan mempersyaratkan akreditasi sebagai criteria untuk memberi izin rumah sakit yang menjadi tempat pendidikan tenaga medis/ para medis. h. Merupakan status simbol bagi Rumah Sakit dan dapat meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat atas Rumah Sakit. i. Dengan diketahuinya kekurangan di bandingkan dengan standar yang ada, rumah sakit dapat menggunakannya untuk kepentingan pengajuan anggran dan perencanaan/pengembangan rumah sakit kepada pemilik. 2. Bagi pemerintah, menurut (Depkes RI, 2000) a. Akreditasi merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan dan membudayakan konsep mutu pelayanan rumah sakit melalui pembinaan terarah dan berkesinambungan. 15 b. Dapat memberikan gambaran keadaan Perumahsakitan di Indonesia yang memenuhi standar yang di tentukan sehingga menjadi bahan masukan untuk perencanaan pengembangan pembangunan Kesehatan pada masa datang. 3. Bagi Perusahaan Asuransi, menurut (Depkes RI, 2000) a. Akreditasi penting untuk negosiasi klaim asuransi kesehatan dengan rumah sakit. b. memberi gambaran rumah sakit mana yang dapat dijadikan mitra kerja 4. Bagi masyarakat, menurut (Depkes RI, 2000) a. Dapat mengenal dengan melihat sertifikat Akreditasi yang biasanya di pajang diRumah Sakit yang pelayanannya telah memenuhi standar, sehingga dapat membantu mereka memilih rumah sakit yang di anggap baik. b. Masyarakat akan merasa lebih aman mendapat pelayanan di Rumah Sakit yang sudah di akreditasi daripada yang belum di akreditasi. 5. Bagi pemilik, menurut (Depkes RI, 2000) a. Mempunyai rasa kebanggaan bila rumah sakitnya diakreditasi b. Pemilik dapat menilai seberapa baik pengelolaan sumber daya (efisiensi) rumah sakit ini dilakukan oleh manajemen dan seluruh tenaga yang ada, sehingga misi dan program rumah sakit dapat lebih mudah tercapai 6. Bagi petugas, menurut (Depkes RI, 2000) a. Merasa lebih senang dan aman serta terjamin bekerja pada Rumah Sakit yang terakreditasi b. Biasanya pegawai pada unit pelayanan yang mendapat nilai baik sekali akan mendapat imbalan dari manajemen atas usahanya selama ini dalam memenuhi standar 16 c. Self Asesment akan menambah kesadaran akan pentingnya pemenuhan standard an peningkatan mutu sehingga dapat memotivasi pegawai tersebut bekerja baik. 2.1.5. Langkah-langkah Pelaksanaan Akreditasi Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Kegiatan di tingkat Rumah Sakit dalam Program Akreditasi akan meliputi : 1. Membentuk Sub Komite Akreditasi di tingkat Rumah Sakit 2. Mengikuti pelatihan-pelatihan tentang Akreditasi yang diadakan baik oleh wilayah maupun pusat. 3. Diseminasi informasi mengenai Akreditasi kepada seluruh staf Rumah Sakit 4. Menyiapkan atau memenuhi standar. 2.1.6. Pelaksanaan Akreditasi Rumah Sakit Secara Nasional Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011). Pada prinsipnya kegiatannya meliputi : 1. Penjadwalan Rumah Sakit yang akan di Akreditasi 2. Pentahapan kegiatan pelayanan yang akan di Akreditasi 3. Proses/ prosedur pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit adalah: a. Setelah Komisi Gabungan menerima Surat permohonan akreditasi dari Rumah sakit yang telah di tetapkan, Komisi akan mengirimkan instrumen kuisioner pre-survei yang harus di isi dan di lengkapi oleh rumah sakit. Kriteria penilaian di kelompokkan pada 15 bab standar yaitu: standar 1 Sasaran Keselamatan Pasien standar 2 Hak Pasien dan Keluarga Standar 3 Pendidikan Pasien dan Keluarga 17 Standar 4 Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Standar 5 Milennium Development Goal’s Standar 6 Akses Pelayanan dan Kontinuitas Pelayanan Standar 7 Asesmen Pasien Standar 8 Pelayanan Pasien Standar 9 Pelayanan Bedah dan Anestesi Standar 10 Manajemen Penggunaan Obat Standar 11 Manajemen Komunikasi dan Informasi Standar 12 Kualifikasi dan Pendidikan Staf Standar 13 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Standar 14 Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Pengarahan Standar 15 Manajemen Fasilitas dan Keselamatan 1. Komisi Gabungan Akreditasi akan menganalis hasil Self- assessment ini 2. Komisi Gabungan Akreditasi akan menjadwalakn kemusian melakukan survey di lapangan dengan menunjuk satu tim survey yang terdiri dari tenaga professional terlatih di bidang medis klinis, keperawatan dan adminisrasi. 3. Tim survey memeriksa rekaman, dokumen, peralatan dan proses pelayanan. Selain itu di lakukan juga wawancara dengan manajer, staf dan pasien. 4. Surveyor menganalisis menyusun laporan penilaian dan mebuat rekomendasi untuk perbaikan lebih lanjut. 18 5. Laporan Surveyor bersama-sama dengan usulan untuk status akreditasi disampaikan kepada Komisi Gabungan Akreditasi. 2.1.7. Keputusan Penilaian Akreditasi Rumah Sakit Hasil penilaian : Menurut (KARS, 2012) Ada 4 kriteria hasil penilaian terhadap EP : 1. Tercapai penuh ( skor 10) Melalui wawancara baik pada pasien/keluarga dan staf ditemukan jawaban “ya” atau “selalu”, atau dapat menjawab sesuai dengan konteks pertanyaan Melalui observasi dokumen, ditemukan minimal 9 dari 10 dokumen yang diminta atau 90 % dokumen lengkap Melalui observasi bukti pelaksanaan, kegiatan/tindakan sudah berjalan minimal 4 bulan terakhir dari masa penilaian 2. Tercapai sebagian (skor 5) Melalui wawancara baik pada pasien/keluarga dan staf ditemukan jawaban “tidak selalu” atau “kadang-kadang” Melalui observasi dokumen, ditemukan 50 sampai 89 % dokumen yang diminta Bukti dipenuhinya persyaratan hanya dapat ditemukan di sebagian daerah/unit kerja dimana persyaratan harus ada Kebijakan/prosedur dapat dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertahankan Melalui observasi bukti pelaksanaan, kegiatan/tindakan sudah berjalan 1 3 bulan terakhir dari masa penilaian 19 3. Tidak tercapai (skor 0) Melalui wawancara baik pada pasien/keluarga dan staf ditemukan jawaban “jarang” atau “tidak pernah”, Melalui observasi dokumen, ditemukan <50% dari dokumen yang diminta, Bukti dipenuhinya persyaratan tidak dapat ditemukan di daerah/unit kerja dimana persyaratan harus ada, Kebijakan/proses ditetapkan tetapi tidak dilaksanakan Melalui observasi bukti pelaksanaan, kegiatan/tindakan sudah berjalan hanya ≤1 bulan terakhir dari masa penilaian. Berbeda dengan instrumen akreditasi versi 2007 yang menggunakan skoring 0 sampai dengan 5, pada instrumen versi 2012 skoring yang digunakan adalah 0, 5 dan 10. Rumah sakit mendapat skor = 10 bila 80 % standar telah dipenuhi,skor = 5 bila 20–79 % standar terpenuhi dan skor = 0 bila pemenuhan standar kurang dari 20 %. Pada survei akreditasi versi 2012 ini, pemenuhan standar tidak hanya dilihat dari kelengkapan dokumen, tetapi juga implementasi dari standar akreditasi yang akan dinilai dengan menggunakan metodologi telusur. Bagi rumah sakit yang baru pertama kali survei dengan menggunakan standar akreditasi versi 2012 maka 4 (empat) bulan sebelum survei dilakukan, rumah sakit harus sudah melaksanakan standar. Dan bagi rumah sakit yang akreditasi ulang maka 1 (satu) bulan sebelum survei, rumah sakit harus sudah melaksanakan standar. Berdasarkan standar versi 2012 ada 4 Keputusan yang akan dikeluarkan, yaitu: 1. Pratama (Dasar) Bila Rumah Sakit tersebut sudah memenuhi empat standar dasar akreditasi. 20 2. Utama Status ini diberikan bila Rumah Sakit telah memenuhi delapan standar yang ada 3. Madya Status ini diberikan bila Rumah Sakit telah memenuhi dua belas standar yang ada 4. Paripurna Status ini diberikan bila Rumah Sakit telah memenuhi keseluruhan standar yang ada, berjumlah lima belas standar. 2.2. Perbedaan Akreditasi Lama dan Baru Menurut (KARS, 2012) Pada akreditasi versi lama dimulai dengan 5 pelayanan, 12 pelayanan dan pada versi baru dengan 16 pelayanan yaitu : 1) Pelayanan Administrasi dan manajemen, 2) Pelayanan Medik, 3) Pelayanan Gawat Darurat, 4) Pelayanan Keperawatan, 5) Pelayanan Rekam Medik, 6) Pelayanan Farmasi, 7) Palayanan Keselamatan Kerja, 8) Pelayanan Radiologi, 9) Palayanan Laboratorium, 10) Pelayanan Kamar Operasi, 11) Palayanan Pengendalian Infeksi, 12) Pelayanan Perinatal resiko tinggi, 13) Pelayanan Rehabilitasi Medik, 14) Pelayanan Gizi, 15) Pelayanan Intensif, dan 16) Pelayanan Darah. Selanjutnya Pada akreditasi lama lebih mengutamakan : 1). Berfokus pada provider 2). Kuat pada input dan dokumentasi 3). Format akreditasi (standard dan parameter) 4). Lemah implementasi kurang melibatkan petugas Dan pada akreditasi versi baru 2012 lebih mengutamakan : 1). Berfokus pada pasien 21 2). Kuat pada proses, output dan outcome 3). Format akreditasi terdiri : 1. Standard : 2. Maksud dan tujuan : 3. Elemen penilaian 4). Kuat pada implementasi melibatkan seluruh petugas Sumber Acuan Akreditasi RS Baru adalah : 1. International Principles for Healthcare Standards, A Framework of requirement for standards, 3rd Edition December 2007, International Society for Quality in Health Care / ISQua 2. Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals 4 rd Edition, 2011 3. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, edisi 2007, Komisi Akreditasi Rumah Sakit / KARS 4. Standar-standar spesifik lainnya. Perubahan Paradigma Standar Akreditasi Baru dari akreditasi lama ialah : Menurut (KARS, 2012) : 1. Tujuan akreditasi adalah peningkatan mutu pelayanan RS, bukan semata-mata sertifikat kelulusan 2. Standar akreditasi harus memenuhi krieria –kriteria internasional dan bersifat dinamis 3. Pelayanan berfokus pada pasien 4. Keselamatan Pasien menjadi standar utama 22 5. Kesinambungan pelayanan harus dilakukan , baik saat merujuk keluar maupun serah terima pasien di dalam RS ( antar unit, antar sift, antar petugas) 6. Hasil survey merupakan upaya pencapaian RS terhadap skoring yang ditentukan berupa level level pencapaian : Pratama, Madya, Utama, Paripurna. 2.3. Sasaran Keselamatan Pasien (Akreditasi Rumah Sakit Kementerian Kesehatan Tahun 2012) Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat yang harus diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI) Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsunsus para ahli atas permasalahan ini diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum, difokuskan pada solusi-solusi sistem yang menyeluruh. 2.3.1 Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien 2.3.1.1 Maksud dan Tujuan Sasaran I Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius / tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat tidur / kamar / lokasi di rumah 23 sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan : pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratifdikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah / produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau kamar operasi, termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi dapat diidentifikasi. 2.3.1.2 Elemen Penilaian Sasaran I Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) : 1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien 2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. Standar Akreditasi Rumah Sakit 24 3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis 4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan / prosedur 5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi 2.3.2 Sasaran II: Peningkatan Komunikasi Yang Efektif 2.3.2.1 Maksud dan Tujuan Sasaran II Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telpon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telpon ke unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk : mencatat / (memasukkan ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU. tidak 25 2.3.2.2 Elemen Penilaian Sasaran II Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) 1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah 2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah. 3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan 4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten 2.3.3 Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai 2.3.3.1 Maksud dan Tujuan SKP III Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan / kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike / LASA). Obatobatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang 26 lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja / kurang hati-hati. 2.3.3.2 Elemen Penilaian Sasaran III Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) 1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. 2. Implementasi kebijakan dan prosedur 3. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. 27 4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). 2.3.4 Sasaran IV: Kepastian tepat-lokasi, tepat prosedur, tepat-pasien operasi 2.3.4.1 Maksud dan Tujuan Sasaran IV Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator / orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), 28 multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk : Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist. 2.3.4.2 Elemen Penilaian Sasaran IV Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) 1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan. 2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional. 3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi / time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan. 29 4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan tindakan pengobatan gigi / dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. 2.3.5 Sasaran V: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan 2.3.5.1 Maksud dan Tujuan Sasaran V Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan intemasional. Infeksi juga bisa disebabkan oleh ventilasi yang buruk (penyakit pneumonia), kateter, penggunaan alat medis yang tidak steril. Khusus untuk infeksi, terdapat standar akreditasi yang memiliki sasaran tersendiri yaitu standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Jika memperoleh standar tersebut maka sebuah rumah sakit bisa mendapatkan status akreditasi paripurna karena penilaian standar PPI harus dilakukan setelah dua belas standar lain memenuhi syarat. 30 2.3.5.2 Elemen Penilaian Sasaran V Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) 1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety). 2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. 3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan 2.3.6 Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh 2.3.6.1 Maksud dan Tujuan Sasaran VI Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit. 2.3.6.2 Elemen Penilaian Sasaran VI Menurut (Dirjen BUK Kemenkes RI & KARS, 2011) 1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan melakukan asesmen ulang bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dll. 2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh 31 3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan 4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit. 2.4 Keselamatan Pasien Pengertian Keselamatan Pasien Rumah Sakit berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sedangkan insiden keselamatan pasien atau insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera. Uraian pengertian dari kerjadian-kejadian menurut diatas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 sebagai berikut : 1. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. 32 2. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. 3. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. 4. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. 33 2.5 Kerangka Teori Sasaran Keselamatan Pasien Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 Sasaran I : Ketepatan identifikasi pasien Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang efektif Sasaran III : Peningkatan keamanan obat yang pelu diwaspadai Sasaran IV : Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi Sasaran V : Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh Sumber: Standar Akreditasi Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011. 34 Penjelasan dari kerangka teori berdasarkan instrumen akreditasi rumah sakit standar enam sasaran keselamatan pasien dapat dilihat sebagai berikut : 1. Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien Menurut instrumen (KARS, 2012), Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya kesalahan dalam mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam keadaan terbius atau tersedasi, mengalami disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat situasi lain. Maksud ganda dari sasaran ini adalah : pertama, untuk dengan cara yang dapat dipercaya mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan dua nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang (identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan prosedur juga menjelaskan penggunaan dua pengidentifikasi yang berbeda pada lokasi yang 35 berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain, unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk diidentifikasi. 2. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang Efektif Menurut instrumen (KARS, 2012), Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telpon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan melalui telepon termasuk menuliskan atau memasukkan ke komputer perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima informasi; penerima membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibacakan ulang dengan akurat.untuk obat-obat yang termasuk obat NORUM/LASA dilakukan eja ulang. Kebijakan dan prosedur mengidentifikasi alternatif yang diperbolehkan bila proses pembacaan kembali tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan dalam situasi gawat darurat/emergensi di IGD atau ICU. 36 3. Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat Menurut instrumen (KARS, 2012), bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka penerapan manajemen yang benar, penting untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadi kesalahan dan kejadian sentinel (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan demikian pula obat-obat yang tampak mirip atau ucapan mirip (Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau LookAlike Sound-Alike / LASA). Daftar obat-obatan yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut-sebut dalam isu keamanan obat adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 2 mEq/ml atau yang lebih pekat)], kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%], dan magnesium sulfat [sama dengan 50% atau lebih pekat]. Kesalahan ini bisa terjadi bila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan gawat darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan datanya sendiri. Kebijakan dan 37 prosedur juga mengidentifikasi area mana yang membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis sebagaimana ditetapkan oleh petunjuk dan praktek profesional, seperti di IGD atau kamar operasi, serta menetapkan cara pemberian label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian rupa, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati. 4. Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, dan Tepat Pasien Operasi Menurut instrumen (KARS, 2012). Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi, dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Kebijakan termasuk definisi dari operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan mengobati penyakit serta kelainan pada tubuh manusia dengan cara menyayat, membuang, mengubah, atau menyisipkan kesempatan diagnostik. Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di rumah sakit dimana prosedur ini dijalankan. Praktek berbasis bukti, seperti yang diuraikan dalam Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for 38 Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang segera dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di seluruh rumah sakit; dan harus dibuat oleh orang yang akan melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar; jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien disiapkan dan diselimuti. Lokasi operasi ditandai pada semua kasus termasuk sisi (laterality), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang). Maksud dari proses verifikasi praoperatif adalah untuk : memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto (images), dan hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; Memverifikasi keberadaan peralatan khusus yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi” / Time out memungkinkan setiap pertanyaan yang belum terjawab atau kesimpang-siuran dibereskan. Time out dilakukan di tempat tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan (secara ringkas, misalnya menggunakan checklist) 5. Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Menurut instrumen (KARS, 2012). Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream 39 infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pokok dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari WHO, Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara umum untuk implementasi pedoman itu di rumah sakit. 6. Sasaran VI : Pengurangan risiko pasien jatuh Menurut instrumen (KARS, 2012). Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya atau cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang atau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit. BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH 3.1 Kerangka Pikir Berdasarkan penjelasan berbagai teori yang telah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka, maka dapat dirumuskan tahapan untuk menilai kecukupan dokumen akreditasi dan implementasi adalah sebagai berikut : Gambar 3.1 Kerangka Pikir Penilaian Kesiapan Akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta Sasaran 1: ketepatan identifikasi pasien Sasaran 2: komunikasi efektif Kesiapan Akreditasi Versi Sasaran 3: peningkatan keamanan obat 2012 Standar Sasaran Keselamatan Pasien Sasaran 4: kepastian tepat lokasi, prosedur, pasien operasi Sasaran 5: pengurangan risiko infeksi Sasaran 6: pengurangan risiko pasien jatuh Kerangka pikir di atas menggambarkan sasaran-sasaran yang terdapat pada penilaian akreditasi standar sasaran keselamatan pasien yang terdiri dari enam sasaran seperti sasaran ketepatan identifikasi pasien, sasaran peningkatan komunikasi yang efektif, sasaran peningkatan kemanan obat yang perlu diwaspadai, sasaran kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi, sasaran pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan sasaran pengurangan risiko pasien jatuh. Sasaransasaran tersebut memiliki unsur dari dokumen yang dibutuhkan seperti dokumen akreditasi, pedoman/panduan, kebijakan, dan standar operasional prosedur. 40 41 3.2. Definisi Istilah Tabel 3.1 Definisi Istilah No . 1. Variabel Ketepatan Identifikasi Pasien 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif 3. Peningkatan Keamanan Obat 4. Kepastian Tepat-lokasi, Tepatprosedur, Tepat pasienoperasi Definisi Istilah Cara Ukur Instrumen Pengumpulan dan pencatatan segala keterangan tentang data diri pasien sebelum dirawat atau diperiksa agar setelahnya terjadi tindakan medis yang teliti dan akurat Proses untuk meningkatkan penyampaian informasi/pesan antar tenaga medis dan dari tenaga medis ke pasien melalui cara tertentu sampai pesan dimengerti Pengelolaan dan penyimpanan obatobatan yang secara signifikan berisiko membahayakan pasien Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi. - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi. - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam Peningkatan keamanan pada pasien operasi atau bedah saat tim medis melakukan praanestesi, time out (pra-tindakan di ruang operasi), dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi. - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam 42 5. Pengurangan Risiko Infeksi 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Pengimplementasian program cuci tangan yang efektif dalam rangka mencegah infeksi nosokomial di rumah sakit Pencegahan risiko jatuh pada pasien melalui tindakan pengkajian (assessment), intervensi dan pengawan Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi. - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam Telaah dokumen, Wawancara mendalam, dan observasi. - Daftar telaah dokumen - Pedoman wawancara mendalam BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif melalui pendekatan kualitatif yang didapatkan melalui metode observasi, wawancara mendalam, dan telaah dokumen untuk mengetahui gambaran kesiapan akreditasi pada standar sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Haji Jakarta. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Haji Jakarta, Jl. Raya Pondok Gede no. 4, Jakarta Timur. Dikhususkan pada seksi akreditasi yang dibentuk oleh pihak rumah sakit. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2014. 4.3 Informan Penelitian Dalam penelitian kualitatif pemilihan informan dilakukan menggunakan metode purposive sampling. Pemilihan informan dikarenakan pihak-pihak tersebut adalah pihak yang terlibat atau bertanggung jawab dalam persiapan akreditasi di Rumah Sakit Haji Jakarta khususnya standar sasaran keselamatan pasien. Pemilihan informan harus memenuhi kategori-kategori yang berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini informan dipilih berdasarkan kesesuaian dan kecukupan terhadap topik yang diteliti. Peneliti akan melakukan wawancara mendalam dan menggali informasi selengkapnya dari para informan. Sesuai dengan prasyarat tersebut dan meminta masukkan kepada 43 44 pihak rumah sakit dalam menentukan informan maka informan pada penelitian ini diantaranya adalah Anggota Pokja Akreditasi Rumah Sakit Standar Sasaran Keselamatan Pasien, Seksi Pelayanan Keperawatan dan Kepala Unit Farmasi. Seluruh informan tersebut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan akreditasi rumah sakit yang dilaksanakan oleh KARS. Yang menjadi informan dalam penelitian berjumlah enam orang, yaitu : 1. Anggota Pokja Akreditasi SKP : 1 orang informan 2. Seksi Pelayanan Keperawatan : 2 orang informan 3. Seksi Unit Farmasi : 1 orang informan 4. Pasien : 2 orang informan 4.4. Instrumen Penelitian 1. Pedoman wawancara semi terstruktur. 2. Daftar tilik kelengkapan dokumen akreditasi. 3. Buku catatan dan alat perekam untuk merekam proses wawancara mendalam. 4.5 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam yang rencananya dilaksanakan selama 12 minggu dan observasi. Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun. Hasil wawancara akan dicatat dan direkam menggunakan alat perekam. Sedangkan observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi. Data sekunder diperoleh melalui hasil telaah dokumen yang berkaitan dengan penelitian di bagian pelayanan keperawatan Rumah Sakit Haji Jakarta. Telaah dokumen 45 dilakukan untuk mengetahui berapa banyak dokumen yang telah dibuat oleh seksi, sehingga dapat menggambarkan kesiapan dalam akreditasi. Data sekunder yang telah dikelompokkan berdasarkan standar-standar akan dinilai kelengkapannya berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. 4.6. Validasi Data Guna mempertahankan agar data valid dalam teknik kualitatif deskriptif, peneliti menggukanan triangulasi yang meliputi sumber dan metode. Penggunaan triangulasi pada penelitian ini dijelaskan secara lebih detil pada tabel 4.1. 1. Triangulasi sumber Melakukan cek ulang data dengan fakta dari sumber lainnya, membandingkan dan menggunakan kelompok informan yang sangat berbeda semaksimal mungkin. 2. Triangulasi metode Membandingkan hasil wawancara mendalam dengan telaah dokumen serta observasi yang saling terkait atau mengecek ulang data primer dan data sekunder. 3. Triangulasi data Data dikumpulkan dalam dua jenis data yakni primer dan sekunder dimana data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen. 46 Tabel 4. 1. Sumber Perolehan Data Berdasarkan Sumber Informan dan Metode Pengumpulan Data Elemen pada Sasaran Keselamatan Pasien Sasaran I Sasaran II Sasaran III Sasaran IV Sasaran V Sasaran VI Sumber A, B, D A, B, D A, B, C A, B, D A, B A, B Keterangan: A: Anggota Pokja Akreditasi SKP B: Seksi pelayanan keperawatan C: Seksi unit farmasi D: Pasien Metode W, D W, D, O W, D, O W, D W, D, O W, D, O Jenis Data P,S P,S P,S P,S P,S P,S W: Wawancara D: Telaah dokumen O: Observasi P: Primer S: Sekunder 4.7 Pengolahan dan Analisis Data 4.7.1 Pengolahan Data 1. Data primer Pengolahan dari hasil data primer yang dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam diantaranya : a) Mendengar dan membuat transkrip hasil wawancara b) Menelaah transkrip wawancara c) Merangkum hasil wawancara ke dalam bentuk matriks. 2. Data sekunder Peneliti menelaah dokumen yang tersedia dalam standar akreditasi pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Haji Jakarta. Kemudian mengisi daftar telaah dokumen yang telah tersedia dan mengamati dokumen apa saja yang perlu ditambahkan. 47 4.7.2 Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis interpretasi secara naratif. Setelah memberikan interpretasi, selanjutnya peneliti memberikan narasi gambaran kesiapan pada enam elemen standar sasaran keselamatan pasien. Pada narasi digambarkan kesesuaian jumlah dokumen sesuai dengan standar dari instrumen yang ditetapkan oleh KARS, serta implementasi dilapangan berdasarkan wawancara mendalam dan observasi. BAB V HASIL PENELITIAN 5. 1 Gambaran Umum Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah pihak yang terlibat dalam persiapan akreditasi RS Haji Jakarta dimana diantaranya adalah Pokja Akreditasi bidang Sasaran Keselamatan Pasien, Kepala Perawat dan pasien. Berikut adalah gambaran setiap informan: 1. Anggota Pokja Akreditasi (Informan A) Informan ialah Anggota Pokja Akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta. Informan memiliki tanggung jawab dalam mensukseskan persiapan akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta. 2. Seksi Pelayanan Keperawatan (Informan B dan Informan C) Informan selanjutnya berasal dari seksi pelayanan keperawatan yakni kepala seksi instalasi rawat inap dan kepala sub instalasi (ruang rawat inap Afiyah) RS Haji Jakarta. Informan merupakan tenaga paramedik yang memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien. 3. Kepala Instalasi Farmasi (Informan D) Informan lainnya berasal dari Instalasi Farmasi yakni Kepala Instalasi Farmasi dan dalam pokja akreditasi bertangung jawab dalam standar manajemen pengelolaan obat. Kepala Instalasi Farmasi bertanggung jawab dalam pengelolaan persediaan farmasi termasuk sediaan farmasi yang perlu diwaspadai. 48 49 4. Keluarga Pasien (Informan E dan Informan F) Informan juga berasal dari kalangan keluarga pasien. Informan merupakan keluarga pasien rawat inap RS Haji Jakarta. Dikarenakan pasien tidak mampu menjawab pertanyaan maka yang menjawab adalah keluarga pasien. Informan merupakan pihak yang mengetahui pelayanan yang diberikan oleh RS Haji Jakarta. 5. 2 Profil Rumah Sakit Haji Rumah Sakit Haji Jakarta beralamatkan di Jalan Raya Pondok Gede No. 4 Jakarta Timur dan di atas lahan seluas 1 Ha Rumah Sakit Haji Jakarta dibangun atas 6 (enam) lantai. Keberadaan Rumah Sakit Haji Jakarta tidak berbeda dengan rumah sakit lainnya; yaitu merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang juga melayani masyarakat umum tanpa memandang perbedaan agama dan suku bangsa. Didukung oleh peralatan yang canggih dan ditangani oleh tenaga yang berkualitas dan profesional, Rumah Sakit Haji Jakarta siap melayani kesehatan masyarakat umum. 5. 2. 1 Visi dan Misi Rumah Sakit Haji Jakarta 5. 2. 1. 1 Visi Rumah Sakit Haji Jakarta Dari pemberdayaan dan pemfokusan sumber daya manusia dan kualitas sistem manajemen, kami akan bertumbuh menjadi institusi layanan kesehatan Islami modern, berkelas dunia dengan jejaring rumah sakit di seluruh Indonesia. 5. 2. 1. 2 Misi Rumah Sakit Haji Jakarta Meningkatkan kualitas hidup manusia sebagai ibadah kami kepada Allah melalui penyediaan layanan kesehatan Islami, modern, paripurna dan berkualitas. 50 5. 2. 2 Akreditasi Rumah Sakit Haji Jakarta Rumah Sakit Haji Jakarta telah diakreditasi tingkat dasar (lima pelayanan) oleh Badan Akreditasi Departemen Kesehatan RI pada bulan April 1998. Lima pelayanan yang telah diakreditasi yaitu Unit Gawat Darurat, Administrasi, Keperawatan, Pelayanan Medik dan Rekam Medik dengan hasil lulus. Saat ini Rumah Sakit Haji Jakarta mendapat status akreditasi penuh (16 pelayanan) dari standar lama dan sedang mempersiapkan proses akreditasi rumah sakit versi 2012. 5. 2. 3 ISO 9001:2000 Selain mengikuti akreditasi rumah sakit, Rumah Sakit Haji Jakarta juga telah mengikuti penilaian ISO 9001 : 2000. Persiapan penilaian ISO 9001 : 2000 dimulai pada tanggal 13 Juni 2002 dengan mempersiapkan dokumen POB (Prosedur Operasional Baku) Rumah Sakit Haji Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 November 2002, Rumah Sakit Haji Jakarta mendapatkan sertifikat ISO 9001 : 2000. Hingga kini, Rumah Sakit Haji Jakarta tetap mempertahankan sertifikat ISO 9001 : 2000 dengan melakukan renual tiga tahun sekali; tahun 2005 dan 2008. 5. 2. 4 Kebijakan Mutu Rumah Sakit Haji Jakarta Kebijakan mutu yang ada di Rumah Sakit Haji Jakarta merupakan gabungan dari visi dan misi. Adapun isi dari kebijakan mutu tersebut adalah sebagai berikut: Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sebagai ibadah kami kepada Allah melalui penyediaan layanan kesehatan Islami modern, paripurna dan berkualitas merupakan tekad kuat dari Rumah Sakit Haji Jakarta. Kami akan tumbuh menjadi institusi layanan kesehatan Islami modern, berkualitas dunia dengan jejaring rumah sakit di seluruh Indonesia dari pemberdayaan dan pemfokusan sumber daya manusia kami 51 dan kualitas sistem manajemen. Dengan menjalankan tugas sesuai dengan prosedur, standar serta nilai dasar yaitu, keikhlasan, kejujuran, integritas, kebersihan, penghargaan atas martabat manusia dan keterbukaan pikiran adalah kontribusi sebagai karyawan di Rumah Sakit Haji Jakarta. 5. 3 Sasaran I Keselamatan Pasien : Ketepatan Identifikasi Pasien Sasaran I dalam keselamatan pasien sesuai akreditasi versi 2012 ialah identifikasi pasien. Dalam sasaran ini dilakukan penilaian terhadap praktik, kebijakan dan atau prosedur dalam identifikasi pasien sebelum tindakan, pemberian obat, pemberian darah atau produk darah dan pengambilan spesimen darah atau spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. Berdasarkan telaah dokumen, pihak Rumah Sakit Haji Jakarta telah melengkapi dokumen yang disyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit, yaitu dengan adanya acuan pembuatan kebijakan oleh direktur rumah sakit yaitu Peraturan Menteri Kesehatan 1691/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Tersedia juga dokumen regulasi yaitu Kebijakan/Panduan identifikasi pasien, Standar Operasional Prosedur pemasangan gelang identifikasi, dan Standar Operasional Prosedur sebelum dan sesudah memberikan produk darah. Dokumen tersebut berdasarkan keputusan direktur Rumah Sakit Haji Jakarta nomor : 095/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 (dapat dilihat pada lampiran 3). Dalam hal implementasinya didukung oleh wawancara terhadap informan, identifikasi pasien dilakukan dengan gelang pasien yang memuat nomer rekam medis, nama dan tempat tanggal lahir pasien. Selain itu, petugas juga menanyakan nama pasien terlebih dahulu untuk memastikan kebenaran pasien. Berikut hasil wawancara terhadap informan: 52 “identifikasi dari tiga yaitu nama, nomor rm dan tanggal lahir ditempel di gelang. (Informan A)” “Identifikasi pasien dimulai dari operan dari petugas poliklinik maupun UGD lalu konfirmasi identitas, program, terapi. Yang kedua adalah konfirmasi pasien dan riwayat penyakit. Identitas menggunakan gelang pasien mulai dari poliklinik maupun ruang opname yakni warna biru untuk laki-laki dan warna merah jambu untuk perempuan. Di gelang ada nama, tempat tanggal lahir dan nomer rekam medik. (Informan B)” “Identifikasi menggunakan nama, tanggal lahir dan no rekam medis pada gelang pasien dan mengkonfirmasi kepada pasien atau keluarga pasien.” (Informan C) Dalam identifikasi sebelum pemberian obat, darah atau produk darah dan tindakan serta sebelum mengambil darah dan spesimen lain dilakukan prosedur yang sama yakni menggunakan gelang dan mengkonfirmasi ulang kepada keluarga maupun pasien. Berikut hasil wawancara kepada informan: “Sebelum pemberian obat harus lihat gelang pasien, dicocokan obatnya dengan pasien. Sebelum tindakan sama berdasarkan gelangnya, tidak boleh lihat bed karna bisa jadi pasiennya dipindah. (Informan A) “Pemberian obat mulai dari cek nama, no rekam medik, cek benar obat, dosis, pasien, waktu, cara pemberian dan menanyakan konfirmasi ulang ke pasien dan melihat gelang pasien. mulai dari pemberian dari bank darah, kita akan mengecek dari form permintaan dan darah yang ada. Cek nomer kemasan darah, di label meliputi nama, no RM, tanggal lahir, golongan darah, kondisi darah dan apakah sesuai dengan darah 53 yang diminta, jumlahnya pengambilan spesimen darah oleh petugas laboratorium, pengembailan dahak dan urin oleh perawat akan dicek prosedur dari dokter, siapkan botol, dan siapkan label dan ditempel pada spesimen (Informan B)” “Untuk pemberian obat: ada gelang, dipanggil nama, diinformasikan akan ada pemberian obat, cara pemberian, informasi alergi. Pengambilan darah, dipanggil, akan ada pemberitahuan”(Informan E) Terkait dengan kebijakan atau prosedur yang mengarahkan identifikasi pasien secara konsisten, RS Haji Jakarta telah memiliki prosedur tersebut. Dalam hal ini, peneliti juga telah melakukan observasi terkait implementasi sasaran tersebut. Dalam rangka penyebaran atau sosialisasinya, pihak rumah sakit menyebarkannya melalui beberapa cara seperti melalui selebaran yang ditempel, soft file yang dikirim ke komputer, rapat ruangan, briefing dan komuniasi informal. Berikut hasil wawancara terkait kebijakan dan sosialisasinya: “Sosialisasi seteiap ruangan, ikut rapat ruangan. (Informan A)” “Biasanya lewat rapat ruangan, diberitahukan pas operan jaga dan ada selebaran ditempel dan pada saat setiap hari diingatkan.” (Informan B)” “SOP ada, sosialisasi saat briefing, saat rapat, sudah link ke komputer bisa melihat di komputer kode link nya.”(Inofrman C) Berdasarkan hasil observasi dalam hal implementasi identifikasi menggunakan beberapa identitas pasien, antara lain : biru untuk laki-laki, merah jambu untuk 54 perempuan, merah dengan risiko alergi, dan kuning untuk risiko pasien jatuh. Sedangkan identifikasi sebelum pemberian obat, darah atau produk darah, identifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain serta identifikasi sebelum pengobatan dan tindakan, Rumah Sakit Haji Jakarta telah melaksanakan implementasi. Dalam hal kebijakan, terdapat dokumen kebijakan dan sosialisasinya dilaksanakan dengan baik maka RS Haji Jakarta. 5. 4 Sasaran II Keselamatan Pasien : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif Sasaran II pada Standar Keselamatan Pasien ialah komunikasi yang efektif. Sasaran ini menilai komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh resipien atau penerima sehingga dapat mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Dalam hal ini juga dinilai prosedur dan kebijakan dalam mendukung praktek yang konsisten untuk melakukan verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan melalui telepon. Berdasarkan telaah dokumen, pihak Rumah Sakit Haji Jakarta telah melengkap dokumen yang disyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit antara lain kebijakan/panduan terkait pemberian informasi yang edukatif antar tenaga medis dan tenaga medis ke pasien, serta dokumen Standara Operasional Prosedur komunikasi via telepon. Dokumen tersebut berdasarkan keputusan direktur Rumah Sakit Haji Jakarta nomor : 096/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 (dapat dilihat pada lampiran 4). Hal ini didukung dengan wawancara terhadap informan, petugas paramedis yang telah melakukan komunikasi sesuai dengan prosedur yang sama yakni teknik SBAR (Situation, Background, Analysis, Recommendation). Berikut ringkasan wawancara terkait komunikasi efektif: 55 “Ada SBAR. Bagian keperawatan yang lebih tahu.” (Informan A) “Instuksi dari dokter menggunakan teknik SBAR yakni S situasi pasien dan identitas pasien baru, b background yakni sudah diberikan apa saja, A analisa dari dokter apa, R rekomendasi dari dokter seperti apa.”(Informan B) “.........metode SBAR. Dalam menerima instruksi via telepon, kita harus mengulang kembali....” (Informan C) “....perintah ditulis kembali....ada kolom validasi dari dokter...ada pengulangan dari apa yang disampaikan dokter....sekarang juga sedang dikembangkan komunikasi via telpon...”(Informan D) Dipandang dari sudut pandang pasien, pasien merasa sudah jelas dalam menerima instruksi dari petugas kesehatan. Berikut hasil wawancara terhadap informan: “Diinformasikan dokter melalui lisan saat pemberian instruksi instruksi dari dokter atau perawat jelas, kalau ndak jelas bertanya kembali sampai mengerti.” (Informan E) “….......ada perintah dari dokter dan jelas dipahami......”(Informan F) Menurut observasi yang peneliti lakukan terkait kebijakan atau prosedur tentang komunikasi, RS Haji Jakarta telah memiliki prosedur tersebut dan menyebarkannya seperti kebijakan pada identifikasi pasien. “..Ada sosialisasi dan kebijakan terkait SBAR..” (Informan B) “....Sop nya sama ada dan sosialisasinya sama..”(Informan C) Dalam hal penerimaan instruksi, informasi ditindak secara baik yakni adanya penulisan kembali oleh penerima informasi. Menurut informan, perintah atau hasil 56 pemeriksaan dibacakan kembali yakni dalam bentuk pengulangan kembali dan dikonfirmasi kembali oleh dokter. Dalam hal kebijakan atau prosedur, sudah terdapat prosedur terkait komunikasi namun tidak termasuk didalamnya untuk menuliskan kembali perintah atau hasil pemeriksaan. dan penyebarannya dilakukan sama seperti kebijakan identifikasi pasien. 5.5 Sasaran III Keselamatan Pasien : Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medications) Sasaran III dalam Standar Keselamatan Pasien adalah peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai. Maksud dan tujuan dari sasaran ini ialah pengelolaan yang benar terutama dalam obat yang perlu diwaspadai sehingga dapat memastikan keselamatan pasien. Berdasarkan telaah dokumen, Kebijakan atau Panduan mengenai obat-obat yang high alert mencakup identifikasi, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat high alert sudah dimiliki oleh Rumah Sakit Haji Jakarta. Dokumen tersebut berdasarkan keputusan direktur Rumah Sakit Haji Jakarta nomor : 013/RSHJ/DIR/SK/AKRE/I/2013 (dapat dilihat pada lampiran 5). Berdasarakan kesiapan Standar Keselamatan Pasien, dalam hal kebijakan pengelolaan obat yang perlu diwaspadai, pengimplementasian, dan lokasi penyimpanan, obat elektrolit konsentrat tinggi sudah diletakan dalam tempat yang aman. Dalam hal pelaksanaan pengelolaan obat yang perlu diwaspadai, berdasarkan informan, terdapat prosedur pengelolaan obat yang perlu diwaspadai yang memuat penyimpanan obat berdasarkan stabilitas obat seperti suhu, cahaya dan temperatur. Selain itu, obat yang 57 tergolong dalam high alert juga dipisahkan penyimpananya. Berikut hasil wawancara terhadap informan: “obat yang perlu diwaspadai lokasi terpisah dengan obat yang lain, dan dikasih tanda warna merah. Lingkaran kuning untuk penanda LASA. Untuk yang perlu diwaspadai ada di ruang rawat inap.”(Informan A) “Lokasi aman dari jangkauan pengunjung, pasien lain, tempat suhu yang sudah direkomendasikan. Ada label tersendiri yakni high alert dalam obat tertentu.” (Informan B) “…...Di rawat inap tidak ada boleh cairan konsentrat tinggi kecuali di ICU, OK. .”(Informan C) “penentuan lokasi obat sesuai dengan stabilitas obat, ada dari suhu, cahaya dan temperatur, ada indikator dan monitoringnya juga.”(Informan D) Gambar 5.1 Lemari Penyimpanan Obat High Alert 58 Berdasarkan wawancara, obat yang perlu diwaspadai juga diberikan label yang disebut high alert. Berikut kutipan wawancara terhadap informan: “...ada label tersendiri yakni high alert dalam obat tertentu...”(Informan B) “...penandaan obat diberikan high alert....”(Informan C) Berdasarkan observasi, kebijakan tersebut juga telah dilaksanakan dimana obat yang perlu diwaspadai diletakan pada lokasi yang aman dari jangkauan pengunjung dan pasien lain serta berada ditempat dengan suhu yang sudah direkomendasikan. Obat juga tidak berada pada ruang rawat inap kecuali di ruang ICU dan OK. Sedangkan pelaksanaan waktu implementasi juga telah mencukupi syarat yang ditetapkan yaitu minimal sudah berjalan empat bulan terakhir 5.6 Sasaran IV Keselamatan Pasien : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien Operasi Sasaran IV dalam Standar Keselamatan Pasien ialah kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi. Sasaran ini ditujukan untuk mengurangi salah lokasi, salah prosedur, salah pasien operasi yang dapat terjadi di rumah sakit. Penandaan operasi dilakukan dengan spidol khusus namun dalam implementasinya, menurut informan masih jarang dilakukan. Berdasarkan telaah dokumen, pihak Rumah Sakit Haji Jakarta telah memiliki dokumen regulasi yaitu kebijakan/panduan untuk pelayanan bedah untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien operasi. Dokumen tersebut berdasarkan keputusan direktur RumahSakit Haji Jakarta nomor : 119/RSHJ/DIR/SK/AKRE/IX/2012 (dapat dilihat pada lampiran 6). Sedangkan dokumen implementasi juga sudah ada yaitu 59 daftar checklist operasi untuk selanjutnya dicatat di rekam medis pasien operasi. Hal ini didukung oleh hasil wawancara terhadap informan: “......ditandain sama pulpen atau spidol yang tidak bisa hilang...” (Informan A) “Yang bertanggung jawab dalam operasi yakni semua tim, mulai dari perawat di ruangan, perawat di ruang operasi dan dokter operasi spidol khusus yang ga gampang ilang identifikasi atau gambarnya berkewajiban menandakan operasi yaitu dokter operator. Masalahnya presentase penandaannya kecil sekali mas”(Informan B) “Presentase penandaan sangat kecil yang sudah dilakukan karena terkait tindakan dokter.”(Informan C) Dalam proses operasi juga terdapat checklist yang digunakan sebelum preoperasi. Tim operasi juga ditugaskan untuk mencatat prosedur yang harus dilakukan sebelum time out. Berdasarkan telaah dokumen, terdapat juga SOP terkait identifikasi lokasi operasi, jenis operasi. Berikut hasil wawancara terhadap informant: “Verifikasi pra operasi dengan ditandai yang mau dioperasi, ada ceklis pra operasi dan post operasi.....ada format yang harus diisi...”(Informan C) “Kebijakan identifikasi lokasi operasi ada SOP nya, identifiaksi lokasi operasi, jenis operasi lalu dioperkan ke dokter.” (Informan B) Berdasarkan elemen penilaian Standar Keselamatan Pasien sasaran IV, dalam hal penandaan lokasi operasi tidak selalu dilakukan oleh dokter operator dan presentasenya juga sangat kecil. Padahal Rumah Sakit Haji Jakarta telah memiliki SPO untuk penandaan lokasi operasi. Dalam hal penggunaan checklist, RS Haji Jakarta telah 60 menggunakan checklist sebelum melakukan operasi. RS Haji Jakarta juga telah memiliki prosedur operasi yang digunakan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien- tepat operasi. 5.7 Sasaran V Keselamatan Pasien : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Sasaran V dalam Standar Keselamatan Pasien ialah pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Sasaran ini ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit. Infeksi nosokomial didapat oleh pasien ketika dalam proses asuhan keperawatan atau dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi dikatakan didapat dari rumah sakit apabila sebelum dirawat tidak ada tanda-tanda klinik terjadi infeksi namun selama dirawat muncul tanda-tanda infeksi yang timbul sekurangkurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan. Seluruh orang yang berada di rumah sakit mempunyai potensi yang sama untuk menyebarkan risiko infeksi. Petugas kesehatan seperti perawat, dokter, bidan menjadi pembawa risiko infeksi paling besar karena seringnya kontak langsung dengan pasien. Sesuai instrumen standar akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit, maka metode yang digunakan untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial adalah dengan mencuci tangan. Rumah Sakit Haji Jakarta menggunakan sandi “Tepung Selaci Putih” yang merupakan kepanjangan dari bagian yang harus dicuci seperti telapak, punggung dan sela-sela jari. Berdasarkan telaah dokumen, pihak Rumah Sakit Haji telah melengkapi seluruh dokumen yang dipersyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit, antara lain dokumen regulasi yang terdiri dari Kebijakan/panduan hand hygiene, Standar Operasional Prosedur momen lima 61 cuci tangan maupun dokumen implementasi yaitu indikator infeksi terkait pelayanan kesehatan dan sosialisasi kebijakan dan prosedur cuci tangan. Berikut hasil wawancara terkait prosedur cuci tangan: “ada namanya tepung selaci puput.”(Informan A) “...prosedur enam langkah cuci tangan dan enam waktu cuci tangan, ada yang namanya Tepung selaci putih...”(Informan C) Selain itu, pengendalian risiko infeksi juga dilakukan untuk mencegah infeksi pada operasi, infus dan catheter. Setiap shift yang dilakukan oleh perawat terdapat pelaporan, lalu direkap menjadi laporan harian dan bulanan serta diberikan kepda tim pengendalian infeksi. Berikut hasil wawancara terhadap informan: “.........pengendalian infeksi ada operasi, infus, catheter, di setiap ruangan ada tim INOK tergantung kapasitas pasien. Tiap shift dan tiap hari ada pelaporan, tiap shift, tiap hari lalu tiap bulan. Infus tiga hari ganti, catheter tiap hari...”(Informan C) Menurut observasi yang dilakukan, fasilitas cuci tangan yang baik antara lain wastafel, sabun, dan pedoman mencuci tangan yang benar sudah ada di setiap lorong Rumah Sakit Haji Jakarta. Secara implementasi, fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh petugas kesehatan yang ada di Rumah Sakit, baik sebelum atau sesudah melakukan tindakan. Berdasarkan elemen penilaian Standar Keselamatan Pasien IV, RS Haji Jakarta telah mengadaptasi pedoman hand hygiene yang sudah sesuai dengan yang diterbitkan oleh WHO. Rumah Sakit juga telah menyebarkan prosedur cuci tangan diberbagai ruangan. Terkait dengan kebijakan lain yang mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko infeksi, RS Haji Jakarta telah memiliki prosedurnya. 62 Pelaksanaan waktu implementasi juga telah mencukupi syarat yang ditetapkan, karena rumah sakit telah mengimplementasikannya sejak lama. Gambar 5.2 Stiker Tentang Pedoman Hand-hygiene 5. 8 Sasaran VI Keselamatan Pasien : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Sasaran VI ialah pengurangan risiko jatuh. Sasaran ini ditujukan untuk mengurangi jatuh pasien. Berdasarkan telaah dokumen, berkaitan dokumen regulasi telah dimiliki oleh Rumah Sakit Haji Jakarta yaitu kebijakan asesmen risiko pasien jatuh, serta Standar Operasional Prosedur pemakaian gelang kuning untuk pasien dengan risiko jatuh. hal ini didukung oleh hasil wawancara, terdapat proses asesmen risiko pasien jatuh yang ditunjukan dengan gelang kuning dan sandi-sandi. Namun ketersediaan dokumen implementasi hasil pengurangan cedera akibat jatuh tidak lengkap dan tidak selalu dilakukan oleh pihak rumah sakit. Sementara untuk menilai pasien 63 dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi. Rumah Sakit menyediakan checklist untuk petugas kesehatan lalu membuat skoring untuk menilai risiko pasien tersebut. Skor dibawah 20 adalah pasien dengan risiko rendah, sementara 21 – 39 pasien dengan risiko sedang, dan diatas 40 merupakan pasien dengan risiko tinggi. Berikut hasil wawancara terkait penilaian risiko pasien jatuh: “....pasien diidentifikasi melalui gelang, gelang kuning untuk pasien jatuh, pengurangan risiko pasien jatuh ada tempat tidur yang rodanya bisa dikunci, disetiap kamar mandi ada pegangan dan tempat tidur ada penghalangnya.”(Informan A) ''…..disamping gelang pasien ada gelang kuning untuk menilai kondisi...”(Informan B) “.....sandi morse untuk dewasa dan dampi-dampi untuk anak-anak yakni ada resiko rendah, sedang dan tinggi....”(informan C) Selain itu terdapat juga proses pengurangan risiko pasien jatuh yaitu dengan monitor lebih ketat, kerjasama dengan penjaga pasien dan memasang pengaman pada tempat tidur pasien. “...........dipasang handle di kanan kiri pasien, monitor lebih ketat, bekerjasama dengan penjaga pasien, ada pengamanan tempat tidur juga....”(Informan B) “........ada sampiran tempat tidur, ada penjelasan kepada pasien dan keluarga untuk adanya gelang kuning,...(Informan C) Berdasarkan observasi dalam hal asesmen risiko pasien jatuh, RS Haji Jakarta telah melakukan penilaian risiko yang ditunjukan dengan penggunaan gelang kuning oleh pasien. Pelaksanaan waktu implementasi juga telah mencukupi syarat yang ditetapkan yaitu minimal sudah berjalan empat bulan terakhir. Selain itu terdapat juga sandi-sandi untuk mengukur risiko pasien jatuh, yaitu sandi Morse untuk dewasa dan 64 Humpty Dumpty (dampi-dampi) untuk anak-anak. Dalam hal pengurangan risiko serta langkah RS Haji Jakarta telah menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko pasien jatuh. Terkait kebijakan, RS Haji Jakarta juga telah memiliki prosedur yang baik untuk standar sasaran keselamatan pasien elemen pengurangan risiko pasien jatuh. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal kedalaman pembahasan apa yang menjadi akar permasalahan pada sasaran-sasaran tertentu yang belum mencapai standar yang ditetapkan. Hal tersebut karena penelitian ini hanya menggambarkan kesiapan akreditasi rumah sakit dan berpanduan pada instrumen yang diterbitkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 6.2 Kesiapan RS Haji dalam menghadapi akreditasi versi 2012 pada standar sasaran keselamatan pasien Secara keseluruhan, telah terdapat kebijakan yang dikeluarkan pimpinan RS terkait sasaran keselamatan pasien akreditasi rumah sakit Kementerian Kesehatan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Direktur Rumah Sakit Haji Jakarta Nomor 005/RSHJ/DIR/SK/AKRE/2013 tentang Panduan Enam Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit Haji Jakarta. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai penerapan enam sasaran yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan yakni ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat-lokasi, tepatprosedur, tepat-pasien operasi, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan pengurangan risiko pasien jatuh. Hal tersebut tentunya memberikan suatu tanda bahwa RS Haji Jakarta telah siap untuk mengikuti proses akreditasi Rumah Sakit. Selain itu, dengan adanya kebijakan menandakan bahwa tujuan akan dapat dicapai dimana dalam hal ini adalah adanya peningkatan keselamatan pasien. 65 66 Salah satu hal pokok yang paling berpengaruh dalam kesuksesan sebuah implementasi kebijakan ialah komunikasi, disposisi, struktur birokrasi dan sumber daya (Nuryatin, Minto, & Pani, 2012). Implementasi kebijakan di RS Haji Jakarta mengalami kesuksesan karena adanya komunikasi yang efektif diantara manajemen dan tenaga kesehatan. Penyebaran kebijakan yang tertuang dalam prosedur disebarkan melalui rapat-rapat divisi. Selain itu, kebijakan juga disebarkan melalui komputer-komputer dan selebaran yang ada di ruangan beberapa divisi. Setelah adanya kebijakan, beberapa tugas lain juga perlu diperhatikan. Para aktor pengambil kebijakan seperti pimpinan RS perlu mengambil dan memiliki tanggung jawab terhadap implementasi kebijakan sekaligus memantau kemajuan, mengevaluasi hasil, dan memastikan umpan balik untuk pembuat kebijakan serta mengenalkan aplikasi dari semua hasil penelitian yang berguna (Ayuningtyas, 2014) Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat bisa menjadi gagal karena kurangnya perhatian terhadap pelaksanaan. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dua arah antara pengambil kebijakan dan perencana yang merupakan hal yang mutlak harus dilakukan (William, 1994). Dalam lingkup penelitian ini, tentunya dibutuhkan koordinasi antara pengambil kebijakan dengan pelaksana lapangan seperti perawat, dokter dan tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan yang bekerja di RS Haji Jakarta. 6.3 Sasaran I Keselamatan Pasien: Ketepatan Identifikasi Pasien Maksud dari sasaran ini adalah memastikan bahwa proses identifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatan dilakukan dengan cara yang dapat dipercaya dan mencocokan pelayanan atau 67 pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah, pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau memberikan pengobatan atau tindakan lain (Kementerian Kesehatan, 2011) Rumah sakit Haji Jakarta telah menerapkan identifikasi pasien menggunakan cara yakni melihat identitas pasien pada gelang pasien dan mengkonfirmasi kembali dengan bertanya kepada pasien sebelum pemberian obat, pengambilan spesimen dan sebelum pemberian tindakan. Pihak manajemen pun menyatakan pelarangan untuk melihat identitas melalui tempat tidur pasien mengingat adanya kemungkinan pemindahan pasien sebelumnya sehingga identitas yang berada di tempat tidur tidak cocok dengan pasien yang berada di tempat tidur. Penelitian yang dilakukan pada salah satu rumah sakit di Kota Malang juga menyebutkan bahwa struktur sistem identifikasi pasien sudah tersedia secara lengkap dengan menggunakan gelang pasien dan juga verifikasi terhadap pasien dengan bertanya kepada pasien terkait identitas diri. Namun, masih terdapat kendala dan hambatan dalam hal tersebut seperti kurangnya kebiasaan melakukan verifikasi, keluhan pasien jika terlalu sering ditanya dan kadang terjadi salah cetak nama pada stiker identitas (Anggraeni, Hakim, & Widjiati I., 2014). Studi kasus yang dilakukan di RSUD DR. R. Soetijono Blora terkait kesiapan menghadapi akreditasi versi 2012, dalam keselamatan pasien dan sasaran identifikasi pasien, disebutkan bahwa masih terdapat permasalahan dalam proses identifikasi pasien. Pada dasaranya, identifikasi pasien sudah dilakukan namun belum dilakukan secara 68 maksimal. Permasalahan yang terjadi seperti belum adanya evaluasi, pengadaan gelang belum merata dan lengkap serta kebijakan dan pedoman yang belum lengkap (Dwi Octaria, 2014). WHO juga menyatakan pentingnya melibatkan pasien untuk mengidentifikasi sendiri sebelum menerima tindakan atau obat dalam proses identifikasi pasien (WHO, 2007) (WHO Collaborating Centre for Patient Safety SOlutions, 2007). Rumah Sakit Haji Jakarta juga telah mengembangkan kebijakan dan prosedur yang mengarahkan identifikasi yang konsisten. Hal tersebut juga sesuai dengan yang dinyatakan WHO yakni diperlukan adanya standarisasi identifikasi pasien dalam fasilitas pelayanan kesehatan (WHO Collaborating Centre for Patient Safety SOlutions, 2007). RS Haji Jakarta sendiri telah mengembangkan prosedur pemakaian gelang yang berbeda pada setiap karakter pasien dan prosedur untuk menanyakan kembali pada setiap pasien. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan dapat menimalisir terjadinya kesalahan pasien atau kesalahan pemberian tindakan atau obat yang diterima. 6.4 Sasaran II Keselamatan Pasien: peningkatan komunikasi yang efektif Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien (Kementerian Kesehatan, 2011). Standar akreditasi rumah sakit versi 2012 pada sasaran keselamatan pasien mensyaratkan agar rumah sakit menyusun cara komunikasi yang efektif, tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dapat dipahami penerima. Hal itu untuk mengurangi kesalahan dan menghasilkan perbaikan keselamatan pasien. Dalam hal komunikasi, Rumah Sakit Haji Jakarta telah menerapkan teknik 69 komunikasi SBAR (Situation, Background, Analysis, Recommendation). Teknik komunikasi tersebut dinilai efektif dan dapat meningkatkan kepuasan dan motivasi perawat dalam melakukan operan (Safitri, 2012). Penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit di daerah Blora menyebutkan bahwa mereka belum menggunakan sistem komunikasi SBAR dan CABAK (catat, baca dan konfirmasi). Disana juga belum ada pengulangan untuk perintah yang diberikan oleh dokter konsulen sehingga masih bisa terjadi kesalahan dalam konsultasi (Dwi Octaria, 2014). Penelitian yang dilakukan pada RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan bahwa komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien belum menggunakan format SBAR namun sudah melakukan CABAK. Berdasar observasi yang dilakukan, mereka hanya melakukan Situation dan Background saja, sedangkan Assessment hanya dilakukan oleh beberapa petuga dan Recommendation sama sekali belum dilakukan (Setyaningrum, 2015). Penelitian yang dilakukan di RSUD Kota Mataram menyebutkan terjadi perbedaan efektifitas dari setiap langkah komunikasi SBAR pada perawat di RSUD tersebut. Pada fase situation efektivitas bernilai 82,0%, sedangkan pada background hanya bernilai 33,0%. Pada fase assessment dan recommendation, persentase efektifitas bernilai 36,0% (Supinganto, Mulianingsih, & Suharmanto, 2015). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa metode SBAR memiliki hubungan positif antara penerapan metode komunikasi SBAR pada handover keperawatan dengan kinerja perawat di ruang triage IGD RSUP Sanglah Denpasar (Suprapta, 2012). Adanya komunikasi yang efektif tentunya menjadi salah satu upaya untuk meminimalisir kesalahan penanganan terhadap pasien. Tidak adanya komunikasi yang efektif barang tentu dapat menyebabkan kesalahan dalam penanganan terhadap pasien. 70 Penggunaan teknik komunikasi SBAR dapat mengukur fokusnya informasi. Teknik SBAR Juga memberikan peluang kepada pasien untuk berkomunikasi secara efektif serta mereduksi adanya repetisi. SBAR juga mendorong untuk formulasi komunikasi yang benar dengan detail (mu Wales, 2012). Dengan adanya implementasi komunikasi menggunakan teknik SBAR di Rumah Sakit Haji Jakarta, tentunya hal ini memberikan keuntungan terutama dalam hal menurunkan angka kecelakaan pasien. 6.5 Sasaran III Keselamatan Pasien : Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medications) Rumah Sakit Haji Jakarta telah menerapkan kebijakan atau prosedur yang memuat identifikasi, lokasi, pemberian label dan penyimpanan obat yang perlu diwaspadai. Obat-obatan yang perlu diwaspadai disimpan di dalam lemari pada ruang instalasi farmasi, beserta dengan daftar obat high alert. Selain itu di setiap ruang perawat inap terdapat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai. Hal ini sangat penting mengingat ketika apoteker tidak hadir, obat-obat tersebut mampu dikelola oleh setiap unit klinis sesuai kebijakan rumah sakit. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dimana elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati (Kementerian Kesehatan, 2014). Penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan 71 bahwa RS tersebut belum melakukan penyimpanan obat high alert sesuai dengan standar yang seharusnya. Obat-obat high alert pada rumah sakit tersebut masih disimpan bercampur dengan obat lain yang tidak termasuk obat high alert dan akses tidak dibatasi dengan ketat (Setyaningrum, 2015). Pada penelitian lain, juga disebutkan bahwa terdapat peningkatan kesesuaian penyimpanan obat high alert setelah dilakukan intervensi berupa sosialisasi dalam bentuk pelatihan, penyusunan daftar obat high alert dan pelabelan obat tersebut (Hermanto, Risdiana, & Harimurti, 2015). Keamanan obat juga menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam keselamatan pasien. Obat menjadi salah satu komponen dalam melakukan perawatan pasien. Obatobatan yang perlu diwaspadai (high alert medications) antara lain ialah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius (sentinel event). Obat yang berisiko tinggi menyebabkan dapak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip) Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM atau Look Alike Sound Alike/LASA) (Kementerian Kesehatan, 2014). 6.6 Sasaran IV Keselamatan Pasien : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat Pasien Operasi Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, tim operasi Rumah Sakit Haji Jakarta memiliki presentase yang sangat kecil dalam penandaan lokasi operasi. Padahal menurut informan, prosedur penandaan lokasi operasi sudah disosialisasikan. Selain itu alat pendukung untuk menandai lokasi operasi seperti spidol atau penanda yang tidak mudah hilang sudah tersedia. Dalam instrumen akreditasi versi 2012, setiap rumah sakit terutama dokter operator dituntut untuk konsisten melakukan penandaan lokasi operasi. 72 Masalah manusia memang menjadi salah satu akar permasalahan dalam melakukan operasi (Murtedjo, 2012). Rumah Sakit Haji Jakarta juga telah menggunakan suatu checklist dalam proses operasi. Checklist dalam operasi dilakukan dengan maksud memverifikasi lokasi, prosedur dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto, hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik dan dipampang serta melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan atau implant yang dibutuhkan. Oleh karena itu, proses ini merupakan proses yang penting untuk dilakukan. Setelah itu, tim operasi juga diharapkan menerapkan pencatatan sebelum dimulainya suatu prosedur atau tindakan pembedahan. Dengan itu, masalah yang terdapat dapat diselesaikan sebelum dimulainya pembedahan dan diharapkan pembedahan berjalan dengan lancar (Kementerian Kesehatan, 2014). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di sebuah rumah sakit menyebutkan bahwa sebagian besar perawat telah melakukan upaya untuk meningkatkan ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien operasi sebelum dilakukan operasi ke pasien. Berbagai upaya tersebut ialah melakukan pengecekan terkait identitas pasien, mengecek ketepatan prosedur dan lokasi operasi serta melakukan beberapa prosedur rutin seperti enema sesuai instruksi dokter, menganjurkan pasien untuk puasa, sebelum memberi antibiotik melakukan test alergi terlebih dahulu, menyiapkan dan mengecek hasil foto-foto rontgen dan hasil pemeriksaan lainnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah kekeliruan lokasi, prosedur, dan pasien operasi (Iswati, 2013). Penelitian lain yang dilakukan di RS Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan bahwa meskipun prosedur penandaan pasien operasi sudah ada tetapi pelaksanaan 73 penandaan belum berjalan dengan baik. Penandaan lokasi operasi belum dilaksanakan sempurna dimana penandaan hanya dilakukan pada beberapa kasus seperti pada pasien ortopedi, kasus tumor mammae (Setyaningrum, 2015). Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien pada operasi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya komunikasi yang kurang efektif antar anggota tim bedah, kurangnya pelibatan pasien dan tidak adanya prosedur verifikasi okasi operasi. Selain itu, beberapa faktor juga turut berkontribusi dalam menyebabkan kesalahan-kesalahan tersebut seperti asesmen pasien yang tidak adekuat, penelahaan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca dan pemakaian singkatan (Kementerian Kesehatan, 2014). 6.7 Sasaran V Keselamatan Pasien: Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan Sasaran V keselamatan pasien pada standar akreditasi versi 2012 ialah pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, pokok dari eleminasi infeksi ialah dengan cuci tangan yang tepat. Oleh karena itu, pihak akreditasi rumah sakit memfokuskan penggunaan metode cuci tangan pada sasaran ini. Sedangkan, aspek lain dalam hal pencegahan dan pengendalian infeksi dinilai dalam komponen lain akreditasi yakni pada standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang termasuk didalamnya penilaian terkait peran kepemimpinan, pelatihan dan pelatihan staf, penggunaan metode untuk mengidentifikasi risiko infeksi, pendidikan serta kebijakan dan prosedur yang ada. 74 Bila melihat lebih dalam terkait dengan infeksi yang dapat terjadi pada pelayanan kesehatan, infeksi dapat terjadi pada beberapa bagian seperti sistem pernafasan, perkemihan, pencernaan, pembuluh darah dan luka pembedahan. Sedangkan macammacam infeksi yang dapat terjadi diantaranya Infeksi saluran kemih (UTI), Phlebitis, Bronchopnemnonia, Decubitus, Dehiscensi luka operasi, Influenza, Selulitis dan Sepsis. Terkait dengan penyebab infeksi pada pelayanan kesehatan, seperti yang juga telah disebutkan oleh komite akreditasi rumah sakit, salah satu faktor yang mempengaruhi ialah higienitas daripada petugas kesehatan (Effendy, 2013). Dalam aspek hand hygiene, RS Haji Jakarta mengadopsi cara mencuci tangan “Tepung Selaci Putih” atau “Tepung Selaci Puput” yakni telapak tangan, punggung tangan, sela-sela jari, putar ibu jari dan putar ujung jari. Berdasarkan observasi yang dilakukan, poster-poster panduan mencuci tangan juga sudah disebarkan pihak rumah sakit ke berbagai ruang seperti ruang perawat sehingga bisa menjadi pengingat bagi semua pihak agar melakuan kegiatan cuci tangan dengan baik dan benar. Penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit menunjukkan bahwa petugas masih belum memahami pentingnya 5 momen untuk melakukan cuci tangan. Petugas kebanyakan hanya melakukan cuci tangan pada saat setelah melakukan tindakan dan setelah kontak dengan pasien.. Petugas sangat jarang sekali melakukan bahkan hampir tidak pernah melakukan cuci tangan sebelum kontak dengan pasien. Hal ini disadari oleh petugas, namun sudah menjadi suatu kebiasaan yang diterapkan sehingga menjadi budaya tersendiri (Dwi Octaria, 2014). Hasil observasi yang ditemukan di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dalam 75 pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Kekurangan tersebut diantaranya ialah sarana cuci tangan yang belum tersedia secara merata dan memadai, cuci tangan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai dengan standar WHO tetapi beberapa dari petugas melakukan dengan urutan yang masih belum benar, kepatuhan dan pemahaman petugas akan cuci tangan 5 waktu belum baik, dan belum adanya evaluasi (Setyaningrum, 2015). Hasil penelitian di rumah sakit lain menunjukkan sebagian besar perawat telah menerapkan tindakan untuk mengurangi infeksi dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan, mendisinfeksi bagian tubuh yang akan dirawat luka, memakai alat-alat yang sudah disterilkan, dan memakai sarung tangan saat melakukan tindakan apapun (Iswati, 2013). Cuci tangan bisa dilakukan dengan dua cara yakni mencuci tangan dengan air dan mencuci tangan berbahan dasar alkohol. Dimana dalam setiap prosesnya tetap menggunakan konsep “Tepung Selaci Putih” namun dalam mencuci tangan menggunakan air, gerakan dilakukan pengulanagan sebanyak delapan kali dan dengan alkohol cukup diulang empat kali (RSUD dr. M. Ashari, 2014). Melakukan cuci tangan dengan tepat dapat mereduksi infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah dan juga pneumonia (Kementerian Kesehatan, 2011). Cuci tangan merupakan prosedur satu-satunya yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial (Zuhriyah, 2004). 6.8 Sasaran VI Keselamatan Pasien: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Rumah Sakit Haji Jakarta telah melakukan asesmen terhadap risiko pasien jatuh. 76 Dengan menggunakan pedoman asesmen, pasien dengan skor 20 masuk kategori rendah, 21-39 kategori sedang, dan pasien yang skornya diatas 40 tergolong ke dalam pasien risiko jatuh kategori tinggi. Selain itu terdapat sandi-sandi untuk mengukur risiko pasien jatuh, yaitu Sandi Morse untuk dewasa dan Humpty Dumpty (dampi-dampi) untuk anakanak. Setelah asesmen, pasien dengan risiko jatuh ditandai dengan pemakaian gelang kuning. Selain asesmen, Rumah Sakit Haji Jakarta juga melakukan beberapa upaya lain untuk dapat mereduksi kasus pasien jatuh antara lain dengan komunikasi intensif dengan keluarga pasien, penggunaan tempat tidur dengan memakai sampiran dan roda tempat tidur tersebut dapat dikunci, memberi pegangan di kamar mandi. Selama dalam perawatan pasien tersebut wajib didampingi Penelitian yang dilakukan di RSUD DR. R. Soetijono Blora menunjukan bahwa RS tersebut belum melakukan penilaian awal dan juga penilaian pada saat perubahan kondisi pada pasien dengan risiko jatuh. Kondisi tersebut disinyalir dikarenakan karena belum adanya kebijakan dan pedoman terkait dengan penilaian pasien dengan risiko jatuh (Dwi Octaria, 2014). Hasil penelitian terkait kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pencegahan pasien risiko jatuh di RS Borromeus menunjukan bahwa 98% perawat sudah patuh melakukan penilaian terhadap pasien risiko jatuh menggunakan Morse Fall Scale (MFS), 68% patuh memasang gelang pasien berisiko jatuh, 68% patuh memasang label segitiga dan 96% patuh dalam pemasangan pagar pengaman tempat tidur (Setyarini & Herlina, 2013). Penelitian yang dilakukan pada RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menyebutkan bahwa penilaian awal pada pasien telah dilakukan namun belum dilakukan dengan metode yang benar. Penggunaan gelang 77 kuning pada pasien dengan risiko jatuh juga belum dilakukan dengan optimal. Hal tersebut dikarenakan kebijakan mengenai asesmen pasien risiko jatuh belum diketahui dan dipahami dengan benar oleh petugas (Setyaningrum, 2015). Pasien jatuh menjadi salah satu penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Rumah sakit perlu mengevaluasi dan mengambil tindakan untuk dapat mengurangi kasus tersebut sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien. Evaluasi yang dapat dilakukan antara lain mengidentifikasi riwayat jatuh, obat dan telaah konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan serta alat bantu berjalan yang digunakan pasien (Kementerian Kesehatan, 2014). Secara teoritis, jntuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya pasien jatuh -dengan atau tanpa cidera- perlu dilakukan pengkajian di awal maupun kemudian pengkajian ulang secara berkala mengenai risiko pasien jatuh, termasuk risiko potensial yang berhubungan dengan jadwal pemberian obat serta mengambil tindakan untuk mengurangi semua risiko yang telah diidentifikasikan tersebut. Pengkajian risiko jatuh ini telah dapat dilaksanakan sejak pasien mulai mendaftar (Setyarini E. A., 2014). BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7. 1 Simpulan 7.1.1 Gambaran kesiapan akreditasi Rumah Sakit Haji pada sasaran I (ketepatan identifikasi pasien) Pada sasaran I, yakni sasaran ketepatan identifikasi pasien, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai telah siap pada sasaran ini. Hal ini dibuktikan berdasarkan telaah dokumen pihak rumah sakit Haji Jakarta telah melengkapi yang disyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Kebijakan dan sosialisasinya telah berjalan, sedangkan implementasi pengadaan dan pemasangan gelang telah dilakukan. Begitu juga identifikasi dalam pemberian obat dan produk darah. 7.1.2 Gambaran kesiapan akreditasi Rumah Sakit Haji pada sasaran II (peningkatan komunikasi yang efektif) Pada sasaran II yakni peningkatan komunikasi yang efektif, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai telah siap pada sasaran ini. Berdasarkan telaah dokumen pihak rumah sakit telah melengkapi kebijakan atau prosedur, diantaranya sudah terdapat prosedur terkait komunikasi dan juga sudah disebarkan secara baik. Pihak Rumah Sakit Haji Jakarta menggunakan teknik SBAR (Situation, Backgroung, Analysis, Recommendation). Dalam hal penerimaan instruksi, informasi ditindak secara baik yakni adanya penulisan kembali oleh penerima informasi. Perintah atau hasil pemeriksaan juga dibacakan kembali dalam bentuk pengulangan dan dikonfirmasi kembali oleh dokter. 78 79 7.1.3 Gambaran kesiapan Rumah Sakit Haji pada sasaran III (peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai) Pada sasaran III yakni peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai telah siap pada sasaran ini karena telah terdapat kebijakan pengelolaan obat yang perlu diwaspadai yang mencakup identifikasi, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat high alert. RS Haji juga telah mengimplementasikan kebijakan tersebut sesuai syarat yang ditetapkan yaitu minimal sudah berjalan empat bulan terakhir. yakni dengan melakukan pelabelan dan meletakkan pada tempat yang aman dari jangkauan pengunjung dan pasien lain serta berada ditempat dengan suhu yang sudah direkomendasikan terhadap obat-obat yang perlu diwaspadai. 7.1.4 Gambaran kesiapan Rumah Sakit Haji pada sasaran IV (kepastian tepatlokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi) Pada sasaran IV yakni kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur dan tepat-pasien operasi, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai masih belum siap pada sasaran ini mengingat petugas kesehatan belum melaksanakan penandaan lokasi operasi dengan spidol khusus secara teratur. Dalam hal penggunaan checklist, petugas selalu menggunakan checklist setiap melakukan oeprasi. RS Haji Jakarta juga telah memiliki prosedur operasi yang digunakan untuk memastikan tepat lokasi, tepat operasi, tepat prosedur dan tepat pasien. Oleh karena itu, RS Haji Jakarta masih dinilai masih belum siap pada sasaran akreditasi ini. 7.1.5 Gambaran kesiapan Rumah Sakit Haji pada sasaran V (pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan) Sesuai dengan Standar Sasaran Keselamatan Pasien kelima yakni pengurangan 80 risiko infeksi, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai telah siap pada sasaran ini. RS Haji Jakarta telah melakukan adaptasi pedoman hand hygiene karena sudah sesuai dengan yang diterbitkan WHO yakni dengan menggunakan sandi “Tepung Selaci Putih” yang merupakan kepanjangan dari bagian yang harus dicuci seperti telapak, punggung dan sela-sela jari. Pihak rumah sakit juga telah menyebarkan prosedur cuci tangan diberbagai ruangan. Terkait dengan kebijakan lain yang mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko infeksi, RS Haji Jakarta juga telah memiliki kebijakan hand hygiene, Standar Operasional Prosedur momen lima cuci tangan maupun dokumen implementasi yaitu indikator infeksi terkait pelayanan kesehatan, sosialisasi kebijakan dan prosedur cuci tangan sebagaimana sesuai dengan yang disyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 7.1.6 Gambaran kesiapan Rumah Sakit Haji pada sasaran VI (pengurangan risiko pasien jatuh) Dalam sasaran VI yakni pengurangan risiko pasien jatuh, Rumah Sakit Haji Jakarta dinilai belum siap pada sasaran ini dikarenakan belum selalu tersedianya dokumen implementasi yaitu form monitoring dan evaluasi hasil pengurangan risiko pasien jatuh. Pada dasarnya, RS Haji Jakarta telah melakukan penilaian risiko yang ditunjukan dengan penggunaan gelang kuning oleh pasien yang berisiko jatuh. Rumah Sakit menyediakan checklist untuk petugas kesehatan lalu membuat skoring untuk menilai risiko pasien tersebut. Selain itu terdapat juga sandi-sandi untuk mengukur risiko pasien jatuh. Dalam hal pengurangan risiko, RS Haji Jakarta telah menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko pasien jatuh seperti monitor lebih ketat, kerjasama dengan penjaga pasien dan memasang pengaman pada tempat 81 tidur pasien. Pelaksanaan waktu implementasi juga telah mencukupi syarat yang ditetapkan yaitu minimal sudah berjalan empat bulan terakhir. 7. 2 Saran 7. 2. 1 Bagi Rumah Sakit Haji Jakarta 1. Mengontrol ketersediaan gelang dan pemasangannya pada pasien sebagai bagian penting dari identifikasi pasien, sebelum dan setelah mendapatkan status akreditasi. 2. Mempelajari dan mengembangkan teknik komunikasi selain SBAR untuk meningkatkan hasil yang lebih baik lagi dalam hal peningkatan komunikasi efektif di rumah sakit. 3. Melaksanakan orientasi saat pendidikan dan pelatihan terkait obat-obatan pada seluruh tenaga medis di unit rawat inap dan rawat jalan, agar tidak terjadi salah pemberian obat jenis elektrolat konsentrat tinggi. 4. Memberikan sosialisasi lebih intensif dan persuasif terhadap tim bedah dalam hal penandaan lokasi operasi sehingga pelaksanaan penandaan lokasi operasi dapat dilakukan pada setiap operasi yang dilakukan, serta membuat form monitoring dan evaluasi agar meningkatkan kepatuhan penandaan lokasi operasi pada dokter operator. 5. Menambah sarana dan prasarana yang sudah ada sekarang berkaitan dengan cuci tangan agar risiko infeksi nosokomial dapat diminimalisir lagi, seperti penambahan wastafel dan sabun cuci tangan. 6. Melengkapi dokumen yang disyaratkan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit, yaitu form monitoring dan evaluasi hasil pengurangan risiko pasien jatuh DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, D., Hakim, L., & Widjiati I., C. (2014). Evaluasi pelaksanaan sistem identifikasi pasien di instalasi rawat inap rumah sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 97-102. Ayuningtyas, Dumilah. (2014). Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Pedoman akreditasi rumah sakit. Jakarta : Dirjen Pelayanan medik, direktorat rumah sakit umum dan pendidikan Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2011. Standar Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta. Dwi Octaria, R. (2014). Analisis kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi 12 pelayanan terhadap pemenuhan standar akreditasi versi 2012 (Studi kasus RSUD DR. R. Soetijono Blora). Yogyakarta: UMY Thesis. Effendy, C. (2013). Infeksi Nosokomial. Retrieved from www.ugm.ac.id: https://www.google.com.tr/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad= rja&uact=8&ved=0ahUKEwi9li61OvLAhWMDpoKHX4uDEAQFghDMAU&url=http%3A%2F%2Felisa.ugm.a c.id%2Fuser%2Farchive%2Fdownload%2F26240%2F699c7a2ce792b8031140576 064d3ab64&usg=AFQjCNEdelwqAtL9z33S Hafizurrachman. (2009). Sumber Daya Manusia Rumah Sakit di Q-Hospital. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 8, Agustus 2009. Hariyono, W. (2013). Analisis kesiapan menghadapi akreditasi pada pelayanan administrasi dan manejemen di rumah sakit umum rajawali citra kabupaten Bantul (telaah pembanding pada akreditasi rumah sakit bidang pelayanan k3b). KESMAS, 113-116. Hermanto, B., Risdiana, I., & Harimurti, S. (2015). Pengelolaan obat high alert medication pada tahap distribusi dan penyimpanan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Yogyakarta: Tesis UMY. Iswati. (2013.). Penerapan sasaran keselamatan pasien di rumah sakit. Retrieved from http://jurnal-griyahusada.com:http://jurnal- 82 83 griyahusada.com/awal/images/files/PENERAPAN%20SASARAN%20KESELA MATAN%20PASIEN%20DI%20RUMAH%20SAKIT.pdf Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2011. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2014. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit versi 2012. Jakarta. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). 2012. Laporan Survei Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta. KKP-RS. 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI. Murtedjo, Urip. (2012). Peran Dokter Bedah Dalam Meningkatkan Keselamatan Pasien. Bahan Presentasi Kongres XII Seminar Tahunan Patient Safety. NHS Wales. Improving Clinical Communication Using SBAR. (2012). Artikel diakses dari www.1000livesplus.wales.nhs.uk pada 5 November 2014 NHS Wales. (2014, november 5). Improving clinical communication using SBAR. Retrieved from www.1000liveplus.wales.nhs.uk: www.1000liveplus.wales.nhs.uk Nuryatin, S. P., Minto, H., & Pani, R. S. (2012). Implementasi pelayanan kesehatan masyarkat miskin non kuota (Jamkesda dan SPM) (Studi di DInas Kesehatan Kabupaten Blitar). Jurnal Administrasi Publik, 1195-1202. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Prawira, Z. Y., & Asfawi, S. (2016). Gambaran kesiapan akreditasi KARS berdasarkan standar MKI 16 (manajemen komunikasi dan informasi) di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang Tahun 2015. Karya Tulis Ilmiah. Rasdini, I. A., Wedri, N. M., & Mega, I. (2014). Hubungan penerapan budaya keselamatan pasien dengan supervisi pelayanan keperawatan oleh perawat pelaksana. Retrieved from poltekkes-denpasar.ac.id: http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA%20KEPERAWATAN/DESEMBER%2 02014/ARTIKEL%20IGA%20Ari%20Rasdini%20dkk,.pdf RSUD dr. M. Ashari, Kabupaten Pemalang. Peringatan Hari Cuci Tangan Sedunia. Artikel diakses dari www.rsud.pemalangkab.go.id pada 20 Oktober 2014 84 RSUD Dr. Soegiri Lamongan. (2015, 2 29). Standar akreditasi rumah sakit. Retrieved from lamongankab.go.id: http://lamongankab.go.id/instansi/rsud-soegiri/standarakreditasi-rumah-sakit/ Safitri, Rina. (2012) Pengaruh Teknik Komunikasi SBAR Terhadap Motivasi dan Kepuasan Perawat Dalam Melakukan Operan di Ruang Rawat Inap RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012. Tesis Universitas Andalas. Setyaningrum, N. D. (2015). Evaluasi kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi 5 pelayanan terhadap pemenuhan standar patient safety akreditasi versi 2012 (studi kasus di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II). Yogyakarta: Tesis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Setyarini, E. A. (2014). Pelaksanaan standar prosedur operasional: identifikasi risiko pasien jatuh dengan menggunakan skala jatuh morse di rumah sakit A Bandung. Setyarini, E.A., & Herlina, L. L. (2013). Kepatuhan perawat melaksanakan standar prosedur operasional: pencegahan pasien risiko jatuh di gedung yosef 3 Dago dan Surya Kencana Rumah Sakit Borromeus. Jurnal Kesehatan STIKES Santo Borromeus, 94-150. Soepojo P. (2002). Benchmarking system akreditasi rumah sakit di Indonesia dan Australia. Jurnal manajemen Pelayanan Kesehatan. Sukowati Phasky Nuryatin, Hadi Minto, Rengu Stefanus Pani. (2012). Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Non Kuota (Jamkesda dan SPM) (Studi di Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar). Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol .1, No. 6, Hal. 1195-1202 Supinganto, A., Mulianingsih, M., & Suharmanto. (2015). Identifikasi Komunikasi Efektif SBAR (Situation, Background, Assesment, Recommendation) di RSUD Kota Mataram.Retrieved from stikesyarsimataram.ac.id: http://stikesyarsimataram.ac.id/syscontent/uploads/file/Artikel%20SBAR%20SUHARMANTO%20febjuli%202015.pdf Suprapta, Made Ani. (2012). Hubungan Metoda Komunikasi SBAR Pada Handover Keperawatan Dengan Kinerja Perawat di Ruang Triage IGD RSUP Sanglah Denpasar. Artikel diakses dari www.sanglahhospitalbali.com, 25 oktober 2014 WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions, Patient Identifications, Patient Safety Solutions, volume 1, solution 2, May 2007. William, R. A. Health Planning for Effective Management. Oxford University Press. Diterjemahkan oleh: Laksono Trisnantoro dan Sigit Ryarto dalam judul 85 Perencanaan kesehatan Untuk Meningkatkan Efektivitas Manajemen. Gadjah Mada University Press. 1994 World Health Organization. (2005). World Alliance for Patient Safety: forward programme 2005. Zegers, M., Wollersheim, H., Wensing, M., Vincent, C., & Grol, R. (2013). Patient safety and risk prevention. John WIley and Sons. Zuhriyah, Lilik. Gambaran Bakteriologis Tangan Perawat. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XX, No.1, April 2004. Pedoman Wawancara untuk Pokja Akreditasi RS Haji Identitas Informan Nama : Umur : Jabatan : No. Kontak : Keterangan Wawancara Hari/Wawancara : Durasi : Pokok Bahasan Sasaran 1 1. Bagaimana prosedur identifikasi pasien rawat inap di RS Haji? 2. Bagaimana prosedur identifikasi sebelum pemberian obat, darah atau porduk darah? 3. Bagaimana identifikasi pasien sebelum pengambilan spesimen? 4. Bagaimana prosedur identifikasi pasien sebelum pemberian tindakan? 5. Adakah kebijakan atau SOP identifikasi pasien, kalau ada bagaimana sosialisisainya? Sasaran 2 1. Bagaimana pemberian perintah hasil pemeriksaan baik secara lisan maupun melalui telepon? 2. Adakah kebijakan atau SOP pemberian perintah hasil pemeriksaan baik secara lisan maupun telepon, kalau ada bagaimana sosialisasinya? Sasaran 3 1. Adakah dan bagaimana kebijakan atau prosedur dalam identifikasi, lokasi, label dan penyimpanan obat yang perlu diwaspadai? 2. Bagaimana penentuan lokasi, pemberian label dan penyimpanan obat serta penanganan elektolit konsentrat? Sasaran 4 1. Bagaimana kebijakan atau prosedur dalam mengidentifikasi lokasi operasi? 2. Bagaimana praktek identifikasi lokasi operasi termasuk verifikasi preoperasi Sasaran 5 1. Bagaimana kebijakan dan prosedur hand hygiene RS? 2. Bagaimana penerapan hand hygiene di RS? Sasaran 6 1. Bagaimana proses assessmen resiko pasien jatuh? 2. Bagaimana kebijakan atau prosedur yang berkaitan dengan pengurangan resiko cedera pasien akibat jatuh di rumah sakit? Pedoman Wawancara untuk Perawat RS Haji Identitas Informan Nama : Umur : Jabatan : No. Kontak : Keterangan Wawancara Hari/Wawancara : Durasi : Pokok Bahasan Sasaran 1 1. Bagaimana prosedur identifikasi pasien rawat inap di RS Haji? 2. Bagaimana prosedur identifikasi sebelum pemberian obat, darah atau porduk darah? 3. Bagaimana identifikasi pasien sebelum pengambilan spesimen? 4. Bagaimana prosedur identifikasi pasien sebelum pemberian tindakan? 5. Adakah kebijakan atau SOP identifikasi pasien, kalau ada bagaimana sosialisisainya? Sasaran 2 1. Bagaimana pemberian perintah hasil pemeriksaan baik secara lisan maupun melalui telepon? 2. Adakah kebijakan atau SOP pemberian perintah hasil pemeriksaan baik secara lisan maupun telepon, kalau ada bagaimana sosialisasinya? 3. Apakah terdapat komunikasi dua arah antara dokter dan perawat? Seperti dokter memberi perintah lalu perawat mengulangnya kembali. Sasaran 3 1. Adakah dan bagaimana kebijakan atau prosedur dalam identifikasi, lokasi, label dan penyimpanan obat yang perlu diwaspadai? 2. Bagaimana penentuan lokasi, pemberian label dan penyimpanan obat serta penanganan elektolit konsentrat? Sasaran 4 1. Bagaimana kebijakan atau prosedur dalam mengidentifikasi lokasi operasi? 2. Bagaimana praktek identifikasi lokasi operasi termasuk verifikasi preoperasi? 3. Apakah tim medis mencatat semua prosedur selama operasi? Sasaran 5 1. Bagaimana kebijakan dan prosedur hand hygiene RS? 2. Bagaimana penerapan hand hygiene di RS? 3. Bagaimana pengendalian pengurangan risiko infeksi? Sasaran 6 1. Bagaimana proses assessmen resiko pasien jatuh? 2. Bagaimana kebijakan atau prosedur yang berkaitan dengan pengurangan resiko cedera pasien akibat jatuh di rumah sakit? Pedoman Wawancara untuk Pasien Identitas Informan Nama : Umur : Jabatan : No. Kontak : Keterangan Wawancara Hari/Wawancara : Durasi : Pokok Bahasan Sasaran 1 1. Bagaimana cara mengenali pasien sebelum pemberian obat, darah atau produk darah serta tindakan dan pengobatan? 2. Bagamana cara mengenali pasien sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis? Sasaran 2 1. Bagaimana pemberian perintah hasil pemeriksaan baik secara lisan maupun melalui telepon? 2. Apakah perintah dilakukan secara jelas? Sasaran 4 1. Bagaimana tim rumah sakit menandai lokasi operasi? Pedoman Wawancara untuk Kepala Unit Farmasi Identitas Informan Nama : Umur : Jabatan : No. Kontak : Keterangan Wawancara Hari/Wawancara : Durasi : Pokok Bahasan Sasaran 3 Wawancara: 1. Adakah dan Bagaimana kebijakan atau prosedur dalam identifikasi, lokasi, label dan penyimpanan obat yang perlu diwaspadai? 2. Bagaimana penentuan lokasi, pemberian label dan penyimpanan obat serta penanganan elektolit konsentrat? DAFTAR TELAAH DOKUMEN 1. Sasaran I Keselamatan Pasien PMK 1691/2011 tentang Keselamatan Pasien RS Kebijakan/ Panduan Identifikasi pasien SPO pemasangan gelang identifikasi SPO identifikasi sebelum memberikan obat, darah/produk darah, mengambil darah/specimen lainnya, pemberian pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur. 2. Sasaran II Keselamatan Pasien Kebijakan/Panduan Komunikasi pemberian informasi dan edukasi yang efektif SPO komunikasi via telp 3. Sasaran III Keselamatan Pasien Kebijakan / Panduan/ Prosedur mengenai obat-obat yang high alert minimal mencakup identifikasi, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat high alert Daftar obat-obatan high alert 4. Sasaran IV Keselamatan Pasien Kebijakan / Panduan / SPO pelayanan bedah untuk untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan tindakan pengobatan gigi / dental SPO penandaan lokasi operasi Dokumen : Surgery safety Check list di laksanakan dan dicatat di rekam medis pasien operasi 5. Sasaran V Keselamatan Pasien Kebijakan / Panduan Hand hygiene SPO Cuci tangan SPO lima momen cuci tangan Dokumen Implementasi Indikator infeksi yang terkait pelayanan kesehatan Sosialisasi kebijakan dan prosedur cuci tangan 6. Sasaran VI Keselamatan Pasien Kebijakan / Panduan/SPO asesmen dan asesmen ulang risiko pasien jatuh Kebijakan langkah –langkah pencegahan risiko pasien jatuh SPO pemasangan gelang risiko jatuh OBSERVASI 1. 2. 3. 4. 5. Pemberian gelang identifikasi pada pasien rawat inap. Daftar obat elektrolat konsentrat tinggi/high alert. Lemari penyimpanan obat high alert. Panduan hand hygiene dan cuci tangan di RS. Implementasi kebijakan pengurangan resiko cedera akibat pasien jatuh di rumah sakit.