II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belimbing Manis

advertisement
 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Belimbing Manis ( Averrhoa carambola )
2.1.1
Sejarah Singkat
Menurut N.I. Vavilov, belimbing manis tergolong tanaman tropis yang
berasal dari India, kemudian menyebar ke berbagai negara tropis seperti Malaysia
dan Indonesia3. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Sunarjono (2004)
mengemukakan bahwa tanaman belimbing sebenarnya berasal dari daerah Asia
Tenggara terutama Malaya.
Menurut Rumphius belimbing telah dibudidayakan di Demak sebelum
tahun 18924. Hingga sekarang, Demak merupakan salah satu sentra penghasil
belimbing di Indonesia yang telah banyak menghasilkan varietas-varietas
belimbing unggulan.
2.1.2
Jenis Tanaman Belimbing
Belimbing terdiri dari dua jenis yaitu, belimbing manis (Averrhoa
carambola L.)
dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Kedua jenis
belimbing ini memiliki perbedaan dalam hal rasa dan bentuk fisiknya. Belimbing
manis memiliki bentuk seperti bintang, berlekuk-lekuk jika dilihat dari
penampang melintangnya dan permukaannya licin seperti lilin. Rasa manis
bervariasi sesuai dengan jenis dan varietasnya. Jenis belimbing yang banyak
dibudidayakan di Indonesia adalah jenis belimbing manis atau yang biasanya
hanya disebut belimbing.
www.ristek.go.id 4
idem 3
15 Jenis belimbing lainnya adalah belimbing wuluh. Belimbing wuluh
biasanya disebut belimbing sayur, memiliki bentuk bulat lonjong dengan panjang
5-6 cm, warnanya hijau pekat saat muda dan berubah kekuningan setelah matang.
Rasa buahnya sangat asam dan daging buahnya sangat banyak mengandung air.
(Rukmana, 1996).
Kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dengan tanah yang subur
sangat mendukung pertumbuhan tanaman belimbing. Berbagai varietas belimbing
telah dihasilkan oleh petani-petani belimbing Indonesia dan beberapa diantaranya
termasuk varietas belimbing unggulan. Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa
varietas belimbing yang terdapat di Indonesia beserta ciri-cirinya.
Tabel 5. Varietas dan Karakteristik Belimbing yang Terdapat di Indonesia
Varietas
Asal
Kunir
Demak
Kapur
Demak
Penang
Malaysia
Dewi Murni
Bekasi
Bangkok
Thailand
Sembiring
Sumatera Utara
Filipina
Filipina
Pasarminggu,Ja
Wulan
karta
Pasarminggu,Ja
Paris
karta
Depok, Jakarta
Dewa baru
Selatan
Sumber : Sunarjono, 2002
Warna Buah
Matang
Kuning merata
Kuning
keputihan
Oranye
Kuning
kemerahan
Merah
Kuning
mengkilap
Kuning
Merah
mengkilap
Kuning
kemerahan
Kuning
kemerahan
Rasa Buah Matang
Berat Buah
(gram)
200-300
Sangat manis, berair
banyak
Manis, berair banyak
200-400
Manis, berair sedang
Manis dan berair sedikit
250-350
200-500
Manis, agak kesat
Manis sekali, berair
banyak
Manis, berair banyak
Manis, berair banyak
150-200
300-450
Sangat manis, berair
sedikit
Manis, berair banyak
120-230
400-600
300-600
300-450
Varietas belimbing manis yang diusahakan di Kota Depok adalah varietas
Dewi Murni dan varietas Dewa Baru. Belimbing varietas Dewi Murni berasal dari
daerah pondok Gede, Bekasi sedangkan Belimbing Dewa Baru berasal dari daerah
Jagaraksa, Jakarta Selatan (Sunarjono, 2004).
16 Belimbing Dewi Murni dan Dewa Baru termasuk belimbing varietas
unggul. Varietas unggul adalah varietas yang telah mendapatkan pengakuan dari
pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian mengenai keunggulankeunggulan tertentu yang dimiliki. Indikator unggul dapat dilihat dari produksi
yang tinggi, aroma, rasa, ketebalan daging buah, kandungan gizi, dan sebagainya.
Belimbing Dewa dan Dewi yang diusahakan di Kota Depok dipanen tiga
kali dalam setahun, yaitu pada bulan Januari – Februari, Mei-Juni, dan SeptemberOktober. Panen raya biasanya jatuh pada bulan Pebruari. Pada bulan ini, harga
belimbing biasanya turun karena jumlah yang melimpah (Dinas Pertanian Kota
Depok, 2007).
2.1.3
Manfaat Tanaman
Manfaat utama tanaman ini sebagai makanan buah segar maupun olahan
dan sebagai obat tadisional. Sebagai makanan, belimbing memiliki nilai gizi yang
baik terutama sebagai sumber vitamin C. Pada Tabel 6, dapat dilihat kandungan
gizi dari belimbing.
Tabel 6. Kandungan Gizi di dalam Buah Belimbing
Zat Gizi
Kandungan
Kalori
36 kalori
Protein
0,4 gram
Lemak
0,4 gram
Karbohidrat
8,8 gram
Kalsium
4 miligram
Fosfor
4 miligram
Besi
1,1 miligram
Vitamin A
170 SI
Vitamin B1
0,03 miligram
Vitamin C
35 miligram
Air
90,0 gram
Bagian yang dimakan
86 %
Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok, 2007
17 Manfaat lain tanaman belimbing adalah sebagai tanaman peneduh,
stabilisator & pemeliharaan lingkungan. Tanaman dapat menyerap polusi udara,
menyaring debu, meredam getaran suara, dan memelihara lingkungan dari
pencemaran karena berbagai kegiatan manusia. Sebagai wahana pendidikan,
penanaman belimbing di halaman rumah tidak terpisahkan dari program
pemerintah dalam usaha gerakan menanam sejuta pohon.
2.2
Manajemen Strategis
Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan
dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan
(implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran
perusahaan (Pearce dan Robinson, 1997).
Menurut David (2006), manajemen strategis merupakan seni atau ilmu
untuk memformulasikan, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas
fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Penerapan
manajemen
strategis
berfokus
pada
integrasi
manajemen,
pemasaran,
keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, dan sistem
informasi komputer untuk mencapai keberhasilan.
Tujuan
manajemen
strategis
adalah
untuk
mengeksploitasi
dan
menciptakan peluang baru yang berbeda dan sekaligus mencoba mengoptimalkan
tren saat ini untuk masa mendatang. Manajemen strategis memungkinkan suatu
organisasi untuk proaktif dalam membentuk masa depannya serta memungkinkan
perusahaan untuk memulai dan mempengaruhi aktivitas sehingga perusahaan
memiliki kontrol terhadap nasibnya (David, 2006).
18 David (2006), menyatakan bahwa terdapat dua manfaat dari manajemen
strategis, yaitu manfaat finansial dan manfaat non finansial. Manfaat finansial
ditunjukan dengan adanya perbaikan yang signifikan dalam penjualan,
profitabilitas, dan produktifitas perusahaan. Manfaat non finansial diantaranya
adalah peningkatan pemberdayaan manajemen dan karyawan serta perbaikan
sistem manajerial.
2.3
Koperasi
2.3.1
Pengertian Koperasi
Definisi koperasi berkembang sejalan dengan perkembangan jaman.
Definisi awal umumnya menekankan bahwa koperasi merupakan wadah bagi
golongan ekonomi lemah (Firdaus dan Susanto, 2004). Menurut
UURI No.
25/1992, koperasi sebagai badan usaha yang beranggotaan orang seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsipprinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
asas kekeluargaan.
2.3.2
Landasan dan Asas Koperasi.
Landasan dan asas koperasi tercantum di dalam UU RI No. 25/1992 yang
menyatakan bahwa “koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan”. Landasan koperasi selain Pancasila
adalah UUD 1945. Hal ini ditegaskan dalam batang tubuh pasal 33 ayat 1. Asas
koperasi yang tercantum dalam UU RI No. 25 tahun 1992 adalah asas
kekeluargaan. Asas tersebut sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
19 2.3.3
Perangkat Organisasi Koperasi
Perangkat organisasi koperasi menurut UU NO. 25/1992 terdiri dari rapat
anggota, pengurus, dan pengawas. Menurut peraturan tersebut, pengelola atau
manajer tidak dimasukkan ke dalam perangkat organisasi koperasi. Hal ini
disebabkan karena adanya unsur demokrasi koperatif yang terkandung dalam
koperasi. Kendali dan tanggung jawab dari pengelola koperasi berada di tangan
para anggota, sedangkan manajer bukan sebagai anggota koperasi. Akan tetapi,
jika melihat kepada asas manajer bagi keberhasilan usaha, maka manajer dapat
dimasukkan sebagai salah satu komponen dari manajemen koperasi (Firdaus dan
Susanto, 2004).
2.3.4
Manajemen Koperasi
Manajemen koperasi dapat didefinisikan sebagai cara memanfaatkan
segala sumber daya koperasi sebagai organisasi ekonomi secara efektif dan efisien
dengan memperhatikan lingkungan organisasi dalam rangka usaha mencapai
tujuan organisasi dengan berdasarkan asas-asas koperasi (Firdaus dan Susanto,
2004). Manajemen koperasi memiliki sifat-sifat khusus yang tidak ditemukan
pada badan usaha lain, diantaranya adalah :
1. Tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi mengutamakan pemberian
pelayanan yang baik kepada para anggota.
2. Konsentrasi pengendalian koperasi tetap berada di tangan para anggota
sebagai perwujudan dari sifat demokrasi dari koperasi.
20 2.4
Studi Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian
ini terdiri dari penelitian tentang komoditi belimbing, strategi pemasaran dan
pengembangan usaha, dan kemitraan antara petani dengan koperasi.
Penelitian mengenai komoditi belimbing manis dilakukan oleh Angriani
(2006) yang berjudul ‘Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah
Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi’. Penelitian ini mengambil kasus di
Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Beberapa permasalahan yang
dihadapi adalah kualitas dan kuantitas produksi yang belum terjamin, kontinyuitas
pasokan yang belum stabil, serta waktu pengiriman belimbing yang belum tepat.
Penelitian bertujuan untuk menghitung tingkat pendapatan petani
belimbing, mengidentifikasi pola rantai pemasaran belimbing, menganalisis
perilaku lembaga pemasaran yang terlibat, dan mengukur distribusi marjin
pemasaran pada setiap pola rantai pemasaran. Penelitian dilakukan dari bulan
Maret sampai Juni 2006. Data diperoleh melalui wawancara dengan 30 responden
petani belimbing dan 10 responden pedagang.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dari
kegiatan usahatani dengan sistem penjualan per buah (SPB) lebih kecil
dibandingkan dengan sistem penjualan per kilogram (SPK). Sistem penjualan per
buah yaitu pendapatan atas biaya tunai pada usahatani belimbing sebesar Rp
9.039.780,00 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 8.121.946,67.
Penerimaan pada sistem penjualan per buah sebesar Rp 14.400.000 dengan R/C
total sebesar 2,29. Sedangkan dalam sistem penjualan per kilogram (SPK)
penerimaan yang didapat sebesar Rp 18.900.000, dengan pendapatan atas biaya
21 tunai sebesar Rp 14. 562.780 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp
13.644.946,67 serta R/C total sebesar 3,60.
Analisis mengenai saluran pemasaran menunjukkan pemasaran belimbing
terdiri dari tiga saluran. Saluran pertama terdiri dari petani, tengkulak, pedagang
besar, pedagang pengecer (tradisional), dan konsumen akhir. Saluran ke dua
terdiri dari petani, pedagang besar, supermarket, dan konsumen. Saluran ke tiga
terdiri dari petani, pedagang pengecer (toko buah), dan konsumen.
Analisis mengenai struktur pasar menunjukkan bahwa stuktur pasar antara
petani dengan tengkulak dari sudut pandang pembeli adalah oligopsoni. Jumlah
petani yang jauh lebih besar daripada jumlah tengkulak mengakibatkan petani
tidak memiliki kekuatan dalam tawar menawar harga dan berperan sebagai price
taker. Informasi harga yang diterima petani kurang sempurna karena hanya
berasal dari tengkulak dan sesama petani.
Struktur pasar yang terbentuk antara pedagang besar dengan pedagang
pengecer adalah oligopoli, sedangkan antara pedagang besar dengan pasar modern
adalah monopsoni. Hambatan keluar masuk industri bagi pedagang besar
tergantung dari besarnya modal dan pengalaman yang dimiliki. Struktur pasar
yang tebentuk pada pedagang pengecer (tradisonal dan modern) dengan konsumen
akhir adalah struktur pasar monopolistik. Struktur pasar ini ditandai dengan
jumlah pedagang dan konsumen yang seimbang serta harga terbentuk dari proses
tawar menawar. Informasi mengenai harga diperoleh dari sesama pedagang
pengecer dan pedagang besar. Harga yang berlaku di pedagang pengecer modern
lebih tinggi dibandingkan dengan pengecer tradisional. Hal ini disebabkan karena
pengecer modern hanya menjual produk belimbing yang berkualitas baik.
22 Analisis mengenai distribusi marjin pemasaran menunjukkan bahwa marjin
pemasaran terbesar dihasilkan dari saluran pemasaran satu, yaitu sebesar 73,33
persen dari harga penjualan. Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer
share) pada saluran satu merupakan yang terkecil dari kedua saluran lainnya,
yaitu 26,67 persen. Marjin pemasaran pada saluran kedua adalah sebesar 71,94
persen dengan farmer share 37,04 persen. Marjin pemasaran terkecil terdapat
pada saluran pemasaran tiga, yaitu sebesar 65,93 persen. Farmer share pada
saluran pemasaran tiga merupakan yang terbesar dari kedua saluran sebelumnya,
yaitu sebesar 51,85 persen.
Studi penelitian terdahulu mengenai strategi pemasaran dilakukan pada
tiga penelitian yang ditulis oleh Budiman (2007), Suheni (2005), dan Firdaus
(2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Budiman berjudul Analisis Strategi
Pengembangan Usaha PT Madu Pramuka Jakarta (PT. MP). Permasalahan
mendasar yang tercantum pada rumusan masalah penelitian adalah produktifitas
yang belum optimal dikarenakan masih menggunakan peralatan tradisional dalam
pasca panen dan pengemasan. Selain itu, terdapat juga masalah kualitas yang
belum memenuhi kriteria mutu madu Badan Standarisasi Indonesia. Madu
Pramuka masih memiliki kadar air di atas ambang batas yang telah ditentukan.
Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor strategis internal dan
eksternal dan kemudian merumuskan alternatif strategi yang sesuai dengan
permasalahan dan keadaan PT Madu Pramuka.
Formulasi strategi menggunakan tiga tahapan perumusan strategi. Tahap
masukan menggunakan matriks IFE dan EFE, tahap pencocokkan menggunakan
23 matriks SWOT dan tahap keputusan menggunakan teknik AHP. Penelitian
dimulai dengan identifikasi faktor strategis internal dan faktor strategis eksternal
untuk menentukan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi
perusahaan.
Berdasarkan matriks IFE, tiga kekuatan utama yang dimiliki PT. MP
adalah produk yang berkualitas dan memiliki ciri khas, adanya loyalitas
konsumen, dan kondisi keuangan relatif baik. Pada matriks IFE ini, terdapat
pernyataan yang tidak konsisten, yaitu terkait dengan rumusan masalah. Pada
rumusan masalah, dinyatakan bahwa salah satu permasalahan PT. MP adalah
kualitas produk yang belum memenuhi standar. Akan tetapi, identifikasi faktor
strategis internal menempatkan faktor kualitas sebagai kekuatan utama. Tidak
dijelaskan apakah ada perbaikan kualitas pada saat penelitian atau tidak.
Tiga kelemahan utama yang berhasil diidentifikasi menggunakan matriks
IFE adalah kurangnya promosi produk, peralatan pasca panen masih sederhana,
dan volume produksi belum optimal. Pada matriks IFE, dapat dilihat bahwa dua
faktor yang menjadi kelemahan kedua dan ketiga sebenarnya memiliki
keterkaitan. Pada rumusan masalah, dinyatakan bahwa volume produksi belum
optimal dikarenakan peralatan pasca panen yang masih sederhana. Kedua faktor
tersebut memiliki kemungkinan untuk digabung menjadi satu faktor.
Berdasarkan matriks EFE, tiga peluang utama yang berhasil diidentifikasi
adalah kesadaran masyarakat akan manfaat produk perlebahan semakin tinggi,
permintaan produk perlebahan yang semakin meningkat, dan tidak adanya produk
subtitusi perlebahan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa faktor peluang
pertama dan kedua juga memiliki hubungan. Permintaan produk perlebahan yang
24 semakin meningkat dapat disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang semakin
tinggi akan manfaat produk tersebut. Kedua faktor tersebut mungkin dapat
digabung menjadi satu. Tiga ancaman utama yang diidentifikasi oleh matriks EFE
adalah pemalsuan produk, berkurangnya areal pakan lebah akibat konversi lahan,
dan kesulitan mendapat bahan baku berkualitas.
Total skor matriks IFE adalah 2,681 sedangkan total skor matriks EFE
adalah 2,599. Hal ini menggambarkan kondisi internal PT. MP berada di atas ratarata, sedangkan respon perusahaan terhadap peluang dan ancaman tergolong
sedang.
Pada analisis menggunakan matriks SWOT, dihasilkan delapan alternatif
strategi. Penentuan prioritas dari ke-delapan alternatif strategi tersebut dilakukan
menggunakan teknik AHP. Tujuan (goal) pada analisis AHP sesuai dengan tujuan
penelitian adalah menentukan prioritas strategi pengembangan usaha. Penentuan
prioritas dari delapan strategi yang telah dirumuskan pada matriks SWOT
dilakukan menggunakan empat kriteria strategi pengembangan usaha yang harus
dicapai. Empat strategi tersebut adalah : (1) meningkatkan profit perusahaan ; (2)
mengatasi persaingan ; (3) SDM dan Manajemen yang profesional ; dan (4) pusat
informasi dan pendidikan perlebahan.
Hasil pengolahan horisontal kriteria strategi terhadap alternatif strategi
menyimpulkan
bahwa
kriteria
strategi
meningkatkan
profit
perusahaan
dipengaruhi signifikan oleh strategi memperluas daerah pemasaran. Kriteria
strategi mengatasi persaingan dipengaruhi signifikan oleh strategi memperluas
daerah pemasaran. Kriteria strategi SDM dan manajemen yang profesional
dipengaruhi signifikan oleh strategi meningkatkan mutu pelayanan konsumen.
25 Kriteria strategi pusat informasi dan pendidikan perlebahan dipengaruhi signifikan
oleh strategi mempromosikan diklat dan terapi sengat lebah.
Hasil pengolahan vertikal terhadap alternatif strategi menunjukkan
prioritas dari ke-delapan strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT. Tiga
prioritas utama strategi pengembangan usaha adalah strategi memperluas daerah
pemasaran dan strategi meningkatkan mutu pelayanan kepada konsumen, serta
melakukan promosi melalui media masa dan internet.
Studi penelitian selanjutnya membahas penelitian yang dilakukan oleh
Suheni. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2005 dengan
judul Strategi Pemasaran Bibit/Benih Tanaman Hias di Balai Benih Induk (BBI)
Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.
Permasalahan mendasar yang dikaji dalam penelitian ini adalah tingkat
penjualan yang belum mencapai target. Pada tahun 2003, BBI menargetkan 60
persen bibit dapat terjual, namun realisasinya hanya mencapai 40 persen. Selain
itu, lingkungan bisnis tanaman hias yang selalu berubah mengikuti tren menjadi
faktor penting dalam merumuskan strategi pemasaran yang sesuai. Misi dan visi
BBI lebih bersifat pada pelayanan masayarakat. Oleh karena itu, dianggap perlu
melakukan analisis tingkat kepuasan konsumen untuk mempertajam hasil
penelitian.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah : (1)
mengidentifikasi faktor strategis internal dan eksternal yang menjadi kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman BBI ; (2) mengetahui karakteristik pelanggan
dan mengukur tingkat kepuasan pelanggan ; (3) merumuskan strategi pemasaran
yang tepat sesuai kondisi BBI.
26 Penelitian terbagi menjadi dua bagian, yaitu penelitian untuk kebun bibit
(KB) anggrek dan KB non anggrek. Identifikasi kekuatan dan kelemahan untuk
masing-masing KB menggunakan matriks IFE. Tiga kekuatan utama KB Anggrek
adalah : (1) komitmen yang tinggi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI
Jakarta dalam mengembangkan tanaman hias ; (2) sumberdaya lahan yang luas,
fasilitas laboratorium yang lengkap dan harga yang kompetitif ; dan (3) lokasi
kebun yang strategis dengan fasilitas parkir yang luas. Tiga kekuatan utama KB
Non-Anggrek adalah : (1) komitmen yang tinggi dari Dinas Pertanian dan
Kehutanan DKI Jakarta ; (2) sumberdaya lahan yang luas ; dan (3) harga yang
kompetitif. Kekuatan utama dari kedua KB pada dasarnya sama.
Kelemahan utama yang dimiliki KB Anggrek adalah : (1) keterlambatan
pencairan dana untuk kegiatan produksi ; (2) kualitas benih/bibit belum sesuai
keinginan konsumen ; (3) pemasaran dan produksi masih ditangani oleh bagian
yang sama. Kelemahan utama KB Non-Anggrek adalah : (1) keterlambatan
pencairan dana untuk produksi ; (2) kondisi kebun kurang tertata dengan baik ; (3)
promosi yang kurang gencar serta produksi dan pemasaran ditangani oleh bagian
yang sama.
Identifikasi
peluang
dan
ancaman
untuk
kedua
KB
dilakukan
menggunakan matriks EFE. Peluang utama KB Anggrek adalah : (1) pergerakan
sektor properti yang semakin meningkat ; (2) terbukanya kesempatan bermitra
dengan pihak swasta ; (3) perekonomian Indonesia yang semakin membaik dan
adanya UU desentralisasi dan otonomi daerah. Tiga peluang utama KB NonAnggrek adalah : (1) sektor properti yang semakin meningkat ; (2) adanya
kebijakan otonomi daerah ; (3) laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.
27 Ancaman utama untuk KB Anggrek adalah ; (1) tingkat persaingan yang
tinggi dengan produk impor ; (2) perdagangan bebas dan tuntutan standarisasi
produk ; (3) kondisi politik dan keamanan yang kurang stabil. Faktor-faktor
tersebut juga menjadi ancaman utama untuk KB Non-Anggrek.
Total skor matriks IFE dan EFE untuk KB Anggrek adalah 2,584 dan
3,117. Hal ini berarti KB Anggrek berada pada kondisi internal rata-rata dan
mampu merespon peluang dan ancaman dengan baik. Kedua total skor tersebut
kemudian dipetakan ke dalam matriks IE. Posisi KB Anggrek pada matriks IE
menempati kuadran II (growth and build). Strategi yang umum diterapkan pada
posisi ini adalah perluasan dan pengembangan pasar serta pengembangan produk
untuk meningkatkan penjualan.
Total skor matriks IFE dan EFE untuk KB Non-Anggrek adalah 2,435 dan
2,645. Hal ini menggambarkan posisi internal KB Non-Anggrek berada pada ratarata dengan respon sedang terhadap peluang dan ancaman. Posisi KB NonAnggrek pada matriks IE berada pada kuadaran V (hold and maintain). Strategi
yang umumnya diterapkan adalah penetrasi pasar dan dapat dilanjutkan dengan
pengembangan pasar.
Analisis selanjutnya adalah analisis mengenai karakteristik dan kepuasan
pelanggan BBI untuk menjawab tujuan ke dua dari penelitian. Analisis mengenai
karakteristik pelanggan menyimpulkan bahwa mayoritas pelanggan adalah lakilaki, pendidikan terakhir SLTP/SLTA, pekerjaan sebagai petani dan pendapatan
per bulan Rp 500.000 sampai Rp 1.500.00. Mayoritas pelanggan memanfaatkan
BBI untuk mendapatkan benih/bibit unggul baru. Faktor terpenting yang
28 mempengaruhi responden untuk membeli tanaman hias adalah kualitas
benih/bibit.
Berdasarkan analisis tingkat kesesuaian atribut untuk KB Anggrek,
sebagian besar masih berada di bawah 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata atribut tersebut belum dapat memuaskan pelanggan. Hanya atribut
fasilitas parkir dan keramahan petugas penjualan yang memiliki tingkat
kesesuaian di atas 100 persen. Atribut yang memiliki tingkat kepentingan cukup
tinggi adalah kualitas benih/bibit, manfaat yang diterima, dan pengetahuan
petugas penjualan. Analisis tingkat kesesuaian atribut untuk KB Non-Anggrek
menunjukkan semua atribut yang dimiliki masih berada di bawah 100 persen atau
belum dapat memuaskan pelanggan.
Selanjutnya dilakukan analisis IPA untuk melihat kepentingan dan
kepuasan pelanggan. Analisis ini menempatkan sejumlah atribut yang dimiliki
BBI ke dalam empat kuadran, yaitu kuadran A, B, C, dan D. Atribut yang masuk
pada kuadaran A berarti atribut tersebut dianggap penting oleh pelanggan tapi
pada kenyataannya atribut tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Atribut
KB Anggrek maupun Non-Anggrek yang termasuk ke dalam kuadran A adalah
kualitas bibit/benih dan promosi/iklan. Hal ini berarti kedua atribut tersebut
merupakan atribut terpenting yang harus diperbaiki olah BBI untuk memuaskan
pelanggan.
Informasi dari analisis yang telah dilakukan kemudian menjadi input
dalam perumusan alternatif strategi pada matriks SWOT. Analisis SWOT
menghasilkan sembilan alternatif strategi yang dapat diterapkan pada masingmasing kebun. Prioritas dari sembilan alternatif tersebut kemudian ditentukan
29 menggunakan matriks QSPM.
Strategi dengan prioritas tertinggi untuk KB
Anggrek maupun non-Anggrek adalah membangun database dan pusat informasi.
Studi penelitian berikutnya membahas tentang penelitian yang dilakukan
Hilfi Firdaus, berjudul Analisis Strategi Pemasaran Tapioka. Penelitian dilakukan
dari bulan Januari hingga Februari 2003, menggunakan studi kasus di Koperasi
Pengrajin Tapioka Ciluar (KOPTAR), Sukaraja, Bogor. Permasalahan utama yang
dihadapi KOPTAR berasal dari lingkungan internal, yaitu kinerja pengurus yang
belum maksimal dan memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi. Kinerja yang
buruk berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan koperasi secara
keseluruhan. Pihak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Ketua
KOPTAR, Manajer Tapioka, dan Manajer USP.
Konsep perumusan strategi yang digunakan oleh Firdaus dalam
penelitiannya adalah tiga tahapan perumusan strategi. Konsep ini menggunakan
matriks IFE dan EFE pada tahap pemasukan, matriks IE, SWOT, dan SPACE
pada tahap pencocokkan, dan matriks QSPM pada tahap keputusan. penelitian
diawali dengan melakukan identifikasi terhadap faktor strategis internal dan
eksternal dari KOPTAR.
Pada matriks IFE, tiga peluang utama yang berhasil diidentifikasi adalah
pertumbuhan volume dan nilai penjualan produk utama yang tinggi, kinerja
keuangan yang baik dan sehat, dan diferensiasi produk yang lengkap dengan
harga kompetitif. Kelemahan utama yang berhasil diidentifikasi adalah konsistensi
dan kontinyuitas mutu belum tercapai, pencatatan keuangan belum profesional,
dan sistem pembayaran tidak fleksibel.
30 Peluang utama yang berhasil diidentifikasi dengan matriks EFE adalah
potensi pasar yang besar dan permintaan tepung tapioka yang tinggi, produk alami
bebas bahan pengawet dan pestisida, serta kekuatan pemasok yang rendah.
Ancaman yang berhasi diidentifikasi adalah pola produksi ubi kayu dan pengrajin
tepung tapioka Bogor, perkembangan teknologi produksi yang lambat, dan tidak
ada jaminan jumlah dan kuantitas pasokan bahan baku.
Total skor yang didapatkan dari matriks IFE adalah 2,748 sedangkan
matriks EFE adalah 2,450. Hal ini berarti KOPTAR memiliki kondisi internal di
atas rata-rata sedangkan respon KOPTAR untuk lingkungan eksternal hampir
mendekati rata-rata. Hal ini tentunya sedikit bertentangan dengan permasalahan
yang ada, dimana kondisi internal menjadi permasalahan utama pada perumusan
masalah KOPTAR.
Pernyataan yang tidak konsisten juga dapat dilihat dari faktor strategis
yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Salah satu faktor yang menjadi kekuatan
adalah struktur organisasi ringkas dengan personel berpengalaman. Akan tetapi
pada faktor strategis kelemahan terdapat pernyataan timbulnya konflik dan
kurangnya loyalitas pengurus. Faktor kelemahan tersebut dianggap menjadi
kelemahan kecil dari KOPTAR. Pada kenyataannya, permasalahan mendasar yang
seharusnya menjadi kelemahan utama seperti yang diungkapkan pada perumusan
masalah adalah kinerja pengurus yang tidak maksimal. Hal ini yang mungkin
menyebabkan total skor matriks IFE menjadi lebih tinggi dan berada di atas ratarata.
Pada tahap selanjutnya, total skor matriks IFE dan matriks EFE dipetakan
pada matriks IE.
Hasil pemetaan menunjukkan posisi KOPTAR berada di
31 kuadran V (hold and maintain) dengan alternatif strategi penetrasi pasar dan
pengembangan produk. Alternatif strategi yang lebih spesifik diperoleh pada
matriks SWOT. Pada matriks SWOT, dirumuskan 13 alternatif strategi
berdasarkan pencocokkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada
KOPTAR.
Alat analisis lain yang digunakan pada tahap pencocokkan adalah matriks
SPACE. Matriks SPACE menggunakan empat dimensi, yaitu kekuatan keuangan
(Finansial Strength, FS), dan keunggulan bersaing (Competitive Advantage, CA)
sebagai dimensi internal serta stabilitas lingkungan (Enviromental Stability, ES)
dan kekuatan industri (Industry Strength, IS) sebagai dimensi eksternal. Masingmasing dimensi memiliki variabel yang menjadi indikator. Hasil dari matriks
SPACE mempetakan posisi KOPTAR di kuadran konservatif. Posisi ini berarti
KOPTAR telah mencapai kekuatan keuangan dalam industri yang stabil dan tidak
tumbuh serta memiliki keunggulan bersaing yang besar. Alternatif strategi yang
umum diterapkan adalah penetrasi pasar, pengembangan pasar, pengembangan
produk, dan diversifikasi konsentrik.
Tahap selanjutnya adalah tahap keputusan. Tahap ini menggunakan
matriks QSPM dalam menentukan prioritas strategi yang sebaiknya diterapkan.
Penentuan alternatif strategi yang akan dimasukkan dalam matriks QSPM
dilakukan berdasarkan diskusi dan kesepakatan dengan narasumber. Pada matriks
QSPM, dimasukkan delapan alternatif strategi yang berasal dari tahapan
sebelumnya, yaitu matriks IE, SWOT, dan SPACE. Prioritas strategi yang
didapatkan dari mariks QSPM adalah : (1) strategi integrasi ke belakang dengan
pengadaan unit bisnis tapioka basah ; (2) mempertahankan dan meningkatkan
32 kualitas dan diferensiasi produk ; (3) mengoptimalkan kegiatan penelitian dan
pengembangan pasar untuk mendukung proses produksi dan produk-produk yang
bermutu.
Berdasarkan studi penelitian terdahulu yang telah dilakukan pada tiga
penelitian di atas, maka dapat disimpulkan pada umumnya perumusan strategi
dilakukan dengan menggunakan metode tiga tahapan perumusan strategi. Matriks
IFE dan EFE selalu digunakan dalam mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman pada tahap pemasukan. Tahap pencocokkan dapat
menggunakan tiga alat analisis, yaitu matriks IE, SWOT, dan SPACE. Output
Matriks IE dan SPACE berupa strategi umum, sedangkan matriks SWOT lebih
bersifat spesifik. Pada tahap keputusan, dapat digunakan matriks QSPM atau
teknik AHP untuk menentukan prioritas dari alternatif strategi yang telah
didapatkan pada tahap sebelumnya.
Masing-masing metode memilki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan
matriks QSPM adalah lebih mudah dalam penggunaannya, sedangkan kelebihan
teknik AHP adalah strategi yang dihasilkan bisa lebih spesifik dan memenuhi uji
konsistensi. Informasi yang lebih banyak bisa didapatkan melalui analisis
tambahan. Misalnya dengan melakukan analisis kepuasan konsumen untuk
melihat atribut-atribut dari bisnis yang menjadi kekuatan atau kelemahan
sehubungan dengan usaha memenuhi kepuasan konsumen.
Selain membahas tentang penelitian agribisnis belimbing dan strategi
pemasaran, studi penelitian terdahulu juga membahas penelitian mengenai
kemitraan antara koperasi dan petani. Penelitian yang dibahas adalah penelitian
yang dilakukan oleh Murtadilah (2004), Pratiwi (2003), dan Kurnia (2003).
33 Penelitian yang dilakukan oleh Murtadilah berjudul Analisis Pelaksanaan
Kemitraan Antara Koperasi Agribisnis Mitra Tani dengan Petani Sayuran di
Daerah Cipanas dan Sekitarnya. Permasalahan pada tempat penelitian adalah
banyak petani yang memutuskan hubungan kemitraan dengan Koperasi Mitra
Tani. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya ketidakpuasan dari para pelaku
kemitraan, terutama dari pihak petani.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kemitraan antara
petani dengan koperasi, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
petani untuk bermitra, dan menganalisis manfaat yang diterima petani dari adanya
kemitraan. Analisis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif
menggunakan
fungsi
logit
untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra. Responden berjumlah 22 orang,
terdiri dari 11 orang petani yang aktif bermitra dan 11 orang petani yang telah
keluar dari kemitraan.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pola kemitraan antara petani
dengan Koperasi Mitra Tani adalah Pola Dagang Umum. Hubungan antara petani
dengan koperasi hanya sebatas pemasaran hasil produksi. Koperasi hanya
membeli, mengolah (pasca panen), dan memasarkan hasil produksi petani.
Hasil analisis regresi logit menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh
pada keputusan petani melakukan kemitraan adalah umur, tingkat pendidikan, dan
proporsi modal sendiri. Variabel umur dan tingkat pendidikan berpengaruh secara
negatif sedangkan variabel proporsi modal sendiri berpengaruh secara positif.
Variabel lain yang tidak dapat diukur secara kuantitatif pada model adalah
variabel kekerabatan. Variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah pengalaman,
34 modal, luas lahan, jumlah anggota keluarga, pengeluaran non usaha tani, dan
proporsi status lahan.
Walaupun belum optimal, petani telah mendapatkan beberapa manfaat dari
pola kemitraan yang terjalin. Manfaat yang telah didapatkan petani adalah
kemudahan dalam pemasaran, kemudahan sistem pembayaran, kegiatan pasca
panen tidak perlu dilakukan, serta hubungan kemitraan yang baik antara koperasi
dengan petani maupun antara sesama petani.
Penelitian selanjutnya tentang kemitraan adalah penelitian yang dilakukan
oleh Pratiwi (2003), dengan judul Kegiatan Pelaksanaan Kemitraan Antara Petani
dengan Perusahaan dalam Mengembangkan Usaha Tani dan Strategi Pemasaran
Sayuran Subtitusi Impor. Penelitian ini mengambil studi kasus pada petani mitra
Cibodas Mandiri, Cianjur, Jawa Barat. Permasalahan utama yang mendasari
penelitian adalah sering adanya hubungan kemitraan yang tidak memenuhi
harapan pihak-pihak yang bermitra.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi
tingkat hubungan kemitraan, mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan kemitraan, serta menidentifikasi strategi pemasaran yang sesuai bagi
perusahaan. Analisis tingkat kemitraan dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No. 944/kpts/05.210/10/97 tentang pedoman penetapan tingkat
kemitraan usaha tani. Analisis mengenai strategi pemasaran dilakukan
menggunakan analisis deskriptif, IFE, EFE, dan SWOT.
Pada analisis tingkat hubungan kemitraan, jumlah rata-rata aspek proses
manajemen dan manfaat adalah sebesar 725,42. Hal ini berarti tingkat hubungan
kemitraan berada pada kategori prima madya. Pihak inti (koperasi) hanya
35 berperan dalam pemasaran produk tanpa terlibat dalam permodalan maupun
budidaya sayuran yang dilakukan petani. Pada kondisi ini, petani masih
memerlukan pembinaan, bimbingan teknologi dan manajemen serta jaminan pasar
dari pihak inti.
Kekuatan yang dimiliki PT. Cibodas Mandiri berdasarkan matriks IFE
adalah : memiliki mitra tani yang bersedia dalam pengadaan bahan baku sesuai
permintaan, hubungan baik antar karyawan, dan lokasi yang mudah dijangkau
oleh pemasok. Kelemahan yang dimiliki adalah : sumber daya keuangan yang
terbatas, kurangnya perhatian manajemen pusat terhadap anak perusahaan PT.
Cibodas Mandiri, dan kapasitas produksi yang terbatas. Total skor matriks IFE
adalah sebesar 3,502. Nilai ini menggambarkan posisi inernal perusahaan yang
kuat.
Matriks EFE menunjukkan peluang yang dimiliki PT Cibodas Mandiri,
yaitu : ada kemungkinan untuk pengembangan usaha, terjalin hubungan baik
dengan pemasok, dan potensi pasar yang masih luas. Ancaman yang dihadapi
adalah : situasi politik dan keamanan Indonesia yang belum stabil, adanya
kenaikan harga BBM, dan selera dan pendapatan konsumen yang mempengaruhi
pembelian. Total skor matriks EFE adalah 3,2. Nilai ini menunjukkan respon
perusahaan yang tinggi dalam meraih peluang dan menghindari ancaman.
Kombinasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada matriks
SWOT menghasilkan alternatif strategi dalam empat kategori. Strategi SO terdiri
dari : memperluas wilayah pasar, meningkatkan skala usaha, meningkatkan
kualitas dan kuantitas produk, dan diversifikasi produk. Strategi WO terdiri dari :
meningkatkan kegiatan promosi, meningkatkan hubungan baik antar perusahaan
36 dengan anak perusahaan,dan menarik minat investor. Strategi ST terdiri dari :
meningkatkan pelayanan pada konsumen, menjalin kerjasama dengan pemasok
lain untuk memenuhi permintaan konsumen, dan melakukan observasi pasar
untuk mengetahui trend pasar. Strategi WT terdiri dari : meningkatkan penelitian
dan pengembangan untuk menciptakan diferensiasi produk, menetapkan biaya
produksi yang efektif dan efisien untuk menekan biaya operasional, dan
menerapkan teknologi tepat guna.
Studi penelitian mengenai kemitraan selanjutnya membahas penelitian
yang dilakukan oleh Yati Kurnia yang berjudul Kajian Pelaksanaan Pola
Kemitraan Antara Perusahaan Agribisnis dengan Petani Mitra. Penelitian ini
mengambil studi kasus pada kemitraan antara CV Mekar Dana Profitindo dengan
petani bawang merah di Kabupaten Brebes. Permasalahan yang mendasari
penelitian ini adalah sering terjadi kegagalan dalam kemitraan akibat kurangnya
pemahaman para pelaku dalam bermitra. Salah satunya adalah adanya dominasi
dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah atau pola kemitraan yang tidak
sesuai.
Tujuan penelitian ini adalah : menganalisis kondisi masing-masing pelaku
kemitraan, menganalisis bentuk kemitraan yang paling tepat, menganalisis strategi
pengembangan pola kemitraan, serta memberikan arah kebijakan bagi
pengembangan kemitraan. Metode pengolahan menggunakan teknik AHP untuk
menjawab masing-masing tujuan.
Hasil analisis mengenai kondisi perusahaan menunjukkan kekuatan
perusahaan lebih dominan dibandingkan kelemahan. Hal ini dapat dilihat dari skor
kekuatan sebesar 0,555 sedangkan skor kelemahan 0,445. Kondisi perusahaan
37 cenderung menunjukkan kekuatan yang terletak pada faktor pemasaran, keuangan,
dan sumber daya. Kelemahan perusahaan terletak pada faktor produksi dan
operasi serta penelitian dan pengembangan.
Analisis mengenai kondisi petani cenderung menunjukkan kekuatan (skor
0,742) dibandingkan dengan kelemahan (0,258). Hal ini dikarenakan petani pada
umumnya telah berpengalaman dalam budidaya bawang merah. Kekuatan terletak
pada faktor modal, produksi, dan teknologi. Sedangkan kelemahan berasal dari
faktor manajemen dan pemasaran.
Analisis mengenai pola kemitraan yang paling sesuai menempatkan pola
kemitraan inti plasma pada prioritas pertama. Pola kemitraan inti plasma dianggap
paling efektif oleh kedua belah pihak mengingat kondisi petani yang masih
membutuhkan bantuan dari perusahaan. Bantuan terutama dibutuhkan pada sarana
produksi, bimbingan teknis dan non teknis, serta jaminan kepastian pasar.
Analisis mengenai strategi pengembangan kemitraan menghasikan empat
prioritas strategi, yaitu pengawasan operasional, kerjasama eksternal, investasi
modal, dan pembinaan petani. Strategi ini dipilih berdasarkan faktor-faktor yang
dianggap paling berpengaruh pada pengembangan kemitraan, yaitu undangundang atau peraturan, pendanaan, dan kemampuan petani dalam manajemen dan
teknologi.
Berdasarkan pembahasan pada ketiga penelitian mengenai kemitraan,
dapat diketahui bahwa kemitraan pada umumnya dapat memberikan manfaat bagi
kedua belah pihak. Manfaat bagi pihak perusahaan pada umumnya berupa
pasokan yang terjamin dan kualitas produk dapat dikontrol. Sedangkan manfaat
bagi petani diantaranya adalah adanya jaminan pasar, kemudahan dalam
38 pemasaran, dan harga yang lebih stabil. Kekurangan dari adanya kemitraan pada
umumnya berasal dari bentuk perjanjian atau kesepakatan antara petani dengan
perusahaan serta kurangnya bantuan dan bimbingan pada petani.
Penelitian yang akan dilakukan memiliki kemiripan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Budiman (2007), Suheni (2005), dan Firdaus (2004), tentang
strategi pemasaran. Kemiripan terletak pada metode yang digunakan, yaitu
menggunakan analisis deskriptif dan tiga tahapan perumusan strategi. Perbedaan
antara penelitian yang akan dilakukan dengan beberapa penelitian di atas terletak
pada permasalahan dan objek yang akan diteliti. Perbedaan lainnya terletak pada
alat analisis yang digunakan pada tahap pencocokkan dan keputusan. Pada
penelitian terdahulu, terdapat matriks SPACE dan AHP yang tidak digunakan
pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pertimbangan kelengkapan data,
dan kondisi di lapangan.
Download