Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) Tirani Anggaran di Era Ekonomi Informasi: Sebuah Penantian Panjang Metamorfosis Budgeting Menjadi Beyond Budgeting dan Strategic Performance Management Bambang Tjahjadi Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ABSTRACT The world economy has evolved from the Industrial Economy to the Information Economy. During the Industrial Economy, financial and physical assets have played important role for management in creating value and achieving excellence performance. Budget is the main management tool for planning and controlling behavior of managers and performance of organization. When organizations have entered the Era of Information, management still uses traditional budget as management control system which is too rigid to reflect today’s fast moving economy. The traditional budgetary system simply cannot accomodate the dynamic changes in competition and inovation. Beyond Budgeting and Strategic Performance Management offers a new paradigm in controlling organization and managing performance in the Era of Information which is based on knowledge assets. The Balanced Scorecard (BSC) is a powerful tool to use. Keywords : industrial economy, information economy, traditional budget, management control systems, beyond budgeting, strategic performance management, the Balanced Scorecard. 1. PENDAHULUAN Selama dua dasa warsa terakhir ini, ekonomi dunia telah mengalami transformasi secara signifikan. Drucker (1993:12) menyatakan bahwa aset nirwujud (intangible asset) telah memainkan peran penting dalam transformasi cara pandang masyarakat dunia. Masyarakat dunia telah memandang pengetahuan (knowledge) sebagai faktor utama dalam menciptakan nilai, bukan lagi alokasi modal atau tenaga kerja. Produktivitas dan inovasi memegang peran penting dalam sebuah tatanan masyarakat yang disebut Drucker sebagai masyarakat pasca-kapitalis (post-capitalist society) atau masyarakat pengetahuan (knowledge society) yang beraktivitas dalam Ekonomi Berbasis Pengetahuan (knowledge-based economy) atau Ekonomi Informasi (information economy). Munculnya era Ekonomi Informasi yang berbasis pengetahuan dipicu oleh globalisasi, deregulasi, dan perubahan teknologi produksi maupun informasi yang sangat pesat (Hand dan Lev, 2003; Soete dan Weel, 1999). Globalisasi telah memicu persaingan global, semakin pendeknya daur hidup produk, dan tuntutan inovasi produk secara berkesinambungan. Hal tersebut mengakibatkan persaingan sangat tajam dan datang -405- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) dari segala penjuru dunia. Untuk tetap bertahan, organisasi harus menjadi unik atau different, dan hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh aset nirwujud (intangible assets), bukan dari aset berwujud (tangible assets). Brand, pengetahuan, keahlian khusus, etos kerja, dan aset-aset nirwujud lainnya memegang peran yang sangat strategis dalam memenangkan persaingan global. Manajemen organisasi telah lama menggunakan anggaran (budget) sebagai sarana utama pengendalian manajemen organisasi. Sejak Era Revolusi Industri (1750-1880), Era Revolusi Produksi (1880-1945), sampai dengan Era Revolusi Manajemen (1945sekarang), anggaran masih saja menjadi sarana pengendalian organisasi yang utama. Boleh dikata, sistem anggaran telah menjadi tirani dalam sistem manajemen organisasi selama berpuluh-puluh bahkan beratus tahun. Sebuah pertanyaan besar muncul ketika ekonomi sudah memasuki Era Ekonomi Informasi. Masih relevankah anggaran tradisional sebagai fokus sistem pengendalian manajemen organisasi? Perlukah manajemen organisasi mengganti anggaran tradisional dengan sebuah model manajemen baru? Sebuah metamorfosis anggaran tradisionil sedang ditunggu-tunggu manajemen organisasi untuk pengelolaan organisasi yang berada di Era Ekonomi Informasi. 2. ANGGARAN DAN SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN Perencanaan dan pengendalian merupakan dua fungsi manajemen yang saling melengkapi. Tanpa pengendalian, perencanaan menjadi tidak berarti karena tidak ada tindak lanjut untuk mengidentifikasi apakah rencana telah tercapai, dan mengapa belum tercapai. Tanpa perencanaan, pengendalian menjadi tidak berarti karena tidak tersedianya tolok ukur untuk menilai hasil kegiatan organisasi. Marciariello dan Kirby (1994:1) mendefinisikan sistem pengendalian manajemen sebagai sekumpulan struktur komunikasi yang saling berhubungan dan memberikan fasilitas pemrosesan informasi untuk membantu manajer dalam melakukan koordinasi dan mencapai tujuan organisasi secara berkesinambungan. Sistem pengendalian manajemen dikaitkan dengan fungsi koordinasi, alokasi sumberdaya, motivasi, dan pengukuran kinerja. Anthony dan Govindarajan (2001:6) melihat sistem pengendalian manajemen lebih kepada keberhasilan pencapaian strategi sehingga mendefinisikan sistem pengendalian manajemen sebagai “the process by which managers influence other members of the organization to implement the organization’s strategies”. Selanjutnya, seperti tersaji pada Gambar 1, dinyatakan bahwa sistem pengendalian manajemen memiliki 4 (empat) unsur penting, yaitu: (1) detector (sensor) untuk mengukur dan mengidentifikasi apa yang sebenarnya terjadi; (2) assessor untuk menentukan signifikansi apa yang sedang terjadi, yaitu membandingkan dengan standar; (3) effector untuk mengubah perilaku jika diperlukan (feedback); (4) communication networks untuk mengalirkan informasi antara detector dan assessor, antara assessor dan effector. -406- Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) Majalah Ekonomi Sistem pengendalian manajemen dalam organisasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan formal, dan (2) pendekatan informal. Jaworski (1988) menyatakan bahwa sistem pengendalian manajemen yang bersifat formal merupakan mekanisme pengendalian yang tertulis dan diciptakan manajemen untuk mempengaruhi karyawan agar berperilaku mendukung tujuan organisasi. Pengendalian input, pengendalian proses atau perilaku, dan pengendalian output merupakan jenis sistem pengendalian manajemen yang bersifat formal. Gambar 1 Elements of the Control Process Sumber: Anthony dan Govidarajan (2001:6) Sistem pengendalian manajemen yang berorientasi input merupakan tindakan terukur yang dilakukan organisasi sebelum melakukan implementasi aktivitas. Menurut pendapat para ahli yang dikutip Jaworski (1988), sistem pengendalian input mencakup penentuan kriteria seleksi, program rekrutmen dan pelatihan, perencanaan strategis, dan semua bentuk alokasi sumberdaya. Sistem pengendalian manajemen yang berorientasi proses atau perilaku (process or behavioral control) merupakan jenis sistem pengendalian manajemen yang dilakukan untuk mempengaruhi cara mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Sistem pengendalian berorientasi proses lebih berfokus pada perilaku dan atau aktivitas dibanding pada hasil akhir. Umumnya, sistem pengendalian berorientasi proses tidak menekankan tanggungjawab karyawan terhadap pencapaian standar luaran kuantitatif. Sistem pengendalian manajemen yang berorientasi pada output merupakan jenis sistem pengendalian manajemen yang dilakukan dengan cara menetapkan standar kinerja, memantau, dan mengevaluasi hasil. Organisasi tidak perlu mengetahui mekanisme untuk mencapai hasil karena hal tersebut telah didelegasikan pada karyawan. Di samping pendekatan formal, sistem pengendalian manajemen dalam organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan informal. Sistem pengendalian manajemen yang bersifat -407- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) informal merupakan mekanisme pengendalian tidak tertulis yang mengatur perilaku karyawan, yaitu meliputi pengendalian diri, pengendalian sosial dan pengendalian budaya. Sistem pengendalian diri (self control) menekankan pada tujuan pribadi, memantau pencapaian tujuan, dan menyesuaikan perilaku. Sistem pengendalian sosial (social control) merupakan pola dan perspektif sosial dalam interaksi interpersonal dalam berbagai kelompok di organisasi. Sistem pengendalian budaya (cultural control) meliputi seluruh bagian atau organisasi yang terbentuk dari proses akumulasi berbagai cerita, ritual, legenda, dan norma dalam interaksi sosial. Pada periode 1980an, sistem pengendalian manajemen mendapat berbagai kritik yang sangat tajam karena dianggap tidak mampu mendukung keberhasilan organisasi untuk memenangkan persaingan (Kaplan, 1983, 1984a, 1984b, Johnson dan Kaplan, 1987:1). Hal ini diakibatkan karena lingkungan bisnis organisasi telah mengalami perubahan besar dari Era Industri menuju Era Informasi. Akibatnya, beberapa asumsi yang mendasari manajemen era industri tidak sesuai lagi jika digunakan pada era informasi, misalnya dalam hal persaingan, pengukuran kinerja, orientasi pelanggan, dan lainnya. Proses sistem pengendalian manajemen tidak dapat bersifat mekanistik karena melibatkan interaksi para individu sebagai anggota organisasi. Oleh karena itu, goal congruence merupakan konsep penting dalam sistem pengendalian manajemen, yaitu tujuan individu haruslah selaras atau konsisten dengan tujuan organisasi. Sistem pengendalian manajemen haruslah dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip goal concruence. Karena sistem pengendalian manajemen dimaksudkan untuk membantu manajemen mencapai sasaran stratejik, maka perlu berfokus pada upaya eksekusi strategi secara efektif. Tentu saja, sistem pengendalian manajemen bukanlah satu-satunya aspek dalam eksekusi strategi. Secara tradisi, dalam proses formulasi strategi dirumuskan strategi-strategi organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. Umumnya, proses formulasi strategi berujung pada pengembangan program-program yang memerlukan dukungan keuangan. Di sinilah anggaran mulai memainkan peran penting sebagai fokus sistem pengendalian manajemen. Anggaran berfungsi sebagai pusat manajemen organisasi. Dalam proses implementasinya, anggaran menjadi acuan utama atau ukuran kinerja manajemen yang paling signifikan dalam pengelolaan organisasi. Dalam perkembangannya, anggaran telah memicu pada upaya pengendalian organisasi berbasis keuangan. Perilaku para manajer dalam organisasi juga dikendalikan melalui mekanisme anggaran. Akuntansi pertanggungjawaban (responsibility accounting) telah memainkan peran yang sangat penting untuk mengendalikan perilaku para manajer melalui rancangan pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility centers) yang meliputi: (1) pusat pendapatan (revenue center); (2) pusat bisya (cost center); (3) pusat laba (profit center); dan (3) pusat investasi (investment center). Konsep ini telah berjalan selama berpuluh-puluh, bahkan beratus tahun sebagai sistem pengendalian manajemen -408- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) sejak Era Revolusi Industri, dan masih digunakan secara luas pada organisasi-organisasi sampai sekarang. Itulah alasan mengapa sistem anggaran tradisional ini dipandang sebagai tirani dalam manajemen organisasi. 3. ANGGARAN SEBAGAI PERANGKAP MANAJEMEN Sampai saat ini, banyak manajemen organisasi belum dapat melepaskan diri dari sistem anggaran. Apalagi, popularitas anggaran semakin dipicu oleh munculnya generasi manajer yang disebut financial engineers, yaitu generasi manajer yang lebih senang menggunakan pendekatan remote control management atau management by the numbers. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka menggunakan anggaran sebagai fixed performance contract (Hope dan Fraser, 2003:xviii). Akibatnya, organisasi semakin terperangkap lebih dalam, dan hampir tak ada organisasi yang tidak menggunakan anggaran sebagai “jantung” sistem manajemen. Padahal, tidak sedikit manajemen yang kecewa, bahkan frustrasi dengan sistem anggaran tradisionil sebagai model manajemen organisasi. Pernyataan-pernyataan yang dikutip oleh Hope dan Fraser (2000:xvii) dari para top management seperti “the budget is a tool of repression rather than innovation” oleh Lutz (Ex-CEO Chrysler), “budgeting is unnecessary evil” oleh Wallander (President Handelsbanken), “the budget is the bane of corporate America” oleh Jack Welsch (ExCEO GE), menunjukkan bahwa anggaran telah menjadi masalah yang sangat serius pada banyak organisasi. Upaya-upaya untuk membuang sama sekali sistem anggaran dan menggantikan dengan model manajemen yang baru juga sudah dimulai dengan pembentukan Beyond Budgeting Round Table (BBRT) di akhir tahun 1997. Kritik utama ditujukan pada kenyataan bahwa anggaran tradisional dianggap telah gagal menyikapi tekanan persaingan. Lebih celaka lagi, anggaran tradisional dituduh telah memicu beragam perilaku disfungsional (dysfunctional behavior) para manajer organisasi. Kekecewaan terhadap anggaran tersebut sebenarnya telah berjalan selama beberapa dekade. Hope dan Fraser (2003:4) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor utama yang memicu kekecewaan terhadap anggaran tradisional, yaitu : (1) budgeting is combersome and too expensive; (2) budgeting is out of kilter with the competitive environment and no longer meets the needs of either executives or operating managers; (3) the extent of gaming numbers has risen to unacceptable level. Dalam sistem anggaran, proses perencanaan lebih banyak dipengaruhi oleh politicking, bukan strategi, termasuk proses penentuan target dan evaluasi kinerja. Lebih lanjut, riset Hope dan Fraser (2003:13) menyatakan bahwa terdapat 10 (sepuluh) ragam perilaku disfungsional manajer yang tercermin dalam pernyataan-pernyataan para manajer sebagai berikut : (1) always negotiate the lowest targets and the highest rewards, (2) always make the bonus,whatever it takes, (3) never put customer care above sales targets, (4) never share knowledge or resources with other teams-they are enemy!, (5) always ask for more resources than you need, expecting to be cut back to what you -409- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) actually need, (6) always spend what’s in the budget, (7) always have the ability to explain adverse variance, (8) never provide accurate forecasts, (9) always meet the number, never beat them, (10) never take risks. Era Ekonomi Informasi ditandai dengan persaingan yang sangat tajam sehingga diperlukan manajemen yang memiliki kemampuan inovasi yang tinggi untuk berhasil. Aset nirwujud mendominasi proses penciptaan nilai. Oleh karena itu, manajemen dituntut untuk mampu meningkatkan keunggulan bersaing agar dapat memberikan return yang memuaskan para investor melalui peningkatan customer value dan customer profitability. Manajemen organisasi perlu memiliki modal manusia yang inovatif, beroperasi pada tingkat efisiensi yang tinggi, dan menerapkan good corporate governance dengan menjaga etika pelaporan yang baik. Sayangnya, hal tersebut tidak mungkin dicapai melalui sistem manajemen berbasis anggaran tradisionil. Manajemen organisasi sudah terlalu dalam terperangkap oleh anggaran tradisionil sebagai fixed performance contract. 4. 4.1 MENANTI METAMORFOSIS MENUJU BEYOND BUDGETING DAN STRATEGIC PERFORMANCE MANAGEMENT BEYOND BUDGETING Organisasi yang beroperasi pada Era Ekonomi Informasi dan berbasis pengetahuan memerlukan model manajemen baru. Banyak perusahaan telah berinvestasi pada beragam sistem manajemen terkini, seperti Six Sigma, Activity-based Costing (ABC), Economic Value Added (EVA), Balanced Scorecard (BSC) dan lainnya. Sayangnya, penerapan model manajemen baru tersebut seringkali dikalahkan oleh model pengendalian berbasis anggaran yang sudah berpuluh tahun digunakan. Dengan kata lain, manajemen organisasi tetap tidak mampu berubah dan gagal menciptakan model manajemen baru untuk mengganti dominasi anggaran. Anggaran tetap saja menjadi tirani dalam sistem manajemen organisasi meskipun manajemen sadar bahwa organisasi telah berada pada Era Ekonomi Informasi. Melakukan kritik terhadap anggaran bukan sesuatu yang baru. Banyak pihak yang melakukannya selama berpuluh tahun. Sayangnya, para pengritik anggaran tersebut tidak memberikan solusi tentang model manajemen apa yang mampu menggantikan anggaran tradisional. Penantian panjang terjadinya metamorfosis atau bahkan hilangnya anggaran sebagai sistem pengendalian manajemen organisasi mulai terasa dengan munculnya konsep Beyond Budgeting atau Dynamic Planning and Budgeting. Konsep ini termasuk salah satu ide besar dalam manajemen yang muncul pada abad XXI. Tujuannya ingin menggantikan centralized hierarchies menuju devolved networks. Para pencetus konsep ini berkeinginan mengganti model anggaran tradisional dengan sebuah model alternatif pengendalian manajemen sehingga organisasi dapat mencapai tujuannya dengan devolved networks. Dengan demikian, manajemen organisasi memiliki pedoman menerapkan model manajemen baru yang ramping, adaptif, dan mengedepankan etika, seperti tersaji pada Gambar 2. -410- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) Model manajemen Beyond Budgeting terdiri dari 2 (dua) unsur utama, yaitu: (1) adaptive management processes dan (2) devolved organization. Tidak seperti pada manajemen berbasis anggaran tradisional yang cenderung menggunakan anggaran secara kaku sebagai fixed performance contract, maka model manajemen Beyond Budgeting mengubah pengelolaan menjadi lebih adaptif. Sasaran-sasaran ditentukan berdasarkan stretch goals yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan-perusahaan kelas dunia, kelompok dalam industri, para pesaing, dan kinerja masa lalu yang dijadikan sebagai benchmark. Dengan model manajemen Beyond Budgeting, dimungkinkan untuk mengelola organisasi lebih terdesentralisasi. Akuntabilitas kinerja dan pengambilan keputusan diletakkan pada manajer lini. Model ini memungkinkan terciptanya lingkungan kerja yang selfmanaged dan budaya personal responsibility, yang selanjutnya memicu inovasi dalam organisasi, meningkatkan produktivitas, dan pelayanan pelanggan yang lebih baik. Model manajemen ini juga menjanjikan peningkatan nilai organisasi yang dipicu oleh strategi inovasi, biaya rendah, pelanggan yang loyal, dan pelaporan yang etis. Kunci dari keberhasilan tersebut terletak pada manajer lini yang harus memiliki kemampuan, pengetahuan, dan kekuatan untuk mencapainya. Model Beyond Budgeting memungkinkan perubahan signifikan pada organisasi dari dependency model menuju responsibility model. Organisasi yang semula sangat tergantung, kaku dan sangat centralized berubah menjadi organisasi yang lebih devolved. Hal ini tentu saja menuntut perubahan paradigma para manajer keuangan terhadap sistem manajemen kinerja yang melibatkan perencanaan, penentuan target, dan alokasi sumberdaya yang biasanya didasarkan pada negosiasi, tahunan, dan tetap. Pada lingkungan yang cenderung tidak stabil, sistem tersebut tidak dapat digunakan lagi. Sayangnya, para manajer keuangan cenderung enggan berubah. Hal tersebut disebabkan karena ketidakmampuan para manajer keuangan tersebut melihat hal-hal di luar targettarget keuangan dan anggaran sebagai pemicu kinerja organisasi. Kontrak kinerja seharusnya dibuat dengan filosofi continuous improvement dan dibandingkan dengan perubahan lingkungan internal dan eksternal (Hope, 2006:80). Manajer keuangan pada organisasi adaptif harus memiliki paradigma bahwa perencanaan merupakan proses berkesinambungan dan inklusif yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa strategis yang terjadi atau diprediksi akan terjadi, munculnya pengetahuan baru, dan yang lebih penting lagi tidak dibatasi oleh periodisasi penyusunan anggaran atau laporan keuangan. Beyond Budgeting telah diaplikasikan dengan sukses di perusahaanperusahaan besar. Hasil implementasinya dapat secara cepat dan nyata diidentifikasikan. Mengganti fixed performance contract dengan stretch target, Carnaud Metal Box mendapatkan manfaat dari perusahaan yang hanya bernilai 19 juta dolar di tahun 1982 menjadi 3 miliar dolar di tahun 1989. Perusahaan komputer milik pemerintah Perancis mendapat manfaat dari perusahaan yang rugi FF5.5BN di tahun 1993 menjadi laba -411- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) FF600m di tahun 1997 dan sukses menuju privatisasi. Dalam dua setengah tahun, perusahaan angkutan Leyland Trucks di Inggris mampu mengurangi biaya operasi sebesar 24 persen, meningkatkan return on sales lebih dari 10 persen, dan dijual pada perusahaan Amerika guna mendapatkan akses permodalan yang lebih besar. Svenska Handelsbanken mampu mendapatkan returns for shareholders yang luar biasa dan mampu mengalahkan para pesaingnya dalam hal kinerja cost-to-income dan costs-tototal-assets. Organisasi-organisasi yang menerapkan Beyond Budgeting bervariasi dalam jenis dan ukuran. Semuanya mendapatkan manfaat-manfaat penting yang sangat strategis dalam meningkatkan nilai organisasi. Kinerja organisasi meningkat setelah mengganti anggaran dengan model manajemen yang adaptif dalam hal perencanaan, penilaian kinerja, evaluasi kinerja dan pengendalian. Manajemen melaporkan penghematan waktu yang signifikan bila dibandingkan saat menerapkan anggaran sebelumnya. Manajemen mampu meningkatkan respons yang lebih cepat karena dimungkinkan bekerja lebih cepat dan lebih sederhana. Manajemen mampu bereaksi lebih cepat terhadap ancaman dan peluang dari lingkungan eksternal organisasi. Manajemen inovasi juga semakin baik karena adanya peningkatan rasa kepercayaan dalam berbagi pengetahuan dan best practices. Manajemen mampu mengurangi biaya secara signifikan karena mampu menghubungkan antara aktivitas-aktivitas organisasi dengan kebutuhan pelanggan, dan menyelaraskan produk, proses, proyek, dan struktur dengan strategi organisasi. Gambar 2 Metamorfosis Model Anggaran Sumber : About Beyond Budgeting Concept (2004-2006) -412- Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) Majalah Ekonomi 4.2 Strategic Performance Management Pada Era Informasi yang ditandai dengan semakin tajamnya persaingan, maka keberhasilan pencapaian kinerja organisasi dipicu oleh kualitas strategi yang dimiliki dan efektivitas eksekusi strategi tersebut. Balanced Scorecard (BSC) yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton di tahun 1990an (Kaplan dan Norton, 1996) menjadi sebuah sistem manajemen di Era Ekonomi Informasi yang seharusnya menggantikan anggaran sebagai pusat sistem manajemen organisasi. BSC berfokus pada strategi dan di Era Informasi inilah strategi harus menjadi pusat segala sistem manajemen, bukan anggaran. BSC sangat populer di dunia dan menjadi sebuah kompetensi baru yang harus dimiliki oleh manajemen. BSC melengkapi ukuran-ukuran kinerja yang sebelumnya sangat berorientasi pada aspek keuangan. Dimensi-dimensi penting yang harus dipertimbangkan manajemen organisasi pada era ekonomi berbasis pengetahuan, seperti customer focus, operational efficiency, human capital, information capital, dan organization capital dimasukkan dalam rerangka BSC sebagai pemicu kinerja masa depan. Oleh karena itu, seperti tersaji pada Gambar 3, terdapat 4 perspektif yang disajikan secara seimbang dalam melihat organisasi secara helicopter view, yaitu perspektif: (1) financial, (2) customer, (3) internal business process, (4) and learning and growth. Gambar 3 Balanced Scorecard Framework Sumber : Kaplan dan Norton (1996) BSC digunakan oleh organisasi-organisasi untuk mengukur dan mengelola kinerja berbasis strategi. Ukuran-ukuran keuangan hanya melaporkan outcomes atau lag indicators, tetapi tidak mengkomunikasikan pemicu-pemicu kinerja masa depan dan bagaimana menciptakan nilai melalui investasi pada pelanggan, pemasok, karyawan, teknologi, dan inovasi (Kaplan dan Norton, 2001). Dengan BSC, maka sistem pengendalian manajemen (management control system) yang berfokus pada anggaran di Era Industri telah digantikan dengan BSC sebagai sistem manajemen strategis (strategic management system) yang lebih sesuai dengan Era Ekonomi Informasi. -413- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) Gambar 4 Management Control System Designed around a Short-Term, Control-Oriented Financial Framework Sumber : Kaplan and Norton (2001) Gambar 5 A Strategic Management System Designed around a Longer-Term Strategic View Sumber : Kaplan and Norton (2001) 5. SIMPULAN Dari pembahasan sebelumnya, dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Lingkungan yang dihadapi organisasi telah berubah dari Era Industri memasuki Era Ekonomi Informasi yang ditandai dengan persaingan sangat tajam. Kinerja organisasi di Era Industri ditentukan oleh tangible assets, sementara itu di Era Ekonomi Informasi ditentukan oleh intangible assets. 2. Anggaran tidak sesuai lagi digunakan sebagai pusat sistem manajemen organisasi di Era Ekonomi Informasi karena dinilai terlalu rigid, birokratis, politis, dan memicu perilaku disfungsional para manajer. Manajemen organisasi terlalu lama -414- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) terperangkap dalam sistem anggaran sehingga sulit untuk melepaskan diri. Anggaran telah menjadi tirani pada sistem manajemen sampai sekarang. 3. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mengganti sistem anggaran dengan sebuah model manajemen yang disebut Beyond Budgeting Model ini telah diterapkan pada beragam jenis dan ukuran organisasi. Organisasi yang menerapkan mendapatkan manfaat yang signifikan dalam menciptakan nilai, baik kepada pelanggan, pemasok, karyawan, dan investor. 4. Balanced Scorecard (BSC) yang dikembangkan Kaplan dan Norton merupakan sistem manajemen strategis dan sistem manajemen kinerja yang berorientasi pada strategi. BSC merupakan sistem manajemen yang sangat sesuai untuk menggantikan sistem manajemen berbasis anggaran pada organisasi yang berada pada Era Ekonomi Informasi. DAFTAR KEPUSTAKAAN About Beyond Budgeting-Concept (2004-2006) http://www.bbrt.org/bbconcept.htm Anthony, R.N. dan Govindarajan, V., 2001. Management Control Systems, Tenth Edition, Chicago, IL: Richard Irwin, Inc. Drucker, P. 1993. Post-capitalist Society. New York: Harper Business. Hand, J. dan Lev, B. 2003. Intangible Assets: Value, Measures, and Risks. New York: Oxford University, pp. 1-8. Hope J. 2006. Reinventing the CFO: How Financial Managers Can Transform Their Roles and Add Greater Value. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Hope, J. dan Fraser, R. 2003. Beyond Budgeting: How Managers Can Break Free from the Annual Performance Trap. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Hope J. dan Fraser, R. 2000. Beyond Budgeting. Strategic Finance.October (82) 4. Jaworski (1988), Toward A Theory of Marketing Control: Environmental Context, Control Types, and Consequences, Journal of Marketing, Vol. 52 (July 1988), pp. 23-29. Soete, L. dan Weel, B. 1999. Innovation, Knowledge and Technology Policy in Europe. www.soete.nl Kaplan, 1983. Measuring Manufacturing Performance: A New Challenge for Managerial Accounting Research, The Accounting Review. 58 (4), pp. 686-705. ______, 1984a. The Evolution of Management Accounting, The Accounting Review, Vol. LIX, No. 3, pp. 390-418. -415- Majalah Ekonomi Tahun XVII, No.3 Desember 2007 (Ekstra) ______, 1984b. Yesterday’s Accounting Undermines Production, Harvard Business Review, No. 84, pp. 40-46. ______ dan Johnson, H.T., 1987. Relevance Lost: The Rise and Fall of Management Accounting, Boston, MA: Harvard Business School. ______, dan Norton, D.P. (1996, January/February). Using the Balanced Scorecard as a strategic management system. Harvard Business Review, pp. 75-85. ______,1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Actions. Boston, MA: Harvad Business School Press. ______, 2001. The Strategy-Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment, Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Marciariello, J.A. dan Kirby, C.J. 1994. Management Control Systems, Using Adaptive Systems to Attain Control, Second Edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. -416-