BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OVERMACHT DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA 1.1 Overmacht 1.1.1 Pengertian Overmacht Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan“ kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum. Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi.Ini berarti apabila debitur tidak melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian (schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi. Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan/menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 : setiap wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding). Dalam keadaan overmacht debitur dibebaskan dari kewajiban pemenuhan (nakoming) dan membayar ganti kerugian (schadevergoeding). Untuk menjelaskan pembebasan debitur maka timbul beberapa teori, antara lain: Teori “ketidakmungkinan” (onmogeljkeheid). Ajaran “penghapusan atau peniadaan kesalahan” (afwezigheid van schuld) berarti dengan adanya overmacht meniadakan kesalahan, sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh/tidak bisa dipertanggung jawabkan kepada debitur. Menurut ajaran “ketidakmungkinan”, overmacht adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam keadaan “tidak mungkin” melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Akan tetapi ketidakmungkinan melaksanakan perjanjianharus diteliti. Sebab tidak semua overmacht dengan sendirinya menempatkan debitur dalam keadaan tidak mungkin.Kadang-kadang overmacht itu hanya sedemikian rupa saja. Tidak sampai betul-betul merintangi/ menghalangi seseorang untuk melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan. Karena itu ketidakmungkinan itu harus dibedakan antara: 1) Ketidakmungkinan “absolut” atau ketidakmungkinan “objektif” atau ketidakmungkinan “subjektif” (absolutonmogelijkheid). 2) Ketidakmungkinan “relative” (relativeonmogelijkheid) Disamping adanya perbedaan antara ketidakmungkinan objektif/ absolut dan subjektif, perlu kiranya dipertanyakan, apakah dalam overmacht yang menimbulkan ketidakmungkinan melaksanakan pemenuhan perjanjian terhadap peranan “culpa (kealpaan)” pada diri debitur. Jika ada culpa pada debitur, rintangan yang terjadi buka semata-mata karena overmacht. Alasan ketidakmungkinan tidak memadai melepaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi. Karena overmacht yang didalamnya bercampur dengan culpa tidak dapat meniadakan kesalahan sesuai dengan teori “kesalahan”. Jadi baik dalam ketidakmungkinan absolut maupun pada ketidakmungkinan relative, jika didalamnya terdapat unsur culpa, ketidakmungkinan yang ditimbulkan overmacht tidak memadai dijadikan alasan yang menghindari diri debitur dari kewajiban membayar ganti rugi.1 1.1.2 Teori-Teori Overmacht Teori-teori overmacht dibagi menjadi 2 antara lain: 1. Teori Overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak. Teori ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht apabila pemenuhan prestasi itu „tidak mungkin bagi siapapun bagi setiap orang”. Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan bagi A dan bagi siapapun. Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht Objektif ada overmacht. 2. Teori Overmacht Subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relatif. Teori ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”. 1 M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h.85. Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu. Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran overmacht objektif disebu impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran Overmacht Subjektif tersebut difficultas (menimbulkan kaberatan). 1.1.3 Unsur-Unsur Overmacht Unsur-unsur overmacht yaitu 1. Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban. 2. Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur. 3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur. Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi terhenti. Ini berarti bahwa: 1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi. 2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai. 3. Resiko tidak beralih kepada Debitur. Jadi, dengan adanya overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya overmacht yang bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi. 1.1.4 Dasar Hukum Overmacht dalam KUH Perdata Keadaan Memaksa dalam KUH Perdata Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majeure (dalam kajian ini selanjutnya disebut keadaan memaksa) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini: a. Pasal 1244 KUH Perdata “Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugidan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.” b. Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena halhal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” Selain kedua ketentuan tersebut, konsep keadaan memaksa juga diacu dalam Pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut. a. Pasal 1444 KUH Perdata “(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. (2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya. (3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu. (4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.” b. Pasal 1445 KUH Perdata “Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.” 1.2 1.2.1 Perjanjian Sewa Menyewa Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa Sewa menyewa seperti halnya jual beli, adalah suatu perjanjian yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sewa menyewa maupun jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah biasa dipergunakan oleh para warga masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingannya. Sewa menyewa dan jual beli adalah sama-sama merupakan suatu perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko Prakoso dan Bambang Ryadilany perbedaan antara dua macam persetujuan ini ialah bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh pemilik barang adalah hak milik atas barang itu, sedangkan dalam hak sewa menyewa si pemilik hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu tetap berada di tangan yang menyewakan.2 Hilma Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah hubungan hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan satu kenikmatan atas sesuatu (benda) pada pihak lainnya membayar harga kenikmatan itu.3 Untuk lebih memahami pengertian perjanjian sewa menyewa maka dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna memberikan gambaran yang lebih jelas. Menurut CST. Kansil, bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian untuk menyewakan suatu barang untuk digunakan dalam waktu tertentu dan dengan sewa tertentu.4 Menurut pasal 1548 KUH Perdata memberi pengertian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan sesuatu harga yang oleh pihak tersebut berakhir ini disanggupi pembayarannya. 2 Djoko Prakoso, 1997, Dasar Hukum Persetijuan di Indonesia, PT. Grafindo, Jakarta, h. 56. 3 Hilma Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni Bandung, h. 97. Cristina.S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 241. 4 Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, maka dikemukakan bahwa pengertian sewa menyewa meliputi unsur-unsur sebagai berikut: a. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian antara dua pihak. Maksudnya adalah di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan. Pihak yang satu sebagai penyewa, sedangkan pihak yang lainnya disebut sebagai pihak yang menyewakan (pemilik). Dalam perjanjian sewa-menyewa ini, kedua pihak yaitu pemilik maupun pihak penyewa diebani suatu kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan; b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu barang kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak yang menyewakan (pemilik) menyerahkan barang kepada barang kepada si penyewa, hanya untuk dipakai atau dipergunakan oleh si penyewa dan bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (si pemilik) hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas sesuatu barang kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut tetap berada pada tangan di pemilik barang; c. Selain itu sewaktu-waktu tertentu, maksudnya adalah bahwa perjanjian sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selamalamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu tertentu untuk berakhirnya sewa menyewa. Hal tersebut berarti bahwa dalam pihak yang menyewakan tidak diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu ha katas barang yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut sendiri orang tersebut. Menurut Pasal 1556 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila pihak ketiga mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan di dasarkan oleh suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Adanya suatu kewajiban pokok dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi pihak penyewa maupun yang menyewakan, maka bagi pihak penyewa salah satu kewajiban adalah mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan kepada pihak yang menyewakan (si pemilik) barang, guna sebagai pengganti atas penggunaan atau pemakaian barang sewa. Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban utama bagi si penyewa dalam hal hubungan sewa menyewa. 1.2.2 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa Untuk sahnya perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat maka diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Demikian juga dengan perjanjian sewa menyewa seperti halnya perjanjian lain-lain harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Menurut Satrio. J mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus terpenuhinya empat syarat yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan. 3. Ada suatu hal tertentu. 4. Ada suatu sebab yang halal.5 Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut akan tidak diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya, sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal untuk lebih jelas agar apa yang diuraikan diatas yaitu mengenai syarat sahnya perjanjian sewa menyewa, maka saya uraikan mengenai empat syarat tersebut. 1. Sepakat yang mereka mengikatkan dirinya Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehendak adalah kesepakatan, sengketa pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan ini bersifat sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.6 Menurut Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan karenanya tidak menandatanganinya, tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu pihak 5 Satrio. J, 2011, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 163. 6 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 229. (Selanjutnya di tulis Abdulkadir Muhammad I). tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu.7 Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang mantap. Kadang-kadang kehendak itu dinyatakan secara tegas dan kadangkadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak-pihak itu. Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun juga, betul-betul ada kemauan sukarela pihak-pihak.8 Dalam persetujuan kehendak tersebut juga tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Menurut ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata dikatakan bahwa: Tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dalam kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian. Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekesatan atau kekeliruan apabila salah satu pihak tidak keliru mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata : 7 Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta h.16. 8 Abdulkadir Muhammad ,loc.cit. Kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus atau keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian. Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena kehilafan, paksaan dan penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipuan itu. 2. Kecakapan pihak-pihak Menurut Cristina S.T. Kansil seseorang yang dikatakan cakap hukum apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21 tahun, atau bagi seorang laki-laki bila belum berumur 21 tahun telah melangsungkan pernikahan.9 Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri harus ada izin suami.Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita, bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi dari izin suami. Perbuatan hukum yang dilakukan istri sah menurut hukum dan tidak dapat diminta pembatalannya kepada Hakim. 9 Cristina.S.T Kansil, op.cit, h.231 Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim.Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak. 3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah intuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan maka perjanjian itu batal (nietig, coid). Menurut Sartio J, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” perlu dilihat pada Pasal 1333 dan 1334 KUH Perdata, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 1320 sub. 2 KUH Perdata.10 Dalam Pasal 1333 KUH Perdata dikatakan bahwa : Suatu persetujuan harus mempunyai sebagian pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Yang dimaksud disini adalah bahwa objek perjanjian tidak harus … sejak semula … secara individual tertentu, tetapi cukup kalau … pada saat perjanjian ditutup jenisnya tertentu.Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah memenuhi syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan. 10 J.Satrio, op.cit, h.31 Menurut Setiawan, R, Objek perikatan atau prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk tidak memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misalny, penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.11 4. Suatu sebab yang halal (causa) Abudkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (Public Policy) tidak dibenarkan sekali oleh hukum.12 Menurut ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata dikatakan bahwa : Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. Dalam perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah pihak penyewa menghendaki sejumlah uang. Tujuan yang hendak dicapai oleh pihakpihak ialah kenikmatan dengan menguasai benda dan sejumlah uang dibayar. Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah batal (nietig, void). Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntuk pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula dianggap tidak 11 Setiawan R, op.cit, h.4. Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h. 95. (Selanjutnya ditulis Abdulkadir Muhammad II). 12 pernah ada perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab), ia dianggap tidak pernah ada. Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Pasal 1545 KUH Perdata menyebutkan bahwa tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tidak mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau lima tahun. Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat in tidak dipatuhi, perjanjian batal. Pembatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif. Di samping syarat-syarat tersebut diatas, setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian juga dengan perjanjian sewa-menyewa harus ada itikad baik yang dalam hal ini diartikan sebagai kejujuran. Apabila itikad baik dalam membuat perjanjian sewa menyewa berarti kejujuran, maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian adalah kepatuhan yaitu suatu penilaian yang baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, apabila diperhatikan pasal-pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata adalah yang dipakai sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan oleh para wasit dalam arbitrase atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai dengan itikad baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad baik, kepatuhan dan kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan perjanjian dalam sengketa para pihak. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dikatakan bahwa: Memerintahkan semua perjanjian dilaksanakan dengan itukad baik, dengan demikian kewajiban kedua belah pihak ialah melaksanakan perjanjian dengan itikad baik memberi kepastian hukum mengenai isi perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan tegas. Kalau undangundang menetapkan barang siapa berdasarkan suatu perjanjian diwajibkan merawat sebaik-baiknya seperti barang milik sendiri sampai terlaksananya penyerahan barang tersebut, maka hal ini berarti merupakan suatu ketentuan yang ditunjukkan kepada itikad baik dalam melaksanakan suatu kewajiban hukum. Maksud daripada perintah supaya perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik adalah untuk mencegah kelakuan yang tidak patut atau sewenang-wenang dalam pelaksanaan tersebut. Sebagaimana diketahui kepatutan dlam penemuan hukum dapat dipergunakan untuk menyampingkan tetapi dapat pula melengkapi undang. Hal ini akan lebih jelas apabila diperhatikan pernyataan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: “Persetujuan-persetujuan tidk hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. “Sedangkan dalam Pasal 1347 KUH Perdata menyebutkan sebagai berikut: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak tegas dinyatakan”. Berpegang pada ketentuan tersebut diatas bahwa kedua belah pihak dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang secara tegas disebutkan dalam suatu perjanjian melainkan apa yang diharuskan menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan undang-undang. Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-janji yang memang lazim dipakai dalam masalah menurut adat kebiasaan, maka janji-janji tersebut dianggap termuat dalam perjanjian meskipun perjanjian sama sekali tidak menyebutkan. Pasal 1339 KUH Perdata mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian dan yang dipakai dalam pasal 1347 KUH Perdata, maka tampak agak sedikit adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1347 KUH Perdata bahwa janji-janji yang menurut kebiasaan melekat pada perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat dalam isi perjanjian. Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jalas perbedaan dari dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUH Perdata mengatakan adat kebiasaan yang tidak dimuat dalam isi perjanjian tidak dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat menambah isi perjanjian. Namun tidak demikian halnya dengan pasal 1374 KUH Perdata, peraturan yang bersifat tambahan itu malahan dianggap dikesampingkan oleh adat kebiasaan. Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam membuat perjanjian hubungannya dengan Pasal 1339 KUH Perdata dengan Pasal 1347 KUH Perdata yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian, maka titik beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada waktu membuat perjanjian. Maksud para pihak ialah menentukan apakah dalam suatu perjanjian tertentu adat kebiasaan yang termuat secara tegas dalam perjanjian dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat menambah isi perjanjian atau tidak. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatikan Pasal 1339 KUH Perdata bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sumber norma disamping undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian.13 1.2.3 Bentuk-Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Tentang bentuk-bentuk perjanjian secara garis berasnya mempunyai dua bentuk yaitu : a. Perjanjian dengan betuk tertulis. b. Perjanjian dengan bentuk lisan. Perjanjian yang dengan bentuk secara tertulis, ini sudah pasti membunyai bentuk tertentu misalnya akta. Dengan adanya bentuk tertulis dari suatu perjanjian seperti akta ini, sudah tentu akan memberikan lebih kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, oleh karena dengan adanya bentuk tertulisdari perjanjian para pihak tidak merasa canggung-canggung atau tidak merasa khawatir dalam pelaksanaan nanti. Begitu pula halnya dalam perjanjian yang dibuat secara lisan, dengan katakata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak yang menghendaki supaya dibuat 13 Wirjono Prodjodikoro, 2001, Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, h.97. dengan secara tertulis (akta). Biasanya akta tersebut dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan.Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pendapat keduanya adalah sama-sama mempunyai kekuatan hukum, hanya saja adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis lebih mempunyai kekuatan hukum kalau dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat secara tertulis sudah ada bukti autentik. Namun walaupun begitu dalam perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti tidak mempunyai kekuatan hukum, oleh karena semua hal ini didasarkan kepada bahwa setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah tentu didasarkan pada itikad baik, sangat kecil kemungkinan perjanjian itu tidak ditepati, itikad baik inilah yang merupakan kunci untuk dapat berlakunya suatu perjanjian. Dengan melihat kedua bentuk perjanjian tersebut di atas suatu hal yang tidak dapat dilepaskan adalah akibat hukum dari kedua bentuk perjanjian tersebut yang menurut Subekti menyatakan bahwa: Jika sewa menyewa diadakan secara tertulis maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) demi waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sedangkan apabila sewa menyewa itu tidak secara tertulis atau secara lisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan maka harus dilakukan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat, jika tidak ada pemberitahuan seperti itu maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.14 14 Subekti I, op cit, h 47. 1.2.4 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa Menyewa Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang menyewa dan yang menyewakan. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan. Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga.Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.15 1.3 Klausula Keadaan Memaksa atau Overmacht (Damage/ Kerusakan dan Lost/ Kehilangan) dalam Pembuatan Perjanjian Sewa Menyewa Motor Overmacht ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah satu pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian. Dengan ketentuan telah terpenuhinya syarat objektif dan/atau syarat subjektif suatu keadaan dapat digolongkan sebagai overmacht. Overmacht merupakan klausula yang lazim dalam suatu perjanjian di Indonesia pengaturan akan klausula ini terdapat dalam KUHPerdata dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, kedudukan overmacht dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. 15 Salim H.S., 2010,Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, h.59. Dalam praktik penyewaan motor terdapat hubungan hukum sewamenyewa, tentu saja hubungan hukum yang terjadi adalah antara pemilik motor selaku pemberi sewa dengan pihak yang menyewa motor selaku penyewa. Sewa menyewa dalam pengertian pada Pasal 1548 KUH Perdata adalah suatu persetujuan, di mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Untuk menghindari kerugian pada pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maka dalam perjanjian sewa-menyewa dibentuk aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu. Ketentuan-ktentuan inilah yang disebut dengan Klausula. Klausula dibentuk secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli biasa disebut dengan klausula baku yang biasanya dibuat secara sepihak oleh pihak penyedia jasa. Klausula baku, menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun kendatipun dibuat secara sepihak, klausula tidak boleh merugikan konsumen. Pada dasarnya memang ada beberapa hal yang menjadi tanggung jawab penyewa motor, namun ada pula yang menjadi tanggung jawab si pemilik motor (pemberi sewa). Berikut kami uraikan satu-persatu: 1. Klausula Tanggung Jawab Atas Kerusakan Motor Pada dasarnya, jika terjadi kerusakan atas barang yang disewa, maka penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya, demikian yang disebut dalam Pasal 1564 KUH Perdata. Jadi, dilihat dari segi hukum perdata, apabila terjadi kecelakaan motor sewa yang mengakibatkan kerusakan, maka penyewa motorlah yang bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan, kecuali si penyewa motor dapat membuktikan bahwa kerusakan itu di luar kesalahannya. Sebenarnya pencantuman klausula tentang tanggung jawab kerusakan mobil sewaaan ada pada tangan penyewa bukan termasuk klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab karena memang aturan dalam KUH Perdata sudah menentukan bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewa adalah penyewa. Selanjutnya penyewa juga perlu memastikan kembali apakah kerusakan yang terjadi pada motor memang ada sebelum ada perjanjian sewamenyewanya atau tidak. Hal ini karena pada dasarnya pemberi sewa wajib menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segalanya. Pemberi sewa juga wajib melakukan perbaikan-perbaikan pada barang yang disewakan jika perlu dilakukan, kecuali pembetulan itu menjadi kewajiban penyewa (Pasal 1551 KUH Perdata). Di samping itu, masih terkait dengan cacatnya barang yang disewakan, Pasal 1552 berbunyi: “Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu, biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi.” Pada dasarnya, penyewa tidak bertanggung jawab untuk kerusakan, kecuali jika pemberi sewa membuktikan bahwa kerusakan itu disebabkan oleh kesalahan si penyewa, demikian yang diatur dalam Pasal 1565 KUH Perdata. Klausula mengenai tanggung jawab atas kerugian kerusakan motor ada pada penyewa, akan menjadi klausula baku jika termasuk “penyewa bertanggung jawab atas kerusakan walaupun bukan diakibatkan oleh penyewa”. Ini karena jika kerusakan bukan karena kesalahan pihak penyewa, seharusnya itu menjadi tanggung jawab pihak yang menyewakan. Klausula baku seperti di atas dapat dianggap pengalihan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atu mencantumkan klaausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan: (a) pengalihan tanggung jawab pelaku usaha…” 2. Klausula Tanggung Jawab Atas Penggantian Motor yang Hilang ataupun Perangkat Motor yang Hilang Jika selama waktu sewa motor tersebut sama sekali musnah atau hilang karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Namun, jika hanya sebagian dari barang itu musnah, yakni seperti peralatan motor hilang, maka si penyewa motor dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan membatalkan perjanjian sewanya; tetapi ia tidak berhak atas suatu ganti rugi. Hal ini mengacu pada Pasal 1553 KUH Perdata. Akan tetapi penyewa berkewajiban merawat barang yang disewa seperti kepala rumah tangga yang baik (seperti ia pemilik barang itu) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1560 KUH Perdata. Klausula dalam hal seperti misalnya pemberi sewa mewajibkan penyewa motor untuk mengganti kerusakan sebesar 100% apabila kerusakan mencapai 60% atau lebih serta perbaikan kerusakan yang ditanggung penyewa pada bengkel yang ditunjuk oleh pemberi sewa. Hal ini karena rusak atau tidaknya motor yang disewakan perlu pembuktian menyeluruh apakah memang kesalahan penyewa atau sedari awal kerusakan tersebut memang telah ada (baik diketahui atau tidak diketahui oleh pemberi sewa).