BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG OVERMACHT DALAM

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG OVERMACHT DALAM PERJANJIAN
SEWA MENYEWA
1.1
Overmacht
1.1.1
Pengertian Overmacht
Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi
landasan hukum yang “memaafkan“ kesalahan seorang debitur. Peristiwa
overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian.
Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum.
Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku
wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan
keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang
menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan
menanggung kerugian
yang terjadi.Ini
berarti
apabila
debitur
tidak
melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak
kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar
kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi
dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian
(schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban
membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan
overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan
prestasi.
Overmacht
merupakan
dasar
hukum
yang
menyampingkan/menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 : setiap
wanprestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar
ganti rugi (schadevergoeding).
Dalam keadaan overmacht debitur dibebaskan dari kewajiban pemenuhan
(nakoming) dan membayar ganti kerugian (schadevergoeding). Untuk
menjelaskan pembebasan debitur maka timbul beberapa teori, antara lain:
Teori “ketidakmungkinan” (onmogeljkeheid).
Ajaran “penghapusan atau peniadaan kesalahan” (afwezigheid van schuld)
berarti dengan adanya overmacht meniadakan kesalahan, sehingga akibat
kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh/tidak bisa dipertanggung
jawabkan kepada debitur. Menurut ajaran “ketidakmungkinan”, overmacht
adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam keadaan “tidak
mungkin” melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Akan tetapi
ketidakmungkinan melaksanakan perjanjianharus diteliti. Sebab tidak semua
overmacht dengan sendirinya menempatkan debitur dalam keadaan tidak
mungkin.Kadang-kadang overmacht itu hanya sedemikian rupa saja. Tidak
sampai betul-betul merintangi/ menghalangi seseorang untuk melaksanakan
kewajiban yang diperjanjikan. Karena itu ketidakmungkinan itu harus
dibedakan antara:
1) Ketidakmungkinan
“absolut”
atau
ketidakmungkinan
“objektif”
atau
ketidakmungkinan
“subjektif”
(absolutonmogelijkheid).
2) Ketidakmungkinan
“relative”
(relativeonmogelijkheid)
Disamping adanya perbedaan antara ketidakmungkinan objektif/ absolut
dan subjektif, perlu kiranya dipertanyakan, apakah dalam overmacht yang
menimbulkan
ketidakmungkinan
melaksanakan
pemenuhan
perjanjian
terhadap peranan “culpa (kealpaan)” pada diri debitur. Jika ada culpa pada
debitur, rintangan yang terjadi buka semata-mata karena overmacht. Alasan
ketidakmungkinan tidak memadai melepaskan debitur dari kewajiban
membayar ganti rugi. Karena overmacht yang didalamnya bercampur dengan
culpa tidak dapat meniadakan kesalahan sesuai dengan teori “kesalahan”. Jadi
baik dalam ketidakmungkinan absolut maupun pada ketidakmungkinan
relative, jika didalamnya terdapat unsur culpa, ketidakmungkinan yang
ditimbulkan overmacht tidak memadai dijadikan alasan yang menghindari diri
debitur dari kewajiban membayar ganti rugi.1
1.1.2 Teori-Teori Overmacht
Teori-teori overmacht dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Teori Overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak.
Teori ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht
apabila pemenuhan prestasi itu „tidak mungkin bagi siapapun bagi setiap
orang”. Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di
tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan
bagi A dan bagi siapapun. Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht
Objektif ada overmacht.
2. Teori Overmacht Subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relatif. Teori ini
menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht, apapbila
pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat
dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”.
1
M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h.85.
Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang
tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat
meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli
barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi
barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu.
Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran
overmacht objektif disebu impossibilitas, sedangkan ketidakmungkinan
Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur tertentu menurut ajaran
Overmacht Subjektif tersebut difficultas (menimbulkan kaberatan).
1.1.3 Unsur-Unsur Overmacht
Unsur-unsur overmacht yaitu
1. Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.
2. Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.
3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur.
Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi
terhenti. Ini berarti bahwa:
1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3. Resiko tidak beralih kepada Debitur.
Jadi, dengan adanya overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya
menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya overmacht yang
bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari
pihak karena overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus
dibebaskan untuk berprestasi.
1.1.4 Dasar Hukum Overmacht dalam KUH Perdata
Keadaan Memaksa dalam KUH Perdata
Konsep keadaan memaksa, overmacht, atau force majeure (dalam kajian ini
selanjutnya disebut keadaan memaksa) dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) ditemukan dalam pasal-pasal berikut ini:
a. Pasal 1244 KUH Perdata
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugidan
bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal
yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu
pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.”
b. Pasal 1245 KUH Perdata
“Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena halhal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Selain kedua ketentuan tersebut, konsep keadaan memaksa juga diacu dalam Pasal
1444 dan 1445 KUH Perdata, sebagai berikut.
a. Pasal 1444 KUH Perdata
“(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di
luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia
tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan
tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya
si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.
(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang
dimajukannya itu.
(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau
hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri
barang dari kewajibannya mengganti harganya.”
b. Pasal 1445 KUH Perdata
“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau
tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan
hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan
kepadanya.”
1.2
1.2.1
Perjanjian Sewa Menyewa
Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa
Sewa menyewa seperti halnya jual beli, adalah suatu perjanjian yang
sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sewa menyewa maupun
jual beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah biasa dipergunakan oleh
para warga masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingannya.
Sewa menyewa dan jual beli adalah sama-sama merupakan suatu
perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang. Menurut Djoko Prakoso
dan Bambang Ryadilany perbedaan antara dua macam persetujuan ini ialah
bahwa dalam hal jual beli yang diserahkan oleh pemilik barang adalah hak
milik atas barang itu, sedangkan dalam hak sewa menyewa si pemilik hanya
menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik
atas barang itu tetap berada di tangan yang menyewakan.2
Hilma Hadikusuma menyebutkan bahwa sewa menyewa adalah hubungan
hukum yang terjadi dikarenakan satu pihak memberikan satu kenikmatan atas
sesuatu (benda) pada pihak lainnya membayar harga kenikmatan itu.3
Untuk lebih memahami pengertian perjanjian sewa menyewa maka
dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang dianggap perlu guna
memberikan gambaran yang lebih jelas. Menurut CST. Kansil, bahwa sewa
menyewa adalah suatu perjanjian untuk menyewakan suatu barang untuk
digunakan dalam waktu tertentu dan dengan sewa tertentu.4
Menurut pasal 1548 KUH Perdata memberi pengertian sewa menyewa
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang selama
suatu waktu tertentu dan dengan sesuatu harga yang oleh pihak tersebut
berakhir ini disanggupi pembayarannya.
2
Djoko Prakoso, 1997, Dasar Hukum Persetijuan di Indonesia, PT. Grafindo, Jakarta, h.
56.
3
Hilma Hadikusuma, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni Bandung, h. 97.
Cristina.S.T Kansil, 1995, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 241.
4
Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, maka dikemukakan bahwa
pengertian sewa menyewa meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian antara dua pihak. Maksudnya
adalah di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan. Pihak yang satu sebagai penyewa, sedangkan pihak
yang lainnya disebut sebagai pihak yang menyewakan (pemilik). Dalam
perjanjian sewa-menyewa ini, kedua pihak yaitu pemilik maupun pihak
penyewa
diebani
suatu
kewajiban-kewajiban
pokok
yang
harus
dilaksanakan;
b. Pihak yang satu menyerahkan pemakaian atau penggunaan sesuatu barang
kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak yang
menyewakan (pemilik) menyerahkan barang kepada barang kepada si
penyewa, hanya untuk dipakai atau dipergunakan oleh si penyewa dan
bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (si pemilik)
hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas sesuatu barang
kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut tetap berada pada
tangan di pemilik barang;
c. Selain itu sewaktu-waktu tertentu, maksudnya adalah bahwa perjanjian
sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selamalamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu
tertentu untuk berakhirnya sewa menyewa.
Hal tersebut berarti bahwa dalam pihak yang menyewakan tidak
diwajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang
dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukkan suatu ha katas barang
yang disewa, maka pihak penyewa dapat menuntut sendiri orang tersebut.
Menurut Pasal 1556 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila pihak
ketiga mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan di dasarkan
oleh suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.
Adanya suatu kewajiban pokok dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi
pihak penyewa maupun yang menyewakan, maka bagi pihak penyewa salah
satu kewajiban adalah mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan
harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang ditujukan kepada pihak yang
menyewakan (si pemilik) barang, guna sebagai pengganti atas penggunaan atau
pemakaian barang sewa. Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu
dari kewajiban utama bagi si penyewa dalam hal hubungan sewa menyewa.
1.2.2
Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Sewa Menyewa
Untuk sahnya perjanjian, agar mempunyai kekuatan mengikat maka
diperlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Demikian juga dengan
perjanjian sewa menyewa seperti halnya perjanjian lain-lain harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada
pada setiap perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Satrio. J mengemukakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
harus terpenuhinya empat syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat suatu perikatan.
3. Ada suatu hal tertentu.
4. Ada suatu sebab yang halal.5
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut akan tidak diakui
oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi
pihak-pihak mengakui dan mematuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku
antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya,
sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau
menyatakan perjanjian itu batal untuk lebih jelas agar apa yang diuraikan diatas
yaitu mengenai syarat sahnya perjanjian sewa menyewa, maka saya uraikan
mengenai empat syarat tersebut.
1. Sepakat yang mereka mengikatkan dirinya
Menurut Abdulkadir Muhammad, persetujuan kehendak adalah
kesepakatan, sengketa pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan ini bersifat sudah
mantap, tidak lagi dalam perundingan.6
Menurut Budiono Kusumoharmidjojo bahwa akibatnya apabila pihak
yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan karenanya tidak
menandatanganinya, tidak terikat oleh kontrak tersebut. Karena itu pihak
5
Satrio. J, 2011, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I,PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 163.
6
Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 229. (Selanjutnya di tulis Abdulkadir Muhammad I).
tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh
kontrak itu.7
Sebelum
ada
persetujuan,
biasanya
pihak-pihak
mengadakan
perundingan (negotiation), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak
yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain
menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang
mantap. Kadang-kadang kehendak itu dinyatakan secara tegas dan kadangkadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang
dikehendaki pihak-pihak itu.
Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa persetujuan kehendak itu
sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun
juga, betul-betul ada kemauan sukarela pihak-pihak.8
Dalam persetujuan kehendak tersebut juga tidak ada kehilafan dan
tidak ada penipuan.
Menurut ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata dikatakan bahwa:
Tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak
berada di bawah ancaman, baik dalam kekerasan jasmani maupun dengan
upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan
demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian.
Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekesatan atau kekeliruan apabila
salah satu pihak tidak keliru mengenai orang dengan siapa diadakan
perjanjian itu.
Menurut ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata :
7
Budiono Kusumoharmidjojo, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta h.16.
8
Abdulkadir Muhammad ,loc.cit.
Kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian,
kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakekat
benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus atau
keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena kehilafan,
paksaan dan penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan
pembatalan kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan
Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang
waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu
berhenti dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari
diketahuinya kehilafan dan penipuan itu.
2. Kecakapan pihak-pihak
Menurut Cristina S.T. Kansil seseorang yang dikatakan cakap hukum
apabila seseorang laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21 tahun,
atau bagi seorang laki-laki bila belum berumur 21 tahun telah
melangsungkan pernikahan.9
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap
membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di
bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan
perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri harus ada
izin suami.Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita, bersuami
sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi
dari izin suami. Perbuatan hukum yang dilakukan istri sah menurut hukum
dan tidak dapat diminta pembatalannya kepada Hakim.
9
Cristina.S.T Kansil, op.cit, h.231
Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa
perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada
hakim.Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan,
sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu
tetap berlaku bagi pihak-pihak.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
prestasi yang wajib dipenuhi.
Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.
Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah intuk
memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika pokok
perjanjian, atau objek perjanjian atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit
bahkan tidak mungkin dilaksanakan maka perjanjian itu batal (nietig,
coid).
Menurut Sartio J, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal
tertentu” perlu dilihat pada Pasal 1333 dan 1334 KUH Perdata, yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 1320 sub. 2 KUH Perdata.10
Dalam Pasal 1333 KUH Perdata dikatakan bahwa :
Suatu persetujuan harus mempunyai sebagian pokok suatu benda
(zaak) yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Yang dimaksud disini
adalah bahwa objek perjanjian tidak harus … sejak semula … secara
individual tertentu, tetapi cukup kalau … pada saat perjanjian ditutup
jenisnya tertentu.Hal itu tidak berarti, bahwa perjanjian sudah memenuhi
syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan.
10
J.Satrio, op.cit, h.31
Menurut Setiawan, R, Objek perikatan atau prestasi berupa
memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan
untuk tidak memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu
barang atau memberikan kenikmatan atas sesuatu barang misalny, penjual
berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan
berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.11
4. Suatu sebab yang halal (causa)
Abudkadir Muhammad mengemukakan jenis-jenis perjanjian tertentu
yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (Public Policy)
tidak dibenarkan sekali oleh hukum.12
Menurut ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata dikatakan bahwa :
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh
undang-undang ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang
hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang
atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
atau tidak.
Dalam perjanjian sewa-menyewa, isi perjanjian ialah pihak penyewa
menghendaki sejumlah uang. Tujuan yang hendak dicapai oleh pihakpihak ialah kenikmatan dengan menguasai benda dan sejumlah uang
dibayar.
Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah batal
(nietig, void). Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntuk
pemenuhan perjanjian di muka Hakim, karena sejak semula dianggap tidak
11
Setiawan R, op.cit, h.4.
Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, h. 95.
(Selanjutnya ditulis Abdulkadir Muhammad II).
12
pernah ada perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab), ia dianggap
tidak pernah ada.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat
subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian.
Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Pasal 1545
KUH Perdata menyebutkan bahwa tetapi jika tidak dimintakan pembatalan
kepada hakim, perjanjian itu tidak mengikat pihak-pihak, walaupun
diancam pembatalan sebelum lampau lima tahun.
Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat
objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika
syarat in tidak dipatuhi, perjanjian batal. Pembatalan ini dapat diketahui
apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka Hakim, dan
Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat
objektif.
Di samping syarat-syarat tersebut diatas, setiap orang yang membuat
perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, demikian juga dengan
perjanjian sewa-menyewa harus ada itikad baik yang dalam hal ini
diartikan sebagai kejujuran.
Apabila itikad baik dalam membuat perjanjian sewa menyewa berarti
kejujuran, maka itikad baik dalam hal pelaksanaan perjanjian adalah
kepatuhan yaitu suatu penilaian yang baik terhadap tindak tanduk suatu
pihak dalam melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, apabila
diperhatikan pasal-pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata adalah yang dipakai
sebagai ukuran apakah keputusan yang telah dijatuhkan oleh para wasit
dalam arbitrase atas sengketa para pihak sudah adil dan sesuai dengan
itikad baik dan kepatutan. Dalam pasal-pasal tersebut itikad baik,
kepatuhan dan kebiasaan mulai muncul untuk menafsirkan perjanjian
dalam sengketa para pihak.
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata dikatakan bahwa:
Memerintahkan semua perjanjian dilaksanakan dengan itukad baik,
dengan demikian kewajiban kedua belah pihak ialah melaksanakan
perjanjian dengan itikad baik memberi kepastian hukum mengenai isi
perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan tegas. Kalau undangundang menetapkan barang siapa berdasarkan suatu perjanjian diwajibkan
merawat sebaik-baiknya seperti barang milik sendiri sampai terlaksananya
penyerahan barang tersebut, maka hal ini berarti merupakan suatu
ketentuan yang ditunjukkan kepada itikad baik dalam melaksanakan suatu
kewajiban hukum. Maksud daripada perintah supaya perjanjian
dilaksanakan dengan itikad baik adalah untuk mencegah kelakuan yang
tidak patut atau sewenang-wenang dalam pelaksanaan tersebut.
Sebagaimana diketahui kepatutan dlam penemuan hukum dapat
dipergunakan untuk menyampingkan tetapi dapat pula melengkapi undang.
Hal ini akan lebih jelas apabila diperhatikan pernyataan Pasal 1339 KUH
Perdata yang menyatakan sebagai berikut: “Persetujuan-persetujuan tidk
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
“Sedangkan dalam Pasal 1347 KUH Perdata menyebutkan sebagai
berikut: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,
dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun
tidak tegas dinyatakan”.
Berpegang pada ketentuan tersebut diatas bahwa kedua belah pihak
dalam mengadakan perjanjian tidak hanya terikat oleh apa yang secara
tegas disebutkan dalam suatu perjanjian melainkan apa yang diharuskan
menurut sifat perjanjian kepatutan adat kebiasaan dan undang-undang.
Apabila pada sebuah perjanjian ada tersangkut janji-janji yang memang
lazim dipakai dalam masalah menurut adat kebiasaan, maka janji-janji
tersebut dianggap termuat dalam perjanjian meskipun perjanjian sama
sekali tidak menyebutkan.
Pasal 1339 KUH Perdata mengenai adat kebiasaan dalam perjanjian dan
yang dipakai dalam pasal 1347 KUH Perdata, maka tampak agak sedikit
adanya suatu pertentangan antara kedua pasal tersebut. Sedangkan
menurut Pasal 1347 KUH Perdata bahwa janji-janji yang menurut
kebiasaan melekat pada perjanjian yang bersangkutan dianggap termuat
dalam isi perjanjian.
Dilihat dari kata-kata yang dipakai tampak dengan jalas perbedaan dari
dua pasal tersebut, dalam Pasal 1339 KUH Perdata mengatakan adat
kebiasaan
yang tidak dimuat dalam isi perjanjian tidak dapat
mengesampingkan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
menambah isi perjanjian. Namun tidak demikian halnya dengan pasal 1374
KUH Perdata, peraturan yang bersifat tambahan itu malahan dianggap
dikesampingkan oleh adat kebiasaan.
Berpijak pada peraturan tersebut, maka dalam membuat perjanjian
hubungannya dengan Pasal 1339 KUH Perdata dengan Pasal 1347 KUH
Perdata yang menyangkut adat kebiasaan dalam perjanjian, maka titik
beratnya harus dikatakan pada maksud para pihak pada waktu membuat
perjanjian. Maksud para pihak ialah menentukan apakah dalam suatu
perjanjian tertentu adat kebiasaan yang termuat secara tegas dalam
perjanjian dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat menambah isi perjanjian atau tidak.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kalau diperhatikan Pasal 1339 KUH
Perdata bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk sumber norma disamping
undang-undang ikut menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam
suatu perjanjian.13
1.2.3
Bentuk-Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa
Tentang bentuk-bentuk perjanjian secara garis berasnya mempunyai
dua bentuk yaitu :
a. Perjanjian dengan betuk tertulis.
b. Perjanjian dengan bentuk lisan.
Perjanjian yang dengan bentuk secara tertulis, ini sudah pasti
membunyai bentuk tertentu misalnya akta. Dengan adanya bentuk tertulis
dari suatu perjanjian seperti akta ini, sudah tentu akan memberikan lebih
kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, oleh karena
dengan adanya bentuk tertulisdari perjanjian para pihak tidak merasa
canggung-canggung atau tidak merasa khawatir dalam pelaksanaan nanti.
Begitu pula halnya dalam perjanjian yang dibuat secara lisan, dengan katakata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak itu
sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak yang menghendaki supaya dibuat
13
Wirjono Prodjodikoro, 2001, Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, h.97.
dengan secara tertulis (akta). Biasanya akta tersebut dibuat dalam bentuk
akta dibawah tangan.Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat dan
dipersiapkan oleh pihak-pihak dalam kontrak secara pribadi, dan bukan
dihadapan notaris atau pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Pendapat keduanya adalah sama-sama mempunyai kekuatan hukum,
hanya saja adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis lebih
mempunyai kekuatan hukum kalau dibandingkan dengan perjanjian yang
dibuat secara tertulis sudah ada bukti autentik. Namun walaupun begitu
dalam perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti tidak mempunyai
kekuatan hukum, oleh karena semua hal ini didasarkan kepada bahwa
setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah tentu didasarkan pada
itikad baik, sangat kecil kemungkinan perjanjian itu tidak ditepati, itikad
baik inilah yang merupakan kunci untuk dapat berlakunya suatu perjanjian.
Dengan melihat kedua bentuk perjanjian tersebut di atas suatu hal yang
tidak dapat dilepaskan adalah akibat hukum dari kedua bentuk perjanjian
tersebut yang menurut Subekti menyatakan bahwa:
Jika sewa menyewa diadakan secara tertulis maka sewa itu berakhir
demi hukum (otomatis) demi waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa
diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sedangkan
apabila sewa menyewa itu tidak secara tertulis atau secara lisan maka sewa
itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang
menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, pemberitahuan maka harus dilakukan
mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan
setempat, jika tidak ada pemberitahuan seperti itu maka dianggaplah
bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.14
14
Subekti I, op cit, h 47.
1.2.4 Subjek dan Objek Perjanjian Sewa Menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang
menyewa dan yang menyewakan. Pihak yang menyewakan adalah orang
atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak
penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang
menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah barang dan
harga.Dengan syarat barang yang disewakan adalah barang yang halal,
artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan
kesusilaan.15
1.3
Klausula Keadaan Memaksa atau Overmacht (Damage/ Kerusakan
dan Lost/ Kehilangan) dalam Pembuatan Perjanjian Sewa Menyewa
Motor
Overmacht ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah satu
pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian. Dengan ketentuan telah
terpenuhinya syarat objektif dan/atau syarat subjektif suatu keadaan dapat
digolongkan sebagai overmacht. Overmacht merupakan klausula yang lazim
dalam suatu perjanjian di Indonesia pengaturan akan klausula ini terdapat dalam
KUHPerdata dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, kedudukan overmacht dalam
suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai
perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian
accesoir.
15
Salim H.S., 2010,Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, h.59.
Dalam praktik penyewaan motor terdapat hubungan hukum sewamenyewa, tentu saja hubungan hukum yang terjadi adalah antara pemilik motor
selaku pemberi sewa dengan pihak yang menyewa motor selaku penyewa. Sewa
menyewa dalam pengertian pada Pasal 1548 KUH Perdata adalah suatu
persetujuan, di mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan
pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.
Untuk menghindari kerugian pada pihak-pihak yang mengikatkan diri
dalam perjanjian maka dalam perjanjian sewa-menyewa dibentuk aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu.
Ketentuan-ktentuan inilah yang disebut dengan Klausula. Klausula dibentuk
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula yang
dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam
transaksi jual beli biasa disebut dengan klausula baku yang biasanya dibuat secara
sepihak oleh pihak penyedia jasa. Klausula baku, menurut Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU
Perlindungan Konsumen) adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun kendatipun dibuat secara sepihak,
klausula tidak boleh merugikan konsumen.
Pada dasarnya memang ada beberapa hal yang menjadi tanggung jawab
penyewa motor, namun ada pula yang menjadi tanggung jawab si pemilik motor
(pemberi sewa). Berikut kami uraikan satu-persatu:
1.
Klausula Tanggung Jawab Atas Kerusakan Motor
Pada dasarnya, jika terjadi kerusakan atas barang yang disewa, maka
penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang
yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa
kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya, demikian yang disebut dalam Pasal
1564 KUH Perdata. Jadi, dilihat dari segi hukum perdata, apabila terjadi
kecelakaan motor sewa yang mengakibatkan kerusakan, maka penyewa motorlah
yang bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan, kecuali si
penyewa motor dapat membuktikan bahwa kerusakan itu di luar kesalahannya.
Sebenarnya pencantuman klausula tentang tanggung jawab kerusakan
mobil sewaaan ada pada tangan penyewa bukan termasuk klausula baku mengenai
pengalihan tanggung jawab karena memang aturan dalam KUH Perdata sudah
menentukan bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewa
adalah penyewa. Selanjutnya penyewa juga perlu memastikan kembali apakah
kerusakan yang terjadi pada motor memang ada sebelum ada perjanjian sewamenyewanya atau tidak. Hal ini karena pada dasarnya pemberi sewa wajib
menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan terpelihara segalanya.
Pemberi sewa juga wajib melakukan perbaikan-perbaikan pada barang yang
disewakan jika perlu dilakukan, kecuali pembetulan itu menjadi kewajiban
penyewa (Pasal 1551 KUH Perdata).
Di samping itu, masih terkait dengan cacatnya barang yang disewakan,
Pasal 1552 berbunyi:
“Pihak yang menyewakan harus menanggung si penyewa terhadap semua
cacat dari barang yang disewakan, yang merintangi pemakaian barang itu,
biarpun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada
waktu dibuatnya perjanjian sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan
sesuatu kerugian bagi si penyewa, maka kepadanya pihak yang
menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi.”
Pada dasarnya, penyewa tidak bertanggung jawab untuk kerusakan,
kecuali jika pemberi sewa membuktikan bahwa kerusakan itu disebabkan oleh
kesalahan si penyewa, demikian yang diatur dalam Pasal 1565 KUH Perdata.
Klausula mengenai tanggung jawab atas kerugian kerusakan motor ada pada
penyewa, akan menjadi klausula baku jika termasuk “penyewa bertanggung jawab
atas kerusakan walaupun bukan diakibatkan oleh penyewa”. Ini karena jika
kerusakan bukan karena kesalahan pihak penyewa, seharusnya itu menjadi
tanggung jawab pihak yang menyewakan. Klausula baku seperti di atas dapat
dianggap pengalihan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atu mencantumkan klaausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan: (a)
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha…”
2. Klausula Tanggung Jawab Atas Penggantian Motor yang Hilang ataupun
Perangkat Motor yang Hilang
Jika selama waktu sewa motor tersebut sama sekali musnah atau hilang
karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Namun, jika hanya sebagian dari barang itu musnah, yakni seperti peralatan motor
hilang, maka si penyewa motor dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan
meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akan meminta bahkan membatalkan
perjanjian sewanya; tetapi ia tidak berhak atas suatu ganti rugi. Hal ini mengacu
pada Pasal 1553 KUH Perdata. Akan tetapi penyewa berkewajiban merawat
barang yang disewa seperti kepala rumah tangga yang baik (seperti ia pemilik
barang itu) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1560 KUH Perdata.
Klausula dalam hal seperti misalnya pemberi sewa mewajibkan penyewa
motor untuk mengganti kerusakan sebesar 100% apabila kerusakan mencapai 60%
atau lebih serta perbaikan kerusakan yang ditanggung penyewa pada bengkel yang
ditunjuk oleh pemberi sewa. Hal ini karena rusak atau tidaknya motor yang
disewakan perlu pembuktian menyeluruh apakah memang kesalahan penyewa
atau sedari awal kerusakan tersebut memang telah ada (baik diketahui atau tidak
diketahui oleh pemberi sewa).
Download