Tinjauan Singkat Kebijakan Dasar Bantuan Luar Negeri Pemerintah Indonesia 1960 – 1999 Kurniawan Ariadi*) I. Pendahuluan Secara umum kebijakan publik (public policy) dapat dipahami sebagai segala kebijakan yang dibuat oleh aparat dan lembaga pemerintah mengenai berbagai hal yang berkiatan dengan publik. Ciri khas kebijakan publik adalah bahwa ia dirumuskan oleh pihak yang mempunyai otoritas dalam suatu sistem politik. Kebijakan publik dapat berbentuk undang-undang (laws), peraturan-peraturan (rules and regulations), keputusan pejabat dan lembaga eksekutif (executive orders), judicial opinion (Bertozzi dan Burgunder, 1995, Nagel, 1991) Mengacu pada pengertian tersebut, penulis dapat mengasumsikan bahwa kebijakan dasar merupakan kebijakan yang dirumuskan oleh otoritas tertinggi dalam suatu sistem politik. Menurut konstitusi yang berlaku sejak tahun 1959 sampai dengan sekarang, otoritas tertinggi dalam sistem politik di Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tulisan ini akan mengulas bagaimana kebijakan dasar bantuan luar negeri Indonesia sebagaimana dirumuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bantuan luar negeri dalam tulisan ini adalah berbagai pinjaman dan hibah luar negeri dalam berbagai bentuk, skema dan persyaratannya yang diupayakan dan diterima Pemerintah Indonesia dari pemerintah negara lain dan/atau organisasi/lembaga antar pemerintah dan swasta internasional/multilateral, dan yang diupayakan dan diterima oleh organisasi non pemerintah Indonesia dari pemerintah negara lain dan atau organisasi/lembaga antar pemerintah internasional/multilateral (government to government, private to government, dan government to private). Semenjak terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai rangkaian Dekrit Presiden 5 Juli 1959, lembaga tertinggi tersebut telah mengadakan 12 kali Sidang Umum, 3 kali Sidang Istimewa (1967, 1998, 2001) dan 1 kali Sidang Umum Tahunan (2000). Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, dalam persidangan tersebut MPRS/MPR menetapkan haluan negara baik yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS/MPR tentang GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) maupun dalam ketetapan-ketetapan non-GBHN. Dalam studi politik Indonesia, telah diterima secara umum periodesasi perkembangan politik Indonesia kurun waktu antara 1959 hingga saat ini. Periode tahun 1959 sampai dengan 1965/1966 merupakan periode demokrasi terpimpin. Tahun 1966 – 1967/68 merupakan saat transisi menuju tatanan politik yang dikenal sebagai periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Selanjutnya 1998 dan 1999 merupakan transisi ke arah periode yang disebut atau diidamkan sebagai orde reformasi. Bahasan dalam tulisan ini akan mengikuti periodesasi tersebut. II. Pokok-pokok Kebijakan Dasar Bantuan Luar Negeri MPRS hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengadakan Sidang Umum pertama kali tahun 1960. Sidang Umum selanjutnya diadakan tahun 1963 dan 1965. *) Penulis adalah staf Direktorat Kerjasama Luar Negeri Bilateral, Bappenas C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 1 Selama kurun waktu tersebut MPRS telah menetapkan tiga Ketetapan MPRS yang memuat haluan negara dalam bantuan luar negeri. Pertama adalah Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969 (Pasal 7 Bidang Keuangan Negara butir 1 dan 2) dan Tap MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan (Deklarasi Ekonomi butir 32) serta Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan (Bab II Kebijakan dalam Bidang Pembangunan pasal 6 dan pasal 14). Selain itu pada tahun 1960 Manifesto Politik Republik Indonesia ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960. Isi ketetapan ini antara lain menyatakan bahwa “Amanat Presiden pada sidang pleno Depernas mengenai Pembangunan Semesta Berencana pada tanggal 28 Agustus 1959 yang diucapkan dan yang tertulis adalah Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara”. Sebagai penjabaran Tap No. II/MPRS/1960, pada tanggal 16 April 1965 ditetapkan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap I 1961 – 1969 yang juga memuat garis-garis besar kebijakan bantuan luar negeri yaitu pada bagian Lampiran A (Penyempurnaan) Butir VI Bidang Keuangan dan Pembiayaan angka 3, dan pada Lampiran C (harapan) angka 2. Selama masa transisi tahun 1966 dan 1967 MPRS menyelenggarakan satu Sidang Umum (1966) dan satu Sidang Istimewa (1967). Pada Sidang Umum Tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan yang termuat dalam Bab VII Kebijakan Pembiayaan pasal 47 dan bab VIII Hubungan Ekonomi Internasional pasal 59, 60, 61 dan 64. Tahun 1968 merupakan Sidang Umum MPRS pertama sejak Jenderal Suharto memegang secara penuh kekuasaan pemerintahan dan kepala negara. Telah menjadi catatan sejarah bahwa pada sidang umum yang diadakan bulan Maret 1968 ini, MPRS gagal menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara dalam artian sempit yaitu ketetapan yang berisi agenda atau program kerja yang mesti dilaksanakan oleh Mandataris MPR)1. Meskipun demikian pada Sidang Umum Tahun 1968 MPRS menyepakati mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968 tentang Tugas Pokok Kabinet Pembangunan. Diantara tugas pokok Kabinet Pembangunan adalah “Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun”. Diluar produk berbentuk ketetapan, Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota Pimpinan. Satu diantaranya adalah Nota Pimpinan MPRS No.: Nota 4/PIMP/1968 perihal Penyempurnaan Nota Pimpinan MPRS No.: Nota 1/MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri Berdasarkan Pancasila. Nota ini ditujukan kepada Presiden RI Mandataris MPRS dan Pimpinan DPR-GR. Butir VIII.13 Nota ini menyatakan “Bantuan-bantuan luar negeri serta kerjasama ekonomi internasional harus disinkronisasikan dengan pembangunan nasional. Kredit-kredit dan bantuan asing itu harus mempunyai peranan pembantu (supplementary)”. Kurun waktu 1973 – 1998 merupakan masa “stabil” kebijakan bantuan luar negeri. Dari bulan Maret 1973 hingga bulan Maret 1998 ditetapkan enam Ketetapan tentang GBHN. “Stabilitas” kebijakan dapat dilihat dari rumusan yang sama sejak tahun 1973 hingga 1998 yaitu bahwa bantuan luar negeri hanya sebagai pelengkap dan peranannya harus semakin berkurang; pinjaman luar negeri dapat diterima sepanjang tidak ada ikatan politik, persyaratanya tidak memberatkan dan dalam batas kemampuan membayar kembali; digunakan untuk proyek 1 . Ketidakberhasilan MPRS menetapkan GBHN mendorong pemerintahan Suharto melalui Dewan Pertahanan dan Keamanana Nasional untuk menyiapkan bahan-bahan rancangan ketetapan MPR tentang GBHN pada SidangSidang Umum MPR berikutnya. Dalam praktiknya keputusan yang ditetapkan MPR tidak berbeda jauh dengan masukan yang diberikan Presiden. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1988 dan pada tahun 1993 bahan tersebut tidak disampaikan langsung kepada MPR melainkan kepada partai politik, utusan daerah dan ABRI. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 2 produktif. Mulai tahun 1993 terjadi pengembangan kebijakan yang menggariskan bahwa bantuan luar negeri harus dapat menjadi wahana alih teknologi. Pada Sidang Istimewa bulan November 1998 yang diadakan sebagai respon atas gerakan reformasi dan perubahan pemerintahan, MPR antara lain mengeluarkan Tap No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Ketetapan ini antara lain menetapkan agenda yang harus dilaksanakan pemerintah yaitu membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri pemerintah dan swasta. Selanjutnya, MPR hasil pemilu 1999 pada Sidang Umum bulan Oktober 1999 menetapkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999 – 2004. Menurut ketetapan ini pinjaman luar negeri secara bertahap perlu dikurangi untuk mengurangi defisit anggaran dalam rangka menyehatkan APBN. Selain itu dalam Butir IV Arah Kebijakan di Bidang Ekonomi dinyatakan perlunya optimalisasi pinjaman luar negeri pemerintah untuk kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien. Mekanisme dan prosedur peminjaman luar negeri harus dengan persetujuan DPR dan diatur dengan undangundang. Pada tabel berikut ini akan disandingkan pokok-pokok arahan mengenai bantuan luar negeri seperti termuat dalam peraturan perundangan yang terurai di atas.2 Tabel 1: Landasan Hukum dan Pokok-Pokok Kebijakan Dasar Bantuan Luar Negeri Periode 1960 - 1965 2 . Landasan Hukum Pokok-Pokok Kebijakan - Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara; - Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969 → pasal 7; - Tap MPRS No. IV/MPRS/ 1963 tentang Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan → Butir 32 Deklarasi Ekonomi; - Tap MPRS No. VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan → Bab II Kebijakan dalam Bidang Pembangunan pasal 6 dan pasal 14. - Mengutamakan modal dan potensi (funds and forces) domestik dan sejauh mungkin tidak menambah beban rakyat; - Bila tidak memadai diupayakan kredit luar negeri atau melalui kerjasama ekonomi dan teknik luar negeri dalam arti luas dengan ketentuan tidak bertentangan dengan Manifesto Politik dan Amanat Presiden tentang Pembangunan, dan disusun dalam undang-undang bersama-sama dengan DPR (termasuk caranya dan proyeknya); - Sesuai azas Berdiri di atas Kaki Sendiri, pembelian barang-barang dari luar negeri hanya dilakukan jika tidak dapat dibuat sendiri dalam negeri, dan penggunaan hasil atau kredit ekspor untuk memperkuat produksi dalam negeri. Rumusan kebijakan sebagaimana tertuang dalam Ketetapan-Ketetapan MPRS/MPR dapat dilihat pada lampiran 1 tulisan ini. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 3 1966 1968 - 1998 1998 - 1999 Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan → Bab VII Kebijakan Pembiayaan pasal 47 dan Bab VIII Hubungan Ekonomi Internasional pasal 59, 60, 61, 64. - Tap MPR No. IV/MPR/1973 Garis-Garis Besar Haluan Negara III Pola Umum Pembangunan Panjang, B Arah Pembangunan Panjang butir 11 - Defisit diusahakan dihapuskan dalam waktu singkat; - Penggunaan devisa dari kredit luar negeri dan ekspor harus dilakukan secara rasional dan jujur; - Kredit luar negeri hanya dipergunakan dalam rangka stabilisasi dan rehabilitasi; - Besarnya kredit luar negeri disesuaikan dengan kemampuan membayar kembali dan tidak menambah beban rakyat yang sudah berlebih-lebih; - Harus ada teladan untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada luar negeri. tentang → Bab Jangka Jangka - Bantuan luar negeri diperlukan sebagai pelengkap investasi pembangunan nasional (dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pembangunan); - Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara → Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang B Arah Pembangunan Jangka Panjang butir 11, dan bab IV Pola Umum Pelita Kelima D Arah dan Kebijakan Pembangunan: Umum butir 10; - Tap MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara → Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, B Arah Pembangunan Jangka Panjang butir 11, dan bab IV Pola Umum Pelita Kelima, D Arah dan Kebijakan Pembangunan: Umum butir 16; - Tap MPR No. II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara → Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, B Arah Pembangunan Jangka Panjang butir 11, dan bab IV Pola Umum Pelita Kelima D Arah dan Kebijakan Pembangunan: Umum butir 14 dan 19; - Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara → Bab III Pembangunan Jangka Panjang Kedua: Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua butir 9, dan Bab IV Pembangunan Lima Tahun Keenam, A Kondisi Umum butir 5 dan F Kebijakan Pembangunan Lima Tahun: Umum butir 22 dan Ekonomi butir 15 Keuangan; - Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara → Bab IV Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, F Kebijakan Pembangunan Lima Tahun Ketujuh bidang Ekonomi butir 17 Keuangan huruf g. - Peranan bantuan luar negeri harus makin berkurang; - Pinjaman luar negeri dapat diterima sepanjang tidak dikaitkan dengan ikatanikatan politik (mencegah keterikatan dan campur tangan asing), syarat-syaratnya tidak akan memberatkan dan dalam batas kemampuan untuk pembayaran kembali; - Pinjaman luar negeri harus digunakan untuk proyek-proyek produktif yang bermanfaat bagi negara dan bangsa; - Bantuan luar negeri merupakan wahana alih teknologi yang efektif. - Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan - Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 4 Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara → Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, A. Ekonomi butir 2.g - Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 → Bab IV Arah Kebijakan bidang Ekonomi butir 9 dan 23. usaha; - Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri pemerintah untuk kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien; - Mekanisme dan prosedur peminjaman luar negeri harus dengan persetujuan DPR dan diatur dengan undang-undang; - Pinjaman luar negeri secara bertahap dikurangi untuk mengurangi defisit anggaran dalam rangka menyehatkan APBN; - Renegosiasi dan restrukturisasi pinjaman luar negeri. III. Perkembangan Bantuan Luar Negeri dan Kinerja Ekonomi Politik dalam negeri Indonesia tahun 1960 – 1965 antara lain ditandai dengan pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955 yang diikuti dengan pembentukan DPR-GR, mengkristalnya sistem politik bertumpu pada tiga kekuatan politik (Nasakom) yang menempatkan Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, polarisasi antara kekuatan militer (TNI AD) dengan PKI, dan upaya perebutan kekuasaan oleh PKI. Sedangkan politik luar negeri ditandai dengan perebutan kembali Irian Barat yang berdampak antara lain mendekatnya hubungan Indoneia dengan blok sosialis, berdirinya gerakan non blok, upaya pembentukan poros Jakarta – Beijing, upaya pembentukan NEFO, konfrontasi dengan Malaysia dan keluarnya Indonesia dari PBB. Berjalinnya perkembangan politik domestik dengan kebijakan luar negeri masa itu mengarah ke situasi dimana politik menjadi panglima dan melahirkan politik “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya”. Sebagai konsekuensi dijalankannya demokrasi terpimpin adalah pelaksanaan sistem ekonomi terpimpin. Semangat politik ekonomi berdikari nampak pada Tap MPRS No. VI/MPR/1965 yang diwujudkan dalam kebijakan promosi dan proteksi produksi dalam negeri. Selebihnya tidak ada kebijakan yang secara tersurat menolak bantuan luar negeri walaupun dalam suasana konfrontasi pada pidato 17 Agustus 1964 Presiden Sukarno sempat menyatakan “go to hell with your aid” Kendati politik ditempatkan sebagai panglima, kebijakan bantuan luar negeri tetap ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan pembiayaan meski dengan rambu-rambu tidak bertentangan dengan Manifesto Politik. Rumusan kebijakan seperti tertuang dalam ketetapan tahun 1960 dan tahun 1963 menunjukkan pandangan bahwa bantuan luar negeri hanyalah merupakan pelengkap. Tampak pula adanya kesadaran bahwa beban rakyat sudah cukup berat. Tercermin pula pandangan bahwa bantuan luar negeri bukan semata-mata merupakan urusan pemerintah (eksekutif) melainkan juga urusan rakyat secara keseluruhan karenanya bantuan luar negeri perlu diatur dengan undang-undang. Ketetapan MPRS tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dijabarkan oleh pemerintah dalam bentuk Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969. Dalam dokumen ini kembali ditegaskan bahwa jumlah kredit luar negeri untuk pembangunan harus dibatasi dan tiap-tiap kredit harus melalui peraturan perundangan yaitu cara dan proyeknya. Bukan itu saja dalam dokumen ini pemerintah telah “berani” mengambil kebijakan kuantitatif dalam pinjaman luar negeri yaitu tidak melebihi 20% dari volume pembiayaan Pola Pembangunan. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 5 Catatan perkonomian Indonesia antara tahun 1960 – 1965 menunjukkan bahwa pengeluaran negara meningkat dari Rp 60,5 miliar pada tahun 1960 menjadi Rp 2.514 miliar pada tahun 1960 atau meningkat 40 kali sedangkan penerimaan hanya naik 17 kali dari Rp 53 miliar menjadi Rp 923,4 miliar. Defisit ini sebagian besar ditutup dengan mencetak uang baru yang mendorong melonjaknya laju inflasi.3 Antara bulan Januari sampai dengan Agustus 1965 defisit mencapai 7,5 miliar rupiah. Sementara inflasi pada tahun 1966 mencapai 600% (Notosusanto, 1976, hal. 233-238). Sidang Umum MPRS tahun 1966 menghasilkan serangkaian ketetapan berisi agenda rehabilitasi kehidupan politik dan ekonomi. Dalam kebijakan bantuan luar negeri nampak jelas upaya memperketat penggunaannya yaitu untuk rehabilitasi dan stabilisasi. Kebijakan dasar yang ditetapkan tahun ini tetap melanjutkan selektifitas pengadaan pinjaman luar negeri yang disesuaikan dengan kemampuan membayar kembali dan tidak menambah beban rakyat yang berlebih-lebih. Dalam kebijakan tahun 1966 tersebut untuk pertama kalinya dinyatakan bahwa perlu upaya dan teladan untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada luar negeri. Kecuali itu diadopsi pula prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan pinjaman luar negeri seperti dinyatakan bahwa penggunaan kredit luar negeri harus dilakukan secara rasional dan jujur. Pemerintahan orde lama juga meninggalkan utang luar negeri pemerintah sebesar USD 2.211,8 juta (per 30 Juni 1966). Sebesar USD 1,106,7 juta diantaranya berasal dari negara-negara Eropa Timur. Pinjaman yang jatuh tempo sampai dengan akhir tahun 1967 sebesar USD 605 juta (Repelita I hal. 88). Sebagai bentuk pelaksanaan Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966, Kabinet Ampera, Kabinet Ampera yang disempurnakan serta Kabinet Pembangunan I berupaya mengadakan penjadwalan kembali pinjaman luar negeri. Maka diadakanlah pertemuan dengan kreditor non-sosialis di Tokyo bulan September 1966 disusul dengan pertemuan di Paris Desember 1966. Selain beban pembayaran kembali pinjaman termasuk ke negara-negara sosialis bisa berkurang, Pemerintah Indonesia juga memperoleh komitmen bantuan luar negeri sebesar USD 210 juta untuk tahun 1967 dan untuk empat tahun berikutnya sampai dengan 1971 masingmasing sebesar USD 325 juta, USD 500 juta, USD 600 juta dan USD 640 juta (Notosusanto, 1976, hal. 233-238). Sebagai kelanjutan pertemuan Tokyo dan Paris, pada bulan Februari 1967 di Amsterdam sejumlah negara dan lembaga donor sepakat membentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dibawah pimpinan Belanda (Posthumus, 1971, hal. 11-13). Forum inilah yang selama lebih dari 30 tahun kemudian menjadi tumpuan utama bantuan luar negeri Pemerintah Indonesia untuk menutup defisit anggaran. Selain itu, seiring dengan bergabungnya kembali Indonesia ke PBB, Indonesia juga bergabung ke IBRD, IDA, IMF dan ADB. Ketidakberhasilan MPRS pada Sidang Umum tahun 1968 menetapkan GBHN sebagai pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan membuat Kabinet Pembangunan “berimprovisasi” untuk menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (1969 – 1974). Dalam kerangka Repelita I kebijakan bantuan luar negeri difokuskan pada upaya penjadwalan pembayaran pinjaman luar negeri (lihat rumusan pada lampiran 2). Disamping masalah penjadwalan juga terdapat program penerusan dana-dana luar negeri. Seperti terurai di atas, dalam kurun waktu 25 tahun lebih terdapat “kestabilan” kebijakan dasar bantuan luar negeri yaitu bahwa bantuan luar neegri hanya merupakan pelengkap dan secara bertahap dikurangi. Meskipun masa pemerintahan orde baru menempatkan ekonomi sebagai 3 . Agenda nasional merebut kembali Irian Barat mau tidak mau membawa Indonesia semakin dekat dengan blok sosialis. Selanjutnya hal ini mempersempit upaya menutup defisit dengan mengadakan pinjaman luar negeri dari sistem ekonomi internasional yang dikuasai blok barat terlebih setelah dicanangkannya politik konfrontasi dan keluarnya Indonesia dari PBB. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 6 panglima, justru pertama-tama menempatkan faktor politik sebagai persyaratan dalam menerima pinjaman luar negeri yakni tidak dikaitkan dengan ikatan politik dan mencegah keterikatan dan campur tangan. Persyaratan seterusnya tidak bebeda dengan apa yang digariskan dalam GBHNGBHN sebelumnya. Terkait dengan aspek “persyaratan politik” tersebut pada tahun 1992 Presiden Suharto mengambil kebijakan yang pada saat itu tergolong sangat berani dan melahirkan dukungan publik dalam skala yang luas yaitu pembubaran IGGI dan sebagai gantinya membentuk Consultative Group for Indonesia (CGI). Melalui surat Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, Radius Prawiro, kepada Perdana Menteri Belanda, Lubbers, tanggal 24 Maret 1992, Pemerintah Indonesia antara lain meminta Pemerintah Belanda untuk tidak lagi menyelenggarakan sidang IGGI. Sesuai dengan keterangan pemerintah waktu itu, latar belakang kebijakan ini adalah adanya hasrat yang berlebihan untuk menggunakan bantuan Belanda sebagai alat intimidasi terhadap Indonesia dan Pemerintah Indonesia tidak ingin melihat Pemerintah Belanda berkali-kali ditempatkan pada keadaan yang sulit karena tidak dapat secara efektif mengendalikan hasrat yang berlebih untuk memakai bantuan sebagai alat untuk mengancam Indonesia. Selanjutnya Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sumarlin, meminta Bank Dunia untuk membentuk Consultative Group for Indonesia. Dengan demikian CGI pada dasarnya adalah kelanjutan dari IGGI minus Belanda. Dalam perjalanannya kemudian Belanda mulai bergabung secara penuh dalam forum ini pada pertemuan CGI Februari 2000. “Stabilisasi” kebijakan juga nampak dalam Repelita yang merupakan jabaran GBHN. Rumusan kebijakan dalam Repelita lebih menegaskan apa yang digariskan dalam GBHN (lihat lampiran 2). Sejak tahun 1973 hingga tahun 1999 serangkaian peraturan telah dikeluarkan pemerintah baik dalam bentuk Keputusan Presiden, Instruksi Presiden maupun Keputusan Menteri untuk mengatur pengelolaan bantuan luar negeri. Peraturan-peraturan itu antara lain Keputusan Presiden No. 59 tahun 1972 tentang Peneriman Kredit Luar Negeri, Instruksi Presiden No. 8 tahun 1984 tentang Penggunaan Kredit Ekspor4, Keputusan Presiden No. 32 tahun 1986 jo. Keputusan Presiden No. 10 tahun 1988 jo. Keputusan Presiden No. 74 tahun 1993 tentang Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek Pembangunan dengan Dana Luar Negeri, Keputusan Presiden No. 39 tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri, Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 185/KMK.03/1995 dan No. Kep.031/Ket/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berbagai peraturan tersebut di atas lebih merupakan instrumen penatausahaan dan pengendalian pelaksanaan proyek-proyek bantuan luar negeri ketimbang instrumen pengendalian/kontrol untuk mengurangi bantuan luar negeri seperti diamanatkan dalam GBHN. Kalaupun selama 25 tahun lebih tidak terdapat undang-undang yang mengatur bantuan luar negeri, hal ini bisa dimengerti karena tidak ada amanat dalam GBHN untuk mengatur bantuan luar negeri dalam bentuk undang-undang seperti pada masa demokrasi terpimpin. Peran bantuan luar negeri sebagai pelengkap dan upaya secara bertahap mengurangi peran bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan (investasi) nampak selama tahun Repelita I hingga tahun keempat Repelita II. Pada tahun 1969/70 bantuan luar negeri memegang peran 71,6% sumber pembiayaan pembangunan sementara pada tahun 1977/78 sebesar 15% namun pada tahun 1978/78 naik sebesar 21,8%. Secara rata-rata, pada Repelita I peran bantuan luar negeri sebesar 48,7% dan pada Repelita II sebesar 21,7% namun pada Repelita III naik 4 . Inpres ini juga memberikan indikator pinjaman bersyarat lunak sebagai pinjaman dengan syarat jangka waktu pengembalian termasuk tenggang waktu selama 25 tahun atau lebih, tenggang waktu selama 7 tahun dan bunga pinjaman sebesar 3,5% atau kurang. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 7 menjadi 25,1%. Lonjakan yang cukup drastis terjadi pada tahun 1998/99 saat peran bantuan luar negeri mencapai 74,9% dari pembiayaan pembangunan. Tabel berikut ini menunjukkan peran bantuan luar negeri baik dalam bentuk bantuan program (yaitu bantuan yang dapat dirupiahkan) maupun bantuan proyek dalam pembiayaan pembangunan. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3. Tabel 2: Peranan Tabungan Pemerintah dan Bantuan Luar Negeri dalam Pembiayaan Pembangunan (dalam persen) Repelita Bantuan Luar Negeri Tabungan Bantuan Total Bantuan Luar Proyek Negeri 36,7 12,0 48,7 78,3 2,2 19,4 21,7 III (1979/80 – 1983/84) 74,9 0,6 24,6 25,1 IV (1984/85 – 1988/89) 50,2 10,2 39,6 49,8 V (1989/90 – 1993/94) 57,2 3,7 39,1 42,8 VI (1994/95 – 1998/99) 43,2 27,7 29,1 56,8 Pemerintah Bantuan Program (1969/70 – 1973/74) 51,3 II (1974/75 – 1978/79) I Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 1999/2000 dan TA 2001 Berdasarkan data tersebut di atas dapat dipastikan bahwa dukungan negara-negara dan lembaga-lembaga donor juga bergerak naik. Pada Repelta I jumlah total pledge IGGI sebesar USD 3.506,63 juta sementara pada Repelita VI jumlah total pledge CGI sebesar USD 29.015,09 juta bahkan jumlah total pledge CGI selama tiga tahun (1999 – 2001) sebesar USD 16.036,80 juta. Diantara negara-negara dan lembaga-lembaga donor, Jepang, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia merupakan tiga donor terbesar. Tabel 3 berikut ini menunjukkan perkembangan pledge IGGI/CGI sejak tahun 1967 sampai dengan 2001. Tabel 3: Perkembangan pledge IGGI/CGI (dalam juta US Dollar) Pledge Tahun/Repelita Bilateral Pra Repelita (1967/68 – 1968/69) Multilateral Total 522,87 8,18 531,05 Repelita I (1969/70 – 1973/74) 2.870,10 636,53 3.506,63 Repelita II (1974/75 – 1978/79) 3.062,36 3.481,66 6.544,02 Repelita III (1979/80 – 1983/84) 3.961,58 6.419,85 10.381,43 Repelita IV (1984/85 – 1988/89) 5.798,17 8.804,09 14.602,26 Repelita V (1989/90 – 1993/94) 10.041,90 13.585,90 23.627,80 Repelita VI (1994/95 – 1998/99) 12.245,33 16.769,76 29.015,09 C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 8 1999 – 2001 6.057,50 9.979,30 16.036,80 Sumber: Direktorat Kerjasama Luar Negeri Bilateral, Bappenas Tabel di atas juga menunjukkan bahwa bantuan dari sumber multilateral sejak Repelita II lebih besar daripada bantuan dari sumber bilateral. Secara umum pinjaman multilateral yang sebagian besar merupakan pinjaman dari Bank Dunia (IBRD) dan Bank Pembangunan Asia persyaratannya lebih mahal daripada persyaratan pinjaman bilateral yang persyaratannya sama atau kurang daripada ketentuan pinjaman lunak sesuai Inpres No. 8/1984. Kendatipun pinjaman bilateral baik berupa pinjaman sangat lunak ataupun pinjaman campuran (pinjaman lunak dicampur dengan kredit ekspor/pinjaman komersial) bersyarat lebih lunak, pinjaman bilateral hampir seluruhnya merupakan tied-credit yaitu hanya dapat dipergunakan (terbatas) untuk pengadaan barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman. Hal ini berbeda dengan kredit ekspor ataupun pinjaman dari lembaga multilateral yang pengadaannya dilakukan melalui lelang internasional. Selain masalah harga yang tidak sekompetitif pinjaman lembaga multilateral dan kredit ekspor, implikasi dari tied-credit adalah terbatasnya pilihan teknologi. Spesifikasi barang berikut tingkat teknologi menjadi bergantung pada sumber dana. Pilihan teknologi yang lebih bebas dengan harga yang lebih kompetitif menghendaki pinjaman dengan persyaratan komersial atau kredit ekspor. Baik donor bilateral maupun multilateral, dalam memberikan bantuannya masing-masing memiliki sektor-sektor prioritas sesuai dengan kebijakan/strateginya berdasarkan kepentingan politik, kapasitas ekonomi dan teknologi. Ini berarti pilihan kegiatan, proyek dan sektor untuk dibiayai bantuan luar negeri khususnya dalam kerangka CGI tidaklah leluasa. Sementara itu produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama tahun 1971 sampai dengan 1997 tumbuh relatif tinggi seperti tercantum pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4: Pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia (dalam persen) Tahun Pertumbuhan 1971 1976 1979 1985 1988 1990 s.d s.d s.d s.d s.d s.d 1980 1985 1986 1992 1995 1997 7,8 6,2 5,6 6,2 7,9 7,6 Sumber: Annual Report, Asian Development Bank, berbagai edisi Seiring dengan capaian ekonomi Indonesia, lembaga-lembaga keuangan internasional tidak dapat lagi memberikan pinjaman bersyarat lunak. Hal yang sama juga terjadi pada bantuan bilateral. Perubahan politik dan lahirnya negara-negara baru di kawasan Eropa Timur, mendorong negara-negara donor untuk lebih memperhatikan kawasan tersebut. Merujuk data Development Assistance Committee-OECD pada tahun 1997, dari 24 anggota OECD (termasuk European Commission), hanya 6 negara saja yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 besar penerima bantuan pembangunan resmi mereka (official development assistance/ODA)5 meskipun 5 . Official Development Assistance (ODA) terdiri atas hibah dan pinjaman bersyarat lunak (concessional loans) yang setidaknya mengandung 25% grant component. Bantuan luar negeri umumnya merujuk pada ODA (World C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 9 berdasarkan nilai bantuan secara total Indonesia merupakan negara terbesar kedua penerima ODA. Keenam negara tersebut adalah yaitu Australia (peringkat kedua), Austria (peringkat kedua), Kanada (peringkat kesembilan), Jerman (peringkat kedua), Jepang (peringkat kedua), dan New Zealand (peringkat kesepuluh) (www.oecd.org). Setidaknya ada dua hal yang dapat ditarik dari data DAC-OECD tersebut. Pertama, Indonesia sudah tidak lagi dipertimbangkan sebagai negara yang layak menerima hibah dan pinjaman sangat lunak. Kedua, sebagian besar bantuan luar negeri yang diterima Indonesia berasal dari Jepang dan faktor inilah yang menyebabkan Indonesia menduduki peringkat kedua penerima ODA berdasarkan nilai bantuan secara total. Makin terbatasanya dana murah dan tuntutan kebutuhan dana dan teknologi luar negeri yang tetap meningkat menggiring ke arah naiknya pinjaman dengan fasilitas kredit ekspor. Selama Repelita Kelima (1989/90 – 1993/94) Pemerintah telah mengeluarkan persetujuan alokasi kredit ekspor sebesar USD 13.409,29 juta dan empat tahun berikutnya sampai dengan tahun 1997/98 berturut-turut USD 2.314,88 juta, USD 2.208,18 juta, USD 1.365,92 juta, dan USD 5.788,38 juta. Sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek sektor pertambangan dan energi (kelistrikan) dan sektor pertahanan dan keamanan.6 Pinjaman luar negeri Pemerintah RI mulai meningkat cukup signifikan pada awal tahun 1990 an. Kinerja ekonomi yang ditopang dengan pinjaman luar negeri mulai menampakkan kerapuhannya pada akhir tahun 1997 ketika krisis keuangan mulai melanda kawasan timur Asia. Tabel 5 di bawah ini menunjukkan posisi pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia yang terdiri atas pinjaman komersial dan non komersial (dalam rangka bantuan pembangunan resmi/ODA maupun non ODA). Tabel 5: Posisi pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia per Desember (dalam juta US Dollar) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 45.100 45.725 48.768 52.461 58.618 59.588 55.303 53.865 Jumlah pinjaman luar negeri Sumber: Data Statistik Bank Indonesia www.bi.go.id Krisis moneter yang menghantam capaian ekonomi Indonesia tersebut menguak fakta adanya beban pinjaman luar negeri yang luar biasa, bukan saja pinjaman luar negeri pemerintah melainkan yang lebih membebani adalah pinjaman luar negeri swasta. Meskipun sejak awal tahun 1990 an telah ditengarai fenomena pinjaman swasta yang tidak terkontrol yang ditandai dengan dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1991, pemerintah masih belum mempunyai instrumen yang efektif untuk mengendalikan pinjaman swasta. Posisi pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta pada akhir tahun 1997, 1998, dan 1999 tercantum pada tabel berikut ini. Tabel 6: Posisi Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan Swasta (dalam juta US Dollar) 6 . Bank, 1998, hal. 6). Jumlah total ODA yang diterima Indonesia tahun 1997 adalah USD 1.746 juta. Peringkat pertama diduduki Cina sebesar USD 1.876 juta. Ketika terjadi krisis moneter apada akhir 1997, pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 39 tahun 1997 mengeluarkan kebijakan untuk menagguhkan dan mengkaji kembali beberapa proyek yang mendapat alokasi kredit ekspor tahun 1996 dan 1997 (sumber Direktorat Kerjasama Luar Negeri Bilateral Bappenas). C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 10 Tahun (per Desember) 1997 1998 1999 Pinjaman pemerintah 53.865 67.315 75.862 Pinjaman swasta 82.223 83.572 72.235 Total 136.088 150.887 148.097 Sumber: Laporan Triwulan Perkembangan Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia, berbagai edisi Krisis moneter dan ekonomi berkembang menjadi krisis dan pergolakan sosial dan politik serta menyebabkan pergantian pemerintahan dan perubahan rejim yang ditandai turunnya Presiden Suharto yang kemudian diganti B.J Habibie. Seperti tersebut pada bab sebelumnya, sebagai respon atas berbagai krisis yang melanda kehidupan bangsa dan negara, pada bulan November 1998 MPR mengadakan Sidang Istimewa. Salah satu hasil sidang ini adalah “revisi” atas Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN melalui Ketetapan No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Ketetapan ini dapat dipandang sebagai upaya reaktif untuk menanggulangi krisis. Baik sistematika maupun rumusan ketetapan ini jauh berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya dan lebih berupa agendaagenda konkrit. MPR sangat concern terhadap masalah tidak terkontrolnya pinjaman luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang dinilai menjadi salah satu faktor utama penyebab krisis ekonomi. MPR menetapkan satu agenda yaitu “membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha”. Krisis ekonomi juga “memaksa” pemerintah pada tahun anggaran 1998/99 kembali menerima bantuan program yang sejak akhir Repelita V tidak lagi berperan dalam APBN. Dampak lain dari krisis adalah dipergunakannya dana bantuan luar negeri (bantuan program) untuk pembiayaan rutin padahal telah menjadi kebijakan pemerintah orde baru bahwa dana bantuan luar negeri hanya dialokasikan untuk pengeluaran pembangunan (investasi) dan tidak dipergunakan untuk pengeluaran rutin. Pemerintah Indonesia juga kembali menerima pinjaman multilateral bersyarat sangat lunak. MPR hasil pemilu 1999 mengadakan Sidang Umum pertamanya pada bulan Oktober 1999. Dalam sidang ini antara lain ditetapkan Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden, dan GBHN 1999 – 2004. GBHN ini yang sistematika maupun rumusannya jauh lebih sederhana dibanding GBHN-GBHN sebelumnya, juga masih diwarnai dengan bebagai upaya untuk mengatasi krisis dan tuntutan-tuntutan reformasi antara lain perwujudan good governance. Nuansa respon terhadap krisis dan upaya perwujudan prinsip-prinsip good governance juga nampak dalam kebijakan tentang bantuan luar negeri. Terdapat lima komponen dalam kebijakan bantuan luar negeri yang dirumuskan pada GBHN 1999 – 2004. Kelimanya adalah optimalisasi penggunaan pinjaman luar negeri yaitu untuk proyek-proyek produktif; pelaksanaan proyek-proyek bantuan luar negeri secara transparan, efektif dan efisien (penerapan prinsipprinsip good governance); pengelolaan bantuan luar negeri perlu melibatkan DPR dan diatur dalam undang-undang (mekanisme dan prosedur pinjaman); pengurangan pinjaman luar negeri secara bertahap; restrukturisasi dan renegosiasi pinjaman luar negeri. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 11 GBHN 1999 – 2004 dijabarkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang berbentuk undang-undang (Undang-undang No. 25 tahun 2000). Sesuai dengan namanya, Propenas merupakan agenda kerja pemerintah dengan berbagai indikator kinerja sebagai pelaksanaan GBHN. Dalam Propenas bantuan luar negeri dikelompokkan dalam program pengelolaan utang pemerintah. Bila disimak lebih lanjut setidaknya ada dua hal menonjol dalam kebijakan bantuan luar negeri seperti dirumusakan GBHN tahun 1999 – 2004. Pertama, bila diperbandingkan, kebijakan GBHN 1999 – 2004 yang berorientasi penanggulangan krisis identik dengan kebijakan GBHN tahun 1966 (antara lain prinsip good governance). Kedua, GBHN 1999 – 2004 mengamanatkan pembentukan undang-undang (sesuatu yang juga ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960) namun seperti tertulis dalam GBHN yang perlu diatur dalam undang-undang adalah prosedur dan mekanisme, bukan kebijakan untuk pengendalian dan pengurangan pinjaman atau pengoptimalan penggunaan pinjaman. IV. Penutup Seperti diungkap pada bagian awal, tulisan ini bukanlah tulisan eksplanatif untuk menjawab pertanyaan mengapa melainkan merupakan tulisan deskriptif untuk memberi jawab pertanyaan apa dan bagaimana. Secara singkat apa dan bagaimana kebijakan dasar bantuan luar negeri Indonesia telah digambarkan dalam tulisan di atas. Beberapa hal yang bisa ditarik dari uraian terebut antara lain tidak terimplementasikannya kebijakan bantuan luar negeri pada periode 1960 – 1965, “stabilisasi” kebijakan bantuan luar negeri selama periode orde baru dan ”inkonsistensi” atau kontradiksi antara kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dengan kenyataan bahwa pijaman luar negeri terus membengkak bahkan mengantarkan ke krisis ekonomi yang luas, dan identiknya kebijakan tahun 1999 dengan tahun 1966. Dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, setidaknya dapat ditarik hipotesis bahwa pada masa orde baru bantuan luar negeri khususnya pinjaman lebih merupakan stimulus pertumbuhan daripada sekedar instrumen untuk menutup defisit. Dari paparan di atas juga terungkap bahwa prinsip-prinsip good governance yang mengemuka bersamaan dengan krisis di penghujung tahun 1990 an sebenarnya telah dicanangkan ketika lahirnya orde baru. Meskipun sifatnya deskriptif, tulisan ini setidaknya dapat mengantar ke arah pertanyaan “mengapa” semisal mengapa kebijakan tahun 1960 – 1965 tidak dapat terimplementasikan, mengapa pemerintah orde baru tetap menggenjot pinjaman luar negeri sementara telah ada kebijakan untuk mengurangi pinjaman luar negeri apakah pertumbuhan ekonomi merupakan rasionalnya, mengapa kebijakan untuk merespon krisis pada tahun 1999 tidak berbeda dengan kebijakan tahun 1966. Pertanyaan lain yang bisa diungkap adalah bagaimana hubungan antar lembaga pengambil kebijakan bantuan luar negeri, dan mengapa pada saat pemerintahan orde baru justru tidak ada kebijakan untuk membuat undang-undang atau melibatkan DPR dalam pengelolaan bantuan luar negeri, apakah ini merupakan penyebab tidak adanya elaborasi komprehensif kebijakan bantuan luar negeri yang kemudian mendatangkan krisis. Perlu dicermati, apakah pengurangan pinjaman luar negeri lebih merupakan kebijakan populis atau sekedar retorika tanpa konsep yang komprehensif. Demikian pula apakah bantuan luar negeri selama ini benar-benar menambah investasi (untuk menutup saving-investment gap) dan bukan malah meningkatkan konsumsi atau dengan kata lain bantuan luar negeri lebih merupakan subsitusi bukan pelengkap (suplemen) tabungan domestik . C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 12 Daftar Pustaka Bertozzi Jr, Dan & Lee B. Burgunder, Business, Government, and Public Policy: Concepts and Practices, Prentice Hall, New Jersey, 1996 Nagel, Struart S, Public Policy: Goals, Means and Methods, University Press of America, Maryland, 1991 Notosusanto, Nugroho, Sartono Kartodirdjo, Marwati D. Pusponegaro, Sejarah Nasional Indonesia VI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976 Posthumus, G.A, The Inter Governmental Group on Indonesia, Rotterdam University Press, 1971 Asian Development Bank, Anual Report, berbagai edisi, Asian Development Bank Bank Indonesia, Laporan Triwulan: Perkembangan Ekonomi dan Moneter, berbagai edisi Bank Indonesia, Data dan Statistik, berbagai edisi (www.bi.go.id) Development Assistance Committee - Organization for Economic Cooperation and Development, Data and Statistics (www.oecd.org) Republik Indonesia, Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1969/70 – 1973/74, Pertjetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1969 Republik Indonesia, Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga 1979/80 – 1983/84, Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1979 Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 1960 – 1988, Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1988 Republik Indonesia, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1993, Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1993 Republik Indonesia, Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam 1994/95 – 1999/2000, Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1994 Republik Indonesia, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998 , Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004, Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2000 World Bank, Assessing Aid: What Works, What Doesn’t, and Why, Oxford University Press, New York, 1998 C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Kurniawan Ariadi.doc # 13