Refleksi Metodologi PETS, CRC, dan Audit Sosial Oleh : Odah Akuntabilitas adalah salah satu bentuk kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya secara periodik melalui sebuah media1. Di berbagai negara, akuntabilitas terus berkembang bukan hanya dalam lingkup organisasi internal, akan tetapi ke ranah sektor publik. Akuntabilitas publik telah diakui sebagai cara yang cukup efektif dalam memperkuat pemerintahan demokratis, meningkatkan services delivery, dan pemberdayaan warga negara2 dan beberapa negara pernah melakukannya seperti Brazil, Uganda, dan Afrika Selatan, Sri Lanka dan Selandia Baru, India, dll. Disimpulkan akuntabilitas publik adalah salah satu bentuk transparansi dan pertanggungjawaban di sektor publik yang tujuan akhirnya adalah tercapainya akuntabilitas sosial yaitu pertanggungjawaban kepada masyarakat terhadap dana publik yang sudah digunakan, yang di dalamnya terdapat peran aktif dari masyarakat. Dilihat dalam konteks sektor publik, akuntabilitas sangat erat kaitannya dengan alat atau instrument untuk kegiatan kontrol, terutama dalam pencapaian pelayanan publik/programprogram dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat3. Berbagai praktik akuntabilitas yang telah dilakukan telah mendorong perkembangan instrumen-instrumen baru, beberapa di antaranya adalah yang pernah dilakukan oleh Tim Peneliti Perkumpulan INISIATIF Bandung. Sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 Tim Peneliti Perkumpulan INISIATIF Bandung menerapkan alat akuntabilitas publik di sektor pelayanan air bersih pada tiga wilayah, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kota Tasikmalaya. Kegiatan ini dilakukan selama tiga tahun dengan menggunakan metodologi yang berbeda-beda, yaitu Public Expenditure Tracking survey (PETs), Citizen Report Card survey (CRCs), dan Social Audit (SA). Berikut akan dipaparkan refleksi ketiga metodologi yang telah dipraktikkan tersebut. Public Expenditure Tracking survey (PETs) atau Survey Penelusuran Belanja Publik Public Expenditure Tracking survey (PETs) merupakan salah satu dari sekian banyak alat akuntabilitas publik yang pernah dipraktikkan di banyak negara. Public Expenditure Tracking Survey adalah alat /metodologi yang digunakan untuk melacak aliran sumber daya publik (termasuk SDM, keuangan, atau benda/in-kind) dari struktur pemerintah paling atas hingga ke tingkat penyedia layanan (misalkan puskesmas). Keunggulan dari metode ini yaitu mampu memetakan aliran sumberdaya/keuangan dari tingkat tertinggi hingga terendah. 1 Stanbury, 2003 dalam Hartanti, Karina. 2011. Pandangan Publik terhadap Akuntabilitas Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. 2 Patnaik, Abhijit, et al.2007. Social Acoountability Mechanism. National Institute of Administrative Research 3 Arifiyadi, 2008 dalam Hartanti, Karina. 2011. Pandangan Publik terhadap Akuntabilitas Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. Sebagai contoh adalah aliran sumberdaya di sektor kesehatan di Peru, di mana transparansi menjadi berkurang akibat begitu banyaknya aliran dalam anggaran, yaitu aliran uang, barang, gaji, dan informasi. Hal ini juga yang banyak terjadi di Indonesia, termasuk di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 1. Pemetaan Aliran Sumberdaya Ket: Sumber : Alvarado, B. & Morón, E. (2008) The Route of Expenditure and Decision Making in the Health Sector in Peru Metode ini digunakan oleh tim peneliti Perkumpulan INISIATIF Bandung untuk menelusuri anggaran di sektor air bersih di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut mulai dari tahap perencanaan hingga realisasi program. Metode ini sebenarnya sangat efektif untuk mengetahui sebesar apa kebocoran dana publik di sektor tertentu mulai dari tahap perencanaan hingga laporan program. Akan tetapi, selama kami mempraktikkan metode ini, ternyata untuk konteks Indonesia yang masih kurang transparan dengan anggaran publik, metode ini menjadi kurang optimal dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara lain. Selama kegiatan, kami menginisiasi penelusuran dokumen anggaran publik dengan menggunakan jaringan organisasi yang telah terbangun selama ini, yaitu Forum Diskusi Anggaran (FDA) Bandung dan Masyarakat Peduli Anggaran (MAPAG) Bandung, dengan harapan akses data lebih mudah didapatkan dengan menggunakan masyarakat lokal. Selama di perjalanan pencarian data, kami hanya mendapatkan beberapa dokumen perencanaan dan tender. Adapun terkait kejelasan penggunaan anggaran cukup sulit kami dapatkan khususnya untuk Kabupaten Garut. Data yang kami peroleh di kabupaten itu lebih sedikit dibandingkan Kabupaten Bandung. Metode PETs ini sebenarnya sangat bermanfaat sebagai langkah awal menginisiasi akuntabilitas publik, di mana masyarakat akan tahu apakah dalam program-program pemerintah terdapat kebocoran anggaran yang bisa ditindaklanjuti kemudian. Akan tetapi, hal ini menjadi cukup sulit dilakukan karena meskipun di Indonesia telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pada pelaksanaannya dokumen-dokumen anggaran yang seharusnya terbuka untuk publik masih sulit didapatkan atau bahkan masyarakat tidak mengetahui sama sekali program pembangunan yang ada di wilayahnya. Birokrasi yang berbelit-belit, OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang sulit ditemui, dan sistem arsip yang kurang baik menyebabkan data sulit diperoleh. Oleh karena itu, hasil refleksi yang bisa dilakukan agar metode ini dapat digunakan dengan baik dan memperoleh hasil maksimal, diperlukan sebuah wacana terlebih dahulu/audiensi dengan dinas-dinas terkait tentang kegiatan yang akan dilakukan dan meminta komitmen dari mereka untuk bekerja sama dalam memberikan data. Jika melihat kembali pada pentingnya akuntabilitas publik, seharusnya pemerintah/OPD mau bekerja sama untuk mendorong transparansi, karena tujuan utama dari transparansi adalah terciptanya pelayanan publik yang memiliki performa sosial yang tinggi. Citizen Report Card survey (CRCs) atau Kartu Laporan Warga Citizen Report Card survey atau Kartu Laporan Warga adalah salah satu alat akuntabilitas publik yang ingin mengevaluasi kehandalan pelayanan pemerintah dilihat dari sisi konsumen/masyarakat. Metode ini mampu memberikan penilaian dan harapan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan selama ini, meskipun penilaian yang diberikan tidak dapat diukur karena hanya berdasarkan penilaian subyektif pengguna. Kami menggunakan metode ini di tahun ke-2 yaitu tahun 2013 sebagai tindak lanjut kegiatan di tahun sebelumnya (PETs). Akan tetapi, kegiatan ini kami lakukan di tiga wilayah yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kota Tasikmalaya. Kegiatan ini dilakukan untuk menguji kebenaran adanya indikasi kebocoran dana yang kami temukan di tahun pertama, melalui penilaian kualitas pelayanan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat di sektor layanan air bersih. Metode CRCs ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner ke seluruh rumah tangga yang ada di ketiga wilayah tersebut dengan menggunakan rumus slovin. Hasil perhitungan rumus tersebut diperoleh sekitar 400 calon responden di tiap wilayah. Untuk mengantisipasi adanya kuesioner yang tidak valid atau rusak, kuesioner kami lebihkan 100 buah, sehingga total menjadi 500 kueisoner. Metode ini pada dasarnya mudah untuk dilakukan, hanya saja pada saat pengambilan responden di lapangan ada kekhawatiran surveyor tidak melakukannya sesuai dengan aturan yang diberikan. Hal ini disebabkan proses penentuan jumlah responden dari tingkat kabupaten hingga desa sepertinya kurang dipahami oleh surveyor, khususnya bagi surveyor Tasikmalaya yang belum memiliki pengalaman sama sekali menggunakan metode ini. Meskipun demikian, untuk mengantisipasi adanya penentuan responden yang tidak sesuai dengan sistem random, kami melakukan kroscek input data dan mengecek responden apakah sesuai dengan yang ada dalam lembar kuesioner. Hasil yang kami peroleh adalah rata-rata di antara mereka menyatakan benar adanya telah disurvey. Kami melakukan penelusuran lebih lanjut dengan menanyakan kepada surveyor terkait responden yang nomor HP-nya tidak dapat dihubungi dan klarifikasi yang surveyor berikan tidak meragukan, sehingga peneliti menyimpulkan data yang diberikan adalah valid/tidak dimanipulasi. Jika direfleksikan dari seluruh desain kuesioner yang kami buat, terdapat beberapa evaluasi terkait pengelompokkan kuesioner menjadi PDAM dan Non PDAM, karena ada beberapa variabel yang tidak dapat dibandingkan, meskipun tujuan kami adalah melihat secara umum gambaran pelayanan air bersih di ketiga wilayah tersebut. Selain itu, karena basis data kami adalah rumah tangga, saat melakukan survey kami tidak mengetahui siapa pengguna PDAM atau Non-PDAM dan hasil yang diperoleh adalah sangat sedikit pengguna PDAM yang mengisi (rata-rata hanya 5%) sehingga tidak dapat merepresentasikan pengguna PDAM yang sebenarnya. Oleh karena itu, jika metode ini ingin digunakan sebaiknya digunakan untuk mengevaluasi pelayanan yang memang tidak terbagi menjadi dua atau beberapa kelompok seperti pelayanan KTP, Sanitasi, Akte kelahiran, dll, sehingga hasil yang didapatkan benar-benar merepresentasikan kondisi nyata di lapangan. Social Audit Social Audit adalah salah satu alat akuntabilitas publik yang bertujuan untuk mengkroscek ada atau tidaknya program yang direncanakan dengan realisasinya. Metode ini sebenarnya memiliki keunggulan dalam membangun partisipasi masyarakat dan menyadarkan hak-hak mereka untuk mengawasi program-program pemerintah dengan baik. Metode ini juga memberikan ruang yang nyata bagi masyarakan untuk terjun langsung dalam mengaudit program-program pemerintah. Kendala yang kami hadapi selama melakukan kegiatan ini adalah sering kali masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu mencurigai tim audit yang turun di lapangan, sehingga masyarakat kurang terlibat aktif dalam mengikuti kegiatan audit. Selain itu, adanya aktor dominan yang memiliki kepentingan politik sering kali membuat masyarakat ragu untuk melakukan audit sosial, karena ada kekhawatiran tidak akan diberikan program di tahun-tahun berikutnya. Hal ini tentu perlu menjadi sebuah pemikiran, di mana masyarakat masih menganggap mereka yang memerlukan pemerintah dan tidak berhak mengetahui secara detail program yang diberikan. Hasil studi yang kami lakukan juga menunjukkan bahwa selama ini masyarakat tidak pernah tahu nominal anggaran program dan tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam realisasi program. Selain faktor dari masyarakat, aktor pemerintahan sendiri belum mengenal metode ini dan cenderung kurang merespon dengan baik kegiatan public hearing yang kami lakukan, meskipun telah dilakukan audiensi beberapa hari sebelumnya. Idealnya audit sosial bisa dilakukan oleh seluruh masyarakat di manapun mereka berada. Dengan demikian pemerintah akan berusaha lebih baik dalam melakukan perencanaan anggaran hingga tahap realisasi, karena mereka selalu diawasi dan diminta pertanggungjawaban oleh masyarakat. Akan tetapi, hasil refleksi kegiatan yang kami lakukan, seharusnya sejak awal direncanakan metode ini dilakukan pendekatan secara bertahap kepada masyarakat maupun kelompok penyedia layanan untuk membangun pemahaman yang sama, sehingga diharapkan kegiatan ini dapat berjalan dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Adapun, kekurangan dari metode ini adalah kebutuhan akan dampingan masyarakat dan waktu yang lama memungkinkan masyarakat jenuh dan justru cenderung tidak pedulli dengan apa itu audit sosial. Bagaimanapun metode ini harus bisa dikenalkan ke seluruh pihak baik aktor pemeirntah maupun masyarakat, sehingga masing-masing pihak merasa peduli dengan program yang dilaksanakan yang pada akhirnya akan menumbuhkan transparansi dan mendorong terciptanya akutabilitas sosial di seluruh sektor layanan publik. Titik Kritis Masing-Masing Alat Jika disimpulkan hasil refleksi ketiga metode yang sudah digunakan, masing-masing metode memiliki kelemahan dan menjadi kurang optimal pada saat kondisi tertentu. Oleh karena itu, hasil refleksi yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode tersebut, antara lain: PETS CRC Sulit untuk terapkan untuk kondisi pemerintahan yang cenderung tertutup/tidak transparan. Memerlukan waktu yang cukup lama untuk membangun komunikasi dengan aktor kunci dan memberikan pemahaman yang sama terkait kegiatan yang akan dilakukan. Dokumen anggaran yang menjadi target utama sering kali sulit didapatkan karena sangat sensitif dengan isu politik di masing-masing wilayah. Diperlukan identifikasi awal yang benar-benar matang untuk menentukan apa tujuan besar studi yang akan dilakukan dan siapa respondennya. Sebaiknya hanya dilakukan untuk mengkaji satu layanan yang hanya disediakan oleh satu layanan umum. Membangun pemahaman kepada surveyor agar memahami tujuan studi dan memahami metode survey dengan benar dan bisa dipraktikan sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Audit Sosial Perlu waktu yang lama untuk membangun komunikasi dengan warga/masyarakat sejak awal kegiatan. Membangun komunikasi dengan aparat pemerintahan tentang pentingnya melakukan audit sosial sehingga semua aktor memiliki pemahaman yang sama dan mau terlibat secara aktif untuk bersama-sama mengevaluasi program. Pentingnya membuka ruang-ruang informasi dan komunikasi warga dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pertanggungjawaban program. Ketiga instrumen di atas hanyalah bagian kecil dari alat akuntabilitas yang telah dipraktikkan oleh tim peneliti di Perkumpulan INISIATIF Bandung dan dilakukan di Sektor Air Bersih. Banyak alat/metode lain yang bisa digunakan untuk mendorong transparansi dan terciptanya akuntabilitas sosial, sehingga pelayanan pemerintah di seluruh sektor publik dapat dirasakan secara adil dan merata oleh seluruh masyarakat.