20 pengukuran dan mengontrol kinerja dapat dilakukan, sehingga

advertisement
20
pengukuran dan mengontrol kinerja dapat dilakukan, sehingga keputusan, sumber
daya dan kegiatan selaras dengan strategi organisasi.
Cascio (1992) dalam Ruky (2006) menyarankan bahwa agar sebuah
program SMK yang efektif hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut ini.
a.
Relevance: hal-hal atau faktor yang diukur adalah yang relevan (terkait)
dengan pekerjaannya, apakah itu output, proses atau inputnya.
b.
Sensitivity: sistem yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan
antara karyawan yang berprestasi dan tidak berprestasi.
c.
Reliability: sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dipercaya
bahwa menggunakan tolak ukur yang obyektif, shahih, akurat, konsisten
dan stabil.
d.
Acceptability: sistem yang digunakan harus dapat dimengerti oleh
karyawan yang menjadi penilai maupun yang dinilai dan menfasilitasi
komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya.
e.
Practicality: semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan harus
mudah digunakan oleh kedua pihak
Menurut Lawler (2003), efektivitas sistem manajemen kinerja dinilai
berdasarkan dengan sejauh mana 17 tujuan khusus manajemen kinerja yang
dicapai yaitu berikut ini.
a.
Memotivasi kinerja
b.
Membantu organisasi untuk mencapai tujuan
c.
Mengembangkan budaya yang berorientasi pada kinerja
d.
Mendukung upaya perubahan
21
e.
Mendukung nilai-nilai organisasi
f.
Memberikan penilaian yang akurat tentang kinerja
g.
Memastikan komitmen staf untuk tujuan organisasi
h.
Menghubungkan kinerja individu untuk kinerja unit
i.
Memberikan umpan balik kinerja yang berguna untuk individu
j.
Mendukung strategi organisasi
k.
Skill dan pengetahuan individu berkembang
l.
Mengatasi kekhawatiran staf
m. Memastikan waktu staf yang digunakan secara efisien
3.
n.
Mengidentifikasi karyawan berbakat
o.
Memberi penghargaan karyawan yang berbakat.
p.
Mengidentifikasi staf yang berkinerja buruk
q.
Mengelola staf yang berkinerja buruk
Gaya Kepemimpinan Transformasional
Stone, Russell dan Patterson (2004) menyatakan bahwa konsep
kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James McGregor
Burns. Lebih lanjut, Stone et al. (2004) mengatakan bahwa kepemimpinan
transformasional tampak ketika para pemimpin mendorong pengikutnya untuk
meningkatkan moral, motivasi, keyakinan, persepsi, dan koalisi dengan tujuan
organisasi. Bass (2001) mengatakan bahwa pemimpin transformasional mengubah
nilai-nilai pribadi pengikut untuk mendukung visi dan tujuan organisasi dengan
mengembangkan suatu lingkungan di mana hubungan dapat dibentuk dan dengan
membangun iklim kepercayaan.
22
Bass (2001) menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional akan
tampak apabila seorang pemimpin itu mempunyai kemampuan untuk hal berikut
ini.
a.
Menstimulasi semangat para kolega dan pengikutnya untuk melihat
pekerjaan mereka dari beberapa perspektif baru.
b.
Menurunkan visi dan misi kepada tim dan organisasinya.
c.
Mengembangkan kolega dan pengikutnya pada tingkat kemampuan dan
potensial yang lebih tinggi.
d.
Memotivasi kolega dan pengikutnya untuk melihat pada kepentingannya
masing-masing,
sehingga
dapat
bermanfaat
bagi
kepentingan
organisasinya.
Berdasarkan hasil penelitian Gill, Fitzgerald, Bhutani, Mand, dan Sharma
(2010),
karakteristik dari pemimpin transformasional dapat dilihat dari hal
berikut ini.
a.
Cara pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan.
b.
Kemampuan mendorong keberanian dan pengambilan resiko.
c.
Memberi kepercayaan pada orang-orang (bawahan).
d.
Merasa sebagai pembelajar seumur hidup.
e.
Memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan
ketidakpastian.
f.
Terlihat sebagai seorang pemimpin yang visioner.
Adapun karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Stone et al.
(2004) adalah sebagai berikut.
23
a.
Idealized influence (or charismatic influence)
Pemimpin memiliki karisma yang mampu mengendalikan bawahan,
memahami visi dan misi, berpendirian kukuh, berkomitmen tinggi,
konsisten dalam keputusan, menghargai bawahan dan menjadi role
model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya.
b.
Inspirational motivation
Pemimpin mampu menerapkan standar yang tinggi dan mendorong
bawahan untuk mencapai standar tersebut, mampu membangkitkan
optimisme dan antusiasme bawahan serta senantiasa memberikan inspirasi
dan memotivasi bawahannya.
c.
Intellectual stimulation
Pemimpin mampu mendorong bawahan menyelesaikan masalah dengan
cermat dan rasional, mendorong bawahan menemukan cara baru yang
lebih efektif dalam menyelesaikan masalah serta mampu menstimulasi
bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif.
d.
Individualized consideration
Pemimpin mampu memahami perbedaan individual para bawahannya,
mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih
bawahan, mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan
kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestasi dan
berkembang para bawahan.
24
4.
Komitmen Pegawai
Komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas pekerja secara terus
menerus kepada organisasi untuk keberhasilan dan kesejahteraan organisasinya
(Mowday, Steers dan Porter, 1979). Lebih lanjut, Mowday et al. (1979)
menyatakan bahwa komitmen adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana
seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Menurut Zurnali
(2010), komitmen merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap
tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka
terhadap upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut.
Meyer, Allen dan Smith (1993) berpandangan bahwa komitmen
merupakan sebuah keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan
karyawan dengan organisasi, dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk
melanjutkan atau menghentikan keanggotaan dalam organisasi. Lebih lanjut,
Meyer et al. (1993) membagi komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu:
afektif, normatif dan continuance. Mowday et al. (1979) menyatakan bahwa
komitmen organisasi memiliki dua komponen, yaitu sikap dan kehendak
bertingkah
laku.
Sikap
mencakup:
a)
identifikasi
dengan
organisasi,
b) keterlibatan dalam organisasi dan c) kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap
organisasi. Kehendak untuk bertingkah laku meliputi a) kesediaan untuk
menampilkan usaha, dan b) keinginan untuk tetap berada dalam organisasi.
25
C. Penelitian Terdahulu
Beragam penelitian terdahulu telah dilakukan terkait dengan faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja pegawai. Beberapa peneliti telah meneliti mengenai
pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai pada organisasi privat.
Misalnya, Ojokuku et al. (2012), Najundesswaraswamy dan Swamy (2014),
Pranata (2013), dan Saka (2015), menemukan bahwa gaya kepemimpinan
berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Rosmiyati (2014) menemukan hasil yang
berbeda. Rosmiyati (2014) menemukan bahwa gaya kepemimpinan tidak
berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada perusahaan swasta. Pada sektor publik
beberapa peneliti telah meneliti pengaruh gaya kepemimpinan dengan kinerja
pegawai, misalnya Nugraha (2013), Raharjo dan Nafsiah (2006), Sappe et al.
(2014), dan Trang et al. (2013). Mereka menemukan bahwa, pada organisasi
pemerintah, gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Penelitian Fajra (2011) dan Tongo (2014) menemukan hasil yang berbeda.
Mereka menemukan bahwa, gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap
kinerja pegawai pemerintah.
Penelitian Thamrin (2012), Kuswandi et al. (2015), Nawawi (2012),
Givens (2008), Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008), dan Wang et al. (2011)
menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap
kinerja pegawai pada organisasi swasta. Penelitian lainnya, dilakukan oleh Soni
(2009), Budiwibowo (2013), dan Rizki (2015) yang meneliti pengaruh gaya
kepemimpinan transformasional di pemerintah daerah dan perusahaan publik
26
dengan kinerja pegawai. Hasilnya, gaya kepemimpinan transformasional
berpengaruh terhadap kinerja pegawai pemerintah/BUMN.
Penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja di DJP
juga pernah dilakukan, misalnya Astuti (2013). Astuti (2013) menemukan bahwa
gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Tumbol, Tewal dan
Sepang (2014), menemukan bahwa gaya kepemimpinan otokratis, demokratik
dan laissez faire berpengaruh terhadap kinerja pegawai pajak. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Seprina (2015) menemukan bahwa gaya kepemimpinan authentic
terhadap kinerja pegawai pajak. Selanjutnya, Asmoko dan Lasahido (2013)
meneliti hubungan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional
terhadap kinerja AR. Lebih lanjut, Asmoko dan Lasahido (2013) menyebutkan
jika hubungan langsung gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional
terhadap kinerja AR tidak kuat.
Meskipun sudah banyak penelitian terdahulu pada organisasi privat dan
organisasi pemerintah, namun hasil penelitiannya tidak konsisten. Misalnya,
Ojokuku, Odetayo, dan Sajuyigbe (2012), Najundesswaraswamy dan Swamy
(2014), Pranata (2013), Saka (2015), Nugraha (2013), Raharjo dan Nafsiah
(2006), Sappe et al. (2014), dan Trang et al. (2013), Thamrin (2012), Kuswandi et
al. (2015), Nawawi (2012), Givens (2008), Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008),
Wang et al. (2011), Soni (2009), Budiwibowo (2013), dan Rizki (2015), Astuti
(2013), Tumbol et al. (2014) dan Seprina (2015) menemukan bahwa gaya
kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja. Disisi lain, Fajra (2011), Rosmiyati
(2014) dan Tongo (2014) menemukan bahwa gaya kepemimpinan tidak
27
berpengaruh terhadap kinerja. Hasil ini, menimbulkan ketidakkonsistenan hasil
penelitian dan tidak sejalan dengan teori kinerja Gibson (2008).
Beberapa peneliti juga telah mencoba mengaitkan antara kepemimpinan
dengan implementasi sistem manajemen kinerja. Misalnya, Bush (2005)
menyebutkan bahwa kepemimpinan yang teguh meminimalisir gagalnya
implementasi sistem manajemen kinerja. Penelitian lain menyebutkan bahwa
manajemen kinerja sangat tergantung pada kepemimpinan dalam hal dukungan
dan manajemen perubahan (Jacobson dan Chrisinger, 2013). Cokins (2006)
menyebutkan bahwa kepemimpinan berperan menentukan arah strategi dan
memotivasi pegawai pada tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen kinerja.
Kurangnya pemahaman, komitmen dan partisipasi pimpinan dalam implementasi
sistem manajemen kinerja merupakan hambatan dalam implementasi sistem
manajemen kinerja (Kittredge, 2006).
Penelitian mengenai komitmen dan pengaruhnya terhadap kinerja pegawai
swasta pernah dilakukan misalnya, Kashefi et al. (2013), Khyzer dan Tariq
(2012), dan Trang et al. (2013). Mereka menemukan bahwa komitmen
berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, Fitriyah (2014) menemukan
bahwa komitmen tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Pada sektor
publik, Sappe et al. (2014) menemukan bahwa komitmen pegawai berpengaruh
terhadap kinerja pada pegawai negeri sipil atau pegawai BUMN. Disisi lain,
Warongan et al. (2014), dan Kurniawan (2011) menemukan bahwa komitmen
tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Penelitian tentang komitmen
pegawai DJP dan pengaruhnya terhadap kinerja juga telah diteliti oleh beberapa
28
peneliti. Misalnya, Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013),
dan Praptadi (2009) yang menemukan bahwa komitmen berpengaruh terhadap
kinerja pegawai pajak.
Meskipun sudah banyak penelitian terdahulu pada organisasi privat dan
organisasi pemerintah, namun hasil penelitiannya tidak konsisten. Misalnya,
Kashefi et al. (2013), Khyzer dan Tariq (2012), Trang et al. (2013), Sappe et al.
(2014), Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013), dan Praptadi
(2009) yang menemukan bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja. Namun
sebaliknya, Kurniawan (2011), Fitriyah (2014) dan Warongan et al. (2014)
menemukan bahwa komitmen tidak berpengaruh terhadap kinerja. Hal ini telah
menunjukan ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu terkait pengaruh
komitmen pegawai terhadap kinerja.
Terkait dengan sistem manajemen kinerja, Luthans (2006) menyatakan
bahwa terdapat pengaruh yang positif antara komitmen karyawan dengan
efektivitas sistem manajemen kinerja seperti hasil kinerja yang tinggi, employee
turnover rate yang rendah dan persentase ketidakhadiran yang rendah. Peneliti
lainnya, Maleka (2014) mengatakan bahwa untuk dapat membuat sistem
manajemen kinerja berjalan efektif diperlukan komitmen yang kuat. Komitmen
dapat menjadi sarana yang efektif dalam penerapan sistem manajemen kinerja
(Wakhyudi, 2014).
Penelitian tentang sistem manajemen kinerja mungkin jarang dilakukan di
Indonesia. Namun, beberapa peneliti telah mencoba mengaitkan sistem
manajemen kinerja dengan kinerja pegawai. Misalnya, Sahoo dan Jena (2012)
29
mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang akan membantu menjelaskan efek
dari sistem manajemen kinerja pada perusahaan manufaktur. Lebih lanjut, Sahoo
dan Jena (2012) menyebutkan bahwa sistem manajemen kinerja dapat
memberikan pengaruh positif terhadap kinerja karyawan ketika sistem tersebut
mampu diimplementasikan dengan sukses. Peneliti lainnya, Maleka (2014)
melakukan penilaian kritis terhadap efektivitas sistem manajemen kinerja dan
keeratannya dengan tujuan organisasi. Lebih lanjut, Maleka (2014) mengatakan
bahwa untuk dapat membuat sistem manajemen kinerja berjalan efektif,
diperlukan kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari karyawan.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja pegawai DJP pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal individu (Tien, 2012). Lebih
lanjut, Tien (2012) menyebutkan faktor internal yang berpengaruh antara lain:
kemampuan intelektualitas, disiplin kerja, kepuasan kerja dan motivasi karyawan.
Faktor eksternal meliputi gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kompensasi dan
sistem manajemen yang terdapat dalam organisasi. Beberapa peneliti telah
meneliti faktor internal pegawai DJP yang mempengaruhi kinerja pegawai, antara
lain kompetensi pegawai (Harimawan, 2008), profesionalisme (Gani (2009),
Sufari (2013), Kristin dan Sadjiarto (2013) dan Kurniawan (2015)),
disiplin
pegawai (Gani (2009) dan Umar (2016)), motivasi ( Gani (2009), Umar (2016),
Palagi, Brasit dan Amar (2010), Krisnalia (2011) dan Tarigan (2011)), kepuasan
kerja (Krisnalia (2011), Endrias (2014), Kurniawan (2015) dan Palagi et al.
(2010)), dan stress kerja (Kristin dan Sadjiarto, 2013). Faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja pegawai DJP antara lain; lingkungan atau iklim kerja
30
(Umar (2016), Kristin dan Sadjiarto (2013) dan
Krisnalia (2011)),
budaya
organisasi (Endrias (2014), Praptadi (2009), dan Kencana (2009)), remunerasi
atau insentif ( Palagi et al. (2010), Azis dan Niswah (2013) dan Tarigan (2011)),
sistem pengukuran kinerja (Tarigan, 2011) dan pemberdayaan (Praptadi, 2009).
Berdasarkan review penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas,
dapat disimpulkan bahwa meskipun sudah terdapat banyak penelitian tentang
pengaruh gaya kepemimpinan dan komitmen terhadap kinerja namun masih
menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Lebih lanjut, penelitian tentang pengaruh
gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja di DJP jarang dilakukan.
Selain itu, penelitian tentang pengaruh efektifias sistem manajemen kinerja
terhadap kinerja masih sangat minim.
D. Pengembangan Hipotesis
1.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja
Gibson (2008) menyebutkan bahwa kinerja dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya adalah faktor kepemimpinan. Aspek-aspek
kepemimpinan yang meliputi kualitas dalam memberikan dorongan, semangat,
arahan dan dukungan mempengaruhi peningkatan kinerja pegawai (Mahmudi
2010). Gaya kepemimpinan yang sejalan dengan reformasi birokrasi dan
transformasi kelembagaan DJP yang menginginkan adanya paradigm baru serta
perubahan visi dan misi adalah gaya kepemimpinan transformasional (Affandi
2014). Gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya pemimpin yang
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara–cara tertentu.
31
Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk
berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan, dengan kata lain dapat
meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh
terhadap peningkatan kinerja. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu
proses kognitif individu dalam menafsirkan kemampuan pemimpinnya untuk
memberikan inspirasi dan motivasi. Indikator kepemimpinan transformasional
menurut Bass dalam Nawawi (2012) adalah idealised influence (pengaruh idealis),
inspirational
motivation
(motivasi
inspirasional),
intellectual
stimulation
(stimulasi intelektual), individualized consideration (pertimbangan individu).
Dalam penelitian, peneliti berargumen bahwa gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja. Alasannya adalah gaya
kepemimpinan
meningkatkan
transformasional
kinerja
pegawai
yang
melalui
efektif
dimungkinkan
kemampuan
pemimpin
mampu
untuk
mengendalikan bawahannya agar bekerja sesuai visi dan misi organisasi,
pemberian motivasi dan inspirasi agar bawahan senantiasa optimis dan antusias
dalam mencapai target kinerja yang ditentukan, pemberian stimulasi dan dorongan
agar bawahan kreatif dan inovatif sehingga mampu menyelesaikan masalah
dengan cermat, rasional dan efektif dan kemampuan pemimpin dalam
membimbing, mendidik dan melatih bawahan sesuai dengan kebutuhan masingmasing bawahan secara individual.
Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ojokuku et al. (2012),
Wang et al. (2011), Tongo (2014), Trang et al. (2013), Najundesswaraswamy dan
Swamy (2014), Thamrin (2012), Kuswandi et al. (2015), Budiwibowo (2014),
32
Givens (2008),
Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008), dan Nawawi (2012)
menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
Dari uraian tersebut maka hipotesis pertama disusun sebagai berikut:
H1: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja.
2.
Pengaruh Komitmen Pegawai terhadap Kinerja
Konsep tentang komitmen pegawai berkembang pada studi awal mengenai
loyalitas individu yang diharapkan ada pada diri pegawai. Keterikatan kerja yang
sangat erat merupakan suatu kondisi yang dirasakan para karyawan, sehingga
menimbulkan perilaku positif yang kuat terhadap organisasi kerja yang dimiliki.
Menurut Steers (1983), suatu bentuk ikatan kerja yang kuat bukan bersifat
loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan
organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi
keberhasilan pelaksanaan tujuan organisasi. Lebih lanjut, karyawan yang memiliki
komitmen yang tinggi akan melakukan usaha maksimal demi tercapainya tujuan
organisasi. Mowday et al. (1979) mengemukakan bahwa komitmen organisasi
yang kuat akan mendorong para individu untuk berusaha lebih keras dalam
mencapai tujuan organisasi. Sehingga komitmen yang tinggi menjadikan individu
lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan pribadi dan berusaha
menjadikan organisasi menjadi lebih baik lagi.
Dalam
penelitian,
peneliti
berargumen
bahwa
komitmen
pegawai
berpengaruh positif terhadap kinerja. Alasannya adalah komitmen pegawai yang
tinggi mampu meningkatkan kinerja melalui loyalitas yang tinggi terhadap
institusi, motivasi kerja yang tinggi dan bersedia mengorbankan waktu, tenaga
33
dan pikiran lebih dari yang diharapkan untuk memastikan kinerja yang dicapainya
sesuai dengan harapan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kashefi et al.
(2013), Khyzer dan Tariq (2012), dan Trang et al. (2013), Sappe et al. (2014),
Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013), dan Praptadi (2009)
menyimpulkan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang positif
terhadap kinerja karyawan.
Dari uraian tersebut maka hipotesis kedua disusun sebagai berikut:
H2: Komitmen pegawai berpengaruh positif terhadap kinerja.
3. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Efektivitas Sistem
Manajemen Kinerja
Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses kognitif individu
dalam menafsirkan kemampuan pemimpinnya untuk memberikan inspirasi dan
motivasi kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab. Yukl
(2009) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional sering didefinisikan
bagaimana pemimpin memperkuat sikap saling kerjasama dan percaya diri secara
kolektif, dan pembelajaran tim. Pemimpin dengan gaya transformasional
membuat para karyawannya menjadi lebih menyadari kepentingan dan nilai dari
pekerjaan serta membujuk karyawan untuk tidak mendahulukan kepentingan
pribadi diatas kepentingan organisasi.
Rajaguguk (2013) mengatakan bahwa sebaik apapun desain sistem
manajemen kinerja di Kementerian Keuangan, jika tidak mendapatkan dukungan
dari para pimpinan tidak akan memberikan hasil yang optimal. Kepemimpinan
merupakan salah satu faktor penting agar sebuah sistem manajemen kinerja
34
dapat diimplementasikan dengan sukses. Maleka (2014) mengatakan bahwa untuk
dapat
membuat
sistem
manajemen
kinerja
berjalan
efektif
diperlukan
kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan berperan mendorong pemahaman
pegawai dan mengawal evolusi sistem manajemen kinerja (Simamora, 2012).
Beberapa peneliti telah mencoba mengaitkan antara kepemimpinan dengan
implementasi sistem manajemen kinerja. Misalnya, Bush (2005) yang
menyebutkan bahwa kepemimpinan yang teguh meminimalisir gagalnya
implementasi sistem manajemen kinerja. Manajemen kinerja sangat tergantung
pada kepemimpinan dalam hal dukungan dan manajemen perubahan (Jacobson
dan
Chrisinger,
2013).
Temuan
Cokins
(2006)
menyebutkan
bahwa
kepemimpinan berperan menentukan arah strategi dan memotivasi pegawai pada
tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen kinerja. Kurangnya pemahaman,
komitmen dan partisipasi pimpinan dalam implementasi sistem manajemen
kinerja merupakan hambatan dalam implementasi sistem manajemen kinerja
(Kittredge, 2006).
Dalam penelitian ini, peneliti berargumen bahwa gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif terhadap efektivitas sistem manajemen
kinerja. Alasannya adalah
gaya kepemimpinan transformasional yang efektif
mampu meningkatkan efektivitas SMK. Pemimpin yang mampu mengendalikan
bawahannya agar bekerja sesuai visi dan misi organisasi dimungkinkan mampu
menghubungkan kinerja individu dengan kinerja organisasi melalui sistem
manajemen kinerja. Pemimpin yang senantiasa memberi motivasi dan inspirasi
membuat bawahan senantiasa optimis dan antusias dalam mencapai tujuan
Download