20 pengukuran dan mengontrol kinerja dapat dilakukan, sehingga keputusan, sumber daya dan kegiatan selaras dengan strategi organisasi. Cascio (1992) dalam Ruky (2006) menyarankan bahwa agar sebuah program SMK yang efektif hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut ini. a. Relevance: hal-hal atau faktor yang diukur adalah yang relevan (terkait) dengan pekerjaannya, apakah itu output, proses atau inputnya. b. Sensitivity: sistem yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara karyawan yang berprestasi dan tidak berprestasi. c. Reliability: sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dipercaya bahwa menggunakan tolak ukur yang obyektif, shahih, akurat, konsisten dan stabil. d. Acceptability: sistem yang digunakan harus dapat dimengerti oleh karyawan yang menjadi penilai maupun yang dinilai dan menfasilitasi komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya. e. Practicality: semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan harus mudah digunakan oleh kedua pihak Menurut Lawler (2003), efektivitas sistem manajemen kinerja dinilai berdasarkan dengan sejauh mana 17 tujuan khusus manajemen kinerja yang dicapai yaitu berikut ini. a. Memotivasi kinerja b. Membantu organisasi untuk mencapai tujuan c. Mengembangkan budaya yang berorientasi pada kinerja d. Mendukung upaya perubahan 21 e. Mendukung nilai-nilai organisasi f. Memberikan penilaian yang akurat tentang kinerja g. Memastikan komitmen staf untuk tujuan organisasi h. Menghubungkan kinerja individu untuk kinerja unit i. Memberikan umpan balik kinerja yang berguna untuk individu j. Mendukung strategi organisasi k. Skill dan pengetahuan individu berkembang l. Mengatasi kekhawatiran staf m. Memastikan waktu staf yang digunakan secara efisien 3. n. Mengidentifikasi karyawan berbakat o. Memberi penghargaan karyawan yang berbakat. p. Mengidentifikasi staf yang berkinerja buruk q. Mengelola staf yang berkinerja buruk Gaya Kepemimpinan Transformasional Stone, Russell dan Patterson (2004) menyatakan bahwa konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh James McGregor Burns. Lebih lanjut, Stone et al. (2004) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional tampak ketika para pemimpin mendorong pengikutnya untuk meningkatkan moral, motivasi, keyakinan, persepsi, dan koalisi dengan tujuan organisasi. Bass (2001) mengatakan bahwa pemimpin transformasional mengubah nilai-nilai pribadi pengikut untuk mendukung visi dan tujuan organisasi dengan mengembangkan suatu lingkungan di mana hubungan dapat dibentuk dan dengan membangun iklim kepercayaan. 22 Bass (2001) menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional akan tampak apabila seorang pemimpin itu mempunyai kemampuan untuk hal berikut ini. a. Menstimulasi semangat para kolega dan pengikutnya untuk melihat pekerjaan mereka dari beberapa perspektif baru. b. Menurunkan visi dan misi kepada tim dan organisasinya. c. Mengembangkan kolega dan pengikutnya pada tingkat kemampuan dan potensial yang lebih tinggi. d. Memotivasi kolega dan pengikutnya untuk melihat pada kepentingannya masing-masing, sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan organisasinya. Berdasarkan hasil penelitian Gill, Fitzgerald, Bhutani, Mand, dan Sharma (2010), karakteristik dari pemimpin transformasional dapat dilihat dari hal berikut ini. a. Cara pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan. b. Kemampuan mendorong keberanian dan pengambilan resiko. c. Memberi kepercayaan pada orang-orang (bawahan). d. Merasa sebagai pembelajar seumur hidup. e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian. f. Terlihat sebagai seorang pemimpin yang visioner. Adapun karakteristik kepemimpinan transformasional menurut Stone et al. (2004) adalah sebagai berikut. 23 a. Idealized influence (or charismatic influence) Pemimpin memiliki karisma yang mampu mengendalikan bawahan, memahami visi dan misi, berpendirian kukuh, berkomitmen tinggi, konsisten dalam keputusan, menghargai bawahan dan menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. b. Inspirational motivation Pemimpin mampu menerapkan standar yang tinggi dan mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut, mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme bawahan serta senantiasa memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya. c. Intellectual stimulation Pemimpin mampu mendorong bawahan menyelesaikan masalah dengan cermat dan rasional, mendorong bawahan menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah serta mampu menstimulasi bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif. d. Individualized consideration Pemimpin mampu memahami perbedaan individual para bawahannya, mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan, mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestasi dan berkembang para bawahan. 24 4. Komitmen Pegawai Komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas pekerja secara terus menerus kepada organisasi untuk keberhasilan dan kesejahteraan organisasinya (Mowday, Steers dan Porter, 1979). Lebih lanjut, Mowday et al. (1979) menyatakan bahwa komitmen adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Menurut Zurnali (2010), komitmen merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Meyer, Allen dan Smith (1993) berpandangan bahwa komitmen merupakan sebuah keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi, dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan dalam organisasi. Lebih lanjut, Meyer et al. (1993) membagi komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu: afektif, normatif dan continuance. Mowday et al. (1979) menyatakan bahwa komitmen organisasi memiliki dua komponen, yaitu sikap dan kehendak bertingkah laku. Sikap mencakup: a) identifikasi dengan organisasi, b) keterlibatan dalam organisasi dan c) kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi. Kehendak untuk bertingkah laku meliputi a) kesediaan untuk menampilkan usaha, dan b) keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. 25 C. Penelitian Terdahulu Beragam penelitian terdahulu telah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Beberapa peneliti telah meneliti mengenai pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja pegawai pada organisasi privat. Misalnya, Ojokuku et al. (2012), Najundesswaraswamy dan Swamy (2014), Pranata (2013), dan Saka (2015), menemukan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Rosmiyati (2014) menemukan hasil yang berbeda. Rosmiyati (2014) menemukan bahwa gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada perusahaan swasta. Pada sektor publik beberapa peneliti telah meneliti pengaruh gaya kepemimpinan dengan kinerja pegawai, misalnya Nugraha (2013), Raharjo dan Nafsiah (2006), Sappe et al. (2014), dan Trang et al. (2013). Mereka menemukan bahwa, pada organisasi pemerintah, gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Penelitian Fajra (2011) dan Tongo (2014) menemukan hasil yang berbeda. Mereka menemukan bahwa, gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai pemerintah. Penelitian Thamrin (2012), Kuswandi et al. (2015), Nawawi (2012), Givens (2008), Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008), dan Wang et al. (2011) menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada organisasi swasta. Penelitian lainnya, dilakukan oleh Soni (2009), Budiwibowo (2013), dan Rizki (2015) yang meneliti pengaruh gaya kepemimpinan transformasional di pemerintah daerah dan perusahaan publik 26 dengan kinerja pegawai. Hasilnya, gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja pegawai pemerintah/BUMN. Penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja di DJP juga pernah dilakukan, misalnya Astuti (2013). Astuti (2013) menemukan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Tumbol, Tewal dan Sepang (2014), menemukan bahwa gaya kepemimpinan otokratis, demokratik dan laissez faire berpengaruh terhadap kinerja pegawai pajak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Seprina (2015) menemukan bahwa gaya kepemimpinan authentic terhadap kinerja pegawai pajak. Selanjutnya, Asmoko dan Lasahido (2013) meneliti hubungan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap kinerja AR. Lebih lanjut, Asmoko dan Lasahido (2013) menyebutkan jika hubungan langsung gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap kinerja AR tidak kuat. Meskipun sudah banyak penelitian terdahulu pada organisasi privat dan organisasi pemerintah, namun hasil penelitiannya tidak konsisten. Misalnya, Ojokuku, Odetayo, dan Sajuyigbe (2012), Najundesswaraswamy dan Swamy (2014), Pranata (2013), Saka (2015), Nugraha (2013), Raharjo dan Nafsiah (2006), Sappe et al. (2014), dan Trang et al. (2013), Thamrin (2012), Kuswandi et al. (2015), Nawawi (2012), Givens (2008), Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008), Wang et al. (2011), Soni (2009), Budiwibowo (2013), dan Rizki (2015), Astuti (2013), Tumbol et al. (2014) dan Seprina (2015) menemukan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja. Disisi lain, Fajra (2011), Rosmiyati (2014) dan Tongo (2014) menemukan bahwa gaya kepemimpinan tidak 27 berpengaruh terhadap kinerja. Hasil ini, menimbulkan ketidakkonsistenan hasil penelitian dan tidak sejalan dengan teori kinerja Gibson (2008). Beberapa peneliti juga telah mencoba mengaitkan antara kepemimpinan dengan implementasi sistem manajemen kinerja. Misalnya, Bush (2005) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang teguh meminimalisir gagalnya implementasi sistem manajemen kinerja. Penelitian lain menyebutkan bahwa manajemen kinerja sangat tergantung pada kepemimpinan dalam hal dukungan dan manajemen perubahan (Jacobson dan Chrisinger, 2013). Cokins (2006) menyebutkan bahwa kepemimpinan berperan menentukan arah strategi dan memotivasi pegawai pada tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen kinerja. Kurangnya pemahaman, komitmen dan partisipasi pimpinan dalam implementasi sistem manajemen kinerja merupakan hambatan dalam implementasi sistem manajemen kinerja (Kittredge, 2006). Penelitian mengenai komitmen dan pengaruhnya terhadap kinerja pegawai swasta pernah dilakukan misalnya, Kashefi et al. (2013), Khyzer dan Tariq (2012), dan Trang et al. (2013). Mereka menemukan bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, Fitriyah (2014) menemukan bahwa komitmen tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Pada sektor publik, Sappe et al. (2014) menemukan bahwa komitmen pegawai berpengaruh terhadap kinerja pada pegawai negeri sipil atau pegawai BUMN. Disisi lain, Warongan et al. (2014), dan Kurniawan (2011) menemukan bahwa komitmen tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Penelitian tentang komitmen pegawai DJP dan pengaruhnya terhadap kinerja juga telah diteliti oleh beberapa 28 peneliti. Misalnya, Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013), dan Praptadi (2009) yang menemukan bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja pegawai pajak. Meskipun sudah banyak penelitian terdahulu pada organisasi privat dan organisasi pemerintah, namun hasil penelitiannya tidak konsisten. Misalnya, Kashefi et al. (2013), Khyzer dan Tariq (2012), Trang et al. (2013), Sappe et al. (2014), Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013), dan Praptadi (2009) yang menemukan bahwa komitmen berpengaruh terhadap kinerja. Namun sebaliknya, Kurniawan (2011), Fitriyah (2014) dan Warongan et al. (2014) menemukan bahwa komitmen tidak berpengaruh terhadap kinerja. Hal ini telah menunjukan ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu terkait pengaruh komitmen pegawai terhadap kinerja. Terkait dengan sistem manajemen kinerja, Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara komitmen karyawan dengan efektivitas sistem manajemen kinerja seperti hasil kinerja yang tinggi, employee turnover rate yang rendah dan persentase ketidakhadiran yang rendah. Peneliti lainnya, Maleka (2014) mengatakan bahwa untuk dapat membuat sistem manajemen kinerja berjalan efektif diperlukan komitmen yang kuat. Komitmen dapat menjadi sarana yang efektif dalam penerapan sistem manajemen kinerja (Wakhyudi, 2014). Penelitian tentang sistem manajemen kinerja mungkin jarang dilakukan di Indonesia. Namun, beberapa peneliti telah mencoba mengaitkan sistem manajemen kinerja dengan kinerja pegawai. Misalnya, Sahoo dan Jena (2012) 29 mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang akan membantu menjelaskan efek dari sistem manajemen kinerja pada perusahaan manufaktur. Lebih lanjut, Sahoo dan Jena (2012) menyebutkan bahwa sistem manajemen kinerja dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja karyawan ketika sistem tersebut mampu diimplementasikan dengan sukses. Peneliti lainnya, Maleka (2014) melakukan penilaian kritis terhadap efektivitas sistem manajemen kinerja dan keeratannya dengan tujuan organisasi. Lebih lanjut, Maleka (2014) mengatakan bahwa untuk dapat membuat sistem manajemen kinerja berjalan efektif, diperlukan kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari karyawan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja pegawai DJP pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal individu (Tien, 2012). Lebih lanjut, Tien (2012) menyebutkan faktor internal yang berpengaruh antara lain: kemampuan intelektualitas, disiplin kerja, kepuasan kerja dan motivasi karyawan. Faktor eksternal meliputi gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kompensasi dan sistem manajemen yang terdapat dalam organisasi. Beberapa peneliti telah meneliti faktor internal pegawai DJP yang mempengaruhi kinerja pegawai, antara lain kompetensi pegawai (Harimawan, 2008), profesionalisme (Gani (2009), Sufari (2013), Kristin dan Sadjiarto (2013) dan Kurniawan (2015)), disiplin pegawai (Gani (2009) dan Umar (2016)), motivasi ( Gani (2009), Umar (2016), Palagi, Brasit dan Amar (2010), Krisnalia (2011) dan Tarigan (2011)), kepuasan kerja (Krisnalia (2011), Endrias (2014), Kurniawan (2015) dan Palagi et al. (2010)), dan stress kerja (Kristin dan Sadjiarto, 2013). Faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja pegawai DJP antara lain; lingkungan atau iklim kerja 30 (Umar (2016), Kristin dan Sadjiarto (2013) dan Krisnalia (2011)), budaya organisasi (Endrias (2014), Praptadi (2009), dan Kencana (2009)), remunerasi atau insentif ( Palagi et al. (2010), Azis dan Niswah (2013) dan Tarigan (2011)), sistem pengukuran kinerja (Tarigan, 2011) dan pemberdayaan (Praptadi, 2009). Berdasarkan review penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun sudah terdapat banyak penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan dan komitmen terhadap kinerja namun masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Lebih lanjut, penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja di DJP jarang dilakukan. Selain itu, penelitian tentang pengaruh efektifias sistem manajemen kinerja terhadap kinerja masih sangat minim. D. Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Gibson (2008) menyebutkan bahwa kinerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor kepemimpinan. Aspek-aspek kepemimpinan yang meliputi kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan mempengaruhi peningkatan kinerja pegawai (Mahmudi 2010). Gaya kepemimpinan yang sejalan dengan reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan DJP yang menginginkan adanya paradigm baru serta perubahan visi dan misi adalah gaya kepemimpinan transformasional (Affandi 2014). Gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara–cara tertentu. 31 Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses kognitif individu dalam menafsirkan kemampuan pemimpinnya untuk memberikan inspirasi dan motivasi. Indikator kepemimpinan transformasional menurut Bass dalam Nawawi (2012) adalah idealised influence (pengaruh idealis), inspirational motivation (motivasi inspirasional), intellectual stimulation (stimulasi intelektual), individualized consideration (pertimbangan individu). Dalam penelitian, peneliti berargumen bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja. Alasannya adalah gaya kepemimpinan meningkatkan transformasional kinerja pegawai yang melalui efektif dimungkinkan kemampuan pemimpin mampu untuk mengendalikan bawahannya agar bekerja sesuai visi dan misi organisasi, pemberian motivasi dan inspirasi agar bawahan senantiasa optimis dan antusias dalam mencapai target kinerja yang ditentukan, pemberian stimulasi dan dorongan agar bawahan kreatif dan inovatif sehingga mampu menyelesaikan masalah dengan cermat, rasional dan efektif dan kemampuan pemimpin dalam membimbing, mendidik dan melatih bawahan sesuai dengan kebutuhan masingmasing bawahan secara individual. Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ojokuku et al. (2012), Wang et al. (2011), Tongo (2014), Trang et al. (2013), Najundesswaraswamy dan Swamy (2014), Thamrin (2012), Kuswandi et al. (2015), Budiwibowo (2014), 32 Givens (2008), Dvir et al. (2002), Yu et al. (2008), dan Nawawi (2012) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Dari uraian tersebut maka hipotesis pertama disusun sebagai berikut: H1: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja. 2. Pengaruh Komitmen Pegawai terhadap Kinerja Konsep tentang komitmen pegawai berkembang pada studi awal mengenai loyalitas individu yang diharapkan ada pada diri pegawai. Keterikatan kerja yang sangat erat merupakan suatu kondisi yang dirasakan para karyawan, sehingga menimbulkan perilaku positif yang kuat terhadap organisasi kerja yang dimiliki. Menurut Steers (1983), suatu bentuk ikatan kerja yang kuat bukan bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan pelaksanaan tujuan organisasi. Lebih lanjut, karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi akan melakukan usaha maksimal demi tercapainya tujuan organisasi. Mowday et al. (1979) mengemukakan bahwa komitmen organisasi yang kuat akan mendorong para individu untuk berusaha lebih keras dalam mencapai tujuan organisasi. Sehingga komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan organisasi menjadi lebih baik lagi. Dalam penelitian, peneliti berargumen bahwa komitmen pegawai berpengaruh positif terhadap kinerja. Alasannya adalah komitmen pegawai yang tinggi mampu meningkatkan kinerja melalui loyalitas yang tinggi terhadap institusi, motivasi kerja yang tinggi dan bersedia mengorbankan waktu, tenaga 33 dan pikiran lebih dari yang diharapkan untuk memastikan kinerja yang dicapainya sesuai dengan harapan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kashefi et al. (2013), Khyzer dan Tariq (2012), dan Trang et al. (2013), Sappe et al. (2014), Sufari (2013), Krisnalia (2011), Kristin dan Sadjiarto (2013), dan Praptadi (2009) menyimpulkan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja karyawan. Dari uraian tersebut maka hipotesis kedua disusun sebagai berikut: H2: Komitmen pegawai berpengaruh positif terhadap kinerja. 3. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Efektivitas Sistem Manajemen Kinerja Kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses kognitif individu dalam menafsirkan kemampuan pemimpinnya untuk memberikan inspirasi dan motivasi kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab. Yukl (2009) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional sering didefinisikan bagaimana pemimpin memperkuat sikap saling kerjasama dan percaya diri secara kolektif, dan pembelajaran tim. Pemimpin dengan gaya transformasional membuat para karyawannya menjadi lebih menyadari kepentingan dan nilai dari pekerjaan serta membujuk karyawan untuk tidak mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan organisasi. Rajaguguk (2013) mengatakan bahwa sebaik apapun desain sistem manajemen kinerja di Kementerian Keuangan, jika tidak mendapatkan dukungan dari para pimpinan tidak akan memberikan hasil yang optimal. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting agar sebuah sistem manajemen kinerja 34 dapat diimplementasikan dengan sukses. Maleka (2014) mengatakan bahwa untuk dapat membuat sistem manajemen kinerja berjalan efektif diperlukan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan berperan mendorong pemahaman pegawai dan mengawal evolusi sistem manajemen kinerja (Simamora, 2012). Beberapa peneliti telah mencoba mengaitkan antara kepemimpinan dengan implementasi sistem manajemen kinerja. Misalnya, Bush (2005) yang menyebutkan bahwa kepemimpinan yang teguh meminimalisir gagalnya implementasi sistem manajemen kinerja. Manajemen kinerja sangat tergantung pada kepemimpinan dalam hal dukungan dan manajemen perubahan (Jacobson dan Chrisinger, 2013). Temuan Cokins (2006) menyebutkan bahwa kepemimpinan berperan menentukan arah strategi dan memotivasi pegawai pada tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen kinerja. Kurangnya pemahaman, komitmen dan partisipasi pimpinan dalam implementasi sistem manajemen kinerja merupakan hambatan dalam implementasi sistem manajemen kinerja (Kittredge, 2006). Dalam penelitian ini, peneliti berargumen bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap efektivitas sistem manajemen kinerja. Alasannya adalah gaya kepemimpinan transformasional yang efektif mampu meningkatkan efektivitas SMK. Pemimpin yang mampu mengendalikan bawahannya agar bekerja sesuai visi dan misi organisasi dimungkinkan mampu menghubungkan kinerja individu dengan kinerja organisasi melalui sistem manajemen kinerja. Pemimpin yang senantiasa memberi motivasi dan inspirasi membuat bawahan senantiasa optimis dan antusias dalam mencapai tujuan