BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kesiapan individu dalam menghadapi perubahan menjadi hal penting yang
harus diperhatikan dalam setiap proses perubahan. Hal tersebut karena kesiapan
individu untuk berubah mampu menjembatani strategi manajemen perubahan
dengan keluaran yang diharapkan, yaitu kesuksesan implementasi strategi (Palmer
et al., 2009). Pendapat tersebut sesuai Armenakis et al. (1993) yang menyebutkan
bahwa kesiapan untuk menghadapi perubahan merupakan salah satu faktor yang
memberi kontribusi terhadap efektifitas implementasi perubahan. Peran penting
tersebut juga diperkuat oleh Berneth (2004) yang mengemukakan bahwa kesiapan
untuk berubah menjadi faktor penting bagi kesuksesan perubahan organisasi.
Fernandez dan Renay (2006) menyebutkan bahwa sebagai langkah awal
proses perubahan, organisasi perlu memastikan bahwa setiap individu memiliki
kebutuhan dan kesiapan untuk berubah. Menurut Armenakis et al. (1993), salah
satu proses awal yang harus dilakukan dalam perubahan organisasi adalah proses
asesmen untuk mengetahui sejauhmana kesiapan pegawai. Asesmen tersebut
bertujuan untuk membantu pimpinan mengidentifikasi gap antara harapan mereka
dan anggota organisasi yang lainterkait inisiatif perubahan. Apabila dalam
asesmen tersebut ditemukan gap yang signifikan dan tidak segera ditindaklanjuti,
maka resistensi terhadap perubahan akan muncul dan mengancam keberhasilan
implementasi program perubahan (Holt et al., 2007). Pendapat serupa juga
xiv
dikemukakan oleh Eby et al. (2000) yang menyatakan bahwa kesiapan untuk
berubah merupakan salah satu faktor krusial dalam memahami sumber resistensi
organisasi dalam perubahan skala besar.
Kesiapan untuk berubah (readiness for change) adalah keyakinan, sikap
dan intensi anggota organisasi terkait sejauh mana perubahan dibutuhkan oleh
organisasi dan kapasitas organisasi untuk melakukan perubahan tersebut dengan
sukses (Armenakis et al., 1993). Konsep kesiapan untuk berubah dilandaskan
pada tiga model perubahan dari Lewin yang menyiratkan perlunya upaya aktif
pelaku perubahan untuk secara efektif mengarahkan perubahan ketika berada
dalam tahap unfreezing (Stevens, 2013). Sesuai dengan konsep tersebut, menurut
Armenakis et al. (1993) upaya menciptakan kesiapan anggota organisasi untuk
berubah merupakan proses proaktif organisasi dalam menghadapi perubahan.
Menurut
Holt
et
al.
(2007),
kesiapan
untuk
berubah
bersifat
multidimensional, yang terdiri dari 4 (empat) dimensi konstruk, yaitu:
appropriateness, management support, change efficacy, dan personal valence.
Kesiapan untuk berubah sendiri melibatkan munculnya kebutuhan individu untuk
berubah, rasa kemampuan untuk melaksanakan perubahan dengan sukses, dan
peluang individu untuk berpartisipasi dalam proses perubahan (Cunningham et
al., 2002).
Kesiapan untuk berubah pada level individu dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Cunningham et al. (2002), terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yaitu faktor individu, yaitu self-efficacy,
dan faktor lingkungan organisasi, yaitu pekerjaan dan dukungan sosial. Penelitian
2
Shirazi et al. (2011) menyebutkan kesiapan untuk berubah dipengaruhi oleh
variabel individu, variabel konteks, dan variabel proses. Sedangkan menurut
Trahat dan Burke (1996, dalam Cinite et al., 2009), konteks organisasional seperti
struktur organisasi, strategi, sistem, kebijakan dan prosedur, teknologi, gaya
kepemimpinan dan praktik manajerial merupakan anteseden dari kesiapan untuk
berubah.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rafferty et al. (2013)
mengidentifikasi beberapa anteseden kesiapan untuk berubah pada level individu.
Anteseden tersebut terutama berasal dari konteks internal organisasi, yaitu
kepemimpinan transformasional dan persepsi individu terhadap konteks-konteks
organisasional (komunikasi, dukungan organisasi, keselarasan nilai dan nilai-nilai
organisasi).
Kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan merupakan salah satu
anteseden kunci dalam kesiapan untuk berubah. Dalam perilaku tersebut,
pemimpin menemukan cara inovatif untuk beradaptasi dengan lingkungan untuk
kemudian mengimplementasikan perubahan mayor dalam strategi, produk, atau
proses (Yukl, 2013). Beberapa penelitian terdahulu (Metcalfe dan Metcalfe, 2005;
Sminia dan Nistelrooij, 2006; Somerville dan Dyke, 2008; Liu, 2010; McKinsey,
2010; Brummelhuis, 2012; Fugate, 2012; Chemengich, 2013; Rafferty et al.,
2013) menyebutkan peran penting kepemimpinan dalam menciptakan kesiapan
pegawai untuk menghadapi perubahan. Kepemimpinan tersebut tercermin dalam
perilaku kepemimpinan yang sering disebut sebagai gaya kepemimpinan. Salah
satu gaya kepemimpinan yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah adalah
3
gaya kepemimpinan transformasional (Metcalfe dan Metcalfe, 2005; Palmer et al.,
2009; Fugate, 2012; Chemengich, 2013; Rafferty et al., 2013).
Gaya kepemimpinan transformasional merupakan perilaku memimpin
yang mampu menciptakan rasa percaya, penghargaan, loyalitas dan hormat dari
bawahan sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang
diharapkan
oleh
organisasi
(Yukl,
2013).
Seorang
pemimpin
yang
transformasional akan mampu memberikan hasil perubahan organisasi yang
signifikan melalui perilaku memimpin yang mampu meningkatkan motivasi
intrinsik, kepercayaan, komitmen, dan loyalitas dari bawahan (Kreitner dan
Kinicki, 2010). Menurut Bass (1985; 1999, dalam Liu, 2010) perilaku
kepemimpinan transformasional terdiri dari empat dimensi, yaitu pengaruh yang
diidealkan (idealized influence), stimulasi intelektual (intellectual stimulation),
kepedulian secara perseorangan (individual consideration), dan motivasi yang
inspirasional (inspirational motivation).
Selain gaya kepemimpinan, iklim psikologis juga merupakan anteseden
penting dari kesiapan individu untuk berubah (Bouckenooghe dan Devos, 2007;
Bouckenoogheet al., 2009). Menurut McNabb dan Sepic (dalam Periantalo dan
Mansoer, 2008), iklim psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi
kesiapan untuk berubah. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Periantalo dan Mansoer (2008), yang menunjukkan bahwaiklim psikologis
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesiapan untuk berubah pada level
individu.
4
Iklim psikologis (psychological climate) didefinisikan sebagai persepsi
individu terhadap karakteristik lingkungan kerjanya (James dan Sells, 1981;
dalam Burke et al., 2002). Menurut Brown dan Leigh (1996), iklim psikologis
lebih
kepada
bagaimana
lingkungan
organisasi
dipersepsikan
dan
diinterpretasikan oleh individu. Iklim psikologis berbeda dengan iklim organisasi.
Perbedaan tersebut karena iklim psikologis lebih merupakan penilaian individu
sedangkan iklim organisasi merupakan penilaian bersama orang-orang yang
berada dalam kelompok atau tim.
Bouckenooghe dan Devos (2007) menyebutkan empat komponen iklim
psikologis yang berkorelasi positif dengan kesiapan untuk berubah, yaitu
kepercayaan terhadap manajemen atas, persepsi yang positif terhadap sejarah
perubahan organisasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan komunikasi
perubahan yang baik. Dalam penelitian berikutnya, Bouckenooghe et al. (2009)
membagi dimensi tersebut berdasarkan konteks dan proses perubahan. Menurut
Koys dan DeCotiis (1991, dalam Martin dan Bush, 2006), iklim psikologis
bersifat multidimensional dan terdiri dari delapan dimensi, yaitu: dukungan,
penghargaan, keadilan, inovasi, otonomi, kepercayaan, kohesivitas, dan tekanan.
Variabel gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis
merupakan dua hal penting yang menjadi anteseden kesiapan berubah dalam level
individu. Pemimpin transformasional akan mempengaruhi bawahan melalui
perilaku-perilaku yang mampu menciptakan komitmen afektif dan motivasi
intrinsik pegawai untuk melaksanakan agenda perubahan. Sedangkan menurut
Martin et al. (2005, dalam Periantalo dan Mansoer, 2008), pegawai yang
5
mempersepsikan organisasi dan lingkungan kerja secara positif akan lebih mudah
mengikuti perubahan organisasi.
Perubahan organisasi dibutuhkan oleh semua organisasi, termasuk instansi
pemerintah atau sektor publik (Cummings dan Worley, 2008). Kementerian
Keuangan merupakan salah satu organisasi sektor publik di Indonesia yang
memiliki peran strategis dalam tata kelola pemerintahan. Sesuai dengan Peraturan
Presiden
Nomor
24
Tahun
2010,
Kementerian
Keuangan
bertugas
menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Tugas
tersebut memberikan implikasi fungsi lembaga yang sangat luas, meliputi analisis
fiskal, penganggaran, pengumpulan pendapatan negara melalui pajak, bea masuk
serta PNBP, pengelolaan utang, perbendaharaan, perimbangan keuangan,
pengelolaan kekayaan negara termasuk fungsi pengawasan, monitoring dan
koordinasinya.
Dalam melaksanakan peran sebagai pengelola keuangan dan kekayaan
negara, Kementerian Keuangan dihadapkan pada beberapa strategic drivers yang
terus berubah sesuai dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi
tersebut menuntut dilakukannya peningkatan aktivitas pengelolaan keuangan dan
kekayaan negara baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam menjawab
tantangan tersebut, pada tahun 2007 Kementerian Keuangan berkomitmen
melaksanakan program reformasi birokrasi secara fundamental.
Seiring dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan, program
reformasi birokrasi dinilai belum cukup menjawab tuntutan lingkungan eksternal
dan internal organisasi. Kondisi tersebut melandasi keinginan organisasi untuk
6
kembali menyempurnakan reformasi birokrasi melalui suatu program transformasi
kelembagaan yang lebih menyeluruh, dengan visi yang lebih jelas dan terarah.
Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan dilandaskan
pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 186/KMK.01/2013 tentang
Program Transformasi Kelembagaan di lingkungan Kementerian Keuangan dan
KMK Nomor 36/KMK.01/2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi
Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025. Dalam cetak biru
tersebut, telah dirumuskan visi baru Kementerian Keuangan, yaitu menjadi
penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di abad ke-21. Dengan
demikian, program Transformasi Kelembagaan yang dicanangkan saat ini
merupakan bagian dari upaya Kementerian Keuangan untuk mewujudkan visi
barunya melalui peningkatan kinerja organisasi yang lebih signifikan.
Program Tranformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan meliputi tujuh
elemen, yaitu: 1) proses bisnis dan model operasional, 2) teknologi informasi dan
komunikasi, 3) kapasitas, kapabilitas, struktur organisasi, 4) tata kelola, resiko,
dan kepatuhan, 5) manajemen sumber daya manusia, 6) peraturan perundangundangan, dan 7) manajemen perubahan dan komunikasi. Program ini mencakup
sebelas Unit Eselon I Kementerian Keuangan dan difokuskan pada lima Unit
Eselon I Prioritas, yaitu Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran,
Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat
Jenderal Perbendaharaan.
Sekretariat Jenderal merupakan salah satu Unit Eselon I yang menjadi
prioritas dalam program transformasi kelembagaan. Dalam transformasi tersebut,
7
Sekretariat Jenderal mengalami penajaman fungsi dari peran semula sebagai
supporting unit berubah menjadi peran prime mover perubahan organisasi. Hal
tersebut tercermin dari visi baru Sekretariat Jenderal, yaitu sebagai penggerak
utama penyempurnaan berkelanjutan menuju terwujudnya visi Kementerian
Keuangan. Adapun beberapa misinya yang terkait dengan perubahan adalah
menyediakan sumber daya manusia terbaik di kelasnya dan menjadi penggerak
kesempurnaan dalam budaya kinerja.
Sebagai unit yang akan berperan besar dalam mendorong setiap perubahan
organisasi, termasuk program Transformasi Kelembagaan, Sekretariat Jenderal
dituntut untuk selalu siap menerima perubahan. Konsekuensinya, pegawai di
lingkungan Sekretariat Jenderal juga dituntut untuk selalu siap menerima setiap
perubahan yang akan digulirkan. Oleh karena itu, kesiapan pegawai di lingkungan
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan menjadi hal yang sangat diperlukan
dalam langkah awal Transformasi Kelembagaan.
Hingga saat ini belum pernah dilakukan survei terkait kesiapan untuk
berubah pada pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal. Survei kesiapan untuk
berubah yang pernah dilakukan Kementerian Keuangan pada tahun 2012 hanya
sebatas pada level organisasi dan belum menyentuh level individu. Sedangkan
penelitian terdahulu oleh Hendarti (2010) hanya sebatas pada unit Direktorat
Jenderal Anggaran dan bukan berada pada konteks transformasi kelembagaan.
Dengan adanya penelitian terkait kesiapan untuk berubah pegawai di lingkungan
Sekretariat Jenderal pada konteks transformasi kelembagaan, Sekretariat Jenderal
akan lebih memiliki gambaran tentang kesiapan pegawai dalam menghadapi
8
transformasi sehingga lebih mudah memahami dan mengimplementasikan
langkah-langkah tepat untuk menunjang pelaksanaan program.
Berdasarkan berbagai fakta dan gambaran tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan kajian terkait kesiapan untuk berubah pegawai di lingkungan
Sekretariat
Jenderal
dan
bagaimana
pengaruh
gaya
kepemimpinan
transformasional dan iklim psikologis terhadap kesiapan untuk berubah pada
pegawai di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
1.2. Rumusan Masalah
Proses transformasi organisasi bukan merupakan proses yang tidak
memiliki resiko. Perubahan yang ditimbulkan oleh proses tersebut bersifat sangat
kompleks sehingga memiliki potensi resiko yang tinggi. Pendapat ini diperkuat
dengan fakta bahwa sebagian besar upaya transformasi organisasi mengalami
kegagalan (Beer dan Noria, 2000, dalam Rafferty, 2013). Penelitian McKinsey
(2010) menunjukkan hanya sekitar 30 persen dari program transformasi skala
besar yang berhasil mencapai target yang diharapkan, sedangkan sekitar 70 persen
mengalami kegagalan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Schaffer dan
Thompson (1992, dalam Song, 2009) menunjukkan hanya sebanyak 10 persen
perusahaan yang berhasil mengimplementasikan program perubahan Total
Quality Management sedangkan 63 persen lainnya gagal meraih perbaikan
kualitas. Dari berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan transformasi, faktor
manusia (SDM) dan faktor organisasi yang paling mendominasi.
9
Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan meliputi
komponen organisasi yang sangat luas sehingga memerlukan dukungan sumber
daya dan komitmen organisasional yang sangat besar. Kegagalan implementasi
program tidak hanya akan merugikan organisasi dari sisi sumber daya, namun
juga mempengaruhi kredibilitas organisasi dalam jangka panjang sebagai salah
satu pionir dalam reformasi birokrasi pemerintah. Oleh karena itu kesuksesan
implementasi strategi perubahan menjadi tujuan utama yang harus dicapai dalam
Program Transformasi Kelembagaan.
Dalam proses transformasi tersebut, faktor manusia memainkan peran
penting bagi kesuksesan program. Untuk memastikan keberhasilan implementasi
program, diperlukan anggota organisasi yang siap dan mampu melaksanakan
perubahan. Tingkat urgensi ini semakin tinggi apabila anggota organisasi tersebut
berada pada unit kerja yang berperan sebagai prime mover organisasi. Di
lingkungan Kementerian Keuangan, peran prime mover perubahan berada pada
unit Sekretariat Jenderal, oleh karena itu pegawai-pegawai yang berada di
dalamnya harus terlebih dahulu siap menerima perubahan dalam rangka program
Transformasi Kelembagaan.
Di sisi lain, berdasarkan hasil wawancara awal dengan Kepala Biro SDM
Kementerian Keuangan pada tanggal 3 Februari 2014, faktor kepemimpinan dan
iklim psikologis menjadi dua hal yang perlu diperhatikan sekaligus dikelola untuk
menunjang keberhasilan program Transformasi Kelembagaan. Kepemimpinan
dipandang sebagai komponen yang paling penting sekaligus paling perlu menjadi
prioritas pengembangan organisasi pada saat ini. Hal ini dikarenakan peran
10
seorang pemimpin sebagai change leader yang harus terlebih dahulu siap
menerima perubahan agar kemudian mampu menggerakkan bawahan untuk
berubah. Adapun persepsi pegawai yang kurang memandang positif terhadap
lingkungan kerja dinilai dapat menghambat proses transformasi karena pegawai
tersebut cenderung pesimistis dan enggan untuk berubah.
Mempertimbangkan
peran
penting kesiapan untuk
berubah
bagi
kesuksesan implementasi strategi dan peran kepemimpinan transformasional serta
iklim psikologis sebagai anteseden pentingnya, perlu dikaji lebih lanjut bagaimana
pengaruh kedua anteseden tersebut terhadap kesiapan untuk berubah dalam
konteks transformasi kelembagaan di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
Selain itu, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan perlu mengetahui
bagaimana gambaran kesiapan untuk berubah pada level individu sebagai salah
satu proses awal yang diperlukan dalam program transformasi kelembagaan, yang
hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian pada level individu/pegawai.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan di atas, dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kesiapan
untuk berubah pegawai?
2. Apakah iklim psikologis berpengaruh positif pada kesiapan untuk berubah
pegawai?
11
1.4.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian
ini
adalah
untuk
menguji
dan
menganalisis
pengaruh
kepemimpinan
transformasional dan iklim psikologis pada kesiapan untuk berubah pegawai.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Secara Teoritis
Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah:
1. Dapat meningkatkan pemahaman dinamika perubahan organisasi sektor
publik di Indonesia. Perubahan organisasi pada sektor publik terkadang sulit
dicermati karena keunikan budaya birokrasi dan delegasi wewenang dengan
rentang kendali yang sangat besar.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi kajian perubahan organisasi, khususnya
terkaitvariabel kesiapan untuk berubah, kepemimpinan transformasional dan
iklim psikologis. Kajian kesiapan untuk berubah pada level individu sangat
terbatas. Beberapa literatur lebih banyak membahas mengenai resistensi
terhadap perubahan dan upaya mengatasinya daripada kesiapan untuk berubah
dan upaya mengembangkannya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu referensi bagi penelitian berikutnya.
1.5.2. Secara Praktis
Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah:
12
1. Memberikan kontribusi berupa gambaran yang lebih valid mengenai kondsi
kesiapan untuk berubah pegawai di Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan. Dengan analisis yang didasarkan pada penelitian empiris,
diharapkan organisasi dapat merumuskan langkah-langkah yang lebih tepat
dalam pengelolaan perubahan level individu.
2. Menjadi salah satu acuan bagi tim manajemen sumber daya manusia dan
referensi awal bagi tim manajemen perubahan dalam memetakan kesiapan
untuk berubah pegawai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi early
warning sekaligus bahan penyempurnaan strategi perubahan dalam rangka
transformasi kelembagaan.
1.6.
Batasan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Unit Eselon I Sekretariat Jenderal
Kementerian
Keuangan.
Pembatasan
subjek
penelitian
tersebut
dengan
pertimbangan peran strategis unit tersebut sebagai prime mover perubahan
organisasi. Selain itu, berdasarkan ketentuan Sekretariat Jenderal ditetapkan
sebagai salah satu unit prioritas dalam proses transformasi kelembagaan. Oleh
karena itu agar mampu melaksanakan perannya dalam menggerakkan perubahaan
lingkup Kementerian Keuangan, pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal
terlebih dahulu harus memiliki kesiapan untuk menghadapi perubahan.
Mempertimbangkan
dinamika
perubahan
organisasi
yang
sangat
kompleks, penelitian ini hanya akan mengkaji kesiapan untuk berubah pada level
individu dan dua antesedennya, yaitu kepemimpinan transformasional dan iklim
13
psikologis. Kesiapan untuk berubah tersebut didasarkan pada definisi yang
dikemukakan oleh Holt et al. (2007), dengan empat dimensi variabel, yaitu:
appropriateness, management support, change efficacy, dan personal valence.
Kajian kepemimpinan juga mencakup area yang sangat luas sehingga
perlu diberikan batasan-batasan. Kajian kepemimpinan dalam penelitian ini akan
difokuskan pada perilaku kepemimpinan transformasional yang secara spesifik
terkait dengan perubahan. Kepemimpinan transformasional secara konseptual
akan didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Bass, yang terdiri dari empat
dimensi, yaitu pengaruh yang diidealkan (idealized influence), stimulasi
intelektual (intellectual stimulation), kepedulian secara perseorangan (individual
consideration), dan motivasi yang inspirasional (inspirational motivation).
Batasan dari iklim psikologis adalah persepsi individu terhadap
karakteristik lingkungan kerjanya, dan variabel ini bersifat multidimensional.
Mempertimbangkan karakteristik lingkungan kerja dalam suatu organisasi
mencakup komponen yang sangat luas, penelitian ini akan menggunakan konsep
iklim psikologis yang dikemukakan oleh Brown dan Leigh (1996) yang
merumuskan iklim psikologis dalam enam (6) dimensi, yaitu manajemen yang
mendukung (supportive management), kejelasan ekspektasi peran dan situasi
kerja (clarity), ekspresi diri (self-expression), persepsi kebermaknaan atas
kontribusinya
(perceived
meaningfulness
of
contribution),
penghargaan
(recognition), dan tantangan pekerjaan (job challenges).
14
1.7.
Sistematika Penulisan
Laporan penelitian tesis ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing
bab memiliki sub-sub bab yang akan memperinci penjelasan judul bab. Adapun
penjelasan dari masing-masing sub bab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bab 1 berisi pendahuluan yang memuat informasi terkait latar belakang
masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penelitian.
2. Bab 2 merupakan landasan teori dan hipotesis, yang berisi konsep teori terkait
dengan variabel penelitian yaitu kesiapan untuk berubah, gaya kepemimpinan
transformasional, dan iklim psikologis. Berbagai landasan teori tersebut akan
membangun konstruk teori sebagai dasar penyusunan hipotesis penelitian.
3. Bab 3 adalah metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari rancangan
penelitian, definisi operasional yang digunakan, populasi dan sampel,
instrumen penelitian, pengumpulan data, dan metode analisis data.
4. Bab 4 berisi hasil penelitian dan pembahasan, meliputi deskripsi data,
pengujian hipotesis, dan pembahasan.
5. Bab 5 merupakan bagian yang terakhir dari penelitian, yang akan berisi
kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian.
.
15
Download