BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kesiapan individu dalam menghadapi perubahan menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam setiap proses perubahan. Hal tersebut karena kesiapan individu untuk berubah mampu menjembatani strategi manajemen perubahan dengan keluaran yang diharapkan, yaitu kesuksesan implementasi strategi (Palmer et al., 2009). Pendapat tersebut sesuai Armenakis et al. (1993) yang menyebutkan bahwa kesiapan untuk menghadapi perubahan merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi terhadap efektifitas implementasi perubahan. Peran penting tersebut juga diperkuat oleh Berneth (2004) yang mengemukakan bahwa kesiapan untuk berubah menjadi faktor penting bagi kesuksesan perubahan organisasi. Fernandez dan Renay (2006) menyebutkan bahwa sebagai langkah awal proses perubahan, organisasi perlu memastikan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan dan kesiapan untuk berubah. Menurut Armenakis et al. (1993), salah satu proses awal yang harus dilakukan dalam perubahan organisasi adalah proses asesmen untuk mengetahui sejauhmana kesiapan pegawai. Asesmen tersebut bertujuan untuk membantu pimpinan mengidentifikasi gap antara harapan mereka dan anggota organisasi yang lainterkait inisiatif perubahan. Apabila dalam asesmen tersebut ditemukan gap yang signifikan dan tidak segera ditindaklanjuti, maka resistensi terhadap perubahan akan muncul dan mengancam keberhasilan implementasi program perubahan (Holt et al., 2007). Pendapat serupa juga xiv dikemukakan oleh Eby et al. (2000) yang menyatakan bahwa kesiapan untuk berubah merupakan salah satu faktor krusial dalam memahami sumber resistensi organisasi dalam perubahan skala besar. Kesiapan untuk berubah (readiness for change) adalah keyakinan, sikap dan intensi anggota organisasi terkait sejauh mana perubahan dibutuhkan oleh organisasi dan kapasitas organisasi untuk melakukan perubahan tersebut dengan sukses (Armenakis et al., 1993). Konsep kesiapan untuk berubah dilandaskan pada tiga model perubahan dari Lewin yang menyiratkan perlunya upaya aktif pelaku perubahan untuk secara efektif mengarahkan perubahan ketika berada dalam tahap unfreezing (Stevens, 2013). Sesuai dengan konsep tersebut, menurut Armenakis et al. (1993) upaya menciptakan kesiapan anggota organisasi untuk berubah merupakan proses proaktif organisasi dalam menghadapi perubahan. Menurut Holt et al. (2007), kesiapan untuk berubah bersifat multidimensional, yang terdiri dari 4 (empat) dimensi konstruk, yaitu: appropriateness, management support, change efficacy, dan personal valence. Kesiapan untuk berubah sendiri melibatkan munculnya kebutuhan individu untuk berubah, rasa kemampuan untuk melaksanakan perubahan dengan sukses, dan peluang individu untuk berpartisipasi dalam proses perubahan (Cunningham et al., 2002). Kesiapan untuk berubah pada level individu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Cunningham et al. (2002), terdapat dua faktor yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yaitu faktor individu, yaitu self-efficacy, dan faktor lingkungan organisasi, yaitu pekerjaan dan dukungan sosial. Penelitian 2 Shirazi et al. (2011) menyebutkan kesiapan untuk berubah dipengaruhi oleh variabel individu, variabel konteks, dan variabel proses. Sedangkan menurut Trahat dan Burke (1996, dalam Cinite et al., 2009), konteks organisasional seperti struktur organisasi, strategi, sistem, kebijakan dan prosedur, teknologi, gaya kepemimpinan dan praktik manajerial merupakan anteseden dari kesiapan untuk berubah. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rafferty et al. (2013) mengidentifikasi beberapa anteseden kesiapan untuk berubah pada level individu. Anteseden tersebut terutama berasal dari konteks internal organisasi, yaitu kepemimpinan transformasional dan persepsi individu terhadap konteks-konteks organisasional (komunikasi, dukungan organisasi, keselarasan nilai dan nilai-nilai organisasi). Kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan merupakan salah satu anteseden kunci dalam kesiapan untuk berubah. Dalam perilaku tersebut, pemimpin menemukan cara inovatif untuk beradaptasi dengan lingkungan untuk kemudian mengimplementasikan perubahan mayor dalam strategi, produk, atau proses (Yukl, 2013). Beberapa penelitian terdahulu (Metcalfe dan Metcalfe, 2005; Sminia dan Nistelrooij, 2006; Somerville dan Dyke, 2008; Liu, 2010; McKinsey, 2010; Brummelhuis, 2012; Fugate, 2012; Chemengich, 2013; Rafferty et al., 2013) menyebutkan peran penting kepemimpinan dalam menciptakan kesiapan pegawai untuk menghadapi perubahan. Kepemimpinan tersebut tercermin dalam perilaku kepemimpinan yang sering disebut sebagai gaya kepemimpinan. Salah satu gaya kepemimpinan yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah adalah 3 gaya kepemimpinan transformasional (Metcalfe dan Metcalfe, 2005; Palmer et al., 2009; Fugate, 2012; Chemengich, 2013; Rafferty et al., 2013). Gaya kepemimpinan transformasional merupakan perilaku memimpin yang mampu menciptakan rasa percaya, penghargaan, loyalitas dan hormat dari bawahan sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari apa yang diharapkan oleh organisasi (Yukl, 2013). Seorang pemimpin yang transformasional akan mampu memberikan hasil perubahan organisasi yang signifikan melalui perilaku memimpin yang mampu meningkatkan motivasi intrinsik, kepercayaan, komitmen, dan loyalitas dari bawahan (Kreitner dan Kinicki, 2010). Menurut Bass (1985; 1999, dalam Liu, 2010) perilaku kepemimpinan transformasional terdiri dari empat dimensi, yaitu pengaruh yang diidealkan (idealized influence), stimulasi intelektual (intellectual stimulation), kepedulian secara perseorangan (individual consideration), dan motivasi yang inspirasional (inspirational motivation). Selain gaya kepemimpinan, iklim psikologis juga merupakan anteseden penting dari kesiapan individu untuk berubah (Bouckenooghe dan Devos, 2007; Bouckenoogheet al., 2009). Menurut McNabb dan Sepic (dalam Periantalo dan Mansoer, 2008), iklim psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi kesiapan untuk berubah. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Periantalo dan Mansoer (2008), yang menunjukkan bahwaiklim psikologis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesiapan untuk berubah pada level individu. 4 Iklim psikologis (psychological climate) didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap karakteristik lingkungan kerjanya (James dan Sells, 1981; dalam Burke et al., 2002). Menurut Brown dan Leigh (1996), iklim psikologis lebih kepada bagaimana lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh individu. Iklim psikologis berbeda dengan iklim organisasi. Perbedaan tersebut karena iklim psikologis lebih merupakan penilaian individu sedangkan iklim organisasi merupakan penilaian bersama orang-orang yang berada dalam kelompok atau tim. Bouckenooghe dan Devos (2007) menyebutkan empat komponen iklim psikologis yang berkorelasi positif dengan kesiapan untuk berubah, yaitu kepercayaan terhadap manajemen atas, persepsi yang positif terhadap sejarah perubahan organisasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan komunikasi perubahan yang baik. Dalam penelitian berikutnya, Bouckenooghe et al. (2009) membagi dimensi tersebut berdasarkan konteks dan proses perubahan. Menurut Koys dan DeCotiis (1991, dalam Martin dan Bush, 2006), iklim psikologis bersifat multidimensional dan terdiri dari delapan dimensi, yaitu: dukungan, penghargaan, keadilan, inovasi, otonomi, kepercayaan, kohesivitas, dan tekanan. Variabel gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis merupakan dua hal penting yang menjadi anteseden kesiapan berubah dalam level individu. Pemimpin transformasional akan mempengaruhi bawahan melalui perilaku-perilaku yang mampu menciptakan komitmen afektif dan motivasi intrinsik pegawai untuk melaksanakan agenda perubahan. Sedangkan menurut Martin et al. (2005, dalam Periantalo dan Mansoer, 2008), pegawai yang 5 mempersepsikan organisasi dan lingkungan kerja secara positif akan lebih mudah mengikuti perubahan organisasi. Perubahan organisasi dibutuhkan oleh semua organisasi, termasuk instansi pemerintah atau sektor publik (Cummings dan Worley, 2008). Kementerian Keuangan merupakan salah satu organisasi sektor publik di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam tata kelola pemerintahan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010, Kementerian Keuangan bertugas menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Tugas tersebut memberikan implikasi fungsi lembaga yang sangat luas, meliputi analisis fiskal, penganggaran, pengumpulan pendapatan negara melalui pajak, bea masuk serta PNBP, pengelolaan utang, perbendaharaan, perimbangan keuangan, pengelolaan kekayaan negara termasuk fungsi pengawasan, monitoring dan koordinasinya. Dalam melaksanakan peran sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Kementerian Keuangan dihadapkan pada beberapa strategic drivers yang terus berubah sesuai dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kondisi tersebut menuntut dilakukannya peningkatan aktivitas pengelolaan keuangan dan kekayaan negara baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam menjawab tantangan tersebut, pada tahun 2007 Kementerian Keuangan berkomitmen melaksanakan program reformasi birokrasi secara fundamental. Seiring dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan, program reformasi birokrasi dinilai belum cukup menjawab tuntutan lingkungan eksternal dan internal organisasi. Kondisi tersebut melandasi keinginan organisasi untuk 6 kembali menyempurnakan reformasi birokrasi melalui suatu program transformasi kelembagaan yang lebih menyeluruh, dengan visi yang lebih jelas dan terarah. Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan dilandaskan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 186/KMK.01/2013 tentang Program Transformasi Kelembagaan di lingkungan Kementerian Keuangan dan KMK Nomor 36/KMK.01/2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025. Dalam cetak biru tersebut, telah dirumuskan visi baru Kementerian Keuangan, yaitu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di abad ke-21. Dengan demikian, program Transformasi Kelembagaan yang dicanangkan saat ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Keuangan untuk mewujudkan visi barunya melalui peningkatan kinerja organisasi yang lebih signifikan. Program Tranformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan meliputi tujuh elemen, yaitu: 1) proses bisnis dan model operasional, 2) teknologi informasi dan komunikasi, 3) kapasitas, kapabilitas, struktur organisasi, 4) tata kelola, resiko, dan kepatuhan, 5) manajemen sumber daya manusia, 6) peraturan perundangundangan, dan 7) manajemen perubahan dan komunikasi. Program ini mencakup sebelas Unit Eselon I Kementerian Keuangan dan difokuskan pada lima Unit Eselon I Prioritas, yaitu Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Sekretariat Jenderal merupakan salah satu Unit Eselon I yang menjadi prioritas dalam program transformasi kelembagaan. Dalam transformasi tersebut, 7 Sekretariat Jenderal mengalami penajaman fungsi dari peran semula sebagai supporting unit berubah menjadi peran prime mover perubahan organisasi. Hal tersebut tercermin dari visi baru Sekretariat Jenderal, yaitu sebagai penggerak utama penyempurnaan berkelanjutan menuju terwujudnya visi Kementerian Keuangan. Adapun beberapa misinya yang terkait dengan perubahan adalah menyediakan sumber daya manusia terbaik di kelasnya dan menjadi penggerak kesempurnaan dalam budaya kinerja. Sebagai unit yang akan berperan besar dalam mendorong setiap perubahan organisasi, termasuk program Transformasi Kelembagaan, Sekretariat Jenderal dituntut untuk selalu siap menerima perubahan. Konsekuensinya, pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal juga dituntut untuk selalu siap menerima setiap perubahan yang akan digulirkan. Oleh karena itu, kesiapan pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan menjadi hal yang sangat diperlukan dalam langkah awal Transformasi Kelembagaan. Hingga saat ini belum pernah dilakukan survei terkait kesiapan untuk berubah pada pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal. Survei kesiapan untuk berubah yang pernah dilakukan Kementerian Keuangan pada tahun 2012 hanya sebatas pada level organisasi dan belum menyentuh level individu. Sedangkan penelitian terdahulu oleh Hendarti (2010) hanya sebatas pada unit Direktorat Jenderal Anggaran dan bukan berada pada konteks transformasi kelembagaan. Dengan adanya penelitian terkait kesiapan untuk berubah pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal pada konteks transformasi kelembagaan, Sekretariat Jenderal akan lebih memiliki gambaran tentang kesiapan pegawai dalam menghadapi 8 transformasi sehingga lebih mudah memahami dan mengimplementasikan langkah-langkah tepat untuk menunjang pelaksanaan program. Berdasarkan berbagai fakta dan gambaran tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan kajian terkait kesiapan untuk berubah pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal dan bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis terhadap kesiapan untuk berubah pada pegawai di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. 1.2. Rumusan Masalah Proses transformasi organisasi bukan merupakan proses yang tidak memiliki resiko. Perubahan yang ditimbulkan oleh proses tersebut bersifat sangat kompleks sehingga memiliki potensi resiko yang tinggi. Pendapat ini diperkuat dengan fakta bahwa sebagian besar upaya transformasi organisasi mengalami kegagalan (Beer dan Noria, 2000, dalam Rafferty, 2013). Penelitian McKinsey (2010) menunjukkan hanya sekitar 30 persen dari program transformasi skala besar yang berhasil mencapai target yang diharapkan, sedangkan sekitar 70 persen mengalami kegagalan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Schaffer dan Thompson (1992, dalam Song, 2009) menunjukkan hanya sebanyak 10 persen perusahaan yang berhasil mengimplementasikan program perubahan Total Quality Management sedangkan 63 persen lainnya gagal meraih perbaikan kualitas. Dari berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan transformasi, faktor manusia (SDM) dan faktor organisasi yang paling mendominasi. 9 Program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan meliputi komponen organisasi yang sangat luas sehingga memerlukan dukungan sumber daya dan komitmen organisasional yang sangat besar. Kegagalan implementasi program tidak hanya akan merugikan organisasi dari sisi sumber daya, namun juga mempengaruhi kredibilitas organisasi dalam jangka panjang sebagai salah satu pionir dalam reformasi birokrasi pemerintah. Oleh karena itu kesuksesan implementasi strategi perubahan menjadi tujuan utama yang harus dicapai dalam Program Transformasi Kelembagaan. Dalam proses transformasi tersebut, faktor manusia memainkan peran penting bagi kesuksesan program. Untuk memastikan keberhasilan implementasi program, diperlukan anggota organisasi yang siap dan mampu melaksanakan perubahan. Tingkat urgensi ini semakin tinggi apabila anggota organisasi tersebut berada pada unit kerja yang berperan sebagai prime mover organisasi. Di lingkungan Kementerian Keuangan, peran prime mover perubahan berada pada unit Sekretariat Jenderal, oleh karena itu pegawai-pegawai yang berada di dalamnya harus terlebih dahulu siap menerima perubahan dalam rangka program Transformasi Kelembagaan. Di sisi lain, berdasarkan hasil wawancara awal dengan Kepala Biro SDM Kementerian Keuangan pada tanggal 3 Februari 2014, faktor kepemimpinan dan iklim psikologis menjadi dua hal yang perlu diperhatikan sekaligus dikelola untuk menunjang keberhasilan program Transformasi Kelembagaan. Kepemimpinan dipandang sebagai komponen yang paling penting sekaligus paling perlu menjadi prioritas pengembangan organisasi pada saat ini. Hal ini dikarenakan peran 10 seorang pemimpin sebagai change leader yang harus terlebih dahulu siap menerima perubahan agar kemudian mampu menggerakkan bawahan untuk berubah. Adapun persepsi pegawai yang kurang memandang positif terhadap lingkungan kerja dinilai dapat menghambat proses transformasi karena pegawai tersebut cenderung pesimistis dan enggan untuk berubah. Mempertimbangkan peran penting kesiapan untuk berubah bagi kesuksesan implementasi strategi dan peran kepemimpinan transformasional serta iklim psikologis sebagai anteseden pentingnya, perlu dikaji lebih lanjut bagaimana pengaruh kedua anteseden tersebut terhadap kesiapan untuk berubah dalam konteks transformasi kelembagaan di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Selain itu, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan perlu mengetahui bagaimana gambaran kesiapan untuk berubah pada level individu sebagai salah satu proses awal yang diperlukan dalam program transformasi kelembagaan, yang hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian pada level individu/pegawai. 1.3. Pertanyaan Penelitian Sesuai dengan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kesiapan untuk berubah pegawai? 2. Apakah iklim psikologis berpengaruh positif pada kesiapan untuk berubah pegawai? 11 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis pada kesiapan untuk berubah pegawai. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Secara Teoritis Manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah: 1. Dapat meningkatkan pemahaman dinamika perubahan organisasi sektor publik di Indonesia. Perubahan organisasi pada sektor publik terkadang sulit dicermati karena keunikan budaya birokrasi dan delegasi wewenang dengan rentang kendali yang sangat besar. 2. Dapat memberikan kontribusi bagi kajian perubahan organisasi, khususnya terkaitvariabel kesiapan untuk berubah, kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis. Kajian kesiapan untuk berubah pada level individu sangat terbatas. Beberapa literatur lebih banyak membahas mengenai resistensi terhadap perubahan dan upaya mengatasinya daripada kesiapan untuk berubah dan upaya mengembangkannya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi penelitian berikutnya. 1.5.2. Secara Praktis Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah: 12 1. Memberikan kontribusi berupa gambaran yang lebih valid mengenai kondsi kesiapan untuk berubah pegawai di Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Dengan analisis yang didasarkan pada penelitian empiris, diharapkan organisasi dapat merumuskan langkah-langkah yang lebih tepat dalam pengelolaan perubahan level individu. 2. Menjadi salah satu acuan bagi tim manajemen sumber daya manusia dan referensi awal bagi tim manajemen perubahan dalam memetakan kesiapan untuk berubah pegawai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi early warning sekaligus bahan penyempurnaan strategi perubahan dalam rangka transformasi kelembagaan. 1.6. Batasan Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada Unit Eselon I Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pembatasan subjek penelitian tersebut dengan pertimbangan peran strategis unit tersebut sebagai prime mover perubahan organisasi. Selain itu, berdasarkan ketentuan Sekretariat Jenderal ditetapkan sebagai salah satu unit prioritas dalam proses transformasi kelembagaan. Oleh karena itu agar mampu melaksanakan perannya dalam menggerakkan perubahaan lingkup Kementerian Keuangan, pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal terlebih dahulu harus memiliki kesiapan untuk menghadapi perubahan. Mempertimbangkan dinamika perubahan organisasi yang sangat kompleks, penelitian ini hanya akan mengkaji kesiapan untuk berubah pada level individu dan dua antesedennya, yaitu kepemimpinan transformasional dan iklim 13 psikologis. Kesiapan untuk berubah tersebut didasarkan pada definisi yang dikemukakan oleh Holt et al. (2007), dengan empat dimensi variabel, yaitu: appropriateness, management support, change efficacy, dan personal valence. Kajian kepemimpinan juga mencakup area yang sangat luas sehingga perlu diberikan batasan-batasan. Kajian kepemimpinan dalam penelitian ini akan difokuskan pada perilaku kepemimpinan transformasional yang secara spesifik terkait dengan perubahan. Kepemimpinan transformasional secara konseptual akan didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Bass, yang terdiri dari empat dimensi, yaitu pengaruh yang diidealkan (idealized influence), stimulasi intelektual (intellectual stimulation), kepedulian secara perseorangan (individual consideration), dan motivasi yang inspirasional (inspirational motivation). Batasan dari iklim psikologis adalah persepsi individu terhadap karakteristik lingkungan kerjanya, dan variabel ini bersifat multidimensional. Mempertimbangkan karakteristik lingkungan kerja dalam suatu organisasi mencakup komponen yang sangat luas, penelitian ini akan menggunakan konsep iklim psikologis yang dikemukakan oleh Brown dan Leigh (1996) yang merumuskan iklim psikologis dalam enam (6) dimensi, yaitu manajemen yang mendukung (supportive management), kejelasan ekspektasi peran dan situasi kerja (clarity), ekspresi diri (self-expression), persepsi kebermaknaan atas kontribusinya (perceived meaningfulness of contribution), penghargaan (recognition), dan tantangan pekerjaan (job challenges). 14 1.7. Sistematika Penulisan Laporan penelitian tesis ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab memiliki sub-sub bab yang akan memperinci penjelasan judul bab. Adapun penjelasan dari masing-masing sub bab tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bab 1 berisi pendahuluan yang memuat informasi terkait latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penelitian. 2. Bab 2 merupakan landasan teori dan hipotesis, yang berisi konsep teori terkait dengan variabel penelitian yaitu kesiapan untuk berubah, gaya kepemimpinan transformasional, dan iklim psikologis. Berbagai landasan teori tersebut akan membangun konstruk teori sebagai dasar penyusunan hipotesis penelitian. 3. Bab 3 adalah metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari rancangan penelitian, definisi operasional yang digunakan, populasi dan sampel, instrumen penelitian, pengumpulan data, dan metode analisis data. 4. Bab 4 berisi hasil penelitian dan pembahasan, meliputi deskripsi data, pengujian hipotesis, dan pembahasan. 5. Bab 5 merupakan bagian yang terakhir dari penelitian, yang akan berisi kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian. . 15