BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, timah hitam, timah putih, tembaga, bauxite, mangan, dan mineral berharga lainnya. Untuk mengolah mineral-mineral tersebut, terutama mineral logam, diperlukan fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang agar dapat memberikan peningkatan nilai tambah mineral (added value). Peningkatan nilai tambah mineral ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku sumber daya mineral di dalam negeri, meningkatkan penerimaan negara dan menumbuhkan industri manufaktur di dalam negeri. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengolahan dan pemurnian mineral harus dilakukan di dalam negeri, sehingga terjadi peningkatan nilai tambah dan pengendalian produksi komoditas mineral. Pemerintah akan terus mengawal dan mengawasi pelaksanaan kebijakan peningkatan nilai tambah ini. Kebijakan peningkatan nilai tambah ini diterapkan bukan tanpa dasar dan tujuan yang jelas. Isu yang berkembang beberapa tahun belakangan ini adalah tingginya ekspor bahan baku hasil tambang yang seolah-olah “menjual tanah air”, sehingga 2 dikhawatirkan ketersediaan bahan baku tidak akan mencukupi kebutuhan industriindustri sektor hilir di dalam negeri.1 Adapun tujuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) adalah agar Indonesia dapat merasakan nilai tambah dari produk-produk tambang dan mineral sehingga dapat meningkatkan produk domestik bruto dan bahkan jika produk turunan dari peraturan tersebut diimplementasikan dengan baik dapat memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat lokal dengan didirikannya pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Selama tiga tahun terakhir setelah UU Minerba diterbitkan, secara nasional ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%.2 Berdasarkan Tabel 1 dibawah ini menunjukkan bahwa ekspor Nikel pada tahun 2010 hingga 2013 terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan dengan tahun 2014 menunjukkan ekspor bijih mineral mengalami penurunan hal ini sebagai akibat dari lahirnya kebijakan pemerintah mengenai larangan ekspor mineral mentah. Dapat dilihat pada Tabel 1 berikut dibawah ini yang menunjukkan bahwa ekspor bijih mineral (raw ore) pada tahun 2014 hanya sebesar 4,160,120.7 Ton. 1 http://esdm.go.id/berita/mineral/43-mineral/6568-tidak-ada-toleransi-untuk-smelter.html, Tidak Ada Toleransi Untuk Smelter, dipublikasikan pada Senin 04 November 2013, diakses pada tanggal 18 Desember 2015. 2 Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral, Jakarta, Oktober, 2013. 3 Jumlah tersebut sangat menurun drastis apbila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 13 Ekspor Bijih Nikel Menurut Negara Tujuan Utama, 2010-2014 Negara Tujuan 2010 2011 2012 2013 2014 Berat Bersih: ton Jepang 1,453,681.6 Tiongkok Australia Swiss 1) 1,979,405.2 58,604,651. 8 1,568,855.0 80,524.0 3,989,893. 9 51,170.0 14,346,464.2 1,861,407.7 36,142,280. 6 1,552,241.3 43,095,682. 4 844,789.0 956,954.0 1,454,765.0 50,179.0 - - - 0.0 38,532.8 Yunani 240,937.9 573,617.4 643,872.4 459,370.6 Ukraina 629,979.7 710,054.1 1,200,768.3 1,481,769.1 0.0 502,062.7 48,449,392. 1 708,805.4 64,802,857. 1 0.0 4,160,120. 7 Lainnya Jumlah 16.0 17,566,047.4 547,851.0 40,792,164. 8 Catatan: 1) Berdasarkan Keppres No.12/2014 tentang penggunaan kata Tiongkok untuk menggantikan kata Cina Pelaksanaan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian diharapkan (smelter) akan memperkuat dan mengembangkan proses hilirisasi subsektor mineral dan batubara terutama akan memperkuat struktur industri hilir nasional. Pembangunan pabrik pemurnian bernilai strategis dalam rangka pengelolaan sumber daya energi dan mineral untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan four track stategy yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, yaitu Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Environment.4 Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri adalah ekspor terhadap mineral mentah harus 3 Diolah dari http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1126, diakses pada tanggal 14 Februari 2016. 4 Ibid. 4 dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya.5 Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan pertimbangannya secara khusus sebagai berikut:6 “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.” Kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau di ekspor. Mendekati diberlakukannya kebijakan penghentian ekspor bahan mentah produk mineral ini, ekspor bahan mentah meningkat tajam hingga berkali-kali lipat dan jika terus berlanjut, dikhawatirkan Indonesia akan kehabisan bahan baku, 5 Yusril Ihza Mahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 10/PUUXII/2014, tanggal 1 September 2014, hlm.7. 6 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 10/PUU-XII/2014, hlm. 175. 5 karena itu, Pemerintah dengan dukungan dari DPR dengan tegas melarang bahan mentah mineral. Jero Wacik, Menteri ESDM yang menjabat pada saat itu mengatakan bahwa ekspor tanah air cukup sudah, sekarang saatnya meningkatkan nilai tambah produk tersebut untuk kepentingan bangsa.7 Sebagai wujud pemerintah untuk dapat menerapkan kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) dan guna mendukung kebijakan tersebut maka pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan. Pada pekan kedua Januari 2014 yang merupakan tahun kelima sejak diberlakukannya UU Minerba, pemerintah mengeluarkan dua peraturan terkait kegiatan pengolahan dan pemurnian, yang pertama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan yang kedua adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. PP dan Permen ESDM sebagaimana disebut diatas adalah sebagai tindak lanjut sekaligus aturan turunan dari UU Minerba. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai kewajiban perusahaan pertambangan untuk mengolah dan memurnikan hasil tambang mineral di dalam negeri sebelum di ekspor. Undang-undang turunan ini, selain sebagai peraturan pelaksana juga untuk mengakomodir persoalan yang selama ini berkembang dan menyesuaikan dengan perkembangan 7 http://esdm.go.id/berita/mineral/43-mineral/6615-pengolahan-dan-pemurnian-mineral-didalamnegeri-untungkan-bangsa-indonesia.html, Pengolahan dan Pemurnian Mineral Didalam Negeri, Untungkan Bangsa Indonesia, dipublikasikan pada Kamis, 05 Desember 2013, diakses pada tanggal 18 Desember 2015. 6 perubahan pembangunan pertambangan baik yang bersifat nasional maupun internasional. Produk turunan sebagai payung hukum dalam komitmen pemerintah untuk melakukan serta mengembangkan hilirisasi usaha eksplorasi tambang mineral dan batu bara. Selain itu, kedua peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah secara ekonomis material tambang melalui proses pemurnian untuk mencegah mineral ikutan yang bernilai tinggi atau yang memiki nilai ekonomis. Tidak hanya dua peraturan diatas, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian kemudian juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/MDAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan ini berisikan mengenai tata cara ekspor mineral olahan atau konsentrat. Terdapat juga batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian produk pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore disertai pula daftar produk pertambangan yang dilarang untuk diekspor.8 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar, peraturan ini mengenai besaran tarif bea keluar yang harus dibayarkan kepada pemerintah sebelum mineral hasil olahan dan/atau pemurnian 8 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 2 ayat (3) dan (4). Selanjutnya disebut Permendag No. 4 Tahun 2014. 7 di ekspor ke luar negeri. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan terbagi menjadi dua jenis. Besaran tarif jenis pertama adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang tidak membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar ini dilakukan secara progresif dari 20% s/d 60%, kenaikan tarif tersebut dilakukan secara bertahap dari sejak diberlakukannya peraturan tersebut sampai dengan 12 Januari 2017. Sedangkan Besaran tarif jenis kedua adalah tarif bea keluar yang dikenakan terhadap mineral olahan dan/atau pemurnian untuk eksportir yang membangun fasilitas pemurnian atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas pemurnian. Besaran tarif bea keluar yang dikenakan ditentukan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Penerapan aturan pelaksana UU Minerba mengenai larangan ekspor mineral mentah ini merupakan salah satu implementasi dari substansi hukum dan struktur hukum terkait. Seluruh pemegang kontrak karya dan pemegang Izin Usaha Pertambangan diwajibkan untuk membangun smelter guna melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang di Indonesia sebelum akhirnya di ekspor ke luar negeri. Meskipun industri smelter merupakan suatu hal yang baru di dunia pertambangan Indonesia. Tetapi, hal tersebut sangat dibutuhkan guna reformasi struktural di bidang industri. Tidak ada bangsa maju yang hanya mengandalkan sumber daya alam tanpa mengolahnya menjadi sebuah barang jadi, karena itu, era 8 sebuah bangsa yang mandiri dengan mengolah barang mentah menjadi barang jadi di dalam negeri perlu disambut dengan baik.9 Kebijakan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian produk mineral didalam negeri terhitung mulai tanggal 12 Januari 2014 merupakan kebijakan yang harus didukung semua pihak karena kebijakan tersebut sangat berpihak kepada kepentingan bangsa Indonesia. Guna mempercepat pembangunan smelter sebagai sarana untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral tersebut, pemerintah akan memberikan kemudahan-kemudahan untuk mempercepat pembangunan smelter.10 Instrumen yang diharapkan dapat mendorong pembangunan fasilitas pengolahan adalah pengenaan bea keluar atas ekspor konsentrat dengan tarif tinggi yang secara progresif naik sampai dengan tahun 2016. Bea keluar dikenakan atas seluruh nilai ekspor komoditas mineral. Namun disayangkan, pemerintah sedang mewacanakan akan memberikan keringanan atas tarif bea keluar bagi perusahaan yang serius membangun pengolahan. Instrumen lain yang bisa diharapkan adalah penempatan dana jaminan sebesar 5% dari rencana investasi fasilitas pengolahan, yang sedang dikaji pemerintah.11 Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengapresiasi rencana pemerintah mengurangi besaran Bea Keluar (BK) mineral olahan dalam bentuk konsentrat. Pengurangan atau diskon BK menjadi insentif bagi pengusaha 9 http://esdm.go.id/berita/mineral/43-mineral/6615-pengolahan-dan-pemurnian-mineral-didalamnegeri-untungkan-bangsa-indonesia.html, Pengolahan dan Pemurnian Mineral Didalam Negeri, Untungkan Bangsa Indonesia, dipublikasikan pada Kamis, 05 Desember 2013, diakses pada tanggal 18 Desember 2015. 10 www.esdm.go.id, Loc.cit. 11 Ibid 9 pertambangan dalam membangun pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri. Pengurangan BK ini tidak akan berpengaruh pada pemasukan pemerintah. Pasalnya penerapan BK progresif yang dikenakan pemerintah hingga 60% pada 2016 merupakan instrumen paksa agar smelter segera terwujud. BK sekarang ini untuk memberi tekanan bukan untuk penerimaan negara. Diskon BK dapat dicabut pemerintah apabila perusahaan pertambangan tidak memenuhi komitmennya membangun smelter.12 Tujuh tahun telah berlalu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba 2009) yang telah diundangkan terdengar seperti harapan baru bagi bangsa Indonesia dengan membawa semangat hilirisasi dan nasionalisasi sumber daya alam Indonesia. Kebijakan larangan ekspor konsentrat atau mineral mentah (ore) sebelum diolah dan dimurnikan pun menjadi suatu kewajiban bagi pemegang KK dan Izin Usaha Pertambangan. Namun, apakah perusahaan yang memiliki kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian telah melaksanakan amanat undang-undang? Didasarkan oleh latar belakang permasalahan tersebut dan ketertarikan penulis terhadap Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disebut-sebut dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025, mendorong penulis memfokuskan penelitian dengan judul “Faktor Penunjang Dan Penghambat Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Hasil Tambang”. 12 Diolah dari: http://www.ima-api.com/, Kadin: Pengurangan BK Mineral Jadi Insentif Pembangunan Smelter, diakses dan diolah pada tanggal 6 Januari 2016. 10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pembangunan pengolahan dan pemurnian hasil tambang? 2. Apa faktor penunjang dan penghambat pembangunan pengolahan dan pemurnian hasil tambang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengkaji dan mengetahui realisasi pelaksanaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang. 2. Untuk mengkaji dan mengetahui faktor penunjang dan faktor penghambat pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai kegunaan dan manfaat, adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pertambangan pada khususnya terkait dengan pengembangan nilai tambah produk komoditi hasil tambang melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. b. Hasil penelitian ini secara luas diharapkan dapat memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi yang terjadi pada dunia pertambangan di Indonesia 11 terkait dengan pelaksanaan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, serta memberikan informasi kepada masyarakat luas, bagi pemegang IUI, IUP dan IUPK Operasi Produksi dan juga bagi pemegang Kontrak Karya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian baru dalam bidang hukum pertambangan khususnya industri pengolahan dan pemurnian (smelter) sehingga ilmu hukum pertambangan semakin berkembang dari masa ke masa. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan di beberapa universitas di Indonesia baik secara fisik maupun online, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada penelitian yang berjudul Faktor Penunjang Dan Penghambat Pembangunan Pengolahan Dan Pemurnian Hasil Tambang. Namun, terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan pertambangan, sebagai berikut: 1. Pada tahun 2014, penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Ayu Permana Sari berjudul Perlindungan Hukum atas Pemegang Izin Pertambangan di Era Otonomi Daerah, tesis di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Pada tahun 2012, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Reza Alfiandri berjudul “Tinjauan Yuridis Pengalihan Izin Usaha Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara”, skripsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 12 3. Pada tahun 2015, penelitian yang dilakukan oleh Devid Juhendri berjudul “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan PrinsipPrinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)”, skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun penelitian ini melalui referensi buku-buku, informasi dari media cetak maupun media elektronik dengan disertai penelitian lapangan di perusahaan pertambangan nikel di Indonesia. Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara akademik.