BOKS 1 DAMPAK PENERAPAN PAJAK EKSPOR BAHAN BAKU BARANG MINERAL (TAMBANG) TERHADAP KINERJA PERTAMBANGAN PROVINSI SULAWESI TENGAH Latar Belakang Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, secara nasional telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%1 . Dalam rangka pengendalian ekspor bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait diantaranya, Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 sebagaimana diubah dengan PerMen No. 11 tahun 2012, Peraturan Menteri Perdagangan No 29 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan Peraturan Menteri Keuangan No. 75 tahun 2012 mengenai Penetapan Harga Ekspor Untuk Penghitungan Bea Keluar. Pemerintah mengharuskan bea keluar bagi 14 mineral tambang diantaranya tembaga, emas, perak, timah, timbel, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan, dan antimon dengan range bea keluar yang akan dipungut bervariasi mulai dari 20% hingga 50% bergantung pada jenis mineral. Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Kemudian Permen 07 Tahun 2012 tersebut diubah berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI No. 11 Tahun 2012 tertanggal 16 Mei 2012 yang menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau ore mineral dalam hal ini nikel ke luar negeri sebelum tahun 2014 apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM c.q Direktur Jenderal. Rekomendasi tersebut akan diberikan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Status IUP Operasi Produksi dan IPR clear and clean dalam arti bahwa setiap perusahaan pertambangan wajib memiliki IUP Operasi Produksi yang telah disetujui. b. Perusahaan pertambangan harus melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada negara. c. Perusahaan pertambangan wajib menyampaikan rencana kerja dan atau kerja sama dalam pengelolaan dan atau pemurnian mineral di dalam negeri. d. Perusahaan pertambangan wajib menandatangani pakta integritas. 1 http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/5693-peraturan-menteri-esdm-no-7-tahun-2012-tentang-peningkatan-nilaitambah-mineral.html Dampak Kebijakan Dengan adanya kebijakan penerapan pajak ekspor ini, maka dalam jangka pendek penjualan ore secara besar-besaran akan jauh menurun dan akan berimplikasi pada terjadinya perlambatan ekspor tambang. Berdasarkan hasil liaison di beberapa instansi Pemda Provinsi Sulteng, pada triwulan III dan IV 2012, volume ekspor tambang Provinsi Sulteng diperkirakan menurun sebesar 20%-25% dibandingkan tahun sebelumnya. Dampak negatif lainnya yang ditimbulkan dari kebijakan ini adalah rasionalisasi pegawai yang dilakukan oleh perusahanperusahaan tambang sebagai bentuk efisiensi biaya operasional. Pemda Provinsi Sulteng memperkirakan jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan pada tahun 2012 akan mengalami penurunan sebesar 30%-40% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Menurunnya aktivitas dan output perusahaan pada gilirannya akan menyebabkan berkurangnya penerimaan daerah serta potensi terjadinya wanprestasi kontrak antara penambang dengan buyer. Walaupun kebijakan yang diambil pemerintah berdampak negatif (khususnya dalam jangka pendek), akan tetapi dalam jangkak menengah dan jangka panjang, kebijakan ini berdampak positif pada kinerja perekonomian Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan adanya aturan yang mengharuskan pihak domestik mengolah bahan mentah (ore) menjadi barang yang memiliki value added (setengah jadi) maka walaupun volume ekspor ke depannya akan mengalami penurunan akan tetapi nominal ekspor justru dapat meningkat puluhan kali lipat. Hal ini tentu akan berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat Provinsi Sulteng. Mengingat cukup besarnya nominal yang harus dikeluarkan untuk investasi tambang, maka penambang yang tidak profesional juga dengan sendirinya akan terseleksi dan berkurang. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan kerusakan lingkungan khususnya di daerah-daerah penghasil utama tambang juga dapat berkurang. Di samping itu penyerapan tenaga kerja diharapkan membaik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Rekomendasi Kebijakan Terkait dengan penerapan kebijakan baru ini, maka terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan, diantaranya yaitu: 1. Pemprov. Sulteng harus berperan aktif dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor tambang yang ingin menanamkan modalnya khususnya untuk pembangunan smelter. Investasi smelter sendiri menelan biaya yang cukup besar mulai dari 1 hingga 3 triliun rupiah per smelter. Dalam hal ini Pemda menargetkan, hingga akhir tahun 2014 akan dilakukan tujuh pembangunan smelter di Kabupaten Morowali. 2. Adanya informasi yang transparan dan akuntabel mengenai persyaratan yang dibutuhkan oleh eksportir serta prosedur yang harus dilalui dalam hal mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM untuk melakukan ekspor bijih atau ore mineral nikel ke luar negeri (dikenai bea keluar). 3. Pembentukan serikat pekerja yang lebih kuat di daerah-daerah sentra produksi tambang dalam rangka memperjuangkan hak pekerja/karyawan tambang. Dari hasil liaison diperoleh informasi bahwa masih terdapat pekerja/karyawan yang belum memiliki kontrak kerja dengan perusahaan tambang. Akibatnya, ketika pekerja tersebut dirumahkan atau di PHK, mereka tidak memperoleh hak penuh layaknya pekerja yang memiliki kontrak seperti pesangon atau tunjangan lainnya. 4. Melakukan pemetaan secara lebih akurat terhadap lahan-lahan tambang yang tumpang tindih. 5. Pemberian sanksi yang lebih tegas pada perusahaan-perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan namun tidak melaksanakan kewajibannya seperti reklamasi dan reboisasi lahan-lahan ekspertambangan tersebut.