Abstract Human anxiety today is due to the loss of

advertisement
MORAL DAN SPIRITUALITAS
(Sebagai Epistemologi Jati diri Manusia dari Kegelisahan)
Oleh: Rusdin
Abstrak
Kegelisahan manusia dewasa ini, akibat hilangnya kesejatian yang
ada dalam dirinya. Munculnya prilaku bebas, amoral, korupsi dan
kekerasan sosial adalah akumulasi materialisme selama ini menjadi
dambaan setiap individu. Disamping itu, transpormasi teknologi
begitu cepat sehingga tidak memberikan batas dan ruang bahkan
masuk keseluruh aspek kehidupan. Dengan harapan memberikan
kemudahan dan kebahgiaan bagi manusia. Ironisnya banyak mereka
mengalami kekecewaan, gelisah dan putus asa hidup mereka
semakin hampa bingung, bahkan tidak sedikit mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri. Untuk itu, moral dan spiritualitas merupakan
bagian dari ajaran agama senantiasa menuntun manusia selama ini
terlupakan. Tuhan menciptakan manusia dengan kesempurnaannya
dengan harpan harus berbuat baik dan mengabdi kepada-Nya.
Abstract
Human anxiety today is due to the loss of authenticity on his
self. The emergence of free behavior, immoral, corruption and
social violence is accumulated materialism that characterizes
people. In addition, the transformation of technology is so fast
that there is no limit of space and time, even go into all
aspects of life. They hope such a case it gives ease and
happiness in their lives, but in fact people experienced
disappointment, anxiety and despair, not even some died by
suicide. Based on the reality, the role of morality and
spirituality is very important. Both are part of the value of a
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014
2
forgotten religion. God created man to serve Him and to be
khalifa for the prosperity of the earth.
Keywords: Moral and Spirituality, human identity
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa
perubahan pada prilaku manusia. Tidak bisa di fungkiri, bahwa perubahan
tersebut tidak lepas dari apa yang disebut dengan pergeseran budaya
modern”1. Momentum melakukan berbagai bentuk kebebasan (liberation)
dengan alasan kebutuhan, penampilan, model, seni, materi dan persaingan
hidup merupakan akumulasi keinginan manusia yang terbangun secara
pragmatis, yang dilatar belakangi dengan nafsu dan keserakahan.
Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang
dinyalakan sendiri karena ia telah lupa siapakah ia sesungguhnya”2, kealfaan
manusia dari eksistensinya adalah bagian dari krisis kejiwaan selama ini
terlupakan. Gerakan modernisme dan modernitas adalah implikasi
perubahan dari keadaan lama menjadi baru. Kemajuan dan perubahan
merupakan dua hal yang bisa terjadi di semua realitas. Lebih dari itu
modernisasi adalah gerakan pemutusan semua kegiatan manusia dalam
sosio politik dan budaya dari sumber-sumber yang suci”3. Artinya gerakan
1
Modern, yang berarti baru, terbaru, mutakhir, atau memoderenkan, membuat
menjadi modern (W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka, 1996), 653, istilah ini diperkirakan sekitar tahun1888 ditemukan disebua apresiasi
dario di Meksiko oleh Ricahrdo Cantores dan tahun 1890 mulai berkembang menjadi
modermo dan modernismo, sebagai kerangka di Amerika Latin untuk emansipasi dan
otonomi, budaya dari Spanyol http/books. geoogle.coid. Modernisme diakses 1 April 2011,
modernis meliputi gagasan bahwa tujuan mementingkan pengetahauan sebagaimana
dikatakan Giddens (1987) adalah memengaruhi kondisi manusia agar menjadi lebih baik,
modernitas berarti upaya terus menerus perbaikan kehiduapan dan upaya mencapai kemajuan
(lihat juga Antony Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge, Polty, 1991,
kemudian Modernity and Self-Iderntity; self and society in the latemodernage, (Stanford
Unversity Press 1991)
2
Komaruddin Hidayat, Moh. Wahyunafis, Agama Masa depan Prespektif Filsafat
Perenial, (Paramadinah, Jakarta 1995), xv
3
Seyyed Hossein Nasr, Reflection on Islam and Modern life, Journal al-Serat Vol.
VI. No.1 1397, 1, al-serat http//www.al-Islam Grg/al-serat/Reflec, Nasr, htn.di akses 12 Mei
3 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
manusia makin dipercepat dipacu d3engan wkatu (time is many) semua
diatur serba teknologi, akibatnya lahirlah sifat malas pasrah, apatis dan
tidak kreatif. Adorno, mendepinisikan “modernisme tidak adanya aturan
yang dipaksakan terhadap praktek-praktek estetik yang berasal dari luar,
atau disebut sebagai rasionalitas estetis”4 meskipun demikian, modernisme
memiliki tujuan dan gagasan mementingkan pengetahuan dengan
mempengaruhi kondisi manusia agar menjadi lebih baik. Modernitas berarti
upaya terus menerus perbaikan kehiduapan dan upaya mencapai kemajuan5.
Namun disisi lain memiliki dampak yang menggelisahkan, banyak manusia
modern telah membangun paradigmanya sendiri tanpa ikatan-ikatan suci
sebagai perekat. Walaupun mereka menyadari bahwa apa yang mereka
lakukan adalah sebuah konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan.
Kegelisahan dan kegersangan jiwa, tidak lepas dari sebuah proses akumulasi
dari perubahan itu sendiri.
Disamping itu, modernisme diartikan juga sebagai instrumen
potensial dalam mereduksi indentias manusia melalui penciptaan ruang
sempit bagi individu-individu dalam memaknai identitas autentik mereka”6.
Munculnya berbagai problem hidup, seperti pembunuhan, teror,
perkelahian, diskriminasi, pemerkosaan bunuh diri dan kekerasan lainnya
merupakan akumulasi kebebasan (liberation) yang tidak lepas dari arus
globalisasi, politik, ekonomi dan perubahan tatanan sosial. Dengan
instrumen teknologi mutakhir yang tidak memberikan ruang teologi dan
agama (religion) untuk mengapresiasikan apa yang disebut dengan aksiologi
estetik, atau moral spiritual, ini sebagai isyarat, betapa gersangnya jiwa
manusia dizaman ini. Orang semacam itu meninggalkan helaan batin yang
2010, penulis kutip dari disertasi (Yusno Abdullah Otta, Krisis Manusia Modern Prespektif
Nasr (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),1
4
Scott Lash, Sosilogi Post Modernisme, diterjamhkan dari, Sociology of
postmodernism, London, Roletge, 1990, oleh, Gunawan Admiranto, (Yogyakarta, Kanisius,
2004),2009
5
Antony Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge, Polty, 1991,
kemudian Modernity and Self-Iderntity; self and society in the latemodernage, (Stanford
Unversity Press 1991)
6
Seyyed Hossein Nasr, Need For a secred Science (al-Bany Statet Unversity of
New York Press 1993), 21
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014
4
suci yang terdapat pada pusat wujudnya sendiri, yang harus di bawahnya
kemanapun7.
Disamping itu faktor yang memicu krisis modernimse bukan hanya
di sebabkan oleh rusaknya hubungan harmonis manusia dengan alam, tetapi
sebab pada mental atau akhlaknya, adalah rusaknya relasi harmonis antara
manusia dengan Tuhannya”8. Secara teologi manusia memiliki hubungan
primordial yang suci sebagai bentuk kesejatian (fitrah). Secara historis
sebenarnya telah memberikan peringatan tentang krisis modernisme yang
dibentuk oleh manusia renaisnce9 meskipun semua orang bersepakat bahwa
renaisnce”10 merupakan tonggak awal lahirnya istilah modern.
Krisis manusia modern yang dirasakan tidak hanya secara lokal
melainkan telah tersebar secara global dan terbagi dalam tiga kelompok
besar yakni, krisis identitas atau mental, krisis spiritual atau moral dan
krisis lingkungan atau alam, ketiga krisis modernitas tersebut memiliki
keterkaitan yang saling memberikan pengaruh secara signipikan antara satu
dengan lainnya sehingga tidak mungkin berdiri sendiri11 artinya apapun
yang dilakukan manusia semua kembali pada jati dirinya.
J.J. Rousseau, seorang filosof modern mengatakan, “kemajuan ilmu
pengetahuan dan kesenian hanya menghasilkan ketidak sugguhan,
kemunafikan, kecongkakan dan kesombongan untuk umat manusia, semua
7
Ibid,
Seyyed Hossein Nasr, Man And Natur, The Spiritual Krsisi of Modern Man
(london George Allen And Udwin 1968), selanjutnya dsebut Nasr Man dan Nature dan Islam
And The Plig Modern Man (London Logman 1976), 20
9
Seyyed Hossein Nasr, dan Ranim, Jahanbegloo in scarch of the sacred
a.conversation whith Seyyed Hossein Nasr on This life and thought intorudation by Try
more (California, ABC-Clilo 2010),2009
10
Renaisance istilah ini mulai diperkenalkan sekitar abad pertengahan (476-1492
M) Barat dalam kegelapan dan abad Pertengahan diperkirakan pada abad 9-15 pada abad ini
lazim disebut zaman filsafat skolastik, filsafat abad pertengahan merujuk dalam sejarah
Gereja, pada era ini agama menjadi objek kajian, disamping juga muncul istilah sekolastik
Islam dan skolastik Kristen meskipun dikalangan Kristen belum mengenal filsafat. (Ali
Maksum, Pengantar Fislafat, dari masa Kalsik Hingga Post Modernisme, (Jogyakarta ArRuzz Media, 2009),97
11
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature The Spiritualitas Crisis Modern Man
(London George Allen and Udwin, 1968), lihat Yusno Abdullah Otta dalam “Krisis Manusia
Modern prespektif Seyyed Hossein Nasr Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),2
8
5 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
itu telah memburukan kodrat manusia yang pada mulanya baik, dan merayu
manusia untuk melakukan segala macam kebejatan. Bila manusia ingin
selamat, hanya ada satu jalan “back to nature” kembali kepada keadaan
yang awal mula12. Awal mula dimaksud adalah hakikat manusia yakni
kembali kejalan spiritual agama. Dalam pandangan lain alam semesta
sebagai elemen yang terpadu dalam mengungkapkan kebenaran”13, alam
merupakan bagian dari diri manusia juga memiliki kebenaran. Sebenarnya
konsep moral dan spiritual memberikan keritikan secara konstruktif, bahwa
dalam diri manusia ada bagian-bagian jiwa (subtansi) yang senantiasa
diberikan pencerahan.
Ary Ginanjar memberikan kritikan terhadap manusia modern,
beberapa dekade ini, kita menyaksikan bagaimana perinsip hidup
menghasilkan tindakan yang beragam, perinsip hidup yang dianut telah
menghasilan berbagai tipe orang dengan pemikiran dan tujuan masingmasing, setiap orang terbentuk sesuai perinsip yang dianutnya hasilnya bisa
dianggap hebat, mengerihkan bahkan menyedihkan” perinsip-perinsip yang
tidak sesuai dengan suara hati (fitrah), akan berakhir dengan kegagalan baik
fisik maupun non fisik14.
Dunia telah membuktikan bahwa perinsip yang mengabaikan hati
nurani mengakibatkan kegersangan bahkan kehancuran”15 Simbol dalam
gerakan spiritual sebagai respons atas prilaku manusia yang semakin jauh
dari tujuan hidupnya, menunjukan betapa manusia telah kehilangan
kesejatiannya, meskipun sebenarnya agama mengehendaki kehidupan yang
penuh kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan secara lahir dan batin.
Annemarie Schimel menjelaskan, manusia juga bisa menjadi “asfal as-
12
K.Bertens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakrta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1991),81
13
Ibid.,
14
Ary Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quostient (ESQ) Jilid 1, Jakarta
PT.Arga Tilanata, 2001),56
15
Ibid., 57
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014
6
s>afil>in”16, yang paling rendah diantara yang rendah. Kemudian keserakahan,
kemarahan, iri hati, kerakusan kecenderungan untuk menumpahkan darah,
membuat manusia lupa akan asal usul surgawinya hubungannnya dengan
dunia ruh 17 atau moral dan spiritualitas.
Secara hipotesis, bahwa ajaran moral dan konsep spiritualitas perlu
diperkenalkan dan disosialisasikan kepada masyarakat modern dengan
tujuan, menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan.
Inilah mendorong penulis mengungkapkan bahwa konsep moral dan
spiritualitas merupakan refleksi dari rangkaian perilaku manusia modern
yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran dan
kesejatiannya. Meskipun pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang
saling berhubungan dengan penipta-Nya, konsep moral dan spiritualitas
berupaya memberikan solusi bagaimana mengembalikan jiwa manusia
kepada sifat kesejatiannya yang memiliki subtansi Tuhan yang suci.
Mengenal dirinya pasti mengenal Tuhannya mengenal Tuhannya pasti
memahami ciptaannya, kata para sufi.
MORAL DAN SPIRITUALITAS
Istilah Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan moral ajaran baik
buruk, perbuatan, sikap, kewajiban. Kemudian akhlak budi perkerti, susila,
atau kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin. Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana
terungkap dalam perbuatan, ajaran kesusialaan.
Bermoral, berarti
mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik, sesuai dengan moral
sehingga beradat dan memiliki sopan santun. Moralis, adalah orang yang
terlalu mementingkan moral, kemudian orang yang mengajarkan atau
16
Qur’an Surah.59 (5), yang menjelaskan tentang kemuliaan manusia dalam
penciptaannya namun karena manusia tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebgai
makhluk mliah maka derajatnya akan menjadi rendah (asfala safili}n).
17
Annemarie Schimmel, Decipbering the Signs of God, A Phenomenologycal
Approach to Islam diterbitkan Endiburgh University Press UK, 1992, diterjamhkan
Rahmani Astuti Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam Secara Fenomenologis,
Bandung Mizan 1997), 260
7 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
mempelajari moral, atau orang yang menaru perhatain terhadap moral18.
Dalam kamus Filsafat, moral dari bahasa Inggris, moralis dari bahasa latin,
mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores
(adat istiadat, kelakuan), kelakuan, tabiat, watak, akhlak cara hidup19
kemudian moral menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang
sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat. Sesuai dengan kaidahkaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bijak adil dan
pantas. Sebenarnya simbolisasi moral yang baik adalah prilaku keseharian
manusia.
Memiliki kemampuan untuk diarahkan, untuk mengarahkan sesuai
dengan kaidah-kaidah yang berlaku yang dinilai benar salah20. Kemudian
moral dan etika memiliki makna yang paralel, seperti dijelaskan etika dari
bahasa Yunani ethikos, ethos (adat, kebiasaan, praktek), sebagaimana
digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide, karakter” dan disposisi”
kecondongan dengan kata moralis21. Pendapat lain, pengertian etika dan
moral seperti dijelaskan Aristoteles dikutip Bernard Russel dalam “History
of Westerm Philospy” ethics nichomanchean, etika merupakan sebuah
keutamaan, yang berlaku pada setiap warga negara, siapapun hidup dalam
satu negara harus bersikap baik.
Dalam ethics akan dijumpai pembahasan secara sistematis tentang
sejumlah prinsip yang dijadikan dasar untuk diyakini dalam prilaku secara
teratur22, kemudian menurut Al-Ghazali, akhlak ialah sifat yang tertanam
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kempat,
Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), 383 dan 929
19
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarat, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005),
672
20
Istilah Moralis diperkenalkan kedalam kosa kata filsafat oleh Cicero. Baginya
kata ini ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua istilah itu
menyiratkan hubungan dengan kegitan praktis, yang dilakukan manusia secara nyata, atau
didasarkan atas keunggulan suatu nilai khusus, unggulan sikap moral dari sifat nilai khusus
atau sikap moral dari seluruh bangsa atau kelompok sosial. sebauh tindakan yang baik secara
moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasikan nilai etis obyektif dan
mengafirmasikan hukum moral. Ibid,.673
21
Ibid, 217
22
Bertrand Russell, History of Western Philosphy and its Connection With
Political and social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014
8
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan. Hakikat
akhlak ialah kondisi atau sifat yang telah menetap dalam jiwa dan
kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan
cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa pemikiran23 Ibnu
Miskaway dalam “Tahzib al Akhlaq Wa Thathir al Araq, meskipun banyak
dipengaruhi Aristoteles, namun mempunyai perinsip bahwa akhlak selalu
bersumber dari ajaran Islam24, pada dasarnya akhlak selalu dipengaruhi oleh
lingkungan (meliu).
Istilah Spiritualitas
Dalam istilah kebahasan spiritulitas berasal dari kata "spirit
mengandung makna "roh atau hakikat kesucian, seperti dalam penjelasan
Seyyed Hossein Nasr dalam "Inteligensi dan Spiritulitas Agma-Agama"
Kesadaran manusia senantiasa diberkahi dengan kemungkinan kotemplasi"
atas realitas, yang merupakan kelengakapan lain dari hati manusia.
Kesadaran itu sendiri adalah bukti keunggulan spirit atau kesadaran
Ilahiyah"25 kemudian Ewert H. Cousins" hakikat keyakinan dalam dialog
antaragama, pada dasarnya keyakinan merupakan jalan lintas kedalam
dialog antaragama sebagai suatu proses spiritual. Pada tingkat yang paling
dalam ia menyentu dengan jiwa dari para peserta dan mengawali suatu
perjalanan spiritual bersama.
Sebenarnya saya percaya bahwa dialog antaragama merupakan
perjalanan spiritual kolektif yang khas pada zaman kita agar dapat
melangkah pada jalan ini kita harus memulai dengan hubungan keyakinan
LTD. George Allen And UNWIN, 1946), penulis kutip dalam Sejarah Filsafat Barat,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), 233-234
23
http://unsilster.com tentang-akhlak/di akses 27 september 2013, lihat juga AlGhazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III, Edisi Indonesia (Jakarta Republika, 2011), 361
24
Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: CV Ramdhani, 1991), 91
25
Sayyed Husein Nasr, Intelgensia dan Spiritualitas Agama-Agama, diterjamahkan
dari Judul aslinya "Knwledge and the sacred, oleh Suharsono et.al, (Jakarta Insani Pers
2004), 3
9 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
dan spirituliatas"26. Terminologi spiritualitas dalam pandangan ini, sebagai
bentuk kesadaran yang terdapat dalam masing-masing agama atau roh
agama. Kemudian spiritual bersipat imaterial, tidak jasmani, terdiri dari
roh, kemudian nilai-nilai manusiawi yang non material seperti keindahan,
kebaikan cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan kesucian. Kemudian
istilah spiritualisme memiliki dua pandangan yakni spiritual filsafat dan
spiritual metafisika, keduanya memandang, bahwa realitas terakhir yang
mendasari atau landasan realitas) adalah roh atau jiwa dunia yang meresapi
alam semesta pada semua tingkat kegiatannya, sebab aktivitas, tata arah
alam semesta berguna sebagai satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional
eksistensi alam semesta. Bahwa pandangan yang ada hanyalah Roh
Absolut” (dan roh-roh terbatas seperti manusia) dan semua roh lainnya
merupakan produk Roh yang Absolut27
Penulis memberikan pemaknaan berkaitan dengan keyakinan dan
spiritualis hal ini sangat relevan dengan istilah agama dan spiritual, berarti
keyakinan yang harus dijalankan terhadap semua manusia, yang lebih
pasnya lagi adalah masing-masing manusia harus mengamalkan agamanya,
sebab dalam agama memiliki "roh atau jiwa yang suci" sebagai subtansi
yang bersifat urgensi, dan tidak bisa diganggu gugat oleh manusia, atau
disebut sebagai fitrah agama dalam istilah Isam.
Perkembangan selanjutnya kebangkitan spiritual masing-masing
agama terlihat lahirnya beberapa penomena ritual yang mulai diminati
masyarakat pada umumnya, misalnya mereka mencari hakikat jati dirinya
dengan kelompok batin atau pseudo agama yang telah memberikan
pengaruh besar bagi manusia modern terutama bagi mereka yang telah
mengalmi kegersangan jiwa, sebagimana Seyyed Hossein Nasr dalam
"Islam and the plight of Modern Man"28 atau Islam dan Nestapa Manusia
26
Ali Noer Zaman,
Agama
Untuk Manusia, ( Yogyakarta Pustaka
Pelajar,2000),76-78
27
Lorens, Kamus Filsafat.,1034-1035
28
Islam and the plight of Modern Man" Kebutuhan untuk meliput kembali
pandanagan pusat eksistensi semakin mendesak bagi manusia Barat, karena dunia ilusi yang
mereka ciptakan disekeliling dirinya, untuk melupakan dimensi transenden kehidupan
mereka yang hilang dan mulai menunjukan watak yang sesungguhnya. Hal ini adalah
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 10
Modern" masyarakat yang hidup dizaman modern, jauh dari nilai moral dan
spiritualitas yang suci (fitrah). Padahal manusia memiliki kemuliaan dan
dalam dirinya ada subtansi yang Tuhan.
Implikasi Modernisme Dalam Prilaku Manusia
Perubahan adalah dambaan setiap individu, termasuk perubahan
kehidupan. Orang yang melakukan perubahan merupakan ciri orang yang
maju dan ingin berkembang, iuvoria kemajuan yang terilhami dengan
pesatnya teknologi modern membuat dunia semakin sempit, jarak antara
negara pun makin dekat, kejadian diberbagai belahan dunia akan lebih muda
kita akses bahkan kita masukkan dalam kamar.
Diskursus di atas menggambarkan dua sisi modernisme yang
paradoksal, satu sisi menjamin kebebasan dan peluang berkompetisi secara
terbuka, di sisi lain menyuguhkan prilaku amoral sebagai akibat kebebasan
teknologi informasi yang pesat. Oleh karena itu, modernisai dijadikan
sebagai proses yang sangat dekat dengan dunia luar, bukan sebagai tujuan,
apalagi disakralkan. Para paruh pertama abad ke-20, para elite intelektual
pada umumnya berasumsi bahwa modernisasi sosial dan ekonomi telah
mengarah pada pengabdian agama sebagai sebuah elemen signifikan dalam
peradaban manusia29
Dilain pihak, bahwa peristiwa demi peristiwa yang terjadi di abad
ini tidak lepas dari pengaruh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikawal dengan modernisme, selama ini telah memberikan
kemudahan, dan bisa mengembalikan jati diri manusia, namun
kenyataannya justru membuat manusia makin terpuruk, kemewahan,
(materialisme) adalah jembatan untuk mencapai kepuasan, merupakan
pertarungan nafsu dan jiwa yang suci ibarat Iblis dan Malaikat.
sebagai akibat dari kebutuhan Spiritual yang semakin dirasakan umat manusia pada saat ini
dan dari karakteristik-karakteristik istimewa yang dimiliki sifisme sebagai dimensi esoteris
dari Islam (lihat Modern diterjamahkan dari judul aslinya Islam and the plight of Modern
Man oleh, Anas Mahyuddin, (Bandung Pustaka 1983), 77
29
Masdar Hilmy, Islam Profetik Subtansiasi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang
Publik, (Yogjakarta, Kanisius, 2008), 116
11 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
Kemudian transpormasi sosial yang terbingkai dengan postmodernisme, liberalisme, sekularisme dan kapitalisme membuat jiwa
manusia semakin tereduksi bahkan makin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
dan nilai spiritualnya. Modernisme merupakan jaminan yang terwakili
dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan menggunakan cara baru yang
lebih epektif dan masuk akal yang ditransformasi lewat teknologi canggi30,
namun kenyataannya justru kehancuran lingkungan dan krisis ekologi yang
melanda manusia secara global. Sehingga banyak berspekulasi peristiwa ini
disebabkan perkembangan teknologi modern yang dinakodai manusia
memiliki jiwa yang kerdil dan kering dari nilai-nilai moral dan spiritual.
meskipun tidak semunya berlatarbelakang teknologi modern.
Bahkan Seyyed Hossein Nasr mengatakan, ini telah menjadi
penyakit amnesia atau lupa dari mana dia berasal”31. Man is at a particular
vantage point to know one thing in essence, and that is himself, were he
only to overcome the illusion of taking32. Atau manusia berada pada titik
pandang tertentu dan mengetahui sebagai dasar yang berada dalam dirinya,
ia hanya untuk mengatasi ilusi. Bahwa dunia saat ini dilihat sebagai suatu
kekuatan yang diluar batas cakrawala yang berada dalam jiwa dan rohani
manusia. Kedalaman jiwa manusia hanya bisa dirasakan dengan
kemampuan memahami makna dalam setiap kehidupan serta direspon
secara positif baik secara lahir maupun secara batin.
Manusia modern memandang, bahwa eksistensi kehidupan hanya
merupakan hal yang tidak memiliki makna atau berada diluar batas
kesucian. Hancurnya identitas budaya manusia dan bangkitnya kesadaran
tentang akar-akar idiologi dari gagasan-gagasan seperti kemajuan
pembanguan telah membuat kaum modernis fanatik, sekalipun tidak
berbahaya”33 maknanya bahwa perubahan dialami manusia dizaman modern
30
Pip, Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori Fungsionalisme Hingga PostModernisme, (Jakarta Yayasan Obor Indonesia), 216
31
Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man Revised and
Enlarged Edition (Published by ABC International Group, Inc. First published 197 5) 3
32
Ibid, 14-72
33
Muhammad Sholihin, Tasawuf Aktual, menuju Insan Kamil, Semarang Pustaka
Nuun 2004), 76
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 12
memiliki berbagai epistemologi untuk melakukan perubahan meskipun
tidak dirasakan secara langsung bagi manusia, namun secara bertahap akan
berdampak dalam kehidupannya setiap saat terutama berkaitan dengan
moral dan spiritual. Jiwa mereka gersang, kering dari nilai-nilai spiritual34.
Materi dan status sosial adalah tujuan mereka sehingga hal-hal yang terkait
dengan nilai dan moral menjadi terabaikan. Hal ini telah mempengaruhi
seluruh aspek kehidupan manusia.
Perubahan Masyarakat secara Instan
Dinamika penyalahgunaan kekuasaan sudah ada semenjak
munculnya kekuasaan itu sendiri. Bersamaan dengan itu, gagasan untuk
membangun kekuasaan memberikan tempat terhormat kepada rakyat dalam
mengatur negara sekaligus memberikan pedoman kepada penyelenggara
semakin menguat disuarakan41. Dari hipotesis inilah pengelolaan melalui
mekanisme modernisme menjadi tawaran menggiurkan bagi banyak
manusia notabene sebagai penghuni bumi.
Ruang publik berfungsi dengan baik, jika secara “transparan”
memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh masyarakat.
Transparansi dapat dilakukan jika ruang publik berposisi otonom di hadapan
kuasa birokrasi dan kuasa bisnis.42 Tuntutan normatif ini tentu sulit
didamaikan, namun, itu tak berarti bahwa pelaku ruang publik menyerah
begitu saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Jika tidak terpenuhi tuntutan
normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi perluasan pasar dan negara
belaka.
Secara relaitas dalam perkembangan ekonomi politik dengan
berdirinynya berbagai swalayan- swalayan (mini market), diberbagai sudutsudut ruang dari berbagai kota dan desa, sebenarnya hal ini sangat
34
Sayyed Husein Nasr, Islam and the Plight of Modern man, London 1975 buku ini
diterjamhkan oleh Anas Mahyudin (Islam Dan Nestapa manusia Modern) (Bandung Pustaka
1981)
41
Robert Talisse, Democracy and moral conflict (New York: Cambridge university
press, 2009), 85
42
Todd May, The moral theory of poststructuralism (Pennsylvania State
University: The Pennsylvania State University Press, 1995), 174
13 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
memberikan arti yang luar bisa dalam kehidupan masyarakat, meskipun
disatu sisi membuat pengusaha kecil menjadi merana dan bahkan gulung
tikar. Terjadinya pengangguran, kebobrokan dan tingginya potensi
kekerasan sebenarnya salah satu pemicunya adalah tidak terjadinya
pemerataan dalam tatanan ekonomi modern.
Hilangnya Budaya Malu
Disisi lain modernisme sebagai bentuk kecanggiahan teknologi
sehingga dijadikan “rumah” para pelaku kejahatan seperti koruptor, penjudi,
pembunuh dan sebagainya. Ini merupakan bagain dari implementasi dari
modernisme. Korupsi misalnya, merupakan perilaku seseorang untuk
memperkaya diri mereka sendiri, sebagaimana dijelaskan sebagai seni,
bahkan dianggap sebagai kebenaran dalam kesalahan43 meskipun usaha
manusia suda maksimal untuk memberantas korupsi namun hal ini tetap
berjalan secara terselubung maupun terang-terangan meskipun itu bukan
haknya.
Mereka tidak lagi normal, sebab dalam pikirannya bagaimna
caranya mengumpulkan harta sebanyak-bnyaknya meskipun dengan cara
tidak halal, dalam dirinya bahkan seluruh keluarganya tidak lagi memiliki
budaya malu. Harga diri merke terabaikan sekalipun mereka beragama,
sementara masyarakat mempercayai, kenyataanya menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka44. Dengan kata lain
pelaku korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi atau pemerintahan
para pencuri45. Pelaku tersebut perlu ditelusuri, sebenarnya apa yang hilang
dalam dirinya.
Secara realitas pelaku korupsi tidak hanya dikalangan bagi orang
yang tidak mengerti agama atau tidak memiliki kesalehan pribadi, tapi
banyak dari kalangan yang memiliki kesalehan pribadi melakukan korupsi.
Kalau kita menilik lebih jauh ke daerah yang bukan publik figur, maka akan
43
Masdar Hilmy, Islam Profetik,. 3,4,5
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada Jum’at, 12 Maret 2010,
Jam: 14.00 WIB
45
Ibid.
44
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 14
dapat banyak ditemukan prilaku demoralisasi politik publik. Prilaku korupsi
tidak hanya ada dikalangan pejabat tertentu saja, tetapi disemua sistem
sektor kehidupan.
Ketika korupsi sudah menjadi budaya, maka negara ini sudah
berada pada dimensi yang memprihatinkan.
Mereka menggunakan
mekanisme resmi di dalam administrasi pemerintahan negara atau
memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan tindakan ilegal, antara lain,
memanipulasi dan menggelapkan pajak, melakukan pencucian uang (many
londry), mengelola bisnis gelap, menjadi pelindung atau pelaku dagang
dalam black market, menjadi cukong pembalakan liar, atau menjadi bandar
peredaran narkoba. Dan ini telah berbudaya sehingga ketika orang
melakukan pelanggaran moral maka semua berkesimpulan ooh itu adalah
budaya, ini kan tidak lagi memiliki budaya malu, artinya budaya malu suda
tergantikan dengan budaya materi dan nafsu keserakahan.
Begitu juga terhadap pelaku kejahatan lainnya seperti bisnis
narkoba, adalah bagian dari kejahatan yang tidak terkendali, bahkan telah
menjadi kebutuhan setiap orang, ironisnya lagi pelaku-pelaku tersebut telah
ditangkap bahkan dijobloskan dalam penjara, anehnya bisnisnya mala justru
menjadi jadi. Muncul berbagai spekulasi ini ada kerjasam dengan orang
dalam, ini ada jaringan dikalangan elit dan sebagainya.
Pada hakikatnya kejahatan yang terjadi dialam semesta ini
sebenarnya bersumber dari hati manusia itu sendiri, apa pun aturan yang
diterapkan, sebab dalam dirinya suda tidak ada lagi nilai-nilai yang suci
bahkan jiwa mereka suda kering dari kebaikan moral mereka semakin
bobrok sebagaimana digambarkan, Scheler sebagai materialisasi moral
universal46, yang mereka suda tidak miliki. modalitas moral dalam
pandangan George Edward Moore”47 adalah daya (corak) nalar yang baik48.
46
34
47
Franz Magnis Suseno, Etika abad kedua puluh, (Yogyakarta; Kanisius 2006), 15-
Moore lahir di London pada tahun 1873. Sebagian besar dalam hidupnya
diabdikan sebagai profesor di Cambridge sampai meninggal pada tahun 1958. G.E. Moore,
Moore’s arguments Against Certain Forms of Ethical Naturalisme, dalam Stevenson, Facts
and Values, (New Haven: Yale University 1963).
48
Franz Magnis Suseno, Etika abad kedua puluh, (Yogyakarta; Kanisius 2006), 12
15 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
Logikanya budaya malu buat mereka sudah tidak ada lagi, inilah
digambarkan dalam al-Qur’an ْ‫ﷲُ ﻋَ ﻠَﻰ ُﻗﻠُوﺑِﮭِ م‬
‫ﺧَ َﺗ َم ﱠ‬49 hati mereka suda tertutup
dari kebaikan. Sehingga jiwa mereka makin jauh dari agama.
Berangkat dari modalitas moral Moore, penulis berusaha
mengelaborasi konsep moral dengan spiritual sebagai corak daya pikir
dalam menelusuri nilai-nilai moralitas universal dalam teks suci,50. Yang
bersumber dari agama sebagai ajaran spiritual memiliki kebenaran yang
absolut.
Moral Dan Spiritualitas Sebagai Tawaran
Proses pengembalian jati diri manusia dalam nuansa moral dan
spiritualitas sangat memerlukan berbagai pendekatan dan metode sebagai
epistemologi baru untuk memahami berbagai bentuk kehidupan manusia
modern. Moral dan spiritulitas, berusaha memberikan penjelasan sebagai
ajaran agama yang bersipat universal, memiliki orientasi keseimbangan baik
manusia itu sendiri maupun alam semesta.
Pemahaman ini merupakan bentuk keprihatinan dikalangan
pemerhati spiritual, yang menganggap manusia hanya terbatas pada pola
kehidupan duniawi (materialisme), padahal manusia adalah jembatan antara
surga dengan bumi51 disamping itu, dalam diri manusia terdapat nilai
kesucian sebagai perekat antara pencipta dan ciptaannya (Khalik dan
mahkluknya). Manusia suci adalah refleksi dari pusat primordial Ilahi dan
gaung dari siklus waktu dan generasi sejarah yang terakhir dialah wakil
Tuhan (Khalifatullah) di bumi52. Islam and the study of nature cosmological
49
al-Qur’an al-Baqarah (2):7
Terry Horgan and Mark Timmons, Metaethics after Moore (New York Oxford:
Clarendon Press, 2006), 12
51
Seyyed Hossein Nasr,
Inteligensia dan Spiritualitas
Agama-agama
diterjamhkan dari judul aslinya Knowledge and Sacred (Jakarta Inisiasi Press, 2004), 167
52
Konsep Islam tentang manusia dan makna istilah tersebut, Lihat G.Eaton, King
of The Kastle bab 5, G. Durand, Science de i’homme et tradition, Paris 1979, lihat juga
Izutsu, A. Comparitive study of The key Philoshophical Concept in sufism and Taoism –
Ibnu Arabi and Laotzu, Chuang-Tzu, Pt. 1 Tokyo 1966.h.208, Ibid.,191
50
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 16
sciences and the Islamic revelation”53. Islam mengajarkan bagamana ilmu
pengetahuan dan alam semesta memiliki hubungan yang harmonis secara
alami. Kemudian seluruh alam dan semua sifat manusia sekaligus
merupakan tujuan akhir dan tempat kemana segala sesuatu kembali”54
pembuktian dan pengakuan akan keesaan Tuhan inilah yang merupakan inti
dari doktrin moral dan spiritualitas di zaman modern.
Moral dan spiritualitas adalah bagian dari ajaran semua agama.
Scheler mengungkapkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat
mendefisikan apalagi membuat standar terhadap moral universal dalam
rangka mengembalikan kesejatian manusia, tentu memerlukan proses dan
perjuangan. Dengan kata lain moral dan agama merupakan kontrol, karena
di dalamnya diajarkan berbagai kemuliaan. Bagaimana mungkin kehidupan
selaras dengan nilai-nilai Islam akan tercipta55. Kalau agama dan moral
tidak sejalan, Pernyataan ini adalah bagian dari keprihatianan manusia
dengan menyaksikan dari berbagai perilaku manusia dizaman modern.
Untuk lebih memahami tujuan dari tulisan ini lebih baik kita lihat apa
tawaran-tawaran yang pas dalam mengembalikan jati diri manusia
khususnya bagi bangsa Indonesia sebagai makhluk suci yang mendiami
alam semesta terdiri dari berbagai latar belakang budaya, adapun tawaran
yang dimaksud adalah:
Penguatan Pendikan Islam Multi Kultural
Abdurrahman Wahid memberikan tiga rumusan bagi umat Islam
menterjemahkan nilai Islam dalam konteks keindonesiaan. Antara lain:
Pertama; Islam harus tampil sebagai sumber nilai yang melandasi
53
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines,
conceptions of nature and methods, used for its study by the ikhw an al-~afa, al-biruni, and
ibn sina, Revised edition published in (Britain at The Pitman Press by Thames and Hudson
Ltd, 1978), 1
54
Seyyed Hossein Nasr, The Hart of Islam, Enduring Values for Humanity, (New
York USA 2002) diterjamahkan Nurasiah Fakhi Sutan Harahap, The Heart of Islam Pesanpesan Universal Islam dan Kemanusiaan (Bandung Mizan 2003),3
55
Alan Thomas, Value and Context The Nature of Moral and Political Knowledge
(New York Oxford: Clarendon press, 2006), 14
17 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
pembangunan bangsa secara komprehensif56. Artinya Islam tidak hanya
cukup sebagai ajaran ritual pribadi dan hanya melahirkan kesalehan
individual, tanpa melihat dan peduli di sekelilingnya. Kepekaan kita
merupakan bagian dari repleksi dari sifat “Hablum min
an-Na>s”
sebagaimana Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa setiap manusia memiliki
solidaritas sosial57 solidaritas sosial bagian dari kesalehan sosial, di
dalamnya terdapat berbagai tanggung jawab dan amanah yang harus
diemban.
Kedua; Islam tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang
produktif, konstruktif dan Progressif. Kita menyadari bahwa di Indonesi
telah ditakdirkan lahir sebagai Negara yang terdiri dari berbagai suku,
bangsa dan budaya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah penelitian oleh
ILPI”58 ada 14 sistem budaya daerah di Negara Kita, keberadaan budaya
tersebut merupakan bagian dari kehidupan di Indonesia tumbuh dan
berkembang, memiliki kemampuan hidup dengan beradaptasi ditengahtengah arus modernisasi yang datang tanpa dapat dicegah59 artinya umat
Islam Indonesia harus bisa bersikap toleransi dan terbuka terhadap berbagai
budaya sebagai perbedaan.
Ketiga; Islam diharapkan dapat menawarkan dirinya sebagai
sumber pengembangan dan pelestarian kelembagaan nilai-nilai melalui
berbagai pranata dalam masyarakat. Pada taraf ini, orang-orang muslim
Indonesia dituntut untuk lebih mampu menampilkan dirinya serta ajaran
agamanya sebagai kebaikan bagi semua makhluk (rahmatan lila>lami}n),
56
Richard M Reitan, Making a Moral Society, (University of Hawai‘i: University
of Hawai Press, 2010), 276
57
Abdurahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, al-Muqaddimah Ibnu
Khaldun, terjamahan, Jakarta Pustaka Firdaus,2000), 156
58
LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, beberapa tahun yang lalu
mengadakan npenelitian tentang 14 sistem budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya
daerah Aceh, hingga Nusa Tenggara Timur (NTT), di teliti, termasuk sisitem budaya Jawa I
dan Jawa II yang dimaksud budaya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerahdaerah pusat kraton seperti Yogyakarta dan Solo, sebaliknya sistem budaya Jawa II adalah
Jawa Pinggiran, terutama di Jawa Timur, budaya Pesantren dalam halini termasuk sisitem
budaya Jawa II. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama
Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta The Wahid Institute 2006), 257
59
Ibid,.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 18
tanpa ekslusivisme komunal. Ini lah watak agama Islam universal dan
inklusif60, sehingga setiap orang merasa simpati dan dihargai. Dengan
demikian, setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus
memperhitungkan kondisi sosial budaya yang majemuk. Gagasan yang
dilontarkan Abdurrahman Wahid tersebut dengan “Pribumisasi Islam, atau
lebih dikenal Islam dan multi kuturalisme pendidikan Islam.
Membangun Kekuatan Moral (moral Power)
Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali misalnya memberikan beberapa
penjelasan bahwa; kekuatan moral (akhlak) mengandung beberapa makna,
antara lain adalah kemampuan mengelola dan mengendalikan diri dari
kecenderungan-kecenderungan yang bersifat destruktif”61 dalam hal
membangun kekuatan moral, tidak seperti membangun rumah atau
jembatan namun memerlukan proses. Membangun moral dalam pandangan
al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, adalah memperbanyak melakukan
kebaikan-kebaikan, tentu dengan menggunakan berbagai epistemologi
tersendiri, artinya konsep moral yang dikembangkan Ibnu Miskaway dan
Al-Ghazali selalu dikondisikan (pleksibelitas) tidak kaku apa lagi
menghadapi manusia modern.
Seperti diungkapkan Michele Borba, bahwa kekuatan moral adalah
komitmen etis dalam arti keyakinan yang kuat pada diri seseorang terhadap
kebaikan atau apa yang diyakini sebagai kebaikan”62 kemudian Ary
Ginanjar menjelaskan membangun kekuatan moral berawal dari lahirnya
kesadaran diri, dimulai dalam bentuk dzikir, dan fikir, sebagai repetive
magic power adalah dzikir dan tasbih. Mengingat kesucian nama serta sifat
Allah setiap hari, akan terus membantu mengendalikan kejernihan hati
60
Nurcholis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan wakaf Para
Madina, 1992), IV
61
Abu Hamid al-Ghazali Ihya> ‘Ulum ad-Di>n, (Birrut: Dar al-Fikr, tt,) Jilid III, 66
bandingkan dengan Ibnu Miskawih, Tahdzi>b al-Ahla>q wa Tahrir al-‘Ahra>q (Bairrut: Dar alMaktabah al-Haya>h, tt) 51, Lihat A. Ilyas Ismail, dalam True Islam, Moral Intelektual,
Spiritual, (Jakarta Mitra Wacana Media, 2013), 30
62
Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral, Tuju Kebajikan Utama bagi
Anak Bermoral Tinggi (terj, Lina Yusuf, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1- 4
19 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
(heart)63. Kekutan moral pada dasarnya adalah kemampun menempatkan
hati pada posisi yang positif. Sehingga untuk menjadikan hati sebagai
kekuatan (power) perlu diberikan nutrisi, dalam arti harus selalu mengingat
Allah dalam bentuk syikir, dan bersujud. Dilakukan tanpa batas dan tidak
bisa harus berhenti, seperti dalam al-Qur’an ‫ َﻓﺄ َ ْﯾ َﻨﻤَﺎ ﺗُﻮَ ﻟﱡﻮا َﻓ َﺜ ﱠﻢ وَﺟْ ُﮫ‬ke manapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah64. Pesan yang kita ambil dalam
ayat ini jangan melupakan Allah, dimana saja kamu berda, karena dalam diri
kita memiliki hubungan fitrah yang sejati.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa seseorang disebut
kuat secara moral apa bila ia memenuhi empat ciri. Pertama, mampu
mengidentifikasi apa yang baik dan yang buruk. Kedua, memiliki komitmen
yang kuat pada kebaikan. Ketiga, bertindak sesuai dengan komitmen di atas
dalam arti senantiasa melakukan yang baik dan menjauhkan diri dari yang
buruk. Keempat, mampu memengaruhi orang lain dan lingkungan, sehingga
kondusif untuk perubahan dan perbaikan moral dan akhlak masyarakat65.
Semoga ini menjadi benar-benar kekutan dalam menghadapi manusi saat
ini.
Membangun Kekuatan Spiritual (spitual power)
Membangun kekuatan spiritual intinya pengendalian diri, seperti
diungkapkan sebuah hasil penelitian berjudul "The Calissics of Western
Spirituality" (1970) dan disempunakan dengan judul "World Spirituality An
Ensyclopedic History of The Religius Quest" (1980)"66 "inti spiritual ini
63
Ary Ginanjar Agustian, Emotional Spritual Quotient (ESQ), Rahasia Sukses
Membangaun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (edisi revisi Jilid 1, Jakarta Pondok Pinang,
PT. Arga Tilanta, 2001), 82
64
al-Qur’an al-Baqarah (2) :115
65
Menurut Borba, ada tuju kebajikan utama atau pangkal moralitas tertinggi,
yaitu, empati, hati nurani, control diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan adil, A.
Ismail, True Islam,.31 bandingkan dengan teori al-Ghazalai, yang menyatakan pangkal
akhlak hanya empat, ilmu dan kearifan (al-hikmah), keberanian (syaja>ah), kedermawanan
(sakha>wah), adil atau keadilan (al-adil), kemapat hal ini diturunkan dari ciri-ciri orangorang yang benar imannya kepada Allah swt dan Rasulnya, dalam surah al-Hujura>t ayat 15,
lihat Abu Hamid al-Ghazali Miza>n al-Amal (Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyaah, 1989), 74.
Ibid, 31
66
Lihat Ibid
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 20
adalah pusat paling dalam dari dimensi transenden"67 manusia. Kalau kita
mencermati "dimensi transenden" dalam ajaran agama masing-masing
adalah "kesadaran manusia"68 yang bersipat imanen, dengan kesadaran itu
lahirla sikap toleransi yang abadi, dan di sinilah titik penting dari manusia
sebagai makhluk universal baik secara biologis maupun sosilogis. Dimensi
transendental inilah lahir kesadaran religius sekaligus kesadaran sosial.
Kemudian dalam spiritualitas Islam, Tuhan merupakan inti
spiritualitas (Gad Spot) yang sesungguhnya, sekaligus menjadi realitas
(eksoteric)”69. Sekali lagi spiritualitas Islam (dalam agama) pada
hakikatnya merupakan realisasi dari Tauhidi (keyakinan), berdasarkan
taladan Nabi dan Rasul dengan tujuan memperoleh sifat-sifat Ilahiyah,
dengan berupaya mencapai kebaikan-kebaikan yang sempurna. Spiritualitas
atau kesucian telah melahirkan kerahmatan yang tinggi, semakin nyata
kalau manusia mengimplementasikan dalam perbuatannya setiap hari, baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat sosial, dengan demikian
semakin tumbu kesadaran beragama dan lahirlah kesalehan sosial.
\
Penutup
Membangung kesadaran moral dan spiritual manusia harus di mulai
sedini mungkin, dan memerlukan strategi sebagai bentuk kepedulian dalam
menghadapi kehidupan modern. Karakter dan prilaku manusia seolah tidak
lagi memperdulikan dirinya sebagai makhluk yang memiliki tanggug jawab,
bahkan semakin jauh dari nilai-nilai religius dan moral.
Disamping itu pola fikir dan pengembangan sumber daya religius
manusia perlu mendapatkan perhatian khusus, tidak hanya para ahli agama
semata, melainkan seluruh elemen masyarakat, terutama dalam keluarga
sebagai proses awal dalam perkembangan moral manusia. Disamping
memperbaiki cara berfikir, sebagai bentuk epistemologi dalam merspons
setiap perubahan. Dengan kata lain memerlukan kontrol untuk menyaring
67
Lihat Ali Noer Zaman Op.cit, h.78
Lihat Sayyed Husein Nasr, Intelgensia dan Spiritulitas Agama-agama Locit, h. 3
69
Sayyed Husein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritulitas Islam, (Cet I, Bandung
Mizan, 2002), h.417
68
21 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
arus informasi dan globalisasi semakin hari semakin tidak berbatas, pasar
besar (libration market). Meskipun sebenarnya memerlukan waktu, sebagai
proses menuju kesempurnaan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
A. Izutsu, Comparitive study of The key Philoshophical Concept in
sufism and Taoism –Ibnu Arabi and Laotzu, Chuang-Tzu, Pt. 1
Tokyo 1966.
Abdullah Otta. Yusno, Krisis Manusia Modern Prespektif Nasr (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011)
Aceh, Abu Bakar Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: CV Ramdhani, 1991)
Al-Ghazali Abu Hamid, Ihya> ‘Ulum ad-Di>n, Jilid III, (Birrut: Dar al-Fikr,
tt,) Edisi Indonesia (Jakarta Republika, 2011)
Astuti, Rahmani Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam Secara
Fenomenologis, Bandung Mizan 1997)
Audi, Robert, Epistemology (Canada: Rotledge, 1999)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarat, PT. Gramedia Pustaka Utama,
2005)
Bertens, K Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakrta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1991)
Borba, Michele, Membangun Kecerdasan Moral, Tuju Kebajikan Utama
bagi Anak Bermoral Tinggi (terj, Lina Yusuf, Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 2008)
Copp, David, The Oxford Handbook of Ethical Theory (New York Oxford:
Oxford University Press, 2006)
Dep Dik Nas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kempat, Jakarta PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008)
E.Goodin, Robert, Political Theory (New York Oxford: Oxford University
Press, 2006)
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 22
Eaton, G. King of The Kastle bab 5, G. Durand, Science de i’homme et
tradition, Paris 1979
Giddens, Antony, The Consequences of Modernity, (Cambridge, Polty,
1991, kemudian Modernity and Self-Iderntity; self and society
in the latemodernage, (Stanford Unversity Press 1991)
Ginanjar Agustian, Ary, Emotional Spritual Quotient (ESQ), Rahasia
Sukses Membangaun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (edisi
revisi Jilid 1, Jakarta Pondok Pinang, PT. Arga Tilanta, 2001)
Hidayat, Komaruddin, et.al Agama Masa depan Prespektif Filsafat
Perennial, (Paramadina, Jakarta 1995)
Hilmy, Masdar, Islam Profetik Subtansiasi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang
Publik, (Yogjakarta, Kanisius, 2008)
Horgan. Terry, et.al, Metaethics after Moore (New York Oxford: Clarendon
Press, 2006)
Hossein Nasr, Sayyed, Ensiklopedi Tematis Spiritulitas Islam, (Cet I,
Bandung Mizan, 2002)
_________.Inteligensia dan Spiritualitas Agama-Agama, diterjamahkan
dari Judul aslinya "Knwledge and the sacred, oleh Suharsono
et.al, (Jakarta Insani Pers 2004)
_________.Islam and The Plight of Modern Man Revised and Enlarged
Edition (Published by ABC International Group, Inc. First
published 197 5)
_________.Jahanbegloo in scarch of the sacred a.conversation whith
Seyyed Hossein Nasr on This life and thought intorudation by
Try more (California, ABC-Clilo 2010)
_________.Man And Natur, The Spiritual Krsisi of Modern Man (london
George Allen And Udwin 1968)
_________.Man dan Nature dan Islam And The Plig Modern Man (London
Logman 1976)
_________.Need For a secred Science (al-Bany Statet Unversity of New
York Press 1993)
23 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
_________.Reflection on Islam and Modern life, Journal al-Serat Vol. VI.
No.1 1397
_________.The Hart of Islam, Enduring Values for Humanity, (New York
USA 2002)
http/books. geoogle.coid. Modernisme diakses 1 April 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada Jum’at, 12 Maret
2010,
http://unsilster.com tentang-akhlak/di akses 27 september 2013
Ibnu Khaldun, Abdurahman bin Muhammad, al-Muqaddimah Ibnu Khaldun,
terjamahan, Jakarta Pustaka Firdaus,2000)
Ismail, Ilyas.A, True Islam, Moral Intelektual, Spiritual, (Jakarta Mitra
Wacana Media, 2013)
Jones, Pip, Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori Fungsionalisme Hingga
Post-Modernisme, (Jakarta Yayasan Obor Indonesia)
Lash, Scott, Sosilogi Post Modernisme, diterjamhkan dari, Sociology of
postmodernism, London, Roletge, 1990, oleh, Gunawan
Admiranto, (Yogyakarta, Kanisius, 2004),2009
Latif. Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa; Geneologi Inteligensia muslim
Indonesia Abad 20, (Bandung: Mizan, 2005)
M Reitan, Richard, Making a Moral Society, (University of Hawai‘i:
University of Hawai Press, 2010)
Majid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan wakaf
Para Madina, 1992)
Maksum, Ali, Pengantar Fislafat, dari masa Kalsik Hingga Post
Modernisme, (Jogyakarta Ar-Ruzz Media, 2009)
May. Todd, The moral theory of poststructuralism (Pensylvania State
University: The Pennsylvania State University Press, 1995)
Miskawih, Ibnu, Tahdzi>b al-Ahla>q wa Tahrir al-‘Ahra>q (Bairrut: Dar alMaktabah al-Haya>h, tt)
Moore, G.E. Moore’s, Arguments Against Certain Forms of Ethical
Naturalisme, dalam Stevenson, Facts and Values, (New Haven:
Yale University 1963).
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 1 Januari –Juni 2014 24
Noer Zaman, Ali, Agama Untuk Manusia, (Yogyakarta Pustaka
Pelajar,2000)
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka, 1996)
Randel Koons, Jeremy, Pragmatic Reasons A Defense of Morality and
Epistemology (NewYork: Palgravemacmillan, 2009)
Russell, Bertrand, History of Western Philosphy and its Connection With
Political and social Circumstances from the Earliest Times to
the Present Day (London LTD. George Allen And UNWIN,
1946)
Schimmel, Annemarie Decipbering the Signs of God, A Phenomenologycal
Approach to Islam diterbitkan Endiburgh University Press UK,
1992
Sholihin, Muhammad, Tasawuf Aktual, menuju Insan Kamil, Semarang
Pustaka Nuun 2004)
Suseno, Franz Magnis, Etika abad kedua puluh, (Yogyakarta; Kanisius
2006)
Talisse, Robert, Democracy and moral conflict (New York: Cambridge
university press, 2009)
Thomas, Alan, Value and Context The Nature of Moral and Political
Knowledge (New York Oxford: Clarendon press, 2006)
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, (Jakarta The Wahid Institute 2006).
25 Rusdin, Moral dan Spritualitas …
Download