Kegiatan Belajar 1 HAKEKAT SOSIOLOGI PENDIDIKAN a. Learning Outcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Sosiologi Pendidikan. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan objek kajian Sosiologi Pendidikan. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan perkembangan studi Sosiologi Pendidikan. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan perspektif dalam Sosiologi Pendidikan. b. Uraian Materi 1. Pengertian Sosiologi Pendidikan Ditinjau dari segi etimologinya istilah sosiologi pendidikan terdiri atas dua perkataan yaitu sosiologi dan pendidikan. Menurut Payne (dalam Abu Ahmadi, 2004: 6) aspek-aspek sosiologis dalam sosiologi pendidikan dapat dilihat dalam: lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial, proses sosial yang mana di dalamnya terdapat socialrelationship. Sedangkan aspek-aspek pendagoginya menurut Payne terlihat dari: Social relationship pare for there more regarded particulary in relation to the educational system in its evolution and changing finction. Menurut H.PFairchild(dalam Abu Ahmadi, 2004: 1): sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalahmasalah pendidikan yang fundamental. Sosiologi pendidikan tergolong appliedsociology. Nasution (2011: 5) mendefinisikan sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola-pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan. 1 Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Sosiologi pendidikan memandang gejala-gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.(RavikKarsidi, 2005: 1)Masalah sentral dalam sosiologi pendidikan adalah aspek-aspek sosiologi di dalam pendidikan. 2. Objek Kajian Sosiologi Pendidikan Objek penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait dengan pendidikan. Sosiologi pendidikan berbicara tentang kelas, sekolah, keluarga, masyarakat desa, kelompok-kelompok masyarakat dan sebagainya. Masalah-masalah yang diselidiki sosiologi pendidikan antara lain meliputi pokok-pokok berikut ini; a. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat b. Hubungan antar manusia di dalam sekolah c. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di sekolah/ lembaga pendidikan d. Lembaga pendidikan dalam masyarakat 2 3. Perkembangan Studi Sosiologi Pendidikan Perkembangan sosiologi pendidikan dimulai dari Lester F. Ward ( Rifa’i, 2011: 67) yang dianggap sebagai penerus gagasan timbulnya studi baru ini. Yard hadir dengan idenya mengenai evolusi sosial. Ia juga menekankan peranan pendidikan sosial yang realistis dalam memimpin perencanaan kehidupan pemerintah. Pelopor sosiologi pendidikan dalam arti formal ialah John Dewey yang menerbitkan buku School Ana Society tahun 1889. Dalam buku tersebut, dijelaskan pendapatnya mengenai sekolah sebagai lembaga sosial. Pada waktu itu, beberapa ahli ilmu pendidikan sosiologi menekankan pentingnya peranan sosiologi bagi pendidikan. Sosiologi pendidikan pertama kali dikuliahkan oleh Henry Suzzalo tahun 1910 di TeacherCollege, UniveritasColombia. Tahun 1917 terbit buku textbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R. Smith dengan Judul Instroductionto Educational Sociology. Tahun 1916, di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Di Indonesia, baru tahun 1967, sosiologi pendidikan pertama kali diajarkan di IKIP Negeri Yogyakarta Jurusan Didaktik Kurikulum. 4. Perspektif dalam Sosiologi Pendidikan. Perspektif merupakan sebuah cara pandang seseorang mengenai dunia sosial disekitarnya atau dapat juga disebut sebagai sudut pandang (poin of view) (Nanang Martono, 2010: 19). Beberapa perspektif yang 3 digunakan oleh para sosiolog dalam melihat serta menganalisis berbagai permasalahan pendidikan. 1) Perspektif Struktural Fungsional Asumsi utama perspektif struktural fungsional adalah melihat bahwa masyarakat sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem tersebut memiliki fungsi masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Agar sistem masyarakat dapat berjalan stabil maka subsistem tersebut harus selalu ada dan selalu menjalankan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu atau beberapa subsistem tidak berperan sebagaimana fungsinya, maka sistem tersebut akan hancur atau masyarakat akan mengalami kekacauan. Pada dasarnya terdapat dua pertanyaan mendasar mengenai pendidikan yang dikemukakan para fungsionalis dalam menganalisis praktik pendidikan, yaitu: a. Apa fungsi pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan? b. Apa fungsi hubungan fungsional antara (institusi) pendidikan dengan bagian (institusi) yang lain dalam sistem sosial? Secara umum, para analis fungsional, melihat fungsi serta kontribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau mempertahankan keberlangsungan sistem sosial. 4 2) Perspektif Konflik Perspektif konflik menekankan adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri atas individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang terbatas. Kemampuan individu untuk mendapatkan kebutuhan pun berbeda-beda. Berkaitan dengan lembaga pendidikan, bagi analis konflik, pendidikan justru memberikan kontribusi negatif bagi masyarakat. asumsi dasar, diantaranya bahwa setiap unsur dalam sistem sosial memiliki potensi memunculkan konflik dalam masyarakat. konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kedudukan atau posisi antarsusbsistem. 3) Perspektif Interaksionisme Simbolik Asumsi perspektif interaksionisme simbolik adalah masyarakat itu terdiri atas individu yang mengalami proses sosialisasi dan eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi sosial yang berlangsung Siantar individu dalam masyarakat. Interaksi sosial menurut perspektif ini merupakan bagian yang penting dalam masyarakat. Perspektif interaksionisme simbolik melihat pendidikan dari sisi mikro, yaitu melihat pendidikan dari komponen interaksi tatap muka antarindividu yang terlibat dalam proses pendidikan. Analis perspektif interaksionisme simbolik menemukan bahwa ekspektasi (harapan) 5 guru membawa konsekuensi yang sangat besar bagi siswa mereka (Henslin, 2006). Bagi kaum interaksionis, pandangan terhadap diri sendiri atau konsep diri (sel Condet) diproduksi oleh siswa yang lain. Konsep diri siswa juga dipengaruhi oleh siswa yang lain, oleh guru melalui interaksi. Bacaan: Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: mengungkapkan Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava Media. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media. 6 Kegiatan Belajar 2 HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah pendidikan di Indonesia. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan sekolah dan masyarakat. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi-fungsi sekolah. b. Uraian Materi 1. Sejarah Pendidikan di Indonesia Sejarah pendidikan di Indoensia dapat dilihat dari masa kerajaan Sriwijaya, masa kerajaan Islam, dan masa kerajaan pemerintahan Belanda. a. Pendidikan pada masa Pemerintahan Belanda dikenal dengan istilah “Trichotomi Social”, atau “threetractSystem”: 1) Pendidikan untuk golongan bawahan atau rakyat jelata 2) Pendidikan untuk golongan atas yang disederajatkan dengan Belanda 3) Pendidikan untuk golongan bangsa Belanda, bangsa Eropa dan bangsa Timur lainnya. b. Sekolah yang didirikan Oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Tujuan didirikan sekolah adalah untuk menghidupkan rasa kebangsaan, dan kecintaan kepada kebudayaan sendiri, mempelajari kesenian sendiri, memelihara bahasa sendiri, mempelajari kesusastraan sendiri, dan lain sebagainya. 7 c. Pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah oleh Kyai Ahmad Dahlan (1868-1925). Tujuannya adalah untuk perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial d. Perguruan nasional taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro tahun 1922. Tujuannya adalah membangun perekonomian rakyat yang berdasarkan koperasi serta pendidikan rakyat yang berdasarkan kebangsaan. e. Sekolah-sekolah pada zaman Jepang dikenal dengan nama “Doogekkoo” (sekolah rendah) lama belajar adalah 6 tahun. “Tui Gakkoo” (sekolah menengah pertama) lama belajar 3 tahun. “Si hanGakkoo” (sekolah guru atas). f. Pendidikan di zaman kemerdekaan (1945-1950) adalah pendidikan rendah (SR) selama enam tahun; pendidikan menengah umum terdiri atas SMP dan SMA yang lamanya masing-masing adalah 3 tahun; pendidikan kejuruan; dan perguruan tinggi. g. Pada periode 1950-1975, berdirinya pendidikan: pra sekolah dan pendidikan dasar (TK) dan (SD); SMP; SMA; Pendidikan kejuruan; Perguruan Tinggi (akademik, dsb) h. Periode 1978 hingga sekarang telah terjadi banyak perkembangan di bidang pendidikan, yaitu: TK dan PAUD, SD, SLTP, SLTA, SMK, dan Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. 8 2. Sekolah dan Masyarakat Secara singkat, pendidikan merupakan produk dari masyarakat. bagi masyarakat, pendidikan sangat bermanfaat untuk kelangsungan dan proses kemajuan hidup. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai dengan corak masing-masing melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi. Pendidikan sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya di luar dirinya, yakni keluarga. Seiring dengan perkembangan waktu yang terus dilalui, maka setelah keluarga masih ada lagi tempat seseorang untuk dapat menerima pembelajaran secara formal, yaitu sekolah. Sekolah adalah lembaga sosial yang turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat seperti yang diharapkan. Sekolah memiliki kurikulum sebagai acuan dalam pelaksanaan pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara nasional. Maka dari itu, kurikulum yang dibuat harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Anak-anak dididik di sekolah tujuannya adalah agar menjadi anggota masyarakat yang berguna demi pembangunan dan kemajuan masyarakat yang lebih baik. Maksud hubungan sekolah dengan masyarakat (dalam Abdullah, 2011: 66) adalah untuk mengembangkan pemahaman tentang maksudmaksud dan saran-saran dari sekolah; untuk menilai program sekolah; 9 untuk mempersatukan orang tua murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik; untuk mengembangkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan sekolah dalam era pembangunan; untuk membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap sekolah; untuk memberitahukan masyarakat tentang pekerjaan sekolah; dan untuk mengarahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan program sekolah. Pemerintah Indonesia juga telah mengatur adanya peranan masyarakat terhadap pendidikan dalam UURI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebutuhan pendidikan di sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional antarkeduanya, yakni: 1) Adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang selaras dan positif terhadap sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat 2) Ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangi oleh lembaga prasekolah akan ditentukan oleh kejelasan perumusan komitmen antara sekolah selaku pelayanan dengan masyarakat selaku pemesan 3) Keberhasilan pelaksanaan fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya. Ikatan objektif yang dimaksud adalah berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu, seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lain yang memberikan makna penting bagi eksistensi dan produk sekolah. Hubungan sekolah dan masyarakat yang konstruktif diharapkan dapat meningkatkan kualitas kinerja sekolah yang ditandai dengan adanya 10 peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah secara efektif, efisien, dan produktif dalam menciptakan lulusan masa depan yang diharapkan. 3. Fungsi-Fungsi Sekolah Adapun fungsi sekolah (Nasuiton, 2011:14) adalah sebagai berikut: a. Mempersiapkan seseorang untuk mendapatkan satu pekerjaan b. Memberikan keterampilan dasar c. Sebagai alat transmisi kebudayaan d. Mengajarkan peranan sosial e. Menyediakan tenaga pembangunan f. Membuka kesempatan memperbaiki nasib g. Menciptakan integrasi sosial h. Membantu memecahkan masalah-masalah sosial i. Sebagai tempat menitipkan anak, khususnya anak-anak para sekolah. perguruan tinggi dapat dipandang juga sebagai tempat penitipan pemuda menunggu mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan jodoh. Bacaan: Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara. 11 Kegiatan Belajar 3 STRUKTUR DAN PERANAN SUB STRUKTUR DALAM PENDIDIKAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan Struktur Sosial. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan dan peranan (berbagai kedudukan dalam masyarakat sekolah). 3. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan guru dengan murid. b. Uraian Materi 1. Struktur Sosial Struktur sosial merupakan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat dimana terjadinya hubungan timbal balik antara status sosial dan peranan sosial yang mengacu pada suatu ketentuan perilaku di dalam masyarakat.. Status atau kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Peranan (role) adalah aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Dengan demikian, status dan peranan yang dimaksud adalah status dan peranan seseorang dalam struktur sekolah. Dalam struktur sosial terdapat sistem kedudukan dan peranan anggota-anggota kelompok yang kebanyakan bersifat hierarkis, yakni dari kedudukan yang tinggi yang memegang kekuasaan yang paling banyak sampai kedudukan yang paling rendah. Kepala sekolah menduduki posisi 12 yang paling tinggi dan pesuruh kedudukan yang paling rendah. Dalam kelas guru memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada murid. Biasanya murid-murid kelas rendah merasa mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada murid-murid kelas yang lebih tinggi. 2. Kedudukan dan Peranan (Berbagai kedudukan dalam Masyarakat Sekolah) Kedudukan atau status menentukan posisi seseorang dalam struktur sosial, yakni menentukan hubungannya dengan orang lain. Status atau kedudukan individu, apakah ia di atas atau di bawah status orang lain mempengaruhi peranannya. Kepala sekolah adalah pimpinan dalam suatu sekolah tertentu, yang bertugas dalam membina dan mengayomi bawahannya seperti guru, pegawai, pesuruh, dan peserta didik. Guru merupakan pimpinan di dalam kelas sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Guru bertugas untuk memberikan pendidikan dan membimbing peserta didiknya sesuai dengan bidang masing-masing. Pegawai merupakan staf administrasi sekolah yang bertugas dalam urusan dokumentasi sekolah. Pesuruh sekolah merupakan pegawai tingkat paling rendah di sekolah yang bertugas dalam memelihara kebersihan lingkungan sekolah dan memelihara semua peralatan dan prasarana sekolah dengan baik. Peserta didik merupakan orang yang akan dididik dan dibimbing untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan membangun generasi bangsa yang cerdas dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan negaranya. 13 3. Hubungan guru dengan murid Guru merupakan orang yang memberikan pengetahuan kepada anak Didi. Sementara anak didik atau murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling vital dalam proses pembelajaran. Aktivitas dalam proses pembelajaran selalu berhubungan dengan adanya guru yang bertugas sebagai pendidik dan menyampaikan berbagai informasi berkaitan dengan materi pelajaran kepada anak didik selaku penerima didikan dan informasi dari berbagai materi yang disampaikan. Dengan demikian, guru dan murid dapat dikatakan sebagai pilar utama dalam terselenggaranya aktivitas pendidikan. Dalam proses pembelajaran antara guru dengan murid akan terjadi proses interaksi, khususnya interaksi yang sifatnya edukatif. Ciri-ciri interaksi edukatif (RavikKarsidi, 2005: 67) adalah sebagai berikut: a. Memiliki tujuan, yaitu untuk membantu anak dalam satu perkembangan tertentu. b. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c. Ditandai dengan satu penggarapan materi khusus. d. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa, baik fisik maupun secara mental aktif. 14 e. Guru berperan sebagai pembimbing. Guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi terjadinya proses interaksi yang kondusif. Guru sebagai mediator dan sebagai desainer dalam proses pembelajaran. f. Adanya disiplin. Disiplin yang dimaksud adalah sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik guru maupun murid. g. Ada batas waktu. Setiap pencapaian suatu tujuan memiliki batasan waktu tertentu. Proses pembelajaran, interaksi berlangsung secara edukatif antara guru dengan murid. Guru harus selalu memberikan dan memperlihatkan prilaku yang baik kepada muridnya dengan tujuan dapat mendidik dan membimbing murid menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Proses interaksi guru dengan murid bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Usman dalam (RavikKarsidi, 2005: 69) mengklasifikasikan lima pola interaksi yang terjadi antara guru dengan murid, yaitu: a. Pola Guru - Anak Didik Komunikasi sebagai aksi (satu arah) b. Pola Guru - Anak Didik – Guru Ada balikan (feedback) bagi guru, tidak ada interaksi antarsiswa c. Pola Guru – Anak Didik – Anak Didik Interaksi optimal antara guru dan anak sisik dan antara anak didik. 15 d. Pola Guru – Anak Didik, Anak didik - Guru, Anak Didik - Anak Didik Interaksi optimal antara guru dan anak didik dan antara anak didik dengan anak didik. e. Pola Melingkar Setiap anak didik mendapat giliran untuk mengemukakan sambutan atau jawaban, tidak diperkenankan berbicara dua kali apabila setiap anak didik belum mendapat giliran. Bacaan: Karsidi, Ravik, 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. 16 Kegiatan Belajar 4 KELAS SEBAGAI SEBUAH SISTEM DALAM PENDIDIKAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan kelas sebagai sistem sosial. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan sekolah sebagai sistem sosial. b. Uraian Materi 1. Kelas Sebagai Sistem Sosial Pendidikan secara formal dan informal berlangsung di ruang kelas. Berdasarkan perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Pada ruang kelas terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas sifatnya permanen. Pada akhirnya, peran dan ungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin. Berdasarkan pengamatan Parsons (dalam RavikKarsidi, 2005: 14) tentang kelas sebagai sistem sosial, kelas merupakan kepanjangan dari proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga maupun masyarakat. 17 kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan penanaman nilai-nilai dari masyarakat. Pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosiopsikologis untuk melihat ruang kelas. Dalam rangkaian penelitian Flanders (1967), menemukan bahwa semakin besar ketergantungan murid kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategistrategi belajarnya sendiri. Inti penerapan analisisi interaksi adalah menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruhpengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini erat kaitannya dengan metode yang diterapkan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Sebagai sistem sosial, di dalam kelas terbentuk konfigurasi sosial di dunia pergaulan siswa. Di dalam kelas terdapat pengelompokkan yang berakibat pada polarisasi antarkelompok. Ada kelompok si bodoh, si kaya, si pandai, si pemalu dan sebagainya. Apabila guru mengetahui fakta tersebut dan mampu mengelola interaksi antarkelompok maka penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya. Sebaliknya apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa. Berdasarkan analisisi sosiologis juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus diperhitungkan di dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. 18 Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis diatas, dapat memberikan wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan pembinaan siswa lebih efektif. 2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial Sekolah merupakan organisasi formal yang mengemban fungsi sebagai lembaga yang memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak Didi, dengan mengkoordinasikan individu-individu yang memiliki tugas dan peran yang berbeda-beda dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional. Guru secara formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajaran dengan para siswanya di kelas. Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat legal rasional untuk menggerakkan roda organisasi. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut ReinhardBendix (dalam RavikKarsidi, 2005: 96), organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut: 19 a. Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan b. Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif c. Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu hierarki wewenang d. Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas e. Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan f. Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi tertulis. Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponenkomponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Dalam struktur sekolah akan ditemui tingkatan-tingkatan jabatan sesuai dengan status dan peran yang diemban masing-masing seperti; kepala sekolah, para wakil kepala sekolah untuk setiap bidang, guru-guru mata pelajaran sesuai dengan jenjang pendidikan, staf administratif, dan pegawai sekolah atau penjaga sekolah. 20 Bacaan: Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. 21 Kegiatan Belajar 5 PENDIDIKAN DALAM KONTEKS MULTIKULTURALISME a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan sebagai sosialisasi kebudayaan. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan pergulatan manusia dalam keanekaragaman. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan dalam ruang lingkup kebudayaan. b. Uraian Materi 1. Pendidikan Sebagai Sosialisasi Kebudayaan Kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat dalam bersikap dan berprilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin dalam RavikKarsidi, 2005: 115) Sebagai suatu sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisible Power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja secara acribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung 22 tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya. Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya. Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfer tuntutan global. Penguasaan teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional, terampil dan berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran menerapkan iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki 23 oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi. 2. Pergulatan Manusia Dalam keanekaragaman Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Pewarisan kebudayaan tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lain. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya diberbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan zaman (anakronistis), dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal. 3. Pendidikan Dalam Ruang Lingkup Kebudayaan 24 Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun nun fisik. Hasil Perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkansuatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada ahkirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam. Bacaan: Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNP Press. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. NgainunNaim dan Ahmad Syaugi. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 25 Kegiatan Belajar 6 HUBUNGAN STRATIFIKASI DENGAN PENDIDIKAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan penggolongan sosial. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara-cara menentukan golongan sosial. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan tingkat pendidikan dan tingkat golongan sosial. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan golongan sosial dan jenis pendidikan. b. Uraian Materi 1. Penggolongan Sosial Ada berbagai penggolongan yang terjadi dalam masyarakat yaitu: lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Penggolongan masyarakat ini disebut dengan konsep stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial memiliki tiga sifat yaitu: tertutup, terbuka, dan campuran. Stratifikasi sosial tertutup merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan kelahiran, dimana seseorang yang berasal dari kelas priyayi tidak bisa berubah menjadi kelas bangsawan. Stratifikasi sosial terbuka merupakan penggolongan masyarakat yang didasarkan pada usaha seseorang, sepertihalnya seorang anak petani miskin dengan usahanya memperoleh pendidikan tertentu mampu menjadi seorang direktur bank. Hal ini menandakan bahwa ada kemungkinan bagi seseorang untuk bisa pindah kelas dari yang rendah ke yang lebih tinggi. 26 Latar belakang munculnya stratifikasi sosial dapat disebabkan adanya perbedaan perlakuan dan penghargaan masyarakat terhadap suatu yang dimiliki. Setiap masyarakat memiliki sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat, dan lain sebagainya. Selama manusia membedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat atau sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan (strata yang rendah). 2. Cara-Cara menentukan Golongan Sosial Banyak cara untuk menentukan penggolongan sosial seperti: jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis dan luas rumah, lokasi rumah, asal keturunan, partisipasi dalam kegiatan organisasi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan status sosial seseorang. Menurut SoerjonoSoekanto (2001: 263) beberapa kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut: a. Ukuran kekayaan. Orang yang memiliki kekayaan yang paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. b. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar menempati lapisan atas. 27 c. Ukuran kehormatan. Orang yang disegani dan dihormati mendapat tempat yang teratas. d. Ukuran ilmu pengetahuan. Orang yang berkualitas dalam pendidikannya mendapatkan posisi yang tertinggi dilingkungannya. 3. Tingkat Pendidikan dan Tingkat Golongan Sosial Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun tingkat sosial seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan sosial yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi. Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi karena anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkannya sampai perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan atas akan berupaya agar anaknya dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. 4. Golongan Sosial dan Jenis Pendidikan Pendidikan menengah pada dasarnya diadakan sebagai persiapan untuk pendidikan tinggi. Karena biaya pendidikan tinggi pada umumnya mahal, tidak semua orangtua mampu membiayai studi anaknya. Pada 28 umumnya anak-anak yang orang tuanya mampu, akan memilih sekolah menengah umum sebagai persiapan untuk studi universitas. Orangtua yang mengetahui batas kemampuan keuangannya akan cenderung memilih sekolah kejuruan bagi anaknya. Sebaliknya anak-anak orang kaya tidak tertarik oleh sekolah kejuruan. Bacaan: Abdullah, Idi. 2011. Sosiologi Pendidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Cetakan kedua. Jakarta: Rajawali Pers. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. 29 Kegiatan Belajar 7 HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN PERUBAHAN SOSIAL a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian mobilitas sosial. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan determinasi mobilitas sosial. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan mobilitas sosial melalui pendidikan. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan tingkat sekolah dan mobilitas sosial. 5. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan menurut perbedaan sosial. b. Uraian Materi 1. Pengertian Mobilitas Sosial Menurut Horton& Hunt (1999), mobilitas sosial adalah sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya. Tipe-tipe mobilitas sosial adalah vertikal dan horizontal (SoerjonoSoekanto, 2001: 276). Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikal memiliki dua jenis yaitu yang naik (socialclimbing) dan yang turun (Social sinking). Sedangkan mobilitas sosial horizontal adalah peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. 2. Determinasi Mobilitas Sosial 30 Zaman dahulu seseorang mendapatkan status tinggi dalam sistem stratifikasi dalam masyarakatnya karena faktor keturunan dan inipun akan berlangsung selama seumur hidup tanpa ada proses kompetisi untuk menggapai ataupun mempertahankan status tertentu (kecuali atas dasar pengkhianatan terhadap orang-orang kelas dan perkawinan). Ini sangat jarang terjadi, kini pada masyarakat industri modern kesempatankesempatan untuk berkompetisi meraih status pada kelas-kelas atas sangat terbuka sekali. Dalam masyarakat seperti ini yang lebih dihargai pada diri seseorang adalah prestasi, kecakapan, keahlian dan faktor determinasi utama, yakni struktur sosial yang menentukan jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang terdistribusi dan kemudahan untuk memperolehnya. Ketika individu yang ada di dalamnya adalah pemainnya yang akan menentukan siapa yang berhasil mencapai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat juga terdapat saluran-saluran tertentu bagi mobilitas sosial, melalui saluran-saluran ini status seseorang warga bisa bergerak naik dari lapisan yang rendah ke dalam lapisan yang lebih tinggi. Saluran mobilitas sosial ini antara lain organisasi pemerintahan, lembaga keagamaan, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan, angkatan bersenjata, ekonomi, keahlian, dan perkawinan. Lembaga pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat diperoleh seseorang untuk dapat mobilitas sosial dalam kehidupannya. 31 3. Mobilitas Sosial Melalui Pendidikan Dalam realitas kehidupan zaman sekarang banyak ditemukan bahwa orang-orang yang meningkat status sosialnya disebabkan pendidikan yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula peluang untuk memperoleh status yang lebih baik. Misalnya, untuk tamatan SMA, pekerjaan yang sesuai untuk saat sekarang adalah sebagai pesuruh kantor. Mereka yang tamatan SMA tidak punya peluang besar untuk dapat memperoleh posisi jabatan yang lebih tinggi, misalnya sebagai pimpinan atau direktur suatu perusahaan tertentu. Lain halnya dengan seseorang yang memiliki pendidikan pada perguruan tinggi. Mereka yang tamatan dan memperoleh ijazah perguruan tinggi tertentu dengan lebih mudah untuk memperoleh kedudukan sebagai pimpinan perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah dapat membuka kesempatan untuk meningkatkan status anak-anak dari golongan rendah. Di sekolah mereka mempunyai hak yang sama atas pelajaran, mempelajari buku yang sama, mempunyai guru yang sama, bahkan berpakaian seragam yang sama dengan anak-anak dari golongan tinggi. Dengan prestasi yang tinggi dalam bidang akademis, olahraga, kegiatan ekstra-kurikuler, organisasi sekolah, dan lain-lain, mereka akan diterima dan dihargai oleh semua murid. 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya mobilitas sosial melalui saluran pendidikan (Abdullah, 2011: 201) adalah perubahan kondisi sosial; ekspansi teritorial dan gerak populasi; komunikasi yang bebas; pembagian kerja; tingkat fertilitas yang berbeda; kemudahan dalam akses pendidikan. Faktor-faktor yang dapat menghambat terjadinya mobilitas sosial dalam pendidikan adalah: perbedaan kelas rasial; agama; diskriminasi kelas; dan kemiskinan perbedaan jenis kelamin. 4. Tingkat Sekolah dan Mobilitas Sosial Tingkat pendidikan seseorang dapat memberikan peluang besar untuk bisa mobilitas sosial. Dengan memiliki ijazah yang sama yaitu tamatan suatu perguruan tinggi tertentu, membawa kemungkinan bagi anak-anak golongan rendah untuk dapat memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Meskipun secara biaya mereka tidak memiliki, namun dengan adanya program beasiswa bagi anak-nak yang kurang mampu untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, hal ini ini akan membawa perubahan karah yang lebih baik bagi masa depan si anak tersebut. 5. Pendidikan Menurut Perbedaan Sosial Menurut Undang-Undang semua warga negara sama, sama hak dan sama kewajiban perlakuan di hadapan undang-undang. Dalam kenyataannya tak dapat disangkal adanya perbedaan sosial itu yang tampak dari sikap rakyat biasa terhadap pembesar, orang miskin terhadap 33 orang kaya, pembantu terhadap majikan, pegawai rendah terhadap atasan. Perbedaan itu terdapat dalam simbol-simbol status seperti mobil mewah, rumah mentereng, perabot luks, dan lain-lain. Pendidikan bertujuan untuk membekali setiap anak agar masingmasing dapat maju dalam hidupnya mencapai tingkat tinggi yang setinggi-tingginya. Akan tetapi sekolah sendiri tidak mampu meniadakan batas-batas tingkatan sosial itu, oleh sebab banyak daya-daya di luar sekolah yang memelihara atau mempertajam, sepertihalnya memilih guru sesuai dengan golongan sosial murid yang bersangkutan. Bacaan: Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: 2005: LPP UNS dan UNS Press. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi ke enam. Jakarta: PT Bumi Aksara. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. 34 Kegiatan Belajar 8 HUBUNGAN ANTAR GOLONGAN DAN PENDIDIKAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan prasangka dan hubungan antar kelompok. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan struktur hubungan antar kelompok di sekolah. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan efektivitas pendidikan antar golongan. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan dasar-dasar pendidikan antar golongan. b. Uraian Materi 1. Prasangka dan Hubungan Antar Kelompok Prasangka merupakan suatu bentuk tindakan yang didasarkan pada dugaan belaka tanpa ada pembuktian atau kejelasan yang rasional. Prasangka diawali adanya “dislike of theunlike”. Menurut Dollard, manusia memiliki instink agresi atau instink mati (menurut Freud) yaitu rasa benci yang universal terhadap seseorang. Prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari Prasangka bisa juga timbul karena adanya pengaruh sikap yang pada umumnya terdapat dalam lingkungan, khususnya di rumah dan sekolah. Guru dan orangtua sangat besar pengaruhnya karena mudah mempengaruhi anak pada usia muda yang memandang orang dewasa sebagai orang yang serba tahu. Mass media seperti surat kabar, radio, film, televisi memiliki pengaruh besar terhadap seseorang. Bila 35 bangsa tertentu sering dilukiskan sebagai inferior, licik, kejam, dan sebagainya maka stereotip itu akan diterima oleh para pembaca, pendengar, atau penonton, termasuk anak-anak. Dengan demikian, prasangka tidak muncul begitu saja melainkan bisa diperoleh melalui hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya. Prasangka sebagai alat mencapai tujuan praktis Ada pula mencari harga-diri pribadi dalam prasangka. Orang Kulit Putih yang miskin di bagian selatan Amerika Serikat pada suatu masa dapat membanggakan diri dalam penderitaannya bahwa biarpun ia miskin namun ia masih lebih terhormat daripada orang Negro yang paling kaya. Pada umumnya Oran tidak mau terang-terangan mengaku bahwa ia berprasangka dan biasanya mencari perlindungan di belakang alasan-alasan yang mulia. Prasangka sebagai aspek pribadi Menurut penelitian Murphy dan Likert, ada orang yang mempunyai pribadi yang berprasangka. Ia tidak hanya berprasangka terhadap orang Yahudi, tetapi juga terhadap orang Cina, orang beragama lain, dan berbagai masam prasangka lainnya. Orang yang berprasangka terhadap orang asing akan memperluasnya kepada kelompok-kelompok lain. Jadi ada kemungkinan bahwa prasangka tidak semata-mata ditimbulkan oleh kelakuan kelompok lain, akan tetapi berdasarkan pribadi seseorang. 36 Orang yang berprasangka tampaknya harmonis, penuh percaya diri, akan tetapi pada hakikatnya merasa diri tak aman, menaruh perasaan bermusuhan yang tak terpendam terhadap dunia luar, sangat terikat pada pola-pola hidup yang diterimanya dari orangtua, mudah mempersalahkan orang lain atas kegagalannya, sadar akan statusnya, memandang rendah terhadap orang bawahan. Maka kepribadian merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan perkembangan prasangka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ada tidaknya prasangka tidak semata-mata ditentukan pendidikan. Pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat prasangka. 2. Struktur Hubungan Antar Kelompok di Sekolah Sekolah biasanya terlalu memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis peserta didik. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian ialah memupuk hubungan sosial di kalangan murid-murid. Program pendidikan antar-murid, antar-golongan ini bergantung pada struktur sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas dikalangan mereka mempengaruhi hubungan antar-kelompok. Murid-murid di sekolah menunjukkan perbedaan tentang asal kebangsaan, kesukuan, agama, adat-istiadat, kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu mungkin timbul golongan- 37 golongan minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi ataupun yang nyata. Anak-anak yang terdiskriminasi akan merasa dirinya asing dan tidak diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat sekolahnya. Dengan demikian, masyarakat sekolah mempengaruhi anak dalam pergaulannya dengan anggota-anggota lain dalam masyarakat tersebut. 3. Efektivitas Pendidikan Antar Golongan Sekolah hanya salah satu dari sejumlah daya-daya sosial yang mempengaruhi hubungan antar golongan. Pendidikan dan pengaruh yang diperoleh anak dalam rumah tangga, pergaulan dengan teman-teman sepermainan dan lapangan interaksi sosial lainnya sering lebih kuat dan membuat sekolah hampir tidak berdaya. Sekolah tak mampu mengubah masyarakat. untuk menghilangkan prasangka terhadap golongan lain, seluruh masyarakat harus turut serta, termasuk pemerintah yang harus berusaha meniadakan segala macam bentuk diskriminasi. Guru-guru haru bisa menjadi model pribadi yang toleran dalam ucapan maupun perbuatannya. 4. Dasar-Dasar Pendidikan Antar Golongan Hubungan antar golongan dapat dikaitkan dengan teori prasangka, antara lain adalah: Prasangka disebabkan oleh rasa frustasi-agresi, seperti terdapat dalam pribadi otoriter, maka perlu diperhatikan pendidikan anak dalam rumah tangga sejak kecil. Bila kepribadiannya serupa itu dibiarkan 38 terus berkembang, ada kemungkinan ia hanya mendapat kesembuhan dengan pertolongan ahli psikiatri. Prasangka yang disebabkan oleh persaingan dalam mencari keuntungan, status, kekuasaan, yang terdapat dalam sistem politik ekonomi, maka di sekolah dapat diajarkan bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh usaha dan kemampuannya, yang bagi setiap orang mempunyai batas-batas tertentu. Prasangka yang ditimbulkan oleh persaingan ekonomi di dalam masyarakat dapat melumpuhkan usaha sekolah. Prasangka dari aspek kebudayaan diperoleh melalui proses sosialisasi, melalui situasi-situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Bila lingkungan itu menunjukkan rasa prasangka terhadap golongan lain, maka dapat diharapkan anak itupun akan berbuat sesuai dengan lingkungannya. Sekolah dapat memberikan pelajaran agar anak tidak berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam situasisituasi lain diluar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuannya akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya di dalam masyarakat. hanya dengan penuh keyakinan dan keberanian seorang dapat bertindak menurut cara yang berlawanan dengan kelakuan umum. Bacaan: Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi ke enam. Jakarta: Bumi Aksara. 39 Kegiatan Belajar 10 HUBUNGAN PENDIDIKAN TERHADAP KESEJAHTERAAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan kontribusi pendidikan terhadap kesuksesan ekonomi. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa tantangan dunia pendidikan di Indonesia. b. Uraian Materi 1. Kontribusi Pendidikan Terhadap Kesuksesan Ekonomi Setiap masyarakat di seluruh dunia senantiasa menghendaki kesejahteraan. Secara terminologi sosiologi memfokuskan studi kesejahteraan dan sistem kesejahteraan fisik tersebut dalam suatu wadah subkajian bernama lembaga sosial ekonomi. Dalam perkembangannya, pranata ekonomi memelihara kelangsungan sistem nilainya tidak pernah lepas dari keterkaitan dengan ruang-ruang sosial lainnya baik itu pranata politik, pendidikan, kemasyarakatan atau keluarga maupun agama. Menurut Robert K. Merton (dalam RavikKarsidi, 2005: 192) menyatakan bahwa, setiap lembaga sosial tidak sekedar memelihara sembuh tujuan dan fungsi yang manifes, yakni sebuah fungsi yang mencerminkan kegunaan dari terbentuknya sebuah pranata. 40 Munculnya asumsi sosial bahwa pendidikan mempengaruhi kesuksesan ekonomi seseorang bukanlah suatu keyakinan yang tidak mendasar. Di Indonesia, pada awal dekade Orde Baru sebagian besar lini pekerjaan membutuhkan tenaga kerja berlatar belakang pendidikan formal. Hampir semua yang mengenyam pendidikan formal mampu terserap di lahan-lahan pekerjaan. Dimana kebutuhan pemerintah terhadap tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka industrialisasi dan modernisasi pembangunan negara. Dalam buku Repelita II ditegaskan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Dikatakan juga bahwa pendidikan harus mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan serta kemungkinan-kemungkinan perkembangan ekonomi dan sosial, sehingga dapat memberi bekal hidup para muridmurid dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada zaman kolonial Belanda, para pribumi (meskipun hanyalah bangsawan dan golongan priyayi) yang memiliki ijazah dari sekolahsekolah bentukan kolonial mendapat kesempatan untuk ditempatkan pada instansi-instansi pemerintah kolonial. Dengan demikian, lembaga pendidikan tepatnya sekolah dianggap sebagai tangga strategis untuk meraih pemalaman hidup tanpa harus melalui usaha-usaha ekonomi lain yang tampaknya lebih lambat dan berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan. 41 Argumen lain yang melandasi kepercayaan umum bahwa melalui sekolah atau pendidikan formal para individu dapat mencapai tingkat keberhasilan ekonomi dengan relatif cepat lantaran dalam lembaga sekolah menyediakan serangkaian proses pengajaran yang mampu membekali para pesertanya dengan perangkat kemampuan yang dibutuhkan oleh lahan pekerjaan di era modern. Persepsi lain yang tidak bisa dipungkiri pada kondisi sekarang adalah munculnya problem besar yang tengah dihadapi yaitu persoalan krisis Sumber Daya Manusia yang cukup akut. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, didapatkan data jumlah angkatan kerja nasional sekitar 92, 73 juta orang. Sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang yang menganggur. Angka ini terus meningkat hingga sekarang. Bahwa tidak semua yang memperoleh pendidikan mampu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka masing-masing, dan banyak diantara mereka yang menganggur. Berdasarkan fakta statistik tersebut dapat menjadi bukti lemahnya sistem dan orientasi lembaga pendidikan kita untuk memproduk tenaga kerja yang siap kerja. Dengan demikian, besarnya angka pengangguran terdidik sudah membuktikan bahwa proses aktivitas pendidikan nasional tengah mengalami kegagalan. Sebagai salah satu institusi masyarakat yang bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya manusia-manusia yang 42 mampu menjadi katalisator kesejahteraan sosial ekonomi, pendidikan telah berbalik arah membebani masyarakat. Studi sosiologi pendidikan tidak berusaha memberikan solusi yang bernuansa etis, akan tetapi kajian teoritisnya berusaha memberikan gambaran objektif tentang seluruh komponen yang mempengaruhi konstruksi hubungan antara pranata pendidikan dan pranata ekonomi. 2. Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Konsekuensi dunia pendidikan dengan sektor ekonomi masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat, dimana kedua komponen lembaga tersebut merupakan aset negara yang memerlukan pengelolaan secara hati-hati dan cermat. Secara lebih khusus hubungannya menyangkut modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi yang menjadi tiga faktor pokok sebagai masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Aspek pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik. Implikasinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara 43 umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Menurut Tobing (dalam RavikKarsidi, 2005: 203) ada tiga teoritis yang mennjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yaitu teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial. Teori modal manusia menjelaskan proses Diana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan yang pendidikan lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan tumbuh lebih tinggi. Teori alokasi atau persaingan status menyatakan bahwa orang yang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya nonformal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Teori ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang 44 berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang berpendidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan ditingkat lebih elit menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Pertanyaannya adalah, teori mana yang relevan dalam situasi sekarang? Menurut Roger (dalam RavikKarsidi, 2005: 204) menyatakan bahwa modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara di mana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Oleh karena modal manusia, seperti dikemukakan di atas memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi. 3. Beberapa Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun kegiatan pendidikan telah berlangsung di Indonesia selama 68 tahun, namun mutu pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti: Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand. 45 Adapun tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia saat ini meliputi: 1) Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat Indonesia dapat dilihat pada masyarakat di seluruh Indonesia. Masih banyak penduduk yang buta aksara terutama di pedesaan, disamping mayoritas sudah dapat membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang sekolah dasar, terutama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah yang tidak pernah mengikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah: (1) kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan berbagai pelatihan keterampilan teknis bagi anak-anak (pemuda) sangat terbatas, (2) jumlah pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah sekolah, (3) jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan (4) mutu SDM generasi muda sangat buruk. 2) Keterpurukan perekonomian masyarakat Krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter tahun 1997, memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jumlah masyarakat miskin dan yang hidup di bawah garis kemiskinan 46 meningkat. Pengangguran terbuka sudah mencapai 40 juta orang pada tahun 2004. Tahun 2004-2006, berdasarkan data statistik Indonesia jumlah pengangguran terbuka adalah 10, 92 juta orang. Dampak yang terjadi akibat krisis ekonomi adalah terjadinya putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bagi siswa yang putus sekolah pada usia dini, mengakibatkan emosi mereka belum stabil, tidak toleran terhadap orang lain, agresif secara fisik, rendah kesadaran akan kesalahan diri, dan menunjukkan perilaku yang egoistik. Apabila keluarga dan pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan tersebut, maka cepat atau lambat pengaruh lingkungan yang tidak kondusif akan membuat penyalahgunaan narkoba, atau perilaku-perilaku kejahatan yang lebih ekstrim. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi yang berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik. Menurut Tilaar (dalam RavikKarsidi, 2005: 207), kesalahan ekonomi dan pengaruh negatifnya pada pendidikan adalah pembangunan ekonomi yang dijadikan panglima dengan hanya memprioritas target pertumbuhan telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tidak berperasaan. Akibatnya terjadi kesenjangan antar daerah, antarsektor, dan antarmasyarakat. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan dengan itu lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan 47 penanganan ekonomi yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas. Dengan sendirinya output pendidikan tidak mempunyai daya saing apalagi mempunyai daya saing global. 3) Masalah pemerataan pendidikan Konsep “pendidikan untuk semua” mempunyai makna bahwa semua warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu. Konsekuensinya diperlukan pemerataan pendidikan. Adapun kendala internal yang menghambat pemerataan pendidikan adalah (1) kendala geografis, artinya banyak pulau-pulau atau daerahdaerah yang sulit dijangkau pendidikan karena faktor komunikasi, (2) sarana pendidikan yang terbatas akibat alokasi dana yang sangat minim, (3) pemerintah masih mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai prioritas, sementara pendidikan belum memperoleh porsi yang wajar, (4) tidak ada penghargaan yang wajar terhadap profesi guru, terutama yang menyangkut kesejahteraan, padahal kunci utama pendidikan bermutu ialah mutu guru itu sendiri, dan (5) perencanaan pendidikan yang sentralistik yang mengabaikan kemampuan dan karakteristik daerah. Bacaan: Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. 48 Kegiatan Belajar 11 HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN a. LearningOutcome: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan politik dan pendidikan. b. Uraian Materi 1. Hubungan Politik dan Pendidikan Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya memiliki hubungan yang saling bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat. sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Menurut Rasyid (dalam M. Sirozi, 2005: 2) menyatakan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan waktu itu tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum. Berdasarkan pernyataan di atas, hubungan antara politik dan pendidikan sangat erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh penguasa dan para penguasa memerlukan 49 dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Menurut Plato, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompokkelompok elite yang secara terus-menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Di negara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang mendapat privilese pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilese atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama. Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya, filsafat pendidikan di suatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Bacaan: Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 50 Daftar Bacaan Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: mengungkapkan Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava Media. Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara. NgainunNaim dan Ahmad Syaugi. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 51