1 Kegiatan Belajar 1 HAKEKAT SOSIOLOGI PENDIDIKAN a

advertisement
Kegiatan Belajar 1
HAKEKAT SOSIOLOGI PENDIDIKAN
a.
Learning Outcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Sosiologi Pendidikan.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan objek kajian Sosiologi Pendidikan.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perkembangan studi Sosiologi Pendidikan.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan perspektif dalam Sosiologi Pendidikan.
b. Uraian Materi
1. Pengertian Sosiologi Pendidikan
Ditinjau dari segi etimologinya istilah sosiologi pendidikan terdiri
atas dua perkataan yaitu sosiologi dan pendidikan. Menurut Payne (dalam
Abu Ahmadi, 2004: 6) aspek-aspek sosiologis dalam sosiologi pendidikan
dapat dilihat dalam: lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial, proses
sosial yang mana di dalamnya terdapat socialrelationship. Sedangkan
aspek-aspek
pendagoginya
menurut
Payne
terlihat
dari:
Social
relationship pare for there more regarded particulary in relation to the
educational system in its evolution and changing finction.
Menurut H.PFairchild(dalam Abu Ahmadi, 2004: 1): sosiologi
pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalahmasalah pendidikan yang fundamental. Sosiologi pendidikan tergolong
appliedsociology.
Nasution
(2011:
5)
mendefinisikan
sosiologi
pendidikan adalah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola-pola sosial
yang terdapat dalam sistem pendidikan.
1
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat
sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari
sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi
masyarakat. Sosiologi pendidikan memandang gejala-gejala pendidikan
sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.(RavikKarsidi, 2005:
1)Masalah sentral dalam sosiologi pendidikan adalah aspek-aspek
sosiologi di dalam pendidikan.
2. Objek Kajian Sosiologi Pendidikan
Objek penelitian sosiologi pendidikan adalah tingkah laku sosial,
yaitu tingkah laku manusia dan institusi sosial yang terkait dengan
pendidikan. Sosiologi pendidikan berbicara tentang kelas, sekolah,
keluarga,
masyarakat
desa,
kelompok-kelompok
masyarakat
dan
sebagainya.
Masalah-masalah yang diselidiki sosiologi pendidikan antara lain
meliputi pokok-pokok berikut ini;
a. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam
masyarakat
b. Hubungan antar manusia di dalam sekolah
c. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di
sekolah/ lembaga pendidikan
d. Lembaga pendidikan dalam masyarakat
2
3. Perkembangan Studi Sosiologi Pendidikan
Perkembangan sosiologi pendidikan dimulai dari Lester F. Ward (
Rifa’i, 2011: 67) yang dianggap sebagai penerus gagasan timbulnya studi
baru ini. Yard hadir dengan idenya mengenai evolusi sosial. Ia juga
menekankan peranan pendidikan sosial yang realistis dalam memimpin
perencanaan kehidupan pemerintah.
Pelopor sosiologi pendidikan dalam arti formal ialah John Dewey
yang menerbitkan buku School Ana Society tahun 1889. Dalam buku
tersebut, dijelaskan pendapatnya mengenai sekolah sebagai lembaga
sosial. Pada waktu itu, beberapa ahli ilmu pendidikan sosiologi
menekankan pentingnya peranan sosiologi bagi pendidikan.
Sosiologi pendidikan pertama kali dikuliahkan oleh Henry Suzzalo
tahun 1910 di TeacherCollege, UniveritasColombia. Tahun 1917 terbit
buku textbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R.
Smith dengan Judul Instroductionto Educational Sociology. Tahun 1916,
di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi
Pendidikan.
Di Indonesia, baru tahun 1967, sosiologi pendidikan pertama kali
diajarkan di IKIP Negeri Yogyakarta Jurusan Didaktik Kurikulum.
4. Perspektif dalam Sosiologi Pendidikan.
Perspektif merupakan sebuah cara pandang seseorang mengenai
dunia sosial disekitarnya atau dapat juga disebut sebagai sudut pandang
(poin of view) (Nanang Martono, 2010: 19). Beberapa perspektif yang
3
digunakan oleh para sosiolog dalam melihat serta menganalisis berbagai
permasalahan pendidikan.
1) Perspektif Struktural Fungsional
Asumsi utama perspektif struktural fungsional adalah melihat
bahwa masyarakat sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat
subsistem. Subsistem tersebut memiliki fungsi masing-masing yang
tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Agar sistem masyarakat
dapat berjalan stabil maka subsistem tersebut harus selalu ada dan
selalu menjalankan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu atau
beberapa subsistem tidak berperan sebagaimana fungsinya, maka
sistem tersebut akan hancur atau masyarakat akan mengalami
kekacauan.
Pada dasarnya terdapat dua pertanyaan mendasar mengenai
pendidikan yang dikemukakan para fungsionalis dalam menganalisis
praktik pendidikan, yaitu:
a. Apa fungsi pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan?
b. Apa fungsi hubungan fungsional antara (institusi) pendidikan
dengan bagian (institusi) yang lain dalam sistem sosial?
Secara umum, para analis fungsional, melihat fungsi serta
kontribusi yang positif lembaga pendidikan dalam memelihara atau
mempertahankan keberlangsungan sistem sosial.
4
2) Perspektif Konflik
Perspektif konflik menekankan adanya perbedaan pada diri
individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif
konflik masyarakat terdiri atas individu yang masing-masing memiliki
berbagai kebutuhan yang terbatas. Kemampuan individu untuk
mendapatkan kebutuhan pun berbeda-beda.
Berkaitan dengan lembaga pendidikan, bagi analis konflik,
pendidikan justru memberikan kontribusi negatif bagi masyarakat.
asumsi dasar, diantaranya bahwa setiap unsur dalam sistem sosial
memiliki potensi memunculkan konflik dalam masyarakat. konflik ini
terjadi
karena
adanya
perbedaan
kedudukan
atau
posisi
antarsusbsistem.
3) Perspektif Interaksionisme Simbolik
Asumsi perspektif interaksionisme simbolik adalah masyarakat
itu terdiri atas individu yang mengalami proses sosialisasi dan
eksistensi serta strukturnya nampak dan terbentuk melalui interaksi
sosial yang berlangsung Siantar individu dalam masyarakat. Interaksi
sosial menurut perspektif ini merupakan bagian yang penting dalam
masyarakat.
Perspektif interaksionisme simbolik melihat pendidikan dari sisi
mikro, yaitu melihat pendidikan dari komponen interaksi tatap muka
antarindividu yang terlibat dalam proses pendidikan. Analis perspektif
interaksionisme simbolik menemukan bahwa ekspektasi (harapan)
5
guru membawa konsekuensi yang sangat besar bagi siswa mereka
(Henslin, 2006). Bagi kaum interaksionis, pandangan terhadap diri
sendiri atau konsep diri (sel Condet) diproduksi oleh siswa yang lain.
Konsep diri siswa juga dipengaruhi oleh siswa yang lain, oleh guru
melalui interaksi.
Bacaan:
Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: mengungkapkan
Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava
Media.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di
dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
6
Kegiatan Belajar 2
HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah pendidikan di Indonesia.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan sekolah dan masyarakat.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi-fungsi sekolah.
b. Uraian Materi
1. Sejarah Pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indoensia dapat dilihat dari masa kerajaan
Sriwijaya, masa kerajaan Islam, dan masa kerajaan pemerintahan
Belanda.
a. Pendidikan pada masa Pemerintahan Belanda dikenal dengan istilah
“Trichotomi Social”, atau “threetractSystem”:
1) Pendidikan untuk golongan bawahan atau rakyat jelata
2) Pendidikan untuk golongan atas yang disederajatkan dengan
Belanda
3) Pendidikan untuk golongan bangsa Belanda, bangsa Eropa dan
bangsa Timur lainnya.
b. Sekolah yang didirikan Oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Tujuan
didirikan
sekolah
adalah
untuk
menghidupkan
rasa
kebangsaan, dan kecintaan kepada kebudayaan sendiri, mempelajari
kesenian
sendiri,
memelihara
bahasa
sendiri,
mempelajari
kesusastraan sendiri, dan lain sebagainya.
7
c. Pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah oleh Kyai Ahmad
Dahlan (1868-1925). Tujuannya adalah untuk perbaikan hidup
beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial
d. Perguruan nasional taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar
Dewantoro tahun 1922. Tujuannya adalah membangun perekonomian
rakyat yang berdasarkan koperasi serta pendidikan rakyat yang
berdasarkan kebangsaan.
e. Sekolah-sekolah pada zaman Jepang dikenal dengan nama “Doogekkoo” (sekolah rendah) lama belajar adalah 6 tahun. “Tui Gakkoo”
(sekolah menengah pertama) lama belajar 3 tahun. “Si hanGakkoo”
(sekolah guru atas).
f. Pendidikan di zaman kemerdekaan (1945-1950) adalah pendidikan
rendah (SR) selama enam tahun; pendidikan menengah umum terdiri
atas SMP dan SMA yang lamanya masing-masing adalah 3 tahun;
pendidikan kejuruan; dan perguruan tinggi.
g. Pada periode 1950-1975, berdirinya pendidikan: pra sekolah dan
pendidikan dasar (TK) dan (SD); SMP; SMA; Pendidikan kejuruan;
Perguruan Tinggi (akademik, dsb)
h. Periode 1978 hingga sekarang telah terjadi banyak perkembangan di
bidang pendidikan, yaitu: TK dan PAUD, SD, SLTP, SLTA, SMK,
dan Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta.
8
2. Sekolah dan Masyarakat
Secara singkat, pendidikan merupakan produk dari masyarakat.
bagi masyarakat, pendidikan sangat bermanfaat untuk kelangsungan dan
proses kemajuan hidup. Setiap masyarakat berupaya meneruskan
kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai dengan corak
masing-masing melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan dapat
diartikan sebagai proses sosialisasi.
Pendidikan sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali
berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya di luar dirinya, yakni
keluarga. Seiring dengan perkembangan waktu yang terus dilalui, maka
setelah keluarga masih ada lagi tempat seseorang untuk dapat menerima
pembelajaran secara formal, yaitu sekolah. Sekolah adalah lembaga sosial
yang turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi
anggota masyarakat seperti yang diharapkan.
Sekolah memiliki kurikulum sebagai acuan dalam pelaksanaan
pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
secara nasional. Maka dari itu, kurikulum yang dibuat harus relevan
dengan kebutuhan masyarakat. Anak-anak dididik di sekolah tujuannya
adalah
agar
menjadi
anggota
masyarakat
yang
berguna
demi
pembangunan dan kemajuan masyarakat yang lebih baik.
Maksud hubungan sekolah dengan masyarakat (dalam Abdullah,
2011: 66) adalah untuk mengembangkan pemahaman tentang maksudmaksud dan saran-saran dari sekolah; untuk menilai program sekolah;
9
untuk mempersatukan orang tua murid dan guru dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anak didik; untuk mengembangkan kesadaran
tentang pentingnya pendidikan sekolah dalam era pembangunan; untuk
membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap sekolah;
untuk memberitahukan masyarakat tentang pekerjaan sekolah; dan untuk
mengarahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan
program sekolah. Pemerintah Indonesia juga telah mengatur adanya
peranan masyarakat terhadap pendidikan dalam UURI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kebutuhan pendidikan di sekolah dan masyarakat memiliki ikatan
hubungan rasional antarkeduanya, yakni:
1) Adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang selaras dan positif
terhadap sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat
2) Ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangi oleh lembaga
prasekolah akan ditentukan oleh kejelasan perumusan komitmen
antara sekolah selaku pelayanan dengan masyarakat selaku pemesan
3) Keberhasilan pelaksanaan fungsi sekolah sebagai layanan pesanan
masyarakat akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.
Ikatan objektif yang dimaksud adalah berupa perhatian, penghargaan
dan tunjangan tertentu, seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lain
yang memberikan makna penting bagi eksistensi dan produk sekolah.
Hubungan sekolah dan masyarakat yang konstruktif diharapkan
dapat meningkatkan kualitas kinerja sekolah yang ditandai dengan adanya
10
peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah secara efektif, efisien,
dan produktif dalam menciptakan lulusan masa depan yang diharapkan.
3. Fungsi-Fungsi Sekolah
Adapun fungsi sekolah (Nasuiton, 2011:14) adalah sebagai berikut:
a. Mempersiapkan seseorang untuk mendapatkan satu pekerjaan
b. Memberikan keterampilan dasar
c. Sebagai alat transmisi kebudayaan
d. Mengajarkan peranan sosial
e. Menyediakan tenaga pembangunan
f. Membuka kesempatan memperbaiki nasib
g. Menciptakan integrasi sosial
h. Membantu memecahkan masalah-masalah sosial
i. Sebagai tempat menitipkan anak, khususnya anak-anak para sekolah.
perguruan tinggi dapat dipandang juga sebagai tempat penitipan
pemuda menunggu mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan jodoh.
Bacaan:
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
11
Kegiatan Belajar 3
STRUKTUR DAN PERANAN SUB STRUKTUR DALAM PENDIDIKAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Struktur Sosial.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan dan peranan (berbagai
kedudukan dalam masyarakat sekolah).
3. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan guru dengan murid.
b. Uraian Materi
1. Struktur Sosial
Struktur sosial merupakan tatanan sosial dalam kehidupan
masyarakat dimana terjadinya hubungan timbal balik antara status sosial
dan peranan sosial yang mengacu pada suatu ketentuan perilaku di dalam
masyarakat..
Status atau kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang
dalam suatu kelompok sosial. Peranan (role) adalah aspek dinamis
kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.
Dengan demikian, status dan peranan yang dimaksud adalah status dan
peranan seseorang dalam struktur sekolah.
Dalam struktur sosial terdapat sistem kedudukan dan peranan
anggota-anggota kelompok yang kebanyakan bersifat hierarkis, yakni dari
kedudukan yang tinggi yang memegang kekuasaan yang paling banyak
sampai kedudukan yang paling rendah. Kepala sekolah menduduki posisi
12
yang paling tinggi dan pesuruh kedudukan yang paling rendah. Dalam
kelas guru memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada murid.
Biasanya murid-murid kelas rendah merasa mempunyai kedudukan yang
lebih rendah daripada murid-murid kelas yang lebih tinggi.
2. Kedudukan dan Peranan (Berbagai kedudukan dalam Masyarakat
Sekolah)
Kedudukan atau status menentukan posisi seseorang dalam struktur
sosial, yakni menentukan hubungannya dengan orang lain. Status atau
kedudukan individu, apakah ia di atas atau di bawah status orang lain
mempengaruhi peranannya. Kepala sekolah adalah pimpinan dalam suatu
sekolah tertentu, yang bertugas dalam membina dan mengayomi
bawahannya seperti guru, pegawai, pesuruh, dan peserta didik.
Guru merupakan pimpinan di dalam kelas sesuai dengan mata
pelajaran yang diampunya. Guru bertugas untuk memberikan pendidikan
dan membimbing peserta didiknya sesuai dengan bidang masing-masing.
Pegawai merupakan staf administrasi sekolah yang bertugas dalam urusan
dokumentasi sekolah. Pesuruh sekolah merupakan pegawai tingkat paling
rendah di sekolah yang bertugas dalam memelihara kebersihan
lingkungan sekolah dan memelihara semua peralatan dan prasarana
sekolah dengan baik. Peserta didik merupakan orang yang akan dididik
dan dibimbing untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan
membangun generasi bangsa yang cerdas dan bertanggung jawab
terhadap diri sendiri dan negaranya.
13
3. Hubungan guru dengan murid
Guru merupakan orang yang memberikan pengetahuan kepada
anak Didi. Sementara anak didik atau murid adalah setiap orang yang
menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya merupakan unsur paling
vital dalam proses pembelajaran.
Aktivitas dalam proses pembelajaran selalu berhubungan dengan
adanya guru yang bertugas sebagai pendidik dan menyampaikan berbagai
informasi berkaitan dengan materi pelajaran kepada anak didik selaku
penerima didikan dan informasi dari berbagai materi yang disampaikan.
Dengan demikian, guru dan murid dapat dikatakan sebagai pilar utama
dalam terselenggaranya aktivitas pendidikan.
Dalam proses pembelajaran antara guru dengan murid akan terjadi
proses interaksi, khususnya interaksi yang sifatnya edukatif. Ciri-ciri
interaksi edukatif (RavikKarsidi, 2005: 67) adalah sebagai berikut:
a. Memiliki
tujuan,
yaitu
untuk
membantu
anak
dalam
satu
perkembangan tertentu.
b. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c. Ditandai dengan satu penggarapan materi khusus.
d. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa, baik fisik maupun secara
mental aktif.
14
e. Guru
berperan
sebagai
pembimbing.
Guru
harus
berusaha
menghidupkan dan memberikan motivasi terjadinya proses interaksi
yang kondusif. Guru sebagai mediator dan sebagai desainer dalam
proses pembelajaran.
f. Adanya disiplin. Disiplin yang dimaksud adalah sebagai suatu pola
tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang
sudah ditaati oleh semua pihak dengan secara sadar, baik guru
maupun murid.
g. Ada batas waktu. Setiap pencapaian suatu tujuan memiliki batasan
waktu tertentu.
Proses pembelajaran, interaksi berlangsung secara edukatif antara
guru dengan murid. Guru harus selalu memberikan dan memperlihatkan
prilaku yang baik kepada muridnya dengan tujuan dapat mendidik dan
membimbing murid menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan.
Proses interaksi guru dengan murid bisa terjadi dalam berbagai
bentuk. Usman dalam (RavikKarsidi, 2005: 69) mengklasifikasikan lima
pola interaksi yang terjadi antara guru dengan murid, yaitu:
a. Pola Guru - Anak Didik
Komunikasi sebagai aksi (satu arah)
b. Pola Guru - Anak Didik – Guru
Ada balikan (feedback) bagi guru, tidak ada interaksi antarsiswa
c. Pola Guru – Anak Didik – Anak Didik
Interaksi optimal antara guru dan anak sisik dan antara anak didik.
15
d. Pola Guru – Anak Didik, Anak didik - Guru, Anak Didik - Anak
Didik
Interaksi optimal antara guru dan anak didik dan antara anak didik
dengan anak didik.
e. Pola Melingkar
Setiap anak didik mendapat giliran untuk mengemukakan sambutan
atau jawaban, tidak diperkenankan berbicara dua kali apabila setiap
anak didik belum mendapat giliran.
Bacaan:
Karsidi, Ravik, 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di
dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan
ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta:
Kencana.
16
Kegiatan Belajar 4
KELAS SEBAGAI SEBUAH SISTEM DALAM PENDIDIKAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan kelas sebagai sistem sosial.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan sekolah sebagai sistem sosial.
b. Uraian Materi
1. Kelas Sebagai Sistem Sosial
Pendidikan secara formal dan informal berlangsung di ruang kelas.
Berdasarkan
perspektif
sosiologi,
kelas
merupakan
bagian
dari
mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah
dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya.
Pada ruang kelas terdapat gabungan dari individu-individu yang
membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan
peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas
memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang
yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi. Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari
dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi,
sehingga kelas sifatnya permanen. Pada akhirnya, peran dan ungsi yang
diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
Berdasarkan pengamatan Parsons (dalam RavikKarsidi, 2005: 14)
tentang kelas sebagai sistem sosial, kelas merupakan kepanjangan dari
proses sosialisasi anak di lingkungan keluarga
maupun masyarakat.
17
kiprah interaksi di kelas secara khusus berusaha untuk memantapkan
penanaman nilai-nilai dari masyarakat.
Pendekatan interaksionis cenderung menekankan analisis sosiopsikologis untuk melihat ruang kelas. Dalam rangkaian penelitian
Flanders (1967), menemukan bahwa semakin besar ketergantungan murid
kepada guru, semakin kurang siswa tersebut mengembangkan strategistrategi belajarnya sendiri. Inti penerapan analisisi interaksi adalah
menganalisis seluruh proses interaksi edukatif di kelas dan pengaruhpengaruh psikologisnya kepada para siswa. Hal ini erat kaitannya dengan
metode yang diterapkan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Sebagai sistem sosial, di dalam kelas terbentuk konfigurasi sosial
di dunia pergaulan siswa. Di dalam kelas terdapat pengelompokkan yang
berakibat pada polarisasi antarkelompok. Ada kelompok si bodoh, si
kaya, si pandai, si pemalu dan sebagainya. Apabila guru mengetahui fakta
tersebut
dan
mampu
mengelola
interaksi
antarkelompok
maka
penangkapan pengetahuan menjadi semakin dinamis dan cukup kaya.
Sebaliknya apabila guru cenderung masa bodoh dengan keadaan demikian
justru semakin mempertegas potensi disintegrasi antarsiswa.
Berdasarkan analisisi sosiologis juga mengungkapkan betapa
eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar
belakang kelompok aspirasi yang digandrunginya. Kelompok-kelompok
atau aspirasi-aspirasi acuan merupakan tempat berlabuh yang harus
diperhitungkan di dalam upaya pembinaan tingkah laku siswa.
18
Konsekuensi pentingnya dari hasil analisis diatas, dapat memberikan
wawasan sosiologi kelas kepada pengajar agar proses pendidikan dan
pembinaan siswa lebih efektif.
2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
Sekolah merupakan organisasi formal yang mengemban fungsi
sebagai lembaga yang memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
anak Didi, dengan mengkoordinasikan individu-individu yang memiliki
tugas dan peran yang berbeda-beda dalam satuan jaringan kerja yang
bersifat fungsional.
Guru secara formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajaran
dengan para siswanya di kelas. Supervisor berfungsi mengadakan
pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka berlangsung secara
efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah untuk
mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam
lingkungan sekolah.
Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip
birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya.
Organisasi formal menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat
legal rasional untuk menggerakkan roda organisasi. Sistem jabatan ini
dinamakan birokrasi yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh
pejabat.
Menurut ReinhardBendix (dalam RavikKarsidi, 2005: 96),
organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut:
19
a. Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan
b. Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan
administratif
c. Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari
suatu hierarki wewenang
d. Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana
yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
e. Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan
f. Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi
tertulis.
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponenkomponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah
yang bergantung antara satu sama lain.
Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada
hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda,
dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan
legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan
tertentu.
Dalam struktur sekolah akan ditemui tingkatan-tingkatan jabatan
sesuai dengan status dan peran yang diemban masing-masing seperti;
kepala sekolah, para wakil kepala sekolah untuk setiap bidang, guru-guru
mata pelajaran sesuai dengan jenjang pendidikan, staf administratif, dan
pegawai sekolah atau penjaga sekolah.
20
Bacaan:
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
21
Kegiatan Belajar 5
PENDIDIKAN DALAM KONTEKS MULTIKULTURALISME
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan sebagai sosialisasi kebudayaan.
2. Mahasiswa
dapat
menjelaskan
pergulatan
manusia
dalam
keanekaragaman.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan dalam ruang lingkup
kebudayaan.
b. Uraian Materi
1. Pendidikan Sebagai Sosialisasi Kebudayaan
Kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide
yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai
landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat dalam bersikap dan
berprilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada
(Sairin dalam RavikKarsidi, 2005: 115)
Sebagai suatu sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang
dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak
(invisible Power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia
pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan
pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik
dibidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan
begitu saja secara acribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung
22
tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal
menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya
dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh
manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem
pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya,
melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan
lingkungan alam dan sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap
individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan,
berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara
hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan
sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan
peradabannya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial
masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota
masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Sehingga
dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat
pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan
atmosfer tuntutan global. Penguasaan teknologi informasi, penyediaan
SDM yang profesional, terampil dan berdaya guna bagi masyarakat,
kemahiran menerapkan iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang
terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi
kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki
23
oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata
masyarakat baru berwujud globalisasi.
2. Pergulatan Manusia Dalam keanekaragaman
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk
manusia itu sendiri. Pewarisan kebudayaan tidak selalu terjadi secara
vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara
horizontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia
lainnya.
Berbagai
pengalaman
makhluk
manusia
dalam
rangka
kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi
berikutnya oleh individu lain.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya,
dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia
tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah
ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah berakibat pada
persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke
tempat lain. Sebagai akibatnya diberbagai tempat dan waktu yang
berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping
perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan
dapat dipandang ketinggalan zaman (anakronistis), dan di luar tempatnya
dipandang asing atau janggal.
3. Pendidikan Dalam Ruang Lingkup Kebudayaan
24
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari
ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan
manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan
fisik maupun nun fisik. Hasil Perolehan tersebut berguna untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah
mengkisahkansuatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada
ahkirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai hasil
pembelajaran manusia dengan alam.
Bacaan:
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNP Press.
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
NgainunNaim dan Ahmad Syaugi. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
25
Kegiatan Belajar 6
HUBUNGAN STRATIFIKASI DENGAN PENDIDIKAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan penggolongan sosial.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara-cara menentukan golongan sosial.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tingkat pendidikan dan tingkat golongan
sosial.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan golongan sosial dan jenis pendidikan.
b. Uraian Materi
1. Penggolongan Sosial
Ada berbagai penggolongan yang terjadi dalam masyarakat yaitu:
lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Penggolongan
masyarakat ini disebut dengan konsep stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial
memiliki tiga sifat yaitu: tertutup, terbuka, dan campuran.
Stratifikasi sosial tertutup merupakan pengelompokan masyarakat
berdasarkan kelahiran, dimana seseorang yang berasal dari kelas priyayi
tidak bisa berubah menjadi kelas bangsawan. Stratifikasi sosial terbuka
merupakan penggolongan masyarakat yang didasarkan pada usaha
seseorang, sepertihalnya seorang anak petani miskin dengan usahanya
memperoleh pendidikan tertentu mampu menjadi seorang direktur bank.
Hal ini menandakan bahwa ada kemungkinan bagi seseorang untuk bisa
pindah kelas dari yang rendah ke yang lebih tinggi.
26
Latar belakang munculnya stratifikasi sosial dapat disebabkan
adanya perbedaan perlakuan dan penghargaan masyarakat terhadap suatu
yang dimiliki. Setiap masyarakat memiliki sesuatu yang dihargai, bisa
berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan
masyarakat, dan lain sebagainya. Selama manusia membedakan
penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan
menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. semakin banyak
kepemilikan, kecakapan masyarakat atau sesuatu yang dihargai, semakin
tinggi kedudukan atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka
mempunyai kedudukan dan lapisan (strata yang rendah).
2. Cara-Cara menentukan Golongan Sosial
Banyak cara untuk menentukan penggolongan sosial seperti:
jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis
dan luas rumah, lokasi rumah, asal keturunan, partisipasi dalam kegiatan
organisasi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan status sosial seseorang.
Menurut SoerjonoSoekanto (2001: 263) beberapa kriteria yang
biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam
suatu lapisan adalah sebagai berikut:
a. Ukuran kekayaan. Orang yang memiliki kekayaan yang paling banyak
termasuk dalam lapisan teratas.
b. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
terbesar menempati lapisan atas.
27
c. Ukuran kehormatan. Orang yang disegani dan dihormati mendapat
tempat yang teratas.
d. Ukuran
ilmu
pengetahuan.
Orang
yang
berkualitas
dalam
pendidikannya mendapatkan posisi yang tertinggi dilingkungannya.
3. Tingkat Pendidikan dan Tingkat Golongan Sosial
Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh
seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut
penelitian memang korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial
seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun
tingkat sosial seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan
pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan
sosial yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan
sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi
karena anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkannya sampai
perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan atas akan berupaya agar
anaknya dapat menyelesaikan pendidikan tinggi.
4. Golongan Sosial dan Jenis Pendidikan
Pendidikan menengah pada dasarnya diadakan sebagai persiapan
untuk pendidikan tinggi. Karena biaya pendidikan tinggi pada umumnya
mahal, tidak semua orangtua mampu membiayai studi anaknya. Pada
28
umumnya anak-anak yang orang tuanya mampu, akan memilih sekolah
menengah umum sebagai persiapan untuk studi universitas.
Orangtua yang mengetahui batas kemampuan keuangannya akan
cenderung memilih sekolah kejuruan bagi anaknya. Sebaliknya anak-anak
orang kaya tidak tertarik oleh sekolah kejuruan.
Bacaan:
Abdullah, Idi. 2011. Sosiologi Pendidikan, Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Cetakan kedua. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan
ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta:
Kencana.
29
Kegiatan Belajar 7
HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN PERUBAHAN SOSIAL
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian mobilitas sosial.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan determinasi mobilitas sosial.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan mobilitas sosial melalui pendidikan.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan tingkat sekolah dan mobilitas sosial.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan menurut perbedaan sosial.
b. Uraian Materi
1. Pengertian Mobilitas Sosial
Menurut Horton& Hunt (1999), mobilitas sosial adalah sebagai
suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang
lainnya.
Tipe-tipe
mobilitas
sosial
adalah
vertikal
dan
horizontal
(SoerjonoSoekanto, 2001: 276). Mobilitas sosial vertikal adalah
perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke
kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikal
memiliki dua jenis yaitu yang naik (socialclimbing) dan yang turun
(Social sinking). Sedangkan mobilitas sosial horizontal adalah peralihan
individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke
kelompok sosial lainnya yang sederajat.
2. Determinasi Mobilitas Sosial
30
Zaman dahulu seseorang mendapatkan status tinggi dalam sistem
stratifikasi dalam masyarakatnya karena faktor keturunan dan inipun akan
berlangsung selama seumur hidup tanpa ada proses kompetisi untuk
menggapai ataupun mempertahankan status tertentu (kecuali atas dasar
pengkhianatan terhadap orang-orang kelas dan perkawinan). Ini sangat
jarang terjadi, kini pada masyarakat industri modern kesempatankesempatan untuk berkompetisi meraih status pada kelas-kelas atas sangat
terbuka sekali. Dalam masyarakat seperti ini yang lebih dihargai pada diri
seseorang adalah prestasi, kecakapan, keahlian dan faktor determinasi
utama, yakni struktur sosial yang menentukan jumlah relatif dari
kedudukan
tinggi
yang
terdistribusi
dan
kemudahan
untuk
memperolehnya. Ketika individu yang ada di dalamnya adalah pemainnya
yang akan menentukan siapa yang berhasil mencapai kedudukan tertentu
dalam masyarakat.
Dalam masyarakat juga terdapat saluran-saluran tertentu bagi
mobilitas sosial, melalui saluran-saluran ini status seseorang warga bisa
bergerak naik dari lapisan yang rendah ke dalam lapisan yang lebih tinggi.
Saluran mobilitas sosial ini antara lain organisasi pemerintahan, lembaga
keagamaan, lembaga ekonomi, lembaga pendidikan, angkatan bersenjata,
ekonomi, keahlian, dan perkawinan. Lembaga pendidikan merupakan
salah satu cara yang dapat diperoleh seseorang untuk dapat mobilitas
sosial dalam kehidupannya.
31
3. Mobilitas Sosial Melalui Pendidikan
Dalam realitas kehidupan zaman sekarang banyak ditemukan
bahwa orang-orang yang meningkat status sosialnya disebabkan
pendidikan yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka akan semakin tinggi pula peluang untuk memperoleh
status yang lebih baik. Misalnya, untuk tamatan SMA, pekerjaan yang
sesuai untuk saat sekarang adalah sebagai pesuruh kantor. Mereka yang
tamatan SMA tidak punya peluang besar untuk dapat memperoleh posisi
jabatan yang lebih tinggi, misalnya sebagai pimpinan atau direktur suatu
perusahaan tertentu.
Lain halnya dengan seseorang yang memiliki pendidikan pada
perguruan tinggi. Mereka yang tamatan dan memperoleh ijazah perguruan
tinggi tertentu dengan lebih mudah untuk memperoleh kedudukan sebagai
pimpinan perusahaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah dapat membuka
kesempatan untuk meningkatkan status anak-anak dari golongan rendah.
Di sekolah mereka mempunyai hak yang sama atas pelajaran,
mempelajari buku yang sama, mempunyai guru yang sama, bahkan
berpakaian seragam yang sama dengan anak-anak dari golongan tinggi.
Dengan prestasi yang tinggi dalam bidang akademis, olahraga, kegiatan
ekstra-kurikuler, organisasi sekolah, dan lain-lain, mereka akan diterima
dan dihargai oleh semua murid.
32
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya mobilitas sosial
melalui saluran pendidikan (Abdullah, 2011: 201) adalah perubahan
kondisi sosial; ekspansi teritorial dan gerak populasi; komunikasi yang
bebas; pembagian kerja; tingkat fertilitas yang berbeda; kemudahan dalam
akses pendidikan.
Faktor-faktor yang dapat menghambat terjadinya mobilitas sosial
dalam pendidikan adalah: perbedaan kelas rasial; agama; diskriminasi
kelas; dan kemiskinan perbedaan jenis kelamin.
4. Tingkat Sekolah dan Mobilitas Sosial
Tingkat pendidikan seseorang dapat memberikan peluang besar
untuk bisa mobilitas sosial. Dengan memiliki ijazah yang sama yaitu
tamatan suatu perguruan tinggi tertentu, membawa kemungkinan bagi
anak-anak golongan rendah untuk dapat memiliki kedudukan yang lebih
tinggi. Meskipun secara biaya mereka tidak memiliki, namun dengan
adanya program beasiswa bagi anak-nak yang kurang mampu untuk bisa
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, hal ini ini akan membawa
perubahan karah yang lebih baik bagi masa depan si anak tersebut.
5. Pendidikan Menurut Perbedaan Sosial
Menurut Undang-Undang semua warga negara sama, sama hak dan
sama
kewajiban
perlakuan
di
hadapan
undang-undang.
Dalam
kenyataannya tak dapat disangkal adanya perbedaan sosial itu yang
tampak dari sikap rakyat biasa terhadap pembesar, orang miskin terhadap
33
orang kaya, pembantu terhadap majikan, pegawai rendah terhadap atasan.
Perbedaan itu terdapat dalam simbol-simbol status seperti mobil mewah,
rumah mentereng, perabot luks, dan lain-lain.
Pendidikan bertujuan untuk membekali setiap anak agar masingmasing dapat maju dalam hidupnya mencapai tingkat tinggi yang
setinggi-tingginya. Akan tetapi sekolah sendiri tidak mampu meniadakan
batas-batas tingkatan sosial itu, oleh sebab banyak daya-daya di luar
sekolah yang memelihara atau mempertajam, sepertihalnya memilih guru
sesuai dengan golongan sosial murid yang bersangkutan.
Bacaan:
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: 2005: LPP UNS dan UNS
Press.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi ke enam. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan
ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta:
Kencana.
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
34
Kegiatan Belajar 8
HUBUNGAN ANTAR GOLONGAN DAN PENDIDIKAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan prasangka dan hubungan antar kelompok.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan struktur hubungan antar kelompok di
sekolah.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan efektivitas pendidikan antar golongan.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan dasar-dasar pendidikan antar golongan.
b. Uraian Materi
1. Prasangka dan Hubungan Antar Kelompok
Prasangka merupakan suatu bentuk tindakan yang didasarkan pada
dugaan belaka tanpa ada pembuktian atau kejelasan yang rasional.
Prasangka diawali adanya “dislike of theunlike”. Menurut Dollard,
manusia memiliki instink agresi atau instink mati (menurut Freud) yaitu
rasa benci yang universal terhadap seseorang.

Prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari
Prasangka bisa juga timbul karena adanya pengaruh sikap yang
pada umumnya terdapat dalam lingkungan, khususnya di rumah dan
sekolah.
Guru dan orangtua sangat besar pengaruhnya karena mudah
mempengaruhi anak pada usia muda yang memandang orang dewasa
sebagai orang yang serba tahu. Mass media seperti surat kabar, radio,
film, televisi memiliki pengaruh besar terhadap seseorang. Bila
35
bangsa tertentu sering dilukiskan sebagai inferior, licik, kejam, dan
sebagainya maka stereotip itu akan diterima oleh para pembaca,
pendengar, atau penonton, termasuk anak-anak. Dengan demikian,
prasangka tidak muncul begitu saja melainkan bisa diperoleh melalui
hal-hal yang sudah dipelajari sebelumnya.

Prasangka sebagai alat mencapai tujuan praktis
Ada pula mencari harga-diri pribadi dalam prasangka. Orang
Kulit Putih yang miskin di bagian selatan Amerika Serikat pada suatu
masa dapat membanggakan diri dalam penderitaannya bahwa biarpun
ia miskin namun ia masih lebih terhormat daripada orang Negro yang
paling kaya.
Pada umumnya Oran tidak mau terang-terangan mengaku
bahwa ia berprasangka dan biasanya mencari perlindungan di
belakang alasan-alasan yang mulia.

Prasangka sebagai aspek pribadi
Menurut penelitian Murphy dan Likert, ada orang yang
mempunyai pribadi yang berprasangka. Ia tidak hanya berprasangka
terhadap orang Yahudi, tetapi juga terhadap orang Cina, orang
beragama lain, dan berbagai masam prasangka lainnya. Orang yang
berprasangka terhadap orang asing akan memperluasnya kepada
kelompok-kelompok lain. Jadi ada kemungkinan bahwa prasangka
tidak semata-mata ditimbulkan oleh kelakuan kelompok lain, akan
tetapi berdasarkan pribadi seseorang.
36
Orang yang berprasangka tampaknya harmonis, penuh percaya
diri, akan tetapi pada hakikatnya merasa diri tak aman, menaruh
perasaan bermusuhan yang tak terpendam terhadap dunia luar, sangat
terikat pada pola-pola hidup yang diterimanya dari orangtua, mudah
mempersalahkan orang lain atas kegagalannya, sadar akan statusnya,
memandang rendah terhadap orang bawahan. Maka kepribadian
merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan
perkembangan prasangka.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ada tidaknya prasangka
tidak semata-mata ditentukan pendidikan. Pendidikan dapat merupakan
faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman
hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi,
tetapi dapat pula memperkuat prasangka.
2. Struktur Hubungan Antar Kelompok di Sekolah
Sekolah biasanya terlalu memusatkan perhatian kepada pendidikan
akademis peserta didik. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian
ialah memupuk hubungan sosial di kalangan murid-murid. Program
pendidikan antar-murid, antar-golongan ini bergantung pada struktur
sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas dikalangan mereka
mempengaruhi hubungan antar-kelompok.
Murid-murid di sekolah menunjukkan perbedaan tentang asal
kebangsaan,
kesukuan,
agama,
adat-istiadat,
kedudukan
sosial.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu mungkin timbul golongan-
37
golongan minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi ataupun
yang nyata. Anak-anak yang terdiskriminasi akan merasa dirinya asing
dan tidak diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat sekolahnya.
Dengan demikian, masyarakat sekolah mempengaruhi anak dalam
pergaulannya dengan anggota-anggota lain dalam masyarakat tersebut.
3. Efektivitas Pendidikan Antar Golongan
Sekolah hanya salah satu dari sejumlah daya-daya sosial yang
mempengaruhi hubungan antar golongan. Pendidikan dan pengaruh yang
diperoleh anak dalam rumah tangga, pergaulan dengan teman-teman
sepermainan dan lapangan interaksi sosial lainnya sering lebih kuat dan
membuat sekolah hampir tidak berdaya.
Sekolah tak mampu mengubah masyarakat. untuk menghilangkan
prasangka terhadap golongan lain, seluruh masyarakat harus turut serta,
termasuk pemerintah yang harus berusaha meniadakan segala macam
bentuk diskriminasi. Guru-guru haru bisa menjadi model pribadi yang
toleran dalam ucapan maupun perbuatannya.
4. Dasar-Dasar Pendidikan Antar Golongan
Hubungan antar golongan dapat dikaitkan dengan teori prasangka,
antara lain adalah:
 Prasangka disebabkan oleh rasa frustasi-agresi, seperti terdapat dalam
pribadi otoriter, maka perlu diperhatikan pendidikan anak dalam
rumah tangga sejak kecil. Bila kepribadiannya serupa itu dibiarkan
38
terus berkembang, ada kemungkinan ia hanya mendapat kesembuhan
dengan pertolongan ahli psikiatri.
 Prasangka
yang disebabkan oleh
persaingan dalam mencari
keuntungan, status, kekuasaan, yang terdapat dalam sistem politik
ekonomi, maka di sekolah dapat diajarkan bahwa prestasi seseorang
ditentukan oleh usaha dan kemampuannya, yang bagi setiap orang
mempunyai batas-batas tertentu. Prasangka yang ditimbulkan oleh
persaingan ekonomi di dalam masyarakat dapat melumpuhkan usaha
sekolah.
 Prasangka dari aspek kebudayaan diperoleh melalui proses sosialisasi,
melalui situasi-situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Bila
lingkungan itu menunjukkan rasa prasangka terhadap golongan lain,
maka dapat diharapkan anak itupun akan berbuat sesuai dengan
lingkungannya. Sekolah dapat memberikan pelajaran agar anak tidak
berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam situasisituasi lain diluar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuannya
akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya di dalam masyarakat.
hanya dengan penuh keyakinan dan keberanian seorang dapat
bertindak menurut cara yang berlawanan dengan kelakuan umum.
Bacaan:
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi ke enam. Jakarta: Bumi Aksara.
39
Kegiatan Belajar 10
HUBUNGAN PENDIDIKAN TERHADAP KESEJAHTERAAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan kontribusi pendidikan terhadap kesuksesan
ekonomi.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa tantangan dunia pendidikan di
Indonesia.
b. Uraian Materi
1. Kontribusi Pendidikan Terhadap Kesuksesan Ekonomi
Setiap masyarakat di seluruh dunia senantiasa menghendaki
kesejahteraan.
Secara
terminologi
sosiologi
memfokuskan
studi
kesejahteraan dan sistem kesejahteraan fisik tersebut dalam suatu wadah
subkajian bernama lembaga sosial ekonomi.
Dalam
perkembangannya,
pranata
ekonomi
memelihara
kelangsungan sistem nilainya tidak pernah lepas dari keterkaitan dengan
ruang-ruang sosial lainnya baik itu pranata politik, pendidikan,
kemasyarakatan atau keluarga maupun agama.
Menurut Robert K. Merton (dalam RavikKarsidi, 2005: 192)
menyatakan bahwa, setiap lembaga sosial tidak sekedar memelihara
sembuh tujuan dan fungsi yang manifes, yakni sebuah fungsi yang
mencerminkan kegunaan dari terbentuknya sebuah pranata.
40
Munculnya asumsi sosial bahwa pendidikan mempengaruhi
kesuksesan ekonomi seseorang bukanlah suatu keyakinan yang tidak
mendasar. Di Indonesia, pada awal dekade Orde Baru sebagian besar lini
pekerjaan membutuhkan tenaga kerja berlatar belakang pendidikan
formal. Hampir semua yang mengenyam pendidikan formal mampu
terserap di lahan-lahan pekerjaan. Dimana kebutuhan pemerintah terhadap
tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka
industrialisasi dan modernisasi pembangunan negara.
Dalam buku Repelita II ditegaskan bahwa pendidikan pada
hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Dikatakan juga bahwa pendidikan harus mempunyai hubungan yang erat
dengan kebutuhan serta kemungkinan-kemungkinan perkembangan
ekonomi dan sosial, sehingga dapat memberi bekal hidup para muridmurid dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada zaman kolonial Belanda, para pribumi (meskipun hanyalah
bangsawan dan golongan priyayi) yang memiliki ijazah dari sekolahsekolah bentukan kolonial mendapat kesempatan untuk ditempatkan pada
instansi-instansi pemerintah kolonial. Dengan demikian, lembaga
pendidikan tepatnya sekolah dianggap sebagai tangga strategis untuk
meraih pemalaman hidup tanpa harus melalui usaha-usaha ekonomi lain
yang tampaknya lebih lambat dan berisiko tinggi untuk mengalami
kegagalan.
41
Argumen lain yang melandasi kepercayaan umum bahwa melalui
sekolah atau pendidikan formal para individu dapat mencapai tingkat
keberhasilan ekonomi dengan relatif cepat lantaran dalam lembaga
sekolah menyediakan serangkaian proses pengajaran yang mampu
membekali para pesertanya dengan perangkat kemampuan yang
dibutuhkan oleh lahan pekerjaan di era modern.
Persepsi lain yang tidak bisa dipungkiri pada kondisi sekarang
adalah munculnya problem besar yang tengah dihadapi yaitu persoalan
krisis Sumber Daya Manusia yang cukup akut. Krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1998, didapatkan data jumlah angkatan kerja nasional
sekitar 92, 73 juta orang. Sementara jumlah kesempatan kerja yang ada
hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang yang
menganggur. Angka ini terus meningkat hingga sekarang. Bahwa tidak
semua yang memperoleh pendidikan mampu mendapatkan pekerjaan
yang sesuai dengan keahlian mereka masing-masing, dan banyak diantara
mereka yang menganggur. Berdasarkan fakta statistik tersebut dapat
menjadi bukti lemahnya sistem dan orientasi lembaga pendidikan kita
untuk memproduk tenaga kerja yang siap kerja.
Dengan demikian, besarnya angka pengangguran terdidik sudah
membuktikan bahwa proses aktivitas pendidikan nasional tengah
mengalami kegagalan. Sebagai salah satu institusi masyarakat yang
bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya manusia-manusia yang
42
mampu menjadi katalisator kesejahteraan sosial ekonomi, pendidikan
telah berbalik arah membebani masyarakat.
Studi sosiologi pendidikan tidak berusaha memberikan solusi yang
bernuansa etis, akan tetapi kajian teoritisnya berusaha memberikan
gambaran objektif tentang seluruh komponen yang mempengaruhi
konstruksi hubungan antara pranata pendidikan dan pranata ekonomi.
2. Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Konsekuensi dunia pendidikan dengan sektor ekonomi masyarakat
Indonesia memiliki hubungan yang erat, dimana kedua komponen
lembaga tersebut merupakan aset negara yang memerlukan pengelolaan
secara hati-hati dan cermat. Secara lebih khusus hubungannya
menyangkut modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi yang
menjadi tiga faktor pokok sebagai masukan (input) dalam produksi
pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju
pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.
Aspek pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting
dalam menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan, manusia
dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya
manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih
baik. Implikasinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, hidup manusia
akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara
43
umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin
tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.
Menurut Tobing (dalam RavikKarsidi, 2005: 203) ada tiga teoritis
yang mennjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan
ekonomi, yaitu teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi
strata sosial.
Teori modal manusia menjelaskan proses Diana pendidikan
memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Argumen yang
disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah,
akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan yang
pendidikan lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas,
maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin
tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan tumbuh lebih
tinggi.
Teori alokasi atau persaingan status menyatakan bahwa orang yang
berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode
jauh lebih pendek dan sifatnya nonformal) akan memiliki produktivitas
relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Teori ini
memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu
fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata
pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang
untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang
44
berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan
nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang berpendidikan lebih
tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan
ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa
fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan
ketidakseimbangan sosial. Pendidikan ditingkat lebih elit menekankan
studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang
tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Pertanyaannya adalah, teori mana yang relevan dalam situasi
sekarang? Menurut Roger (dalam RavikKarsidi, 2005: 204) menyatakan
bahwa modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan
berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara di mana individu
meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang,
diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Oleh karena modal
manusia, seperti dikemukakan di atas memiliki hubungan positif dengan
pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki
hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.
3. Beberapa Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia
Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun kegiatan pendidikan
telah berlangsung di Indonesia selama 68 tahun, namun mutu pendidikan
Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti:
Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand.
45
Adapun tantangan yang menghadang dunia pendidikan Indonesia
saat ini meliputi:
1) Heterogenitas tingkat pendidikan masyarakat
Heterogenitas tingkat pendidikan
masyarakat Indonesia dapat
dilihat pada masyarakat di seluruh Indonesia. Masih banyak penduduk
yang buta aksara terutama di pedesaan, disamping mayoritas sudah dapat
membaca dan menulis bahkan banyak yang sarjana. Pada jenjang sekolah
dasar, terutama di pedesaan banyak anak-anak usia sekolah yang tidak
pernah mengikuti sekolah dasar, putus sekolah, di samping banyak yang
tamat sekolah dasar. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan
SLTP dan SLTA. Penyebab utamanya adalah masalah kemiskinan dan
ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah: (1)
kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal dan berbagai pelatihan
keterampilan teknis bagi anak-anak (pemuda) sangat terbatas, (2) jumlah
pemuda putus sekolah meningkat, bahkan banyak yang tidak pernah
sekolah, (3) jumlah pemuda melek huruf fungsional sangat rendah, dan
(4) mutu SDM generasi muda sangat buruk.
2) Keterpurukan perekonomian masyarakat
Krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter tahun 1997,
memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia pendidikan Indonesia.
Jumlah masyarakat miskin dan yang hidup di bawah garis kemiskinan
46
meningkat. Pengangguran terbuka sudah mencapai 40 juta orang pada
tahun 2004. Tahun 2004-2006, berdasarkan data statistik Indonesia
jumlah pengangguran terbuka adalah 10, 92 juta orang.
Dampak yang terjadi akibat krisis ekonomi adalah terjadinya putus
sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bagi siswa yang putus
sekolah pada usia dini, mengakibatkan emosi mereka belum stabil, tidak
toleran terhadap orang lain, agresif secara fisik, rendah kesadaran akan
kesalahan diri, dan menunjukkan perilaku yang egoistik.
Apabila keluarga dan pemerintah tidak tanggap terhadap
permasalahan tersebut, maka cepat atau lambat pengaruh lingkungan
yang tidak kondusif akan membuat penyalahgunaan narkoba, atau
perilaku-perilaku kejahatan yang lebih ekstrim. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan berhubungan erat dengan
pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi yang berakar
pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik.
Menurut Tilaar (dalam RavikKarsidi, 2005: 207), kesalahan
ekonomi dan pengaruh negatifnya pada pendidikan adalah pembangunan
ekonomi yang dijadikan panglima dengan hanya memprioritas target
pertumbuhan telah melahirkan pembangunan ekonomi yang tidak
berperasaan. Akibatnya terjadi kesenjangan antar daerah, antarsektor, dan
antarmasyarakat. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh
karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Sejalan
dengan itu lahirlah ekonomi biaya tinggi karena korupsi yang melahirkan
47
penanganan ekonomi yang tidak profesional tetapi mengikuti jalan pintas.
Dengan sendirinya output pendidikan tidak mempunyai daya saing
apalagi mempunyai daya saing global.
3) Masalah pemerataan pendidikan
Konsep “pendidikan untuk semua” mempunyai makna bahwa
semua warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang
baik, juga mempunyai kewajiban untuk membangun pendidikan nasional
yang bermutu. Konsekuensinya diperlukan pemerataan pendidikan.
Adapun kendala internal yang menghambat pemerataan pendidikan
adalah (1) kendala geografis, artinya banyak pulau-pulau atau daerahdaerah yang sulit dijangkau pendidikan karena faktor komunikasi, (2)
sarana pendidikan yang terbatas akibat alokasi dana yang sangat minim,
(3) pemerintah masih mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai
prioritas, sementara pendidikan belum memperoleh porsi yang wajar, (4)
tidak ada penghargaan yang wajar terhadap profesi guru, terutama yang
menyangkut kesejahteraan, padahal kunci utama pendidikan bermutu
ialah mutu guru itu sendiri, dan (5) perencanaan pendidikan yang
sentralistik yang mengabaikan kemampuan dan karakteristik daerah.
Bacaan:
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
48
Kegiatan Belajar 11
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN
a. LearningOutcome:
1. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan politik dan pendidikan.
b. Uraian Materi
1. Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem
sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Keduanya memiliki hubungan yang saling bahu-membahu
dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam
membentuk perilaku politik masyarakat. sebaliknya, lembaga-lembaga
dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada
karakteristik pendidikan di negara tersebut.
Menurut Rasyid (dalam M. Sirozi, 2005: 2) menyatakan bahwa
dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak
pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam
kegiatan pendidikan waktu itu tidak hanya sebatas dukungan moral
kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi,
keuangan, dan kurikulum.
Berdasarkan pernyataan di atas, hubungan antara politik dan
pendidikan sangat erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan
banyak dipengaruhi oleh penguasa dan para penguasa memerlukan
49
dukungan
institusi-institusi
pendidikan
untuk
membenarkan
dan
mempertahankan kekuasaan mereka.
Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas
kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu
koin, tidak mungkin terpisahkan. Menurut Plato, sekolah adalah salah satu
aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Setiap
budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompokkelompok elite yang secara terus-menerus menguasai kekuasaan politik,
ekonomi, agama, dan pendidikan.
Di negara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang
mendapat privilese pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi
kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai
partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilese atau
diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau
agama.
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua
dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya,
filsafat pendidikan di suatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip
ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya
filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai
yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945.
Bacaan:
Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
50
Daftar Bacaan
Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta:
Kencana.
Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Karsidi, Ravik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: mengungkapkan
Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava
Media.
Nasution, S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Edisi Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
NgainunNaim dan Ahmad Syaugi. 2010. Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rajawali.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sosiologi Pendidikan: Struktur dan Interaksi Sosial di
dalam Institusi Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru 4, Cetakan
ketigapuluh dua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
51
Download