Pola Pembelajaran Pewarisan Tradisi Arsitektur

advertisement
TEMU ILMIAH IPLBI 2012
POLA PEMBELAJARAN PEWARISAN TRADISI
ARSITEKTUR BERKELANJUTAN: DARI ETNOARSITEKTUR
KE ETNOPEDAGOGI
M. Syaom Barliana(1), Nuryanto(2), Diah Cahyani P.(3)
(1)
KBK Sejarah, Teori Arsitektur, dan Budaya Bermukim, Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
KBK Perancangan Arsitektur dan Kota, Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
(3)
KBK Sejarah, Teori Arsitektur, dan Budaya Bermukim, Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.
(2)
Abstrak
Pembangunan yang eksploatatif telah melahirkan berbagai dampak yang membahayakan lingkungan
dan kehidupan manusia. Karena itu, isu lingkungan telah menjadi isu populer dan aktual dalam satu
dekade terakhir ini. Hal itu melahirkan berbagai upaya untuk menghasilkan solusi yang tepat bagi
permasalahan lingkungan. Sekaitan dengan perancangan lingkungan buatan, salah satu konsep
pemecahan masalah itu adalah arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture). Namun demikian,
sustainable architecture bukan sekedar menyangkut persoalan teknologi-material, tapi juga
menyangkut sikap budaya dan pendidikan. Pada masyarakat tradisional misalnya, sustainability
terjadi bukan hanya dengan perwujudan artefaknya, namun lebih pada adanya kepercayaan atas
nilai-nilai yang mendasarinya, yaitu penghargaan dan pemahaman untuk menjaga keselarasan alam.
Penelitian etnoarsitektur dan etnopedagogis ini secara komprehensif akan melakukan pengukuran
dan analisis terhadap aspek teks, perilaku, serta artefak. Penelitian menggunakan metode penelitian
kualitatif, yang bukan saja berfokus pada proses (perilaku) tetapi juga pada artefak sebagai produk
budaya ber-arsitektur.
Kata Kunci: Arsitektur berkelanjutan, arsitektur vernakular, etnoarsitektur, etnopedagogi
Pendahuluan:
Eksplorasi Kearifan Lokal untuk
Inspirasi Kekinian
Pembangunan
yang
eksploatatif
telah
melahirkan
berbagai
dampak
yang
membahayakan lingkungan dan kehidupan
manusia. Karena itu, isu lingkungan telah
menjadi isu populer dan aktual dalam satu
dekade terakhir ini. Pemanasan global dan
dampak lingkungan lainnya, telah mengusik
kesadaran masyarakat dunia untuk lebih peka
dan
kemudian
bertindak
bijak
dalam
pengelolaan lingkungan.
Hal itu melahirkan berbagai upaya untuk
menghasilkan
solusi
yang
tepat
bagi
permasalahan lingkungan. Sekaitan dengan
perancangan lingkungan buatan, salah satu
konsep pemecahan masalah
itu adalah
arsitektur
berkelanjutan
(sustainable
architecture).
Menurut
Steele
(1997),
sustainable architecture, adalah arsitektur yang
memenuhi
kebutuhan
saat
ini,
tanpa
membahayakan
kemampuan
generasi
mendatang, dalam memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Kebutuhan itu berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lain, dari satu
kawasan ke kawasan lain dan paling baik bila
ditentukan oleh masyarakat terkait.
Namun demikian, sustainable architecture bukan
merupakan sebuah resep panasea yang dengan
mudah menyelesaikan persoalan lingkungan.
Sustainable architecture tidak pula sekedar
menyangkut
persoalan
teknologi-material,
antara lain melalui efisiensi penggunaan energi,
efisiensi
penggunaan
lahan,
efisisensi
penggunaan material, penggunaan teknologi
dan material baru, dan manajemen limbah.
Sustainable architecture adalah menyangkut
sikap budaya. Guy and Farmer (2001) dengan
mengutip
Maxman
menyatakan
bahwa
“Sustainable architecture is’nt a prescription. Its
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012 | 117
Pola Pembelajaran Pewarisan Tradisi Arsitektur Berkelanjutan: Dari Etnoarsitektur ke Etnopedagogi
an approach, an attitude. Its shouldn’t really
even have a label. Its should just be
architecture”. Sejalan dengan itu, Prawoto
(2010), mengungkapkan bahwa sustainability
terjadi bukan hanya dengan perwujudan
artefaknya,
namun lebih pada
adanya
kepercayaan atas nilai-nilai yang mendasarinya,
yaitu penghargaan dan pemahaman untuk
menjaga keselarasan alam. Ia menyelami tradisi
masyarakat Indonesia yang sejak dulu sudah
hidup harmonis dengan alam, bukan karena
logika ekonomi tentang penghematan, tapi
benar-benar selaras dengan alam, tidak
memusuhi alam.
Tradisi masyarakat Indonesia yang hidup
harmoni dengan alam, masih dapat ditemukan
pada masyarakat kampung adat dengan
bentukan arsitektur tradisionalnya. Meskipun
penelitian budaya secara umum sudah banyak
dilakukan pada kampung-kampung adat di Jawa
Barat, namun penelitian kombinasi etnoarsitektur dan etno-pedagogik sesungguhnya
belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu,
penelitian ini ingin berfokus pada dua hal.
Pertama, mendeskripsikan bagaimana pola
perilaku budaya masyarakat kampung adat
dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan
lingkungan binaan (arsitektur) secara selaras
dan berkelanjutan. Kedua, mengkaji bagaimana
pola perilaku itu dipelihara dan diwariskan
melalui proses pembelajaran kepada generasi
berikutnya. Pada kedua sisi inilah, penelitian ini
sangat penting dilakukan. Eksplorasi pada akar
budaya dan kearifan lokal ini penting, untuk
memperoleh pengetahuan tentang pola interaksi
manusia
dengan
lingkungannya
secarta
berkelanjutan serta metode pembelajaran
warisan tradisi, yang akan menjadi inspirasi bagi
kekinian dan kemasadepanan peradaban
Indonesia.
Tinjauan Pustaka:
Arsitektur Vernakular dan Pewarisan
Tradisi Arsitektur Berkelanjutan
Indonesia, adalah sebuah negeri yang
dianugerahi berbagai ragam budaya yang
sangat kaya, unik, eksotis, dan mengandung
banyak kearifan lokal. Termasuk dalam hal ini,
keberadaan dan kekayaan arsitektur tradisional.
Sayangnya, perkembangan arsitektur modern di
Indonesia saat ini, semata-mata berbasis pada
rasionalitas estetika, efisiensi fungsi, formalisme
118 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012
dan international style, yang berkait berkelindan
dengan komersialisme dan konsumtivisme.
Perkembangan ortodoksi modernisme arsitektur
semacam ini (Barliana dan Cahyani P, 2011),
terbukti hanya
menghasilkan suatu karya
arsitektur yang arogan, tak manusiawi, tak
kontekstual,
dan
eksploatatif
sehingga
mengabaikan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan
hal
itu,
sudah
saatnya
pembangunan di Indonesia berakar pada
keragaman kekayaan alam, keunikan budaya
lokal, dan menghargai komunitas, tanpa
meninggalkan konsep dan elemen modernitas.
Kearifan lokal berupa keselarasan interaksi
manusia dengan lingkungan, yang disinergikan
dengan kekayaan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, akan menghasilkan kekuatan
fusi arsitektur dari apa yang disebut arsitektur
berkelanjutan (sustainable architecture). .
Arsitektur berkelanjutan (sustanain- ability
architecture) adalah bagian dari pembangunan
berkelanjutan
(sustainability
development).
“Sustainable development is development which
meets the needs of the present without
compromising the ability of future generation to
meet their own needs." (Brundtland, 1987).
Demikianlah,
pembangunan
berkelanjutan
didefinisikan sebagai pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa
merusak kemampuan generasi masa depan
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Berdasarkan
pengertian
itu,
konsep
pembangunan berkelanjutan itu berbasis pada
dua kata kunci. Pertama, kebutuhan, yang
berarti bahwa pembangunan harus dapat
memenuhi kebutuhan hidup yang standar bagi
semua orang. Kedua, batas kapasitas, yang
berarti
bahwa
pembangunan
harus
mempertimbangkan batas-batas kemampuan
lingkungan untuk dapat memenuhi bukan saja
kebutuhan masyarakar sekarang tetapi juga
kebutuhan generasi masa mendatang.
Berkaitan dengan arsitektur, kita tahu, bahwa
arsitektur adalah konsumer sumber daya alam
yang sangat
signifikan.
Melalui
proses
pembangunan konstruksi, produksi material
bangunan,
dan operasional bangunan,
arsitektur
berkontribusi
terhadap
tingkat
konsumsi energi yang tinggi, produksi limbah,
dan polusi. Bahkan pun, arsitektur modern yang
berkelindan dengan ekonomi kapitalistik sering
M. Syaom Barliana, Nuryanto, Diah Cahyani P.
berlawanan
dengan
upaya
konservasi
lingkungan maupun bangunan bersejarah.
Karena itu, implementasi konsep arsitektur
berkelanjutan adalah suatu kebutuhan niscaya.
Ada sejumlah pengertian tentang arsitektur
berkelanjutan, yang tampak mengandung
nuansa
makna
berbeda-beda,
tetapi
sesungguhnya saling melengkapi.
Fisher,
dalam Hui (2002), menyatakan tentang
environmental architecture yang mengandung
lima prinsip dasar: kesehatan lingkungan
interior,
efisiensi
penggunaan
energi,
pengurangan penggunaan material yang akan
merusak lingkungan global, pengolahan site dan
bentuk
arsitektur
yang
peka
terhadap
lingkungan dan iklim, serta desain yang
mendorong
peningkatan
kualitas
fisik
lingkungan, spiritualisme, dan kesejarahan.
Dari paparan teoritik tersebut di atas, sudah
tergambarkan sejumlah indikator dari konsep
arsitektur berkelanjutan.
Sejumlah lembaga
kemudian melakukan pengukuran implementasi
arsitektur berkelanjutan itu di dalam realitas
bangunan dan lingkungan. Salahsatu indikator
pengukuran dikembangkan oleh The Leadership
in Energy and Environment Design (LEED)
System. LEED dikembangkan oleh the U.S.
Green Building Council (USGBC) pada tahun
2000. Teori dari Fisher tentang environmental
architecture dan indikator green architecture
dari LEED ini, yang diadaptasi dan digunakan
sebagai instrumen penelitian ini.
Paramater dari LEED terdiri atas faktor-faktor
berikut: Site design; Water efficiency; Energy
and atmosphere; Materials and resource
protection; Indoor environmental quality;
Locations and linkage; Innovativeness and
design/contruction process;
Awaraness and
education. Tentang yang terakhir ini, yaitu
kesadaran
lingkungan
dan
pendidikan,
dipisahkan menjadi indikator tersendiri dalam
instrumen penelitian, dan dikelompokkan
sebagai bagian dari perilaku budaya.
Sementara arsitektur modern menghadapi
problema konflik lingkungan dan boros energi,
masyarakat tradisional sejak awal sesungguhnya
sudah mengimplementasikan prinsip-prinsip
dasar arsitektur berkelanjutan. Masyarakat
tradisional memiliki kekayaan kearifan lokal
(local wisdom) dalam membangun dan
berinteraksi dengan lingkungannya secara
harmonis. Kearifan lokal, yang biasa terbungkus
dalam bentuk adat istiadat, mitos, simbolisme,
kepercayaan, dan lain-lain, perlu dieksplorasi
lebih jauh, untuk menjadi inspirasi bagi
pembangunan dan pengelolaan lingkungan
binaan masa kini dan masa depan. Inilah kurang
lebih yang disebut etnoarsitektur, yaitu suatu
pendekatan, muatan sistem nilai, dan praktik
ber-arsitektur (dalam interaksi masyarakat
dengan lingkungan binaan dan lingkungan
alamnya) yang berbasis pada kearifan lokal.
Di sisi lain, sangat menarik untuk
mengkaji
bagaimana
pola
pembelajaran
pewarisan tradisi antar generasi yang terjadi,
sehingga karakteristik suatu kampung adat
memiliki daya tahan yang relatif cukup terhadap
desakan berbagai perubahan. Dalam terminologi
lain, pola pembelajaran pewarisan tradisi
(handling down), dapat disebut sebagai
etnopedagogi. Hal ini sejalan dengan pandangan
Alwasilah et al. (2009), yang menyatakan bahwa
etnopedagogi merupakan praktik pendidikan
berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah,
serta menekankan pengetahuan atau kearifan
lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan.
Pendidikan kearifan lokal ini terkait dengan
bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan,
diterapkan, dikelola dan diwariskan, untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Metode Penelitian:
Suatu Pendekatan Kualitatif
Penelitian ini secara komprehensif akan
melakukan pengukuran dan analisis terhadap
aspek teks (referensi kesejarahan asal-usul
pembentukan dan perkembangan permukiman,
adat istiadat dan norma), perilaku (interaksi
manusia dengan lingkungannya, pembelajaran
pewarisan budaya), serta artefak (produk
budaya hasil interaksi manusia dan lingkungan
secara berkelanjutan).
Dengan sasaran
semacam itu, maka penelitian menggunakan
metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian
adalah kampung adat Ciptagelar, Sukabumi,
Jawa Barat, Pemilihan kampung ini didasarkan
kepada tingkat daya tahan (relatif) kampung
adat tersebut terhadap perubahan, keunikan
karakteristik arsitektur, dan kekayaan kearifan
budaya lokal.
Penelitian etnoarsitektur dan etnopedagogik ini,
menekankan bukan saja pada proses tapi juga
aspek
kebendaannya.
Teknik
utama
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini
adalah observasi, yang didukung wawancara
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012 | 119
Pola Pembelajaran Pewarisan Tradisi Arsitektur Berkelanjutan: Dari Etnoarsitektur ke Etnopedagogi
dan dokumentasi. Alat pengumpulan data,
dengan demikian digunakan pedoman observasi,
dengan skema proses observasi yang diadaptasi
dari Spradley (1980). Skema ini terdiri dari tiga
langkah: observasi deskriptif, observasi terfokus,
dan terakhir observasi selektif. Selanjutnya,
dilakukan pengabsahan data sebagai hal yang
mutlak dalam proses penelitian, dengan cara
triangulasi. Analisis data dilakukan bersamaan
dengan pengumpulan data. Alur analisis
mengikuti teknik yang dikemukakan Spradley
juga, yaitu analisis domain, analisis taksonomik,
dan analisis komponensial. Hasil dari ketiga
analisis terus dilanjutkan dengan analisis tema
sebagai suatu proses interpretasi, dengan cara
mendeskripsikan secara menyeluruh dan
menampilkan makna dari obsjek yang menjadi
fokus penelitian. Untuk menjaga objektivitas
tafsir ini, kembali digunakan referensi teoritik
untuk memberikan penjelasan dan wawasan
yang luas terhadap domain, taksonomik, dan
komponen yang ditemukan dalam penelitian.
Hasil Penelitian:
Dalam Proses Analisis dan Interpretasi
Data
Hasil penelitian belum dapat dipublikasikan,
karena penelitian masih dalam proses analisis
dan interpretasi data. Hasil penelitian lengkap
akan disampaikan pada saat pelaksanaan Temu
Ilmiah IPLBI pada bulan November 2012.
Daftar Pustaka
Adimiharja, Kusnaka (1999). Sistem Pengetahuan
Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa di
Indonesia.
Dalam
Jurnal
Ekologi
dan
Pembangunan
(Ecology
andDevelopment)
terbitan No.2 Mei. Bandung : PPSDAL.
Altman, Irwin & Martin Chemers (1984): ”Culture and
Environment”. California: Wadswoth, Inc.
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009).
Etnopedagogi: Landasan praktek pendidikan dan
pendidikan guru. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Barliana, M. Syaom (2010). Tradisionalitas dan
Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid. Bandung:
Metatekstur Penerbit Diskursus
Barliana, M. Syaom (2011). Arsitektur, Kekuasaan, dan
Nasionalitas. Bandung: Metatekstur Penerbit
Diskursus
Barkes, F. (1999). Traditional Ecological Knoledge in
Perspective. Dalam Julian T. Inglis (ed)
Traditional Ecological Knowledge : Concepts and
cases. London : International Program on
Traditional
Ecological
Knowledge
and
International Development Research Centre.
120 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012
Brundtland, Gro Harlem (1987). Our Common Future.
World Commission on Environment and
Development (WCED). New York:
Oxford
University Press
Crouch, Dora P. & Johnson, June G., (2001).
Traditions in Architecture: Africa, America,
Asia,and Oceania. Oxford University.
Guy,
Simon
and
Farmer,
Francis
(2001).
Reinterpreting Sustainable Architecture: The Place
of Technology,” Journal of Architectural Education,
vol. 54, no. 3 (Feb. 2001)
Habraken (1978) Habraken, N. John (1978): ”General
Principles A Bout the Way Built Environment
Inoue, Matsuo, (1985), Space in Japanese
Architecture, Hiroshi Watanabe trans. New York;
John Weatherhill Inc.
Koentjaraningrat
(1990),
”Pengantar
Ilmu
Antropologi”. Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta.
Loeckx, Andre & Varmuelen, Paul (1986), Note On The
Methodology Of Urban Analysis, Katholieke
Universiteit Leuve
May, John., (2010). Buildings Without Architects: A
Global Guide to Everyday Architecture. New York.
Rizzoli.
Nababan, A. (1995)
Kearifan Tradisional dan
Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Dalam
Analisis CSIS November-Desember Tahun XXIV
No.6 : 42-435.
Naing, Naidah., Santosa, Happy Ratna., Soemarno,
Ispurwono. (2009). Kearifan Lokal Tradisional
Masyarakat Nelayan pada Permukiman Mengapung
di Danau Tempe Sulawesi. Selatan. Jurnal Local
Wisdom, Volume: I, Nomor: 1. Hal: 19 - 26,
Nopember.
Naping, Hamka (2007). Kelembagaan Tradisional dan
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
pada Masyarakat Toraja. Makassar : PPLH
Regional Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua KLH
bekerjasama dengan Masagena Press,
Nuryanto (2000). Pengembangan Daerah Wisata
Berbasis Arsitektur Tradisional. Bandung: Proposal
Penelitian, tidak diterbitkan.
Prawoto, Eko (2010). Arsitektur Yang Memberi.
Avaliaable
at:
http://www.housingestate.com/index.php.
Ronald G. Knapp (ed). (2003) Asia’s Old Dwellings:
Tradition, Resilience, and Change. New York:
Oxford University Press.
Schefold, Reimar., et al (eds), (2008). Indonesian
Houses vol.2 Survey of Vernacular Architecture in
Western Indonesia. Leiden. KITLV Press.
Spradley (1980). Participant Observation. Holt,
Rinehart and Winston.
Steele, James (1997). Sustainable Architecture;
Principles, Paradigms, and Case Studies. New
York: McGraw-Hill
Suratno, Tatang (2010). Memaknai Etnopedagogi
sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas
Pendidikan Indonesia.Proceedings of The 4th
International Conference on Teacher Education; 810 November; Join Conference UPI & UPSI
Bandung, Indonesia
Download