PERBEDAAN KEPADATAN LALAT YANG HINGGAP - E

advertisement
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
PERBEDAAN KEPADATAN LALAT YANG HINGGAP PADA FLY GRILL YANG
BERBEDA WARNA DI PASAR SRIMANGUNAN
Zufra Inayah**), Hermanta **), Diah Fidayanti*)
**) Dosen Prodi Kesehatan MasyarakatSTIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :The fly isone of the insect ordodiphtera, the insect as apair of wing-shaped
membrane. all parts of the body may play a rolein spreading the disease. for it is necessary to
control flies that can be based on the biological aspects of flies. Fly like insectsin general
have asensitivity to different light wave lengths (colors). The purpose of this studyis to
determine the differences in the density of flies that settle on the flya different grille colors.
Method :This type of research is the field experiments, including experiments and
pseudoscience. Market research conducted in polling stations Srimangunan for 7 days and
every day carried out two times of measurement. The data collection is done by counting the
number of flies that settle on the fly a different grille colors (blue, green, yellow and red) for
30 seconds, do 10 times the calculation of the highest and 5 averaged calculations. The data
obtained were analyzed using ANOVA test with the degree of α error of 0.05.
Result :The results showed that there are differences in the density of flies that settle on the
fly a different grille colors. Based on measures ANOVA test results obtained, which means p
= 0.004 p <α 0.05. The most preferred coloris yellow flies, and the most disliked blue flies.
The temperature eat whichat 06:00 pm at 28oCand 12:00 pm 30oC–32oC, while the humidity
at 06:00 pm ranged between 81% - 87% and at 12:00 pm ranged between 64% - 76%.
Conclusion : In conclusion, it was found that there are differences in the density of flies that
settle on the fly a different grille colors. The most preferred coloris yellow flies, and the most
disliked blue. Suggested uses should cover food or beveragesor blue bins.
Keywords: Color Fly Grill, Density Flies
PENDAHULUAN
Lalat merupakan salah satu serangga yang
selain mengganggu kenyamanan juga
mempengaruhi kesehatan manusia. Lalat
dapat membawa kuman penyakit dari
tempat
perindukan
misalnya
yang
menempel pada tubuh, kaki atau bulu-bulu
kaki dan dipindahkan ke makanan atau
minuman sehingga dapat menimbulkan
penyakit bagi yang memakannya. Salah
satu penyakit yang disebabkan melalui
perantara lalat yaitu diare akut yang masih
merupakan penyebab kesakitan dan
kematian di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia, serta
lalat sangat besar peranannya sebagai
vektor biologis dalam penyebaran penyakit
seperti thypus, diare, disentri, cholera,
trachoma dan parathypus.[6]
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Lalat pengganggu kesehatan tergolong ke
dalam
ordo
Dipteria
sub
ordo
Cyclophardan anggotanya terdiri atas
lebih dari 116.000 species lebih di seluruh
dunia. Berbagai famili yang penting antara
lain adalah Muscidae (berbagai jenis lalat
rumah,
kandang
lalat
tanduk),
Calliphoridae
(lalat
hijau)
dan
Sarcophagodae (berbagai jenis lalat
daging). Sumber makanan lalat bervariasi
mulai dari kotoran hewan atau manusia,
makanan manusia dan berbagai parasit dari
alam atau luar tubuh manusia[6]
Pola hidup lalat: a) cara bertelur lalat yaitu
masa bertelur 4-20 hari, pada umumnya
perkawinan lalat terjadi pada hari ke 2
sampai ke 12 sesudah keluar dari
kepompong. 2-3 hari kemudian sesudah
kawin baru bertelur 4-5 kali seumur
1
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
hidupnya; b) tempat perindukan lalat yaitu
kotoran kuda, babi, ayam, sapi, kotoran
manusia dan saluran air kotor, sampah,
kotoran got yang membusuk, buahbuahan, dan sayuran busuk, biji-bijian
busuk, kertas dan kotoran lainnya yang
busuk menjadi tempat yang baik untuk
berkembang biak lalat; c) jarak terbang
lalat rata-rata 6-9 km, kadang-kadang
dapat
mencapai
19-20
km
dari
tempatberbiaknya; d) umur lalat antara 1-2
bulan dan ada yang 6-12bulan; e)
kebiasaan makan lalat tertarik pada
makanan yang di makanan manusia seharihari, seperti gula, susu, dan makanan
lainnya kotoran manusia serta darah; f)
tempat istirahatpada lantai, dinding, langitlangit, jemuran pakaian, rumput-rumput,
kawat listrik dan lain-lain serta sangat
menyukai tempat-tempat dengan tepi
tajam yang permukaannya vertikal; g)
lama kehidupan lalat sangat tergantung
pada makanan, air dan temperatur. Pada
musim panas berkisar antara 2-4 minggu,
sedangkan musim dingin bisa mencapai 70
hari; h) lalat mulai terbang pada
temperatur 15oC dan aktifitas optimumnya
pada temperatur 21oC. pada temperatur
dibawah 7,5oC tidak aktif dan diatas 45oC
terjadi kematian pada lalat; i) kelembaban
erat hubungannya dengan temperatur
setempat. Lalat beraktifitas optimal pada
kelembaban antara 50%-90%; j) selalu
bergerak menuju sinar dan pada malam
hari tidak aktif, kecuali ada sinar buatan.
Efek cahaya pada lalat tergantung pada
suhu dan kelembaban.
Penyakit yang dapat ditularkan melalui
perantara lalat antara lain:
1. Penyakit tidur
Penyakit
tidurdisebabkan
oleh
tripanosoma gambiense, tripanosoma
rodesiense dan ditularkan oleh lalat
melalui gigitan.
ISSN 2085-028X
3. Disentri amoeba
Penyakit disentri amoebadisebabkan
oleh
entamoeba
histolitica
dan
ditularkan
lalat
rumah
melalui
kontaminasi makanan.
4. Disentri basilaris
Penyakit disentri basilaris disebabkan
oleh shigella dysentriae dan ditularkan
lalat rumah melalui kontaminasi
makanan.
5. Typus abdominalis
Penyakit typus abdominalis disebabkan
oleh salmonella typhi dan ditularkan
oleh lalat rumah melalui pencemaran
makanan dan air.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
kepadatan lalat sebagai berikut:
1. Makanan
Lalat tertarik pada bau-bauan yang
busuk, serta bau dari makanan ataupun
minuman yang merangsang dan
membutuhkan makanan yang cukup
untuk berkembang biak. Lalat rumah
tertarik pada kelembaban, makanan
manis dan bereaksi pada barang yang
membusuk.
2. Jenis sampah
Dari berbagai macam jenis sampah,
yang paling disenangi oleh lalat musca
domestica untuk berkembang biak. Sifat
dari jenis sampah ini adalah mudah
membusuk dan menimbulkan bau yang
tidak sedap, sehingga menjadi daya
tarik lalat. [2]
Pengukuran tingkat kepadatan lalat dapat
dipakai beberapa cara, namun yang paling
mudah, murah, dan cepat adalah Fly grill.
Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu
yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm
dengan panjang masing-masing 80 cm
sebanyak 16-24 buah.
2. Cholera
Penyakit cholera disebabkan oleh vibrio
choleradan ditularkan oleh lalat rumah
melalui kontaminasi makanan.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
2
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
80 cm
80 cm
Gambar 1.Fly Grill
Pengukuran tingkat kepadatan lalat perlu
dilakukan untuk merencanakan upaya
pengendalian, yaitu tentang kapan,
dimana, dan bagaimana pengendalian akan
dilakukan. Demikian pula sesudah
pengendalian, pengukuran kepadatan lalat
diperlukan untuk monitoring dan penilaian
pengendalian. Tujuan pengukuran tingkat
kepadatan lalat adalah untuk mengetahui
tingkat kepadatan lalat dan tempat
berkembang biaknya lalat. Persiapan
pengukuran yaitu untuk mengukur tingkat
kepadatan lalat dapat dipakai beberapa
cara, namun cara yang paling mudah,
murah dan cepat adalah dengan
menggunakan fly grill.[3]
Cara Pengukuran Kepadatan Lalat: a)
dilakukan pemetaan lokasi pengukuran
kepadatan lalat untuk menentukan titik
lokasi pengukuran; b) letakkan fly grill
horizontal pada tempat yang rata pada
lokasititik tersebut; c) hitung jumlah lalat
yang hinggap di fly grill selama 30 detik;
d) setiap titik lokasi dilakukan 10 kali
perhitungan, dan 5 perhitungan tertinggi di
buat rata-ratanya; e) dicatat dalam formulir
pengukuran kepadataan lalat; f) angka
rata-rata dari semua titik lokasi merupakan
petunjuk (indek) populasi lalat dalam satu
lokasi tertentu (dalam satuan ekor blok
grill).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Pengukuran populasi lalat dilakukan setiap
kali dilakukan pengendalian lalat (sebelum
dan sesudah) dan pada monitoring secara
berkala yang dapat dilakukan sedikitnya 3
bulan sekali.
Interpretasi Hasil Pengukuran Kepadatan
Menurut Standart DIRJEN PPM dan PLP:
a. 0-2 (ekor/blok grill): Tidak menjadi
masalah.(rendah)
b. 3-5 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan
pengamanan terhadap tempat-tempat
berbiaknya lalat : tumpukan sampah,
kotoran hewan, dan sebagainya
(sedang).
c. 6-20
(ekor/blok
grill):
Perlu
pengamanan terhadap tempat-tempat
berbiaknya lalat dan bila mungkin
direncanakan
upaya
pengendaliannya(tinggi/padat).
d. >20 (ekor/blok grill): Perlu dilakukan
pengamanan terhadap tempat-tempat
berbiaknya
lalat
dan
tindakan
pengendalian lalat(sangat tinggi atau
padat).
Warna adalah corak rupa seperti merah,
putih, hijau dan sebagainya. Warna merah,
jingga, kuning, hijau, biru, nila dan unggu
yang sebetulnya merupakan komponen
daricahaya/sinar putih yang terurai pada
peristiwa dispersi cahaya dan distribusi
dari pada lalat selain tergantung pada
temperatur
dan
kelembaban
juga
tergantung pada warna dan tekstur dari
permukaan serta reaksi mereka terhadap
cahaya kerena lalat merupakan serangga
yang bersifat fototropik yaitu tertarik pada
sinar.
Cahaya yang dapat dilihat oleh manusia
disebut cahaya terlihat/tampak dan lalat
merupakan serangga yang aktif pada siang
hari dan tidak aktif pada malam hari tanpa
adanya sinar/cahaya buatan. Biasanya
cahaya
terlihat/tampak
merupakan
campuran dari cahaya yang mempunyai
berbagai panjang gelombang dari 400 nm
hingga 700 nm seperti kita ketahui bila
melihat pelangi.
3
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Tabel 1. Warna dan Cahaya Terlihat
Panjang Gelombang
No
Warna
(nm)
1
400 – 435
Ungu
2
435 – 480
Biru
3
500 – 560
Hijau
4-5
580 – 595
Kuning
6
595 – 610
Jingga
7
610 – 680
Merah
Sumber : Sastrohamidjojo, 1991
(Dalam Chory Masitoh, 2003)
Di Kabupaten Sampang, diare yang
ditularkan lalat rumah melalui kontaminsi
makanan masih berada dalam 10 besar
penyakit tahun 2011 pada urutan ketiga
dengan jumlah penderita 32.277 jiwa yang
merupakan 11,08% dari jumlah penderita
10 besar penyakit. Jumlah ini meningkat
dibanding angka kejadian tahun 2010
dengan jumlah penderita 8.035 jiwa (
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Sampang). Berdasarkan angka tersebut
pengendalian populasi lalat sangat penting,
mengingat lalat, terutama lalat rumah
merupakan vector yang membawa
penyakit melalui kontaminasi makanan
dari
faeces
manusia
dengan
kemampuannya terbang 6-9 km.
Di
pasar
Srimangunan
Sampang,
khususnya di TPS pasar, setiap hari
sampah dihasilkan dari kegiatan pasar.
Populasi lalat terbanyak adalah lalat rumah
(musca domestica). Kepadatan lalat
menjadi perhatian karena lokasi pasar juga
dekat dengan pemukiman penduduk.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan
bahwa
di
TPSPasar
Srimangunan
Sampang diketahui banyak lalat yang
berkerumun di tempat sampah dan
berdasarkan uji coba ternyata lalat tidak
menyukai warna biru, terbukti hasil
pengukuran pada fly grill warna biru yaitu
6 ekor per block grill, sedangkan fly grill
warna lain lebih besar dari warna biru.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
tertarik melakukan penelitian untuk
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
mengetahui perbedaan kepadatan lalat
yang hinggap pada fly grill yang berbeda
warna di pasar srimangunan sampang
tahun 2012.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini di TPS Pasar
Srimangunan sebagai tempat untuk
melakukan pengukuran kepadatan lalat
yanghinggap pada fly grill yang berbeda
warna, dimana di TPS Pasar Srimangunan
terdapat 1 kontainertempat sampah dan
pengangkutan sampah dilakukan setiap
sore setelah pasar dibersihkan.
Penelitian ini merupakan eksperimen
lapangan dan termasuk eksperimen semu
dengan rancangan sebagai berikut:[7]
1. Untuk pengukuran di pagi hari jam
06.00 desain penelitiannya:
X1
Y1
a.
Y2
b. X2
X3
Y3
c.
Y4
d. X4
Keterangan:
X= Warna
Y= Kepadatan lalat pada pengukuran
pagi
2. Untuk pengukuran di siang hari jam
12.00 desain penelitiannya:
X1
Z1
a.
Z2
b. X2
X3
Z3
c.
Z4
d. X4
Keterangan:
X= Warna
Y= Kepadatan lalat pada pengukuran
siang
Populasinya adalah lalat yang hinggap
adalahsemua species lalat yang hinggap
pada fly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah. Sampel yang diteliti
adalahfly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah. Cara pengambilan
sampel yang digunakan adalah dengan
memasang fly grill di TPS pasar
Srimangunan.
4
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Variabel bebasnya adalah Fly Grill yang
berwarna biru, hijau, kuning dan
merah.Variabel terikat pada penelitian ini
adalah jumlah lalat yang hinggap. Data
yang diperoleh darihasil pengukuran
kepadatan lalat di TPS Pasar Srimangunan
Jalan KH. Wakhid Hasyim Sampang.Alat
pengumpulan data yang digunakan adalah:
a) fly grill yang berwarna biru, hijau,
kuning dan merah; b) stop watch; c)
phsycrometer; d) thermometer; e) counter;
f) alat tulis; dan g) formulir pengukuran
kepadatan lalat.
Cara pengukuran yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menghitung
jumlah lalat yang hinggap pada fly grill
yang
berbeda
warna.
Pengukuran
dilakukan 2 kali dalam 1 hari, dilakukan
pada pagi hari pukul 06:00 dan siang hari
pada pukul 12:00 untuk setiap harinya dan
dilakukan pengulangan selama 7 hari. Uji
Statistik menggunakan uji Anova (Analisis
Varians) dengan α = 0,05, untuk
mengetahui perbedaan kepadatan lalat
yang hinggap pada fly grill yang berbeda
warna.
HASIL PENELITIAN
Pada Tabel 2, hasil pengukuran kepadatan
lalat yang hinggap pada fy grill di TPS
Pasar Srimangunan Jalan KH. Wakhid
Hasyim Sampang:
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
1. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna biru yaitu pada
pukul 06:00 WIBberkisar 5-16,6
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 8,8 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 3,8-11 (ekor/blok
grill)dengan hasil rata-rata sebesar 7,1
(ekor/blok grill).
2. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna hijau yaitu
pada pukul 06:00 WIB berkisar 6-16
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 11,4 (ekor/blok grill)dan pukul
12:00 WIB berkisar 5-12,6 (ekor/blok
grill) dengan hasil rata-ratasebesar 8,9
(ekor/blok grill).
3. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna kuning yaitu
pada pukul 06:00 WIBberkisar 7,8-16,8
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 12,6 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 8,4-31,6(ekor/blok
grill) dengan hasil rata-rata sebesar16,2
(ekor/blok grill).
4. Hasil rata-rata pengukuran kepadatan
lalat pada fly grill warna merah yaitu
pada pukul 06:00 WIBberkisar 6,4-13,6
(ekor/blok grill) dengan hasil rata-rata
sebesar 10 (ekor/blok grill) dan pukul
12:00 WIB berkisar 5,6-13,2 (ekor/blok
grill) dengan hasil rata-ratasebesar 9,7
(ekor/blok grill).
5
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Rata-rata Pengukuran Kepadatan Lalat Yang Hinggap Pada FlyGrill di TPS Pasar
Srimangunan Sampang Tahun 2012
Pengamatan
Hari Ke
1
2
3
4
5
6
7
Kisaran
Total
Total
Biru
06:00
12:00
WIB
WIB
5
5,4
6,2
3,8
16,6
7,8
10,4
9,4
9,8
6,4
5
11
8,8
6
5-16,6
3,8-11
61,8
49,8
8,8
7,1
111,6
7,9
kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Hijau
Kuning
06:00
12:00
06:00
12:00
WIB
WIB
WIB
WIB
9
7,8
7,8
8
16
5
12
9
8
6,2
11
11
11,2
10,6
15,6
13
14,2
7,8
15,8
11
6
12,6
9,4
27
16
12,4
16,8
31
6-16
5-12,6 7,8-16,8 8,4-31,6
80,4
62,4
88,4
113,6
11,4
8,9
12,6
16,2
142,8
202
10,2
14,4
p = 0,004
Berdasarkan Tabel 2 juga menunjukkan
bahwa
hasil
rata-rata
pengukuran
kepadatan lalat pada fly grill warna biru
yaitu pada pukul 06:00 WIB dan pukul
12:00 WIB sebesar sebesar 7,9 (ekor/blok
grill), fly grill warna hijau sebesar 10,2
(ekor/blok grill), fly grill warna kuning
14,4 (ekor/blok grill) dan fly grill warna
merah sebesar 9,8 (ekor/blok grill).Dari
data hasil uji ANOVA dengan α = 0,05
menunjukkan p=0,004 yang berarti p <α
bahwa ada perbedaan kepadatan lalat yang
hinggap pada fly grill yang berbeda
warna.Dengan demikian, dapat dilihat
kepadatan lalat tertinggi ada pada fly grill
berwarna kuning dibanding fly grill
berwarna biru, merah dan hijau.
Pada Tabel 3, hasil rata-rata pengukuran
suhu pada pukul 06:00 WIBberkisar 28oC
dengan hasil rata-rata sebesar 28oC dan
pukul 12:00 WIBberkisar 30oC-32oC
dengan hasil rata-ratasebesar 31oC,
sedangkan hasil rata-rata pengukuran
kelembaban pada pukul 06:00 WIB
berkisar 81%-87% dengan hasi rata-rata
sebesar 84% dan pukul 12:00 WIBberkisar
64%-70% dengan hasil rata-rata sebesar
70%.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Merah
06:00
12:00
WIB
WIB
6,4
7
10,8
5,6
7
9,6
13,6
12,4
13,6
8,6
9
13,2
9,6
11,4
6,4-13,6 5,6-13,2
70
67,8
10
9,7
137,8
9,8
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu dan
Kelembaban di TPS Pasar
Srimangunan Sampang Tahun
2012
Hari
ke
1
2
3
4
5
6
7
Kisar
an
Total
Suhu
06:00
12:00
WIB
WIB
28oC
32oC
28oC
31oC
28oC
31oC
o
28 C
31oC
o
28 C
32oC
o
28 C
30oC
o
28 C
31oC
30oC28oC
32oC
196
218
28oC
31oC
kelembaban
06:00
12:00
WIB
WIB
83%
64%
86%
71%
87%
70%
81%
76%
85%
67%
86%
72%
81%
73%
81%64%87%
76%
589
493
84%
70%
Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa suhu
yang terukur pada pagi dan siang hari tidak
mempengaruhi kepadatan lalat yang
hinggap pada fly grill yang berbeda warna
karena perbedaan suhu kecil dancenderung
homogen berdasarkan hasil pengukuran
sebagai berikut:
1. Hasil pengukuran suhu pukul 06:00
WIB yaitu 28oC pada fly grill warna
biru berkisar 5-16,6 (ekor/blok grill),
hijau berkisar 6-16 (ekor/blok grill),
kuning berkisar 7,8-16,8 (ekor/blok
6
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
grill) dan merah berkisar 8,4-31,6
(ekor/blok grill). Suhu tidak ada
hubungan dengan kepadatan lalat
karena eksperimen penelitian pada suhu
homogen dan tidak bervariasi, sehingga
suhu tidak mempengaruhi hasil
hubungan warna dengan kepadatan
lalat.
2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00
WIB suhu berkisar 30oC-32oC pada fly
grill warna biru berkisar 3,8-11
(ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok
grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill)
dan
merah
5,6-13,2
(ekor/blok
grill).Berdasarkan hasil uji korelasi
product moment pearson dengan
α(0,05) yang berarti p > α(0,05) bahwa
tidak ada hubungan antara suhu dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,139, hijau p=0,279,
kuning p=0,136 dan merah p=0,134.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kepadatan
Lalat Berdasarkan Suhu di TPS
Pasar Srimangunan Sampang
Tahun 2012
Hari Ke
Kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Pukul
Biru Hijau Kuning Merah
(Suhu)
1 (28oC)
5
9
7,8
6,4
2 (28oC)
6,2
16
12
10,8
3 (28oC)
16,6
8
11
7
06:00 4 (28oC)
10,4
11,2
15,6
13,6
5 (28oC)
9,8
14,2
15,8
13,6
o
6 (28 C)
5
6
9,4
9
7 (28oC)
8,8
16
16,8
9,6
Suhu sama tidak mempengaruhi hasil kepadatan warna
1 (32oC)
5,4
7,8
8,4
7
2 (31oC)
3,8
5
9,6
5,6
3 (31oC)
7,8
6,2
11,8
9,6
12:00 4 (31oC)
9,4
10,6
13,2
12,4
5 (32oC)
6,4
7,8
11,4
8,6
6 (30oC)
11
12,6
27,6
13,2
7 (31oC)
6
12,4
31,6
11,4
p=
p=
p=
p=
Uji Anova
0,139 0,279
0,136
0,134
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kepadatan Lalat Berdasarkan Kelembaban di TPS Pasar
Srimangunan Sampang Tahun 2012
Hari Ke
Kepadatan lalat (ekor/blok grill)
Waktu
06:00
Biru
Hijau
Kuning
5
6,2
16,6
10,4
9,8
5
8,8
9
16
8
11,2
14,2
6
16
7,8
12
11
15,6
15,8
9,4
16,8
6,4
10,8
7
13,6
13,6
9
9,6
p =0,709
p =0,465
p =0,251
p =0,549
5,4
3,8
7,8
9,4
6,4
11
6
7,8
5
6,2
10,6
7,8
12,6
12,4
8,4
9,6
11,8
13,2
11,4
27,6
31,6
7
5,6
9,6
12,4
8,6
13,2
11,4
p =0,292
p =0,276
p =0,280
p =0,111
(Kelembaban)
1 (83oC)
2 (86oC)
3 (87oC)
4 (81oC)
5 (85oC)
6 (86oC)
7 (81oC)
Uji Anova
1 (64oC)
2 (71oC)
3 (70oC)
4 (76oC)
5 (67oC)
6 (72oC)
7 (73oC)
12:00
Uji Anova
Pada
Tabel
5,
menunjukkan
bahwakelembaban yang diukur pada
penelitian ini juga tidak berpengaruh
terhadap kepadatan lalat yang pada fly
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Merah
grill yang berbeda warna berdasarkan hasil
pengkuran sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran kelembaban pada
pukul 06:00 WIB berkisar 81%-87%
7
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pada fly grill warna biru berkisar 5-16,
6 (ekor/blok grill), hijau berkisar 616(ekor/blok grill), kuning berkisar 7,816,8 (ekor/blok grill) dan merah
berkisar
8,4-31,6
(ekor/blok
grill).Berdasarkan dari hasil uji korelasi
product moment pearson dengan α =
0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada
hubungan antara kelembaban dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,709, hijau p=0,465,
kuning p=0,251 dan merah p=0,549.
2. Hasil pengukuran pada pukul 12:00
WIB kelembaban berkisar 64%-76%
pada fly grill warna biru berkisar 3,8-11
(ekor/blok grill), hijau 5-12,6 (ekor/blok
grill), kuning 8,4-31,6 (ekor/blok grill)
dan merah 5,6-13,2 (ekor/blok grill).
Berdasarkan dari hasil uji korelasi
product moment pearson dengan α =
0,05 yang berarti p > α bahwa tidak ada
hubungan antara kelembaban dengan
kepadatan lalat pada fly grill yang
berwarna biru p=0,292, hijau p=0,276,
kuning p=0,280 dan merah p=0,111.
PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan
fly grill warna biru, hijau, kuning dan
merah. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dilapangan diketahui
bahwa tingkat kepadatan lalat yang
hinggap berbeda pada setiap warnanya.
Tingginya jumlah lalat yang hinggap
menyatakan bahwa warna tersebut
merupakan warna yang disukai oleh lalat.
Hasil uji ANOVA dengan derajat
kesalahan α= 0,05 memperoleh hasil p=
0,004, sehingga nilai p <α, dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa ada
perbedaan kepadatan lalat yang hinggap
pada fly grill yang berbeda warna.
Berdasarkan Hasil uji LSD menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan kepadatan lalat
pada fly grill warna kuning dengan biru
nilai p= 0,000, pada warna kuning dengan
hijau nilai p= 0,016 begitu juga pada
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
warna kuning dengan merah nilai p=
0,010. Perbedaan ini karena lalat
cenderung menyukai fly grill warna
kuning sehingga terdapat perbedaan
tingkat kepadatan lalat pada fly grill warna
kuning dengan biru, kuning dengan hijau
dan kuning dengan merah.
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui bahwa lalat lebih banyak
hinggap pada fly grill warna kuning
dengan hasil rata-rata 14,4 ekor/blok grill.
Sedangkan warna yang paling sedikit
dihinggapi lalat adalah warna biru dengan
hasil rata-rata 7,9 ekor/blok grill.
Lalat memiliki sistem penglihatan yang
canggih, yaitu mata mejemuk. Mata
majemuk adalah sistem penglihatan yang
terdiri dari ribuan lensa dan sangat peka
terhadap gerakan. Reseptor-reseptor pada
mata
mejemuk
memiliki
banyak
omatidia.Omatidia pada serangga memiliki
respon yang berbeda terhadap tingkat
cahaya yang diterima. Omatidia berfungsi
untuk mengatur frekuensi cahaya yang
masuk ke mata. Omatidia akan berbentuk
tabung atau silinder pada ruang terbuka
dengan cahaya yang cukup, dan akan
berbentuk runcing bila berada pada ruang
dengan sedikit cahaya atau gelap, dari
bentuk omatidia tersebut serangga bisa
menangkap warna.
Gambar 1. Panjang Gelombang
Keterangan:
A = Panjang gelombang yang dapat
direspon mata serangga
B = Panjang gelombnag yang dapat
direspon mata manusia
8
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Pada manusia panjang gelombang
yang dapat direspon memiliki kisaran 400700 nm dengan warna merah sebagai
puncaknya, sehingga respon mata manusia
terhadap
warna
juga
lebih
bervariasi.Sedangkan
lalat
memiliki
respon terhadap warna yang sempit karena
pengelihatan serangga memiliki panjang
gelombang 300-550 nm dengan warna
kuning sebagai puncaknya. Sehingga
warna kuning merupakan warna yang
paling disukai oleh lalat. Hal ini sesuai
dengan hasil pengukuran yang telah
diperoleh di lapangan.
Serangga tidak dapat melihat warna merah
karena panjang gelombang yang dimiliki
oleh warna merah melebihi dari batas
panjang gelombang yang dapat ditangkap
oleh mata lalat. Warna-warna yang tidak
dapat ditangkap oleh mata lalat yang
panjang gelombangnya lebih tinggi
ditangkap oleh mata lalat sebagai warna
gelap. Namun pada warna yang panjang
gelombangnya dibawah 400 nm diartikan
sebagai warna ultraviolet, yaitu warna
yang tidak dapat ditangkap oleh mata
manusia.
Pengukuran tingkat kepadatan lalat akan
memperoleh hasil yang optimal apabila
warna fly grill yang digunakan adalah
warna
kuning.
Sedangkan
untuk
menghindari lalat, kita dapat menggunakan
warna biru, seperti pemilihan warna
tudung saji, tempat sampah dan lain
sebagainya.
Lalat memiliki suhu optimum 15oC-45oC.
Pada suhu kurang dari 7,5oC lalat tidak
dapat bergerak aktif, dan pada suhu diatas
45oC dapat menyebabkan kematian pada
lalat. Berdasarkan hasil pengukuran yang
dilakukan mulai hari ke-1 hingga hari ke-7
suhu pada pukul 07.00 WIB rata-rata
28oC. Sedangkan pada pukul 12.00 WIB
suhu bekisar antara 30oC-32oC.Hasil uji
korelasi product moment pearson dengan
α = 0,05 memperoleh hasil p >α sehingga
dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara suhu dengan tingkat kepadatan lalat.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Suhu pada saat penelitian masih
merupakan
suhu
optimum
lalat
berkembangbiak.
Sehingga
dapat
dikatakan bahwa suhu bukan merupakan
faktor yang mempengaruhi tingkat
kepadatan lalat dalam memilih warna pada
fly grill.
Kelembaban erat hubungannya dengan
keaktifan lalat. Kelembaban optimal yang
dimiliki lalat agar dapat beraktifitas adalah
50%-90%. Pada penelitian yang dilakukan
mulai hari ke-1 hingga hari ke-5 pada
pukul 06.00 WIB diperoleh hasil 81%87%, pada pukul 12.00 WIB diperoleh
hasil 64%-76%.Hasil uji korelasi product
moment pearson dengan α= 0,05
memperoreh hasil p >αsehingga dapat
diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara kelembaban dengan tingkat
kepadatan lalat. Kelembaban pada saat
penelitian masih merupakan kelembaban
optimum lalat berkembangbiak. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kelembaban bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi
tingkat kepadatan lalat dalam memilih
warna pada fly grill.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari perbedaan kepadatan
lalat yang hinggap pada fly grill yang
berbeda
warna,
maka
diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:1) Pengukuran
kepadatan lalat pada fly grill warna biru
dengan hasil rata-rata sebesar 7,9
ekor/blok grill, warna hijau dengan hasil
rata-rata sebesar 10,2 ekor/blok grill,
warna kuning dengan hasil rata-rata
sebesar 14,4 ekor/blok grill, warna merah
dengan hasil rata-rata sebesar 9,8
ekor/blok grill, 2) Hasil pengukuran suhu
diperoleh pengukuran pada suhu pukul
06:00 WIB yaitu 28oC dan pukul 12:00
WIB yaitu berkisar 30oC-32oC, sedangkan
hasil pengukuran kelembaban pukul 06:00
WIB berkisar antara 81%-87% dan pukul
9
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
12:00 WIB yaitu berkisar 64%-76%, 3)
Ada perbedaan kepadatan lalat yang
hinggap pada fly grill yang berwarna biru,
hijau, kuning dan merah berdasarkan uji
ANOVA dengan α(0,05) menunjukkan
p=0,004 yang berarti p < α(0,05), warna
yang paling disukai lalat adalah kuning
dan yang tidak disukai adalah biru, 4) Dari
hasil pengukuran suhu, dengan uji korelasi
product moment pearson didapat p >
α(0,05) sehingga tidak ada hubungan suhu
dengan kepadatan lalat yang berwarna
biru, hijau, kuning dan merah, 5)
Sedangkan dari hasil uji korelasi product
moment
pearson
terhadap
hasil
pengukuran kelembaban p > α(0,05)
sehingga tidak ada hubungan kelembaban
dengan kepadatan lalat yang berwarna
biru, hijau, kuning dan merah.
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka
dapat dikemukakan saran–saran sebagai
berikut:
1)
masyarakatsebaiknya
menggunakan penutup makanan atau
minuman dan tempat sampah warna biru;
2) Badan Lingkungan Hidupsebaiknya
memberikan warna cat biru pada bangunan
tempat sampah, countainer dan truk
pengangkut sampah; 3) mengembangkan
penelitian ini lebih lanjut dengan
menggunakan alat lain selain fly grill dan
dilakukan di tempat yang lain selain di
TPS Pasar Srimangunan Sampang; 4)
pengukuran kepadatan lalat sebaiknya
menggunakan alat pengukur fly grill warna
kuning
untuk
mengetahui
tingkat
kepadatan lalat.
KEPUSTAKAAN
ISSN 2085-028X
penggunaan Pestisida, Denpasar:
Pemberantasan Serangga dan Binatang
Pengganggu, Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat
Departemen Kesehatan RI.
2. Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu
Kesehatan. Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya.
3. Depkes RI. 2002. Pengendalian Vektor
dan Binatang Pengganggu. Surabaya.
4. Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis
Tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta:
Ditjen PMM dan PLP.
5. Iskandar,
Adang.
1985.
Pemberantasan
Serangga
dan
Binatang Pengganggu. Jakarta: Proyek
Pengembangan Pendidikan Tenaga
Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan
RI.
6. Masitoh, Chory. 2003. Perbedaan
Jumlah Lalat Yang Hinggap Pada
Tempat Sampah Yang Berbeda Warna.
Surabaya:
Politeknik
Kesehatan
Depkes Surabaya.
7. Notoatmodjo,
Soekidjo.
2010.
Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
8. Sastrohamidjojo. 1991. Spektroskopi.
Yogyakarta: Liberty.
9. Wardoyo, dkk. 1981. Pemberantasan
Serangga dan Binatang Mengerat.
Surabaya: SPPH.
10. Widoarti, Rizky. 2007. Hubungan
Antara Kepadatan Lalat dan Faktor–
Faktor Yang Mempengaruhinya di
Instalasi Gizi RSUD. Surabaya:
Politeknik
Kesehatan
Depkes
Surabaya.
11. ________________. 2009. UndangUndang
Kesehatan.
Bandung:
Fokusmedia.
1. Adnyana.
I
Made
E,
1985.
Pemberantasan Serangga Penyebab
Penyakit
Tanaman
Liar
dan
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
10
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
GAMBARAN PENYEMBUHAN LUKA SECTIO CAESAREA BERDASARKAN
STATUS GIZI PADA IBU NIFAS DI R.S. BHAKTI RAHAYU SURABAYA
Diah Fauzia Zuhroh**) Endah Mulyani*)
**) Dosen Prodi Keperwatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Caesarean Section (SC) is a method of delivering baby by surgical procedure
through the womb and abdominal wall of the mother. SC wound healing at risk of infection at
the surgical incision of 15-60% this is increased in women who have poor nutrition status.
Infections accounted for 15% of the Maternal Mortality Rate (MMR).This research aims to
know the description of wound healing based on the nutrition status on the parturition
mothers in Bhakti Rahayu Hospital of Surabaya.
Method : This research was the non experimental research with the cross sectional
approach. The numbers of population were 48 persons with the sample taking technique in
form of total sampling in which the research subjects were taken from the entire population.
Data analysis used was data analysis as univariate.
Result : The results shows 92,85% parturition mothers with good nutrition had good wound
healing.
Conclusion : The conclusion that mothers with good nutrition status had good wound
healing and those with the poor nutrition status had poor wound healing. The midwifes are
expected to more improve their attention to the nutrition status of the post SC parturition
mothers and to improve their knowledge on the treatment of post SC parturition mother. The
provision of counseling about the SC wound to mothers and families felt as necessary to
improve mother’s health.
Keywords : Sectio, nutrition
PENDAHULUAN
Sectio Caesareamerupakan persalinan
buatan di mana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan
utuh serta berat janin diatas 500
gram.[28]Luka operasi SC adalah gangguan
dalam kontinuitas sel akibat dari
pembedahan yang dilakukan untuk
mengeluarkan janin dan plasenta, dengan
membuka dinding perut dengan indikasi
tertentu.
Penyembuhan Luka Operasi Sectio
Caesarea (SC) adalah proses pergantian
dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak
akibat dari pembedahan yang dilakukan
untuk mengeluarkan janin dan plasenta,
dengan jalan membuka dinding perut
dengan indikasi-indikasi medis tertentu.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Masalah utama setelah pembedahan adalah
proses penyembuhan luka hal ini
disebabkan karenaibu yang melahirkan
melalui operasi SC mempunyai resiko 530x lebih besar untuk mengalami infeksi
pada masa nifas hal ini meningkat pada ibu
dengan gangguan gizi.[15]
Infeksi pada luka bisa menjadi tanda
bahwa luka tersebut mengalami kegagalan,
hambatan ataupun gangguan dalam proses
penyembuhan lukanya. Sebagian besar
tanda dan gejala infeksi luka merupakan
perburukkan fisiologi penyembuhan luka
normal, yang meliputi:[4]
1. Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi
lebih panas dari sekelilingnya, sebab
terdapat lebih banyak darah yang
disalurkan ke area terkena infeksi/
fenomena panas lokal karena jaringan11
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
jaringan tersebut sudah mempunyai
suhu inti dan hiperemia lokal tidak
menimbulkan perubahan.
2. Dolor (rasa sakit)
Dolor
dapat
ditimbulkan
oleh
perubahan PH lokal atau konsentrasi
lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung saraf. pengeluaran zat kimia
tertentu seperti histamin atau zat kimia
bioaktif lainnya dapat merangsang saraf
nyeri.
3. Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat
didaerah
yang
mengalami
peradangan.Kapiler-kapiler
yang
sebelumnya kosong atau sebagian saja
meregang, dengan cepat penuh terisi
darah. Keadaan ini yang dinamakan
hiperemia atau kongesti,
4. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena
pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah kejaringan interstitial.
5. Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara
superfisial bagian yang bengkak dan
sakit disertai sirkulasi dan lingkungan
kimiawi lokal yang abnormal, sehingga
organ tersebut terganggu dalam
menjalankan fungsinya secara normal.
6. Rabas atau adanya sedikit cairan serosa
mungkin normal pengeluaran cairan
atau nanah berlebih pada daerah luka
merupakan tanda abnormal.
7. Biakkan mikrobiologi dapat positif,
tidak hanya ketika terdapat infeksi,
tetapi juga karena kontaminasi atau
kolonisasi.
Idealnya luka akan sembuh dengan
baik bila dilakukan perawatan dan
pengobatan yang sesuai dengan program.
Akan tetapi ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka, faktorfaktor tersebut secara umum adalah usia,
paritas, gizi, perawatan terhadap luka
pembedahan, penyakit berat, teknik bedah
yang tidak halus dan baik, kondisi mental
ibu, terkontaminasinya sayatan dan
pelaksanaan operasi itu sendiri. Gizi
berperan penting dalam fase penyembuhan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
suatu luka karena penyembuhan luka akan
terganggu apabila seorang ibu mengalami
malnutrisi.[15]
Status gizi sangat memiliki pengaruh
terhadap penyembuhan luka karena status
gizi yang kurang berpotensial terjadinya
infeksi. Status gizi pada seseorang dapat
dinilai dengan metode-metode ilmiah salah
satunya dengan pengukuran lingkar lengan
atas yang memberikan gambaran status
protein dan energi pada saat pengukuran.
Namun pada kenyataannya nutrisi ibu pada
masa nifas banyak yang mengalami
penurunan karena banyak dari ibu tersebut
melakukan pantangan atau tarak terhadap
zat gizi tertentu. Tarak adalah kebiasaan,
budaya atau anjuran yang tidak
diperbolehkan untuk mengkonsumsi jenis
makanan tertentu, misalnya ikan, sayuran,
dan buah yang berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik yang nantinya
dapat mempengaruhi proses penyembuhan
luka.
Penyembuhan luka operasi dengan
status
gizi
mempunyai
hubungan
bermakna.[24]Status gizi yang buruk dapat
mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi
post
operasi
dan
mengakibatkan pasien menjadi lebih lama
dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah infeksi post
operasi, dehisiensi (luka terbuka), demam
dan penyembuhan luka yang lama. Pada
kondisi yang serius pasien dapat
mengalami
infeksi
yang
bisa
mengakibatkan kematian.
Faktor gizi sangat berperan penting dalam
penyembuhan luka karena dalam proses
penyembuhan luka dibutuhkan zat gizi
mikro maupun makro. Pada penyembuhan
luka fase proliferatif (masa regenerasi)
terjadi puncak pembentukan kolagen,
kolagen sendiri adalah substansi protein
yang bermanfaat untuk penutupan luka.
Dalam penyembuhan luka protein sangat
berperan penting mengingat fungsi protein
adalah sebagai zat yang berperan aktif
12
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
dalam mengganti sel-sel yang telah rusak
pada tubuh
manusia. Dan pada
penyembuhan
luka
energi
sangat
diperlukan dalam masa pemulihan karena
kondisi ibu yang sehat akan berpengaruh
postif dalam proses penyembuhan luka.
Beberapa zat-zat gizi mikro seperti vitamin
A sangat berperan dalam proses
reepitalisasi dan memproduksi sel
makrofag, vitamin K membantu sintesis
protombin yang berfungsi sebagai zat
pembekuan darah, vitamin B sendiri
sebagai kofaktor pada sistem metabolisme
tubuh. Tidak berbeda vitamin C juga
memiliki peran yang besar dalam
penyembuhan luka yaitu antara lain
dikarenakan vitamin C berfungsi sebagai
fibroblas yang pada masa proliferatif
menjadi aktivitas utama vitamin C juga
mencegah
adanya
infeksi,
serta
[6]
membentuk kapiler-kapiler darah.
Status gizi ibu sangat berpengaruh dalam
proses penyembuhan, pada orang yang
mengalami kekurangan energi dan protein
akan memakan waktu yang cukup lama
dalam proses penyembuhan. Dan pada ibu
yang mengalami status gizi yang berlebih
(obesitas) akan mengalami gangguan
dalam penyembuhan luka karena pasokan
darah jaringan adipose tidak adekuat. Pada
masa
penyembuhan
menempatkan
penambahan pemakaian gizi pada tubuh
sehingga pada keadaan khusus seperti pada
ibu yang status gizinya kurang akan lebih
membutuhkan
perhatian
khusus.Ibu
menyusui merupakan keadaan rentan gizi.
Jadi perlu diperhatikan status gizi ibu
tersebut agar dapat diperbaiki dan dapat
dicegah komplikasi akibat gizi.
Pada penelitian ini peneliti memilih
menggunakkan
metode
pengukuran
lingkar lengan atas untuk mengetahui
status gizi ibu post SC.Pengukuran
Lingkar Lingan Atas (LILA) adalah suatu
cara untuk mengetahui resiko kekurangan
Energi Protein (KEP) pada wanita usia
subur (WUS). Sasaran WUS sendiri adalah
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
wanita yang berusia 15-45 tahun baik
dalam keadaan remaja, ibu hamil maupun
ibu
menyusui.
Pengukuran
LILA
digunakan karena pengukurannya cepat,
mudah dan murah.Ambang batas LILA
WUS dengan resiko KEK di Indonesia
adalah 23,5 cm apabila ukurana LILA
kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah
pita artinya wanita tersebut mempunyai
resiko KEK. Dengan mengukur LILA
maka
peneliti
akan
mendapatkan
gambaran status nutrisi sekarang atau pada
saat pengukuran.
Berdasarkan hasil Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
Angka Kematian Ibu (AKI) terbilang
masih tinggi yaitu sebesar 228/100.000
kelahiran jumlah ini masih jauh dibawah
target Millenium Developmeant Goal’s
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000
kelahiran hidup. Salah satu langkah efektif
yang diambil untuk menurunkan AKI
adalah dengan meningkatkan cakupan
persalinan dengan tenaga kesehatan.
Dengan pertimbangan untuk mencegah
trauma persalinan bagi ibu dan bayi maka
terjadi peningkatan angka kejadian
pembedahan perabdominal atau SC.
Di samping itu SC tidak hanya dapat
meningkatkan kualitas hidup ibu dan bayi
namun juga dapat membahayakan
kesehatan ibu karenaangka kejadian
infeksi post SC sebesar 15-60% terjadi
pada sayatan bedah atau luka setelah
pembedahan.[15]Berdasarkan data awal
yang didapat dari peneliti di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan
Januari-Maret 2012 terdapat ibu bersalin
dengan SC sebanyak 441 orang sehingga
dapat ditarik kesimpulan rata-rata dalam
tiap bulannya ibu nifas post SC sebanyak
147 orang, namun jumlah pasien yang
berkunjung kembali untuk melakukan
pemeriksaan luka jahitan rata-rata
perbulan hanya 41 orang dan dari jumlah
tersebut terdapat 12 orang atau sebesar
29% ibu yang mengalami gangguan
penyembuhan luka operasi SC. Presentase
13
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
29% ini dapat dikatakan cukup tinggi
karena
luka
bersih
terkontaminasi
kemungkinan timbulnya infeksi adalah 311%.[18]
Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah proses penyembuhan luka SC pada
ibu nifas dan variabel independen dari
penelitian ini adalah status gizi.
Berdasarkan uraian diatas bahwa, hanya
sebanyak 27% ibu yang melakukan
kunjungan ulang. Hal ini berdampak
negatif terhadap pemantauan kondisi luka
ibu oleh tenaga kesehatan yang apabila
tidak terpantau dengan baik akan
mengganggu fase penyembuhan luka
bahkan berpotensial terjadi infeksi. Oleh
karena itu peneliti tertarik untuk meneliti
tentang gambaran penyembuhan luka
operasi SC berdasarkan status gizi pada
ibu nifas di RSBhakti Rahayu Surabaya
dengan harapan proses penyembuhan luka
operasi SC tidak mengalami gangguan
atau keterlambatan.
Sumber data pada penelitian ini diperoleh
dari data primer dan sekunder. Data primer
adalah data didapat dengan cara
wawancara serta pengukuran langsung
kepada responden. Data sekunder adalah
data yang didapat denganmelihat rekam
medis pasien.Instrumen yang digunakan
untuk pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah pedoman wawancara, lembar
observasi berupa ceklist serta pita ukur
lingkaran lengan atas.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya. Jenis penelitian
ini adalah penelitian deskriptif. Desain
penelitian ini adalah Non Eksperimental
dan
menggunakan
pendekatanCross
Sectional, yakni rancangan penelitian
dengan melakukan pengukuran atau
pengamatan pada satu kali waktu.
Populasi
dalam
penelitian
ini
adalahseluruh ibu nifas post SC diRS
Bhakti Rahayu Surabaya pada bulan Juni
tahun 2012 yang berjumlah 48 orang.Besar
sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
dari anggota populasi yaitu ibu nifas post
SC pada bulan Juni 2012 di R.S. Bhakti
Rahayu Surabaya sebanyak 48 orang yang
melakukan kunjungan ulang hari ke 521dengan jenis SC transversal yaitu
insisinya ada pada segmen bawah uterus.
Metode pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalahnon
probability (non random) sampling
berupatotal sampling yaitu semua anggota
populasi dijadikan sampel.[8]
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Penelitian ini dianalisis dengan cara
univariat yaitu analisis yang dilakukan
terhadap
variabel
penelitianmelalui
distribusi frekuensi dan presentase.
Dimana dilakukan untuk mendiskripsikan
gambaran penyembuhan luka operasi ibu
post SC berdasarkan dari status gizi ibu.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1,
menggambarkan karakteristik ibu nifas
post SCyang melakukan kunjungan ulang
di RS Bhakti Rahayu Surabaya sebagai
berikut:
1. Tidak ada ibu nifas post SC yang
berumur < 16 tahun, 33 ibu (68,75%)
berumur 16-34 tahun dan sebanyak 5
ibu (31,25%) yang berumur ≥ 35 tahun.
2. Terdapat 17 ibu nifas post SC (35,41%)
primipara, 26 ibu (54,17%) multipara
dan terdapat 5 ibu (10,42%) yang
grandemulti.
3. Terdapat 1 ibu nifas post SC (2,08%)
yang menjadi pegawai negeri, 18 ibu
(37,5%) bekerja swasta, 2 ibu (4,17%)
bekerja sebagai wiraswasta dan 27 ibu
(56,25%) yang tidak bekerja atau
menjadi ibu rumah tangga.
4. Terdapat 5 ibu nifas post SC (10,42%)
tamat SD/sederajat, 4 ibu (8,33%) tamat
SMP/sederajat, 35 ibu (72,92%) tamat
14
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
SMA/sederajat dan 4 ibu (8,33%) yang
tamat perguruan tinggi.
5. Sebagian besar penyembuhan luka ibu
nifas post SC di Rumah Sakit Bhakti
Rahayu Surabaya adalah baik yaitu
sebanyak 39 ibu (81,25%), dan ibu
nifas yang penyembuhan luka tidak
baik sebanyak 9 ibu (18,75%).
6. Sebagian besar ibu nifas post SC di
R.S. Bhakti Rahayu Surabaya memiliki
status gizi baik yaitu sebanyak 42 ibu
(87,5%) dan terdapat 6 ibu (12,5%)
memiliki status gizi buruk.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi
Karakteristik Ibu Nifas Post SC
di RS Bhakti Rahayu Surabaya
Bulan Juni 2012.
No
1
2
3
4
5
6
Variabel
Umur
a. < 16 tahun
b. 16 – 34tahun
c. ≥ 35 tahun
Paritas
a. Primipara (1 anak)
b. Mutipara (2-4 anak)
c. Grandemulti (≥ 5 anak)
Pekerjaan
a. Pegawai Negeri
b. Swasta
c. Wiraswasta
d. Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
a. SD/sederajat
b. SMP/sederajat
c. SMA/sederajat
d. Perguruan Tinggi
Penyembuhan Luka
a. Baik
b. Tidak baik
Status Gizi
a. Baik
b. Buruk
n
%
0
33
15
0
68,75
31,25
17
26
5
35,41
54,17
10,42
1
18
2
27
2,08
37,5
4,17
56,25
5
4
35
4
10,42
8,33
72,92
8,33
39
9
81,25
18,75
42
6
87,5
12,5
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC terdapat
39 ibu (92,85%) status penyembuhan
lukanya baik dengan status gizi baik, 3 ibu
nifas (7,14%) status penyembuhan lukanya
tidak baik dengan status gizi baik dan
terdapat 6 ibu (100%) yang penyembuhan
lukanya baik dengan status gizi buruk.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Fase
Penyembuhan Luka SC Dengan
Status Gizi di Rumah Sakit
Bhakti Rahayu Surabaya Bulan
Juni 2012.
No
1
2
Penyembuhan
Luka
Baik
Tidak baik
Total
n
39
0
39
Status Gizi
Baik
Buruk
%
n
%
92,85 3
7,15
0
6
100
81,25 9 18,75
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC di
RSBhakti Rahayu Surabaya, sebagian
besar penyembuhan lukanya baik yaitu
sebanyak 39 ibu (81,25%) yang ditandai
dengan tidak adanya tanda-tanda infeksi
serta telah memasuki fase proliferatif
penyembuhan luka. Hasil penelitian
tersebut mendukung teori Boyle (2009)
yang menyatakan bahwa penyembuhan
luka sendiri adalah proses pergantian selsel atau jaringan yang telah rusak dan
proses penyembuhan luka terbagi menjadi
3 fase yaitu pertama fase inflamasi
berlangsung pada saat pembedahan sampai
hari ketiga post operasi, kedua adalah fase
proliferatif dimulai sejak berakhirnya fase
inflamasi sampai dengan 21 hari post
operasi dan terakhir adalah fase maturasi
berlangsung dari 21 hari post operasi
hingga 1 atau 2 tahun post operasi, ia juga
menyatakan bahwa penyembuhan luka
secara fisiologis dan normal akan melewati
3 tahapan fase sesuai dengan tahapan
waktu yang ada pada teori namun apabila
penyembuhan
luka
mengalami
kemunduran dan terdapat adanya tandatanda infeksi maka penyembuhan luka
dikategorikan tidak baik.
Penyembuhan luka dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang secara umum adalah
usia, paritas, gizi, perawatan terhadap luka
pembedahan, penyakit berat, teknik bedah
yang tidak baik, kondisi mental ibu,
terkontaminasinya
sayatan
dan
pelaksanaan operasi itu sendiri.[15]Hasil
15
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
penelitian tersebut mendukung teori Oxorn
(2010) yang menyatakan bahwa teknik
insisi SC transversal atau melintang ini
menimbulkan resolusi dalam pelaksanaan
bedah
obstetrik
sehingga
semakin
memperluas indikasi SC karena teknik
insisi transversal memungkinkan kelahiran
perabdominan yang aman hal ini
dikarenakan teknik insisi ini mampu
menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas ibu. Namun hasil penelitian
diatas bertentangan dengan teori Sinaga
(2009) yang menyatakan bahwa luka
bersih
terkontaminasi
kemungkinan
timbulnya infeksi adalah (3-11%).
ISSN 2085-028X
penelitian yang menyebutkan bahwa jenis
insisi ini menurunkan angka kejadian
perdarahan dan jenisi insisi ini proses
penyembuhan lukanya cepat dan dalam
perawatan lukanya juga mudah. Saat ini
jumlah bedah SC semakin tinggi hal ini
disebabkan karena SC merupakan langka
kedaruratan yang diharapkan mampu
membantu
mengurangi
AKI
dan
menurunkan angka kejadaian traumatis
pada janin.
Sebagian besar penyembuhan luka ibu
nifas post SC adalah baik hal ini karena
ibu telah memasuki fase proliferatif
penyembuhan luka yang ditandai dengan
mulai tumbuh jaringan granulasi pada
tepian luka dan juga ditandai dengan tidak
adanya
perburukkan
fisiologi
penyembuhan luka seperti rasa panas pada
daerah luka, rasa sakit yang berlebihan,
tampak kemerahan, adanya pembengkakan
pada daerah luka yang biasanya diikuti
eksudat. Terkadang terdapat gangguan
fungsi normal pada daerah luka bahkan
biasanya diikuti adanya cairan atau nanah
pada daerah luka. Observasi sendiri
dilakukan pada ibu yang melakukan
kunjungan ulang untuk memantau kondisi
ibu, bayi dan luka, Observasi juga
dilakukan pada ibu yang terlalu lama
dirawat di ruang nifas karena adanya
gangguan penyambuhan lukanya.
Luka ibu yang baik ini juga bisa
disebabkan karena banyaknya jumlah
responden yang berumur antara 16–34
tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang ada
tolerir trauma jaringan pada usia muda
lebih
efektif
sehingga
proses
penyembuhan luka ibu berlangsung baik.
Hasil penelitian juga sesuai dengan teori
yang berkembang bahwa penyembuhan
luka dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang apabila terjadi gangguan pada salah
satu faktor maka penyembuhan luka akan
menjadi terganggu atau penyambuhan luka
tidak baik. Namun, kenyataan diatas juga
menunjukkan masih rendahnya tingkat
pengetahuan ibu nifas tentang luka SC dan
perawatannya sehingga ibu melakukan hal
yang
dapat
mengganggu
proses
penyembuhan seperti ibu yang takut untuk
melakukan gerakan sehingga terjadi
penekanan berlebih pada daerah luka
sehingga penyembuhan luka tidak baik dan
status gizi ibu yang juga menyumbang
angka terjadinya penyembuhan luka tidak
baik.
Presentase yang tinggi pada ibu yang
mengalami penyembuhan luka baik
kemungkinan besar disebabkan karena
adanya
peningkatan
pada
teknik
pembedahan atau insisi tampak jelas dari
seluruh responden ibu melahirkan melalaui
jenis SC dengan teknik insisi transversal
menurut teori yang berkembang jenis insisi
seperti ini menyebabkan meluasnya
indikasi persalinan SC karena jenis insisi
ini mampu untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas ibu serta banyak
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 48 ibu nifas post SC di RS
Bhakti Rahayu Surabaya, sebagian besar
memiliki status gizi baik yaitu sebanyak
42 ibu (87,5%) dengan ukuran LILA ≥
23,5cm. Hasil penelitian ini didukung oleh
teori Supariasa (2002) yang menyatakan
bahwa ambang batas LILA WUS dengan
resiko KEK di Indonesia adalah apabila
ukurannya ≤ 23,5cm. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat dari
konsumsi makanan dan penggunaan zat
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
16
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
gizi.[22]Penyembuhan luka menempatkan
pemakaian yang lebih pada zat gizi
sehingga harus dipantau status gizi ibu
guna memperlancar proses penyembuhan
luka.[4]
Sebagian besar status gizi ibu nifas post
SC adalah baik hal ini karena ibu
memilliki ukuran LILA ≥ 23,5cm yang
menunjukkan bahwa ibu telah mampu
mencukupi kebutuhan dirinya terhadap
protein dan karbohidrat. Observasi sendiri
dilakukan pada ibu yang melakukan
kunjungan ulang untuk memantau kondisi
ibu, bayi dan luka, Observasi juga
dilakukan pada ibu yang terlalu lama
dirawat di ruang nifas karena adanya
gangguan penyambuhan lukanya.
Pengetahuan ibu tentang pentingnya zat
gizi bagi tubuh meningkat, hal ini tidak
lepas dari peran petugas kesehatan yang
memberikan pendidikan gizi pada ibu baik
saat hamil atau setelah melahirkan. Ibu
nifas dan ibu hamil merupakan kelompok
rawan gizi karena mereka membutuhkan
zat gizi yang lebih tinggi karena selain
untuk menjaga kondisi tubuh mereka harus
memenuhi kebutuhan gizi anaknya namun
pada kenyataannya masih ada ibu yang
melakukan tarak atau pantang makan pada
makanan yang mengandung protein dan
karbohidrat tinggi hal ini dikarenakan
masih besarnya pengaruh keluarga dan
lingkungan terhadap diri ibu.
Sebagian besar responden berpendidikan
SMA hal ini juga menjadi salah satu alasan
mengapa banyak ibu yang berstatus gizi
baik karena semakin tinggi pendidikan
seseorang
semakin
tinggi
pula
pengetahuan yang mereka miliki sehingga
mereka lebih memiliki perhatian terhadap
kebutuhan gizi dirinya.
Proses penyembuhan luka membutuhkan
zat gizi yang lebih daripada biasanya
sehingga pada ibu yang memiliki status
gizi buruk harus diperhatikann secara
khusus
guna
mencegah
terjadinya
komplikasi, hal ini bisa dilakukan dengan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
memperbaiki gizi sebelum operasi
sehingga dapat dicegah komplikasinya.
Berdasarkan Tabel 2dapat diketahui bahwa
dari 48 ibu nifas post SC di RS Bhakti
Rahayu
Surabaya
mayoritas
ibu
mengalami penyembuhan luka baik
dengan status gizi baik yaitu sebanyak 39
ibu (92,85%). Hal ini sesuai dengan teori
Suparyanto (2011) yang menyebutkan
bahwa ada hubungan yang bermakna
antara penyembuhan luka operasi dengan
status gizi karena menurutnya status gizi
yang buruk dapat mengakibatkan pasien
mengalami berbagai post operasi dan
mengakibatkan pasien dirawat lebih lama
di rumah sakit. Ibu yang mengalami
malnutrisi akan mengalami gangguan luka
karena ibu yang mengalami kekurangan
energi
protein
akan
mengalami
perpanjangan fase inflamasi.[4]
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang
berkembang maka dapat dilihat bahwa
mayoritas ibu mengalami penyembuhan
luka baik dengan status gizi baik hal ini
karena status gizi memberikan pengaruh
besar terhadap penyembuhan luka karena
pada dasarnya penyembuhan luka adalah
proses pergantian sel-sel atau jaringan
yang telah rusak sehingga dalam prosesnya
sangat membutuhkan zat gizi. Zat gizi
sendiri memiliki fungsi yang berperan
penting dalam kelangsungan hidup
seseorang karena zat gizi bermanfaat untuk
memelihara jaringan tubuh, mengganti selsel yang telah rusak dan merupakan
penghasil energi. Zat gizi hanya bisa
dipenuhi lewat asupan makanan sehingga
ibu nifas diharapkan meningkatkan
konsumsi makanan yang mengandung zat
gizi yang tinggi mengingat kebutuhan gizi
mereka sangat tinggi.
Zat gizi sangat memiliki pengaruh
terhadap proses penyembuhan luka karena
ibu yang memiliki status gizi baik akan
menjadikan tubuh dalam keadaan optimal
dan akan berdampak positif terhadap
penyembuhan luka sementara itu ibu yang
17
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
memiliki status gizi buruk tentunya akan
mengganggu proses penyembuhan luka
sehingga dapat menghasilkan luka yang
tidak baik karena proses penyembuhan
luka ada proses dimana tubuh secara alami
mengganti sel-sel yang telah rusak maka
ibu yang memiliki status gizi yang buruk
juga akan memperbesar resiko terjadinya
gangguan penyembuhan luka karena ibu
mengalami penurunan daya tahan tubuh
sehingga ibu rentan infeksi, dehisensi dan
eviserasi luka. Terutama pada ibu yang
memiliki LILA ≤ 23,5 hal tersebut
menunjukkan ibu mengalami kekurangan
energi dan protein pada kenyataannya
energi dan protein merupakan dua zat
penting yang sangat dibutuhkan tubuh
untuk membatu proses penyembuhan luka.
ISSN 2085-028X
6.
7.
8.
9.
10.
KESIMPULAN DAN SARAN
11.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari status gizi 48 ibu nifas,
maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:1) Penyembuhan luka baik pada
ibu nifas post SC di RS Bhakti Rahayu
sebanyak 81,25%; 2) Status gizi baik ibu
nifas post SC di RS Bhakti Rahayu
sebanyak 87,5%; 3) Mayoritas ibu nifas
post SC di RS Bhakti Rahayu Surabaya
mengalami penyembuhan luka baik
dengan status gizi baik yaitu sebanyak
92,85%.
12.
KEPUSTAKAAN
15.
1. Barasi, M. E. 2007. At Glance Ilmu
Gizi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2. Baston, H dan J. Hall. 2011.
Midwifery Essentials. Jakarta: EGC.
3. Budiman.
2011.
Penelitian
Kesehatan.Bandung: Refika Aditama.
4. Boyle.2009. Pemulihan
Luka.
Jakarta: EGC.
5. Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
13.
14.
16.
17.
18.
2001.
Gizi
dan
Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.
Hidayat, A. A. A. 2008. Ketrampilan
Dasar
Praktik
Klinik
Untuk
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. A. A. 2009. Metode
Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis
Data.Jakarta:
Salemba
Medika.
Hidayat, A. A. A. 2010. Metode
Penelitian Kesehatan Paradigma
Kuantitatif.Surabaya: Health Books
Publishing.
Hidayat, A. A. A dan M. Uliyah.
2011. Kebutuhan Dasar Manusia.
Surabaya: Health Books Publishing.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2010. Profil Kesehatan
Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Norwitz, E dan Schorge, J. 2006. At a
Glance Obstetri & Ginekologi.Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Nursalam.
2011.
Konsep
dan
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Oxorn, H dan W. R. Forte. 2010. Ilmu
Kebidanan : Patologi & Fisiologi
Persalinan (Human and Labour
Birth).Yogyakarta: Kerjasama antara
Penerbit Andi dan Yayasan Essentia
Medica.
Pprawirohardjo, S. 2009. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Rasjidi, Imam. 2009. Manual Seksio
Sesarea & Laparotomi Kelainan
Adeneksa. Jakarta: Sagung Seto.
Siagan, Albiner. 2010. Epidemiologi
Gizi.Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sinaga, Yusuf. 2009. Penyembuhan
Luka
(Wound
Healing).http://
www.yusufsinaga.wordpress.com/200
9/ 04/ 19/ penyembuhan-luka. html.
Diakses bulan Maret 2012.
18
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
19. Subana, M dan S. Sudrajat. 2009.
Dasar-Dasar
Penelitian
Ilmiah.
Bandung: Pustaka Setia.
20. Sujiyatini,
Nurjanah,
A.
Kurniati.2010. Catatan Kuliah Asuhan
Ibu Nifas Askeb III.Yogyakarta:
Cyrillus Publisher.
21. Sulistyowati, Ari. 2009. Buku Ajar
Asuhan
Kebidanan
pada
Ibu
Nifas.Yogyakarta: Penerbit Andi.
22. Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi
untuk
Kesehatan
Ibu
dan
Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu.
23. Supariasa, N. D. I, B. Bakri dan I.
Fajar. 2012. Penilaiain Status Gizi.
Jakarta: EGC.
24. Suparyanto. 2011. Konsep Infeksi
Luka
Operasi.
http://www.drsuparyanto.blogspot.com/2011/03/kon
sep-infeksi-luka-operasi.html.Diakses
tanggal 27 Maret 2012.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
25. Suseno, A.T, H.S. Masruroh. 2009.
Kamus Kebidanan. Yogyakarta: Citra
Pustaka.
26. Soesanto, W. 2010. Biostatistik
Penelitian Kesehatan. Surabaya:
Duatujuh.
27. Towsend, C. M, R. D. Beauchamp, B.
M. Evers dan K. L Mattox. 2010.
Buku
Saku
Ilmu
Bedah
Sabiston.Jakarta: EGC.
28. Wiknjosastro, H, A.B Saifuddin dan
T. Rachimhadhi. Ed. 2007. Ilmu
Bedah
Kebidanan.Jakarta:Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
29. Widyoko, Putro, E. 2012. Teknik
Penyusunan
Instrument
Penelitian.Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
30. Yuniastuti, Ari. 2008. Gizi dan
Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
19
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS
DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SIDOARJO
Tri Ratih Agustina**), Imam Edy Bachtiar*)
**) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Diabetes Mellitusis of public health problemsthat require treatment as well,
given the frequency are high enough where the increase with increasing attention to the lack
of activity, lack of knowledge about to diabetes mellitus, and eating less regularly. This study
aims to determine whethe rthere is relation ship Obesity With Diabetes Mellitus In Genesis
Poly Space Medicine Hospital Sidoarjo.
Method :This research method using analytical research methods in Observational
andapproach Cross-sectional design. The population research were 30 persons obese.
Sample were taken sample techniques, sampling consisting of28 persons obese. Data were
collected by observation and medical records, and analysis using spearman rank
correlation.
Result :The results showeda majority of obese patients were as many as 12 people (42.9%)
and affectedthe incidence of diabetes mellitus were 19 people (67.9%). uji spearman rank
correlation results of obesity with the incidence of diabetes mellitu swas found thatp=0.000,
α=0.05 thenp<α so that Hₒ rejected and H1 accepted which means there Corelation With
Obesity Diabetes Mellitus Disease incidence in the Space Poly Sidoarjo Hospital Medicine.
Conclusion :From the data obtained by the need to reduce excessive food and life style
change with exercisein order to decrease obesity because obesity can affect diabetes
mellitus.
Keywords: Obesity, DiabetesMellitus
PENDAHULUAN
Obesitas didefinisikan sebagai suatu
kelebihan lemak dalam tubuh. Secara
klasik obesitas telah diidentifikasikan
sebagai kelebihan berat badan lebih dari
20% dari berat badan ideal. Obesitas tidak
mempunyai penyebab tunggal, tetapi
merupakan gambaran berbagai keadaan
dengan latar belakang etiologi atau sejarah
kejadian yang berbeda.[1]
Kegemukan (obesitas) sebenarnya tidak
identik dengan kelebihan berat badan,
melainkan terkait dengan komposisi tubuh
dimana terjadi kelebihan lemak. Kelebihan
lemak tubuh inilah yang brkaitan dengan
kejadian metabolic syndrome, yang
merupakan resiko gangguan kesehatan
pada obesitas. Telah diketahui bahwa
obesitas
terkait
dengan
metabolic
syndrome yang merupakan awal terjadinya
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
penyakit degenerasi seperti hypertensi,
diabetes mellitus, dyslipidemia, jantung
koroner, stroke, dan kanker (Oetomo,
2011).
Penimbunan lemak yang berlebihan
dibawah diafragma dan di dalam dinding
dada bisa menekan paru-paru, sehingga
timbul gangguan pernafasan dan sesak
nafas,
meskipun
penderita
hanya
melakukan
aktivitas
yang
ringan.
Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat
tidur dan menyebabkan terhentinya
pernafasan untuk sementara waktu (tidur
apneu), sehingga pada siang hari penderita
sering merasa ngantuk.
Seseorang yang menderita obesitas
memiliki permukaan tubuh yang relatif
lebih sempit dibandingkan dengan berat
badannya, sehingga panas tubuh tidak
12
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
dapat dibuang secara efisien dan
mengeluarkan keringat yang lebih banyak.
Sering ditemukan edema (pembengkakan
akibat penimbunan sejumlah cairan) di
daerah tungkai dan pergelangan kaki.
Tabel 1. Klasifikasi
Kegemukan
Berdasarkan
Tingkat
Kegemukan Menurut WHO.
Klasifikasi
Underweight
(Kurus)
Normal range
(Normal)
Overweight
(Gemuk)
Obesitasringan
Obesitassedang
Obesitasberat
BMI
(Kg/m²)
Resiko
Morbiditas
< 18,5
Low
18,5-24,9
Average
25,0-29,9
Mild increase
30,0-34,9
35,0-39,9
Class I obesity
Class II obesity
Class III
obesity
≥ 40
Diabetes Melitus merupakan salah satu
penyakit yang menyertai penderita
obesitas. Demikian juga merupakansuatu
kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena
adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat penurunan sekresi insulin yang
progresif di latar belakangi oleh resistensi
insulin. Penyakit ini merupakan penyakit
metabolik yang diletupkan oleh interaksi
berbagai faktor : genetik, imunologik,
lingkungan dan gaya hidup (Sidartawan
Soegondo, dkk, 2009).
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan
oleh
karena
adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif di
latar belakangi oleh resistensi insulin
(Sidartawan Soegondo, dkk, 2009).
Penyakit Diabetes Melitus tidak hanya
disebabkan oleh faktor keturunan tetapi
juga kebiasaan hidup dan lingkungan.
Orang yang membawa gen diabetes,
belum tentu akan menderita penyakit gula,
karena masih ada beberapa faktor yang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
dapat menyebabkan timbulnya penyakit
Diabetes Melitus pada seseorang yaitu:[16]
1. Makan yang berlebihan
Makan yang berlebihan menyebabkan
gula dan lemak dalam tubuh menumpuk
secara berlebihan.
2. Obesitas (kegemukan)
Orang gemuk dengan berat badan lebih
dari 90 kg cenderung memiliki peluang
lebih besar untuk terkena penyakit
diabetes militus.
3. Faktorgenetik
Gen penyebab diabetes mellitus akan
dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus.
4. Kuranggerakataujarangolahraga
Pada orang yang kurang gerak dan
jarang olah raga, zat makanan yang
masuk dalam tubuh tidak dibakar, tetapi
ditimbun dalam tubuh sebagai lemak
dan gula.
5. Penyakitdaninfeksipadapankreas
Infeksi mikroorganisme dan virus pada
pankreas juga dapat menyebabkan
radang pankreas yang otomatis akan
menyebabkan fungsi pankreas turun
sehingga tidak ada sekresi hormonhormon untuk proses metabolisme
tubuh termasuk insulin.
6. Kehamilan
Ibu
akan
menambah
konsumsi
makanannyadanjika produksi insulin
kurang mencukupi untuk mengolahnya
maka akan timbul gejala Diabetes
Mellitus.
Di Indonesia menurut data WHO pada
tahun 2009 mencapai 8 juta jiwa dan
diprediksi akan meningkat menjadi lebih
dari 21 juta jiwa pada tahun 2025. Itu yang
membuat Indonesia menempati peringkat
empat negara dengan jumlah penderita
terbanyak di dunia. Terbukti di kabupaten
atau kota di Indonesia di antaranya berasal
dari kelompok masyarakat yang terlanjur
mengubah gaya hidup tradisional menjadi
gaya modern, dengan jumlah pengidap
diabetes dengan riwayat obesitas sebanyak
4,5 juta jiwa.
13
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Dari studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti di ruang Poli Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 terdapat
856 pasien diabetes mellitus dan 358
pasien yang menderita DM dengan riwayat
obesitas, pada tahun 2010 terdapat 924
pasien DM dan 477 pasien yang
mempunyai riwayat obesitas meningkat
12%, sedangkan bulan Desember 2011
terdapat 55 Orang penderita baru yang
menderita diabetes mellitus, di antaranya
ada 30 orang (55%) yang mempunyai
riwayat obesitas.
Berdasarkan fenomena dari data tersebut,
maka peneliti bermaksud untuk mengkaji
lebih lanjut apakah ada Hubungan
Obesitas Dengan Kejadian Penyakit
Diabetes Mellitus di Ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian analitik adalah penelitian
Observasional
dan
PendekatanCross
sectional.Observasional
adalah
pengumpulan data yang menggunakan
pengamatan terhadap obyek penelitian
sehingga diperoleh data dan informasi
yang
realistik
guna
membahas
permasalahan yang telah dirumuskan
(Rianto, 1996).Penelitian studi cross
sectional merupakan jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran atau
observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada satu saat.
Pada jenis ini, variabel independen dan
dependen dinilai secara simultan pada
suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut.[15]
Populasinya adalah orang yang mengalami
obesitas yang berkunjung ke ruang Poli
Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo. Pada
bulan Desember tahun 2011, terdapat 30
orang yang mempunyai kegemukan
(obesitas).Jumlah sampel pada penelitian
ini, yakni penentuan sampel dari jumlah
pasien obesitas yang berkunjung ke ruang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Poli Penyakit Dalam di RSUD Sidoarjo
dengan menggunakan rumus :
N
n
1  N (d ) 2
Keterangan :
N = Besar populasi
n = Besar sampel
d = Tingkat signifikasi (0,05)
Jadi jumlah sampel yang diperlukan pada
penelitian ini adalah sebanyak 28
responden.
Teknik sampling yang digunakan adalah
aksidental
sampling
yaitu
cara
pengambilan sampel yang dilakukan
dengan kebetulan bertemu. Sebagai
contoh, dalam menentukan sampel apabila
dijumpai ada, maka sampel tersebut
diambil dan langsung dijadikan sebagai
sampel utama (Hidayat, 2010).Variabel
bebas
(Dependen)
adalahObesitas.
Variabel
tergantung
(Independen)
adalahkejadian Diabetes Mellitus.
Dalam penelitian ini instrumen yang
digunakan untuk pengumpulan data adalah
observasi langsung kepada responden di
ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
SidoarjosertaData umum tentang Diabetes
Mellitus dengan riwayat obesitas di ruang
Poli Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo dan
data penunjang lainnya melalui Rekam
medik dan dokumentasi.Analisa data
dilakukan dengan analisis bevariate yang
dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkolerasi.
Dalam analisis ini dapat dilakukan
pengujian statistik yakni Kolerasi Rank
Spearman.
HASIL PENELITIAN
BerdasarkanTabel 2, pasien obesitas yang
berkunjung diruang Poli Penyakit Dalam
di RSUD Sidoarjo, yang terdiri dari 28
orang yang obesitas dengan karakteristik
sebagai berikut :
1. Sebagianbesar
orang
yang
mengalamiobesitas
laki-laki
yaitu
sebanyak
15orang(53,6%)dan
14
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
perempuan yaitu sebanyak 13 orang
(46,4%).
2. Sebagian besar berumur 21-30 tahun
yaitu sebanyak 2 orang (7,1%), 31-40
tahun yaitu sebanyak 1 orang (3,6%),
41-50 tahun sebanyak yaitu 12 orang
(42,9%), 51-60 tahun sebanyak yaitu 10
orang (35,7%), 61-70 tahun sebanyak
yaitu 3 orang (10,7%).
5. Dari 28 orang sebagian besar obesitas
ringan sebanyak 11 orang (39,2%),
obesitas sedang sebanyak 12 orang
(42,9%) dan obesitas berat sebanyak 5
orang (17,9%).
6. Dari 28 orang sebagian besar terjadi
diabetes mellitus sebanyak 19 orang
(67,9), dan tidak terjadi diabetes
mellitus sebanyak 9 orang (32,1%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik
Pasien Obesitas Yang
Berkunjung Di Ruang Poli
Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo
Bulan Mei 2012
PadaTabel 3, hasil uji Kolerasi Rank
Spearman obesitas terhadap kejadian
diabetes mellitus didapatkan bahwa p =
0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga H0
ditolak dan H1 diterima artinya ada
Hubungan Obesitas Dengan Kejadian
Penyakit Diabetes Mellitus di ruang Poli
Penyakit Dalam RSUD Sidoarjo.
No
1
2
3
4
5
6
Variabel
JenisKelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Umur
a. 21-30 tahun
b. 31-40 tahun
c. 41-50 tahun
d. 51-60 tahun
e. 61-70 tahun
Pendidikan
a. SD/sederajat
b. SMP/sederajat
c. SMA/sederajat
d. PerguruanTinggi
Pekerjaan
a. Swasta/Wiraswasta
b. Tidakbekerja
Obesitas
a. Ringan
b. Sedang
c. Berat
Kejadian Diabetes
Mellitus
a. Terjadi DM
b. Tidak terjadi DM
n
(%)
15
13
53,6
46,4
2
1
12
10
3
7,1
3,6
42,9
35,7
10,7
4
7
13
4
14,3
25
46,4
14,3
21
7
75
25
11
12
5
39,2
42,9
17,9
41
104
28
72
3. Sebagian besar menempuh pendidikan
SD yaitu sebanyak 4 orang (14,3%),
SMP yaitu sebanyak 7 orang (25,0%),
SMA sebanyak yaitu 13 orang (46,4%),
Perguruan Tinggi sebanyak yaitu 4
orang (14,3%).
4. Sebagian besar responden pada
pekerjaan Swasta/Wiraswasta yaitu
sebanyak 21 orang (75,0%) dan tidak
bekerja yaitu sebanyak 7 orang
(25,0%).
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Tabel3.Tabulasi Silang Frekuensi Obesitas
Terhadap
Kejadian
Diabetes
Mellitus Di Ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo Bulan Mei
2012.
No
1
2
3
Kejadian Diabetes
Mellitus
Obesitas
Tidak
Terjadi
terjadi
∑
%
∑
%
Ringan
3
27,2 8
72,8
Sedang
11 91,7 1
8,4
Berat
5
100 0
0
p = 0,000
PEMBAHASAN
Tabel 2 menjelaskan bahwa dari 28 orang
sebagian besar obesitas ringan sebanyak
11 orang (39,2%), obesitas sedang
sebanyak 12 orang (42,9%) dan obesitas
berat sebanyak 5 orang (17,9%). Dan
orang yang terkena obesitas paling banyak
terdapat pada obesitas sedang sebanyak 12
orang (39,2%).
Menurut
Sutanto (2010), seorang
beraktivitas/kegiatan berkurang dan terjadi
penurunan kegiatan sel- sel tubuh,
Metabolisme menurun, kebutuhan kalori
menurun sehingga mengalami kegemukan
15
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
atau obesitas. Keadaan ini kurang disadari
oleh masyarakat luas, dengan asupan
makanan yang berlebihan dan kegiatan
yang menurun mengakibatkan tubuh akan
menumpuk kelebihan makanan dalam
tubuh, yang akhirnya mengakibatkan
kegemukan bahkan menjadi obesitas.
Berdasarkan hasil pengamatan di ruang
Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo
penyebab obesitas pada pasien yang
berkunjung
karena
kurangnya
aktivitas/olah raga dan makan yang kurang
teratur, walaupun di ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo telah diberikan
penyuluhan dan brosur oleh para perawat
dan dokter disana tentang bahaya bagi
kesehatan terutama penyakit diabetes
mellitus, tetapi para pasien yang
berkunjung di sana kurang memperhatikan
penyuluhan tersebut, hal ini dapat
berdampak kurangnya pengetahuan pada
pasien yang berkunjung disana, tetapi
obesitas bukan penyebab utama diabetes
mellitus, ada beberapa faktor- faktor yang
berkaitan dengan kejadian diabetes
mellitus yaitu genetik, kurang bergerak/
jarang berolah raga, makan yang
berlebihan, penyakit dan infeksi pada
pangkreas dan kehamilan. Dan di dukung
oleh
penelitian
sebelumnya
yang
dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan
Ngantru Tulungagung pada tahun 2004
yang berjudul Hubungan Antara Obesitas
Dengan Kejadian Penyakit Diabetes
Mellitus Pada Masyarakat di Desa
Bendosari
Kecamatan
Ngantru
Tulungagung yang menghasilkan ada
hubungan antara obesitas dengan kejadian
diabetes mellitus.
Berdasarkan Tabel 2 menjelaskan bahwa
dari 28 orang sebagian besar terjadi
diabetes mellitus sebanyak 19 orang
(67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus
sebanyak 9 orang (32,1%).
Dalam keadaan normal, jika terdapat
insulin, asupan glukosa (atau produksi
glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
akan disimpan sebagai glikogen dalam selsel hati dan sel-sel otot. Proses
glikogenesis ini mencegah hiperglikemia
(kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada
Diabetes Mellitus glukosa tidak dapat
melewati membran sel, sehingga sel-sel
kekurangan makanan, hal ini disebabkan
oleh berkurangnya cadangan gula dalam
tubuh
sehingga
tubuh
berusaha
memperoleh cadangan gula dari makanan
yang diterima dengan memperbanyak
asupan makanan (poliphagia). Apabila
insulin
tidak
mencukupi
untuk
mempertahankan kadar gula normal,
menyebabkan kadar gula dalam darah
meningkat, dimana saat kadar gula dalam
darah melebihi ambang ginjal sehingga
merangsang tubuh untuk mengeluarkannya
melalui air kencing dengan frekuensi yang
sering (poliuria). Untuk menghindari tubuh
kekurangan cairan akibat dari sering
kencing tadi secara otomatis akan timbul
rasa haus yang menyebabkan keinginan
untuk terus minum (polidipsi). Pada
diabetes dimana didapatkan jumlah insulin
yang kurang atau pada keadaan kualitas
insulinnya tidak baik (resitensi insulin),
meskipun insulin ada dan reseptor juga
ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel
itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak
dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa
tidak dapat masuk sel untuk dibakar
(dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap
berada diluar sel, sehingga kadar glukosa
dalam darah meningkat (Soegondo, S,
dkk, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan di ruang
Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo
penyebab diabetes mellitus pada pasien
yang berkunjung karena masih banyak
kurangnya perhatian aktivitas/olah raga
untuk menurunkan berat badan, kurang
pengetahuan tentang bahaya obesitas yang
menyebabkan diabetes mellitus, dan
makan yang kurang teratur, hal ini dapat
berdampak buruk pada kesehatan pasien
yang berkunjung di poli penyakit dalam
RSUD Sidoarjo. Dan di dukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan di
16
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Desa Bendosari Kecamatan
Tulungagung pada tahun 2004.
ISSN 2085-028X
Ngantru
Berdasarkan Tabel 3 menjelaskan bahwa
dari 28 orang hasil distribusi antara
obesitas terhadap kejadian diabetes
mellitus di Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo adalah pada orang yang
mengalami kejadian Diabetes Mellitus
pada obesitas berat sebanyak 5 orang
(100%), sedangkan obesitas sedang
sebanyak 11 orang (91,7%) dan obesitas
ringan sebanyak 3 orang (27,2%). Pada
orang yang tidak mengalami kejadian
Diabetes Mellitus pada obesitas ringan
sebanyak 8 orang (72,8%), sedangkan
obesitas sedang sebanyak 1 orang (8,4%)
dan obesitas berat (0%). Bedasarkan hasil
uji Kolerasi Rank Spearman obesitas
terhadap kejadian diabetes mellitus
didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05
maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1
diterima artinya ada Hubungan Obesitas
Dengan Kejadian Penyakit Diabetes
Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo.
disertai pengurangan total lemak terutama
lemak jenuh (Sidartawan Soegondo, dkk,
2009).
Peran tenaga kesehatan dalam masalah ini
adalah dengan memberikan pendidikan
atau penyuluhan kepada masyarakat
umum, pengetahuan tentang realitas
masalah
obesitas
terhadap
resiko
terjadinya penyakit yang menyertai
penderita obesitas terutama diabetes
mellitus, sehingga menambah pengetahuan
masyarakat serta secara tidak langsung
mengajak masyarakat untuk berpola hidup
sehat. Sedangkan peran pada masyarakat
adalah bisa memberikan olah raga senam
setiap seminggu sekali untuk menurunkan
berat badan penderita diabetes mellitus
gemuk supaya resiko terjadinya penyakit
diabetes mellitus dengan riwayat obesitas
bisa menurun. Dan di dukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Desa Bendosari Kecamatan Ngantru
Tulungagung pada tahun 2004.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembulu
darah.[22] Penderita diabetes mellitus
dengan riwayat obesitas dianjurkan latihan
jasmani atau olahraga secara teratur (3-4
kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit, sebagai contoh olahraga ringan
adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, sedangkan olahraga sedang dengan
cara joging selama 20 menit. Untuk
makanan dianjurkan diet hipokalori
biasanya memperbaiki kadar glikemik
jangka pendek dan mempunyai potensi
meningkatkan kontrol metabolik jangka
lama. Perencanaan makanan hendaknya
dengan kandungan zat gizi yang cukup dan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari 28pasienobesitas, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:1)
dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar
yang
mengalami
Obesitas
sedang
sebanyak 42,9%; 2) sebanyak 67,9% orang
di Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo sebagian besar yang mengalami
diabetes mellitus, dan tidak terjadi diabetes
mellitus sebanyak 32,1%; 3) berdasarkan
hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas
terhadap kejadian diabetes mellituspada 28
orang di Ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo didapatkan bahwa p =
0,000, α = 0,05 maka p< α sehingga H0
ditolak dan H1 diterima artinya ada
hubungan obesitas dengan kejadian
diabetes mellitus di Ruang Poli Penyakit
Dalam Rsud Sidoarjo.
Saran
17
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka
dapat dikemukakan saran–saran sebagai
berikut:1)
perlunya para masyarakat
memperhatikan pola makan dan menjaga
keteraturan berolah raga sehingga tidak
mengalami kegemukan atau obesitas yang
sangat berpengaruh terhadap kejadian
Diabetes Mellitus; 2) perlunya bagi
petugas kesehatan untuk terhindar dari
kegemukan atau obesitas dan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat agar
terhindar dari obesitas yang sangat
berpengaruh kepada kejadian Diabetes
Mellitus; 3) perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut, guna memperoleh hasil yang
lebih baik; 4) menggunakan hasil
penelitian ini sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya dengan masalah dan
metode yang berbeda.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Agus K, Budiyanto.2002. Gizi dan
Kesehatan.Malang:
Bayu
Media
UMM Press.
American Diabetes Association.1999.
“Proposal
Obesitas
antara
Diabetesmellitus”.(http://www.Propos
al/bahan /kaitan-antara-obesitas-dandiabetes. html). Diakses tanggal 25
Desember 2011.
Arisman.2011. Obesitas, Diabetes
Mellitus, & Dislipidemia.Jakarta:
EGC.
Askandar
Tjokroprawiro.2001.
Diabetes Mellitus.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Baido, Rasid Darma.2011. Hubungan
antara Obesitas dengan Diabetes
Mellitus.(file://E:/Proposal/PERLENG
KAPAN%20SKRIPSI/bahan/kaitanantara-ob- esitas-dan-diabetes.html).
Diakses tanggal 16 januari 2012.
Beta Kulinet.2009. Faktor Penyebab
Diabetes
Mellitus,
(http://www.
kulinet.com/baca/faktor-penyebab-dia
-betes-mellitus/974/).Diakses tanggal
03 Januari 2012.
Compasiana.2011. Bahaya Obesitas.
(http://kesehatan.kompasiana.com/me
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
dis/2011/03/09/bahaya-obesitas/).Diakses tanggal 05 januari 2012.
Depkes
RI.
2011.
Obesitas.(www.new-medical.net).
Diakses tanggal 20 Desember 2011.
Drahani.2008. Penyebab Diabetes
Mellitus.
(http://drahani.wordpress.
com/2008/03/05/penyeban-diabetesmelitus/). Diakses tanggal 03 Januari
2012.
Emma S, Wirakusumah.2001. Cara
Aman dan Efektif Menurunkan Berat
Badan.Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Hotma, Rumaharjo.1999. Asuhan
Keperawatan
Klien
Dengan
GangguanSistemEndokrin.
Jakarta:
EGC.
Lanywati, Endang.2001. Diabetes
Mellitus.Yogyakarta: Kanisius.
Mary. C. Moore.1997. Terapi Diet
dan
NutrisiEdisi
II.
Jakarta:
Hipokrates.
Niwana SOD.2011.Obesitas.
(http://niwanasod.net/obesitas/).
Di-akses tanggal 20 Desember 2011.
Nursalam.
2011.
Konsep
dan
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperwatan. Salemba Medika:
Jakarta.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
2011. Apa Itu Obesitas.
(http://www.news-medical.net/health/
What-is-Obesity %28Indonesian%29.
aspx).Diakses tanggal 20 Desember
2011.
Proverawati, Atikah.2010. Obesitas.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Sjaifoelllah, Noer 1996. Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Smeltzer, Suzane C, dkk.2002.
Keperawatan Medikal Bedah Edisi
8.Jakarta: EGC.
Soesanto, Wibisono.2010. Biostatistik
Penelitian Kesehatan. Surabaya:
Duatujuh.
Sudoyo, dkk. 2007. Ilmu Penyakit
Dalam Edisi III. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
18
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
PENGARUH PEMIJATAN BAYI TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN
DIDESA LARANGAN TOKOL KECAMATAN TLANAKAN
KABUPATENPAMEKASAN
Faridah **), Iwan Septian Nasar*)
**) Dosen Prodi Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Growth development of baby’s in 4 – 6 months age is a rapid growth, so if the
baby’s weight cannot be increased according to its age, is risked of an interruption growth.
Stimulation or massage can improve metabolisme of organ and cell, so that improve
formation for new cells. The purpose of study was to determine the massage for baby’s in the
increase weight.
Method :The design of this studies uses a quasi-experimental with approach non-equevalen
control group. Population in this study is baby’s in 4 – 6 months age who lived in Larangan
Tokol village at May – June 2012 counted 57 baby’s. Samples taken were 20 baby’s who met
the inclusion criteria and divided into 10 baby’s treated group and 10 baby’s control group.
Data were analyzed with statistical Paired T-Test and Independent T-Test, with a
significance level of p ≤ 0.05.
Result :The results of observation obtained mean of baby's weight in the treated group before
and after the intervention is 7750 grams and 8250 grams, in the control group is 6760 grams
and 7190 grams. From statistical Paired T-Test on treatment group, the correlation is very
strong than in the control group, and the probability of the two groups is p=0.001.
Independent T-Test on the control and treatment groups after the intervention are differences
in average weight with a value of p=0.001.
Conclusion :Result revealed to showed that the effect of massage the stimulate of nerves
vagus that add to this peristaltic so that rapid hungry and the growth to food intake the
increase of bodyweight. The reccommendated is to mothers, always to give the massage to
her baby, because is more important to the increase of bodyweight according to their age.
Keywords : Infant Massage, Body Weight Increase
PENDAHULUAN
Pijat bayi adalah terapi sentuh tertua dan
terpopuler dari seni perawatan kesehatan
dan pengobatan yang telah dipraktekan
sejak
berabad-abad
silam,
dengan
merangsang sistem sensorik dan motorik
untuk memperoleh kondisi optimal pada
masa bayi dan mempertahankan rasa aman
(Roesli, 2001). Pijat memberi kesempatan
pada orang tua untuk mengenal tubuh
bayinya, membantu bayi untuk rileks, serta
menciptakan hubungan yang erat antara
orang tua dan anak.
Pemijatan pada bayi akan merangsang
nervus vagus, dimana saraf ini akan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
meningkatkan peristaltik usus sehingga
pengosongan lambung meningkat dengan
demikian akan merangsang nafsu makan
bayi untuk makan lebih lahap dalam
jumlah yang cukup. Selain itu nervus
vagus juga memacu produksi enzim
pencernaan sehingga penyerapan makanan
maksimal. Disisi lain dengan pijat juga
melancarkan
peredaran
darah
dan
meningkatkan metabolisme sel, dari
rangkaian tersebut berat badan bayi akan
meningkat.[7]
Manfaat pijat yaitu: Meningkatkan
produksi air susu ibu, meningkatkan berat
badan, dan membuat bayi tidur lebih lelap
19
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga saat bangun konsentrasi bayi
meningkat.
Saat yang optimal untuk memijat bayi
adalah umur 3 bulan, dimana waktu yang
ibu miliki adalah saat yang tepat untuk
melakukan
pemijatan
dengancara
menyediakan waktu khusus agar tidak
terganggu oleh kesibukan lain kurang
lebih selama 15-30 menit. Pemijatan lebih
baik dilakukan pagi hari saatbayi siap
memulai hari dan pada waktu malam
untuk membantu bayitidur lebih nyenyak.
Pada bayi usia 4-6bulan mengalami masa
pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga
perlu menjaga berat badan bayi sesuai
umur.Berat badan ini sangat dipengaruhi
oleh
genetik,
lingkungan,
tingkat
kesehatan, status gizi dan
latihan fisik
(Widyani, 2003). Begitu banyak faktor
yang mempengaruhi sehingga perlu
diupayakan untuk menjaga agar berat
badan normal sesuai dengan
umur,
dengan cara: memenuhi kebutuhan gizi
bayi baik secara kuantitas
maupun
kualitas, menjaga lingkungan yang
kondusif yaitu membuat suasana tempat
tinggal yang nyaman dan sanitasi yang
baik, menjaga kesehatan bayi dengan
memberi imunisasi dan kontrol ke
pelayanan kesehatan, dan yang terakhir
memberi
stimulus.
Stimulus
yang
diberikan berupa stimulasi taktil. Stimulus
taktil yang dapat diberikan yaitu
pemijatan, karena dengan pijat tersebut
dapat merangsang otot - otot tulang dan
sistem organ untuk berfungsi secara
maksimal (Soetjiningsih, 1998).
Berat badan merupakan hasil peningkatan
atau penurunan semua jaringan yang ada
pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak,
cairan tubuh dan lain-lain, sehingga
dipakai untuk indikator yang baik
mengetahui keadaan gizi dan pertumbuhan
(Soetjiningsih, 1998).BB ditentukan oleh
keseimbangan antara masukan kalori dan
pelepasan energi. BB ini sangat
dipengaruhi oleh genetik, sedang faktor
lingkungan berpengaruh kurang lebih
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
30%. Penambahan BB merupakan proses
yang teratur, dimana pertumbuhanya pada
Triwulan II(500-600gram/bulan), Triwulan
III (350-450 gram/bulan), Triwulan IV
(250-350 gram/bulan).
Tabel 1. Panjang tubuh normal bayi usia
4-7 bulan
NO
USIA(Bulan)
PANJANG TUBUH
(Centimeters)
1
4
56,5 – 62,5
2
5
58,0 – 64,5
3
6
59,0 – 66,0
4
7
60,5 – 67,5
Berat badan dipakai sebagai indikator yang
terbaik pada saat ini untuk mengetahui
keadaan gizi dan pertumbuhan bayi
(Soetjiningsih,1998).Kenaikan
berat
badan bayi sesuai umur sangat diharuskan.
Bila berat badan tidak naik akan
berdampak pada tumbuh kembang anak
dan menurunnya daya tahan tubuhnya
sehingga
mudah
terkena
penyakit
[8]
infeksi.
Penyakit infeksi pada masa
pertumbuhan bayi sangat berbahaya
karena penyakit tersebut dalam tubuh bayi
akan mengakibatkan penurunan nafsu
makan sehingga pemasukan gizi kurang
akibatnya gizi bayi buruk. Sebaliknya bila
bayi mengalami gizi buruk, kemampuan
bayi untuk melawan infeksi menurun.
Keadaan ini bila berlanjut dapat membawa
akibat yang fatal berupa kematian.
Pada tahun 2007 prevalensi anak balita
yang mengalami gizi kurang dan buruk
masing-masing 18,4% dan 36,8% sehingga
Indonesia termasuk di antara 36 negara di
dunia
yang
memberi
90%
kontribusimasalah gizi. Walaupun pada
tahun 2010prevalensi gizi kurang dan
buruk menurun menjadi masing-masing
17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi
disparitas antar provinsi yangperlu
mendapat penanganan masalah yang
sifatnya spesifik di wilayahrawan, di
provinsi Jawa Timur menemukan bayi
dengan gizi buruk sebanyak 13,3%,
20
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga perlu dilakukan penanggulangan
yang spesifik.[11]
Pada usia 4-6 bulan bayi mulai
ditinggalkan untuk bekerja atau kesibukan
yang lain. Kondisi tersebut akan
mengakibatkan trauma kejiwaan sebagai
akibat perpisahan dengan ibu, sehingga
selera makan anak akan turun.[5] Keadaan
ini tidak didukung oleh perilaku ibu untuk
melakukan
pemijatan
bayi
guna
merangsang peningkatan nafsu makan bayi
sehingga masukan nutrisi meningkat
dengan ditandai berat badan bayi
meningkat sesuai usia. Namun saat ini
belum ada penelitian tentang pengaruh
pijat bayi (4-6 bulan) terhadap peningkatan
berat badan.
Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti di Desa Larangan
Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten
Pamekasan di dapat data awal yaitu bayi
yang lahir pada tahun 2012 di Desa
Larangan Tokol sejumlah 102. Pada bulan
Februari dilakukan penimbangan berat
badan terhadap 10 bayi di Desa Larangan
Tokol dan membandingkan dengan berat
badan sebelumnya yaitu pada usia bayi 1,
2, dan 3 bulan, didapatkan 70% yang pada
KMS-nya menunjukkan arahpanah ke atas
dalam indek >80%yaitupertumbuhan anak
baik, 20% arah panah datar dalam rentang
indek 60-70% yaitu pertumbuhan kurang
baik, memerlukan perhatian khusus, dan
10% Arah panah ke bawah dalam indek
60%, memerlukan tindakan segera.
Dari uraian diatas, maka perlu dilakukan
penelitian guna mempelajari pengaruh
pijat terhadap peningkatan berat badan
bayi di Desa Larangan Tokol, Kecamatan
Tlanakan,
Kabupaten
Pamekasan,
sehingga hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan kepada ibu dan
perawat khususnya dalam memberikan
asuhan keperawatan ibu dan anak.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Penelitian ini dilakukan di Desa Larangan
Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten
Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. Adapun
pelaksanaan penelitian
pada tahun
2012.Desain penelitian yang digunakan
pada penelitian ini adalah quasieksperiment dengan pendekatan nonequivalen control group atau nonrandomized control group pretest-posttest
design
yaitu
penelitian
untuk
membandingkan hasil intervensi dari
kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol yang serupa tapi tidak benar-benar
sama dengan pengelompokan sampel tidak
secara random.[3]
Populasi pada penelitian ini adalah semua
bayi yang berusia 4-6 bulan yang tinggal
di Desa Larangan Tokol, Kecamatan
Tlanakan, Kabupaten Pamekasan pada
bulan Februari 2012, sebanyak 57
bayi.Sampel pada penelitian ini adalah
semua dari populasi yang ada. Penelitian
ini
menggunakan
sampling
nonprobability dengan metode purposive
sampling yaitu teknik penetapan sampel
dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki
peneliti.
Pada penelitian ini variabel independen
yang digunakan adalah pemijatan,
sedangkan variabel dependen adalah berat
badan. Instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah observasi dan
kuesioner.
Teknik pengambilan data dibagi menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama yaitu
A10 adalah bayi yang dapat perlakuan
pemijatan
dan
penimbangan
berat
badanpada minggu 1, 2, 3 dan minggu ke4. Kelompok kedua yaitu B10 adalah bayi
yang tidak diberi pemijatan hanya sebagai
kontrol, dengan tetap melakukan observasi
keadaan bayi terutama berat badan dengan
menimbang berat badan bayi pada minggu
1, 2, 3 dan minggu ke-4.
Data
diolah
dan
diuji
dengan
menggunakan uji statistic Paired t-test,
tingkat kemaknaan p<α (0,05) dengan
21
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
tujuan membandingkan nilai sebelum dan
sesudah perlakuan pada kelompok kontrol
dan perlakuan. Untuk membandingkan
peningkatan berat badan pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol setelah
dilakukan pijat bayi dengan uji
Independent T-Test.
Tabel 2. Distribusi bayi Berdasarkan
Umur dan Masukan Makanan Di
Desa Larangan Tokol, Pada
Bulan Mei 2012
No
1
HASIL PENELITIAN
2
Hasil
penelitian
pada
Tabel
2
menunjukkan
karakteristik
bayi
berdasarkan
umur
dan
masukan
makanandi
Desa
Larangan
Tokol
Kecamatan
Tlanakan
Kabupaten
Pamekasan:
1. Hampir setengah bayi mempunyai umur
5 bulan yaitu (45%), 4 bulan (40%), dan
sisanya (15%) berumur 6 bulan.
2. Seluruh bayi (100%) mempunyai
masukan makanan tiap harinya yaitu
ASI dan PASI (makanan tambahan).
Tabel 3
Variabel
Umur
c. 4 bulan
d. 5 bulan
e. 6 bulan
MasukanMakanan
f. ASI
g. ASI & PASI
Jumlah
(%)
8
9
3
40
45
15
0
20
0
100
Dari hasil kedua distribusi data yaitu pada
Tabel 3 dan Gambar 1, didapatkan bahwa
pada kelompok perlakuan saat sebelum
intervensi rata-rata berat badan bayi 7750
gram dan sesudah intervensi rata-rata berat
badan bayi 8250 gram, sedangkan pada
kelompok kontrol saat sebelum intervensi
rata-rata berat badan bayi 6760 gram dan
sesudah intevensi rata-rataberat badan bayi
7190 gram.
Distribusi Data Berat Badan Bayi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Intervensi Pada
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan
Mei-Juni 2012.
BAYI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata - Rata
Berat Badan
PERLAKUAN
SEBELUM
SESUDAH
8100 Gram
8400 Gram
8200 Gram
8500 Gram
8000 Gram
8500 Gram
7800 Gram
8300 Gram
7500 Gram
8100 Gram
7300 Gram
8000 Gram
7700 Gram
8200 Gram
7400 Gram
8000 Gram
7900 Gram
8400 Gram
7600 Gram
8100 Gram
KONTROL
SEBELUM
SESUDAH
6500 Gram
6900 Gram
6300 Gram
6600 Gram
6700 Gram
7100 Gram
7300 Gram
7800 Gram
7000 Gram
7500 Gram
7100 Gram
7700 Gram
6900 Gram
7300 Gram
6400 Gram
6800 Gram
6800 Gram
7200 Gram
6600 Gram
7000 Gram
7750 Gram
6760 Gram
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
8250 Gram
7190 Gram
22
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Gambar 1. Distribusi Data Berat Badan Bayi Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Intervensi Pada Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan
Mei-Juni 2012.
Tabel 4. Analisis Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Peningkatan Berat Badan Pada Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol Di Desa Larangan Tokol, Pada Bulan Mei-Juni 2012
KELOMPOK
VARIABEL
Perlakuan
Kontrol
Post-test Perlakuan dan
Kontrol
UJI STATISTIK
RATA - RATA
P. CORELASI
PROBABILITAS
Paired
T-Test
500 Gram
0,001
0,001
430 Gram
0,001
0,001
Independent
T-Test
Dari Tabel 4, didapatkan hasil uji statistik
Paired T-Test pada kelompok perlakuan
korelasi antara sebelum dan sesudah
dilakukan
intervensi
menghasilkan
probabilitas
0,001dengan
rata-rata
peningkatan berat badan 500 gram yang
berarti bahwa antara berat badan sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi kuat,
maka pemijatan pada bayi tersebut efektif
dalam meningkatkan berat badan secara
nyata dengan nilai p= 0,001, sedangkan
pada kelompok kontrol, korelasi antara
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
menghasilkan probabilitas 0,001dengan
rata-rata peningkatan berat badan 430
gram, hal ini menunjukkan bahwa antara
berat badan sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi tidak kuat dan
meskipun tidak diberikan pemijatan secara
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
p = 0,001
nyata berat
p=0,001.
badannaik
dengan
nilai
Dari hasil uji statistik Independent T-Test,
didapatkan hasil pada kedua kelompok
post-test antara berat badan kelompok
perlakuan atau bayi yang mendapatkan
pemijatan dengan kelompok kontrol atau
bayi yang tidak mendapatkan pemijatan
ada perbedaan rata-rata berat badan
dengan nilai probabilitas 0,001.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan di Desa Larangan Tokol
Kecamatan
Tlanakan
Kabupaten
Pamekasan, didapatkan hasil rata-rata
berat badan bayi pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan sebelum
23
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
dilakukan intervensi yaitu pada kelompok
kontrol rata-rata berat badannya 6760
gram,
sedangkan
pada
kelompok
perlakuan rata-rata berat badannya 7750
gram.
Pemijatan bayi bisa dilakukan segera
setelah bayi lahir dan waktu yang optimal
adalah umur 3 bulan, dimana waktu yang
ibu miliki adalah saat yang tepat untuk
melakukan pemijatan dengan cara
menyediakan waktu khusus agar tidak
terganggu oleh kesibukan lain dan
pemijatan lebih baik dilakukan pagi hari
saat bayi siap memulai hari dan pada
waktu malam untuk membantu bayi tidur
lebih nyenyak, karena proses terjadinya
pertumbuhan yang optimal terjadi pada
saat bayi tertidur pulas dan juga
membantu agar bayi tidak rewel dimalam
hari.
rata berat badannya 8250 gram dengan
kenaikan rata-rataberat badan 500 gram.
Penambahan berat badan merupakan
prosesyangteratur,dimana pertumbuhanya
pada Triwulan II (500-600 gram/bulan),
Triwulan III (350-450 gram/bulan),
Triwulan
IV(250-350
gram/bulan)
(Rubiati, 2004). Beratbadan meningkat
khas dantetap dengan kecepatan sekitar 25
gram sehari selama beberapa bulan
pertama, berlipat 2 kali berat badan lahir
pada umur 5 bulan dan berlipat 3 kali
padaakhir tahun pertama.[2]
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa
pentingnya untuk mencatat secara teratur
berat badan bayi pada waktu tertentu
untuk memastikan bahwa pertumbuhan
berlangsung normal dan untuk menilai
pertumbuhan fisik anak, sering digunakan
ukuran antropometrik, yaitu berat badan,
tinggi badan, lingkar kepala, lingkar
lengan yang tergantung dengan umur dan
tergantung dengan tinggi badan. Berat
badan juga merupakan hasil peningkatan
atau penurunan semua jaringan yang ada
pada tubuh antara lain tulang, otot, lemak,
cairantubuh dan lain-lain, sehingga
dipakai untuk indikator yang baik
mengetahui keadaangizi dan pertumbuhan.
Pemijatan pada bayi juga mendapatkan
banyak manfaat seperti meningkatkan
pertumbuhan, meningkatkan daya tahan
tubuh, membina ikatan kasih sayang orang
tua dan anak, mengurangi stress dan
keadaan tersinggung, kebugaran otot,
mempercepat perkembangan otak dan
sistem saraf. Hal tersebut diperkuat dari
hasil penelitian yang dilakukan Chynthia
Mersmann
(2004)
yang
juga
menambahkan dari manfaat pijat bayi
yaitu bahwa ibu yang memijat bayinya
akan memproduksi ASI perah lebih
banyak dari pada kelompok kontrol.
Ketika payudara yang satu disusukan
maka air susu dari payudara sebelahnya
yang tidak disusukan akan menetes lebih
deras. Air susu ibu yang mengalir deras ini
tentu dapat disimpan dan dimanfaatkan
saat ibu bekerja. Peningkatan volume ASI
perah dapat meningkatkan lamanya masa
pemberian ASI secara ekslusif pada ibuibu yang bekerja.
Rata-rata berat badan bayi pada
kelompok
kontrol
dan
kelompok
perlakuan sesudah dilakukan intervensi
yaitu pada kelompok kontrol rata-rata
berat badannya 7190gram dengan
kenaikan rata-rata berat badan 430 gram,
sedangkan pada kelompok perlakuan rataJournal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Rata-rata peningkatan berat badan pada
kelompok perlakuan 500 gram dan pada
kelompok kontrol 430 gram. Dengan uji
Paired T-Testdidapatkan bahwa kelompok
perlakuan korelasinya sangat kuat dari
pada kelompok kontrol dengan nilai
probabilitas kedua kelompok p=0,001,
keadaan ini menunjukkan bahwa masukan
nutrisi pada kelompok perlakuan lebih
baik dari pada kelompok kontrol. Hasil
tersebut diperkuat dengan hasil uji
Independent T-Test yang didapatkan
bahwa ada perbedaan rata-rata berat badan
antara bayi yang mendapatkan pemijatan
dengan bayi yang tidak mendapatkan
pemijatan dengan nilai p=0,001.
24
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Pemijatan
berpengaruh
terhadap
paningkatan berat badan, meskipun
peningkatan berat badan pada kedua
kelompok tersebut masih ada yang
dibawah standar yaitu menurut Rubiati
(2004) 500-600 gram/bulan, sehingga
pemijatan
yang
dilakukan
tidak
maksimal oleh peneliti atau faktor genetik
bayi yang lebih menonjol.Seperti yang
disebutkan Ganong (1999) bahwa berat
badan ditentukan oleh keseimbangan
antara masukan kalori dan pelepasan
energi dan berat badan ini sangat
dipengaruhi oleh genetik, sedang faktor
lingkungan hanya berperan kurang dari
30%.[6]
Tetapi bila dilihat pada berat badan awal,
pada kelompok perlakuanrata-ratanya
lebih baik dari pada kelompok kontrol dan
berat badan setelah empat minggu
menunjukkan bahwa berat badan bayi
meningkat dengan rata-rata kelompok
perlakuan tetap baik dari pada kelompok
kontrol menunjukkan hasilnya bias dan
tidak maksimal karena rata-rata berat
sangat kuat dari pada kelompok kontrol
dengan nilai probabilitas kedua kelompok
(p=0,001), keadaan ini menunjukkan
bahwa masukan nutrisi pada kelompok
perlakuan lebih baik dari pada kelompok
kontrol. Hasil tersebut diperkuat dengan
hasil uji Independent T-Test yang
didapatkan bahwa ada perbedaan rerata
berat badan antara bayi yang mendapatkan
pemijatan dengan bayi yang tidak
mendapatkan pemijatan dengan nilai
(p=0,001).
ISSN 2085-028X
badan awal bayi sudah berbeda. Dari hasil
tersebut sesuai dengan teori yang
dinyatakan Ganong (1999) bahwa
pertumbuhan setiap individu bervariasi
dan bersifat linier dengan proses episodik,
yang
mana
penyebabpertumbuhan
episodik tidak dapat diketahui.[6]
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari pengaruh pemijatan pada
57 bayi, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:1) hasil rerata berat badan
bayi pada kelompok kontrol dan perlakuan
sebelum dilakukan intervensi yaitu 6760
gram dan 7750 gram; 2) hasil rerata berat
badan bayi pada kelompok kontrol dan
perlakuan sesudah dilakukan intervensi
yaitu 7190 gram dan 8250 gram, dengan
kenaikan rerata 430 gram dan 500 gram; 3)
pada uji Paired T-Test didapatkan bahwa
kelompok
perlakuan
korelasinya
kepada kader posyandu agar dapat
memberikan contoh pada ibu balita cara
melakukan pemijatan bayi yang benar; 3)
hendaknya perawat anak dan maternitas
melakukan pemijatan sebagai salah satu
implementasi keperawatan pada bayi atau
anak yang dirawat di ruangan tersebut; 4)
pemijatan pada bayi sebaiknya dilakukan
minimal 2 kali seminggu selama kurang
lebih 10-20 menit setiap melakukan
pemijatan; 5) perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut tentang pengaruh pemijatan
terhadap tumbuh kembang anak.
Saran
KEPUSTAKAAN
Sesuai dengan hasil penelitian diatas
maka dapat dikemukakan saran–saran
sebagai berikut: 1) perlu dilakukan
penyuluhan, demonstrasi dan pembagian
leaflet oleh petugas kesehatan supaya ibuibu
termotivasi
untuk
melakukan
pemijatan pada bayinya, hal ini bisa
dilakukan melalui kegiatan posyandu; 2)
pelatihan pemijatan bayiperlu diberikan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
1.
2.
Arikunto, S.2002.Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
RinekaCipta.
Cunningham,R.G.1995.Obstetri
Williams.
Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo,S.
2002.MetodologiPenelitianKesehatan.
Jakarta: RinekaCipta.
25
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
3.
4.
5.
6.
7.
Damos 674.2009. Cara Melakukan
Pijat
Bayi.http://zonanugera.
wordpress.com/2009/11/04/cara-mela
kukan-pijatan-pada-bayi/.Diakses
tanggal 30 Maret 2012. Jam 12.00
WIB.
Ebrahim,G. 1994. Perawatan Anak.
Yogyakarta: YayasanEssentia Medika
Ganong, William F.1999. Buku Ajar
FisiologiKedokteran;Edisi 17.Jakarta:
EGC.
Guyton,A.1997. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran;Edisi 9.Jakarta: EGC.
Harahap,N,
etal.2001.
Pengaruh
Pemberian Konseling Gizi dan
Kesehatan Pada Ibu atau Pengasuh
Terhadap Pertambahan Berat Badan
dan Perkembangan Motorik Anak
Kurang Gizi Penderita ISPA; Journal
Of
The
Indosian
Nutrition
Association; Hal.25; 11-19.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
8.
Hidayat, A.A.2007. Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisa
Data.Jakarta: Salemba Medika.
9. Hogg and Blau.2002. Secret Of The
Baby Wispherer: Cara Efektif
Menenangkan dan Berkomunikasi
dengan Bayi Anda Dari Perawatan
Bayi Sampai Perawatan Ibu Paska
Melahirkan.Jakarta:
Gramedia
Pustaka Utama.
10. Kemenkes, RI.2010.Riset Kesehatan
Dasar
2010.http://www.bappenas
.go.id/get-fileserver/node/10655l.Diakses tanggal
04 Februari 2012, Jam 19.07 WIB.
11. Mansjoes,A,
et
al.
2000.KapitaSelektaKedokteran;Edisi
3.Jakarta: Media Aesculapius.
12. Moehji,S. 1992. Pemeliharaan Gizi
Bayi dan Balita.Jakarta: Bhratara.
26
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN PERSEPSI PELAYANAN JAMPERSAL DENGAN TINGKAT
KEPUASAN IBU BERSALIN DI BPS HJ. MAMIK AMD. KEB SURABAYA
Wiwik Widiyawati**), LenyWijayanti*)
**) Dosen Ilmu Keperawatan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Perceptionis a process of stimulus received by individual sthrough their
responses. These perceptions affect the grade of patient satisfaction, in which patient
satisfactionis an integral part of quality and thorough service. Based on data from the Health
Department of Surabaya in 2011, only 64.08%, which is supported Jampersal. The purposeof
this study is to known the correlation between perceptions of service jampersal maternal
satisfaction with the gradel in BPS Hj. Mamik Amd., Keb., Surabaya.
Method :The study design was cross sectional analytictype, major subject of study of 20
mothers. Research instrument in the form of questionars and data analysis using the Lambda
test.
Result :The results obtained were 11 women(55%) have agood perception, 6 women(54.5%)
were satisfied and 6 women(66.7%) are dissatisfied. Lambda symmetric with a significance
value of p<α (0 012 <0.05), then Ho is rejected, which means there is a correlation between
perceptions of service Jampersal maternal satisfaction with the level in BPS Hj. Mamik,
Amd.,Keb Surabaya.
Conclusion :From the data obtained most of the mothers who have agood perception of
satisfaction, while the majority of mothers who have less perception was not satisfied with
the service Jampersal. Thus expected to maintain and further improve the quality and service
by providing quality facilities and good service so that it can affect the perception of the
mother and increase patient satisfaction.
Keywords: Perception, Satisfaction
PENDAHULUAN
Persepsi merupakan suatu proses yang
dilakukan
oleh
pengindraan
yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus
oleh individu melalui responnya. Stimulus
dilanjutkan ke sususnan syaraf otak dan
terjadilah proses kognitif sehingga
individu mengalami persepsi (Walgito,
1997).
Krech dan Field (1997) yang dikutip oleh
Rahmat (2000) menyebutkan bahwa
faktor yang menentukan persepsi adalah :
1. Faktor Perhatian
Perhatian adalah proses mental ketika
stimulus atau rangkaian stimulus
menjadi menonjol dalam kesadaran
pada saat stimulus lainnya melemah.
Perhatian dapat terjadi bila kita
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
2.
3.
mengkonsentrasikan diri pada salah
satu
alat
indera
kita,
dan
mengesampingkan masukan-masukan
yang datang dari alat indera lain.
Faktor Fungsional yang menentukan
persepsi.
Faktor fungsional berasal dari
kebutuhan pengalaman masa lalu dan
hal-hal lain termasuk dengan apa yang
kita sebut dengan faktor personal.
Faktor-faktor personal tersebut adalah
pengalaman sendiri, motivasi dan
kepribadian.
Faktor Struktural.
Faktor struktural berasal dari sifat
stimulus fisik dan efek-efek syaraf
yang ditimbulkan pada sistem syaraf
individu. Para psikologis Gestalt
merumuskan prinsip persepsi yang
27
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
bersifat struktural yang mengatakan
bahwa kita mempersepsikan sesuatu
sebagai suatu keseluruhan, kita tidak
melihat
bagian-bagiannya
lalu
menghimpunnya.
Kepuasan pelanggan adalah tanggapan
pelanggan terhadap kesesuaian tingkat
kepentingan atau harapan (Ekspektasi)
pelanggan sebelum mereka menerima jasa
pelayanan dengan sesudah pelayanan yang
mereka terima.[11]
Kepuasan pasien mempunyai peran
penting
dalam perkiraan kualitas
pelayanan. Kepuasan dapat dianggap
sebagai pertimbangan dan keputusan
penilaian pasien terhadap keberhasilan
pelayanan (Donabedian, 1980). Kepuasan
pasien adalah salah suatu ukuran kualitas
pelayanan perawatan dan merupakan alat
yang dapat dipercaya dalam membantu
menyusun suatu perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi dari suatu sistem pelayanan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kepuasan pasien: 1) kinerja tenaga
kesehatan yaitu perilaku atau penampilan
tenaga kesehatan dalam proses pelayanan
kesehatan pada pasien, yang meliputi
ukuran: layanan medis, layanan non medis,
tingkat
kunjungan,
sikap,
dan
penyampaian informasi; 2) kondisi fisik
yaitu keadaan sarana tempat pelayanan
kesehatan dalam bentuk fisik seperti kamar
rawat inap, jendela, tempat tidur, kasur dan
sprei; 3) makanan dan menu yaitu kualitas
jenis atau bahan yang dimakan atau
dikonsumsi pasien setiap harinya seperti
nasi, sayuran, ikan, daging, dan minuman.
Menu makanan adalah pola pengaturan
jenis makanan yang dikonsumsi pasien; 4)
sistem administrasi pelayanan yaitu proses
pengaturan atau pengelolaan pasien yang
harus diikuti oleh pasien, mulai dari masuk
sampai fase rawat inap; 5) pembiayaan
yaitu sejulah uang yang harus dibayarkan
kepada petugas kesehatan selaras dengan
pelayanan yang diterima oleh pasien,
seperti biaya obat-obatan, makanan, dan
kamar; 6) kondisi kesehatan pasien
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
meliputi diagnosis penyakit, proses
pengobatan dan tindakan medis, dan hasil
pelayanan.
Tingkat kepuasan pasien dapat diukur baik
secara kualitatif (dengan membandingkan)
ataupun kuantitatif dan ada banyak cara
untuk mengukur tingkat kepuasan pasien.
Tingkat kepuasan pasien yang akurat
sangat
dibutuhkan
dalam
upaya
peningkatan mutu layanan kesehatan. Oleh
sebab itu, pengukuran tingkat kepuasan
pasien perlu dilakukan secara berkala,
teratur, akurat dan berkesinambungan.[12]
Jampersal merupakan jaminan pembiayaan
persalinan yang meliputi pemeriksaan
kehamilan,
pertolongan
persalinan,
pelayanan nifas termasuk KB pasca
persalinan dan pelayanan bayi baru lahir.
Program Jaminan Persalinan (Jampersal)
bertujuan untuk menjamin akses pelayanan
persalinan yang dilakukan dokter atau
bidan untuk menurunkan Angka Kematian
Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB).
Sasaran Jampersal dalah seluruh ibu hamil
yang
belum
mempunyai
Jaminan
Kesehatan yakni: 1) ibu hamil; 2) ibu
bersalin;3) ibu nifas (pasca melahirkan
sampai 42 hari); 4) bayi baru lahir usia 028 hari. Peserta jampersal berhak
memanfaatkan pelayanan kesehatan di
seluruh jaringan fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan lanjutan.
Pelayanan persalinan tingkat pertama
adalah pelayanan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan yang berkompeten dan
berwenang
memberikan
pelayanan
pemeriksaan kehamilan, persalinan, nifas,
dan bayi baru lahir. Pelayanan persalinan
tingkat lanjutan adalah pelayanan yang
diberikan oleh tenaga spesialistik yang
terdiri dari pelayanan kebidanan dan
neonatus kepada ibu hamil, bersalin, nifas
serta bayi dengan resiko tinggi dan
komplikasi di rumah sakit pemerintah dan
swasta yang tidak dapat ditanagni pada
fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
28
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
dilaksanakan berdasarkan rujukan, kecuali
pada kondisi kegawat daruratan.
Jaminan Persalinan dimaksudkan untuk
menghilangkan hambatan finansial bagi
ibu hamil untuk mendapatkan jaminan
persalinan. Dengan demikian diharapkan
kehadiran Jampersal dapat mengurangi
terjadinya tiga terlambat sehingga dapat
mengakselerasi tujuan pencapaian MDG’s
nomor 4 dan 5. Namun pada
kenyataannya, sejak di keluarkan program
Jampersal masih ada warga negara yang
tidak dapat mengakses layanan ini.
Menurut data dari Depkes, kepesertaan
Jampersal tahun 2011 berjumlah 60,4 juta
jiwa. Padahal jumlah sasaran (kuota)
peserta Jampersal tahun 2011 yang
ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan
sebanyak 76,4 juta jiwa.
Dari studi pendahuluan yang dilakukan di
BPS Hj. Mamik Amd, Keb pada bulan
April 2012 terdapat 26 ibu bersalin dengan
rincian 20 orang ibu menggunakan
pelayanan Jampersal dan 6 orang ibu tidak
menggunakan
layanan
Jampersal,sedangkan pada studi yang
dilakukan pada 5 ibu bersalin dengan
layanan Jampersal didapatkan 2 (40%)
orang ibu merasa puas dan 3 (60%) orang
ibu merasa kurang puas.
Kendala yang terjadi adalah belum
tercakupnya masyarakat miskin yang
belum memiliki jaminan kesehatan untuk
mendapatkan biaya persalinan gratis, hal
ini dikarenakan masih banyak fasilitas
kesehatan
yang belum
melakukan
kerjasama dengan pihak Dinas Kesehatan
Kota. Ini terjadi karena kurangnya
sosialisasi menyeluruh terhadap semua
tenaga kesehatan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
peneliti
tertarik
untuk
melakukan
penelitian terhadap hubungan persepsi
pelayanan Jampersal terhadap tingkat
kepuasan ibu bersalin.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian analitik
dimana penelitian bertujuan untuk
menggali, menjelaskan suatu keadaan atau
situasi serta mempelajari sebab akibat
yang ditimbulkan (Heriyanto, 2010).
Menggunakan pendekatan waktu cross
sectional dengan desain penelitian
observasional,
dimana
penelitian
melakukan melakukan observasi dan
pengukuran variabel pada saat pengkajian
atau pemeriksaan data hanya satu kali
sekaligus pada waktu yang sama tanpa
melakukan tindakan lanjut.
Dalam penelitian ini subjek penelitiannya
adalah seluruh ibu bersalin yang
menggunakan pelayanan Jampersal di BPS
Hj Mamik Amd, Keb Surabaya pada bulan
April 2012 sebanyak 20 ibu bersalin.Pada
penelitian ini variabel dependennya adalah
tingkat kepuasan ibu bersalin,sedangkan
variabel independennya adalah persepsi
pelayanan Jampersal.
Pengumpulan di lakukan dengan cara
menggunakan kuesioner dan sebagai
respondennya adalah seluruh ibu-ibu
bersalin yang menggunakan pelayanan
Jampersal di BPS Hj. Mamik Amd, Keb
Surabaya.
Analisis yang dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau
berkolerasi dengan menggunakan tabel
silang (crosstab). Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan uji statistik Lambda
yaitu digunakan untuk menghitung
hubungan variabel persepsi terhadap
tingkat kepuasan ibu bersalin di BPS Hj.
Mamik Amd, Keb Surabaya. Data dihitung
secara manual dan disajikan dalam bentuk
tabulasi silang dan narasi dengan  = 0,05.
Jadi bila hitung Lb > Lb tabel maka H0
ditolak, artinya ada hubungan antara
persepsi dengan tingkat kepuasan ibu
bersalin.
29
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian
pada
Tabel
1
menunjukkan bahwa dari 20 ibu bersalin
di BPS Mamik, Amd. Keb Surabaya
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Ibu bersalin di BPS Hj. Mamik, Amd.
Keb Surabaya yang berumur kurang
dari 20 tahun sebanyak 1 orang ibu
(5%),20-35 tahun sebanyak 17 orang
ibu (85%), dan yang berumur lebih dari
35 tahun sebanyak 2 orang ibu (10%).
2. Pekerjaan ibu bersalin di BPS Hj.
Mamik Amd, Keb Surabaya yang
pekerjaannya sebagai Ibu Rumah
Tangga (IRT) sebanyak 10 orang ibu
(50%), ibu yang bekerja swasta
sebanyak 6 orang ibu (30%) dan yang
bekerja wiraswasta sebanyak 4 orang
ibu (20%).
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik
Ibu Bersalin di BPS Mamik,
Amd. Keb Surabaya bulan Juni
2012
No
1
2
3
4
Variabel
Umur
f. <20 tahun
g. 20 – 35 tahun
h. >35 tahun
Pekerjaan
c. Ibu Rumah Tangga
d. Swasta
e. Wiraswasta
Persepsi Ibu
h. Baik
i. Kurang
Kepuasan Ibu
Bersalin
e. Puas
f. Cukup Puas
g. Tidak Puas
Jumla
h
(%)
1
17
2
5
85
10
10
6
4
50
30
20
11
9
55
45
7
7
6
35
35
30
3. Ibu bersalin di BPS Hj. Mamik Amd,
Keb Surabaya yang memiliki persepsi
baik tentang pelayanan Jampersal
sebanyak 11 orang ibu (55%), lebih
banyak dari pada ibu bersalin yang
memiliki persepsi kurang baik yaitu 9
orang ibu (45%).
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
4. Ibu bersalin yang merasa cukup puas
sebanyak 7 orang ibu (35%), puas
sebanyak 7 orang (35%), dan yang
merasa tidak puas sebanyak 6 orang ibu
(30%).
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa
dari 11 orang ibu yang memiliki persepsi
baik yang merasa puas sebanyak 6 orang
ibu (54,5%), yang merasa cukup puas
sebanyak 5 orang ibu (45,5%) dan tidak
ada ibu yang merasa kurang puas (0%).
Sedangkan dari 9 orang ibu yang memiliki
persepsi kurang yang merasa tidak puas
sebanyak 6 orang ibu (66,7%), yang
merasa cukup puas sebanyak 2 orang ibu
(22,2%), dan yang lain merasa puas yaitu
sebanyak 1 orang ibu (11,1%). Hasil uji
Lambda yang dilakukan pada variabel
diperoleh nilai Lambda symmetric dengan
signifikansi P = 0,012 dimana P < 0,05.
Maka H0 ditolak dan H diterima, artinya
ada hubungan antara persepsi ibu dengan
tingkat kepuasan ibu bersalin di BPS Hj.
Mamik Amd, Keb Surabaya. Dengan arah
Lambda symmetric Artinya, semakin baik
persepsi ibu bersalin, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan. Sedangkan semakin
kurang persepsi ibu, maka semakin rendah
tingkat kepuasan ibu.
Tabel 2. Tabulasi Silang antara Persepsi
dengan Tingkat Kepuasan Ibu
Bersalin terhadap Pelayanan
Jampersal di BPS Hj. Mmik Amd,
Keb Surabaya Bulan Juni 2012.
NO
Persepsi
Puas
1
Baik
n
6
2
Kurang
1
%
54,5
Kepuasan
Cukup
Puas
n
%
5 45,5
11,1 5
p = 0,012
22,2
Tidak
Puas
n
%
0
0
6
66,7
PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa
ibu bersalin yang memiliki persepsi baik di
BPS Hj. Mamik Amd, Keb Surabaya,
lebih banyak yaitu 11 orang ibu (55%).
30
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Sesuai dengan teori persepsi adalah suatu
proses penangkapan stimulus yang
kemudian disimpulkan menjadi suatu yang
bermakna dan berarti melalui proses
seleksi, organisasi dan interpretasi.
Persepsi membantu individu dalam
memilih perilaku individu tersebut.
Persepsi juga merupakan suatu proses
kognisi yang melibatkan cara-cara dimana
individu memproses informasi yang
didapatnya, dengan proses kognisi tersebut
timbul perbedaan dan keunikan masingmasingindividuyang
mempersepsikan
benda atau objek (Rahmat, 2000).
Pada penelitian ini banyak ibu yang
memiliki persepsi baik tentang pelayanan
Jampersal, hal ini dikarenakan pengaruh
informasi tentang pelayanan Jampersal
yang bisa didapat dari orang lain, tenaga
kesehatan, maupun dari media cetak dan
media elektronik. Selain itu karakteristik
seseorang juga dapat menyebabkan
terjadinya persepsi. Sehingga membuat ibu
lebih memahami Jampersal.Salah satu
faktor yang mempengaruhi persepsi adalah
usia. Pada penelitian ini yang berpersepsi
baik banyak terdapat pada ibu usia 20-35
tahun karena pada usia tersebut merupakan
usia yang produktif, dimana seseorang
akan bersosialisasi dengan banyak orang
sehingga akan memudahkannya dalam
mendapatkan informasi. Dengan informasi
dan pengetahuan
yang didapatkan
menyebabkan
seseorang
dapat
memberikan arti terhadap objek yang ada
disekitarnya.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa
ibu bersalin merasa cukup puas sebanyak 7
orang ibu (35%), hal ini sebanding dengan
ibu yang merasa puas.Sesuai dengan teori,
kepuasan
adalah
tingkat
perasaan
seseorang setelah membandingkan antara
kinerja yang ia rasakan/alami terhadap
harapannya.
Sedangkan
kepuasan
pelanggan adalah tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan antara
kinerja yang ia rasakan/alami terhadap
harapannya.[7]
Kepuasan
pasien
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
mempunyai peran penting
dalam
perkiraan kualitas pelayanan. Kepuasan
dapat dianggap sebagai pertimbangan dan
keputusan penilaian pasien terhadap
keberhasilan pelayanan (Donabedian,
1980). Kepuasan pasien adalah salah suatu
ukuran kualitas pelayanan perawatan dan
merupakan alat yang dapat dipercaya
dalam membantu menyusun suatu
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
dari suatu sistem pelayanan.
Pada penelitian ini ada 6 ibu bersalin yang
merasa tidak puas dengan pelayanan
Jampersal. Hal ini sesuai dengan hasil
kuesioner kepuasan pada komponen
reability
yang
mencakup
tentang
kemampuan bidan dalam memberikan
informasi kepada pasien,sehingga masih
banyak ibu bersalin yang merasa kurang
puas terhadap pelayanan Jampersal.Oleh
sebab itu dibutuhkan koreksi atau
pemantauan secara teratur didalam
pelaksanaan pelayanan. Meningkatkan
kualitas pelayanan di dalam BPS sangat
dibutuhkan
seperti
meningkatkan
kemampuan para bidan atau perawat yang
ada. Memberikan pelayanan-pelayanan
yang inovatif agar pasien merasa senang
dan puas.
Berdasarkan hasil uji Lambda yang
dilakukan pada variabel diperoleh nilai
Lambda symmetric dengan signifikansi p =
0,012 dimana p< 0,05. Maka H0 ditolak
dan H1 diterima, artinya ada hubungan
antara persepsi ibu dengan tingkat
kepuasan ibu bersalin di BPS Hj. Mamik
Amd, Keb Surabaya. Dengan arah Lambda
symmetric artinya, semakin baik persepsi
ibu bersalin, maka semakin tinggi tingkat
kepuasan,sedangkan semakin kurang
persepsi ibu, maka semakin rendah tingkat
kepuasan ibu.
Hal ini diperkuat dengan data pada Tabel 2
menunjukkan bahwa dari 11 ibu yang
memiliki persepsi yang baik, sebanyak 6
orang ibu (54,5%) yang merasa puas,
sedangkan dari 9 orang ibu yang memiliki
31
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
persepsi kurang, sebanyak 6 orang ibu
(66,7%) merasa tidak puas.
Tingkat kepuasan tidak mudah untuk
diukur, karena menyangkut perilaku yang
sifatnya sangat subjektif. Kepuasan
seseorang terhadap suatu objek bervariasi
mulai dari tingkat sangat puas, puas, cukup
puas, kurang puas, sangat tidak puas.
Dengan pelayanan yang sama untuk kasus
yang sama bisa terjadi tingkat kepuasan
yang dirasakan pasien akan berbeda-beda.
Hal ini tergantung latar belakang pasien itu
sendiri, karakteristik individu. Harapan
konsumen terhadap kualitas pelayanan
sangat dipengaruhi oleh informasi yang
diperolehnya dari mulut ke mulut,
kebutuhan–kebutuhan
konsumen
itu
sendiri, pengalamn masa lalu dalam
mengonsumsi suatu produk, hingga pada
komunikasi eksternal melalui iklan, dan
sebagainya.
Dari data–data diatas maka sangat
dibutuhkan informasi untuk meningkatkan
kualitas pelayanan baik pada segi material
maupun non material (jasa). Dengan
memberikan pelayanan yang baik dan
berkualitas diharapkan pasien/klien dapat
merasa puas sehingga dapat menarik
perhatian masyarakat yang lebih luas
untuk mau datang. Untuk itu dibutuhkan
perbenahan di berbagai aspek, baik dari
fasilitas pelayanan hingga ketrampilan
para tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan.
Ketrampilan
memberikan
informasi,
ketepatan dalam memberikan pelayanan,
sikap yang ramah dan sopan terhadap
pasien/klien juga sangat berperan dalam
menentukan kepuasan pasien.
ISSN 2085-028X
berikut:1) persepsi ibu bersalin tentang
pelayanan Jampersal di BPS Hj. Mamik
Amd, Keb Surabaya memiliki persepsi
yang baik sebanyak 55% orang; 2)
sebanyak 35% ibu bersalin di BPS Hj.
Mamik Amd, Keb Surabaya merasa cukup
puas dengan pelayanan Jampersal; 3) ada
hubungan antara persepsi ibu pelayanan
Jampersal dengan tingkat kepuasan di BPS
Hj. Mamik Amd. Keb Surabaya(p =
0,012).
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian diatas
maka dapat dikemukakan saran–saran
sebagai berikut: 1) instansipelayanan
kesehatandapat lebih memperhatikan
pelayanan yang diberikan dengan selalu
mengadakan kontrol terhadap semua
petugas kesehatan yang ada. Tenaga
kesehatan lebih mengadakan komunikasi
yang aktif kepada pasien. Selain itu
meningkatkan kualitas pelayanan dengan
memberikan fasilitas-fasilitas yang dapat
menunjang
pelayanan;
2)
instansi
pendidikanlebih memperhatikan peserta
didiknya agar dapat menjadi calon petugas
kesehatan yang profesional dan siap untuk
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat; 3) meningkatkan kesadaran
masyarakat atau ibu untuk lebih
mengetahui dan memperhatikan betapa
pentingnya pelayanan kesehatan dengan
melakukan pendekatan-pendekatan dan
melakukan komunikasi aktif kepada
pasien.
KEPUSTAKAAN
1.
KESIMPULAN DAN SARAN
2.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari persepsi 20 ibu bersalin,
maka diperoleh kesimpulan sebagai
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
3.
Anderson R, Joanna K, dkk. 1979.
Equity in Health Servic, Emperical
Analysis in Social Policy.Cambrige:
Mass Ballinger Publisher Campany.
Azwar, Azrul, H.1996. Menjaga Mutu
Pelayanan
Kesehatan.
Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Barnes, James G.2003.Secrets of
Customer
Relationship
32
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Managenent;(Terjemahan
Andreas
Winardi). Yogyakarta: Andi.
Dwiyanto, Agus.2002. Reformasi
Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta:
Pusat
Studi
Kependudukan UGM.
Gibson JL, et.al.1987. Organisasi dan
Manajemen Prilaku, Struktur, Proses.
Jakarta: Erlangga.
Kaloh J.2003. Kepala Daerah: Pola
Kegiatan dan Kekuasaan dalam
Pelaksanaan
Otonomi
Daerah.Jakarta: Gramedia Pustaka.
Kotler,
P.2003.
Marketing
Management.New Jersey: Prentice
Hall.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita.2009.
Buku Ajar Patologi Obstetri. Jakarta:
EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2007.
Penuntun
Kepaniteraan
Klinik
Obstetri dan Ginekologi;Edisi. 2.
Jakarta: EGC.
Moenir, H.A.S.1998. Manajemen
Pelayanan Umum di Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara.
Muninjaya,
Gde.
A.A.2002.
Manajemen
Mutu
Pelayanan
Kesehatan.Jakarta: EGC.
Pohan, Imbalo S.2006. Jaminan Mutu
Layanan Kesehatan.Jakarta: EGC.
Praworihardjo, Sarwono.2005. Ilmu
Bedah Kebidanan.Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
14. Schulz R. Dkk.1983. Management of
Hospital. New York: MC Grow-Hill
Book Company.
15. Sianipar, J.P.G.1999. Manajemen
Pelayanan Publik.Jakarta: LAN.
16. Sumarwanto, Edi.1994. Standart
Perilaku sebagai Upaya Peningkatan
Mutu Pelayanan.Jakarta: Cermin
Dunia Kedokteran No. 91.
17. Supranto, J.2006. Pengukuran Tingkat
Kepuasan
Pelanggan
untuk
Menangkap Pangsa Pasar. Jakarta:
Rineka Cipta.
18. Thoha,
Miftah2002.
Perilaku
Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
19. Utama,
Surya.2005.
Memahami
Fenomena Kepuasan Pasien Rumah
Sakit;Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 09; (1); 1–7.
20. Verralls, Sylvia.1997. Anatomi dan
Fisiologi
Terapan
dalam
Kebidanan.Jakarta: EGC.
21. Waworuntu, Bob.1997. Dasar-Dasar
Ketrampilan Abdi Negara Melayani
Masyarakat.Jakarta:
Gramedia
Pustaka Utama.
22. Wijono,
Djoko.2007.
Evaluasi
Program Kesehatan dan Rumah Sakit.
Surabaya: CV Duta Prima Airlangga.
33
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN
KALA II PERSALINAN DI RUMAH BERSALIN KARUNIA SIDOARJO
Beatric Maria Dwi. J. B*), Pophy Indriana**)
*) Dosen D4 Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Normal childbirth is a process of fetus expense which is happened on month
enough pregnancies, spontaneous birth with back head presentation without complication,
both mom and fetus. Older Childbirth mostly caused by power factor, passage, passenger,
mother psychology and pushing position. Lithotomic position when pushing caused uterus
contraction obstructed so mother will be tired easily in pushing. This research have aim to
identify factors that can affect in stage II rebirth fluency.
Method :This research using descriptive research design. Total population is 25 people with
a large sample of 24 people and using consecutive sample technique. The data collection
procedure on this research is doing interview and observation which then noted in
observation sheet. Then use data descriptive analysis.
Result :This research from 23 pregnant mother (95, 83%) who had a stage II rebirth fluency
obtained 21 pregnant mother (87.50%), as much as 19 pregnant mother (83.33%) with
normal passage criteria, a total of 23 pregnant mother (100%) meets the normal passenger
criteria, 13 pregnant mother (54.17%) with psychologist criteria which don’t feel anxious
and 23 pregnant mother (100%) use lithotomic position.
Conclusion :Most of the factors above can affect the smoothness of second stage rebirth.
That’s why, midwife is expected can notice power factor, passage, passenger, mother
psychology and freedom of positioning choice when pushing while giving midwifery care at
second stage rebirth activity.
Key word : Childbirth and the fluency on second period
PENDAHULUAN
Persalinan dan kelahiran merupakan
kejadian fisiologi yang normal dalam
kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga
merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan
keluarga. Peranan ibu adalah melahirkan
bayinya sedangkan peranan keluarga
adalah memberikan bantuan dan dukungan
pada ibu ketika terjadi proses persalinan.
Dalam hal ini, peranan petugas kesehatan
tidak kalah penting dalam memberikan
bantuan dan dukungan pada ibu agar
seluruh rangkaian proses persalinan
berlangsung dengan aman baik bagi ibu
maupun bagi bayi yang dilahirkan.
Persalinan dapat berjalan normal apabila
ketiga faktor fisik power, passage dan
passenger dapat bekerja sama dengan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
baik. Selain itu terdapat faktor lain yang
secara tidak langsung dapat mempengaruhi
jalannya persalinan terdiri atas psikologi,
penolong dan posisi persalinan. Dengan
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kelancaran persalinan,
maka
jika
terjadi
kelainan
atau
penyimpangan dapat segera memutuskan
intervensi persalinan untuk mencapai
kelahiran yang lancar.
Persalinan normal menurut WHO adalah
persalinan yang dimulai secara spontan
beresiko rendah pada awal persalinan dan
tetap demikian selama proses persalinan,
bayi dilahirkan spontan dengan presentasi
belakang kepala pada usia kehamilan
antara 37 hingga 42 minggu lengkap
34
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
setelah persalinan ibu dan bayi dalam
keadaan baik.
Posisi dalam persalinan dan kelahiran
sangat penting, karena akan meningkatkan
rasa nyaman pada ibu. Posisi pada saat
mengejan tergantung pada keinginan ibu
dalam memilih posisi yang paling nyaman
dirasakan oleh ibu karena hal ini dapat
membantu kemajuan persalinan, mencari
posisi mengejan yang paling efektif dan
menjaga sirkulasi utero-plasenter tetap
baik. Posisi tegak dapat memperlancar
kala II karena rasa nyeri ibu berkurang,
mengejan ibu lebih mudah, trauma
perineal
lebih
kecil
sehingga
berkesempatan
lebih
besar
untuk
melahirkan secara spontan (Johnson, R
and Taylor, W. 2004:215),sedangkan
posisi duduk atau setengah duduk serta
posisi jongkok memperlancar kala II
karena sesuai dengan gravitasi bumi
sehingga membuat ibu lebih kuat
mengejan (APN, 2007:80). Posisi litotomi
menyebabkan tidak lancarnya kala II
karena kontraksi uterus akan hilang
keefektifitasnya serta posisi ini juga dapat
menekan tulang sakru yang mengarahkan
koksigialis lebih maju atau lebih kedepan
dan mengurangi pelvic outes.[3]
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut
laporan UNICEF terbaru tercatat sebesar
240 per 100.000 kelahiran hidup. AKI
sebesar itu menempatkan Indonesia pada
urutan ke-58 tertinggi dari 166 negara.
Data Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
tertinggi se-ASEAN jumlahnya mencapai
228 per 100.000 kelahiran hidup.
Pemerintah masih dituntut bekerja keras
menurunkannya hingga tercapai target
Millennium
Development
Goal’s
(MDG’s), menurunkan AKI menjadi
102/100.000 pada tahun 2015, sedangkan
Angka Kematian Bayi (AKB) akan
diturunkan dari 34 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi kurangdari 15 (RPJMN)
dan 23 (MDG’s) (Kemenkes RI, 2010)
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Berdasarkan kantor Dinas Kesehatan
Jatim, jumlah ibu yang meninggal pada
tahun 2011 mencapai 105 per 100.000
kelahiran bayi hidup data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Sidoarjo hingga
akhir September 2009 kemarin, AKI
mencapai 113 per 100.000 KH atau sekitar
23 nyawa ibu meninggal saat melahirkan.
Partus lama merupakan salah satu dari
beberapa penyebab kematian ibu dan bayi
baru lahir. Partus lama akan menyebabkan
infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi pada
ibu dan kadang dapat terjadi perdarahan
post partum yang dapat menyebabkan
kematian ibu. Pada janin akan dapat terjadi
infeksi, cedera dan asfiksia yang dapat
meningkatkan kematian bayi. Kejadian
partus lama sebagian besar tidak lain
disebabkan karena faktor power, passage,
passenger, psikologi ibu dan posisi ibu
saat mengedan. Saat ini dalam menolong
persalinan seorang bidan atau tenaga
kesehatan yang lain harus memberikan
kebebasan kepada ibu untuk memilih
posisi yang nyaman bagi dirinya. Tetapi
posisi-posisi tersebut di atas masih terasa
asing oleh ibu karena ibu jarang
diperkenankan atau diperbolehkan untuk
memilih
posisi
sesuai
dengan
keinginannya.
Bagaimana terjadinya persalinan belum
diketahui
secara
pasti
sehingga
menimbulkan beberapa teori yang
berkaitan dengan mulai terjadinya
kekuatan his, diantaranya yaitu teori yang
menjelaskan dengan makin tua hamil,
pengeluaran estrogen dan progesteron
makin berkurang sehingga oksitosin dapat
menimbulkan kontraksi yang lebih sering,
sebagai his palsu. Oksitosin diduga
bekerjasama atau melalui prostaglandin
yang makin meningkat mulai dari umur
kehamilan minggu ke-15, disamping itu
keregangan otot rahim dapat memberikan
pengaruh penting untuk dimulainya
kontraksi rahim. Pada saat kala
pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat,
35
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
cepat dan lebih lama kira-kira 2-3 menit
sekali. Kepala janin telah turun masuk
ruang panggul sehingga terjadilah tekanan
pada otot-otot dasar panggul yang secara
reflektoris menimbulkan rasa mengedan.
Karena tekanan pada rektum, ibu merasa
ingin buang air besar dengan tanda anus
terbuka. Pada waktu his, kepala janin
mulai terlihat, vulva membuka dan
perineum
meregang.
Dengan
his
mengedan yang terpimpin, akan lahirlah
kepala dan diikuti seluruh tubuh janin.
Dalam melaksanakan kala II persalinan
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
kelancaran kala II persalinan diantaranya
power, passage, passenger, psikologis dan
posisi
dalam
persalinan.
Dalam
memberikan asuhan kebidanan pada
proses
persalinan,
seorang
bidan
diharapkan dapat memperhatikan faktorfaktor tersebut.
efisien, meningkatkan dimensi pelvis,
memudahkan
pengamatan
janin,
memberikan paparan perineum yang baik,
menyediakan daerah yang bersih untuk
melahirkan
dan
memberikan
rasa
nyaman.Beberapa ibu biasanya awalnya
tidak mau berubah atau merasa tidak perlu.
Mereka yang berubah sering terkejut
betapa lebih nyamannya dan lebih
efektifnya perubahan posisi tersebut
(Chapman, 2006:206). Apabila posisi
persalinan dengan posisi litotomi diduga
menyebabkan pengiriman oksigen melalui
darah yang mengalir dari ibu ke janin
melalui plasenta pun jadi relatif berkurang
karena letak pembuluh besar berada
dibawah posisi bayi, hal itu akan
menyebabkan kontraksi uterus terhambat
sehingga ibu akan mudah cepat lelah
dalam mengejan dan dapat mempengaruhi
kelancaran kala II.
Persalinan kala II dimulai dengan
pembukaan serviks lengkap dan berakhir
dengan
kelahiran
bayi.
Pimpinan
persalinan pada kala II lebih didasarkan
pada awitan “fase ekspulsi”, yakni saat
pertama kali wanita tanpa disadari
merasakan dorongan untuk pengeluaran
(Simkin
dan
Ancheta,
2005:86).
Persalinan
pada
primi
biasanya
berlangsung lebih lama 5-6 jam daripada
multi. Bila persalinan berlangsung lama,
dapat
menimbulkan
komplikasikomplikasi baik terhadap ibu maupun
terhadap anak dan dapat meningkatkan
angka kematian ibu dan anak.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Persalinan di
Rumah Bersalin KARUNIA
Sidoarjo Pada Bulan JanuariMaret 2012.
Tenaga kesehatan juga dianjurkan
memperbolehkan ibu untuk mencari posisi
apapun yang nyaman baginya. Posisi
dalam persalinan dan kelahiran sangat
penting, karena akan meningkatkan rasa
nyaman pada ibu. Posisi pada saat
mengejan tergantung pada keinginan ibu
dalam memilih posisi yang paling nyaman
dirasakan oleh ibu karena hal ini dapat
membantu
kemajuan
persalinan,
menghindari adanya hipoksia pada janin,
menciptakan pola kontraksi uterus yang
Berdasarkan Tabel 1 diatas, studi
pendahuluan
di
Rumah
Bersalin
KARUNIA Sidoarjo bulan Januari-Maret
2012, didapatkanjumlah persalinan di
Rumah Bersalin KARUNIA telah dicatat
jumlah ibu hamil dengan tafsiran sebagai
berikut :
1. Bulan Januari sebanyak 16 orang
(32,6%) dengan jumlah persalinan 16
orang (39%).
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
No
Bulan
1
2
3
Januari
Februari
Maret
Jumlah
Jumlah Ibu
Hamil dengan
Tafsiran
Persalinan
(TP)
16
19
14
49
Jumlah
Persalina
n
16
17
8
41
Sumber : Data sekunder Januari-Maret
2012
36
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
2. Bulan Februari sebanyak 19 orang
(38,8%) dengan jumlah persalinan 17
orang (41,5%).
3. Bulan Maret sebanyak 14 orang
(28,6%) dengan jumlah persalinan 8
orang (19,5%).
Tabel 2. Keterkaitan
Posisi
Saat
Persalinan Terhadap Lama Kala
II di Rumah Bersalin KARUNIA
Sidoarjo Pada Bulan JanuariMaret 2012.
N
o
1
2
3
4
5
6
Macammacam
Posisi
Posisi
Litotomi
Posisi
Berdiri
Posisi
Jongkok
Posisi
Merangka
k
Posisi
Duduk
atau
Setengah
Duduk
Posisi
Miring
dengan
satu kaki
diangkat
Lama Kala II
Primi
Multi
<2 >2 <1 >1
Ja
Ja
Ja
Ja
m
m
m
m
Jumla
h
Ibu
13
1
24
1
39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber : Data sekunder Januari-Maret
2012
Berdasarkan Tabel 2 diatas, survey
keterkaitan posisi saat persalinan terhadap
lama kala II di Rumah Bersalin
KARUNIA Sidoarjo pada bulan JanuariMaret 2012 telah dicatat bahwa terhadap41
orang yang bersalin dimana 37 orang
(90,2%) memakai posisi litotomi dan tidak
ditemukan kasus partus lama dan 2 orang
(4,9%) memakai posisi litotomi dan
ditemukan kasus partus lama, lalu 2 orang
(4,9%) memakai posisi merangkak dan
tidak ditemukan kasus partus lama.
Dari hasil studi pendahuluan maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
tentang gambaran faktor-faktor yang
mempengaruhi
kelancaran
kala
II
persalinan.
BAHAN DAN METODE PENELIYIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif, karena
bertujuan untuk mendeskripsikan faktorfaktor yang mempengaruhi kelancaran
kala II persalinan.(Notoatmodjo, 2010)
Penelitian ini dilaksanakan pada 9-29 Juni
2012.
Populasi
terjangkau
(finite
population) adalah bagian populasi target
yang dibatasi oleh tempat dan waktu
(Heriyanto,
2010).Populasi
pada
penelitian ini adalah semua ibu bersalin
kala II yang persalinannya di Rumah
Bersalin KARUNIA Sidoarjo pada bulan
Mei-Juni 2012 dengan total populasi 25
orang. Pada penelitian ini peneliti
mengambil sampel ibu bersalin kala II
yang persalinannya dengan menggunakan
posisi litotomi di Rumah Bersalin
KARUNIA Sidoarjo Pengambilan sampel
ini harus memenuhi syarat, sehingga
sampel
dapat
mewakili
populasi
(Soesanto, 2010:28). Karena pada
penelitian ini termasuk populasi kecil ≤
10.000 maka digunakan rumus :
Keterangan :
N = Populasi
N = Sampel
d = Penyimpangan (0,05)
Jadi sampel yang diperoleh adalah 24 ibu
bersalin. Variabel dalam penelitian ini
adalah power, passage, passenger,
psikologis ibu, posisi persalinan dan
kelancaran kala II.
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian
pada
Tabel
3
menunjukkan bahwa dari 24 ibu bersalin
di Rumah Bersalin KARUNIA Sidoarjo
Juni 2012 memiliki karakteristik sebagai
berikut:
37
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin
Ibu Bersalin Di Rumah Bersalin
KARUNIA Sidoarjo Juni 2012.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Variabel
Umur
i. <20 tahun
j. 20 – 35 tahun
k. >35 tahun
Paritas
f. Primipara
g. Multipara
h. Grandemultipara
Pendidikan
j. SD
k. SMP
l. SMA
m. PT/Diploma
Pekerjaan
h. Pegawai Negeri
i. Swasta
j. Wiraswasta
k. Ibu Rumah Tangga
Power
d. Kuat
e. Lemah
Passage
c. Normal
d. Tidak Normal
Passenger
a. Normal
b. Tidak Normal
Psikologis Ibu
a. Cemas
b. Tidak Cemas
Posisi Litotomi
a. Ya
b. Tidak
Kelancaran Kala II
a. Normal
b. Lama
Jumlah
(%)
3
19
2
12,5
79,2
8,3
13
11
0
54,2
45,8
0
0
8
12
4
0
33,3
50
16,7
0
9
1
14
0
37,5
4,2
58,3
21
3
87,5
12,5
20
4
83,3
16,7
24
0
100
0
11
13
45,8
54,2
24
0
100
0
23
1
95,8
4,2
2.
3.
4.
5.
(100%) yang mengalami persalinan
lama kala II memiliki power yang
lemah.
Sebagian besarsebanyak 19 ibu
bersalin (82,6%)mengalami persalinan
normal kala II dengan kriteria passage
yang normal dan 4 ibu bersalin
(17,4%) dengan passage yang tidak
normal, tetapi didapatkan juga dari 1
ibu bersalin (100%) yang mengalami
persalinan lama kala II dengan kriteria
passage yang normal.
Keseluruhan (100%)ibu bersalin yang
mengalami persalinan normal kala II
memenuhi kriteria passenger normal,
sedangkan dari 1 ibu bersalin (100%)
yang mengalami persalinan lama kala
II juga dengan kriteria passenger yang
normal.
Hampir sebagian besar sebanyak 13
ibu bersalin (56,5%) mengalami
persalinan normal kala II dengan
kriteria psikologis tidak merasakan
cemas, dan sebanyak 10 ibu bersalin
(43,5%) dengan kecemasan, tetapi
didapatkan juga dari 1 ibu bersalin
(100%) yang mengalami persalinan
lama kala II dengan kecemasan.
Keseluruhan (100%) ibu bersalin
mengalami persalinan normal kala II
keseluruhan ibu bersalin dengan
menggunakan
posisi
litotomi,
sedangkan dari 1 ibu bersalin (100%)
yang mengalami persalinan lama kala
II juga dengan menggunakan posisi
litotomi.
Berdasarkan Tabel 4, gambaran faktorfaktor yang mempengaruhi kelancaran
kala II persalinan berdasarkan power,
passage, passenger, psikologis ibu, dan
posisi litotomi pada ibu bersalin di Rumah
Bersalin KARUNIA Sidoarjo Juni 2012
adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar sebanyak 21 ibu
bersalin
(91,3%)
mengalami
kelancaran persalinan normal kala II
dengan power yang kuat dan 2 ibu
bersalin (8,7%) dengan power yang
lemah, sedangkan dari 1 ibu bersalin
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
38
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 4. Distribusi Kelancaran Kala II
Persalinan Berdasarkan Power,
Passage, Passenger, Psikologis
Ibu, dan posisi litotomi Di
Rumah
Bersalin
Karunia
Sidoarjo Juni 2012.
Kelancaran Kala II
No
Variabel
Normal
n
1
2
3
4
5
Power
a. Kuat
b. Lemah
Passage
a. Normal
b. Tidak Normal
Passenger
a. Normal
b. Tidak Normal
Psikologis Ibu
a. Cemas
b. Tidak Cemas
Posisi Litotomi
a. Ya
b. Tidak
%
Lama
n
segera mengakhiri proses persalinan
dengan mengejan sekuat-kuatnya. Padahal
ini justru tidak baik, selain akan
melelahkan ibu juga akan membuat jalan
lahir bengkak. Mengejan dapat dimulai
ketika pembukaan jalan lahir sudah cukup
luas untuk dilalui bayi dan telah ada
bimbingan untuk mengejan dari bidan.
%
21
2
91,3
8,7
0
1
0
100
19
4
82,6
17,4
1
0
100
0
23
0
100
0
1
0
100
0
10
13
43,5
56,5
1
0
100
0
23
0
100
0
1
0
100
0
PEMBAHASAN
1. Faktor Power
Distribusi responden berdasarkan tabel 3
yaitu power, sebagian besar 21 ibu bersalin
(87,5%) memiliki power yang kuat.Hasil
penelitian mendapatkan lebih banyak ibu
bersalin dengan power yang kuat, tetapi
didapatkan juga 3 ibu bersalin dengan
power
yang
lemah
dikarenakan
ketidaksiapan mental sangat berpengaruh
selama proses persalinan terutama
saat mengejan. Proses bersalin sendiri
sebenarnya merupakan sesuatu yang
alamiah.
Ada
banyak
hal
yang
berpengaruh terhadap kemampuan seorang
ibu untuk mengejan, antara lain usia
kurang dari 20 tahun yang seringkali
belum berpengalaman menyesuaikan
kekuatan mengedan yang baik dan usia
lebih dari 35 tahun yang mayoritas
kekuatan untuk mengedan berkurang,
keadaan kesehatan ibu yang kurang
optimal misalnya kurang gizi selama
hamil, rasa ketakutan dan trauma mental
pada saat proses peralinan yang lalu.
Seringkali ibu bersalin tidak sabar, ingin
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari
23 ibu bersalin yang mengalami
kelancaran persalinan normal kala II
sebagian besar 21 ibu bersalin dengan
power yang kuat dan 2 ibu bersalin dengan
power yang lemah, sedangkan dari 1 ibu
bersalin yang mengalami persalinan lama
kala II memiliki power yang lemah.
Berdasarkan hasil penelitian ibu yang
memiliki power kuat dengan mengalami
kelancaran kala II mayoritas didukung
oleh faktor umur yaitu berusia antara 2035 tahun dimana merupakan tahun terbaik
wanita untuk hamil karena di usia ini
kematangan organ reproduksi dan hormon
telah bekerja dengan baik serta daya tahan
tubuh masih kuat sehingga antara
kontraksi dan tenaga meneran dapat saling
bekerja sama secara maksimal untuk
melahirkan janin, sedangkan pada ibu
dengan power lemah tetapi tetap
mengalami kelancaran kala II persalinan,
pada keadaan ini faktor penolong sangat
diperlukan
dengan
dilakukannya
pemberian semangat untuk tetap bertahan
dan meyakinkan ibu bahwa persalinan
akan dapat berjalan normal serta didukung
pimpinan mengejan yang benar, begitu
pun saat relaksasi tetap diberikan cara
relaksasi yang tepat agar kekuatan
mengejan ibu bertambah.
Adapun ibu dengan power lemah yang
mengalami persalinan lama kala II
dikarenakan faktor umur lebih dari 35
tahun yang memungkinkan pada ibu
bersalin tersebut didapatkan penyakit
dalam tubuh yang menyebabkan gangguan
kontraksi serta tenaga ibu untuk mengejan.
Usaha bidan untuk tetap melakukan
39
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pimpinan dilakukan dengan tetap melihat
keadaan umum ibu dan janin sehingga
dapat dilakukan persalinan normal. Oleh
karena itu, pimpinan mengejan saat
persalinan juga mempengaruhi baik
tidaknya tenaga meneran ibu.
2. Faktor Passage
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
sebagian besar sebanyak 20 ibu bersalin
(83,3%) memilikipassage dalam batas
normal.
Berdasarkan
teori
yang
menjelaskan bahwa jalan lahir terdiri atas
panggul ibu, yakni bagian tulang yang
padat, dasar panggul, vagina dan introitus.
Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya
terhadap jalan lahir yang relatif kaku, oleh
karena itu ukuran dan bentuk panggul
harus ditentukan sebelum persalinan
dimulai.
Berdasarkan
kenyataan
hasil
penelitian, passage yang normal didapat
lebih banyak daripada passage yang tidak
normal. Sebenarnya pada saat kehamilan
telah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan,
salah satunya untuk mengukur panggul ibu
yang dapat menentukan apakah ibu dapat
bersalin secara normal atau tidak. Tetapi
tidak cukup hanya menilai ukuran panggul
ibu, terjadinya hambatan saat proses
persalinan dapat disebabkan faktor
passage yang lain seperti perineum yang
kaku. Tingkat keregangan perineum ibu
bersalin
berbeda-beda
disebabkan
beberapa faktor misalnya faktor paritas,
pada
primipara
karena
belum
berpengalaman melahirkan anak maka
otot-otot jalan lahir masih kaku sedangkan
pada multipara proses persalinan berjalan
lebih cepat karena adanya pengalaman
pada persalinan yang telah lalu dan
disebabkan oleh otot-otot jalan lahir yang
lebih lemas. Selain itu dapat pula
disebabkan
kebiasaan
ibu
untuk
melakukan senam saat hamil karena senam
hamil
dapat
memperkuat
dan
mempertahankan
elastisitas
otot-otot
dinding perut, otot-otot dasar panggul,
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
ligamentum dan perineum sehingga dapat
mengurangi resiko ruptur.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari
23 ibu bersalin yang mengalami persalinan
normal kala II sebagian besar 19 ibu
bersalin dengan kriteria passage yang
normal dan 4 ibu bersalin dengan passage
yang tidak normal, tetapi didapatkan juga
dari 1 ibu bersalin yang mengalami
persalinan lama kala II dengan kriteria
passage yang normal.
Hasil penelitian didapatkan 19 ibu
bersalin dengan passage normal yang
mengalami kelancaran persalinan kala II
dikarenakan sebagian besar memiliki umur
20-35 tahun yang artinya pada usia ini
wanita dianjurkan untuk mulai mengatur
kehamilan disebabkan jaringan alat-alat
kandungan dan jalan lahir dalam kondisi
yang baik serta pengetahuan ibu tentang
pentingnya
pemeriksaan
kehamilan
mendukung dapat dilakukannya persalinan
normal.
Adapun ibu dengan kriteria passage yang
tidak normal tetapi dapat mengalami
kelancaran kala II dikarenakan paritas
yang mayoritas adalah ibu primipara
dimana alat-alat urogenital yaitu perineum
yang relatif masih kaku kemungkinan pula
disebabkan kurangnya pengetahuan ibu
untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti
senam saat hamil untuk menjaga elastisitas
otot-otot jaringan, ligamen dan perineum
sehingga memerlukan tindakan episiotomi
agar keadaan ibu dan janin tetap dalam
kondisi baik. Dan ibu dengan passage
normal tetapi mengalami persalinan lama
kala II dapat dikatakan bahwa persalinan
lama kala II tersebut tidak berdasarkan
pada
passage
tetapi
kemungkinan
disebabkan faktor yang lain. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu
bersalin dengan kriteria passage yang
normal dapat menunjang kelancaran kala
II persalinan.
40
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
3. Faktor Passenger
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa keseluruhan ibu bersalin (100%)
memenuhi kriteria normal pada faktor
passenger.Keseluruhan
ibu
bersalin
dengan
passenger
yang
normal
dikarenakan saat hamil ibu sudah
melakukan pemeriksaan kehamilan juga
didukung dengan jumlah kunjungan yang
lebih dari 4 kali sehingga pertumbuhan
dan kondisi janin dapat termonitor. Selain
itu, secara tidak langsung pendidikan ibu
yang minimal SMP, sehingga ibu lebih
dapat menerima informasi tentang pola
istirahat, pola makan dan pola aktifitas
yang diberikan oleh bidan demi
perkembangan janin bisa normal karena
dengan adanya pengetahuan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk pola
hidup. Semakin banyak pengetahuan
seseorang maka semakin mudah orang
tersebut menerima informasi yang
diberikan dan kurangnya pengetahuan
akan menghambat perkembangan sikap
seseorag
terhadap
nilai-nilai
yang
diperkenalkan.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui
bahwa dari 23 ibu bersalin yang
mengalami persalinan normal kala II
keseluruhan ibu bersalin memenuhi
kriteria passenger normal, sedangkan dari
1 ibu bersalin yang mengalami persalinan
lama kala II juga dengan kriteria
passenger yang normal.
Hasil penelitian menyatakan semua
ibu bersalin memiliki kriteria passenger
yang normal, dikarenakan faktor-faktor
yang mendukung ibu untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan secara teratur
untuk memantau perkembangan dan
kondisi janin dalam kandungan, yakni
pendidikan
ibu
yang
minimal
berpendidikan SMP secara tidak langsung
mempengaruhi pengetahuan ibu maka
semakin mudah bagi ibu menerima
informasi yang diberikan oleh bidan selain
itu faktor pekerjaan ibu yang mayoritas
adalah ibu rumah tangga yang berarti
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
mempunyai banyak waktu dan kesempatan
untuk memeriksakan kehamilannya.
Adapun ibu dengan passenger normal
tetapi mengalami persalinan lama kala II
kemungkinan disebabkan faktor yang lain
dan ini menunjukkan bahwa sebagian
besar ibu bersalin dengan kriteria
passenger yang normal dapat menunjang
kelancaran kala II persalinan.
4. Faktor Psikologis Ibu
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
hampir sebagian besar 13 ibu bersalin
(54,2%) tidak merasakan kecemasan pada
proses persalinan.Pentingnya psikologis
tingkat kecemasan yang rendah didukung
oleh teori bahwa emosi perempuan dalam
persalinan sangat mempengaruhi reaksi
kegelisahan dan ini merupakan satu faktor
yang menyokong kelelahan mental dan
fisik yang akan dialami. Dukungan yang
penuh dari anggota keluarga penting
artinya bagi seorang ibu bersalin terutama
dukungan
dari
suami
sehingga
memberikan support moril terhadap ibu
(Rustam, 1998).
Berkaitan dengan teori bahwa sebagian
besar calon ibu terutama yang pertama kali
menghadapi persalinan akan merasa cemas
dan kurangnya pengetahuan mengenai
proses persalinan dapat menimbulkan
kecemasan pada ibu yang akan bersalin,
kecemasan juga dihubungkan dengan
pengalaman yang sudah lalu, misalnya
kesulitan pada persalinan yang lalu,
kecemasan karena anggapannya sendiri
bahwa persalinan itu merupakan hal yang
membahayakan. Sebagian besar ibu hamil
tersebut juga selalu memeriksakan
kehamilannya dan mendapat informasi
tentang
kecemasan
dan
persiapan
menghadapi persalinan. Informasi tersebut
sangat penting dan mempengaruhi pola
pikir ibu, maka dapat membawa ibu pada
suatu keyakinan akan keberhasilan dalam
persalinan, pengetahuan tersebut akan
mengarahkan pada persepsi positif
41
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehingga memotivasi ibu untuk tetap
menjaga
kehamilan
sampai
persalinan.Selain itu setiap ibu yang akan
melahirkan
memerlukan
dukungan
emosional untuk membantunya dalam
melewati proses persalinan karena dalam
persalinan dukungan sosial kemungkinan
merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari
23 ibu bersalin yang mengalami persalinan
normal kala II dengan kriteria psikologis
hampir sebagian besar 13 ibu bersalin
tidak merasakan cemas dan sebanyak 10
ibu bersalin dengan kecemasan, tetapi
didapatkan juga dari 1 ibu bersalin yang
mengalami persalinan lama kala II dengan
kecemasan.
Dengan hasil penelitian dari 23 ibu
bersalin yang mengalami persalinan
normal kala II sebanyak 13 ibu bersalin
tidak merasakan kecemasan dan 10 ibu
bersalin dengan kecemasan. Sebagian
besar calon ibu terutama yang pertama kali
menghadapi persalinan atau dikatakan
primipara akan merasa cemas dan
kurangnya pengetahuan mengenai proses
persalinan juga dapat menimbulkan
kecemasan pada ibu yang akan bersalin,
kecemasan
dapat
timbul
karena
anggapannya sendiri bahwa persalinan itu
merupakan hal yang membahayakan.Rasa
takut kepada sesuatu yang tidak diketahui,
rasa takut terhadap kesendirian dalam
mengatasi suatu pengalaman seperti
persalinan maka pendampingan anggota
keluarga pada proses persalinan dapat
mengurangi kecemasan.
Adapun ibu yang mengalami persalinan
lama kala II dengan kecemasan karena
kecemasan yang tidak teratasi juga akan
menyebabkan persalinan menjadi lama,
selain faktor psikis hal ini juga didukung
oleh faktor lain.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
5. Faktor Posisi Litotomi
Pada Tabel 3 yang menunjukkan distribusi
berdasarkan posisi litotomi dapat diketahui
keseluruhan (100%) ibu bersalin dengan
menggunakan
posisi
litotomi.Pada
kenyataan hasil penelitian didapat
sebagian besar ibu bersalin dengan posisi
litotomi
dikarenakan
kurangnya
pengetahuan ibu tentang macam-macam
posisi mengejan saat proses persalinan dan
juga
sudah
menjadi
kebiasaan
dimasyarakat bahwa dalam persalinan
menggunakan posisi litotomi sehingga ibu
pun akan merasakan kenyamanan pada
posisi tersebut karena posisi yang dirasa
nyaman dan aman oleh ibu dapat
mendukung persalinan. Posisi litotomi
juga dapat memudahkan bidan untuk
memantau kemajuan persalinan dan
membantu proses persalinan karena kepala
bayi dapat dengan mudah dimonitor,
dipegang maupun diarahkan. Bidan juga
akan lebih mudah apabila melakukan
persalinan tindakan episiotomi sehingga
laserasi dapat dikurangi.
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui dari
23 ibu bersalin yang mengalami persalinan
normal kala II keseluruhan ibu bersalin
dengan menggunakan posisi litotomi,
sedangkan dari 1 ibu bersalin yang
mengalami persalinan lama kala II juga
dengan menggunakan posisi litotomi.
Hasil penelitian didapatkan dari 23 ibu
bersalin yang mengalami persalinan
normal kala II keseluruhan menggunakan
posisi litotomi kemungkinan pada posisi
ini menunjang tenaga kesehatan untuk bisa
lebih leluasa membantu proses persalinan.
Jalan lahir pun menghadap ke depan
sehingga bidan dapat lebih mudah
mengukur perkembangan pembukaan dan
waktu persalinan pun bisa diprediksi
secara lebih akurat. Kepala bayi lebih
mudah dipegang dan diarahkan. Sehingga
apabila terjadi perubahan posisi kepala
bayi, maka bidan langsung bisa
mengarahkan pada posisi seharusnya.
42
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
Adapun ibu bersalin dengan posisi litotomi
tetapi mengalami persalinan lama kala II
karena sesuai teori bahwa posisi tersebut
bisa memakan waktu lebih lama dan
menyebabkan kelelahan pada ibu. Tetapi
tidak dapat dibuktikan karena persalinan
lama kala II juga dapat berdasarkan faktor
lain.
6. Faktor Kelancaran Kala II
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa dari sebagian besar 23 ibu bersalin
(95,8%) mengalami kelancaran persalinan
kala II normal.
Pada penelitian dapat diketahui hampir
keseluruhan ibu bersalin mengalami
kelancaran kala II. Kelancaran kala II
dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu
tenaga atau usaha mengedan dan kontraksi
uterus; jalan lahir yang dimiliki ibu pada
persalinan yaitu segmen bawah rahim,
serviks uteri dan vagina di samping itu,
otot-otot jaringan ikat dan ligamen yang
harus lemas dan mudah meregang;
penurunan presentasi janin, letak posisi
serta berat badan janin; pemberian
dukungan mental untuk mengurangi
kecemasan atau ketakutan ibu; serta
mengatur posisi ibu dalam membimbing
mengedan sesuai dengan kenyamanan
ibu.Paritas berkaitan dengan kelancaran
kala II persalinan karena mayoritas primi
membutuhkan waktu lebih lama dibanding
multi karena mekanisme pengeluaran janin
yang berbeda.
Selain itu, terjalinnya kerjasama yang baik
antara ibu bersalin dengan bidan juga
mempengaruhi lancar atau tidaknya suatu
persalinan karena bimbingan yang baik
dan benar serta dukungan atas usaha ibu
saat mengejan dapat mencegah ibu dari
kelelahan dan memberikan motivasi untuk
lebih mempertahankan kekuatan saat
persalinan.
ISSN 2085-028X
Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan dari 24 ibu bersalin, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1)
Sebanyak 87,5% ibu bersalinmemiliki
power yang kuat; 2) Sebanyak 83,3% ibu
bersalin memiliki passage dalam batas
normal; 3) 100% ibu bersalin memenuhi
kriteria normal pada faktor passenger; 4)
sebanyak 54,2% ibu bersalin dengan
kriteria psikologis tidak merasakan
kecemasan pada proses persalinan; 5)
100% ibu bersalin menggunakan posisi
litotomi; 6) Sebanyak 95,8% ibu bersalin
mengalami kelancaran kala II persalinan
normal.
Pada 23 ibu bersalin yang mengalami
kelancaran kala II persalinan berdasarkan
faktor 5P (power, passage, passenger,
psikologi
dan
posisi
persalinan)
didapatkan:1)
91,3%
ibu
bersalin
memiliki power yang kuat;2) 82,6% ibu
bersalin dengan kriteria passage yang
normal;3) 100% ibu bersalin memenuhi
kriteria passenger normal;4) 56,5% ibu
bersalin adalah ibu dengan psikologis yang
tidak merasakan cemas; dan 5) 100% ibu
bersalinmenggunakan posisi litotomi.
KEPUSTAKAAN
1. Asrinah., Putri, S dan Sulistyorini, D.
2010. Asuhan Kebidanan Masa
Persalinan.Jakarta: Graha Ilmu.
2. Baskomworld.
2011.
Persalinan
dengan
Kala
II
Memanjang.http://www.bascommetro.
com/2011/10/persalinan-dengan-kalaii-memanjang. html. Diakses tanggal
15 Maret 2012.
3. Bennet, V dan Brown, L.1993. Myles
Textbook For Midwives.New York:
Churchiil Livingstone.
4. BKKBN.2006.
Deteksi
Dini
Komplikasi
Persalinan.Jakarta:
BKKBN
5. Bobak.2004. Buku Ajar Keperawatan
Maternitas.Jakarta:
EGC.
KESIMPULAN
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
43
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KEPUTIHAN DENGAN
PERILAKU PENCEGAHAN KEPUTIHAN PADA REMAJA PUTRIDI SMP DARUL
MUTA’ALLIMINSIDOARJO
Sutjiati Dwi Handajani*) Fifit Eka Furi Astutik **)
*) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
**) Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction :Adolescence is the transition from childhood to adulthood, where changes
occur very rapidly, both changes in anatomy, physiology and psychology, and demanded to
be able to adapt to such changes. Based on a survey found nearly 80% of teenage girls said a
day tend to experience events such as vaginal discharge. The purpose of this study was to
analyze the correlation with the level of knowledge about preventive behavior whitish vaginal
discharge in young girls in middle school Darul Muta'alimin.
Method :The design of this research is analytical research. Its population is young women
junior class VII with a sample of 55 young women, probability sampling using simple random
sampling. Collecting data using questionnaires, and data analysis using cross tables and
spearmanranktest.
Result :The results showed that knowledge about the prevention of vaginal discharge vaginal
discharge with behavior agreed by 29 young women do (52,7%). Based on test results Rank
Spearman with computerized with the significance level of 0.05, the test results indicate the
significance of P = 0, 000. So on to get the value of P <(0, 05). This suggests that the Ho is
rejected and H 1 is received, which means there is a significant correlation between
knowledge of preventive behaviors whitish vaginal discharge in young girls in middle school
Darul Muta'allimin 2012.
Conclusion :From the research results can be concluded that knowledge sufficient discharge
in adolescent girls with behavior agreed to prevent it, therefore it is expected adolescents are
able to adapt well in the face of development and change yourself stepping adolescence,
whether changes in anatomy, physiology and psychology.
Keywords: KnowledgeAboutDischarge,DischargePrevention Behavior.
PENDAHULUAN
Masa Remaja juga sebagai masa peralihan
dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada
masa ini banyak terjadi perubahan dalam
hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan
tersebut dapat menyebabkan kekacauankekacauan batin pada remaja sehingga
masa remaja juga disebut sebagai “Masa
Pancaroba”. Menjadi begitu khusus dalam
hidup manusia, karena pada masa tersebut
terjadi peroses awal kematangan organ
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
reproduksi manusia yang disebut sebagai
masa pubertas.
Kesehatan Reproduksi adalah keadaan
sehat secara menyeluruh, mencakup fisik,
mental dan kehidupan sosial yang
berkaitan dengan alat, fungsi serta proses
reproduksi. Dalam kesehatan reproduksi
juga mengandung komponen hak-hak
reproduksi yang meliputihak untuk
mendapatkan kehidupan seksual dan
kesehatan reproduksi yang terbaik serta
44
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
hak untuk mendapatkan pelayanan dan
informasi.[12]
Bagi sebagian orang masalah kesehatan
reproduksi seperti, gangguan menstruasi
dan keputihan, gatal-gatal atau bau tak
sedap pada alat reproduksi yang disebakan
oleh jamur dan bakteri karena keringat dari
aktifitas kita sehari hari khususnya di
daerah yang beriklim tropis seperti di
Indonesia. Dalam ilmu kedokteran cairan
vagina disebut juga fluor albus. Fluor
albus adalah cairan putih encer atau kental
kekuningan dari lubang vagina (Maria
Dwi Karya, 2004). Fluor albus dapat
dibedakan antara lain fluor albus yang
fisiologis dan patologis. Fluor albus yang
fisiologis dapat dikatakan normal seperti
tampak bening, tidak berbau, dan tidak
menimbulkan gatal. Sedangkan fluor albus
yang patologis (abnormal) ditandai adanya
sekret yang berbeda dengan menimbulkan
gejala lain pada penderita seperti warna
kuning kehijauan, adanya perubahan
konsistensi lendir menjadi padat atau
bergumpal, bau amis, gatal, nyeri saat
buang air kecil (Junita Indarti, 2006).
Keputihan bukan merupakan penyakit
tersendiri, tetapi merupakan manifestasi
gejala dari hampir semua penyakit
kandungan. Sehingga untuk mengetahui
penyebab
utama
keputihan
harus
dilakukan dengan melakukan anamnesa
(wawancara), pemeriksaankandungan dan
pemeriksaan laboratorium.[11]
Ciri-ciri keputihan patologis seperti:
banyak ditemukan leukosit, warnanya agak
kekuning-kuningan sampai hijau, lebih
kental dan berbau, dan biasanya
disebabkan karena infeksi. Keputihan
normal jika cairan encer, berwarna bening
atau krem, tidak berbau, tidak gatal, sedikit
jumlahnya. Keputihan tidak normal jika
cairannya bersifat kental.
Fluor albus dapat juga dapat disebabkan
karena pengaruh kondisi tubuh, misalnya
seperti kekurangan gizi akibat anemi,
alergi terhadap obat yang digunakan pada
lokal vagina (disekitar liang senggama)
atau juga mungkin alergi terhadap sperma
dari lawan jenisnya, tetapi bisa juga akibat
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
pemakaian obat kortikosteroid (campuran
hormon) atau antibiotik yang berlebihan,
termasuk pil KB dan pengaruh iritasi
peradangan atau luka lecet setempat.
Beberapa infeksi alat kandungan seperti
vaginitis,
gonorre,uretritis
gonorre,
kondiloma akuminata, herpes genetalia,
kandidiasis,
trikomoniasis,
bacterial
vaginosis dan lainnya sering ditandai
dengan adanya flour albus yang menjadi
gejala utamanya. Hampir semua wanita
pernah mengalami keputihan, bahkan ada
yang sampai merasa sangat terganggu.
Namun, rasa malu untuk diperiksa pada
bagian bawah tubuh yang satu ini, sering
kali mengalahkan keinginan untuk
sembuh. Belum lagi masyarakat kita yang
tidak terbiasa memeriksa alat kelaminnya
sendiri, sehingga kalau ada gangguan
tertentu tidak segera bisa diketahui. Rasa
malu untuk periksa ke dokter juga
menyebabkan banyak wanita mencoba
untuk mengobati keputihannya sendiri,
baik dengan obat yang dibeli di toko obat,
maupun dengan ramuan tradisional.
Apabila pengobatan yang dilakukan tidak
sesuai dengan jenis penyebab keputihan
tersebut, tentu saja pengobatan akan siasia. Semestinya rasa malu tersebut dibuang
jauh-jauh, apalagi jika mengingat betapa
seriusnya akibat yang dapat ditimbulkan
oleh keputihan yang berkepanjangan tanpa
penanganan yang tuntas. Fluor albus juga
merupakan tanda bahaya dari penyakit
kanker, infeksi pada alat reproduksi dan
kemandulan. Untuk mencegah hal-hal
diatas maka perlu dilakukan upaya
pengobatan atau pencegahan efektif
dengan menjaga kebersihan diri, salah
satunya dengan vulva hygiene yang benar.
Dengan
pengetahuan
yang
cukup
mengenai keputihan diharapkan remaja
mempunyai sikap yang positif dalam
menghadapi dan mengatasi keadaan
tersebut. Sikap yang tidak tepat akan
membawa dampak yang merugikan
seperti, semakin meluasnya infeksi ke
45
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
rongga rahim dan saluran telur atau rongga
panggul. Dalam hal ini remaja sering kali
kekurangan informasi dasar mengenai
kesehatan reproduksi, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi yang
terjangkau dan terjamin kerahasiaannya.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu
dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek
tertentu (Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari objek penelitian atau
responden, kedalaman pengetahuan yang
ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut
diatas.Tingkat pengetahuan dikarakteristik
menjadi: [15]
- Pengetahuan baik= 76%-100%
- Pengetahuan cukup= 56%-75%
- Pengetahuan kurang = ≤ 55%
dorongan keingintahuan anak.Kurangnya
informasi secara terbuka antara orang tua
dengan
remaja
dapat
memperkuat
munculnya perilaku yang menyimpang.
Informasi tentang kesehatan remaja mulai
diperkenalkan dan dilaksanakan dalam
lingkungan keluarga, teman sebaya, dan
sumber media lainnya untuk meningkatkan
pengetahuan. Bahkan program kesehatan
remaja juga diperkenalkan melalui instansi
sekolah dalam UKS melibatkan petugas
kesehatan. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa keluarga, teman sebaya,
guru, tenaga kesehatan, dan sumber media
lainnya merupakan sumber informasi bagi
remaja.
Perilaku Pencegahan keputihan tergantung
penyebabnya, dibawah ini beberapa hal
yang perlu diperhatikan supaya terhindar
dari keputihan: 1) jaga kebersihan pribadi
seperti alat kelamin. Cuci alat kelamin
setiap hari sewaktu mandi; 2) cara
membilas harus dilakukan dengan benar
yaitu setelah buang air besar dimulai dari
alat kelamin kearah dubur; 3) kurangi
makanan dan minuman yang manis-manis,
makanan /minuman yang manis dapat
menyebabkan tingginya kadar gula
didalam air kencing, keadaan ini dapat
menyuburkan
bakteri;
4)
kurangi
penggunaan celana dalam yang ketat atau
dari bahan yang mudah menyerap
keringat; 5) jangan menggunakan celana
dalam orang lain karena kemungkinan
tertular infeksi jamur candida, trikomonas
cukup besar; 6) gunakan antiseptik cair
seperti betadine vaginal kit dan dettol
untuk membersihkan alat kelamin setelah
berenang.
Menurut L.Green (2001), pengetahuan
seseorang tentang keputihan merupakan
hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
seseorang
melakukan
penginderaan
terhadap perilaku pencegahan keputihan.
Keluarga atau orang tua diharapkan
mampu memberikan pengalaman kepada
anak dalam berbagai bidang kehidupan
sehingga anak memiliki informasi yang
banyak. Cara-cara yang digunakan dengan
memberi dukungan dan kesempatan
kepada anak untuk merealisasikan dan
menghargai ide-idenya, dan memuaskan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Perilaku pencegahan keputihan dapat
dibedakan menjadi: 1) faktor Internal yaitu
karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya
tingkat pendidikan, tingkat emosional,
konsep diri, jenis kelamin, dan sebagainya;
2) faktor Eksternalyaitu lingkungan, baik
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan
ini merupakan faktor dominan yang
mewarnai perilaku seseorang dalam
menjaga kesehatan reproduksi, karena
seseorang akan cenderung menyesuaikan
dan mengikuti perilaku pencegahan
keputihan sesuai dengan kebiasaan yang
ada di lingkungannya.
Berdasarkan data statistik Indonesia tahun
2009 dari 43,3 juta jiwa remaja berusia 1524 tahun di Indonesia berperilaku tidak
46
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
sehat. Remaja putri Indonesia dari 23 juta
jiwa berusia 15-24 tahun 83,3% pernah
berhubungan seksual, yang merupakan
salah satu penyebab terjadinya keputihan.
Berdasarkan data statistik tahun 2010,
jumlah remaja putri Jawa Tengah yaitu 2,9
juta jiwa berusia 15-24 tahun, 45% pernah
mengalami keputihan. (BKKBN, 2009).
Dari latar belakang diatas dan dari hasil
pra survey yang dilakukan dengan
melakukan wawancara langsung kepada
remaja putri kelas VII di SMP Darul
Muta’allimin Sidoarjo didapatkan bahwa
dari 8 remaja putri (80%) mengatakan
dalam sehari remaja putri cenderung
mengalami kejadian keputihan seperti
pada waktu sebelum dan setelah
menstruasi, dan jika banyak pikiran. Hal
ini disebabkan oleh faktor penyebab
kurangnya pengetahuan dan minimnya
informasi yang diperoleh, serta belum
mengerti tentang bagaimana menjaga
kebersihan alat kelamin, serta cara
pencegahannya. Sedangkan 3 orang (30%)
yang
lain
tidak
memperdulikan
keadaannya. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
tentang Hubungan tingkat pengetahuan
tentang keputihan dengan perilaku
pencegahan keputihan pada remaja putri
kelas VII di SMP Darul Muta’allimin
Sidoarjo.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan
analitik yang bertujuan menganalisa
hubungan dua variabel yaitu variabel
tingkat pengetahuan keputihan dan
perilaku pencegahan keputihan pada
remaja putri. Jenis penelitian ini adalah
bersifat observasional karena berusaha
menggali informasi pada objek penelitian
tanpa adanya suatu perlakuan dalam
penelitian.
Berdasarkan
waktunya,
penelitian ini bersifat cross sectional,
karena mengkaji keadaan objek dan
pengukuran variabelnya baik respon
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
maupun efek
bersamaan.[15]
dilakukan
pada
waktu
Pada penelitian ini populasinya adalah
Remaja putri kelas VII di SMP Darul
Mutta’allimin Sidoarjo pada bulan MaretApril 2012 sebanyak 64 orang. Sampelnya
adalah remaja putri kelas VII yang sudah
menstruasi di di SMP Darul Mutta’allimin
Sidoarjo. Besar Sampel :
N
n
1  N(d) 2
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan (0,05)
Jadi besar sampel dalam penelitian ini
sebanyak 55 responden.
Dalam penelitian ini cara pengambilan
sampel menggunakan
simple random
sampling yaitu dengan cara membuat
daftar (list) unit populasi kemudian
dilotre.Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah pengetahuan tentang
keputihan. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah perilaku pencegahan
keputihan.
Pengumpulan
data
menggunakan
kuesioner dan respondennya adalah remaja
putri di kelas VII SMP Darul
Muta’allimin. Alat pengumpulan data
menggunakan kuesioner tertutup dan
berstruktur dimana kuesioner tersebut
dibuat
sedemikian
rupa
sehingga
responden hanya tinggal memilih atau
menjawab pada jawaban yang sudah ada
(Hidayat, 2008).
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
Uji
Korelasi
Rank
Spearman. Uji ini digunakan untuk
mengukur tingkat atau eratnya hubungan
antara dua variabel yang berskala ordinal.
HASIL PENELITIAN
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa :
47
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
1. Usia remaja putri tertinggi berusia 13
tahun sebanyak 61,8% dan terendah
berusia 14 tahun sebanyak 5,5%.
2. Perolehan informasi tertinggi remaja
putri
tentang
pengetahuan
keputihansebanyak 60% dari orang tua
dan terendahsebanyak 9,1%diperoleh
dari sekolah.
3. Pengetahuan tentang keputihan pada
remaja
putri
sebanyak69,1%pada
kategori cukup, dan sebanyak9,1%pada
kategori kurang.
4. Perilaku
pencegahan
keputihan
sebagian besar pada kategori setuju
sebanyak 52,7%remaja putri, dan
sebagian kecil kategori sangat tidak
setuju sebanyak 10,9% remaja putri.
ISSN 2085-028X
Tabel 1. Distribusi
Frekuensi
Karakteristik Remaja Putri di
SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo
2012.
No
Variabel
1
Umur
l. 11 tahun
m. 12 tahun
n. 13 tahun
o. 14 tahun
Sumber Informasi
n. Orang Tua
o. Sekolah
p. Media Masa
q. Lain-lain
Pengetahuan Keputihan
l. Baik
m. Cukup
n. Kurang
Perilaku Pencegahan
i. Sangat tidak setuju
j. Tidak setuju
k. Setuju
l. Sangat setuju
2
3
4
Jumlah
(%)
0
18
34
3
0
32,7
61,8
5,5
33
5
11
6
60
9,1
20
10,9
12
38
5
21,8
69,1
9,1
6
12
29
8
10,9
21,8
52,7
14,6
Setelah
dilakukan
perhitungan
menggunakan uji korelasi Rank Spearman
dengan komputerisasi dengan tingkat
kemaknaan
sebesar 0,05, hasil uji
menunjukkan nilai signifikasi p = 0,000.
Sehingga didapatkan nilai p<
(0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa Ho ditolak
dan H1 diterima yang artinya ada
hubungan
yang
signifikan
antara
pengetahuan tentang keputihan dengan
perilaku pencegahan keputihan pada
remaja putri di SMP Darul Muta’allimin
tahun 2012.
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan hasil
tabulasi silang bahwa nilai tertinggi
didapatkan pada remaja putri yang
memiliki pengetahuan cukup dengan
perilaku
setuju dalam pencegahan
keputihan sebanyak 69% remaja putri.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
48
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Tabulasi Silang AntaraTingkat Pencegahan Dan Perilaku Pencegahan Keputihan
Pada Remaja Putri di SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo 2012.
No
1
2
3
Pengetahuan
Tentang Keputihan
Baik
Cukup
Kurang
Perilaku Pencegahan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak Setuju
Setuju
n
%
n
%
n
%
6
50
5
41,7
1
8,3
0
0
7
18,4
26
68,8
0
0
0
0
2
40,0
p = 0,000
Sangat setuju
n
0
5
3
%
0
13,2
60,0
PEMBAHASAN
Diketahui dari Penelitian yang dilakukan pada remaja putri tentang pengetahuan keputihan di
SMP Darul Muta’allimin Sidoarjo tahun 2012, bahwa nilai tertinggi pengetahuan remaja putri
tentang keputihan pada kategori cukup sebanyak 69,1%. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan sebagaimana yang telah didapatkan dari data umum hasil
penelitian diantaranya berkaitan dengan umur dan sumber informasi.
Pengetahuan seseorang remaja putri dapat dipengaruhi dengan usia, sebagaimana data yang
didapatkan nilai terbesar dikategorikan pada usia 13 tahun sebanyak 61,8%. Dalam hal ini
sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa Kriteria umur remaja merupakan salah satu
sasaran dari pendidikan salah satunya pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Kelompok
umur 10-13 tahun sebaiknya pendidikan kesehatan yang diberikan adalah proses reproduksi
yang bertanggung jawab dan perkembangan fisik dan kematangan seksual remaja. Sedangkan
usia 14-19 tahun ditambahkan dengan pengenalan alat reproduksi, kehamilan, dan infeksi
organ reproduksi.
Dalam hal ini dari seluruh jumlah remaja putri juga pernah mendapatkan sumber informasi
tentang pengetahuan keputihan dan mayoritas sebanyak 60% remaja putri sebagian besar
mendapatkan sumber informasi tentang pengetahuan keputihan dari orang tua. Informasi
tentang kesehatan remaja mulai diperkenalkan dan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga,
teman sebaya, dan sumber media lainnya untuk meningkatkan pengetahuan. Bahkan program
kesehatan remaja juga diperkenalkan melalui instansi sekolah dalam UKS melibatkan petugas
kesehatan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa keluarga, teman sebaya, guru, tenaga
kesehatan, dan sumber media lainnya merupakan sumber informasi bagi remaja.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa remaja putri yang sebagian besar berperilaku
setuju sebanyak 52,7% remaja putri. Dari hasil data diatas dapat diamati dan dibaca bahwa
perilaku yang mayoritas cukup tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi diantaranya
pengetahuan. Berdasarkan data yang didapatkan bahwa 69,1% remaja putri dari 55 remaja
putri didapatkan remaja memiliki pengetahuan yang cukup.
Sesuai dengan teori perilaku merupakan suatu kegiatan aktivitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan, sehingga dimaksud dengan perilaku manusia pada hakekatnya adalah
tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri, baik yang diamati langsung maupun yang
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
49
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
tidak diamati oleh pihak luar. Dan perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya(Notoatmodjo, 2007).
Pada penelitian ini banyak remaja putri yang memiliki perilaku setuju dalam melakukan
pencegahan keputihan dikarenakan adanya pengaruh pengetahuan yang cukup dalam
penerimaan atau memahami tentang cara pencegahan keputihan dan perilaku mereka sudah
terbentuk dengan adanya interaksi antara manusia dan lingkunganya serta tindakan mereka
dapat dilakukan sehari-hari.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa remaja putri mendapatkan sumber informasi
tentang pengetahuan keputihan sebagian besar dari orang tua sebanyak 60% dan sebagian
kecil sumber informasi didapatkan dari sekolah sebanyak 9,1%.
Fakta diatas menunjukkan sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa perilaku yang
positif melakukan didasari oleh pengetahuan. Dan perilaku seseorang dibentuk melalui
sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya
(Notoatmodjo, 2007).
Setelah dilakukan perhitungan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan
komputerisasi dengan tingkat kemaknaan
sebesar 0,05, hasil uji menunjukkan nilai
signifikasi p = 0, 000. Sehingga di dapatkan nilai p< . Hal ini menunjukkan bahwa Ho
ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan
tentang keputihan dengan perilaku pencegahan keputihan pada remaja putri di SMP Darul
Muta’allimin tahun 2012.
Berdasarkan hasil tabulasi prosentase tertinggi dikategorikan pada pengetahuan cukup
dengan perilaku setuju melakukan pencegahan keputihan sebanyak 68,8% remaja putri. Hal
ini sesuai teori, bahwa perilaku yang melakukan didasari oleh pengetahuan. Dan perilaku
seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan
lingkungannya.
Pernyataan diatas saling berkesinambungan dengan kata lain sebanding karena fakta
dilapangan sesuai dengan teori yang ada. Akan tetapi disisi lain didapatkan dari hasil tabulasi
prosentase terendah dikategorikan pada pengetahuan baik dengan perilaku setuju sebanyak
8,3%, pengetahuan cukup dengan perilaku sangat tidak setuju sebanyak 13,2%, dan
pengetahuan kurang dengan perilaku setuju sebanyak 40%. Fakta diatas menunjukkan sesuai
dengan teori yang dikemukakan bahwa perilaku yang melakukan didasari oleh pengetahuan.
Data–data diatas menunjukkan bahwa remaja putri sangat membutuhkan informasi untuk
diberikan arahan yang baik dan benar supaya dapat diberikan pengetahuan tentang keputihan
terhadap perilaku pencegahan keputihan padaremaja putri untuk mencegah adanya keputihan.
Karena adanya perilaku pencegahan keputihan iniakan berpengaruh atas munculnya aspekaspek perilaku pencegahan keputihan seperti aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, aspek
identitas diri, aspek emosi, aspek penyesuaian. Sehingga pengetahuan tentang keputihan yang
cukup dan perilaku setuju dalam melakukan pencegahan keputihan dibutuhkan konseling atau
penyuluhan tentang cara pencegahan keputihan pada remaja putri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
50
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari tingkat pengetahuan tentang keputihan
dengan perilaku pencegahan keputihan pada 55 remaja putri kelas VII, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:: 1) pengetahuan tentang keputihan pada remaja putri sebanyak
69%remaja putri pada kategori cukup; 2) dalam melakukan pencegahan keputihan sebanyak
52% remaja putri berperilaku setuju; 3) ada hubungan antara pengetahuan cukup dengan
perilaku setujumelakukan pencegahan keputihan p = 0,000,sehingga didapatkan nilai p< .
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian diatas maka dapat dikemukakan saran–saran sebagai berikut:
1) menggunakan penelitian ini sebagai acuandan referensi dalam pembelajaran materi
mengenai kesehatan reproduksi; 2) menjadikan penelitian ini sebagai masukkan untuk
melakukan penelitian selanjutnyadengan harapan dapat dilakukan pengkajian lebih luas dan
lebih seksama mengenai pengetahuan tentang keputihan dan perilaku pencegahan keputihan
pada remaja putri, sehingga hasil yang didapat menjadi lebih baik dan dapat melengkapi
kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini; 3) informasi tentang tahap perkembangan
kesehatan reproduksi remaja khususnya tentang pengetahuan keputihan dan mengetahui
perilaku pencegahan keputihan diketahui oleh para remaja putri.
KEPUSTAKAAN
1. Andira, Dita. 2010. Seluk-Beluk Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogjakarta: A Plus
Books.
2. Dalimartha, S. 2002. Tumbuhan Obat Untuk Mengatasi Keputihan. Jakarta: Puspa Swara.
3. DepKes RI. 2003. Materi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).Jakarta: DepKes.
4. DepKes RI. 2002. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.Jakarta: DepKes.
5. Glasier,Gebbie.1998. Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.
6. Hamilton, Persis Mary. 2002. Prosedur Perawatan Vulva dan Perineum.Jakarta: EGC.
7. Hidayat, A.Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
Data.Jakarta: Salemba Medika.
8. Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapus.
9. M,Agus. 2000. Tubuh Wanita Modern. Jakarta: Elex Media Komputindo.
10. Moeliono, Laurike. 2003. Proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta:
PKBI.
11. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.Jakarta:
ARCAN.
12. _____________________. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri
Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC.
13. _____________________. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB Untuk
Pendidikan Bidan.Jakarta: EGC.
14. Nursalam, Pariani, S. 2001. Pendekatan Praktik Metodologi RisetKeperawatan. Jakarta:
Sagung Seto.
15. PKBI. 2003. Dinamika Remaja (Suplemen Masa Transisi). Jakarta: Depkes RI.
16. Sarwono, Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo.
17. Sianturi, M. 2004. Keputihan. Jakarta: FKUI.
18. Sudarsono.2001. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
19. Soetjiningsih. 2004. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.Jakarta:
EGC.
20. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
51
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
21. Wicaksono, B.2001. Mengenal Penyakit Hubungan Seksual.Jakarta: Pioner Jaya.
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS
DI RUANG POLI PENYAKIT DALAM RSUD SIDOARJO
Tri Ratih Agustina*), Imam Edy Bachtiar**)
*) Dosen prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Diabetes Mellitus is of public health problems that require treatment as well,
given the frequency are high enough where the increase with increasing attention to the lack
of activity, lack of knowledge about to diabetes mellitus, and eating less regularly. This study
aims to determine whether there is relationship Obesity With Diabetes Mellitus In Genesis
Poly Space Medicine Hospital Sidoarjo.
Method : This research method using analytical research methods in Observational and
approach Cross-sectional design. The population research were 30 persons obese. Sample
were taken sample techniques, sampling consisting of 28 persons obese. Data were collected
by observation and medical records, and analysis using spearman rank correlation.
Result : The results showed a majority of obese patients were as many as 12 people (42.9%)
and affected the incidence of diabetes mellitus were 19 people (67.9%). uji spearman rank
correlation results of obesity with the incidence of diabetes mellitus was found that p =
0.000, α = 0.05 then p <α so that H ₒ rejected and H1 accepted which means there
Corelation With Obesity Diabetes Mellitus Disease incidence in the Space Poly Sidoarjo
Hospital Medicine.
Conclusion : From the data obtained by the need to reduce excessive food and lifestyle
change with exercise in order to decrease obesity because obesity can affect diabetes
mellitus.
Keywords : Obesity, Diabetes Mellitus
PENDAHULUAN
Obesitas didefinisikan sebagai suatu
kelebihan lemak dalam tubuh. Secara
klasik obesitas telah diidentifikasikan
sebagai kelebihan berat badan lebih dari
20% dari berat badan ideal. Obesitas tidak
mempunyai penyebab tunggal, tetapi
merupakan gambaran berbagai keadaan
dengan latar belakang etiologi atau sejarah
kejadian yang berbeda (Agus K. Budianto,
2002).
Kegemukan (obesitas) sebenarnya tidak
identik dengan kelebihan berat badan,
melainkan terkait dengan komposisi tubuh
dimana terjadi kelebihan lemak. Kelebihan
lemak tubuh inilah yang brkaitan dengan
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
kejadian metabolic syndrome, yang
merupakan resiko gangguan kesehatan
pada obesitas. Telah diketahui bahwa
obesitas
terkait
dengan
metabolic
syndrome yang merupakan awal terjadinya
penyakit degenerasi seperti hypertensi,
diabetes mellitus, dyslipidemia, jantung
koroner, stroke, dan kanker (Oetomo,
2011).
Penimbunan lemak yang berlebihan
dibawah diafragma dan di dalam dinding
dada bisa menekan paru-paru, sehingga
timbul gangguan pernafasan dan sesak
nafas,
meskipun
penderita
hanya
melakukan
aktivitas
yang
ringan.
Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat
tidur dan menyebabkan terhentinya
52
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
pernafasan untuk sementara waktu (tidur
apneu), sehingga pada siang hari penderita
sering merasa ngantuk.
Seseorang yang menderita obesitas
memiliki permukaan tubuh yang relatif
lebih sempit dibandingkan dengan berat
badannya, sehingga panas tubuh tidak
dapat dibuang secara efisien dan
mengeluarkan keringat yang lebih banyak.
Sering ditemukan edema (pembengkakan
akibat penimbunan sejumlah cairan) di
daerah tungkai dan pergelangan kaki.
Diabetes Melitus merupakan salah satu
penyakit yang menyertai penderita
obesitas. Demikian juga merupakan suatu
kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena
adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat penurunan sekresi insulin yang
progresif di latar belakangi oleh resistensi
insulin. Penyakit ini merupakan penyakit
metabolik yang diletupkan oleh interaksi
berbagai faktor : genetik, imunologik,
lingkungan dan gaya hidup (Sidartawan
Soegondo, dkk, 2009).
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan
oleh
karena
adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif di
latar belakangi oleh resistensi insulin
(Sidartawan Soegondo, dkk, 2009).
Penyakit Diabetes Melitus tidak hanya
disebabkan oleh faktor keturunan tetapi
juga kebiasaan hidup dan lingkungan.
Orang yang membawa gen diabetes,
belum tentu akan menderita penyakit gula,
karena masih ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit
Diabetes Melitus pada seseorang yaitu
(Endang Lanywati, 2001) :
7. Makan yang berlebihan
Makan yang berlebihan menyebabkan
gula dan lemak dalam tubuh menumpuk
secara berlebihan.
8. Obesitas (kegemukan)
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
Orang gemuk dengan berat badan lebih
dari 90 kg cenderung memiliki peluang
lebih besar untuk terkena penyakit
diabetes militus.
9. Faktor genetik
Gen penyebab diabetes mellitus akan
dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus.
10.
Kurang gerak atau jarang olahraga
Pada orang yang kurang gerak dan
jarang olah raga, zat makanan yang
masuk dalam tubuh tidak dibakar, tetapi
ditimbun dalam tubuh sebagai lemak
dan gula.
11.
Penyakit dan infeksi pada pankreas
Infeksi mikroorganisme dan virus pada
pankreas juga dapat menyebabkan
radang pankreas yang otomatis akan
menyebabkan fungsi pankreas turun
sehingga tidak ada sekresi hormonhormon untuk proses metabolisme
tubuh termasuk insulin.
12.
Kehamilan
Ibu
akan
menambah
konsumsi
makanannya dan jika produksi insulin
kurang mencukupi untuk mengolahnya
maka akan timbul gejala Diabetes
Mellitus.
Di Indonesia menurut data WHO pada
tahun 2009 mencapai 8 juta jiwa dan
diprediksi akan meningkat menjadi lebih
dari 21 juta jiwa pada tahun 2025. Itu yang
membuat Indonesia menempati peringkat
empat negara dengan jumlah penderita
terbanyak di dunia. Terbukti di kabupaten
atau kota di Indonesia di antaranya berasal
dari kelompok masyarakat yang terlanjur
mengubah gaya hidup tradisional menjadi
gaya modern, dengan jumlah pengidap
diabetes dengan riwayat obesitas sebanyak
4,5 juta jiwa.
Dari studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti di ruang Poli Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo pada tahun 2009 terdapat
856 pasien diabetes mellitus dan 358
pasien yang menderita DM dengan riwayat
obesitas, pada tahun 2010 terdapat 924
pasien DM dan 477 pasien yang
53
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
mempunyai riwayat obesitas meningkat
12%, sedangkan bulan Desember 2011
terdapat 55 Orang penderita baru yang
menderita diabetes mellitus, di antaranya
ada 30 orang (55%) yang mempunyai
riwayat obesitas.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian analitik adalah penelitian
Observasional dan Pendekatan Cross
sectional. Populasi penelitian adalah orang
yang mengalami obesitas yang berkunjung
ke ruang Poli Penyakit Dalam di RSUD
Sidoarjo. Pada bulan Desember tahun
2011, terdapat 30 orang yang mempunyai
kegemukan (obesitas). Jumlah sampel
yang diperlukan pada penelitian ini adalah
sebanyak 28 responden.
Teknik sampling yang digunakan adalah
aksidental
sampling
yaitu
cara
pengambilan sampel yang dilakukan
dengan kebetulan bertemu. Variabel bebas
(Dependen) adalah Obesitas. Variabel
tergantung (Independen) adalah kejadian
Diabetes Mellitus.
Dalam penelitian ini instrumen yang
digunakan untuk pengumpulan data adalah
observasi langsung kepada responden di
ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo serta Data umum tentang
Diabetes Mellitus dengan riwayat obesitas
di ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo dan data penunjang lainnya
melalui Rekam medik dan dokumentasi.
Analisa data dilakukan dengan analisis
bevariate yang dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau
berkolerasi. Dalam analisis ini dapat
dilakukan pengujian statistik yakni
Kolerasi Rank Spearman.
ISSN 2085-028X
orang yang obesitas dengan karakteristik
sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik
Pasien Obesitas Yang Berkunjung Di
Ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo Bulan Mei 2012
No
Variabel
1
Jenis Kelamin
p. Laki-laki
q. Perempuan
Umur
r. 21-30 tahun
s. 31-40 tahun
t. 41-50 tahun
u. 51-60 tahun
v. 61-70 tahun
Pendidikan
o. SD/sederajat
p. SMP/sederajat
q. SMA/sederajat
r. Perguruan Tinggi
Pekerjaan
m. Swasta/Wiraswasta
n. Tidak bekerja
Obesitas
f. Ringan
g. Sedang
h. Berat
Kejadian Diabetes
Mellitus
e. Terjadi DM
f. Tidak terjadi DM
2
3
4
5
6
n
(%)
15
13
53,6
46,4
2
1
12
10
3
7,1
3,6
42,9
35,7
10,7
4
7
13
4
14,3
25
46,4
14,3
21
7
75
25
11
12
5
39,2
42,9
17,9
41
104
28
72
Tabel 2. Tabulasi Silang Frekuensi
Obesitas Terhadap Kejadian Diabetes
Mellitus Di Ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo Bulan Mei 2012.
No
1
2
3
Kejadian Diabetes
Mellitus
Obesitas
Tidak
Terjadi
terjadi
∑
%
∑
%
Ringan
3
27,2 8
72,8
Sedang
11 91,7 1
8,4
Berat
5
100 0
0
p = 0,000
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian pada pasien obesitas yang
berkunjung diruang Poli Penyakit Dalam
di RSUD Sidoarjo, yang terdiri dari 28
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Hasil uji Kolerasi Rank Spearman obesitas
terhadap kejadian diabetes mellitus
didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05
maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1
54
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
diterima artinya ada Hubungan Obesitas
Dengan Kejadian Penyakit Diabetes
Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo.
ISSN 2085-028X
Dari hasil penelitian menjelaskan bahwa
dari 28 orang sebagian besar terjadi
diabetes mellitus sebanyak 19 orang
(67,9%), dan tidak terjadi diabetes mellitus
sebanyak 9 orang (32,1%).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dari
28 orang sebagian besar obesitas ringan
sebanyak 11 orang (39,2%), obesitas
sedang sebanyak 12 orang (42,9%) dan
obesitas berat sebanyak 5 orang (17,9%).
Dan orang yang terkena obesitas paling
banyak terdapat pada obesitas sedang
sebanyak 12 orang (39,2%).
Berdasarkan hasil pengamatan di ruang
Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo
penyebab obesitas pada pasien yang
berkunjung
karena
kurangnya
aktivitas/olah raga dan makan yang kurang
teratur, walaupun di ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo telah diberikan
penyuluhan dan brosur oleh para perawat
dan dokter disana tentang bahaya bagi
kesehatan terutama penyakit diabetes
mellitus, tetapi para pasien yang
berkunjung di sana kurang memperhatikan
penyuluhan tersebut, hal ini dapat
berdampak kurangnya pengetahuan pada
pasien yang berkunjung disana, tetapi
obesitas bukan penyebab utama diabetes
mellitus, ada beberapa faktor- faktor yang
berkaitan dengan kejadian diabetes
mellitus yaitu genetik, kurang bergerak/
jarang berolah raga, makan yang
berlebihan, penyakit dan infeksi pada
pangkreas dan kehamilan. Dan di dukung
oleh
penelitian
sebelumnya
yang
dilakukan di Desa Bendosari Kecamatan
Ngantru Tulungagung pada tahun 2004
yang berjudul Hubungan Antara Obesitas
Dengan Kejadian Penyakit Diabetes
Mellitus Pada Masyarakat di Desa
Bendosari
Kecamatan
Ngantru
Tulungagung yang menghasilkan ada
hubungan antara obesitas dengan kejadian
diabetes mellitus.
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Dalam keadaan normal, jika terdapat
insulin, asupan glukosa (atau produksi
glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori
akan disimpan sebagai glikogen dalam selsel hati dan sel-sel otot. Proses
glikogenesis ini mencegah hiperglikemia
(kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada
Diabetes Mellitus glukosa tidak dapat
melewati membran sel, sehingga sel-sel
kekurangan makanan, hal ini disebabkan
oleh berkurangnya cadangan gula dalam
tubuh
sehingga
tubuh
berusaha
memperoleh cadangan gula dari makanan
yang diterima dengan memperbanyak
asupan makanan (poliphagia). Apabila
insulin
tidak
mencukupi
untuk
mempertahankan kadar gula normal,
menyebabkan kadar gula dalam darah
meningkat, dimana saat kadar gula dalam
darah melebihi ambang ginjal sehingga
merangsang tubuh untuk mengeluarkannya
melalui air kencing dengan frekuensi yang
sering (poliuria). Untuk menghindari tubuh
kekurangan cairan akibat dari sering
kencing tadi secara otomatis akan timbul
rasa haus yang menyebabkan keinginan
untuk terus minum (polidipsi). Pada
diabetes dimana didapatkan jumlah insulin
yang kurang atau pada keadaan kualitas
insulinnya tidak baik (resitensi insulin),
meskipun insulin ada dan reseptor juga
ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel
itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak
dapat terbuka tetap tertutup hingga glukosa
tidak dapat masuk sel untuk dibakar
(dimetabolisme). Akibatnya glukosa tetap
berada diluar sel, sehingga kadar glukosa
dalam darah meningkat (Soegondo, S, dkk,
2009).
Berdasarkan hasil pengamatan di ruang
Poli penyakit Dalam RSUD Sidoarjo
penyebab diabetes mellitus pada pasien
yang berkunjung karena masih banyak
55
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
kurangnya perhatian aktivitas/olah raga
untuk menurunkan berat badan, kurang
pengetahuan tentang bahaya obesitas yang
menyebabkan diabetes mellitus, dan
makan yang kurang teratur, hal ini dapat
berdampak buruk pada kesehatan pasien
yang berkunjung di poli penyakit dalam
RSUD Sidoarjo. Dan di dukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Desa Bendosari Kecamatan Ngantru
Tulungagung pada tahun 2004.
Hasil tabulasi silang menggambarka
bahwa dari 28 orang hasil distribusi antara
obesitas terhadap kejadian diabetes
mellitus di Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo adalah pada orang yang
mengalami kejadian Diabetes Mellitus
pada obesitas berat sebanyak 5 orang
(100%), sedangkan obesitas sedang
sebanyak 11 orang (91,7%) dan obesitas
ringan sebanyak 3 orang (27,2%). Pada
orang yang tidak mengalami kejadian
Diabetes Mellitus pada obesitas ringan
sebanyak 8 orang (72,8%), sedangkan
obesitas sedang sebanyak 1 orang (8,4%)
dan obesitas berat (0%). Bedasarkan hasil
uji Kolerasi Rank Spearman obesitas
terhadap kejadian diabetes mellitus
didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05
maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1
diterima artinya ada Hubungan Obesitas
Dengan Kejadian Penyakit Diabetes
Mellitus di ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo.
ISSN 2085-028X
contoh olahraga ringan adalah berjalan
kaki biasa selama 30 menit, sedangkan
olahraga sedang dengan cara joging
selama 20 menit. Untuk makanan
dianjurkan diet hipokalori biasanya
memperbaiki kadar glikemik jangka
pendek
dan
mempunyai
potensi
meningkatkan kontrol metabolik jangka
lama. Perencanaan makanan hendaknya
dengan kandungan zat gizi yang cukup dan
disertai pengurangan total lemak terutama
lemak jenuh (Sidartawan Soegondo, dkk,
2009).
Peran tenaga kesehatan dalam masalah ini
adalah dengan memberikan pendidikan
atau penyuluhan kepada masyarakat
umum, pengetahuan tentang realitas
masalah
obesitas
terhadap
resiko
terjadinya penyakit yang menyertai
penderita obesitas terutama diabetes
mellitus, sehingga menambah pengetahuan
masyarakat serta secara tidak langsung
mengajak masyarakat untuk berpola hidup
sehat. Sedangkan peran pada masyarakat
adalah bisa memberikan olah raga senam
setiap seminggu sekali untuk menurunkan
berat badan penderita diabetes mellitus
gemuk supaya resiko terjadinya penyakit
diabetes mellitus dengan riwayat obesitas
bisa menurun. Dan di dukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Desa Bendosari Kecamatan Ngantru
Tulungagung pada tahun 2004.
KESIMPULAN DAN SARAN
Diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembulu
darah (Aru W Sudoyo, dkk, 2007).
Penderita diabetes mellitus dengan riwayat
obesitas dianjurkan latihan jasmani atau
olahraga secara teratur (3-4 kali seminggu)
selama kurang lebih 30 menit, sebagai
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
Kesimpulan
1) Dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo sebagian besar
yang
mengalami
Obesitas
sedang
sebanyak 12 orang (42,9%), 2) Dari 28
orang di Ruang Poli Penyakit Dalam
RSUD Sidoarjo sebagian besar yang
mengalami diabetes mellitus sebanyak 19
orang (67,9%), dan tidak terjadi diabetes
mellitus sebanyak 9 orang (32,1%), 3)
Dari 28 orang di Ruang Poli Penyakit
Dalam RSUD Sidoarjo bedasarkan hasil
56
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
uji Kolerasi Rank Spearman obesitas
terhadap kejadian diabetes mellitus
didapatkan bahwa p = 0,000, α = 0,05
maka p< α sehingga Hₒ ditolak dan H1
diterima artinya ada Hubungan Obesitas
Dengan Kejadian Diabetes Mellitus di
ruang Poli Penyakit Dalam RSUD
Sidoarjo.
KEPUSTAKAAN
Agus K. Budiyanto, 2002. Gizi dan
Kesehatan, Malang : Bayu Media
UMM Press.
American Diabetes Association, 1999.
“Proposal
Obesitas
antara
Diabetes
mellitus”,
(http://www.Proposal/bahan/kaitan
-antara-obesitas-dandiabetes.html)., Diakses tanggal 25
Desember 2011.
Arisman, 2011. Obesitas, Diabetes
Mellitus, & Dislipidemia, Jakarta :
EGC.
Askandar Tjokroprawiro, 2001. Diabetes
Mellitus, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Lanywati, Endang, 2001. Diabetes
Mellitus, Yogyakarta : Kanisius.
Baido, Rasid Darma, 2011. “Hubungan
antara Obesitas dengan Diabetes
Mellitus”,
(file:///E:/Proposal/PERLENGKAP
AN%20SKRIPSI/bahan/kaitanantara-obesitas-dan-diabetes.html).,
Diakses tanggal 16 januari 2012.
Beta Kulinet, 2009. “Faktor Penyebab
Diabetes
Mellitus”,
(http://www.kulinet.com/baca/fakto
r-penyebab-diabetesmellitus/974/)., Diakses tanggal 03
Januari 2012.
Compasiana, 2011. “Bahaya Obesitas”,
(http://kesehatan.kompasiana.com/
Journal Infokes Stikes Insan Unggul Surabaya
ISSN 2085-028X
medis/2011/03/09/bahayaobesitas/)., Diakses tanggal 05
januari 2012.
Depkes RI (Republik Indonesis), 2011.
“Obesitas”,
(www.newmedical.net)., Diakses tanggal 20
Desember 2011.
Drahani, 2008. “Penyebab Diabetes
Mellitus”,
(http://drahani.wordpress.com/2008
/03/05/penyeban-diabetesmelitus/)., Diakses tanggal 03
Januari 2012.
Emma S. Wirakusumah, 2001. Cara Aman
dan Efektif Menurunkan Berat
Badan, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Hotma
Rumaharjo,
1999.
Asuhan
Keperawatan
Klien
Dengan
Gangguan
Sistem
Endokrin,
Jakarta : EGC
Nursalam, 2011. Konsep dan Penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperwatan, Salemba Medika :
Jakarta.
Endang Lanywati, 2001. Diabetes
Mellitus, Yogyakarta : Kanisius.
Soesanto, Wibisono, 2010. Biostatistik
Penelitian Kesehatan, Surabaya :
Duatujuh.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
2011.
“Apa
Itu
Obesitas”,
(http://www.newsmedical.net/health/What-is-Obesity
%28Indonesian%29.aspx).,
Diakses tanggal 20 Desember
2011.
.
Sudoyo, dkk, 2007. Ilmu Penyakit Dalam
Edisi III, Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
57
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
RAWAT GABUNG DENGAN PRODUKSI ASI PADA IBU NIFAS DI PUSKESMAS
BOTOLINGGO KABUPATEN BONDOWOSO
Endeh *), Nourma Yunita**)
*) Dosen Prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
**) Dosen Prodi DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Rooming in provide opportunities for mothers to near to the baby, so the baby
can be breastfed immediately and frequency of mothers breast feed it more often. Given the
importance of rooming-in, then in need of a study to determine the relationship rooming in
with ASI production. The purpose of this study was to determine the relationship Rooming in
with Production ASI in post partum mother’s on Botolinggo Health Center district
Bondowoso.
Method : This study is an analytical study with cross-sectional research design. Study
subjects as many as 28 new mothers and the results of the analysis are presented in the form
of frequency distribution tables and percentages and then use statistic Mc Nemar Test .
Result : The result that was obtained was postpartum mother’s do rooming in many as 22
people (78.6%) And that did not rooming in many as 6 people (21.4%). Condition of smooth
ASI production as many as 19 people (77.8%)) and condition of non-current ASI production
by 6 people (32.1%).
Conclusion : The conclusion there is corelation rooming in with ASI production in
pospartum mother's with the value ofprobability is 0.002. H0. 0.002 <0.05, and results H0 is
rejected and H1 accepted.
Keywords : rooming in, ASI production
PENDAHULUAN
Nifas merupakan sebuah fase setelah ibu
melahirkan dengan rentang waktu kira-kira
selam 6 minggu. Masa nifas (puerperium)
dimulai setelah plasenta keluar sampai
alat-alat kandungan kembali normal
seperti sebelum hamil. Asuhan selama
periode nifas sangat diperlukan karena
merupakan masa kritis baik bagi ibu
maupun bagi bayi yang dilahirkannya.
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu
akibat kehamilan terjadi setelah persalinan,
yang mana 50% kematian ibu pada masa
nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Di
samping itu, masa tersebut juga
merupakan masa kritis dari kehidupan
bayi, karena dua pertiga kematian bayi
terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan
dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
dalam waktu 7 hari setelah
(Winkjosastro et al, 2005).
lahir
Kebanyakan ibu tidak tahu bahwa
membiarkan bayi menyusu sendiri segera
setelah kelahiran atau yang biasa disebut
proses inisiasi menyusu dini (IMD) sangat
bermanfaat. Kedekatan antara ibu dengan
bayinya akan terbentuk dalam proses IMD
yang dilanjutkan dengan rawat gabung ibu
dan bayi, memisahkan ibu dengan bayinya
ternyata daya tahan tubuh bayi akan turun
hingga mencapai 25%.
Rawat gabung merupakan satu cara
perawatan ibu dan bayi yang baru
dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan
ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar
atau tempat bersama-sama selama 24 jam
penuh dalam seharinya agar bayi segera
58
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
mendapatkan colostrum atau air susu ibu
(Maryunani A, 2009).
Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu
bersalin di kamar bersalin dan di bangsal
perawatan pasca persalinan. Akan tetapi,
tidak semua bayi atau ibu dapat segera
dirawat gabung.
(Soetjiningsih, 2005) berpendapat tentang
tujuan rawat gabung sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Bantuan emosional
Setelah lelah dalam proses persalinan
si ibu akan sangat senang dan
bahagia bila dekat dengan bayinya.
Penggunaan ASI
Produksi ASI akan makin cepat dan
makin banyak bila menyusui
dilakukan sesegera dan sesering
mungkin.
Pencegahan Infeksi
Dengan melakukan rawat gabung
maka infeksi silang dapat dihindari.
Pendidikan Kesehatan
Pada saat melaksanakan rawat
gabung dapat dimanfaatkan untuk
memberikan pendidikan kesehatan
kepada ibu, terutama primipara
tentang bagaimana teknik menyusui,
memandikan bayi, merawat tali
pusat, perawatan payudara dan
nasihat makanan yang baik.
Rawat gabung juga akan memberikan
kepuasan pada ibu karena ibu dapat
melaksanakan tugasnya sebagai seorang
ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
bagi bayinya dan keadaan ini akan
memperlancar produksi ASI karena seperti
telah diketahui, refleks let-down bersifat
psikosomatis. Sebaliknya bayi akan
mendapatkan rasa aman dan terlindung,
merupakan dasar bagi terbentuknya rasa
percaya pada diri anak. Ibu akan merasa
bangga karena dapat menyusui dan
merawat bayinya sendiri dan bila
suaminya berkunjung, akan terasa adanya
suatu
ikatan
kesatuan
keluarga
(Prawirohardjo, 2007).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Pada situasi normal, rawat gabung ibubayi dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas neonatus. Tujuannya agar ibu
dan bayi dapat meningkatkan hubungan
batinnya sejak kelahiran, ibu selalu dapat
merawat bayinya dan memberikan ASI on
call atau on demand, dapat mengurangi
terjadinya
abses
mammae
dan
kemungkinan
karsinoma
mammae,
petugas
kesehatan
dapat
langsung
memberikan petunjuk tentang berbagai
masalah kala nifas sehingga dapat dilalui
dengan aman dan bersih.
Air Susu Ibu adalah suatu emulsi lemak
dalam larutan protein, laktose dan garam
organik yang disekresi oleh kedua belah
kelenjar payudara ibu, sebagai makanan
utama bagi bayi (Kristiyansari, 2009).
Pembentukan ASI (refleks prolaktin)
dimulai sejak kehamilan. Pada masa
kehamilan terjadi perubahan-perubahan
payudara terutama besarnya payudara,
yang disebabkan oleh adanya proliferasi
sel-sel duktus laktiferus dan sel-sel
kelenjar pembentukan ASI serta lancarnya
peredaran darah pada payudara. Proses
proliferasi ini dipengaruhi oleh hormonhormon yang dihasilkan oleh plasenta
yaitu laktogen, prolaktin, kariogona
dotropin, estrogen dan progesterone.
Produksi
prolaktin
yang
berkesinambungan disebabkan oleh bayi
yang selalu menyusui. Prolaktin akan
berada di peredaran darah selama 30 menit
setelah dihisap, sehingga prolaktin dapat
merangsang payudara menghasilkan ASI
untuk minum berikutnya. Makin banyak
ASI yang dikeluarkan dari gudang ASI
(sinus laktiferus), makin banyak produksi
ASI atau dengan kata lain, makin sering
bayi menyusui makin banyak ASI
diproduksi (Maryunani, 2009).
59
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 1. Kandungan Kolustrum, Air susu
Transisi, dan Air susu Matur.
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kandungan
Energi
(kg/kal)
Laktosa
(gr/100ml)
Lemak
(gr/100ml)
Protein
(gr/100ml)
Mineral
(gr/100ml)
Immuniglub
in :
a. Ig A
(mg/100ml)
b. Ig G
(mg/100ml)
c. Ig M
(mg/100)
d. Lisosin
(mg/100ml)
e.Laktoferin
mg/100ml)
Kolustrun
Air
susu
Transisi
Air
susu
Matur
57,0
63,0
65,0
6,5
6,7
7,0
2,9
3,6
3,8
1,195
0,965
1,324
0,3
0,3
0,2
335,9
-
119,6
5,9
-
2,9
17,1
-
2,9
14,2-16,4
-
24,3-27,5
420-520
-
250-270
Sumber : Buku Pintar ASI Eksklusif
Beberapa Zat Nutrien Penting Yang
Dikandung dalam ASI : 1) Laktosa sebagai
sumber
penghasil
energi,
sebagai
karbohidrat
utama,
meningkatkan
penyerapan
kalsium
dalam
tubuh,
merangsang
tumbuhnya
laktobasilus
bifidus, 2) Protein untuk pengatur dan
pembangun tubuh bayi, 3) Lemak sebagai
penghasi kalor/energi utama, menurunkan
resiko penyakit jantung di usia muda, 4)
Vitamin A berguna bagi perkembangan
penglihatan bayi, 5) Zat Besi membantu
pembentukan darah untuk menghindarkan
bayi dari penyakit kurang darah atau
anemia,
6)
Taurin
baik
untuk
perkembangan otak anak, 7) Laktobasilus
Menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme dalam tubuh bayi yang
dapat menyebabkan berbagai penyakit atau
gangguan kesehatan, 8) Laktoferin
Menghambat
perkembangan
jamur
kandida dan bakteri stafilokokus yang
merugikan kesehatan bayi, 9) Lisozim
untuk mengurangi karies dentis dan
maloklusi serta dapat memecah dinding
bakteri yang merugikan, 10) Colostrum
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
mengandung banyak zat gizi dan zat
pertahanan tubuh bayi dari serangan
penyakit, dan 11) AA dan DHA berfungsi
untuk perkembangan otak janin dan bayi.
Manfaat menyusui bagi ibu antara lain
mengurangi
perdarahan
setelah
melahirkan, mengurangi terjadinya anemia
karena kekurangan zat besi akibat
perdarahan, menjarangkan kehamilan,
mengecilkan rahim, ibu lebih cepat
langsing
kembali,
mengurangi
kemungkinan menderita kanker pada ibu
yang memberikan ASI eksklusif dan lebih
ekonomis serta mudah karena menghemat
pengeluaran
untuk
susu
formula,
perlengkapan untuk menyusui dan
persiapan untuk pembuatan susu formula
(Utami, 2006).
Pada tahun 2004, sesuai dengan anjuran
badan kesehatan dunia (WHO), pemberian
ASI Ekslusif ditingkatkan menjadi 6 bulan
sebagimana dinyatakan dalam keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor : 450 / MENKES / SK / VI / 2004.
Sayangnya walaupun pemerintah telah
menghimbau pemberian ASI Ekslusif
angka pemberi ASI Ekslusif di Indonesia
masih rendah. Menurut Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 bayi
usia di bawah usia empat bulan yang
diberikan ASI eksklusif sebesar 41%,
sedangkan untuk bayi di bawah enam
bulan lebih rendah lagi yaitu sebesar 32%.
Jika dibandingkan dengan SDKI tahun
2002-2003 pemberian ASI eksklusif pada
bayi usia dibawah enam bulan mengalami
penurunan yang sebelumnya sebanyak
39,5%.
Dalam pelaksanaanya, bayi harus selalu
berada di samping ibu sejak segera setelah
dilahirkan sampai pulang. Ini bukan suatu
hal yang baru. Di lingkungan rumah sakit
dan rumah bersalin, sistem perawatan
dalam satu ruangan (rawat gabung)
difungsikan kembali.
60
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini menggunakan
Cross Sectional yaitu suatu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek
yang dilakukan serentak pada subyek yang
berbeda pada waktu yang hampir
bersamaan. Sedangkan jenis penelitian
pada penelitian ini menggunkan enis suvei
analitik yaitu pendekatan yang mencoba
menggali bagaimana dan mengapa
fenomena ini dapat terjadi (Notoatmodjo,
2005)
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu nifas yang berada dalam
wilayah kerja Puskesmas Botolinggo
sebanyak 28 orang. Sampel penelitian
yang digunakan adalah 28 orang ibu nifas.
Variabel independen adalah rawat gabung.
Sedangkan variabel dependen adalah
produksi ASI pada ibu nifas.
Pengumpulan data dari rekam medik.
Peneliti juga melakukan wawancara dan
observasi untuk memperoleh data yang
diperlukan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan Uji
Mac Nemar untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan atau hubungan dengan
nilai signifikansi untuk mengetahui
kecenderungan pada penelitian tersebut.
HASIL PENELITIAN
Hasil
penelitian
menunjukkan
karakteristik ibu nifas di Puskesmas
Botolinggo sebagai berikut :
1.
2.
Dari 13 orang (46,4%) ibu nifas
melahirkan pada rentang usia 21-35
tahun dan sebagian kecil pada rentang
usia 15-20 tahun sebanyak 4 orang
(14,3%) ibu nifas.
Dari 19 orang (68%) ibu nifas tidak
bekerja dan ibu nifas yang bekerja 9
orang (32%).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
3.
4.
5.
6.
7.
Dari 10 orang (35,7%) ibu nifas
memiliki jenjang pendidikan terakhir
yaitu SMA dan sebagian kecil
memiliki jenjang pendidikan terakhir
yaitu SD sebanyak 3 orang (10,7%).
Dari 25 orang (68,66%) ibu nifas
melahirkan secara normal tanpa
komplikasi dan yang melahirkan
dengan kompliksi sebesar 3 orang
(10,7%).
Dari 15 orang (53,6%) ibu nifas
adalah ibu dengan paritas multi
gravida dan sebagian kecil grande
gravida sebesar (17,8%).
Ibu nifas di puskesmas Botolinggo
sebagian besar melakukan rawat
gabung yaitu sebanyak 22 orang dari
28 ibu nifas atau 78,6% dari
keseluruhan ibu.
Dari 28 sampel ibu nifas terdapat 19
orang (77,8%) ibu nifas dengan
keadaan produksi ASI lancar dan 9
ibu nifas (32,1%) dengan keadaan
tidka lancar.
Dari tabel 2, menunjukkan bahwa ibu nifas
yang tidak melakukan rawat gabung dan
produksi ASI tidak lancar ada 5 orang,
sedangkan yang tidak melakukan rawat
gabung tetapi produksi ASI lancar ada 1
orang. Sedangkan ibu nifas yang
melakukan rawat gabung dengan produksi
ASI tidak lanacar ada 4 orang dan yang
melakukan rawat gabung dengan produksi
ASI lancar ada 18 orang.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis
Mc Nemar Test pada windows SPSS. Dari
hasil di atas pada Approx. Sig terlihat
bahwa nilai probabilitas adalah 0.002.
Dimana bila nilai probabilitas 0.002 < 0.05
maka Ho ditolak dan H1 diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hubungan rawat gabung dengan produksi
ASI yang di kategorikan lancar dan tidak
lancar ada hubungan yang signifikan.
61
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Tabel 2. Tabulasi Silang Antara Rawat
Gabung Dengan Produksi ASI Pada Ibu
Nifas di Puskesmas Botolinggo, Tanggal
30 Mei-23 Juni 2013.
Rawat Gabung
Tidak
Melakukan
Melakukan
p = 0,002
Produksi ASI
Tidak
lancar
Lancar
∑ %
∑
%
5
83,3
1
16,7
4
18,2
18
81,8
PEMBAHASAN
Sebagian besar responden di puskesmas
Botolinggo melakukan rawat gabung yaitu
sebanyak 22 ibu nifas (78,6 %), sedangkan
sisanya tidak melakukan rawat gabung
dikarenakan adanya komplikasi saat
persalinan atau pun di karenakan proses
perawatan setelah persalinan tidak sesuai
dengan syarat-syarat rawat gabung.
Perawatan Rawat Gabung ini di buktikan
dengan diberlakukannya perawatan 24 jam
dalam satu ruangan setelah proses
melahirkan, ibu dalam masa nifas itu juga
mendapatkan pendidikan tentang cara
merawat payudara, cara menyusui yang
benar, cara merawat tali pusat, dan cara
memandikan bayi. Selain itu responden
mengatakan lebih senang dengan keadaan
perawatan setelah persalinan yang seperti
ini (dirawat bersama bayi), karena dapat
setiap saat melihat bayinya dan merawat
bayinya.
Pada saat melaksanakan rawat gabung
dapat dimanfaatkan untuk memberikan
pendidikan kesehatan kepada ibu, terutama
primipara. Bagaimana teknik menyusui,
memandikan bayi, merawat tali pusat,
perawatan payudara dan nasihat makanan
yang baik, merupakan bahan-bahan yang
diperlukan si ibu. Keinginan ibu untuk
bangun dari tempat tidur, menggendong
bayi dan merawat diri akan mempercepat
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
mobilisasi, sehingga si ibu akan lebih
cepat pulih dari persalianan.
Ibu nifas yang tidak melakukan rawat
gabung di sebabkan adanya komplikasi
saat melakukan proses persalinan, seperti
terjadinya : Retensio Plasenta, Hpp
Primer, dan kejadian BBLR serta adanya
proses perawatan setelah persalinan yang
tidak sesuai dengan syarat-syarat rawat
gabung.
Jenis persalinan yang ibu alami sangat
mempengaruhi tindakan pelaksanaan rawat
gabung ini, seperti dapat diketahui
bersama bahwa setelah melahirkan saat di
anjurkan untuk melakukan perawatan ibu
dan bayi secara bersamaan. Namun
kenyataannya, tidak semua proses
persalinan dapat berjalan dengan lancar.
Adanya komplikasi dalam persalinan
menyebabkan tidak di anjurkannya
pelaksanaan rawat gabung. Hal ini
dilakukan
untuk
terlebih
dahulu
memulihkan keadaan umum ibu atau bayi
yang mengalami komplikasi.
Sedangkan syarat-syarat rawat gabung
juga
sangat
mempengaruhi
dapat
dilakukannya rawat gabung ibu dan bayi.
Pada prinsipnya syarat rawat gabung
adalah di tempatkannya ibu dan bayi
setelah proses melahirkan dalam satu
ruangan selama 24 jam penuh di mana ibu
mampu menyusui dan bayi mampu untuk
menyusu. Dalam penelitian ini, sebagian
ibu nifas tidak dapat melakukan rawat
gabung di karenakan salah satu syarat
rawat gabung tidak dapat terpenuhi, salah
satunya yaitu : ibu menyusui dengan
penetapan jadwal, ibu tidak mendapatkan
pendidikan kesehatan tentang cara
merawat payudara maupun cara merawat
tali pusat saat berada dalam ruangan
setelah melahirkan.
Kesenjangan
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan rawat gabung merupakan hal
yang sulit untuk di hindari karena
merupakan faktor penentu mampu
tidaknya pasien dan bayinya melakukan
62
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
rawat gabung. Akan tetapi, apabila dalam
proses persalinan maupun syarat dan
pelaksanaan rawat gabung berjalan dengan
baik dan lancar maka tidak ada alasan
untuk tidak melakukan rawat gabung.
Dari hasil penelitian tentang kelancaran
produksi ASI diketahui bahwa dari seluruh
responden 28 orang ibu nifas, 19 orang
atau sebesar 77,8% mengalami kelancaran
produksi ASI dan sisanya mengalami
ketidak lancaran ASI sebesar 32,1%.
Hal ini di pengaruhi juga oleh tingkat
paritas ibu nifas di Puskesmas Botolinggo.
Dari 8 ibu nifas dengan primigravida, 1
diantaranya menghasilkan produksi ASI
yang lancar sedangkan 7 sisinya
menghasilkan produksi ASI yang tidak
lancar. Hal ini disebakan oleh kurangnya
perawatan payudara ibu saat kehamilan,
mereka mengatakan kurang mengerti
tentang perawatan payudara atau tidak
melakukan perawatan payudara saat
kehamilan. Perawatan payudara sendiri
dapat mempengaruhi keadaan produksi
ASI setelah persalinan.
Dari 15 ibu nifas multi gravida, 14 ibu
menghasilkan produksi ASI yang lancar
sedangkan 1 ibu nifas menghasilkan
produksi ASI yang tidak lancar. 1 respon
ibu nifas yang menghasilkan produksi ASI
yang tidak lancar ini berdasarkan data
observasi dan wawancara di pengaruhi
oleh jarak kelahiran anak ke 2 dan ketiga
yang rentang usia 12 tahun. Sedangkan
pada ibu grande gravida, dari 5 responden
ibu grande gravida, 4 di antaranya
menghasilkan produksi ASI yang lancar
dan dan 1 responden ibu nifas
menghasilkan produksi ASI yang tidak
lancar.
Faktor
yang
mempengaruhi
ketidaklancaran produksi ASI pada ibu
nifas dapat di pengaruhi oleh tiga hal
pokok yaitu : karakteristik paritas ibu
nifas, kurangnya perawatan payudara,
serta ketidak sabaran ibu untuk menyusui
bayinya yang menimbulkan rasa cemas.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Karakteristik paritas ibu nifas sangat
mempengaruhi produksi ASI dikarenakan
jenis paritas mempengaruhi pengalaman
ibu nifas untuk menyusui dan pengeluaran
produksi ASI. Ibu yang telah memiliki
bayi sebelumnya cenderung mengalami
produksi ASI yang lebih lancar
dibandingkan dengan ibu nifas yang baru
memiliki bayi.
Kurangnya
perawatan
payudara
merupakan salah satu faktor berikutnya,
hal ini sangat berkaitan erat dengan
kurangnya
pengetahuan
tentang
pentingnya pemeriksaan ANC sejak
kehamilan muda serta di batasi oleh
tingkat pendidikan yang berbeda-beda
pada tapi individu ibu nifas yang dapat
mempengaruhi
tindkan
perawatan
payudara. Sedangkan menurut teori,
perawatan payudara sangat efektif untuk
membantu memperlancar produksi ASI.
Sedangkan rasa ketidak sabaran ibu untuk
menyusi bayinya dapat menimbulkan rasa
cemas pada psikologi ibu. Hal ini jelas
dapat mempengaruhi kelancaran produksi
ASI. Kurangnya pengetahuan ibu nifas
tentang ASI juga dapat memperbesar rasa
cemas ibu. Ibu dengan tingkat pendidikan
yang rendah cenderung mudah putus asa
untuk menyusui bayinya dan lebih
memilih memberikan susu formula,
padalah kandungan nutrisi pada ASI lebih
tinggi di bandingkan dengan susu formula.
Oleh karena itu, motivasi untuk mampu
menyusui bayinya harus di tanamkan oleh
petugas kesehatan. Adanya motivasi untuk
ibu akan menekan rasa cemas dan
menumbuhkan keinginan untuk mampu
menyusui bayinya.
Berdasarkan
uji
statistik
dengan
menggunakan mac nemmar maka dapat
disimpulkan bahwa hubungan rawat
gabung dengan produksi ASI di
Puskesmas
Botolinggo
Kabupaten
Bondowoso ada hubungan yang signifikan.
Dengan nilai probabilitas adalah 0.002,
maka angka probabilitas < 0.05 maka H0.
0.002 < 0.05 dan hasil Ho ditolak dan H1
63
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
diterima. H1 yaitu ada hubungan rawat
gabung dengan produksi ASI.
Menurut teori (Prawirohardjo, 2007),
Rawat gabung juga akan memberikan
kepuasan pada ibu karena ibu dapat
melaksanakan tugasnya sebagai seorang
ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
bagi bayinya dan keadaan ini akan
memperlancar produksi ASI karena seperti
telah diketahui, refleks let-down bersifat
psikosomatis. Sebaliknya bayi akan
mendapatkan rasa aman dan terlindung,
merupakan dasar bagi terbentuknya rasa
percaya pada diri anak. Ibu akan merasa
bangga karena dapat menyusui dan
merawat bayinya sendiri dan bila
suaminya berkunjung, akan terasa adanya
suatu ikatan kesatuan keluarga.
Dari hasil penelitian ini, maka rawat
gabung mempengaruhi hubungan produksi
ASI di karenakan frekuensi menyusui ibu
lebih sering dan timbulnya kedekatan
antara ibu dan bayinya sehingga
pelaksanaan rawat gabung ini sangat
efektif untuk ibu dan bayi setalah proses
persalinan.
Sedangkan
ketidakberhasilan
rawat
gabung di karenakan adanya komplikasi
dan ketidak sesuai syarat-syarat rawat
gabung dapat di coba di tanggulangi
dengan
tetap
dilakukannya
proses
menyusui dengan syarat keadaan ibu dan
bayi yang memungkinkan untuk terjadinya
proses menyusui, walaupun ibu dan bayi di
rawat dalam ruang terpisah.
ISSN 2085-028X
Saran
1.
Bagi responden setelah di
lakukan rawat gabung, di harapkan
ibu nifas yang berhasil melakukan
rawat
gabung dan mengalami
produksi ASI yang lancar dapat
menyusui bayinya sedini mungkin dan
sesering mungkin setiap dibutuhkan.
Sedangkan yang tidak berhasil
melakukan rawat gabung maupun
mengalami ketidak lancaran produksi
ASI, diharapkan mapu meningkatkan
pengetahuan dan wawasan untuk
persalinan berikutnya.
2.
Bagi
instansi
pelayanan
kesehatan perlu meningkatkan peran
tenaga kesehatan di Puskesmas dalam
memberikan
penyuluhan
dan
pendidikan kesehatan kepada ibu
hamil, ibu baru melahirkan, dan ibu
post partum khususnya kepada ibu
nifas untuk melakukan rawat gabung
di karenakan banyak manfaat yang
dalam di ambil dari perawatan rawat
gabung ini.
3.
Bagi institusi pendidikan perlu
diadakan penelitian lebih lanjut
dengan jumlah sampel yang lebih
banyak dalam upaya mengetahui
hubungan rawat gabung dengan
produksi ASI ibu nifas.
KEPUSTAKAAN
1. Arikunto, Suharsini, 2007. Prosedur
2.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
3.
Ada hubungan rawat gabung dengan
produksi ASI pada ibu nifas di Puskesmas
Botolinggo Kabupaten Bondowoso dengan
nilai probabilitas 0,002 (0,002 < 0,05).
4.
5.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta : Reneke Cipta.
Asparin, dkk, 2005. “Rawat Gabung
Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Sardjito”, Jurnal Universitas Gajah
Mada Yogyakarta.
Boston, Helen, 2011. Midwifery
Essentials : Post Natal, Jakarta : EGC.
Bobak, I.M & Lowdemilk, D.L, 2005.
Buku Ajar Keperawatan Maternitas,
Jakarta : EGC.
Farrer, Helen, 2001. Perawatan
Maternitas (Maternity Care), Jakarta :
EGC.
64
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
6. Hidayat,
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
A. Aziz Alimul, 2007.
Metode Penelitian Kebidanan &
Teknik Analisis Data, Jakarta:
Salemba Medika.
Kristiyansari, Weni, 2009. ASI,
Menyusui, dan Sadari, Yogyakarta :
Nuha Medika.
Mappiwali, Asrul, 2009. Rawat
Gabung (Rooming in), Makasar :
Obstetri dan Gynekologi Fakultas
Kesehatan Universitas Makasar.
Maryunani,
Anik,
2010.
Ilmu
Kesehatan Anak dalam Kebidanan,
Jakarta : CV. Trans Info.
Notoatmodjo,
Soekidjo,
2005.
Promosi Kesehatan Teori dan
Aplikasinya, Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Ilmu
Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka
Cipta.
Prasetyoo, D.S, 2009. Buku Pintar ASI
Eksklusif, Yogyakarta : Diva Press.
Purwanti,
Eni,
2012.
Asuhan
Kebidanan
Untuk
Ibu
Nifas,
Yogyakarta : Cakrawala Ilmu.
Reeder, Sharon J, 2011. Keperawatan
Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi,
dan Keluarga, Jakarta : EGC.
Rukiyah, Ay & Lia Yulianti, 2010.
Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita, Jakarta : Salemba Medika.
Saleha, S, 2009. Asuhan Kebidanan
pada Masa Nifas, Jakarta : Salemba
Medika.
Sarwono, Prawirohardjo, 2005. Ilmu
Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
Soesanto, Wibisono, 2008. Biostatistik
Penelitian Kesehatan, Surabaya :
Duatujuh.
Soetjiningsih, 2005. ASI (Petunjuk
Untuk Tenaga Kesehatan), Jakarta :
EGC.
Sri Susanti, Fransiska, 2009. Buku
Indonesia Menyusui, Jakarta : EGC.
Stright,
Barbara
R,
2004.
Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir
(Edisi 3), Jakarta : EGC.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
22. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R & D,
Bandung : Alfabeta.
23. Utami, Roesli, 2006. Mengenal ASI
Eksklusif,
Jakarta
:
Tubulus
Agriwidya.
65
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
FAKTOR PREDISPOSISI PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL DI RUMAH
SAKIT ANAK DAN BERSALIN SOERYA SEPANJANG – SIDOARJO.
Nourma Yunita*), Sutjiati Dwi Handajani**)
*) Dosen Prodi DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
**)Dosen prodi DIII Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRACT
Introduction : Preeclampsia is a specific condition in pregnancy, characterized by increased
blood pressure and protein. Preeclampsia or hypertension in pregnancy was at risk of fetal
and maternal death. The purpose of this study to describe the predisposition factors
Preeclampsia in pregnant women.
Method : This research uses descriptive method, sampling techniques using random
sampling, population of all pregnant women suffer from preeclampsia at Children's Hospital
and Maternity Soerya Sepanjang-Sidoarjo in 2012. The variables of study include : Obesity,
age, parity, diabetes mellitus, hypertension, and history previous preeclampsia. Data
collection by taking medical record data.
Result : The research found pregnant women with preeclampsia in the obesity factor as many
(49.1%), age > 35 years as many (37.5%), parity factor (35.7%) were grandemulti, diabetes
mellitus (100%), factor Hypertension (44.6%) In the history of preeclampsia previously
obtained (59.8%).
Conclusion : Conclusion factors predisposing to the mother preeclampsia highest order
which suffered at the most had Diabetes mellitus, history of previous preeclampsia, obesity,
hypertension, age, and parity is the lowest order of most.
Keywords : Predisposing Factors, Preeclampsia.
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan kondisi
khusus dalam kehamilan, ditandai dengan
peningkatan tekanan darah (TD) dan
proteinuria. Bisa berhubungan dengan
kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda
pada ibu, sementara komplikasi pada janin
meliputi restriksi pertumbuhan dan
abrupsio plasenta (Vickey, 2006). Faktorfaktor predisposisi yang mempengaruhi
preeklampsia : 1) obesitas, 2) umur, 3)
paritas, 4) hipertensi, dan 5) diabetes
mellitus pada kehamilan.
kehidupan serta kesehatan janin di dalam
rahim,
kelainan
hipertensi
dalam
kehamilan dibagi menjadi 4 kategori,
yakni : Hipertensi Kronis, Preeklampsia
dan Eklampsia, Preeklampsia Imposed
Hipertensi Kronis dan Gestational
Hypertension. Kenaikan tekanan darah
(TD) secara tiba-tiba setelah kehamilan 2
minggu
disebut
preeklampsia.
Preeklampsia terjadi kira-kira 5% dari
seluruh kehamilan, dan 10% pada
kehamilan pertama kali
Preeklampsia
ataupun
hipertensi
sering terjadi pada kehamilan beresiko
terhadap kematian janin dan ibu. Deteksi
dini untuk hipertensi pada ibu hamil
diperlukan agar tidak menimbulkan
kelainan
serius
dan
mengganggu
Obesitas adalah kenaikan berat badan
yang sangat berlebih (kegemukan),
obesitas disebabkan karena adanya ketidak
seimbangan
dari
makanan
yang
dikonsumsi dengan energi dibutuhkan
untuk beraktifitas (Soemilah, 2004).
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
66
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
Penderita preeklampsia akan terjadi
pergeseran pembuluh darah diikuti
rusaknya dinding pembuluh darah.
Pinggir-pinggir pembuluh darah menjadi
tidak rata akibat tekanan darah yang tinggi.
Akibatnya berbagai zat yang terlarut dalam
darah (kolesterol dan kalsium) akan
mengendap pada dinding pembuluh darah,
sehingga terjadi penyempitan pembuluh
darah yang menyebabkan kerja jantung
menjadi berat dan dapat menyebabkan
preeklampsia.
Tabel 1. Klasifikasi IMT Pada Ibu Hamil
(Diah, 2007).
NO
1
2
3
4
5
IMT (kg/m2)
Kurus
IMT ( < 18,5)
Normal
IMT (18,523,2)
Gemuk
IMT (23,3-29)
Obesitas
IMT > 29
Gemeli
Total
Kenaikan
BB (kg)
Kenaikan
BB
Trimester
2 dan 3
(kg/mgg)
12,7-18,1
0,5
11,3-15,9
0,4
6,8-11,3
0,3
0,2 kg/mgg
0,2
15,9-20,4
0,7
Distribusi kejadian preeklampsiaeklampsia berdasarkan umur menurut
beberapa referensi banyak ditemukan pada
kelompok usia ibu ekstrem yaitu kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun.
Faktor resiko pada kehamilan preeklampsia berat menemukan 2/3 kematian
maternal terjadi pada usia di atas 30 tahun
atau lebih (Sudhaberata, 2009).
Pada usia lanjut ≥35 tahun (usila)
pembuluh darah menjadi kaku dan
elastisitasnya berkurang. Pembuluh yang
mengalami sklerosis (aterosklerosis),
resistensi dinding pembuluh darah tersebut
meningkat, sehingga kerja jantung
semakin berat dengan menyupli darah ke
tubuh ibu dan janin. Hal tersebut
menyebabkan kerja jantung semakin berat
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
sehingga menyebabkan
ringan pada ibu hamil.
preeklampsia
Semakin bertambahnya umur ibu
hamil dan kurangnya umur ibu hamil maka
semakin pula angka kejadian preeklampsia
meningkat sebaliknya kehamilan yang
aman direncanakan pada umur 20 sampai
35 tahun. Karena usia ibu hamil disini
dapat memberikan gambaran tentang
kondisi dari alat reproduksinya, dimana
usia yang terlalu muda menandakan bahwa
alat reproduksinya masih belum dapat
berfungsi secara sempurna begitupun bila
usia ibu yang terlalu tua, alat reproduksi
ibu pun sudah menua sehingga tidak dapat
berfungsi secara optimal. Pada kehamilan
dengan preeklampsia di usia kurang dari
20 tahun dan lebih dari 35 tahun
mempunyai resiko tinggi seperti terjadinya
keguguran atau kegagalan persalinan
bahkan bisa menyebabkan kematian.
Paritas adalah jumlah anak yang telah
dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir
hidup maupun lahir mati (Amiruddin,
2010). Paritas 2-3 merupakan paritas yang
aman ditinjau dari sudut kematian
maternal, paritas 1 dan lebih dari 3
mempunyai angka kematian maternal yang
tinggi, sedangkan pada paritas tinggi dapat
dicegah atau dikurangi dengan keluarga
berencana.
Paritas adalah faktor risiko yang berkaitan
dengan timbulnya preeklampsia. Menurut
Wiknjosastro, H. (2004), frekuensinya
lebih tinggi terjadi pada primigravida
daripada multigravida. Berdasarkan teori
immunologik
yang
disampaikan
Sudhaberata, K (2005), hal ini dikarenakan
pada
kehamilan
pertama
terjadi
pembentukan
“blocking
antibodies”
terhadap antigen tidak sempurna. Selain
itu menurut Angsar, D (2004), pada
kehamilan pertama terjadi pembentukan
“Human Leucocyte Antigen Protein G
(HLA)” yang berperan penting dalam
modulasi respon immune, sehingga ibu
menolak hasil konsepsi (plasenta) atau
67
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
terjadi intoleransi ibu terhadap plasenta
sehingga terjadi preeklampsia.
komplikasi masa nifas 8% dan penyebab
lain-lain 12% ( Sudinaya, 2007).
Hipertensi adalah penyakit kronis
yang paling umum pada wanita hamil
dengan usia tua. Wanita lainnya memasuki
masa kehamilan dengan masalah ini,
hipertensi dalam kehamilan berarti bahwa
wanita telah menderita hipertensi sebelum
hamil (Sarwono, 2006)
METODE PENELITIAN
Hipertensi pada kehamilan lebih sering
pada primigravida. Patologi telah terjadi
akibat implantasi sehingga timbul iskemia
plasenta yang diikuti sindrom inflamasi,
dan resiko meningkat pada masa plasenta
besar (pada gemeli, dan pada penyakit
trofoblas), diabetus mellitus, isoimunisasi
rhesus, faktor herediter dan masalah
vaskuler.
Diabetes melitus adalah masalah pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein, yang terjadi baik karena produksi
insulin yang tidak adekuat maupun adanya
faktor yang menghambat kerja insulin
(Bilington, 2010).
Preeklampsia merupakan penyebab utama
kematian ibu perinatal yang tinggi di
Indonesia
yaitu
12,04%,
disusul
perdarahan dan infeksi (Sarwono, 2005).
Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2009 angka kematian ibu
(AKI) masih cukup tinggi yaitu 390 per
100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu
terbesar 58,1% karena perdarahan dan
eklamsi kedua sebab itu sebenarnya dapat
dicegah dengan pemeriksaan kehamilan
yang memadai. Menurut Harni Koesno
(Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia),
Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 307
dari 100 000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi (AKB) mencapai 35 dari
1000 kelahiran hidup. Data IBI
menyebutkan penyebab angka kematian
ibu (AKI) di antaranya perdarahan
sebanyak 30% dari total kasus kematian,
eklampsia 25 %. Infeksi 12 %, abortus 5%,
partus lama 5%, emboli obstetri 3%
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Jenis penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif yakni jenis penelitian
yang memberikan gambaran atau uraian
atas keadaan sejelas mungkin tanpa ada
perlakuan terhadap objek yng diteliti
(Ronny Kountur, 2009). Desain Penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cross sectional
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
ibu hamil yang menderita preeklampsia di
Rumah Sakit Anak dan Bersalin SOERYA
Sepanjang-Sidoarjo sebanyak 112 orang.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan
sample,
karena
seluruh
anggota
populasinya diteiliti atau menggunakaan
penelitian populasi.
Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah probability sampling
dengan jenis simple random sampling.
Cara pengambilan sampel dengan acak
tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam populasi ( Hidayat, 2007).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
pengumpulan data dengan mengumpulkan
data sekunder berdasarkan rekam medik
data seluruh ibu hamil yang menderita
preeklampsia di Rumah Sakit Anak dan
Bersalin SOERYA Sepanjang-Sidoarjo
pada tahun 2012.
68
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
riwayat preeklampsia dengan jumlah 67
ibu hamil (59,8%).
HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik
pada ibu hamil di RSAB SOERYA
Sepanjang-Sidoarjo tahun 2012.
No
Variabel
1
Obesitas
r. Kurus
s. Normal
t. Gemuk
u. Obesitas
Usia
a. < 20 tahun
b. 20 – 35 tahun
c. >35 tahun
Paritas
o. Primipara
p. Multipara
q. Grandemulti
Diabetes Mellitus
a. Diabetes Mellitus
b. Tidak Diabetes Mellitus
Hipertensi
c. Ringan
d. Sedang
e. Berat
Riwayat Preeklampsia
c. Ya
d. Tidak
2
3
4
7
8
Jumlah
(%)
13
28
16
55
11,6
25
14,3
49,1
39
31
42
34,8
27,7
37,5
37
35
40
33
31,3
35,7
112
0
100
0
28
34
50
25
30,4
44,6
67
45
59,8
40,2
Hasil pengumpulan data distribusi
karakteristik
responden
berdasarkan
variabel yang diteliti yaitu :
1. Didapatkan ibu hamil yang diteliti
mayoritas mengalami obesitas dengan
jumlah 55 ibu hamil (49,1%).
2. Usia ibu hamil yang diteliti mayoritas
memiliki usia > 35 tahun dengan jumlah
terbanyak 42 ibu hamil (37,5%).
3. Paritas ibu hamil yang diteliti mayoritas
grandemulti dengan jumlah terbanyak
40 ibu hamil (35,7%).
4. Diabetes Melitus pada ibu hamil yang
diteliti semuanya mengalami Diabetes
Melitus dengan jumlah 112 ibu hamil
(100%).
5. Hipertensi pada ibu hamil yang diteliti
mayoritas
mengalami
Hipertensi
dengan jumlah terbanyak 50 ibu hamil
(44,6 %).
6. Riwayat preeklampsia pada ibu hamil
yang diteliti mayoritas mengalami
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
PEMBAHASAN
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012
didapatkan bahwa 55 orang ibu hamil
mengalami obesitas (49,1%) dari total 112
orang ibu hamil.
Menurut Sunita, 2004 batasan berat badan
pada ibu hamil ditentukan berdasarkan
nilai Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT
merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan. Kenaikan berat badan ideal atau
normal pada ibu hamil dari awal
kehamilan sampai akhir kehamilan adalah
9-13 kg.
Kebanyakan ibu hamil mengalami obesitas
karena kelebihan makan. Akhirnya,
terjadilah penumpukan kalori dan sisa
asupan energi yang berujung pada
diabetes. Ibu hamil disarankan untuk
mengatur berat badan agar tetap berada
pada kondisi ideal. Peningkatan berat
badan di trimester pertama memang relatif
sedikit, tidak naik atau bahkan berkurang
karena muntah-muntah. Peningkatan berat
badan yang cukup pesat terjadi di trimester
2 dan 3, pada periode inilah perlu
dilakukan pemantaun ekstra terhadap berat
badan.
Di RSAB SOERYA ibu hamil dengan
preeklampsia lebih banyak mengalami
obesitas disebabkan kurangnya memantau
berat badan pada waktu hamil, kelebihan
mengkonsumsi makanan, usia kehamilan
sudah memasuki trimester 3 yang lebih
banyak membutuhkan nutrisi untuk
persiapan persalinan.
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012
69
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
ISSN 2085-028X
didapatkan bahwa 42 ibu hamil yang
usianya > 35 tahun (37,5 %) dari total 112
orang ibu hamil.
misalnya terjadinya preeklampsia hal ini
disebabkan karena semakin berkurangnya
fungsi organ reproduksi.
Preeklampsia kebanyakan terjadi pada
umur kurang dari 25 tahun dan pada usia
ini kasus preeklampsia lebih menonjol, hal
ini memperkuat penderita bahwa kenaikan
tekanan darah pada wanita hamil berusia
muda akan lebih menimbulkan kejang.
Sedangkan menurut para ahli, semakin
meningkatnya umur ibu hamil maka
semakin meningkat pula angka kejadian
preeklampsia berat dalam kehamilan
(Sudhaberata, 2009).
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012
didapatkan bahwa 112 ibu hamil semuanya
mengalami Diabetes Melitus (100%) dari
total 112 orang ibu hamil.
Di RSAB SOERYA banyak terjadi kasus
preeklampsia pada usia di atas 35 tahun di
sebabkan mempunyai tekanan darah tinggi
yang dapat menyebabkan terjadinya
preeklampsia berat dan pembuluh darah
cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya
berkurang.
Pada usia lanjut pembuluh darah
cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya
berkurang. Pembuluh yang mengalami
sklerosis
(aterosklerosis),
resistensi
dinding pembuluh darah tersebut akan
meningkat, sehingga kerja jantung
semakin berat dengan menyupali darah ke
tubuh ibu dan ke janin sehingga hal
tersebut dapat menyebabkan kerja jantung
semakin
berat
sehingga
dapat
menyebabkan terjadinya preeklampsia
pada ibu hamil.
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012
didapatkan bahwa 40 ibu hamil yang
grandemulti (35,7%) dari total 112 orang
ibu hamil.
Di RSAB SOERYA preeklampsia pada
ibu hamil banyak terjadi pada ibu yang
grandemulti yang usianya sudah di atas 35
tahun. Semakin sering ibu melahirkan
akan mempunyai resiko yang besar
terhadap timbulnya berbagai penyakit
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
Di RSAB SOERYA semua ibu hamil
mengalami Diabetes melitus di sebabkan
karena faktor turunan. Banyak terjadinya
diabetes melitus disebabkan karena ibu
hamil mempunyai berat badan yang
berlebihan yang menyebabkan produksi
insulin
yang
tidak
adekuat
dan
menghambat kerja insulin.
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang-Sidoarjo pada tahun 2012
didapatkan bahwa 50 ibu hamil yang
mempunyai tekanan darah 160/90-160/110
mmHg (44,6%) dari total 112 orang ibu
hamil.
Menurut teori, suatu kondisi medis
dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah secara kronis (dalam waktu
yang lama) yang mengakibatkan angka
kesakitan dan angka kematian seseorang
dikatakan menderita tekanan darah tinggi
atau hipertensi yaitu apabila tekanan darah
sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan
diastoliknya lebih besar dari 120 mmHg
(Ai Yeye Rukiyah, 2010). Hipertensi
merupakan tekanan darah yang dipompa
jantung, mengalir cepat sehingga menekan
dinding arteri dalam pembuluh darah.
Umumnya
hipertensi
jika
pada
pemeriksaan: tekanan darah diatas 140
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik
yang biasa ditulis 140/90 mmHg dan dapat
menyebabkan terjadinya preeklampsia
pada ibu hamil.
Hipertensi menjadi penyakit yang
menakutkan bagi sebagian besar penduduk
dunia termasuk Indonesia. Hal ini karena
70
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
jumlah penderita yang terus meningkat
dari waktu ke waktu. Berbagai faktor yang
berperan dalam hal ini salah satunya
adalah gaya hidup modern. Pemilihan
makanan yang berlemak, kebiasaan
aktifitas yang tidak sehat, merokok.
Berdasarkan data hasil penelitian yang
telah dilakukan di RSAB SOERYA
Sepanjang- Sidoarjo pada tahun 2012
didapatkan bahwa 67 ibu hamil
mempunyai riwayat preeklampsia (59,8%)
dari total 112 orang ibu hamil.
Hipertensi merupakan tekanan darah
yang dipompa jantung, mengalir cepat
sehingga menekan dinding arteri dalam
pembuluh darah. Umumnya hipertensi jika
pada pemeriksaan: tekanan darah diatas
140 mmHg sistolik atau 90 mmHg
diastolik yang biasa ditulis 140/90 mmHg
dan dapat menyebabkan terjadinya
preeklampsia pada kehamilan.
Ibu yang sudah pernah melahirkan
dengan riwayat hipertensi sangat berisiko
terhadap terjadinya preeklampsia pada
kehamilan
berikutnya.
Riwayat
preeklampsia lebih banyak terjadi pada ibu
yang sudah lanjut usia dan yang
mempunyai anak lebih dari 5. Hal ini
sangat berpengaruh pada tekanan darah
seorang ibu yang sedang hamil dan sangat
berbahaya bagi janin untuk itu disarankan
selalu memeriksakan tekanan darah secara
rutin
untuk
mencegah
terjadinya
Eklampsia pada kehamilan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hampir separuh (49,1% ) Ibu hamil
dengan preeklampsia
di
RSAB
SOERYA mengalami obesitas.
2. Ibu hamil dengan preeklampsia di
RSAB SOERYA paling banyak
(37,5%) berusia diatas 35 tahun.
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
3. Paritas Ibu hamil dengan preeklampsia
di RSAB SOERYA paling banyak
(35,7%) adalah grandemulti.
4. Semua Ibu hamil dengan preeklampsia
di RSAB SOERYA menderita Diabetes
Melitus
5. Ibu hamil dengan preeklampsia di
RSAB SOERYA paling banyak
(44,6%) menderita hipertensi
6. Sebagian besar (59,8%) Ibu hamil
dengan preeklampsia
di
RSAB
SOERYA
mengalami
riwayat
preeklampsia sebelumnya.
KEPUSTAKAAN
1. Almatsier, Sunita, Dr, MSc, 2004.
Penuntun Diit Edisi Baru, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
2. Alimul, Azis, 2007. Metode Penelitian
Kebidanan & Tehnik Analisa Data,
Jakarta : Salemba Medika.
3. Boobak,
2005.
Keperawatan
Maternitas, Jakarta : EGC.
4. Billington, Mary, 2010 Kegawatan
Dalam Kehamilan-Persalinan, Jakarta
: EGC.
5. Leveno, Kenneth J. Dkk, 2009.
Obstetri Williams Panduan Praktis,
Jakarta : EGC.
6. Kountur, Ronny, 2009. Metode
Penelitian Untuk Penulisan Skripsi
Dan Tesis, Jakarta : Buana Printing.
7. Mochtar, R, 2007. Sinopsis Obstetri
jilid 2, Jakarta : EGC.
8. Made, dr. Diah, 2007. Baby Guide,
Jakarta : Gramedia Pustaka.
9. Nugroho, Taufan, 2010. Kasus
Emergency
Kebidanan
Untuk
Kehamilan
Dan
Keperawatan,
Yogyakarta : Nuha Medika.
10. Nursalam,
2003.
Konsep
&
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi,
Tesis
dan
Instrumen
Penelitian, Jakarta : Salemba Medika.
11. Pudiastuti, Dewi Ratna, 2012. Asuhan
Pada Ibu Hamil Normal Dan
Patologi, Yogyakarta : Nuha Medika.
71
Vol. 4, No. 1 Juni 2012
12. Prawirohardjo, Sarwono, 2006. Ilmu
Kebidanan, Jakarta : YBPSP.
13. Prawirohardjo,
Sarwono,
2003. Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka.
14. Prawirohardjo, Sarwono, 2008. Ilmu
Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
15. Sujiyatini, dkk, 2009. Asuhan
Patologi Kebidanan Plus Contoh
Asuhan Kebidanan, Yogyakarta :
Nuha Medika.
16. Seameo WHO, 2003. Semi Quantitatif
FFQ Metod, Jakarta : EGC.
17. Sastroamidjojo, Soemilah, Prof. Dr,
dkk,
2004.
Pegangan
Journal Infokes STIKES Insan Unggul Suraaya
ISSN 2085-028X
Penatalaksanaan Nutrisi Pasien,
Jakarta : Persatuan Dokter Gizi Medik
Indonesia (PDGMI).
18. SDKI, 2005. Angka Kematian Ibu dan
Bayi,
http://ibuhamil.com/caritopik.php?fro
m=8264&q=aki+dan+akb+di+indones
ia+menurut+sdki., Diakses tanggal 12
Maret 2013.
19. Wiknjosastro, Hanifaa, 2003. Ilmu
Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
20. Yulaikhah, Lily, 2008. Kehamilan :
Seri Asuhan Kebidanan, Jakarta :
EGC.
72
Download