BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Servikal 2.1.1 Servikal I-VII Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena pada atlas dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan sendi, fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus posterior untuk lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri vertebralis. Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra servikal ke-3 sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid. Pada permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi, dens yang ujungnya bulat, aspek dentis. Vertebra servikal III-V processus spinosus bercabang dua. Foramen transversarium membagi processus transversus menjadi tuberculum anterior dan posterior. Lateral foramen transversarium terdapat sulcus nervi spinalis, didahului oleh nervi spinalis. Vertebra servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I sampai dengan servikal V adalah tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico. 8 9 Vertebra servikal VII merupakan processus spinosus yang besar, yang biasanya dapat diraba sebagai processus spinosus columna vertebralis yang tertinggi, oleh karena itu dinamakan vertebra prominens (Syaifuddin, 2003). Gambar 2.1.1 Vertebra Servikal I-VII (Sumber: Syaifuddin, 2003) 2.1.2 Ligamentum. Ligamentum adalah pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi untuk mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain atau untuk menyangga suatu organ (Snell, 2006). a. Ligamentum longitudinal anterior Ligamentum longitudinal anterior merupakan suatu serabut yang membentuk pita lebar dan tebal serta kuat, yang melekat pada bagian corpus vertebra, dimulai dari sebelah anterior corpus 10 vertebrae cervicalis II (yang meluas ke kepala pada os occipitale pars basilaris dan tuberculum anterior atlantis) dan memanjang ke bawah sampai bagian atas depan fascies pelvina os sacrum. Ligamen longitudinal anterior ini lebih tebal pada bagian depan corpus karena mengisi kecekungan corpus. Ligamen longitudinal anterior ini berfungsi untuk membatasi gerakan extensi columna vertebralis. Dimana daerah lumbal akibat berat tubuh akan mengalami penambahan lengkungan pada vertebra columna didaerah lumbal. Gambar a. Ligamentum Longitudinal Anterior (Sumber: Syaifuddin, 2003) b. Ligamentum longitudinal posterior Ligamentum longitudinal posterior berada pada permukaan posterior corpus vertebrae sehingga dia berada di sebelah depan 11 canalis vertebralis. Ligamentum ini melekat pada corpus vertebra servikal II dan memanjang kebawah os sacrum. Ligamentum ini diatas discus intervertebralis diantara kedua vertebra yang berbatasan akan melebar, sedangkan dibelakang corpus vertebra akan menyempit sehingga akan membentuk rigi. Ligamentum ini berfungsi seperti ligamentum-ligamentum lain pada bagian posterior vertebra colum, yaitu membatasi gerakan ke arah fleksi dan membantu memfiksasi dan memegang dalam posisi yang betul dari suatu posisis reduksi ke arah hyperextensi, terutama pada daerah thorakal. Gambar b. Ligamentum Longitudinal Posterior (Sumber: Syaifuddin, 2003) 12 c. Ligamentum intertransversarium Ligamentum intertransversarium melekat antara processus transversus dua vertebra yang berdekatan. Ligamentum ini berfungsi mengunci persendian sehingga membentuk membuat stabilnya persendiaan. Gambar c. Ligamentum Intertransversarium (Sumber: Syaifuddin, 2003) d. Ligamentum flavum Ligamentum flavum merupakan suatu jaringan elastis dan berwarna kuning, berbentuk pita yang melekat mulai dari permukaan anterior tepi bawah suatu lamina, kemudian memanjang ke bawah melekat pada bagian atas permukaan posterior lamina yang 13 berikutnya. Ligamentum flavum ini di daerah servikal tipis akan tetapi di daerah thorakal ligamentum ini agak tebal. Ligamentum ini akan menutup foramen intervertebral untuk lewatnya arteri, vena serta nervus intervertebral. Adapun fungsi ligamentum ini adalah untuk memperkuat hubungan antara vertebra yang berbatasan. Gambar d. Ligamentum Flavum (Sumber: Syaifuddin, 2003) e. Ligamentum interspinale Ligamentum interspinale merupakan suatu membran yang tipis melekat pada tepi bawah processus suatu vertebra menuju ke tepi atas processus vertebra yang berikutnya. Ligamentum ini 14 berhubunganm dengan ligamentum supra spinosus dan ligamentum ini didaerah lumbal semakin sempit. Gambar e. Ligamentum Interspinale (Sumber: Syaifuddin, 2003) 2.1.3 Otot pada Leher Otot yang terdapat pada leher terdiri dari otot sternocleidomastoideus origonya terletak pada processus mastoideus dan linea nuchae superior, insersio Pada incisura jugularis sterni dan articulation sternoclavicularis, fungsi rotasi, lateral flexi, kontraksi bilateral mengangkat kepala dan membantu pernapasan bila kepal difixasi inervasi nervus accessorius dan plexus servikal (C1 dan C2) (Daniel, S. Wibowo, 2005). 15 Gambar 2.1.3 Otot Sternocleidomastoideus (Sumber: Daniel, 2005) Otot scaleni terbagi atas 3 serabut, yang pertama otot scalenus anterior, origo pada tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis III sampai VI, insersio pada tuberculum scaleni anterior, inervasi plexus brachialis (C5-C7) dan berfungsi menarik costa I, menekuk leher ke latero anterior dan menekuk leher ke anterior. Yang kedua otot scalenus medius origo terletak pada tuberculum posterior processus transversus vertebra cervicalis II sampai dengan VII, insersio pada costa I di belakang sulcus a.subclavicula dan kedalam membran intercostalis externa dari spatium intercostalis I, inervasi plexus cervicalis dan brachialis (C4-C8) dan berfungsi mengangkat costa I dan 16 menekuk leher ke lateral costa I. Yang terakhir otot scalenus posterior origo terletak pada processus transversus vertebra cervicalis V sampai VII, insersio pada permukaan lateral costa II, inervasi plexus brachialis ( C7-C8) dan berfungsi fleksi leher, membantu rotasi leher dan kepala serta mengangkat costa I (Daniel, S. Wibowo, 2005). Gambar 2.1.3 Otot Scaleni (Sumber: Daniel, 2005) Otot trapezius dibagi menjadi 3 serabut yaitu yang pertama pars descendens origo berasal dari linea nuchae superior, protuberantia occipitalis externa dan ligamentum nuchea, insersio pada sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi dan retraksi dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2C4). Otot pars tranversa origo berasal dari servikal, insersio pada 17 sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi dsn retraksi. dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4). Yang ketiga pars ascendens origo berasal dari vertebra thoracalis III sampai XII, dari processus spinosus dan ligamentum supraspinasum, insersio pada trigonum spinale dan bagian spina scapulae yang berdekatan, berfungsi untuk menarik ke bawah (depresi) dan menginervasi nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4) (Daniel, S. Wibowo, 2005). Gambar 2.1.3 Otot Trapezius (Sumber: Daniel, 2005) 18 Otot levator scapula origo terletak pada tuberculum posterior processus transversus vertebra cervicalis I sampai IV, insersio pada angulus superior scapula, berfungsi mengangkat scapula sambil memutar angulus inferior ke medial dan menginervasi nervus dorsalis scapulae (C4-C8). Otot ini difungsikan untuk mengangkat pinggir medial scapula. Bila bekerja sama dengan serabut tengah otot trapezius dan rhomboideus, otot ini menarik scapula ke medial dan atas, yakni pada gerakan menjepit bagu ke belakang (Daniel, S. Wibowo, 2005). Gambar 2.1.3 Otot Levator Scapula (Sumber: Daniel, 2005) 19 Otot longus colli kira-kira membentuk segitiga karena terdiri atas tiga kelompok serabut. Fungsinya : untuk membengkokkan servikal ke depan dan ke samping. Inervasinya plexus cervicalis dan brachialis (C2C8). Otot longus colli terdiri dari 3 serabut, yang pertama serabut oblique superior origonya berasal dari tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis II sampai V dan insersio pada tuberculum anterior atlas. Yang kedua serabut oblique inferior, origo berjalan dari corpus vertebra thoracalis I sampai III dan insersio pada tuberculum anterius vertebra cervicalis VI. Dan yang terakhir serabut medial, origo terbentang dari corpus vertebra thoracalis bagian atas dan vertebra cervicalis bagian bawah insersio pada corpus vertebra cervicalis bagian atas (Daniel, S. Wibowo, 2005). Gambar 2.1.3 Otot Longus Colli (Sumber: Daniel, 2005) 20 Otot longus capitis origo terletak pada tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis III sampai VI, insersio pada bagian basal os occipital berfungsi membentuk gerakan flexi, Lateral flexi dan menginervasi plexus cervicalis (C1-C4) (Daniel, S. Wibowo, 2005). Gambar 2.1.3 Otot Longus Capitis (Sumber: Daniel, 2005) 2.2 Biomekanik 2.2.1. Regio Servikal Disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint (C0C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur 21 sendi dan memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran, penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical (Neuman, 2002). a. Atlanto-occipital Joint (C0-C1) Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi- ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concaf sebesar 10 derajat. Sedangkan pada gerakan ekstensi condylus yang conveks akan slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concaf sebesar 17derajat. Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisisisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet articularis(atlas) yang concaf sebesar 5derajat. b. Atlanto-axial Joint (C1-C2) Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan terjadi gerakan pivot kedepan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2) sebesar 15 derajat sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot kebelakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). 22 Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45 derajat dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar disekitar procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis superior axis. c. Vertebra joints (C2-C7) Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah atas dan depan terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 40 derajat, sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concaf akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 70 derajat. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada procesus articularis inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap procesus articularis superior vertebra inferior sebesar 45 derajat. Gerakan lateral fleksi cervical, procesus articularis inferior vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan 23 sedikit kedepan sebesar 35 derajat. Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang juga searah. Mekanisme gerakan lateral fleksi ditunjukan seperti gambar 2.2.1 dibawah ini. muscle stretch muscle contraction Gambar 2.2.1 Gerakan Lateral Fleksi Leher (Sumber: Neumann, 2002) 2.3 Lingkup Gerak Sendi Leher Lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM) adalah luasnya gerakan sendi yang terjadi pada saat sendi bergerak dari satu posisi ke posisi lain, baik secara pasif maupun aktif. Lingkup gerak sendi dapat juga diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak (Deuster et al., 2007). 24 Lingkup gerak sendi berhubungan dengan fleksibilitas. Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk memanjang semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi yang penuh, tanpa disertai rasa nyeri. Gerakan leher yang utama adalah fleksi yaitu membawa dagu kearah dada, ekstensi yaitu memutar kepala kebelakang untuk melihat langit-langit, dan lateral fleksi yaitu membawa telinga kearah bahu. Stabilitas tulang belakang cervical disediakan oleh kombinasi sendi zygapophyseal, banyak ligament dan otot. Ekstensi, fleksi, gerakan lateral, dan rotasi diinduksi oleh orientasisendi zygapophyseal (Weerapong et al., 2005). Pengukuran dari lingkup gerak sendi leher tersebut dapat diukur dengan menggunakan alat berupa goniometer. Dengan cara meletakan axis (fulcrum) di posisi ataupun di suatu titik pengukuran kemudian lengan proksimal (stationary arm) posisi diam dan lengan distal (moving arm) bergerak mengikuti gerakan sendi. Sudut yang ditunjukan pada goniometer diinterpretasikan sebagai lingkup gerak sendi dari sendi tersebut (Reese,2002). Berikut adalah gambar dari alat ukur goniometer. 25 Gambar 2.3 Goniometer (Sumber: Reese,2002) 2.4 Patofisiologi Penurunan Lingkup Gerak Sendi Leher Masalah penurunan lingkup gerak sendi pada tubuh manusia salah satunya sering terjadi pada otot upper trapezius karena otot ini sering ditemukan mengalami gangguan (Lestari, 2010). Otot upper trapezius adalah tot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi servikal. Kelainan yang terjadi pada tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya menjadi tegang, timbul nyeri dan dalam waktu lama mengakibatkan penurunan lingkup gerak sendi. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma (Makmuriyah & Sugijanto, 2013). Kondisi kontraksi pada otot yang berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan keadaaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah ATP, sehingga tidak adanya ketersediaan energi untuk menggeser aktin dan miosin. Kontraksi yang terjadi semakin lama akan 26 semakin lemah, walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih menyebar pada serabu-serabut otot (Guyton & Hall, 2008). Pada penelitian ini akan digunakan gerakan lateral fleksi servikal sebagai interpretasi lingkup gerak sendi dimana otot upper trapezius berperan sebagai main muscle atau otot yang paling dominan bekerja pada gerakan tersebut. Lingkup gerak sendi lateral fleksi servikal yang normal adalah lebih dari 45º. Otot upper trapezius terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri dimana pelatihan otot dapat dioptimalkan dengan memberikan intervensi dengan gerakan yang spesifik seperti lateral fleksi (Neuman, 2002). 2.5 Infrared 2.5.1 Definisi Infrared adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7700-4 Juta Ao. Sinar infrared dapat menghasilkan panas lokal yang bersifat superfisial dan direkomendasikan untuk kondisi yang subakut untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Pemanasan supefisial akan berpengaruh pada suhu jaringan di bawahnya yang mengalami cedera, dan penignkatan suhu pada jaringan superfisial akan menghasilkan efek analgesia. Efek panas yang ditimbulkan menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah, dan meningkatkan sirkulasi pada jaringan (Prentice, 2002). 27 Berdasarkan panjang gelombangnya, infrared dibagi menjadi dua yaitu: (1) Gelombang panjang (non penetrating) yang merupakan infrared dengan panjang gelombang 12.000 Ao – 150.000 Ao. Daya penetrasi dari gelombang ini hanya sampai pada lapisan superfisial epidermis yaitu sekitar 0,5 mm. (2) Gelombang pendek (penetrating) yang memiliki panjang gelombangnya mencapai 7.700 Ao – 150.000 Ao. Gelombang ini mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada gelombang panjang. Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai jaringan subkutan dan dapat berpengaruh langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe, ujung-ujung saraf, dan jaringan lain yang ada di bawah kulit.Selain memiliki efek fisiologis dan terapeutik, infrared menimbulkan bahaya seperti : (1) Adanya luka bakar yang terjadi pada daerah superfisial epidermis, (2) Electric shock yang terjadi akibat dari adanya kabel yang terbuka dan disentuh oleh pasien, (3) Meningkatkan keadaan gangrene, (4) Sakit kepala (Headache) yang terjadi pada saat pemberian terapi, (5) Kaitnessyang terjadi pada saat diberikan terapi dimana pasien menjadi pingsan atau tidak sadarkan diri secara tiba-tiba, (6) Kerusakan pada mata, sinar infrared dapat menyebabkan terjadinya katarak jika mengenai mata (Prasetyo, 2013). Dalam infrared terdapat indikasi dan kontraindikasi pemberian intervensi tersebut. Indikasi dari modalitas infrared adalah kondisi 28 peradangan setelah fase akut, seperti kuntusio, muscle strain, muscle sprain, trauma sinovitis, arthritis seperti rhematoid arthritis, osteoarthritis, myalgia, neuralgia, neuritis, gangguan sirkulasi darah, penyakit kulit, persiapan exercise dan massage. Sedangkan, kontraindikasi dari modalitas infrared adalah daerah dengan insufiensi pada darah, gangguan sensibilitas kulit dan adanya kecenderungan terjadinya pendarahan (Prentice, 2002). 2.5.2 Teknik Aplikasi Infrared Posisikan pasien 20 inchi dari lampu infrared. Lepaskan bahanbahan logam atau pakaian pada bagian yang akan di terapi. Posisikan lampu infrared tegak lurus dengan daerah yang diterapi. Durasi waktu saat pelakasanaan terapi terapi adalah 10-15 menit. Selama proses terapi, perlu dilakukan kontrol untuk memeriksa rasa hangat pada kulit (Prentice, 2002). 2.5.3 Efek Pemberian Infrared Pemberian modalitas infrared, dapat memberikan efek fisiologis dan efek terapeutik pada tubuh, yaitu (Prentice, 2002): 1. Efek fisiologis a. Meningkatkan proses metabolisme Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur pada jaringan. Proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superficial kulit akan meningkat sehingga 29 sirkulasi oksigen dan nutrisi ke jaringan menjadi lebih baik, dan pengeluaran zat sisa metabolisme juga lancar. b. Vasodilatasi pembuluh darah Efek panas yang dihasilkan oleh sinar infrared akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan mengadakan reaksi dan berwarna kemerah-merahan yang disebut erythema. Untuk ini mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah panas daratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah yang miningkat, maka pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan, sehingga pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang juga baik. c. Pigmentasi Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared dapat menimbulkan pigmentasi pada tempat yang disinari. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya perubahan sel-sel darah merah di tempat tersebut. d. Pengaruh terhadap jaringan otot Kenaikan temperatur pada jaringan mempengaruhi terjadinya relaksasi otot, pemanasan juga pembuangan zat-zat metabolisme. akan membantu proses 30 e. Distruksi Jaringan Penyinaran yang berlebihan dapat menimbulkan kenaikan temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan. f. Meningkatkan temperatur tubuh Peningkatan temperatur jaringan superfisial akan diteruskan ke seluruh tubuh, maka disamping terjadi pemerataan panas juga akan terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Hal ini karena adanya panas yang akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk meratakan panas yang terjadi dengan jalan dilatasi yang bersifat general. g. Mengaktifkan kerja kelenjar keringat Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat. 2. Efek terapeutik a. Mengurangi rasa nyeri Panas ringan memberikan efek sedatif pada superficial sensoris nerve ending, Sedangkan panas kuat dapat menghasilkan counter iritation yang akan menimbulkan pengurangan nyeri. Deangan sirkulasi darah yang lancar maka zat ”P” yang merupakan salah satu penyebab nyeri akan ikut terbuang. 31 b. Relaksasi otot Relaksasi otot akan dicapai jika rasa nyeri berkurang dan jaringan otot dalam keadaan hangat. c. Meningkatkan sirkulasi darah Kenaikan temperatur yang terjadi, akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan sirkulasi darah pada jaringan yang diterapi. d. Membuang zat-zat sisa hasil metabolisme Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula gudoifera diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat Menurut hasil penelitian dari Usuba, et al., (2006) bahwa efek panas yang dihasilkan oleh infrared dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada area yang mengalami keterbatasann lingkup gerak sendi. Penelitian lainnya yang dilakukan Anjas Wichaksono (2014) efek pemberian intervensi infrared pada bagian leher dapat memberikan vasodilatasi dan relaksasi pada otot untuk dapat mengurangi spasme dan meningkatkan lingkup gerak sendi leher. Hal ini diperkuat oleh Prentice (2002) dalam bukunya yang berjudul Therapeutic Modalities for Physical Therapists, bahwa infrared dapat memberikan efek relaksasi pada otot 32 yang mengalami spasme sehingga akan berdampak pada peningkatan fleksibilitas pada otot. 2.6 Slow Reversal 2.6.1 Definisi Slow reversal adalah salah satu metode dalam PNF untuk menambah fleksibilitas pada otot yang melibatkan kontraksi otot agonis dan antagonis pelaksanaannya untuk terapis menambah lingkup memberikan gerak tahanan sendi. Dalam sedangkan pasien mengkontraksikan otot agonis sebagai otot yang lebih kuat hingga ROM yang diinginkan dan setelah itu tanpa adanya pengurangan kontraksi atau relaksasi otot dilanjutkan dengan memberi tahanan kontraksi pada otot yang antagonis. Adanya kontraksi yang terus menerus tanpa diselingi oleh jeda akan memberikan relaksasi maksimal yang dapat membantu dalam penguluran dan peningkatan lingkup gerak sendi. Kontraksi maksimal pada otot yang dipanjangkan akan memprovokasi perubahan struktur dari aktin-miosin. Gerakan yang pelan akan memastikan setiap otot yang diinginkan berkontraksi secara maksimal (Alder et al., 2007). Dalam slow reversal terdapat indikasi dan kontraindikasi pemberian intervensi tersebut. Indikasi dilakukannya slow reversal adalah keterbatasan lingkup gerak sendi akibat adanya perlengketan, 33 pembentukan jaringan parut, yang berperan untuk menimbulkan ketegangan otot, jaringan ikat dan kulit, gerakan yang terbatas akibat deformitas struktural, kelemahan otot dan pemendekan dari jaringan antagonis. Sedangkan, kontraindikasi dilakukannya slow reversal adalah fraktur yang masih baru, tulang menonjol yang membatasi gerakan sendi, infeksi akut, perdarahan, terdapat penyatuan tulang yang belum komplit dan nyeri akut yang tajam pada gerakan sendi atau elongasi otot (Kisner & Colby, 2007). 2.6.2 Teknik Aplikasi Slow Reversal Teknik aplikasi slow reversal adalah sebagai berikut (Alder et al., 2007) : a. Terapis memberikan tahanan pada subjek untuk bergerak dalam satu arah (biasanya arah yang lebih kuat) sebanyak 5 kali repetisi. b. Pada akhir ROM yang diinginkan tercapai, ubah manual kontak sementara memberikan persiapan perintah verbal. c. Perintah verbal mengawali gerakan untuk bergerak ke arah sebaliknya tanpa relaksasi dan berikan penahanan pada arah gerakan baru mulai dari distal. d. Aplikasi teknik inidilakukan dengan frekuensi 3x dalam satu minggu sebanyak 6x perlakuan. 34 2.6.3 Mekanisme Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Leher Melalui Slow Reversal Konsep dari teknik slow reversal pada dasarnya terjadi pada komponen elastik (aktin dan miosin) yang menyebabkan ketegangan dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer akan memanjang dan bila hal ini dilakukan terus-menerus otot akan beradaptasi. Saat pengaplikasian teknik intervensi dynamic reversals akan terjadi mekanisme yang disebut reciprocal innervations/inhibition. Reciprocal inhibition mengacu pada inhibisi otot antagonist ketika kontraksi isotonik yang terjadi dalam otot agonis. Hal ini terjadi karena reseptor strecth dalam serabut otot agonis muscle spindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan panjang otot secara tetap dengan memberikan umpan balik pada perubahan kontraksi, dalam hal ini arah muscle spindle memainkan bagian dalam proprioceptif. Dalam respon untuk peregangan, muscle spindle menghentikan impuls saraf yang meningkatkan kontraksi, hingga mencegah over stretching (Alder et al., 2007). Pada slow reversal juga terjadi penguluran komponen elastik pada otot. sehingga akan mempengaruhi komponen elastik sarkomer pada otot dimana melepaskan perlengketan ataupun taut band aktin dan moisin sehingga akan mempengaruhi dari pemanjangan otot (Alder et al., 2007). 35 Menurut penelitian yang dilakukan Sherrington tahun 2004 teknik slow reversal dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada regio leher sebanyak 10%-20% dilakukan selama enam kali perlakuan dalam 2 minggu. Hal ini diperkuat oleh penelitian Candra Prayoga (2014) bahwa slow reversal pada otot upper trapezius dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada leher. 2.7 Contract Relax Stretching 2.7.1 Definisi Contract relax stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang mengalami pemendekan dilanjutkan dengan relaksasi kemudian kembali diulur. Contract relax stretching merupakan suatu teknik yang menggabungkan antara tipe stretching isometrik dengan tipe stretching pasif. Teknik tersebut bertujuan untuk memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak seperti ligament, otot, fascia dan tendon yang mengalami pemendekan secara patologis. Penguluran tersebut dapat meningkatkat lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri yang disebabkan oleh spasme, pemendekan otot atau akibat fibrosis (Azizah & Hardjono, 2006). Teknik contract relax stretching dimulai dengan terapis memberikan kontraksi isometrik pada otot yang mengalami pemendekan 36 kemudian dilanjutkan dengan relaksasi. Setelah relaksasi terapis memberikan penguluran pada otot tersebut. Contract relax stretching dikatakan sebagai kombinasi dari tipe stretching isometrik dan stretching pasif karena pada pelaksanaannya teknik ini dilakukan dengan dengan mengkontraksikan otot yang memendek kemudian relaksasi, setelah itu dilakukan penguluran (Azizah & Hardjono, 2006). Manfaat dari teknik contract relax stretching adalah untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit pada otot, membuat tubuh menjadi lebih relaks, fleksibilitas meningkat, mencegah terjadinya strain otot, mempersiapkan diri untuk melakukan aktifitas agar terasa lebih mudah seperti berlari, berenang, dan memberikan sinyal kepada otot agar otot mengetahui bahwa mereka akan dipakai untuk melakukan aktifitas (Nelson 2007). Dalam contract relax stretching terdapat indikasi dan kontraindikasi pemberian intervensi tersebut. Indikasi dilakukannya contract relax stretching yakni Range Of Motion (ROM) terbatas akibat dari kontraktur adhesive dan terbentuknya scar tissue (jaringan parut) yang memicu pemendekan pada otot dan kulit, adanya keterbatasan gerak akibat dari deformitas yang bersifat structural, adanya kontraktur otot dan kelemahan otot, digunakan untuk mencegah cedera musculoskeletal (Kisner & Colby, 2007). 37 Kontraindikasi dilakukannya contract relax stretching adalah fraktur yang baru, dislokasi atau subluksasi, terdapat gejala peradagangan atau infeksi akut pada daerah sekitar sendi, trauma akut pada otot dan ruptur tendon dan otot (Kisner & Colby, 2007). 2.7.2 Teknik Aplikasi Contract Relax Stretching Contract relax stretching merupakan suatu teknik stretching yang bertujuan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi, menghilangkan spasme otot serta meningkatkan panjang jaringan lunak. Adapun pelaksanannya adalah sebagai berikut (Kisner & Colby, 2007): a. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan jelaskan prosedur, tujuan dan efek contract relax stretching yang dirasakan. b. Fisioterapis berada dibelakang pasien dengan tangan kanan memfiksasi bagian lateral leher pasien sedangkan tangan kiri diatas bahu pasien. c. Pasien melakukan gerakan melawan arah dorongan tangan kiri fisioterapis dan ditahan selama 7 detik diikuti inspirasi maksimal,kemudian relaksasi diikuti ekspirasi dan fisioterapis melakukan stretching selama 9 detik. 2.7.3 Mekanisme Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Leher Melalui Contract Relax Stretching Contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Motor unit 38 yang ada pada seluruh serabut otot akan teraktifasi akibat dari adanya kontraksi isometrik yang diikuti dengan inspirasi maksimal. Hal tersebut juga akan menstimulus golgi tendon organ yang dapat membantu terjadinya relaksasi pada otot setelah kontraksi (reverse innervation) sehingga akan terjadi pelepasan adhesi pada otot tersebut (Azizah & Hardjono, 2006). Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaksasi setelah kontraksi maksimal dari otot tersebut. Dengan demikian maka pengangkutan sisa-sisa metabolisme ( substance) dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Azizah & Hardjono, 2006). Relaksasi yang dilakukan setelah kontraksi isometrik maksimal selama 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh relaksasi maksimal yang difasilitasi Reverse Innervation. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat relaksasi dan ekspiresi maksimal maka diperoleh pencapaian panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada maksimal range of motion (ROM) akan 39 merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot antagonis (Risal, 2010). Dengan adanya komponen stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga relaksasi dapat dicapai karena nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle dapat diputuskan. Jika contract relax stretching diaplikasikan pada kondisi tersebut maka dapat mengurangi iritasi pada saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat dari abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi contract relax stretchingserabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormalcross link pada ketegangan. (Azizah & Hardjono, 2006). Penelitian yang telah dilakukan 3 kali seminggu selama 2 minggu dengan sample 20 orang mengahasilkan peningkatan lingkup gerak sendi leher 63,3% ( Zuriatum Faizah, 2011 ). Hal ini diperkuat oleh penelitian Somprasong, et al., (2011) bahwa pemberian contract relax stretching pada upper trapezius dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada leher.