IDEOLOGI HIDUP SEHAT DALAM IKLAN TELEVISI: ANALISIS

advertisement
IDEOLOGI HIDUP SEHAT DALAM IKLAN TELEVISI:
ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP IKLAN MAKANAN
Desak Putu Eka Pratiwi
STIBA Saraswati Denpasar
[email protected]
Abstrak
Iklan merupakan ajang permainan tanda. Pada dasarnya, tanda-tanda yang digunakan dalam
iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan nonverbal. Strategi kreatif penciptaan iklan harus
memperhatikan tanda-tanda (signs) dan makna (meaning) yang bisa dipahami oleh khalayak
setempat karena berkaitan dengan latar belakang khalayak yang bersangkutan. Semua tanda
yang muncul dalam teks iklan mewakili realitas sosial yang ada dalam masyarakat sehingga
iklan berkaitan erat dengan pemaknaan khalayak. Konteks budaya menjadi satu acuan yang
tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan keberhasilan komunikasi suatu
iklan. Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda yang terorganisasi menurut kode-kode
yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap dan juga keyakinan tertentu. Dari tanda-tanda
itulah muncul suatu ideologi. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah makna di balik tandatanda yang muncul pada iklan. Dalam pengkajian atas tanda-tanda, semiotik merupakan
teori yang diaplikasikan agar tanda-tanda dapat dipetakan secara baik. Dengan demikian
ditemukan mitos dan ideologi yang melatarbelakangi iklan tersebut.
Kata Kunci: tanda, makna, mitos, ideologi
Abstract
An advertisement is amedium of signs. Basically, signs consist of verbal signs and visual
signs. The creative strategy in advertising must concern on signs and meaning which can be
understood by people. All signs in advertisements represent reality in social life. That is why
an advertisement is strongly related to people’s interpretations. Cultural context becomes
crucial in relation to the success of advertisement communication. An advertisement as a
text is a sign system which organized based on codes that reflect particular values, attitudes,
and beliefs. Signs create ideology. This research aims at discovering meaning behind the
signs in advertisement. In analysing signs, theory of semiotics is applied in order to mapping
the signs properly. So that myth and ideology behind the advertisements can be discovered.
Keywords: sign, meaning, myth, ideology
1. Pendahuluan
Periklanan merupakan sebuah bisnis yang menggunakan bahasa untuk membujuk
orang melakukan sesuatu atau membeli suatu produk. Dalam hal ini, bahasa digunakan
untuk dua kepentingan sekaligus. Pertama, bahasa digunakan sebagai salah satu sarana untuk mendeskripsikan realitas barang (produk) yang ditawarkan/diiklankan. Kedua, setelah
deskripsi barang ditampilkan, bahasa juga digunakan untuk membentuk citra pada barang
tersebut. Pengiklan menggunakan berbagai cara, memainkan, bahkan mengeksploitasi bahasa untuk menarik perhatian khalayak. Bahasa iklan adalah bahasa yang sangat unik
sebab bahasa iklan bersifat persuasif sehingga harus dibuat menarik dan bombastis.
Sebagian tayangan iklan sering kali bukan menawarkan produk semata, melainkan
juga melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Dalam catatan Graeme Burton (2007:
40), barang-barang yang diiklankan di televisi memperoleh nilai kultural. Iklan yang
15
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
pada dasarnya sekadar kegiatan promosional atas produk menjadi kegiatan pemasaran
seperangkat nilai dan keyakinan. Iklan televisi telah menjadi satu bagian kebudayaan
populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan bahkan ideologi.
Menariknya, iklan televisi kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi
karena pesan iklan bukan lagi sekadar menawarkan barang dan jasa, melainkan juga
menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik.
Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang
ditawarkan, tetapi seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik
penciptanya. Persoalan representasi ini yang kemudian lebih menarik karena di dalam
iklan sebuah makna sosiokultural dikonstruksi. Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem
tanda yang terorganisasi menurut kode-kode yang merefleksikan nilainilai tertentu, sikap
dan juga keyakinan tertentu. Iklan merupakan ajang permainan tanda. Dari tanda-tanda
itulah muncul suatu ideologi. Thompson (2003:17) mendefinisikan ideologi sebagai
sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan
tindakan sosial dan politik. Ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses
pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan proses
pembenaran dominasi. Ideologi memengaruhi pikiran, selera, perasaan, dan menuntut
tindakan kebudayaan serta tindakan sosial seseorang atau kelompok.
Pada dasarnya, ideologi yang melatarbelakangi semua iklan komersial adalah
ideologi kapitalisme sebab tujuan utama pengiklan adalah membuat produk yang diiklankan
laku di pasaran sehingga terjadilah akumulasi modal. Akumulasi modal memberikan
keuntungan besar bagi kaum kapitalis. Ideologi kapitalisme tersebut terselubung di balik
makna yang telah didistorsi. Dengan kata lain, ada “ideologi di balik ideologi” pada setiap
tayangan iklan komersial di televisi. Hal ini sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah makna di balik tanda-tanda yang muncul pada
iklan TV untuk menguak mitos dan ideologi yang melatarbelakangi iklan-iklan tersebut.
Data pada penelitian ini diambil dari iklan TV sebab iklan TV memiliki kekuatan yang
lebih besar untuk memengaruhi khalayak jika dibandingkan dengan media lainnya. Iklan
TV memiliki kesan realistik, maksudnya iklan TV mempunyai sifat yang visual dan
merupakan kombinasi warna-warna, suara, dan gerakan. Oleh sebab itu, iklan-iklan TV
seperti iklan hidup dan nyata. Pengiklan bisa menunjukkan kelebihan dan keunggulan
produknya secara rinci.
2. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu pada teori
Barthes (2009) yang menggunakan kaidah denotasi, konotasi, dan mitos. Di samping
itu, teori Storey (2004) juga digunakan dalam menelaah ideologi yang melatarbelakangi
iklan-iklan komersial di TV.
2.1 Teori Semiotik
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari makna dari suatu tanda. Bahasa
adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya
dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Menurut Barthes (1998) hal yang relevan dalam kaitan dengan semiotik, adalah
konsep denotasi dan konotasi. Konotasi diberikan oleh pemakai tanda. Denotasi
merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang
subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh
16
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya
kata merah bermakna “warna seperti warna darah” (secara lebih objektif, makna dapat
digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah
polisemi, sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna
yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa,
konotasi dimunculkan melalui: majas metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi,
dan sebagainya), presuposisi, implikatur.
Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau
masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif, misalnya halus,
kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya,
tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna
konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Konsep konotasi tersebut digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan bagaimana
gejala budaya—yang dilihat sebagai tanda—memperoleh makna khusus dari masyarakat.
Barthes (1957: 74–75) juga menggambarkan konotasi tentang minuman anggur sebagai
“minuman totem”, yakni minuman yang berkonotasi “ke-prancis-an”. Bagi masyarakat
Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman beralkohol, tetapi minuman yang
merupakan/dirasakan sebagai pemameran kesenangan, suatu tindakan minum yang berefek
jangka panjang dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya mempunyai nilai
retoris. Jadi, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabadabad sehingga menjadi mitos.
2.2 Teori Ideologi
Dalam analisis iklan, ideologi merupakan salah satu komponen penting yang
harus ditelaah. Storey (2003: 4) mengemukakan lima pengertian yang terkait dengan
ideologi sebab kata ideologi dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Makna yang
dibahas yang terkait dengan budaya populer. Pertama, ideologi dapat mengacu pada
suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok
masyarakat tertentu.
Kedua, makna ideologi menyiratkan adanya penyembunyian realitas tertentu.
Dalam pengertian ini, ideologi digunakan untuk menunjukkan bagaimana teks-teks
dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai citra tentang realitas yang
sudah didistorsi atau diputarbalikkan.Teks-teks dan praktik-praktik tersebutlah yang
menghasilkan “kesadaran palsu” (Storey 2003:4). Pengertian ini merujuk pada ideologi
kapitalisme. Ideologi digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan realitas sebenarnya,
yaitu realitas dominasi para pemilik modal.
Ketiga, ideologi juga dapat mengacu pada “bentuk-bentuk ideologis”. Dalam
pengertian ini, penggunaan ideologi dimaksudkan untuk menarik perhatian pada caracara yang selalu digunakan teks (media massa) untuk mempresentasikan citra tertentu
tentang dunia (Storey, 2003:7). Keempat, definisi berikut dikembangkan oleh filsuf
Marxis Prancis, Louis Althusser (Storey, 2003:8). Pada dasarnya, apa yang dipikirkan
oleh Althusser tentang ideologi adalah cara-cara yang berupa kebiasan-kebiasaan tertentu
menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial,
yang ditandai dengan adanya kesenjangan sosial dan perbedaan status yang menonjol.
Kelima, definisi ideologi menurut Roland Barthes. Barthes menyatakan bahwa
ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang sering kali
tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apa
17
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
pun (Storey, 2003: 8). Teori mitos dikembangkan oleh Barthes bertujuan untuk melakukan
kritik atas ideologi budaya massa atau budaya media. Barthes menyatakan bahwa pada
tingkat penandaan kedua (konotasi) inilah mitos diciptakan dan digunakan. Seperti pada
mitos, Barthes (dalam Storey, 2003:116) juga mengartikan ideologi sebagai suatu bentuk
ide dan praktik yang mempertahankan status quo dan secara aktif mempromosikan nilainilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Ideologi berusaha untuk
menjadikan apa yang pada faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate,
sekaligus juga suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat kultural sebagai hal
yang alamiah.
Teks-teks yang ada dalam iklan telah didistorsi demikian rupa sehingga yang
muncul dalam gambaran orang ketika mendengar kata maskulin adalah laki-laki dengan
badan kekar, tinggi, berkulit putih, berwajah mulus tanpa jerawat, berambut hitam tanpa
ketombe, berbadan wangi, nafas segar, muda, berpakaian rapi, dan tidak ketinggalan
zaman. Padahal, dalam kenyataannya, laki-laki yang ditampilkan dalam iklan bisa saja
tidak setampan dalam iklan. Semua kesempurnaan penampilan yang terlihat di layar kaca
bisa diciptakan dengan kecanggihan teknologi digital.
Distorsi itu sengaja diciptakan demi tercapainya kepentingan pihak kapitalis.
Ideologi dimanfaatkan sebagai topeng bagi para kapitalis untuk terus-menerus menciptakan
produk-produk baru dan juga kebutuhan-kebutuhan baru bagi target pasarnya. Misalnya,
dahulu orang tidak memerlukan permen penyegar mulut, tetapi iklan telah menciptakan
bahwa bau mulut dapat menimbulkan masalah yang besar dan mengakibatkan krisis
percaya diri. Padahal, dahulu sebelum ada permen penyegar mulut, mereka merasa
baik-baik saja dengan kondisi mereka, tetapi sekarang ada semacam “kewajiban” untuk
mengonsumsi permen penyegar mulut, misalnya sebelum bertemu klien atau berbicara di
depan publik. Konsumen mempunyai kebutuhan baru, yaitu menjaga bau mulut dengan
mengonsumsi permen penyegar mulut.
3. Metode Penelitian
Data pada penelitian ini bersumber dari iklan TV. Jenis iklan yang dipilih adalah
iklan komersial. Ada tiga iklan komersial, khususnya produk makanan, yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu iklan Fitbar, Jacob’s crackers, dan Energen sereal. Metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian yaitu metode observasi dengan teknik
rekam serta teknik simak dan catat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif dengan tipe penelitian interpretatif. Penelitian ini menggunakan
metode analisis semiotik yang mengacu pada teori Barthes (1998) yang menggunakan
kaidah denotasi, konotasi dan mitos. Data kemudian juga dianalisis menggunakan teori
ideologi dari Storey (2003). Hasil analisis data disajikan dengan metode informal.
Penerapan metode informal (naratif) dalam penyajian hasil analisis data diwujudkan
dengan menggunakan untaian kata, kalimat serta istilah teknis untuk merumuskan dan
menerangkan setiap permasalahan penelitian.
4. Pembahasan
Berikut ini adalah analisis ideologi iklan. Semua iklan pada penelitian ini memiliki
ideologi “hidup sehat”. Namun, sesungguhnya idelogi “hidup sehat” hanyalah sebuah
kedok. Ada ideologi lain yang terselubung di baliknya. Hal tersebut dapat dilihat pada
pemaparan di bawah ini. Ada beberapa singkatan yang digunakan dalam analisis data,
yaitu P1/2 (Penutur 1/2), N (Narasi), dan L (Lirik).
18
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Data 1: Iklan Fitbar
P1: “(1) Biasanya jam segini ni jamnya ngemil. (2) Dulu suka worry nimbun kalori dan kolesterol.
(3) Untung sekarang ada Fitbar. (4) Nggak bikin worry, enak lagi.”
P2: “(5) Habis bakar kalori masak nimbun kalori lagi? (6) Sejak ada Fitbar nggak perlu worry. ”
N: “(7) Fitbar, kalori terjaga nol kolesterol.”
P1: “(8) Ganti cemilanmu dengan Fitbar.”
N: “(9) Fitbar, snacking with no worry.”
(Sumber: SCTV)
Iklan di atas mencerminkan realitas bahwa setiap orang mendambakan tubuh
ideal, tidak hanya wanita, tubuh ideal juga menjadi perhatian para pria masa kini yang
sangat mengutamakan penampilan fisik. Hal ini ditunjukkan oleh tuturan 1 dan 2 yang
disampaikan oleh model iklan 1 (seorang wanita), “Biasanya jam segini ni jamnya
ngemil”. “Dulu suka worry nimbun kalori dan kolesterol”. Tuturan tersebut menunjukkan
realitas bahwa sebagian besar wanita sangat takut gemuk. Realitas ini juga ditunjukkan
oleh tuturan 5 yang disampaikan oleh model iklan 1 (seorang pria) “Habis bakar kalori
masak nimbun kalori lagi?”.Tuturan tersebut menunjukkan bahwa kaum pria juga sangat
memperhatikan penampilan.
Seperti yang telah dikemukakan, ideologi berfungsi pada tingkat konotasi. Konotasi
inilah yang akhirnya menguat menjadi mitos. Mitos yang berkembang di masyarakat
adalah “mengemil dapat meningkatkan berat badan sehingga orang-orang sangat takut
mengemil karena mereka takut gemuk”. Mitos ini sangat kuat di masyarakat sehingga
tidak sedikit orang yang rela menahan lapar dan melakukan diet ketat demi tubuh ideal.
Hal ini menjadi peluang bagi kaum kapitalis untuk menciptakan lagi sebuah kebutuhan
baru, yaitu kebutuhan akan snack yang lezat, tetapi rendah kalori. Dengan demikian,
siapa pun tidak perlu takut mengemil lagi. Hal ini ditunjukkan oleh data A3 tuturan 7 dan
9, “Fitbar, kalori terjaga nol kolesterol, Fitbar, snacking with no worry”. Tuturan tersebut
meyakinkan masyarakat siapa pun bisa mengemil tanpa khawatir akan menjadi gemuk.
Berangkat dari mitos tersebut dapat disimpulkan bahwa ideologi dari iklan
Fitbar adalah ideologi hidup sehat dengan camilan sehat. Ideologi tersebut terdengar
sangat mulia, tetapi sesungguhnya ada penopengan realitas di balik ideologi itu. Iklan ini
menunjukkan sebuah realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Kaum kapitalis
dalam hal ini pengiklan sengaja menciptakan distorsi ini untuk menyembunyikan
tujuannya menguasai kaum lemah dalam hal ini konsumen. Kaum kapitalis berusaha
dengan cara halus menundukkan penonton pada cara pandangnya terhadap hidup sehat
sehingga akhirnya penonton terintimidasi dengan ideologi tersebut dan menjadikannya
alasan untuk membeli dan mengonsumsi produk yang diiklankan. Di sisi lain, kaum
kapitalis secara terus-menerus mengeruk keuntungan dari distorsi ini. Dominasi kaum
penguasa dan subordinasi kaum tertindas adalah refleksi atau ekspresi suprastruktural
dari pelbagai relasi kekuasaan yang tegak di atas landasan masyarakat ekonomi.
Data 2: Jacob’s Crackers
L: “(1) Ikan belum makan, PR anak kebanyakan, beban! (2) Baru ingat beras habis, kulkas bocor,
bos sadis, pembantu pulang, mertua datang. (3) Aduh beban-beban!”
N: “(4) Beban nggak terasa kalo badan fit. (5) Baru Jacob’s crackers lezat. (6) Kaya nutrisi gandum
asli, susu, dan sayuran. (7) Jacob’s pilihan sehat nikmatmu.”
(Sumber: RCTI)
19
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Realitas yang ditampilkan pada iklan di atas, yaitu realitas tentang kodrat seorang
wanita. Walaupun seorang wanita memiliki karier tinggi, ia tetap harus ingat akan
kodratnya sebagai seorang ibu yang juga bertanggung jawab atas urusan rumah tangganya.
Hal ini dapat dilihat pada tuturan 1–3, “Ikan belum makan, PR anak kebanyakan, beban!,
Baru ingat beras habis, kulkas bocor, bos sadis, pembantu pulang, mertua datang, Aduh
beban-beban!” Tuturan tersebut menunjukkan beban seorang ibu rumah tangga. Semua
pekerjaan rumah tangga tersebut harus dilakukan di samping juga harus menyelesaikan
pekerjaan kantor. Hal ini adalah realitas pada zaman modern ini karena seorang wanita
tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Wanita masa kini memiliki hak yang sama
untuk menuntut pendidikan serta berkarier sama halnya seperti pria. Hanya saja wanita
memiliki tugas-tugas rumah tangga yang tidak bisa diabaikan. Hal inilah yang menuntut
wanita untuk menjadi multi tasking, yaitu bisa mengerjakan berbagai pekerjaan pada
waktu yang bersamaan.
Realitas tersebut tentu saja tidak asing bagi penonton, khususnya wanita yang
juga pasti pernah mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan urusan karier dan rumah
tangga. Fenomena ini membuka peluang bagi kaum kapitalis yang jeli melihat kebutuhan
wanita masa kini untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan
demikian, diciptakanlah sebuah mitos untuk memperlancar misi ini. Mitosnya adalah
ibu rumah tangga yang bekerja memiliki beban berat. Dengan demikian, wanita seperti
ini harus memiliki energi ekstra untuk dapat menyelesaikan semua tanggung jawabnya
sebagai wanita karier sekaligus ibu rumah tangga.
Dengan ditemukannya mitos pada iklan itu, ideloginya pun tampak jelas, yaitu di
dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Hanya tubuh yang sehat yang mampu
melakukan segudang aktivitas. Hal ini dapat dilihat pada tuturan 4, “Beban nggak terasa
kalo badan fit”. Tuturan tersebut menanamkan sebuah pandangan bahwa kesehatan
adalah hal yang paling utama dalam hidup sebab dengan tubuh yang sehat maka kita
bisa melakukan apa pun. Sebaliknya, jika sakit maka kita tidak akan bisa melakukan apaapa.
Ideologi tersebut akhirnya memberikan pandangan serta pemahaman kepada
masyarakat akan pentingnya kesehatan. Dengan demikian, ideologi tersebut juga memiliki
kekuatan besar untuk mengubah perilaku masyarakat untuk bergaya hidup sehat. Tujuan
utama ideologi itu ialah untuk menggiring pikiran masyarakat pada sebuah simpulan yaitu
jika ingin sehat maka harus makan makanan yang sehat pula, yakni Jacob’s. Hal ini dapat
dilihat pada tuturan 7, “Jacob’s pilihan sehat nikmatmu”. Secara implisit, tuturan tersebut
pada akhirnya membujuk masyarakat untuk memilih Jacob’s.
Data 3: Energen Sereal
“(1) Nggak sempet makan? (2) Bisa gawat, perut keroncongan. (3) Ganjel aja dengan Energen!
(4) Susu, sereal, oats yang kaya nutrisi. (5) Siap dalam semenit. (6) Energen, nutrisi praktis untuk
keluarga. (7) Energen, minum makanan bergizi.”
(Sumber: SCTV)
Sebagaimana terlihat bahwa teks-teks menawarkan pelbagai penandaan ideologis
yang saling bersaing mengenai cara bagaimana dunia ini mengada. Demikian juga
halnya dengan teks iklan yang cenderung merefleksikan realitas. Hal ini dapat dilihat
pada tuturan 1 dan 2, “Nggak sempet makan?, Bisa gawat, perut keroncongan.” Tuturan
20
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
tersebut menunjukkan realitas bahwa masyarakat sering kali melewatkan saarapan.
Realitas ini juga ditunjukkan oleh data visual yang menggambarkan satu keluarga
yang dengan terburu-buru berangkat beraktivitas tanpa sempat sarapan terlebih dahulu.
Sesungguhnya, sarapan merupakan saat makan terpenting sepanjang hari. Sarapan adalah
makanan pertama yang dimakan setelah selama tidur tidak mendapat asupan makanan
dan nutrisi. Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh terhadap otak sebab saat sarapan
otak kembali mendapatkan asupan nutrisi.
Konotasi, mitos, dan ideologi memiliki keterkaitan satu sama lain sebab ideologi
muncul dari makna yang sering kali tidak disadari yang menguat menjadi mitos. Seperti
mitos yang melatarbelakangi iklan di atas, yaitu mitos bahwa sarapan itu tidak penting.
Masyarakat menganggap demikian karena biasanya pada pagi hari perut belum terlalu
lapar dan aktivitas pagi juga tidak terlalu berat sehingga sebagian besar orang berpikir
tubuh tidak memerlukan asupan makanan. Mitos tersebut melahirkan sebuah ideologi
yaitu ideologi hidup sehat dengan sarapan yang sehat. Hal ini dapat dilihat kembali pada
tuturan 1 dan 2. Tuturan tersebut secara implisit menunjukkan betapa “gawatnya” jika
tidak sarapan pada pagi hari sebab sarapan menentukan suksesnya aktivitas sepanjang
hari.
Ideologi tersebut dijadikan tameng oleh kaum kapitalis untuk menyembunyikan
kedoknya yang menciptakan sebuah kebutuhan baru, yaitu kebutuhan akan sarapan
yang praktis. Kata praktis perlu digarisbawahi sebab dewasa ini kesibukan membuat
sebagian besar orang tidak memiliki cukup waktu untuk membuat sarapan sehingga
dibutuhkan sebuah produk yang cepat saji. Kaum kapitalis sangat jeli melihat peluang
dan memanfaatkan keadaan seperti ini. Hal ini dapat dilihat pada tuturan 5 dan 6, “Siap
dalam semenit, Energen, nutrisi praktis untuk keluarga.” Selanjutnya, ideologi untuk hidup
sehatlah yang akhirnya mendorong masyarakat untuk berusaha memenuhi kebutuhan
sarapan pada pagi hari yang sibuk sehingga mereka harus mengonsumsi sarapan yang
praktis-praktis saja. Dengan demikian, kaum kapitalis dapat meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya. Kaum kapitalis menggunakan ideologi sebagai alat penyembunyian
sebuah realitas, yakni realitas dominasinya terhadap kaum lemah. Dengan demikian,
ideologi berusaha menjadikan apa yang faktanya parsial dan khusus menjadi universal
dan legitimate.
5. Simpulan
Iklan komersial khususnya iklan produk makanan pada TV dilatarbelakangi oleh
ideologi ”hidup sehat”. Ideologi hidup sehat digunakan sebagai alat oleh kaum kapitalis
untuk “pencitraan” produk. Dengan ideologi hidup sehat, masyarakat percaya bahwa
jika mereka mengonsumsi produk tersebut, tubuh mereka akan menjadi sehat dan kuat.
Dengan demikian, mereka akan melakukan tindakan yang diharapkan oleh pengiklan,
yaitu “membeli” produk yang diiklankan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
ideologi tersebut dikemas secara matang melalui tanda verbal dan nonverbal yang menarik
sehingga mampu menyembunyikan ideologi yang sebenarnya. Di balik ideologi yang
terkesan sangat mulia tersebut, sesungguhnya ada sebuah ideologi yang tersembunyi yaitu
ideologi ”kapitalisme”. Akhirnya, penelitian ini sampai pada sebuah kesimpulan yaitu
ideologi bekerja dengan cara yang sangat sistematis. Kunci cara kerja ideologi, khususnya
dalam wacana iklan komersial, adalah diciptakannya sebuah “kesadaran palsu”. Ini
dilakukan dengan cara dilahirkannya “kebutuhan-kebutuhan baru” yang sesungguhnya
bukan sebuah “kebutuhan”. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk membuat produk
21
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
yang diiklankan laku di pasaran. Dengan adanya kebutuhan baru maka kaum kapitalis
memiliki kesempatan emas untuk terus-menerus menciptakan dan memasarkan produkproduk baru. Tentu hal ini hanya menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis
dan hal ini tidak pernah disadari oleh masyarakat karena mereka sudah dikuasai oleh
“kesadaran palsu” tersebut.
Daftar Pustaka
Barthes, R. 1998. The Semiotics Challenge. New York: Hill and Wang.
Barthes, R. 2009. Mythologies. London: Vintage.
Dyer, G. 1982. Adertvising as Communication. London and New York: Routledge.
Goddard, A. 2002. The Language of Advertising. London: Routledge.
Pratiwi, Desak Putu Eka. 2015. “Iklan Komersial pada Media Elektronik: Gaya Bahasa, Makna, dan
Ideologi”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies.
Yogyakarta: Qalam.
Thompson, J.B. 2003. Analisis Ideologi: Kritik wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD.
22
Download