ii. tinjauan pustaka

advertisement
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Kecil Menengah
Usaha kecil menengah saat ini merupakan usaha yang masih dapat
dipertahankan ditengah badai krisi moneter yang berkepanjangan. Untuk itu
pemerintah berupaya dengan keras untuk membina usaha kecil dan menengah
guna menjadikan usaha ini penyumbang devisa bagi Negara. Untuk dapat
memberikan gambaran tentang usaha kecil menengah, akan dijelaskan terlebih
dahulu definisi usaha kecil menengah. Menurut Partomo dan Soejoedono (2004)
definisi usaha kecil dan menengah dapat ditinjau dari beberapa peraturan, yaitu
antara lain sebagai berikut:
1. Berdasarkan undang-undang
Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil
didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
yang memenuhi kriteria-kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan serta kepemilikan sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b.
Memiliki
hasil
penjualan
tahunan
paling
banyak
Rp.
1.000.000.000,c. Milik warga Negara Indonesia
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi, baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau besar.
e. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994
Tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil diidentifikasi sebagai perseorangan atau
badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha yang mempunyai
penjualan pertahun setinggi-tingginya Rp. 600.000.000,- atau asset
setinggi-tingginnya Rp. 600.000.000,- (diluar tanah dan bangunan yang
ditempati) terdiri dari : Badan usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi),
perorangan (perajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan,
perambah hutan, penambang pedagang barang dan jasa dan sebagainya).
3. Berdasarkan
surat
Keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Nomor
30/4/kep/Dir. Tanggal 4 April 1997 tentang pemberian kredit usaha kecil,
usaha kecil diidentifikasi sebagia usaha yang memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000
c. Milik warga Negara Indonesia
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi, baik langsung
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau besar.
e. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi
Usaha kecil menengah dapat pula dibedakan berdasarkan batasan jumlah
tenaga kerja yang direkrut. Usaha kecil diidentifikasi oleh Badan Pusat Statistik
jika jumlah tenaga kerja yang dimiliki antara 5 hingga 19 orang, sedangkan usaha
menengah berkisar antara 20 hingga 99 orang, lebih dari 100 orang dikategorikan
sebagai usaha besar.
Menurut Partomo dan Soejoedono (2004) usaha kecil dan menengah
menjadi pusat perhatian karena tingkat perekonomian dan pengetahuan yang
kurang maju dalam berbisnis. UKM menghadapi kendala-kendala dalam
mempertahankan atau mengembangkan usaha (bisnis) antara lain kurang
pengetahuan pengelolaan usaha, kurang modal dan lemah di bidang pemasaran.
Banyak definisi usaha mikro kecil dan menengah yang dipahami baik dari
lembaga
lokal
maupun
asing.
Namun
demikian,
perbankan
Indonesia
menggunakan definisi UKM sesuai dengan kesepakatan Menko Kesra dengan
Bank Indonesia. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan
bersifat tradisional dan informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan
belum berbadan hukum. Hasil penjualan tahunan bisnis tersebut paling banyak
Rp. 100.000.000,- dan milik warga Negara Indonesia.
6
Menurut Iqbal dan Simanjuntak (2004), UKM harus memiliki pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan analisis persaingan/kompetisi. Oleh karena itu,
UKM harus mengetahui siapa pesaingnya, pelanggan dan juga tentang usahanya
sendiri sehingga UKM dapat merencanakan strategi bisnis yang tepat untuk
usahanya tersebut.
2.2. Pengertian Biaya
Pemberian biaya atas produk, jasa, pelanggan dan objek lain yang
merupakan kepentingan manajemen adalah salah satu faktor dasar untuk membuat
suatu keputusan manajemen. Salah satu faktor yang paling sering digunakan
untuk menilai berhasil atau tidaknya suatu perusahaan adalah besarnya laba yang
diperoleh oleh perusahaan tersebut. Besarnya laba yang diperoleh oleh perusahaan
antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah biaya.
Biaya dalam arti luas menurut Mulyadi (2005) adalah pengorbanan sumber
ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang terjadi atau yang kemungkinan
akan terjadi untuk tujuan tertentu. Ada empat unsur dalam definisi biaya tersebut,
yaitu biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi, diukur dalam satuan mata
uang, yang telah terjadi atau yang secara potensial akan terjadi, dan pengorbanan
tersebut untuk tujuan tertentu.
Menurut Hansen dan Mowen (2006), biaya adalah nilai kas yang
dikorbankan untuk memperoleh barang dan jasa yang diharapkan memberikan
keuntungan kepada perusahaan baik saat ini maupun saat yang akan dating. Jadi
dapat disimpulkan bahwa pengertian biaya adalah suatu pengorbanan atau
penyerahan sumber daya guna mendapatkan keuntungan baik di masa sekarang
maupun keuntungan dimasa akan datang.
2.2.1 Klasifikasi Biaya
Klasifikasi atau penggolongan adalah proses mengelompokkan secara
sistematis atau keseluruhan elemen yang ada ke dalam golongan-golongan
tertentu yang lebih ringkas untuk memberikan informasi yang lebih mempunyai
arti atau lebih penting. Klasifikasi atau penggolongan ini akan memudahkan
manajemen perusahaan dalam melakukan kalkulasi terhadap biaya-biaya
perusahaan (Supriyono, 2007).
7
Menurut Mulyadi (2005), penggolongan biaya ditentukan atas dasar tujuan
yang hendak di capai. Dalam perusahaan manufaktur ada tiga fungsi pokok biaya
yaitu fungsi produksi, fungsi pemasaran dan fungsi administrasi umum. Oleh
karena itu dalam perusahaan manufaktur, biaya dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok yaitu :
1.
Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah
bahan baku menjadi produk jadi dan siap untuk dijual. Menurut objek
pengeluarannya, secara garis besar biaya ini di bagi menjadi biaya bahan
baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Biaya bahan
baku dan tenaga kerja langsung disebut dengan istilah biaya utama atau Prime
Cost, sedangkan biaya overhead pabrik sering di sebut dengan istilah biaya
konversi atau Conversion Cost, yang merupakan biaya untuk mengkonversi
bahan baku menjadi produk jadi. Contoh dari biaya produksi misalnya biaya
bahan baku, bahan baku penolong dan biaya gaji karyawan yang bekerja
dalam bagian-bagian, baik yang langsung
maupun tidak langsung
berhubungan dengan proses produksi.
2.
Biaya Pemasaran
Merupakan biaya yang terjadi untuk melaksanakan kegiatan pmasaran
produk, contohnya biaya iklan, biaya promosi, biaya angkutan dari gudang
perusahaan ke gudang pembeli, gaji karyawan bagian-bagian yang
melaksanakan kegiatan pemasaran dan biaya contoh atau sample.
3.
Biaya Administrasi dan Umum
Merupakan biaya untuk mengkoordinasi kegiatan produksi dan
pemasaran produk. Contoh biaya ini adalah biaya gaji karyawan bagian
keuangan, akuntansi, personalia, dan bagian hubungan masyarakat, biaya
pemeriksaan akuntan dan biaya fotocopy.
2.2.2 Biaya dalam Hubungan dengan Produk
1.
Bahan Baku Langsung atau Direct Material
Bahan baku langsung adalah semua bahan yang membentuk bagian
integral dari barang jadi dan yang dapat dimasukkan langsung kedalam
kalkulasi biaya produk. Sedangkan biaya bahan baku langsung dapat
8
diartikan sebagai biaya yang terjadi, yang penyebab satu-satunya adalah
karena adanya sesuatu yang dibiayai, jadi biaya langsung akan dapat dengan
mudah diidentifikasi dengan sesuatu yang dibiayai. Contohnya dari bahan
langsung adalah kayu dalam perusahaan mebel (Hammer, 1994).
2. Tenaga Kerja Langsung atau Direct Labor
Tenaga kerja langsung adalah seluruh karyawan yang dikerahkan
untuk mengubah bahan baku langsung menjadi barang jadi. Biaya bahan
baku lagsung dan biaya tenaga kerja langsung merupakan biaya-biaya utama
yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan dalam menghasilkan produknya.
3. Overhead Pabrik
Overhead pabrik dapat diidentifikasi sebagai biaya bahan baku tidak
langsung, tenaga kerja tidak langsung dan semua biaya pabrik lainnya yang
tidak dapat di bebankan langsung ke dalam produk tertentu. Bahan tidak
langsung adalah bahan-bahan yang dibutuhkan guna menyelesaikan suatu
produk, tetapi pemakaiannya sangat kecil sehingga tidak dapat dianggap
sebagai bahan langsung yang tak berguna atau ekonomis.
Tenaga kerja tidak langsung dapat diidentifikasi sebagai para
karyawan yang dikerahkan dan tidak secara langsung mempengaruhi
pembuatan atau pembentukan barang jadi. Overhead pabrik mencakup
samua biaya pabrik kecuali yang dicatat sebagai biaya langsung yaitu bahan
langsung dan tenaga kerja langsung. Biaya overhead pabrik dibagi menjadi
dua yaitu, biaya overhead pabrik variable dan biaya overhead pabrik tetap
(Hammer, 1994).
2.2.3 Perilaku Biaya
Adalah perubahan biaya sebagai akibat dari perubahan volume aktivitas
tertentu. Berdasarkan perilakunya dalam hubungan dengan perubahan volume
aktivitas, biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
1. Biaya Tetap Atau Fixed Cost
Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap konstan tidak
dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan atau aktivitas sampai dengan
tingkatan tertentu. Pada biaya tetap, biaya satuan akan berubah berbanding
terbalik dengan perubahan volume kegiatan, semakin tinggi volume kegiatan
9
semakin rendah biaya satuan dan semakin rendah volume kegiatan semakin
tinggi biaya satuan. Besar biaya tetap dipengaruhi oleh kondisi perusahaan
jangka panjang, teknologi, dan metode strategi manajemen. Contoh dari biaya
tetap adalah gaji direktur produksi.
2. Biaya Variabel Atau Variable Cost
Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding
dengan perubahan volume kegiatan. Biaya variabel per unit konstan atau
tetap dengan adanya perubahan volume aktifitas, semakin tinggi volume
kegiatan secara proporsional total biaya variabel akan semakin tinggi dan
semakin rendah volume kegiatan secara proporsional maka biaya variabel
akan semakin rendah. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku yang
berubah sebanding dengan perubahan volume produksi.
3. Biaya Semi Variabel
Biaya semi variabel adalah biaya yang jumlah totalnya akan berubah
sesuai dengan perubahan volume kegiatan, akan tetapi sifat perubahannya
tidak sebanding. Semakin tinggi volume kegiatan semakin besar jumlah biaya
total, semakin rendah volume kegiatan semakin rendah biaya, tetapi
perubahannya tidak sebanding. Contoh dari biaya semivariabel adalah biaya
perbaikan dan perawatan mesin, biaya pemakaian dan perawatan kendaraan
dan biaya telepon.
2.3. Metode Pengumpulan Harga Pokok Produksi
Dalam pembuatan produk terdapat dua kelompok biaya yaitu biaya produksi
dan biaya non produksi. Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam pengolahan bahan baku menjadi produk, sedangkan biaya non produksi
merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan nonproduksi, seperti
kegiatan pemasaran, serta kegiatan administrasi dan umum. Biaya produksi
membentuk harga pokok produksi yang digunakan untuk menghitung harga
pokok produk jadi dan harga pokok produk yang akhir periode akuntansi masih
dalam proses. Biaya non produksi ditambahkan pada harga pokok produksi untuk
menghitung total harga pokok produk.
10
Menurut Mulyadi (2005), pengumpulan harga pokok produksi sangat
ditentukan oleh cara produksi. Secara besar, cara memproduksi produk dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu produksi atas dasar pesanan dan produksi massa.
Penerapan metode tersebut pada suatu perusahaan tergantung pada sifat atau
karakteristik pengolahan bahan menjadi produk selesai. Perusahaan yang
memproduksi berdasarkan pesanan melaksanakan pengolahan produknya atas
dasar pesanan yang diterima dari pihak luar. Contoh perusahaan yang berproduksi
berdasarkan
pesanan
adalah
perusahaan
percetakan,
perusahaan
mebel,
perusahaan dok kapal. Perusahaan yang berproduksi massa melaksanakan
pengolahan produksinya untuk memenuhi persediaan di gudang. Umumnya
produknya berupa produk standar. Contoh perusahaan yang berproduksi massa
antara lain adalah perusahaan, semen, pupuk, makanan dan tekstil.
Menurut Mulyadi (2005), pengumpulan harga pokok produksi sangat
ditentukan oleh cara produksi. Cara memproduksi produk dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu produksi atas dasar pesanan dan produksi massa.
Tabel 3. Perbedaan karakteristik metode harga pokok pesanan dan metode
harga pokok proses
Segi Perbedaan
Dasar kegiatan produksi
Tujuan produksi
Bentuk produk
Biaya produksi dikumpulkan
Kapan biaya produksi
dihitung
Menghitung harga pokok
Metode Harga Pokok
Pesanan
Pesanan langganan
Untuk melayani pesanan
Tergantung spesifikasi
pemesan dan dapat
dipisahkan identitasnya
Setiap pemesanan
Pada saat suatu pesanan
selesai
Harga pokok pesanan:
jumlah produk pesanan
yang bersangkutan
Metode Harga Pokok
Proses
Budget produksi
Untuk persediaan yang
akan dijual
Homogen dan standar
Setiap satuan waktu
Pada akhir periode/satuan
waktu
Harga pokok periode
tertentu: jumlah produk
periode yang bersangkutan
Sumber: Supriyono, 2007
2.3.1 Metode Full Costing
Menurut Mulyadi (2005) full costing merupakan metode penentuan biaya
produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam biaya
produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan
biaya overhead pabrik, baik biaya variabel maupun tetap. Biaya produk yang
dihitung dengan pendekatan full costing terdiri dari unsur biaya produksi (biaya
11
bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik tetap) ditambah
dengan biaya non produksi (biaya pemasaran, biaya administrasi umum).
2.4. Nilai Tambah
Pengertian nilai tambah (value added) itu sendiri adalah pertambahan nilai
yang terjadi pada suatu komoditi karena komoditi tersebut telah mengalami proses
pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan dalam suatu proses produksi.
Menurut Hardjanto dalam Dewi (2011) nilai tambah merupakan suatu
pertambahan nilai yang terjadi karena adanya input fungsional yang diperlakukan
pada komoditi yang bersangkutan.
Sedangkan Brunnield dan Burton dalam Nurwilis dalam Dewi (2011)
mendefinisikan nilai tambah dari segi output dikurangi beberapa bagian dari input
dalam bentuk bahan baku, bahan setengah jadi maupun barang jadi yang masuk
kedalam proses produksi ditambah semua persediaan dan pembelian jasa dari
perusahaan lain. Kadariah et al dalam Dewi (2011) menyatakan nilai tambah
sebagai selisih nilai dari satuan-satuan hasil produksi dengan nilai dari setiap
sarana produksi yang masuk dalam proses produksi hasil tersebut. Sedangkan
Simatupang dalam Dewi (2011) mendefinisikan nilai tambah sebagai penerimaan
upah pekerja dan keuntungan pemilik modal atau nilai produksi dikurangi
pengeluaran barang antara. Dengan demikian Simatupang dalam Dewi (2011)
tidak memperhitungkan unsur-unsur lain dalam proses pembentukan nilai tambah,
seperti bahan baku dan bahan penolong.
Sumber-sumber nilai tambah diperoleh dari pemanfaatan faktor-faktor
produksi (tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan manajemen). Oleh karena
itu untuk menjamin agar produksi terus berjalan secara efektif dan efisien nilai
tambah yang diciptakan perlu didistribusikan secara adil. Analisis nilai tambah
dapat dipandang sebagai usaha untuk melaksanakan prinsip-prinsip distribusi di
atas dan berfungsi sebagai salah satu indikator keberhasilan sektor agribisnis.
Analisis ini merupakan metode perkiraan sejauh mana bahan baku yang mendapat
perlakuan mengalami perubahan nilai.
Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis
yang mempengaruhi nilai tambah meliputi unsur kualitas produk, penerapan
teknologi kapasitas produksi, penggunaan unsur tenaga kerja, jumlah bahan baku
12
dan input penyerta. Faktor teknis ini mempengaruhi harga jual output. Sedangkan
faktor non teknis (faktor pasar) meliputi harga jual output, upah kerja, harga
bahan baku, informasi pasar, modal investasi, teknologi, nilai input lainnya dan
sebagainya. Faktor non teknis dapat mempengaruhi faktor konversi dan biaya
produksi.
Dalam bentuk matematika, fungsi nilai tambah dapat dituliskan sebagai
berikut :
Nilai tambah = f(K, B, T, U, h, L)…………………………(1)
Dimana K : kapasitas produksi
B : jumlah bahan baku yang digunakan
T : Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
H : Harga output
U : Upah kerja
h : Harga bahan baku
L : Nilai input lain
Nilai input lain mencakup nilai dari semua korbanan selain bahan baku dan
tenaga kerja yang digunakan selama proses produksi berlangsung. Nilai ini
mencakup biaya modal (bahan penolong dan biaya overhead pabrik lainnya) dan
gaji pegawai tidak langsung.
Gittinger dalam Dewi (2011) mendefinisikan nilai tambah sebagai selisih
harga penjualan barang dan jasa dengan biaya bahan dan pengeluaran untuk jasajasa. Gittinger membedakan nilai tambah atas nilai kotor dan nilai tambah bersih.
Nilai tambah kotor merupakan selisih harga jual dengan pembayaran untuk pajak,
bunga modal, sewa tanah, laba, penyusutan, manajemen, asuransi, jaminan sosial
lainnya dan upah karyawan. Pengurangan nilai tambah kotor dengan biaya
penyusutan disebut dengan nilai tambah bersih.
Menurut Hayami dalam Maimun (2009), terdapat dua cara dalam
menghitung nilai tambah, yaitu dengan menghitung nilai tambah selama proses
pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran. Tujuan dari
analisis nilai tambah adalah untuk mengukur balas jasa yang diterima pelaku
sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang diciptakan oleh sistem tersebut.
Besaran nilai tambah yang dihasilkan dapat digunakan untuk menduga/menaksir
13
besarnya balas jasa yang diterima faktor produksi yang digunakan dalam proses
perlakuan tersebut.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur nilai tambah suatu
komoditi pertanian, diantaranya :
1.
Metode Hayami
Metode ini merupakan salah satu metode analisis nilai tambah yang sering
dipakai. Metode ini disebut metode Hayami karena dikemukakan oleh Hayami.
Hayami menerapkan analisis ini pada subsistem pengolahan (produksi sekunder).
Produksi sekunder merupakan kegiatan produksi yang mengubah bentuk produk
primer.
Kelebihan analisis nilai tambah dengan metode Hayami adalah:
a. produktivitas produksi (rendemen, pangsa ekspor dan efisiensi tenaga kerja)
dapat diestimasi,
b. balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi juga dapat diestimasi, dan
c. prinsip analisis nilai tambah menurut Hayami dapat digunakan pula untuk
subsistem lain selain pengolahan.
2.
Sistem Pembagian Nilai Tambah
Metode ini dikembangkan oleh A.W. Rucker, sehingga metode ini disebut
juga Rucker Plan. Berdasarkan laporan akuntansi, nilai tambah dapat dihitung
sebagai berikut: Nilai tambah = pendapatan tenaga kerja + pendapatan operasi.
Berdasarkan laporan laba rugi, nilai tambah menurut sistem ini dinyatakan sebagai
nilai tambah = penjualan netto – ((biaya bahan baku + ongkos yang dibayar +
biaya depresiasi) (persediaan awal – persediaan akhir +/- nilai penyesuaian nilai
tambah)). Nilai tambah bruto dikurang biaya depresiasi sama dengan nilai tambah
netto.
3.
Metode M. Dawam Rahardjo
Menurut Dawam Rahardjo dalam Dewi (2011), value added merupakan
selisih nilai produk bruto dengan total pengeluaran. Nilai produk bruto yang
dimaksud disini adalah nilai output ditambah dengan nilai jasa yang diberikan.
Total pengeluaran yang dimaksud meliputi gaji/upah, bahan baku, bahan bakar
dan biaya lainnya.
14
2.4.1 Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE)
MCE merupakan ukuran yang menunjukkan persentase value added
activities yang terdapat dalam suatu aktivitas yang digunakan oleh seberapa besar
non value added activities dikurangi dan dieliminasi dari proses pembuatan
produk menurut Mulyadi dalam Ardiansyah (2010)
Manufacturing Cycle Effectiveness merupakan alat analisis terhadap
aktivitas-aktivitas produksi, misalnya berapa lama waktu yang dikonsumsi oleh
suatu aktivitas mulai dari penanganan bahan baku, produk dalam proses hingga
produk jadi (cycle time). MCE dihitung dengan memanfaatkan data cycle time
atau throughput time yang telah dikumpulkan. Pemilihan cycle time dapat
dilakukan dengan melakukan activity analysis. Menurut Saftiana, Ardiansyah
(2010) cycle time terdiri dari value added activity dan non value added activities.
Value added activity yaitu processing time dan non value added activities yang
terdiri dari waktu penjadwalan (schedule time), waktu inspeksi (inspection time),
waktu pemindahan (moving time), waktu tunggu (waiting time), dan waktu
penyimpanan (storage time).
Mulyadi (2005) memformulasikan waktu siklus yang digunakan untuk
menghitung MCE adalah:
Waktu siklus = waktu proses + waktu menunggu + waktu bergerak
+ waktu inspeksi……………………………..(2)
dan
siklus efektivitas manufaktur =
……………..….…(3)
Menurut Mulyadi dalam Ardiansyah (2010) suatu proses pembuatan produk
menghasilkan cycle effectiveness sebesar 100%, maka aktivitas bukan penambah
nilai telah dapat dihilangkan dalam proses pengolahan produk, sehingga customer
produk tidak dibebani dengan biaya-biaya untuk aktivitas-aktivitas yang bukan
penambah nilai. Apabila proses pembuatan produk menghasilkan cycle
effectiveness kurang dari 100%, maka proses pengolahan produk masih
mengandung aktivitas-aktivitas yang bukan penambah nilai bagi customer.
15
Menurut Saftiana, dalam Ardiansyah (2010) proses produksi yang ideal adalah
menghasilkan waktu siklus sama dengan waktu proses.
2.4.2 Nilai Tambah Metode Hayami
Nilai tambah yang dihasilkan dari suatu pengolahan pada barang dan jasa,
merupakan selisih antara nilai akhir suatu produk (nilai output) dengan nilai bahan
baku dan input lainnya. Nilai tambah tidak hanya melihat besarnya nilai tambah
yang didapatkan, tetapi juga distribusi terhadap faktor produksi yang digunakan.
Sebagian dari nilai tambah merupakan balas jasa (imbalan) bagi tenaga kerja, dan
sebagian lainnya merupakan keuntungan pengolah. Metode analisis Hayami
adalah metode yang umum digunakan untuk menganalisis nilai tambah pada
subsistem pengolahan.
2.5. Proses Produksi Kerajinan Boneka Kayu
Kayu merupakan bahan baku utama dalam pembuatan atau proses
produksi pada perusahaan boneka kayu. Bahan ini dapat diperoleh melalui para
pedagang kayu (tengkulak kayu) maupun dari Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) di bidang kehutanan, baik yang berlokasi di desa sentra maupun yang
berlokasi di luar desa sentar menurut Indria dalam Purnama (2006)
Proses produksi untuk membuat kerajinan boneka kayu menurut Usman
dalam Purnama (2006), melalui 3 tahap utama diantaranya:
1. Tahap persiapan, yang meliputi persiapan bahan baku kayu awal berupa
kayu gelondongan, membuat gambar dan desain yang di inginkan serta
pengumpulan bahan –bahan.
2. Tahap pembentukan, dalam tahap ini kayu dibentuk sesuai denga ukuran
yang diinginkan mengikuti kreatifitas dan pemesanan, diraut sampai halus
lalu proses penghampelasan yang dilakukan berkali-kali.
3. Tahap penyelesaian akhir, diantaranya pengecatan yang menggunakan cat
kayu atau cat tembok dengan teknik kuas lalu finishing sehingga daya
lekatnya lebih kuat.
16
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kerajinan boneka ini merujuk pada beberapa
penelitian terdahulu mengenai harga pokok produksi kayu dan analisis nilai
tambah. Beberapa judul penelitian yang pernah diteliti diantaranya adalah :
Sari (2007), analisis nilai tambah dan efisiensi pemasaran keripik dan
dodol salak. Penelitian ini bertujuan menghitung nilai tambah yang dapat
dihasilkan dengan adanya usaha pengolahan komoditas buah salak menjadi
keripik salak dan dodol salak, mengidentifikasi saluran pemasaran yang terjadi
meliputi : pola saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran struktur pasar, dan
tingkah laku pasar, menganalisis efesiensi pemasaran berdasarkan : marjn
pemasaran, bagian harga yang diterima produsen, rasio keuntungan biaya, dan
elastisitas transmisi harga.
Metode pengolahan dan analisis data menggunakan metode analisis
kualiatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi pola saluran pemasaran,
fungsi-fungsi lembaga pemasaran, struktur pasar, dan tingkah laku pasar.
Sedangkan analisis kuantitatif meliputi analisis nilai tambah dengan menggunakan
metode hayami, marjin pemasaran, bagian harga yang diterima produsen, rasio
keuntungan biaya dan analisis elastisitas transmisi harga.
Hasil analisis nilai tambah memperlihatkan bahwa kegiatan produksi
keripik salak dan dodol salak UKM Binangkit telah menciptakan nilai tambah.
Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan buah salak menjadi keripik salak
pada tahun 2006 adalah sebesar Rp 1.840,26/kg bahan baku salak, untuk analisis
nilai tambah dengan memasukkan biaya penyusutan mesin-mesin sebesar Rp
2.313,11/kg bahan baku buah salak untuk analisis nilai tambah tanpa memasukkan
biaya penyusutan mesin-mesin. Adapun nilai tambah yang dihasilkan dari
pengolahan buah salak menjadi dodol salak pada tahun 2006 adalah sebesar Rp
2.710,40/kg bahan baku buah salak untuk analisis nilai tambah dengan
memasukkan biaya penyusutan mesin-mesin dan sebesar Rp 4.115,26/kg bahan
baku buah salak untuk analisi nilai tambah tanpa memasukkan biaya penyusutan
mesin-mesin. Selama 12 bulan periode analisis harga bahan baku buah salak
sangat berfluktuatif dengan harga Rp 700,00 sampai Rp 1.200,00 per kg karena
harga buah salak ditentukan oleh musim panen buah salak.
17
Munawar
(2010) analisis nilai tambah dan pemasaran kayu sengon
gergajian (studi kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor). Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis nilai tambah yang dapat dihasilkan dengan adanya
usaha pengolahan komoditas kayu menjadi produk gergajian, menganalisis
saluran pemasaran yang meliputi : saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran,
struktur pasar, dan tingkah laku pasarMenganalisis efisiensi pemasaran
berdasarkan marjin pemasaran, bagian harga yang diterima produsen, rasio
keuntungan.
Untuk analisis nilai tambah, sampel dikategorikan dalam tiga kelompok
usaha berdasarkan penggunaan jumlah kapasitas mesin yang digunakan yaitu
jumlah mesin yang digunakan satu adalah skala usaha kecil dengan jumlah
responden delapan sampel. Jumlah mesin yang digunakan dua adalah skala usaha
menengah dengan jumlah responden tiga sampel dan jumlah mesin yang
digunakan lebih dari dua adalah skala usaha besar dengan jumlah responden dua
sampel.
Hasil analisa yang dilakukan menunjukkan, bahwa nilai tambah yang
diperoleh dari pengolahan kayu menjadi kayu olahan pada IPK skala usaha kecil
Rp. 103.879,02 per m³ bahan baku dengan rasio nilai tambah sebesar 18,00
persen, adalah nilai tambah terkecil. Nilai tambah pada IPK skala usaha menengah
sebesar Rp. 117.972,15 per m³ bahan baku dengan rasio nilai tambah 19,09 persen
dan nilai tambah terbesar pada IPK skala usaha besar Rp.137.348,23 per m³ bahan
baku dengan rasio nilai tambah 24,22 persen merupakan nilai tambah terbesar.
Perbedaan nilai tambah disebabkan oleh perbedaan nilai produk, harga input
bahan baku dan perbedaan nilai sumbangan input lain pada masing-masing skala
usaha yang dikategorikan.
Berdasarkan beberapa hasil tinjauan terhadap penelitian terdahulu, penulis
berpendapat bahwa kerangka berpikir paling layak dalam menganalisis nilai
tambah dan proses pengolahan kerajinan boneka kayu adalah kerangka yang
terdapat dalam penelitian yang dilakukan Munawar dan Sari, yaitu dengan
menganalisis nilai tambah dan menentukan harga pokok produksi boneka kayu.
18
Download