tidak identik dengan carbon trading, REDD+ adalah isu

advertisement
ISSN : 2089-6506
Pustanling
Volume 1
Nomor 4
2012
Gedung Manggala Wanabakti Jl. Gatot Subroto Blok VII Lt. 8 Jakarta 10270 Indonesia Ph./Fax: 62-21-5733433 E-mail: pu
st
an l
i ng @
d ep
h u t .g
o.id
pu s t an
ling@
yahoo.com
REDD+
tidak identik dengan carbon trading,
REDD+ adalah isu kehutanan in a changing world
REDD+1 telah
diperkenalkan
dengan cara
yang salah
ke Indonesia
atau ditangkap
dengan cara
yang salah?
Sejak pertama kali masuk dalam agenda COP
(COP-11 di Montreal tahun 2005) dengan nama
Reducing Emissions from Deforestation in Developing
Countries (RED) dan berkembang menjadi REDD+
pada COP-13 di Bali, falsafah dasarnya adalah
mencari solusi bagaimana agar deforestasi di
negara berkembang dapat dikurangi dengan tetap
dapat melanjutkan pembangunan nasionalnya.
Berdasarkan data yang ada pada waktu itu (WRI
2003) deforestasi menyumbang sekitar 18 %
emisi global, dimana 75 % nya berasal dari negara
berkembang. Dengan latar belakang filosofi di
atas yang disepakati di Bali adalah positive incentive
sebagaimana tertuang dalam Bali Action Plan
(Policy Approaches and Positive Incentives for REDD+
in Developing Countries).
RDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation,
role of conservation, sustainable management of forest and enhancement
of forest carbon stocks in developing countries)/pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan stok carbon hutan di negara
berkembang.
1)
COP-13 UNFCCC2 tahun 2007 diselenggarakan
di Bali, menempatkan Indonesia ke dalam spot
light dunia termasuk RED/REDD dengan hasil
studi IFCAnya. IFCA (Indonesia Forest Climate
Alliance) dengan dukungan pendanaan dari
Australia-UK-WB-GTZ, merupakan wadah
komunikasi dan konsultasi stakeholders dalam
proses pelaksanaan studi IFCA, yang ditujukan
untuk mengetahui status kesiapan Indonesia
melaksanakan REDD pada waktu itu baik dari
aspek teknis/metodologis maupun kebijakan dan
partisipasi stakeholder.
Hasil studi IFCA menjadi dasar penyusunan
REDDI Readiness Strategy 2009-2012. Dua aspek
besar dari strategi ini telah menjadi bagian dari
Keputusan COP-16 di Cancun tahun 2010 yaitu
bahwa REDD+ dilaksanakan secara bertahap
(readiness – transisi - implementasi penuh) dan
penanganan isu nasional-sub nasional dalam
implementasi REDD+.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/
Konvensi Perubahan Iklim)
2)
REDD+ tidak identik dengan carbon trading, REDD+ adalah isu kehutanan in a changing world
•
1
Harapan di Bali sangat tinggi bahkan terlalu
tinggi, sehingga menjelang COP-13 banyak sekali
broker datang ke Indonesia, menawarkan impian
tentang kompensasi atau perdagangan carbon
(carbon trading) melalui REDD yang mereka
perkenalkan dengan skema sukarela (voluntary
scheme) 3, dan mendekati Pemerintah Daerah
maupun kalangan swasta kehutanan. Antusiasme
daerah dan swastapun terlalu tinggi dan beberapa
bahkan berpandangan bahwa mekanisme tersebut
dapat berjalan tanpa proses UNFCCC dan tanpa
Voluntary scheme digunakan untuk membedakan dengan
skema yang diatur di bawah UNFCCC/KP.
3)
REDD+ adalah
aksi nasional
dan tidak identik
dengan carbon
trading
Dari awal konsep RED/REDD/REDD+ yang
disepakati dalam COP adalah aksi dengan
pendekatan nasional (tidak project-based). Namun
demikian, negara pihak (Parties) tidak terkecuali
Indonesia sesuai kedaulatannya (sovereign right)
dapat mengatur bagaimana implementasinya)
apakah di level provinsi/kabupaten/tapak, dan
apakah akan mencakup kelima 4 scope kegiatan
REDD+ atau fokus ke satu/dua aktivitas saja.
Adalah negara yang mengatur bagaimana insentif
dari REDD+ didistribusikan dan untuk apa
saja, dan tidak terkecuali pembagian tugas dan
tanggung jawab mulai dari tingkat nasional ke
tingkat terendah dimana REDD+ dilaksanakan.
Sebagai aksi nasional maka akan menggunakan
sistem MRV nasional, dengan demikian sistem
MRV sub-nasional harus konsisten dengan sistem
MRV nasional.
Sebagai aksi dengan pendekatan nasional dan
pelaksanaannya yang bertahap (readiness –
transition – full implementation), apabila dilihat
baik dari progress negosiasi UNFCCC maupun
kesiapan Indonesia, dapat dikatakan di level
nasional Indonesia berada pada fase readinesstransition, sedang di level sub-nasional sangat
beragam dan baru 1-2 Provinsi/Kabupaten yang
berada pada fase readiness - transition. Pada fase
ini dana yang masuk ke Indonesia semestinya
Scope kegiatan REDD+ berdasar Keputusan COP-16:
(1) pengurangan emisi dari deforestasi, (2) pengurangan emsi
dari degradasi hutan, (3) konservasi stok carbon, (4) pengelolaan
hutan lestari, (5) peningkatan stok GRK hutan.
4)
REDD+ adalah
isu kehutanan
dalam tatanan
dunia yang
berubah
Istilah paradigma baru (new paradigm) atau
pergeseran paradigma (paradigm shift) seringkali
terucapkan atau termuat dalam dokumendokumen resmi tetapi bentuk konkritnya sering
tidak terdeskripsikan dengan jelas sehingga tidak
mudah mengukur dan membuktikan bahwa telah
terjadi pergeseran paradigma atau menggunakan
paradigm baru dalam pengelolaan sumberdaya
alam Indonesia.
Sejak kelahirannya kurang lebih 6 tahun yang
lalu sebagai RED yang ber-evolusi menjadi REDD
dan terakhir REDD+ telah banyak mengundang
kontroversi baik di tingkat internasional maupun
nasional, tetapi tulisan ini tidak akan mengulas
kontroversinya melainkan mencoba menempatkan
REDD+ pada konteks kehutanan dalam tatanan
dunia yang terus berkembang. REDD+ yang
2 • REDD+ adalah isu kehutanan dalam tatanan dunia yang berubah
pemerintah pusat. Hal yang sama juga terjadi
di sejumlah negara berkembang lainnya dan
menimbulkan keresahan bagi pemerintahnya.
Sejalan dengan proses negosiasi pasca COP-13
sampai gagalnya COP-15 di Copenhagen dan
belum jelasnya kebijakan Indonesia (termasuk
belum siapnya peraturan-perundangan yang
diperlukan sebagai payung), minat para investor
yang tadinya sangat tinggi menurun drastis,
sikap sejumlah pihak baik di pemerintah,
swasta maupun NGOs menjadi lebih beragam
dibandingkan dengan saat pertama kali REDD+
diperkenalkan, dari yang optimis, pesimis, bahkan
skeptis terhadap REDD+.
berupa hibah (fund-based) untuk penyiapan
perangkat pelaksanaan menuju implementasi
penuh (full implementation), tidak hanya perangkat
teknis tetapi juga perangkat kebijakan termasuk
penyusunan strategi nasional/rencana aksi, policy
reform (bila diperlukan), penanganan akar masalah
deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan
kapasitas dan pengembangan teknologi, serta
pemberian insentif bagi kegiatan lapangan yang
menghasilkan pengurangan atau penghindaran
emisi/peningkatan stok carbon hutan. Pemberian
insentif ini tidak disertai dengan pemberian
“credit” atau sertifikat kepada pemberi dana
karena merupakan bagian dari kegiatan readinesstransisi, dan tidak semestinya diperlakukan
sebagai carbon trading.
Sampai saat ini fase implementasi penuh (full
implementation) masih dalam proses negosiasi
termasuk mekanisme pasar dan non-pasar, dan
mekanisme pasar yang sedang dinegosiasikan
juga tidak serta-merta akan merupakan carbon
trading seperti halnya CDM di bawah Kyoto
Protocol yang berbasis project. Disamping itu,
di bawah Durban Platform for Enhanced Action
(DPEA) nantinya baik negara maju dan negara
berkembang akan sama-sama memiliki kewajiban
mengurangi emisi meskipun tetap dengan azas
common but differentiated responsibilities. Dengan
demikian, mekanisme pasar yang dibangun
haruslah mekanisme yang baru, yang dapat juga
merupakan complement bagi mekanisme yang ada
bila dikehendaki oleh negara pihak (parties).
banyak disoroti sebagai sesuatu yang diintrodusir
dari luar sebenarnya tidak jauh berbeda dari
konsep SFM yang berkembang pesat sejak KTT
Bumi 1992 dan menjadi instrumen pasar global
yang terekspresikan dalam berbagai standar
dan sertifikasinya. Indonesia termasuk negara
yang sangat aktif dalam proses global/regional/
nasional/lokal menyangkut SFM, demikian juga
menyangkut REDD+.
Konvensi perubahan iklim (UNFCCC), Konvensi
Keanekaragaman hayati (CBD), dan Forest Principles
lahir dalam waktu yang sama di KTT Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, namun isu
kehutanan di bawah UNFCCC tidak berkembang
cepat dan baru menjadi isu dominan setelah
lahirnya RED pada tahun 2005 (COP-11).
Dari sisi ini dapat dimengerti apabila REDD+
dipandang sebagai isu baru yang akan
memberatkan beban sektor kehutanan, bahkan
Indonesia atau dalam scope lebih luas negara
berkembang secara keseluruhan.
Indonesia telah menyatakan komitmen sukarela
di bawah UNFCCC untuk mengurangi emisi 26 %
di bawah BAU tahun 2020 dan kehutanan sebagai
sektor dominan dalam RAN-GRK (PERPRES
61/2011). Komitmen Indonesia ini selaras
dengan Bali Action Plan yang merupakan kriteria
keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah COP13 dan menjadi dasar negosiasi selanjutnya.
Sebagai negara dengan luas kawasan hutan
sekitar 70 % dari luas totalnya, sangat logis kalau
Indonesia sangat berkepentingan dengan REDD+,
terlebih apabila menyimak apa yang terkandung
di dalam REDD+, apa yang ada di dalam prinsipprinsip SFM yang telah lama dipahami oleh insan
kehutanan, dan dimana posisi kehutanan dalam
RAN-GRK. Bagan di bawah ini menunjukkan link
antara REDD+ dan RAN-GRK (kehutanan) dalam
PERPRES 61/2011.
REDD+ dan RAN-GRK
Policy interventions
to address
drivers of DD
Reducing Emissions
from Deforestation
(Reduce forest
conversion)
Safeguards
Reducing Emissions
from forest
Degradation
(sustainable
harvesting )
1. NFP & Convention
2. Good governance
& sovereignty
3. IP & local Community
4. Stakeholder Engagement
5. Biodiversity, natural forest, ecosystem services
6. Address risks of
reversals
7. Address
displacement
of emission
Enabling
Activities
Conservation
(avoiding
Emissions/C stocks
Conservation)
Enhancement
of Carbon Stocks
(Reforestation,
Ecosystem
Restoration)
Sustainable
Management
of Forest
Enabling
Activities
• Forest conservation
• Environmental
services
•
•
•
•
•
•
•
•
•
FMU
Forest gazzettment
Fire management
Forest protection
R&D
Rehabilitation
Ecosystem restoration
Social forestry
Other planting
activities
Commercial Timber
plantation
Activities which can be measured in terms of emission
reduction/emission avoidance/carbon stock enhancement
REDD+
RAN-GRK
Jenis aksi/kegiatan baik di REDD+ maupun
RAN-GRK dapat dipilah menjadi dua kelopmpok
besar yaitu: (a) aksi/kegiatan yang dapat diukur/
dinyatakan hasilnya sebagai pengurangan atau
penghindaran emisi/peningkatan stok karbon,
dan (b) aksi/kegiatan yang merupakan pengaman
atau pendukung yang sangat menentukan
keberhasilan/ketidak-berhasilan aksi/kegiatan
(a). Bila dalam REDD+ dipersyaratkan
pelaksanaan safeguards (7 elemen), maka dalam
pengelolaan hutan dikenal sejumlah instrumen
baik pasar maupun kebijakan yang mengandung
elemen serupa. Dari analisis yang dikoordinir
PUSTANLING terhadap instrumen kebijakan
dan instrumen pasar terkait SFM dan dalam
scope yang lebih besar instrumen kebijakan dalam
pengelolaan SDA yang saat ini digunakan/berlaku
di Indonesia, hampir semuanya relevan dengan
lima dari ketujuh safeguards yang dipersyaratkan
dalam REDD+ berdasar keputusan COP-16. Dua
elemen safeguards yang menyangkut komponen
perubahan iklim yaitu pencegahan resiko balik
(risks of reversals) dan penanganan pengalihan
emisi (displacement of emissions) belum tertampung
dalam instrumen kebijakan/pasar yang ada karena
memang belum dirancang untuk mengakomodir
komponen perubahan iklim. Di dalam tatanan
dunia yang terus berubah, prinsip sustainable
development dari KTT Bumi 1992 menjadi
green economy dan low carbon development path,
yang mengamanahkan pelaksanaan ketiga pilar
pembangunan (ekonomi-sosia-lingkungan) secara
simultan. Dapatkah kita mengatakan bahwa
REDD+ yang mengandung persyaratan di atas
persyaratan SFM sebagai SFM+ atau REDD+
adalah SFM atau isu kehutanan dalam tatanan
dunia yang berubah (forest in a changing world)?
REDD+ tidak identik dengan carbon trading, REDD+ adalah isu kehutanan in a changing world
•
3
Penutup:
melihat manfaat
REDD+ dari
berbagai aspek
Manfaat REDD+ dapat dilihat dari berbagai
perspektif tetapi tulisan ini fokus pada aspek
filosofis, finansial, dan politis.
Aspek Filosofis dikaitkan dengan uraian terdahulu
yang menempatkan REDD+ sebagai isu kehutanan
dalam tatanan dunia yang berubah. Perubahan
tatanan dunia yang sudah merambah bahkan
sampai ke tingkat lokal karena kita hidup di
dalam inter-koneksitas antar negara di dunia
(bahkan ada yang menyebut nations without borders),
dimana Indonesia sebagai warga dunia tidak
dapat mengelak antara lain terhadap: tuntutan
akan transparansi, kesetaraan dan keadilan,
penyelesaian konflik sosial, penyelamatan SDA
terutama yang berdimensi global. REDD+
dengan segala persyaratannya (yang sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan instrument pasar
yang dikenakan terhadap produk kehutanan
dan Indonesia berusaha memenuhinya) dapat
digunakan oleh sektor kehutanan Indonesia
dalam memberikan kontribusinya terhadap
tujuan pembangunan nasional yang pro-growth
(ekonomi), pro-job_pro poor (sosial), dan pro- green
(lingkungan) secara simultan. Implementasi
REDD+ yang menuntut penanganan akarmasalah deforestasi dan degradasi hutan memberi
kekuatan sektor kehutanan untuk membawa
sektor berbasis lahan dan sektor-sektor lain yang
mempengaruhi kelestarian SDH untuk bersamasama mengintegrasikan perencanaannya terutama
terkait “tata-ruang” dan pemanfaatan SDA dalam
kawasan hutan.
Aspek Finansial melihat seberapa pendanaan
REDD+ masuk ke Indonesia dibandingkan dana
total yang tersedia, dengan mempertimbangkan
bahwa sesuai perkembangan negosiasi dan
kesiapan Indonesia, saat ini masih dalam fase
readiness dan transisi (belum implementasi penuh
dimana ada kemungkinan mekanisme pasar).
Berdasar pernyataan komitmen yang dimulai
di Copenhagen (COP-15) dan diputuskan di
Cancun (COP-16), pendanaan REDD+ readiness
merupakan bagian dari pendanaan adaptasi dan
mitigasi seluruh sektor sebesar USD 30 milyar
sampai dengan tahun 2012. Dari jumlah tersebut
komitmen untuk REDD+ sebesar USD 5, 1 milyar
(17 %), dan Indonesia tercatat menerima hampir
USD 0,5 milyar5 yang mengalir melalui berbagai
channels, tidak termasuk komitmen bilateral
Norway sebesar USD 1 Milyar. Dana-dana tersebut
tentunya bukan untuk perdagangan karbon tetapi
untuk penyiapan perangkat implementasi penuh
REDD+ dengan kegiatan sebagaimana disebutkan
di atas, dan semestinya dapat juga digunakan
untuk memberikan insentif bagi aksi di lapangan
(misal: Demonstration Activities) yang menghasilkan
penurunan/pencegahan emisi /peningkatan stok
karbon tanpa imbalan credit atau sertifikat ke
pemberi dana. Jumlah tersebut dapat dianggap
kecil dibandingkan APBN Kementerian Kehutanan
sekitar Rp. 6 trilliun (~ USD 0.67) per tahun untuk
2010-2012, dan dibandingkan dengan biaya yang
diperlukan untuk penanganan deforestasi dan
degradasi hutan di Indonesia 2008-2012 sebesar
USD 4 milyar 6. Namun demikian, Indonesia
tercatat sebagai negara penerima dana REDD+
terbesar kedua setelah Brazil yang memiliki luasan
hutan tiga kali lebih besar dari Indonesia.
Aspek Politis disini dikaitkan dengan politik
perdagangan global dan politik dunia terhadap
pengelolaan SDA suatu negara terutama tentang
sustainabilitas. Dua komoditas penting Indonesia
yang selalu dihubungkan dengan deforestasi
dan konflik sosial adalah yang berasal dari HTI
dan perkebunan kelapa sawit. Sustainable Timber
Plantation dapat masuk kategori sustainable
management of forest dalam REDD+ dan sustainable
oil palm plantation dapat masuk dalam kategori RED
atau dalam kategori intervensi kebijakan untuk
penanganan penyebab deforestasi. Pendefinisian
yang jelas atas kategorisasi kegiatan kehutanan
dalam REDD+ dan terdokumentasikannya
dengan baik enforcement peraturan-perundangan
yang mengatur persyaratan pembangunan HTI
di bawah tatanan dunia yang berubah serta
pelaksanaan kebijakan penanganan konflik lahan
dalam kerangka REDD+, secara politis akan
meningkatkan posisi tawar sektor kehutanan.
Sumber: REDD+ partnership data-base (2012)
Sumber: IFCA (2008)
5)
6)
(Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim)
KEMENTERIAN KEHUTANAN
Gedung Manggala Wanabakti
Jl. Gatot Subroto Blok VII Lt. 8 Jakarta 10270, Indonesia; Ph./Fax: 62-21-5733433
E-mail: [email protected]; [email protected]
4 • Penutup: melihat manfaat REDD+ dari berbagai aspek
8
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN
Komite Akreditasi Nasional
Certificate No.:QSC 01003
9 772089 650001
Download