BAB III METODE MAUDHU’IY DAN PENDEKATAN PSIKOLOGIS SOSIOLOGIS DALAM PEMAHAMAN HADIS A. Metode Maudhu’iy dalam Pemahaman Hadis 1. Pengertian, Urgensi dan Faedah Metode Maudhu’iy a. Pengertian metode maudhu’iy Dalam ilmu hadis, ada salah satu cabang yang disebut fiqh alhadits. Fiqh al-hadits atau yang dikenal juga dengan istilah metode pemahaman hadits adalah ilmu tentang prosedur atau tata cara yang bersifat ilmiah untuk menggali dan memahami ajaran-ajaran agama berupa kehendak atau pesan-pesan Rasulullah dengan tepat yang terkandung di dalam hadis-hadis yang diriwayatkan dari beliau.1 Jadi dapat dikatakan, bahwa fiqh al-hadits adalah tata cara dalam memahami pesan-pesan yang terkandung dalam hadis Rasul (sesuai dengan ijtihad pribadi) agar sesuai dengan maksud dan pemahaman yang dikehendaki oleh Rasul sendiri. Dilihat dari kecenderungan ulama, pemahaman hadis dapat diklasifikasikan kepada metode pemahaman hadis tradisional dan metode pemahaman hadis modernis. Pemahaman hadis tradisional adalah pemahaman hadis yang mengacu pada pemahaman/metode ulama terdahulu. Contoh dari metode pemahaman hadis tradisional adalah tahlili, ijmali dan muqaran. Sedangkan pemahaman hadis 1 Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008), h. 19 51 52 modernis adalah pemahaman hadîts yang merujuk kepada pemahaman dengan pendekatan pemahamannya perkembangan dengan zaman zaman kekinian dan serta disesuaikan pemahamannya cendrung kontekstual. Salah satu metode pemahaman hadis modernis ini adalah pemahaman hadis tematis (maudhu’iy/korelatif). Kata maudhu’iy berasal dari dari kata lawan dari kata yang berarti masalah atau pokok perkataan.2 Dalam pemakaiannya dapat berarti mendahulukan, meletakkan, menyatukan, memukul, menyusun, atau mengarang, memasukkan, membuka dan melahirkan.3 Sedangkan huruf di akhirnya adalah ya nisbah, yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada pokok permasalahan. Dengan demikian, secara etimologi al-maudhu’iy adalah suatu tema pembahasan atau pokok permasalahan. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa defenisi yang diungkapkan, yakni: 1) Menurut Mustafa Muslim, maudhu’iy adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sehingga yang dimaksud dengan metode maudhu’iy yakni mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam al-Qur‟an atau hadis-hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik tertentu atau tujuan tertentu, kemudian disusun sesuai dengan sebab-sebab munculnya dan pemahaman 2 Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, (Qahirah: Dar al-Ma‟arif, 1119), h. 4857 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 501 3 53 dengan penjelasan, pengkajian, dan penafsiran dalam masalah tertentu tersebut.4 2) Menurut al-Farmawiy, metode maudhu’iy adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbâb al-wurud dan pemahamannya disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tersebut.5 Jadi, metode maudhu’iy dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis dengan cara menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam sebuah tema tertentu, yang kemudian dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pemahaman hadis tematis (maudhu’iy) melalui pendekatan psikologis dan sosiologis. Maksudnya adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan, kemudian disusun sesuai dengan asbâb al-wurud dan pemahamannya disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tersebut6 melalui kajian ilmu atau teori-teori psikologi dan sosiologi. b. Urgensi dan faedah metode maudhu’iy Adapun urgensi dan faedah metode maudhu’iy dalam pemahaman hadis antara lain: 4 Mustafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhu’iy, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), 16 5 Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhu’iy, Judul Asli: Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhu’iy oleh Abd al-Hayy al-Farmawi, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 44 6 Ibid. 54 1) Metode pemahaman maudhu’iy ini sesuai dengan semangat masa kini. Metode ini berfungsi untuk memperbaharui kebutuhan masyarakat. Dengan adanya metode ini, timbul ide-ide dan pemikiran yang baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 2) Metode pemahaman ini membantu untuk mengungkapkan sisi-sisi keistimewaan sunnah Nabi yang benar, yang dikuatkan dengan penjelasan bahwasanya sunnah Nabi adalah wahyu dari Allah swt. 3) Metode pemahaman ini menghasilkan ilmu-ilmu syariah yang baru, yang tumbuh pada masa kini sebagai pemenuhan kebutuhan ilmiah muslim di berbagai bidang pengetahuan manusia, seperti ilmu psikologi Islam, media Islam, ekonomi Islam, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. 4) Metode pemahaman ini dapat dijadikan solusi untuk menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan (mukhtalif al-hadits), dengan cara mengumpulkan riwayat-riwayat yang secara dzahir tampak bertentangan tersebut. 5) Metode ini juga dapat memberikan penjelasan mana yang nasikh dan mana yang mansukh, sehingga semua hadis bisa diposisikan pada posisi yang benar. 6) Metode ini juga bisa membantu menyingkap sabab wurud hadis, sehingga maksud hadis tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Rasulullah saw. 55 7) Metode ini juga dapat membantu untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan komprehensif.7 Dengan metode maudhu’iy ini diharapkan akan diperoleh nilai-nilai keutamaan hadis Nabi dari segala sisi kehidupan, baik sosial, politik maupun ekonomi dengan pemahaman yang komprehensif. 2. Langkah-langkah Metode Maudhu’iy Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’iy dalam pemahaman hadis adalah:8 a. Menginventarisasi hadis-hadis yang setema dan maqbul (shahih atau hasan) dari semua sumber dan kitab hadis yang ada b. Menata hadis sejauh data yang ada dalam urutan sejarah wurudnya c. Menganalisis makna hadis dengan melibatkan seluruh teks dari semua riwayat yang ada d. Jika dalam kasus yang diteliti adanya ikhtilaf, maka pemahamannya dilakukan dengan menerapkan kaidah-kaidah ikhtilaf al-hadis dengan mempertimbangkan riwayat yang ada dalam kasus yang dibahas. Bukhari juga mengungkapkan langkah-langkah metode maudhu’iy, sebagai berikut:9 a. Penghimpunan hadis-hadis tentang tema yang dipilih 7 Ramadhan Ishâq al-Zayyân, al-Hadîts al-Maudhu’iy Dirâsat Nazhariyah, Majalah alJâmi‟ah al-Islâmiyah, Jilid 10, no. 2, h. 215-216 8 Daniel Juned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Rekonstruksi Fiqh al-Hadis), (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), h. 194 9 Bukhari M, Metode Pemahaman Hadis. Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Nuansa Madani. 1999), h. 25 56 b. Penentuan orisinal hadis yang dijadikan sampel (kritik editis) c. Pemahaman makna hadis dengan meneliti a) komposisi tata bahasa hadis dan bentuk pengungkapannya, b) korelasi konteks kemunculan hadis secara sosio-historis-psikologis, dan c) pengambilan spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks-teks Adapun langkah-langkah metode maudhu’iy yang penulis tempuh dalam kajian ini adalah: a. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas, dalam hal ini adalah tuntunan hidup bertetangga. b. Menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan kehidupan bertetangga c. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik pembahasannya d. Meneliti keshahihan hadis berdasarkan penelitian ulama terdahulu e. Berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, dengan menganalisis matan hadis yang mencakup pengertian kosa kata, ungkapan, dan asbâb wurud f. Menganalisis hadis-hadis tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologis sosiologis, dengan mengkaji dan menganalisis teori-teori psikologi dan sosiologi yang terkandung dalam hadis tersebut g. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari hasil analisis terhadap hadis-hadis tentang tuntunan hidup bertetangga sehingga diperoleh 57 keutamaan nilai-nilai tuntunan hidup bertetangga dalam perspektif hadis. B. Pendekatan Psikologis dan Sosiologis dalam Pemahaman Hadis 1. Pengertian Psikologi dan Sosiologi serta Teori-teorinya a. Pengertian Psikologi dan Teori-teorinya Psikologi berasal dari kata psyche yang diartikan dengan jiwa, dan perkataan logos yang diartikan ilmu atau ilmu pengetahuan (science). Sehingga dengan demikian, perkataan psikologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai jiwa atau ilmu jiwa.10 Para ahli psikologi terdahulu, Alkinson mendefenisikan psikologi sebagai studi kegiatan mental. Istilah mental menyinggung masalah pikiran, akal, dan ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal, dan ingatan.11 Beberapa ahli psikologi lainnya memberikan defenisi tentang psikologi, yaitu: 1) William James (1980), ahli psikologi Jerman, memberikan defenisi bahwa psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena di sini termasuk apa yang disebut perasaan, keinginan, kognisi, berpikiran logis, keputusan, dan sebagainya. 2) Kenneth Clark dan George Millter (1970), mendefenisikan bahwa psikologi sebagai studi ilmiah mengenai perilaku. Ruang 10 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: ANDI, 2003), h. 1 Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. Ke-4, h. 425 11 58 lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, perubahan kejiwaan, dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.12 Dari berbagai defenisi tersebut, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa psikologi sebagai studi ilmiah mengenai proses perilaku dan proses-proses mental. Bidang khusus yang terdapat di dalamnya sangat beraneka ragam, termasuk psikologi eksperimental, psikologi fisiologi, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi kepribadian dan lain-lain. Dengan demikian, psikologi merupakan salah satu bagian dari ilmu perilaku atau ilmu sosial.13 Adapun konsep atau teori psikologi yang terkait dengan pembahasan tentang hidup bertetangga, antara lain: 1) Struktur kepribadian Ada tiga soal yang dikemukakan oleh Klages dalam struktur kepribadian, yaitu: a). Temperamen, b). Perasaan, dan c). Daya Ekspresi. Mengenai perasaan, menurut Klages dalam setiap perasaan terkandung keinginan. Keinginan itu pada pokoknya ada dua macam, yaitu keinginan menerima dan keinginan menolak. Misalnya di dalam rasa benci terletak antara lain keinginan menghancurkan, di dalam penghinaan terletak keinginan untuk meniadakan penghargaan, di dalam rasa cinta terletak keinginan 12 Ibid. Ibid. 13 59 berkorban, di dalam rasa takjub terdapat keinginan untuk menghormati dan sebagainya14. Rasa cinta adalah salah satu gejolak emosi yang penting dalam kehidupan manusia. Rasa cinta menjadi faktor penting dalam pembentukan interaksi sosial yang baik antar sesama. Rasa cinta menjadikan hubungan seseorang dengan orang lain semakin dekat hingga melahirkan motivasi untuk saling tolong-menolong.15 Kecintaan seseorang terhadap sesama manusia dan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan di antara mereka, merupakan salah satu faktor penting yang membentuk kewibawaan seseorang dalam komunitasnya. Jiwa seseorang akan merasakan kepuasan, kenyamanan dan kebahagiaan karena ia dipandang sebagai salah satu anggota masyarakat yang memberi andil secara menonjol dalam komunitasnya.16 Para psikiater mengakui pentingnya interaksi sosial bagi setiap orang dan menyatakan bahwa tingkat kesehatan jiwa seseorang dapat diukur dari hasil interaksi sosialnya. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa penderita gangguan kejiwaan selalu dikaitkan dengan anggota masyarakatnya, terutama hubungan cinta dan kasih sayang di antara mereka atau antar sesama manusia secara umum. Para psikiater menekankan bahwa seseorang yang 14 Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 110 15 Muhammad „Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis, Judul Asli: Al-Hadîts wa ‘Ulum al-Nafs, Pen. Zaenuddin Abu Bakar, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2004), h. 71-72 16 Ibid., h. 79 60 menyatu dalam suatu komunitas dan melakukan aktivitas yang bermanfaat merupakan salah satu faktor penting dalam terapi kejiwaan. Seperti pendapat Alfred Adler, ia menekankan bahwa pasien gangguan kejiwaan agar meningkatkan tingkat perhatiannya terhadap orang lain, menyatu dengan mereka, dan berusaha menolong mereka. Adler menambahkan bahwa ketika penderita gangguan jiwa melakukan hal tersebut, ia akan bebas dari gangguan kejiwaan.17 2) Emosi Perasaan atau emosi merupakan gejala afektif pada kejiwaan manusia yang dihayati secara subjektif, yang pada umumnya bersentuhan secara langsung dengan gejala pengenalan. Dalam realitas terdalam, perasaan atau emosi jiwa tidak bersifat tetap, baik dalam bentuknya maupun kadarnya. Sakit dengan pedih, cinta dengan sayang adalah bentuk perasaan yang berbeda dan memiliki ukuran kedalaman emosi yang berbeda. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh kepribadian dan keadaan hati seseorang.18 Pengaruh-pengaruh komponen psikologis, intensitas dan durasi dari emosi yang dirasakan dan ekspresi-ekspresi melayani fungsi-fungsi komunikatif dan motivasi sosial, sedangkan pengalaman-pengalaman emosi (status merasakan) mempengaruhi 17 Ibid. Rosleny Marliany, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 221 18 61 kognisi dan tindakan. Status emosi mempengaruhi apa yang diserap, dipelajari, dan diingat oleh seseorang, dan mereka terlibat langsung di dalam pengembangan perilaku empatik, altruistik, dan perilaku moral, di samping terlibat juga dalam ciri-ciri dasar personalitas seseorang.19 Gejala psikis manusia normal sepanjang hidupnya bergantung pada dukungan internal dalam dirinya dan dorongan atau dukungan eksternal dari lingkungannya. Perasaan-perasaan yang diharapkan di antaranya adalah: a). Rasa aman, b). Rasa percaya, c). Kontrol, dan d). Harga diri.20 3) Teori Alfred Adler tentang Individual Psychologie Menurut Adler, di dalam diri manusia terdapat dua dorongan pokok, yang mendorong serta melatarbelakangi segala tingkah lakunya, yaitu: a). Dorongan kemasyarakatan yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada masyarakat, b). Dorongan kelakuan, yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri. Mengenai dorongan kemasyarakatan, bentuk kongkrit dorongan ini misalnya berwujud koperasi, hubungan sosial, hubungan antar pribadi, mengikatkan diri dengan kelompok, dan sebagainya.21 Secara teori, dalam artian yang luas, dorongan kemasyarakatan merupakan dorongan untuk membantu masyarakat 19 Ibid., h. 223 Ibid., h. 226 21 Sumardi, op.cit., h. 186 20 62 guna mencapai tujuan masyarakat yang sempurna. Dalam hubungan ini Adler menyatakan, “Social interest is true and inevitable compensation for all the natural weaknesses of individual human being”. Dorongan kemasyarakatan itu adalah dasar yang dibawa sejak lahir; pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Namun, kemungkinan mengabdi kepada masyarakat itu tidak nampak secara spontan, melainkan harus dibimbing dan dilatih.22 4) Encounter dalam psikologi humanistika Menurut Fromm, manusia itu menyatu dan tak terpisahkan dari dunianya. Manusia seakan-akan merupakan pusat hubungan dan selalu aktif berhubungan dengan dunianya, baik melalui proses asimilasi (mengambil, meminta, merampas, memanfaatkan, tukarmenukar, memproduksi) atas benda-benda di alam sekitarnya maupun melalui sosialisasi (mencintai dan membenci, bersaing dan kerja sama, sederajat dan otoriter) terhadap sesama manusia dan dirinya sendiri.23 Senada dengan itu Fuad Hassan yang menandai manusia sebagai makhluk yang menyadari diri sebagai ketinggalan sekaligus sebagai partisipan kebersamaan-menjelaskan ungkapan terkenal Heidegger Alles Dasein ist Mitsein dengan menyatakan bahwa “mengada sebagai pribadi” (being person) selalu berarti 22 Ibid., h. 189 Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 23 91 63 “mengada bersama pribadi lain” (being with other people). Hal ini berarti bahwa sekalipun manusia memiliki keunikan tersendiri, manusia selalu ada dan harus hidup dalam ikatan lingkungan sosial, seperti keluarga, kerabat, tetangga, teman-teman, dan lingkungan masyarakat pada umumnya.24 5) Ilmu Watak Watak adalah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan, dalam hubungannya dengan bakat, pendidikan, pengalaman dan alam sekitarnya. Watak dapat dipengaruhi, diperbaiki, dan dimajukan.25 Manusia adalah makhluk sosial. Artinya manusia baru menjadi manusia kalau ia hidup dengan manusia lain atau hidup di kalangan manusia. Jadi manusia akan kehilangan kemanusiaannya kalau ia berada di lingkungan bukan manusia. Manusia harus berada di dalam pergaulan antara manusia. Di dalam pergaulan ini manusia harus menjaga agar pergaulan itu tetap berada dalam suasana kemanusiaan, yang rukun dan damai, memperbaiki dan memajukan. Untuk ini manusia yang satu harus kenal manusia yang lain. Jadi di dalam pergaulan itu manusia harus mengenal diri sendiri dan mengenal yang lain jadi saling mengenal.26 24 Ibid., h. 91-92 Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 251 26 Ibid., h. 251-252 25 64 6) Sikap dan perilaku sosial Sikap dan perilaku sosial diketengahkan secara khusus karena manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yang tidak mempunyai pilihan lain selain harus menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan bersama dengan orang lain. Dilihat dari aspek tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karakteristik manusia berkualitas salah satu di antaranya adalah memiliki sikap dan perilaku yang positif.27 Perwujudannya dalam kebersamaan tidak sekedar mampu bergaul dengan orang lain, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Kepekaan dan kepedulian sosial itu dapat diamati dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, yang ditampilkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang baik sebagai anggota masyarakat. Contoh-contoh sederhana terlihat pada kesediaan menolong orang lain yang berada dalam kesusahan, bergotong royong membersihkan kampung, ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah bersama, dan sebagainya.28 7) Komunikasi dalam psikologi sosial Manusia secara alami mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia seperti dorongan ingin tahu, dorongan ingin mengaktualisasikan diri dan lain sebagainya. 27 Hadari Nawawi, Manusia Berkualitas, (Yogyakarta: UGM Press, 1994), h. 55 Ibid. 28 65 Dorongan-dorongan tersebut akan dapat dipenuhi dengan mengadakan komunikasi dengan sesamanya. Komunikasi merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti, baik yang berwujud informasi-informasi, pemikiran-pemikiran, pengetahuan ataupun yang lain-lain dari penyampai atau komunikator kepada penerima atau komunikan. Dalam komunikasi yang penting adanya pengertian bersama dari lambang-lambang tersebut, dan karena itu komunikasi merupakan proses sosial. Bila komunikasi itu terjadi terus-menerus akan terjadi interaksi, yaitu proses saling mempengaruhi antara individu satu dengan yang lain. 29 b. Pengertian Sosiologi dan Teori-teorinya Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yakni kata socius dan logos. Socius yang berarti kawan, berkawan, ataupun bermasyarakat. Sedangkan logos berarti ilmu atau dapat juga berbicara tentang sesuatu. Dengan demikian, secara harfiah istilah sosiologi dapat diartikan ilmu tentang masyarakat.30 Adapun menurut terminologi, sosiologi memiliki banyak defenisi dari para pakarnya, antara lain: 1) Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial. 29 Bimo Walgito, op.cit., h. 75 Dadang, op.cit., h. 69 30 66 2) William Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial. 3) Roucekj dan Warren berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang hubungan antar manusia dalam kelompok-kelompoknya.. 4) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.31 5) Hassan Shadily mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan itu.32 Dari beberapa defenisi di atas, sosiologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejalagejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial. Dan objek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan prosesproses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. 33 Adapun konsep atau teori sosiologi yang terkait dengan pembahasan tentang hidup bertetangga, antara lain: 31 Dadang, Ibid., h.69-70 Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 32 h. 1 33 Dadang, op.cit., h. 70 67 1) Masyarakat Masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.34 Dengan demikian, hidup bermasyarakat merupakan bagian integral karakteristik kehidupan manusia. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jika manusia tidak bermasyarakat. Sebab sesungguhnya individu-individu tidak dapat hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya, karena manusia itu adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia.35 Orang yang hidup di dalam masyarakatnya memang harus mengorbankan atau memberi sebagian dari kebebasan pribadinya sebagai anggota dan menerima perlindungan dari golongan. Dalam bahasa asing secara populer dikatakan harus give and take sambil menyesuaikan diri.36 Banyak sekali didapati klasifikasi masyarakat menurut bentuk dan macamnya. Dalam hal ini Tonnies berpendapat, bahwa golongan di dalam masyarakat ini terbagi dalam macam golongan yang selalu tentang-menentang. Yang pertama ialah gemenschaft atau persekutuan hidup di mana orang-orang memelihara hubungan berdasar keturunan dan 34 Shadily, op.cit., h. 47 Dadang, op.cit., h. 131 36 Shadily, op.cit., h. 6-7 35 68 kelahiran, berdasar rumah tangga dan keluarga serta pula family dalam arti yang seluas-luasnya yang selalu menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan anggotanya. Seperti gambaran kehidupan di desa, pertalian yang erat dan kekal, pertalian yang menyebabkan perasaan satu, sehingga menghasilkan kebiasaan bersama. Lain halnya dengan gesselschaft atau perkongsian hidup. Tiap anggota pada masyarakat jenis ini hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dan tindakan yang diambilnya jika ada keuntungan di belakangnya. Demikian maka di sini selalu terdapat bahwa orang-orang itu tidak peduli kepada keadaan partnernya kecuali untuk memenuhi suatu segi kebutuhannya. 37 Dalam hal ini, Shadily memandang sifat perseorangan yang menjadi ciri masyarakat gesselschaft akan menyebabkan akhlak dalam kehidupan bersama terancam, begitu pula dengan perdamaian serta keamanan, jika pertalian dalam gemeinschaft (dalam kesatuan keluarga, agama dan sebagainya) tidak dipertegakkan kembali.38 Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Plato (± 427347 SM) seorang ahli pikir bangsa Yunani, dalam Utopianya menggambarkan negara idamannya, yang lebih dari pada kepentingan perseorangan, melindungi dan memenuhi kebutuhan 37 Ibid., h. 17 Ibid., h. 18 38 69 bagi manusia seluruhnya dalam masyarakat berdasar kebaikan akhlak dan peradaban idaman, pun juga dalam menjaga dan menegakkan keadilan. Pandangan Plato yang demikian itu harus dipikirkan dengan mengingat keadaan masyarakat dan negara Yunani pada zaman itu, yang mulai tampak runtuh karena sifat perseorangan yang sedang merajarela.39 2) Proses sosial Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.40 Ada beberapa proses sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, di antaranya: a). Proses pengaruhmempengaruhi/aksi dan reaksi, b). Proses yang mendahului penggabungan, c) Proses penggabungan. Proses pengaruh-mempengaruhi merupakan unsur terpenting dalam masyarakat golongan. Tipis-tebalnya proses ini berjalan menentukan corak dan sifat golongan itu. Pengaruhmempengaruhi ini dimulai dengan terjadinya kontak. Jika kontak itu terjadi maka timbullah proses aksi dan reaksi. Menurut Park dan Burgess, kontak ini terjadi dengan tiga macam hubungan, yaitu dengan panca indera, emosi dan sentimen atau intelek. Proses yang mendahului penggabungan terdiri dari sikap membolehkan dan membiarkan. Sesudah kontak tadi terjalin, terdapatlah masyarakat golongan itu dalam keadaan membolehkan 39 Ibid., h. 13 Dadang, op.cit., h. 70 40 70 dan membiarkan hubungan. Dalam hubungan dan keadaan membiarkan itu, istilah sosialnya dikenal dengan sebutan toleransi. Toleransi berarti keadaan membiarkan, membolehkan dengan diam-diam, tidak mencela dan sebagainya. Kemudian, proses penggabungan terdiri dari sikap dekatmendekati. Beberapa perbuatan yang termasuk dalam proses dekatmendekati ini ialah memberi, berterima kasih, menghormati dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam tindakan memberi didapatkan dua macam tindakan, yaitu tindakan memberi dan reaksi terhadap pemberian itu. Untuk menjadikan proses dekat-mendekati itu berhasil kekal, sangat tergantung sekali dengan cara penerimaan itu. Dalam hal ini Simmel mengatakan: “Cara penerimaan yang menggambarkan rasa terima kasih, ataupun tidak, seolah-olah penerima itu memang mengharapkan barang itu atau tidak, memperlihatkan gembira ataupun kecewa, memperlihatkan hormat atau penghinaan; kesemuanya itu mempengaruhi pemberi itu dalam sikap dan tindakan selanjutnya, sehingga tindakan memberi ini akan berakibat mendekatkan atau menjauhkan.” Rasa terima kasih dan sikap menghargai terhadap pemberian itu harus selalu ada, untuk menentukan proses dekat-mendekati yang akan menuju kepada harga-menghargai sebagai dasar kerja sama yang murni. 41 41 Shadily, op.cit., h. 125-128 71 3) Interaksi sosial Interaksi sosial adalah proses sosial yang menyangkut hubungan timbal balik antar pribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok. Interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Menurut Soekanto berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan oleh empat faktor, antara lain: imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.42 Menurut George Herbert Mead, agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar anggota masyarakat bisa berfungsi secara “normal”, maka yang diperlukan bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara objektif perilaku diri sendiri dari sudut pandang orang lain.43 4) Perubahan sosial Menurut Ritzer, perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu. Sosiolog lain (Persel) mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. Dari dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah segala transformasi pada individu, kelompok, masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosialnya, 42 Dadang, op.cit., h. 135 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta: Prenada, 2010), cet. Ke-4, h. 20 43 72 termasuk di dalamnya nilai, sikap, pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.44 5) Norma Norma adalah suatu standar atau kode yang memandu perilaku masyarakat. Norma-norma tersebut mengajarkan agar perilaku seseorang itu benar, layak dan pantas. Norma dapat memotivasi perilaku seseorang dengan cara menjanjikan ganjaran atau hukuman sosial informal atas perilaku tersebut.45 Pelanggaran terhadap aturan norma-norma yang berlaku disebut dengan perilaku menyimpang. Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang, antara lain adalah: a). Tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada, misalnya memakai sandal butut ke kampus. b). Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum, misalnya menarik diri dari pergaulan dan tidak mau berteman. c). Tindakan kriminal, tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain, misalnya pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain. 44 Dadang, op.cit., h. 137 Ibid., h. 133 45 73 6) Kontrol sosial Untuk mencegah agar kecenderungan warga masyarakat yang ingin dan telah melanggar aturan tidak terus merebak atau berkembang lebih parah, masyarakat perlu menjalankan pengendalian sosial atau kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya. Menurut Soerjono Soekanto, yang dimaksud pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.46 Salah satu sarana kontrol sosial yang utama adalah sanksi. Sanksi adalah suatu ransangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hal yang serupa dikemukakan K. Daniel O‟Leary dan Susan G. O‟Leary mengemukakan bahwa sanksi merupakan upaya dengan suatu konsekuensi yang diduga dapat mengurangi atau menurunkan kemungkinan untuk melakukan perbuatan melanggar untuk masa yang akan datang.47 7) Konflik Sosial Konflik sosial adalah pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain. Konflik sosial pun dapat berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi 46 J. Dwi Narwoko, op.cit., h.132 Dadang, op.cit., h. 134 47 74 atau menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama aktivitas kelompok tersebut.48 8) Permasalahan sosial Istilah permasalahan sosial merujuk kepada suatu kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.49 2. Pengertian dan Urgensi Pendekatan Psikologis dan Sosiologis dalam Pemahaman hadis Yang dimaksud dengan pemahaman hadis melalui pendekatan psikologis adalah memahami hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan psikis Nabi dan masyarakat, khususnya sahabat yang dihadapi Nabi, yang melatarbelakangi munculnya hadishadis tersebut. Sedangkan pendekatan sosiologis dalam pemahaman hadis adalah memahami hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis-hadis tersebut.50 Nizar Ali di dalam bukunya Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) menerangkan bahwa, pemahaman terhadap hadis Nabi perlu memperhatikan aspek-aspek terkait dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi lahirnya sebuah hadis. Dengan begitu, pemahaman terhadap hadis akan bisa lebih komprehensif. Dia menekankan perlunya 48 Ibid., h. 136 Ibid., h.138 50 Buchari, loc.cit. 49 75 memahami teori-teori berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi maupun sejarah untuk membantu memahami hadis Nabi. Dengan bantuan teori-teori ilmu tersebut, klaim seseorang yang menyatakan bahwa pemahamannya terhadap hadis adalah pemahaman yang paling benar dapat dihindari.51 Senada dengan Nizar Ali, M. Alfatih Suryadilaga menulis sebuah buku berjudul Aplikasi Penelitian Hadis (dari Teks ke Konteks). Di dalam buku tersebut, Alfatih menjelaskan bahwa di dalam penelitian hadis perlu adanya usaha yang serius dengan melibatkan berbagai keilmuan lain. Selain itu juga perlu memahami keilmuan yang berbasis bahasa asli, bahasa Arab, untuk dapat berdialog dengan teks. Dan yang tidak bisa ditinggalkan juga adalah pengetahuan tentang historisitas teks dengan melihat unsur-unsur yang sangat terkait dengan penciptaan teks. Dengan begitu, akan diperoleh pemahaman yang sesuai dengan konteksnya dan tidak terkesan kaku serta ketinggalan zaman.52 Menurut Said Agil Husein al-Munawwar, di dalam memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif. Hal ini disebabkan karena hadis sampai kepada umat melalui jalan periwayatan yang panjang. Di samping kemungkinankemungkinan lain merasuk ke dalamnya. Hadis tidak bertambah jumlahnya setelah wafatnya Rasulullah saw., sedangkan permasalahan 51 Aryasupang. pdf. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Telaah atas Pemikiran m. Syuhudi Ismail), diunduh tanggal 04 Maret 2014 pukul 17:23, h. 2 52 Ibid. h. 3 76 yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan perkembangan zaman.53 M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa suatu hadis perlu dipahami dengan berbagai pendekatan, baik pendekatan historis, antropologis, sosiologis maupun psikologis, karena masa yang dihadapi saat ini sangat berbeda dengan masa Rasulullah, sehingga timbul persoalan dalam memahami sabda Nabi. Seperti memahami hadis yang berbunyi Lan yufliha qaumun walau amrahum imra’atan (HR. Bukhari, Nasa‟i , dan Ahmad). Hadis ini menurut ulama hadis sunni dari segi sanad adalah shahih. Dalam hal ini hanya al-Thabari yang membolehkan wanita menjadi hakim apa saja dan umumnya ulama Syafi‟iyyah tidak membolehkannya. Dengan pendekatan historis dan antropologis, mana mungkin yang dimaksud hadis ini adalah bahwa wanita tidak sesuai untuk menjadi hakim pada masa itu karena wanita pada masa itu sama sekali tidak berwibawa. Oleh karena itu, untuk memahami hadis tersebut dengan baik dan benar serta sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasulullah digunakanlah pendekatan sosiologis.54 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, pendekatan psikologis dan sosiologis sangat diperlukan dalam memahami hadis-hadis Nabi. Terlebih lagi hadis yang menyangkut tentang hidup bermasyarakat, seperti kehidupan bertetangga. Karena hadis-hadis yang menyangkut 53 Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah & Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Makalah: Said Agil Husein al-Munawwar, Judul: Metode Pemahaman Hadis: Kemungkinan Pendekatan Historis dan Antropologis, (Yogyakarta: LPPI,1996), h. 174 54 Ibid. Tanggapan Makalah oleh: M. Syuhudi Ismail, h. 180 77 kehidupan bertetangga tersebut sesuai dan sejalan dengan psikologis dan sosiologis masyarakat pada masa sekarang. Diharapkan melalui pendekatan psikologis dan sosiologis, akan ditemukan hikmah-hikmah dan keutamaan-keutamaan nilai dari ajaran Rasulullah saw. sehingga makin diperoleh keyakinan yang kuat bahwa Islam adalah agama yang rahmatan „Alamin.