SASTRA MODERN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN ETIKA MORAL DAN KARAKTER Oleh Uswatun Hasanah SMAN I Purwantoro ABSTRACT This paper describes the function of literature as a vehicle, container, and learning media ethics and morals. Although it is not a book of ethics and moral, literary creativity relatively functional and well as learning media ethics and morals. Cautious attitude and meticulous and proportionate indispensable to the proper functioning of literature as a medium of learning ethics and morals. It is intended that the nature of copyright as a literary work of art is not reduced to a book of ethical-moral and character in the side so that excessive expectations not being pinned to literature as a medium of learning ethics and morals. With caution, careful, and proportional, then literature can undoubtedly be an entry provides the ethical and moral experiences for students. Furthermore, it implies that literature can be expected as a planting medium-moral ethics and character to the learner. Keywords: copyright of literary, media, learning, ethics, and morals ABSTRAK Tulisan ini memaparkan fungsi sastra sebagai wahana, wadah, dan media pembelajaran etika dan moral. Meskipun bukan merupakan kitab etika dan moral, cipta sastra relatif fungsional dan baik sebagai media pembelajaran etika dan moral. Sikap hati-hati dan cermat serta proporsional sangat diperlukan pada waktu memfungsikan sastra sebagai media pembelajaran etika dan moral. Hal ini dimaksudkan agar hakikat cipta sastra sebagai karya seni tidak tereduksi menjadi kitab etika-moral dan karakter di samping agar harapan yang berlebihan tidak ditumpukan kepada sastra sebagai media pembelajaran etika dan moral. Dengan sikap hati-hati, cermat, dan proporsional, maka sastra niscaya dapat menjadi pintu masuk memberikan pengalaman etis dan moral bagi para pelajar. Lebih lanjut, hal ini mengimplikasikan bahwa sastra dapat diharapkan sebagai salah satu media penanaman etika-moral dan karakter kepada pelajar. Kata Kunci: cipta sastra, media, pembelajaran, etika, dan moral 109 sebagai media pembelajaran etika- PENDAHULUAN Unsur penting dalam utile moral dan karakter? Ini pertanyaan tidak lain adalah moral. Baik dalam penting untuk dicermati. Sebabnya, sastra Barat maupun sastra Indonesia sekali pun sering mengandung mua- selepas abad kesembilan belas, ada tan etika dan moral, bukankah suatu kecenderungan untuk tidak menon- karya sastra, apalagi cipta sastra jolkan moral sebab penonjolan moral modern, jelas bukan kitab atau pada umumnya akan mengurangi naskah etika dan moral?; bukankah nilai estetika karya sastra. Begitu karya sastra [lebih-lebih cipta sastra pembaca diberi tahu mengenai moral modern] tidak atau jarang sekali karya dimaksudkan sebagai kitab rujukan sastra yang dihadapinya, apalagi kalau penonjolan itu bersifat atau menggurui, atau karakter? Bahkan sekarang misi dan kenikmatan akan berkurang (Darma, visi etis dan moral tertentu biasanya 2004:20—21). sudah tidak menjadi pertimbangan, unsur dulce Dengan keberadaan, kedudu- panduan etika-moral dan sumber utama atau obsesi proses kan, dan keadaan di dunia modern kreatif seperti atau bahasa Horatius, proses kreatif sastra mungkinkah sastra modern khu- tidak lagi berdasarkan paradigma susnya teks cipta sastra modern dulce et utile [kenikmatan estetis dan digunakan pem- kegunaan etis-moral]. Hal itu jelas belajaran etika-moral dan karakter?; berbeda dengan sastra lama yang jika dapat atau mungkin, efektifkah memang dihajatkan sebagai sarana penggunaan cipta sastra modern pedagogis etis-moral dan karakter sekarang, sebagai dapatkah media 110 sang sastrawan. Dengan oleh pengarangnya tampak pada sebagaimana Serat seperti dalam Cabolek, Tidakkah Tripama, Wirid Hidayat Jati, dan simplistis Wedatama. derhanakan Sastra lama milik sastra terlalu dan verbalistis, reduktif dan modern? [menye- menyepelekan] berbagai pemangku budaya lokal, kalau pembelajaran etika-moral dan misalnya, memang dicipta atas dasar karakter bermediakan sastra modern? paradigm dulce et utile. Oleh karena Hal itu, direnungi bersama. Mengapa pemanfaatan sastra modern sebagai demikian? Sebabnya, bukankah media pembelajaran etika-moral dan etika-moral dan karakter pertama- karakter tidak membebani, malah tama mengutamakan mungkin haruskan praksis atau tindakan nyata apakah penggunaan memperkosa atau sastra? ini penting disadari dan meng- Jangan-jangan sastra modern disikapi dalam sebagai manusia, bukan pengetahuan dan kitab etika-moral dan kehidupan dan karakter sehingga substansi atau pemahaman hakikat banyak kesastraannya tenggelam; orang semata? yang sehari-hari Bukankah menghayati, sehingga dulce-nya tenggelam dan mengetahui, dan memahami dengan utile-nya dominan. sangat baik ihwal etika dan moral, Lagi pula, bukankah pembe- tetapi tindakan-tindakannya tidak etis lajaran etika-moral dan karakter lebih dan bermoral dalam konteks sosial? membutuhkan contoh dan teladan Di sini kata dan perbuatan tak nyata, faktual, dan empiris, bukan seiring-sejalan-seirama. Ini semua sekadar kata-kata, petuah, petitih, menunjukkan bahwa tindakan etis dan dan bermoral dapat tumbuh dan contoh imajinatif-fiksional 111 berkembang baik berkat kebiasaan mengatakan atau praksis berkelanjutan, bukan etis-moral tetap berpancaran dan karena khotbah dan cerita semata berpijar-pijar dalam sastra modern yang diketahuinya. Konsekuensinya, yang baik? penumbuhan dan bahwa ajaran-ajaran pengembangan Pertanyaan-pertanyaan terse- sikap dan tindakan etis dan bermoral but dicoba dijawab dalam makalah membutuhkan pembelajaran ringkas ini. Makalah ringkas ini yang nyata dan konkret di lapangan dan di mencoba dalam banyak bidang, bukan di kelas kinan-kemungkinan dan di dalam bidang sastra semata. sekaligus Karena itu, sekali lagi, efektifkah sastra penggunaan sastra sebagai media pembelajaran pembelajaran etika-moral dan karak- Dengan kata lain, makalah ringkas ter? Akan tetapi, jika memang tidak ini lebih banyak terfokus pada efektif dan manjur, bukankah Hora- permasalahan [problematika] peng- tius [Horace] sudah menyatakan gunaan sastra sebagai media pem- bahwa sastra berfungsi dulce et utile belajaran etika dan moral, bukan [memberi kenikmatan literer-estetis pada dan kegunaan etis-moral-spiritual] penggunaan sastra sebagai media sejak lebih seribu tahun lalu? Masa pembelajaran etika dan moral. Secara modern sekarang, bukankah Budi berturut-turut Darma–sastrawan, budayawan, kriti- makalah ringkas ini (1) kompleksitas kus sastra, dan gurubesar sastra keberadaan terkemuka urgensi pendidikan etika khususnya kita–juga acap 112 menguraikan dan keterbatasan modern kemung- efektivitas sebagai etika teknik dan dan dibeberkan sastra batas media moral. prosedur dalam modern, (2) pembelajaran etika-moral dan terbatas sebab hanya mampu karakter, dan (3) kemungkinan dan menangkap batas sekaligus keterbatasan penggu- sastra. Oleh sebab itu, berdebat ihwal naan media definisi atau rumusan tentang sastra pembelajaran etika-moral dan moral. merupakan kegiatan kurang pro- Uraian disajikan secara konseptual- duktif, ringkas tanpa banyak ilustrasi dan bermanfaat, bagi keberadaan dan contoh yang kongkret-operasional. kehidupan sastra. Cukuplah dikata- sastra sebagai sebagian kurang fenomena banyak berguna- kan di sini bahwa kodrat sastra PEMBAHASAN merupakan ciptaan (works) kreatif A. Hakikat Cipta Sastra [inovatif-inventif] Perlu disadari bersama bahwa manusia yang terekspresikan ke dalam bahasa khas, sastra baik sastra modern maupun yang sastra lama sangat sukar dirumuskan mungkin secara lengkap dan memadai. Setiap estetis rumusan selalu luput atau gagal mengandung karakteristik dan fungsi menangkap tertentu. semua kompleksitas mengedepankan [malah menomorsatukan] atau keindahan Tanpa sebuah ciptaan sastra selalu berubah atau ber- identitas sebagai sastra. Bahasa di kembang berkelanjutan sini telah menjadi conditio sine qua serentang perubahan waktu. Hampir non bagi eksistensi sastra, misalnya semua rumusan tentang sastra yang cerita Ramayana dapat disebut sastra telah dibeberkan baik oleh pakar, berkat kehadiran bahasa sebab kalau awam yang hadir gambar akan membuat maupun seniman selalu 113 akan dengan fenomena sastra sebab fenomena secara kreatif bahasa, sifat kehilangan cerita Ramayana disebut komik. kebudayaan dengan tetap berhubu- Demikian keindahan ngan tak terpisahkan dengan dimensi kreatif- sosial dan material kebudayaan, (2) sastra, juga tanpa sebuah ciptaan inovatif-inventif identitas akan sebagai kehilangan stilisasi, simbolisasi, Entitas dan metafora serta konotasi [bukan keindahan atau estetis sastra di sini proposisi, denotasi dan linieritas] juga telah menjadi conditio sine qua baik non bagi keberadaan sastra, misalnya suprastruktur, (3) sangat mengu- peristiwa pergolakan politik tahun tamakan dan menghargai orisinalitas, 1965 yang dirangkai menjadi cerita keunikan, partikularitas, dan inter- dapat disebut sastra berkat kehadiran subjektivitas keindahan seni di dalamnya karena keteraturan, keempirisan, dan objek- kalau dan tivitas], (4) menekankan kebebasan, objektivitas dengan presisi tinggi keterbukaan, bahkan kemerdekaan akan membuat peristiwa pergolakan tafsir politik tahun 1965 disebut ilmu atau kepastian dan ketertutupan pencip- kajian ilmiah. taan dan tafsir], (5) merupakan yang sastra. menekankan hadir logika dalam dan struktur [bukan maupun keumuman, penciptaan [bukan Sampai sekarang sudah ada wujud sekaligus hasil olah intelektual bermacam-macam karakteristik sas- manusia yang sifatnya imajinatif, tra oleh literer, dan afektif-kognitif [bukan sastrawan, ahli sastra, dan atau ahli yang rasional-empiris dan positif], kebudayaan. Beberapa di antaranya (6) diciptakan dengan pandangan, yang penting adalah bahwa sastra (1) paham, dan sikap tertentu, dan (7) berada selalu terkait-terikat dengan konteks yang dalam dikemukakan dimensi simbolis 114 kehidupan manusia [sebab sastra tak negasi mungkin tercipta dari kekosongan]. politik, sosial, etika-moral, psikologi, Beberapa tersebut dan agama] oleh manusia baik menjadikan sastra berbeda dengan sebagai pencipta maupun penikmat wujud, olah sastra. Tampaknya, tidak ada karya lainnya, sastra yang diciptakan dan eksis ilmu tanpa fungsi sama sekali; karya karakteristik bentuk, intelektual misalnya dan hasil manusia filsafat dan pengetahuan ilmiah. sesuatu [misalnya, sastra selalu memiliki fungsi tertentu Dengan karakteristik tersebut, dalam atas kehidupan mungkin berubah-ubah di dalam rentangan waktu berbeda. manapun dan di dalam kebudayaan Apapun fungsi yang diemban oleh apapun, karya sastra selalu memiliki karya kedudukan perubahan dan manusia sekalipun fungsi tertentu, sastra dan fungsi bagaimanapun karya sastra, bahkan diberi kedudukan dan fungsi manusia – dalam hal ini sastrawan – tertentu oleh manusia baik sebagai terus-menerus mencipta karya sastra makhluk personal maupun makhluk dan manusia lain – dalam hal ini sosial. masyarakat penikmat sastra – akan Karya sastra bisa jadi memiliki fungsi spiritual, edukatif, terus-menerus etis-moral, sastra. Dengan kata lain, kreativitas rekreatif, politis, dan ekonomis, sebagainya menggauli karya dalam sastra dan apresiasi sastra terus- kehidupan manusia secara personal menerus berlangsung dalam kehi- dan atau sosial. Karya sastra bisa dupan manusia sejak dulu, sekarang, juga diberi fungsi sebagai afirmasi, dan masa akan datang. diagnose, kritik, alternatif, bahkan 115 Uraian tersebut mengim- menunjukkan betapa beranekaragam plikasikan betapa sangat kompleks dan majemuknya karya sastra yang kedudukan dan eksistensi [kebe- telah ada dalam kehidupan manusia. radaan] karya sastra. Kompleksitas Berdasarkan uraian tersebut substansi, karakteristik, dan fungsi dapatlah diketahui bahwa dalam tersebut jelas menimbulkan keane- sepanjang kehidupannya, (1) ada karagaman [identifikasi dan kate- karya gorisasi atau klasifikasi] karya sastra. muatan-muatan Sampai sekarang kategorisasi atau karakter secara tebal-kental, (2) ada klasifikasi karya sastra sudah sangat karya sastra yang berfungsi atau banyak sehingga ragam karya sastra diberi fungsi etis dan moral, (3) ada juga sudah banyak sekali. Ada sastra karya sastra yang berfungsi dan lisan, ada sastra tulis. Ada sastra diberi fungsi edukatif, (4) ada karya serius, ada sastra populer. Ada sastra sastra yang dijadikan sebagai wahana lokal penyimpan atau daerah, ada sastra sastra yang dan mengandung etika-moral perawat dan norma- nasional, dan ada sastra asing. Ada norma etika dan moral, dan (5) ada sastra ‗asli‘, ada sastra terjemahan. karya sastra yang relatif [cukup] Ada sastra bertendens, ada sastra efektif sebagai media pembelajaran tidak etika dan moral. Sastra lisan, sastra bertendens. Masing-masing kategorisasi tersebut mengandung klasik sekian banyak paham, bentuk, jenis, ‗keraton‘, dan sastra ‗kanon‘ yang dan variasi karya sastra sehingga ada di Indonesia dan di tempat- kenyataannya terdapat banyak sekali tempat lain di luar negeri selalu ada wujud dan hasil karya sastra. Hal ini yang memenuhi hal-hal tersebut di 116 atau sastra lama, sastra atas. Akan tetapi, segera harus karakter sehingga karya-karya sastra disadari bahwa hal sebaliknya juga tersebut selalu ada. Harus disadari bersama wahana atau media pembelajaran bahwa di dunia ini juga (1) ada karya etika dan moral. Akan tetapi, novel sastra yang [sama sekali] tidak Karmila (Marga T), Telegram (Putu mengandung dan Wijaya), dan Jangan Ambil Nyawaku moral, tetapi (2) ada karya sastra (Titi Said) tentu kurang efektif yang tidak berfungsi dan tidak diberi sebagai fungsi etis dan moral, (3) ada karya pembelajaran sastra yang tidak berfungsi dan diberi karakter sebab tiga karya sastra fungsi edukatif, (4) ada karya sastra modern tersebut kurang kuat muatan yang wahana etika dan moralnya; kurang kuat norma- fungsi etis, moral, dan edukatifnya. norma etis dan moral, dan (5) ada Meskipun demikian, memang harus karya sastra yang tidak efektif untuk disadari bahwa setiap karya sastra wahana dan media pembelajaran modern yang baik atau bagus tidak etika pernah hampa dari suara-suara etis muatan tidak penyimpan dan etika dijadikan dan perawat moral. Ramayana, Wedhatama, Mahabharata, Wulang La Galigo, relatif efektif wahana sebagai atau media etika-moral dan Reh, dan moral. Setiap karya sastra yang Malin baik senantiasa menyuarakan soal- Kundang, dan Syair Perahu memang soal sarat dengan muatan etika dan moral, walaupun tidak secara langsung dan kental dan hanya secara naratif, hanya secara edukatif, dan terkesan kuat menjadi literer. Novel Dokter Zhivago (Boris penyimpan norma etika-moral dan Pasternak), kwatrin Bumi Manusia fungsi etis, moral, 117 etika-moral dan karakter (Pramoedya Ananta Toer), dan dikan etika dan moral. Mengapa Seratus Tahun Kebisuan (Gabriel demikian? Marcia Marques) – sebagai contoh – etika-moral menyuarakan pesan etis dan moral dipandang sebagai resep jitu atau yang amat kuat sekalipun merupakan obat mujarab untuk membereskan sastra modern. Karya-karya Heming- persoalan way, Leo Tolstoy, Yukio Mishima, penyakit Yasunari Indonesia. Di samping itu, etika dan Kawabata, Muhammad Sebabnya, dan karakter atau yang telah menyembuhkan melilit bangsa Iqbal, dan Gabrial Marques juga moralitas menyuarakan pesan-pesan etis dan memperkuat moral yang tebal-kental. kehidupan bangsa yang bersih dan santun. juga pendidikan dipandang dan Untuk dapat memajukan itu, pendidikan khususnya pembelajaran etika-moral B. Pembelajaran Etika-Moral an dan karakter ini perlu dilaksanakan Karakter Melalui Sastra Tidak ada yang memungkiri baik dalam rumah/keluarga, bahwa pendidikan etika-moral dan masyarakat karakter sekarang sangat dibutuhkan Pembelajaran dalam kehidupan. Wacana tentang karakter ini harus mengutamakan perlunya pendidikan budi pekerti dan contoh-contoh dan teladan-teladan pendidikan karakter bangsa bagi nyata, bukan khotbah dan retorika, anak-anak muda yang berkembang agar mencapai sasaran yang diingin- belakangan ini merupakan bukti kan, yaitu terbentuknya manusia etis bahwa sekarang kita membutuhkan, dan bermoral tanpa harus menjadi bahkan sangat membutuhkan pendi- moralis. 118 maupun sekolah. etika-moral dan Pertanyaan kita: Bagaima- berguna, bahkan sering menjadi nakah pembelajaran etika-moral dan indoktrinasi etika-moral dan karakter karakter dengan dapat kita laksanakan semata. Kedua, kurikulum sekolah efektif dan baik Indonesia sudah sangat padat-sesak serta mencapai sasaran, yaitu terben- sehingga tuknya manusia etis dan bermoral? memunculkan mata pelajaran pendi- Secara khusus, bagaimanakah pem- dikan etika-moral dan karakter secara belajaran etika-moral dan karakter mandiri. Penciptaan mata pelajaran dilaksanakan di sekolah? Penga- pendidikan etika-moral dan karakter laman bertahun-tahun menunjukkan tentu hanya menambah beban siswa, bahwa bahkan juga guru dan kepala sekolah, pelaksanaan etika-moral dan pembelajaran karakter tidak malah tidak mungkin membuat semua lagi warga mudah, terbukti sangat sulit. Setidak- sekolah stres atau depresi. Oleh tidaknya ada dua sebab utama. karena itu, pembelajaran etika-moral Pertama, dan karakter tidak mungkin disajikan sebagaimana sudah disinggung di muka, pembelajaran secara etika-moral meskipun dalam hal tertentu bisa dan karakter terpisah dan membutuhkan teladan dan contoh juga, nyata secara ajek karena ia lebih Pengembangan Diri. Pembelajaran merupakan praksis, bukan teori; etika-moral perilaku nyata, bukan pengetahuan mungkin dan paling baik disajikan dan pemahaman semata-mata. Penje- secara terpadu dengan mata pelajaran lasan-penjelasan lain dan menggunakan strategi yang informatif sering teoretis tidak yang banyak lebih 119 misalnya tersendiri melalui dan banyak program karakter mendorong hanya siswa membentuk sikap-sikap etis-moral ajar. dan membaca novel Belenggu [Armijn tindakan-tindakan etis dan bermoral. Pane], Untuk itu, Misalnya, siswa dengan diajak diminta melakukan pendekatan refleksi dan kontemplasi persoalan terpadu dapat dipertimbangkan untuk etis dan moral yang dilakonkan oleh dipakai Tono, Tini, dan Yah. Oleh karena itu, sebagai pendekatan pembelajaran etika-moral dan pemilihan materi bahasa dan sastra karakter sekolah. Dengan harus dilakukan secara hati-hati, pendekatan terpadu, pembelajaran tepat, dan cermat serta berdaya guna. etika-moral dan karakter dipadukan Dalam hubungan ini materi bahasa dan disatukan dengan pelbagai mata perlu dipilih yang fungsional untuk pelajaran yang ada. Salah satunya memberikan pengalaman etis dan adalah mata pelajaran bahasa dan moral. Demikian juga materi sastra sastra di Indonesia. Dalam mata perlu dipilih yang cocok dan tepat dan sastra untuk memberikan pengalaman etis Indonesia, materi-materi etika-moral dan moral; materi sastra harus bisa dan karakter dapat dipadukan dan mendorong siswa untuk melakukan disisipkan ke dalam materi-materi refleksi dan kontemplasi persoalan bahasa dan sastra. Dengan materi etis dan moral. Harus disadari benar bahasa dan sastra siswa bisa diajak bahwa tidak semua materi bahasa melakukan apresiasi, refleksi, dan dan sastra cocok dan fungsional kontemplasi persoalan-persoalan etis untuk memberikan pengalaman etis dan moral yang tercermin dalam dan moral karena tidak semua karya pelajaran bahasa karya sastra yang menjadi materi- 120 sastra modern bermuatan etika-moral menjadi materi ajar. Misalnya, siswa dan karakter yang memadai. diajak bersama-sama menghayati, Selain itu, strategi pembelajaran berbasis [project sastra yang memberikan pengalaman based learning] dan pembelajaran etis dan moral, misalnya Salah berbasis masalah [problem based Asuhan, learning] sebagai kemudian diajak merenungkan dan etika-moral membatinkan persoalan etis dan dan karakter di sekolah dalam mata moral yang ada dalam ketiga novel, pelajaran dan selanjutnya diajak menyusun strategi proyek membaca, dan menelaah suatu karya dapat dipakai pembelajaran bahasa Indonesia. dan sastra Dengan strategi Belenggu, dan suatu proyek untuk Atheis, menerapkan pembelajaran berbasis proyek dan pengalaman etis dan moral yang pembelajaran masalah, telah diperolehnya, serta terakhir siswa tidak diberi materi bahasa dan siswa diajak menerapkan rancangan sastra yang bermuatan etika-moral proyek yang telah disusun tersebut. dan tetapi Setelah itu, siswa dapat diminta siswa diajak bersama-sama membuat membuat laporan tentang penerapan suatu proyek yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman pengalaman etis dan moral di dalam moral dalam kehidupan sehari-hari bahasa dan sastra di samping diajak dan kemudian mendiskusikannya. menghayati, merenungkan, dan Dengan cara mengambil kesimpulan atas modern dapat karakter persoalan etis berbasis semata-mata dan moral seperti etis ini, efektif dan sastra menjadi yang wahana dan media pembelajaran terdapat dalam karya sastra yang etika-moral dan karakter di sekolah. 121 Hal ini mengimplikasikan bahwa moral. Agar pembelajaran etika- sastra modern tetap bisa menjadi moral dan karakter tidak menjadi media pembelajaran etika-moral dan mata pelajaran baru dan bersifat karakter dan indoktrinatif atau teoretis yang dapat ditetapkan berdasarkan persyaratan membebani siswa, ia perlu atau yang hendaknya asalkan sesuai dipilih dengan pembelajaran kebutuhan etika-moral dan diintegrasikan dikomplementasikan atau dengan karakter di samping disajikan dan berbagai materi atau mata pelajaran ditanamkan kepada siswa dengan dalam cara atau siasat yang cocok, tepat, Berdasarkan beberan di muka terlihat dan manjur. bahwa sastra modern [Indonesia] dan kompetensi pembelajaran sastra tertentu. [Indonesia] dapat dijadikan wahana, wadah, dan SIMPULAN Etika-moral dan karakter media pembelajaran etika-moral dan sangat penting bagi semua orang karakter termasuk para pelajar atau siswa, bukanlah kitab etika dan moral. lebih-lebih sekarang etika-moral dan Dalam pembelajaran bahasa dan karakter sastra Indonesia, minimal cipta sastra harus ditindakkan oleh dimiliki semua dan orang. modern sekalipun dapat cipta dijadikan sastra wahana Karena itu, penanaman etika-moral apresiasi, refleksi, dan kontemplasi dan dilaksanakan persoalan etis dan moral. Hal ini melalui pembelajaran di sekolah. Hal perlu disertai dengan catatan bahwa ini betapa sikap hati-hati dan cermat sangat pentingnya pembelajaran etika dan diperlukan agar pembelajaran bahasa karakter perlu mengimplikasikan 122 dan sastra Indonesia tidak jatuh ke DAFTAR PUSTAKA arah pembelajaran etika-moral dan Bertens, K. 1995. Etika. Jakarta: Gramedia. karakter pada satu pihak dan pada pihak lain agar pembelajaran etika- Cassirer, Ernst. 1983. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. moral dan karakter tidak dianggap identik atau sama dengan pembe- Darma, Budi. 2004. Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. lajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, pemfungsian atau penggunaan Robinson, Dave dan Chris Garratt. 2000. Etika for Beginners. Bandung: Mizan. bahasa dan sastra Indonesia sebagai wahana, wadah, dan media pembelajaran etika-moral dan karakter Saryono, Djoko. 1998. Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang. perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesadaran supaya hakikat bahasa dan sastra sebagai karya seni atau estetis tetap terjaga, tidak tereduksi menjadi karya etika atau moral. 123