BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren (1956:94) Senada dengan pernyataan di atas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk 2 kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3). Lebih lanjut, Wellek (1956:29-37) menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah fiksi yang mewakili gambaran kehidupan masyarakat, mengarah pada hal-hal kehidupan masyarakat, serta ungkapan kejiwaan dari pengarang yang bukan hanya merujuk pada unsur-unsur intrinsik karya sastra itu, tetapi juga persoalan sosial. Salah satu bentuk karya adalah novel, berbicara mengenai novel serta permasalahannya, Goldmann (1977: 6) melihat bahwa novel adalah bagian dari sejarah atau cerita yang memuat biografi dan persoalan kronis dalam masyarakat yang memiliki hubungan antara bentuk novel itu dan juga struktur dalam masyarakat sosial yang membangunnya. Dengan demikian, novel merupakan sebuah karya sastra yang cerita di dalamnya wajib disimak, baik dari segi cerita yang berupa tragedy, realism ataupun romantisisme. Cerita tersebut menyuguhkan bagian dari kisah hidup yang pelik, sarat akan masalah, persoalan hidup serta adat istiadat, ritual, dan persoalan kelas-kelas atau kasta sosial dari setiap unsur intrinsiknya yang dapat menjalar ke unsur ekstrinsik cerita tersebut. Dengan demikian, pengarang dan isi cerita yang dituturkan merupakan sebuah fakta masyarakat. Berbicara mengenai novel, terdapat salah satu penulis berkebangsaan Amerika yaitu Samuel Langhorne Clemens, yang lebih dikenal dengan nama Mark Twain lahir di Florida Missouri, pada tanggal 30 November 1835. Mark Twain telah menciptakan novel yang tidak jauh dari kehidupan nyata. Novel tersebut berjudul The Adventures Of Huckleberry Finn. Novel ini 3 mengangkat masalah kelas-kelas sosial dan rasial masyarakat Amerika. Selain itu novel ini juga membahas secara keseluruhan mengenai masyarakat Amerika secara khusus dan umum , yaitu kasta serta budak yang dipertentangkan dalam sebuah komunitas yang menjadi problem dilematis. Novel HF lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang dan merupakan refleksi terhadap gejala-gejala sosial sekitarnya. Oleh karena itu kehadiran karya ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan pada zamannya. Karya sastra tidak hanya dapat dipandang sebagai suatu struktur statis, tetapi juga merupakan struktur dinamis yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan pengarangnya. (Goldman, 1970:584) Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1884, selanjutnya beberapa kali mengalami transformasi, baik melalui media cetak, film, maupun pengalihan kebeberapa bahasa (terjemahan). Salah satu bagian yang menarik yang tercantum di dalam novel HF adalah sebagai berikut : Karena didalamnya syarat fenomena yang selalu menjadi bumbu sosial permasalahan yang ada dimasyarakat sampai sekarang. Rasisme seakan menjadi hantu bagi kaum suferior dulu atau sekarang. dalam pandangan Mark Twain kita bisa mengatakan yang sangat penting sekali bahwa ketika moral berbicara maka kejujuran pun pasti akan datang dengan sendirinya. Pandangan Twain dalam hal masyarakat sangat tajam selama ada inferior dan suferior maka, akibatnya akan selalu ada yang namanya rasis. Seperti yang ditulis dalam novel HF bahwa dimana saja, kapan saja, setiap hari akan ada selalu yang namanya rasis. Novel HF mengandung unsur perbudakan, kekerasan, 4 kemiskinan, dan perbedaan kelas. Merupakan situasi yang menggambarkan pada kondisi masyarakat yang mewakili suatu masa, senada dengan apa yang dikatakan oleh Alan Swingewood (1972) yang salah satu pendekatannya melihat karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, yang mencerminkan satu zaman. Dalam kaitannya dengan zaman, novel HF dan beberapa novel yang lain karya Mark Twain, masih terpengaruh dari system pemikiran manusia pada zaman itu. Hal ini yang melatarbelakangi sebagian besar novel-novel Mark Twain yang terbit setelah perang sipil terjadi (1861 dan 1865) di Amerika Serikat. Pada masa itu berlangsung perubahan-perubahan sosial yang penting serta perkembangan ekonomi dan teknologi yang pesat. Perubahan-perubahan itu merupakan salah satu aspek revolusi industri. Yang dimaksud dengan revolusi industri pada pokoknya ialah segala perubahan radikal yang diakibatkan oleh penerapan penemuan-penemuan baru dalam teknologi industri dan transportasi. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam revolusi ini mengandung segi-segi positif dan juga negatif. Pada taraf-taraf permulaan, segi-segi negatiflah yang lebih kelihatan. Salah satu masalah yang serius ialah rasisme yang berdampak pada perbudakan kulit hitam, dimana pertentangan antara kulit putih dan hitam, majikan dan buruh. Karena itu, bermunculanlah gagasan-gagasan besar, termasuk di antaranya pengarang yang ingin menjadikan situasi dan kondisi ini sebagai objek tulisan mereka. Genre yang banyak dihasilkan dalam periode revolusi Amerika adalah novel yang disebut novel-novel revolusi. Berbicara mengenai novel, terdapat salah satu penulis berkebangsaan Amerika, yaitu Mark Twain/Samuel Clemens (1835 – 1910). Yang telah menciptakan novel yang tidak jauh dari kehidupan 5 nyata. Novel tersebut berjudul The Adventures of Huckleberry Finn di dalamnya memuat fenomena sosial yang menggambarkan kesenjangan antara kulit hitam dan putih, kesenjangan budak dan majikan, akibat kemiskinan, kejahatan, penindasan kelas, dan kekerasan di mana-mana, kemudian dikemas menjadi satu pokok utama adalah “Rasisme ditinjau dari sosiologi sastra”. Sosiologi sastra bertugas untuk menghubungkan pengalaman karakterkarakter dan situasi-situasi imajiner penulis dengan iklim historis dari mana mereka berasal. Ia berfungsi mentransformasi persamaan tema-tema dan alat-alat stilistik pribadi menjadi persamaan-persamaan sosial, yakni “pentransformasian” dunia sastra pribadi menjadi arti-arti sosial yang spesifik (Swingewood, 1972: 14). Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah karena adanya berbagai tanggapan dari berbagai lapisan peminat sastra Amerika terhadap novel yang patut disetarakan dengan karya yang lain. Hal yang fundamental pula terkait dengan pendapat Damono (1984) adalah bahwa novel HF merupakan ciri karya sastra populer dari luar negeri, selanjutnya Damono mengatakan sastra yang paling konvensional adalah sastra populer. Sastra populer mengisyaratkan persoalan yang lebih jelas karena memang beberapa kesepakatan telah melahirkan otoritas penilaian yang mendasar tentang itu (Noor, 2003). sedangkan Darma (1984: 75) menyebut sastra populer sebagai gambaran sosial yang harafiah. Karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak tanduk 6 tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian, sastra adalah eksperimen moral (Grabstein, 1968: 161-162). Hubungan karya sastra dengan masyarakat terjadi sepanjang masa, sebab menurut Eagleton (1985: 12), karya sastra selalu ditulis kembali pada zamannya. Dengan demikian, karya sastra yang dipersiapkan di dalamnya dapat melampaui kualitas interpretatif subjek pembaca individual, bahkan juga melampaui dimensi-dimensi ruang dan waktu. Proses penciptaannya sumber karya awal jelas individual, tetapi sumber terakhir karya adalah tradisi dan konvensi, struktur yang diperoleh melalui presentasi fakta-fakta sosiologis. Kaitannya dengan fakta-fakta sosial adalah rasisme dalam novel HF, selain merupakan pesan moral yang diungkapkan juga makna yang terkandung di dalamnya, baik budak sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat dan cara berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam konteks sosial untuk melihat sejauh mana karya tersebut merupakan refleksi dari suatu masyarakat. Bersinggungan dengan hal tersebut, menurut Watt (1969), novel-novel pada abad ke-19 dari segi bentuknya mengungkapkan serangkaian kepentingan ideologi yang berubah. Apapun isi yang terkandung di dalam sebuah novel tertentu dari suatu masa, ia mempunyai struktur formal yang mirip dengan karyakarya lain sejenisnya, yaitu perubahan perhatian dan kepentingan romantik dan supernatural ke psikologi individual dan pengalaman “keseharian”, konsep penokohan yang menyerupai atau mendekati kehidupan (concept of life-like). Dari konsep penokohan ini, Huck sebagai kulit putih diposisikan sebagai objek utama dalam melihat pengalaman keseharian yang menyerupai kehidupan 7 nyata. Kendati pun novel HF hanyalah merupakan cerita humor sebagaimana anggapan sebagian orang, fungsi dan makna yang ada dalam cerita tersebut tidak kalah pentingnya dengan karya lain. Fakta-fakta sosial dan ideologi yang ditampilkan tidak mengurangi respon masyarakat, baik sebagai penikmat maupun pengamat. Adegan-adegan nyata yang dikisahkan Twain dalam novel HF adalah bukti memori yang berasal dari masa kanak-kanaknya yang menyaksikan langsung bagaimana seorang kulit hitam yang diperbudak mendapatkan penyiksaan yang tidak manusiawi. Dengan demikian novel HF lebih dari sebuah dokumentasi keburukan sosial, dalam arti ia adalah korelasi statistik yang kuat dengan undang-undang perbudakan yang baru diberlakukan pada tahun 18611865. Setelah perang sipil (civil war). Perbudakan merupakan suatu lembaga sosial, dimana seluruh hak dan sifat dasar kemunausiaannya dikuasai mutlak oleh tuannya baik fisik maupun hak kemanusiaan telah beralih kepada penguasaan mutlak pemiliknya, kemudian makna budak itu sendiri adalah orang yang dianggap dan disamakan dengan barang milik, hak kemanusiaan sebagai hak dasar yang bersifat kodrati telah dirampas oleh orang lain (pemiliknya). Banyak faktor yang menyebabkan seorang harus menjalani hidup sebagai seorang budak, antara lain faktor ditawan karena kalah dalam suatu peperangan, dijual atau dilahirkan oleh orang tua yang berstatus sebagai budak dan juga berhutang kemudian tidak mampu melunasinya. Berpijak dari beberapa uraian di atas, novel HF yang termasuk karya sastra pada zaman revolusi, layak disimak karena menyuarakan budak-budak dari berbagai aspek sosial yang menyelimutinya, termasuk mengungkap unsur-unsur 8 yang ada misalnya, moral dan sosiobudaya. Terungkap pula gejala-gejala sosial yang muncul serta bersinggungan dengan dunia rasis dan perbudakan, baik fakta yang ada dalam cerita maupun fakta dalam kenyataan. Menurut Sunaryo rasisme adalah merupakan klasifikasi sosial atas dasar keturunan, dengan ciri-ciri tertentu seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa, dan lain sebagainya. Ras Cina identik dengan mata sipit, Eropa dengan kulit putih dan Afrika atau Negro dengan kulit hitam adalah ciri-ciri yang selalu ditempelkan pada ras. (2004: 127) Sekelumit peristiwa rasisme yang tercatat dalam sejarah masa Romawi dan Yunani mengetahui asal mula rasialisme kita harus melihat ke belakang pandangan merendahkan bangsa lain mulai tumbuh saat sistem penghisapan ekonomi melalui perbudakan dimulai. Perbudakan berawal saat pemerintah dan beberapa pihak mencari tenaga kerja yang murah, berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain lalu menjadikan mereka sebagai budak atau membeli dari para pedagang budak. Bangsa yang kalah perang dianggap sebagai bangsa yang inferior (lebih rendah) dan sang pemenang dapat melakukan apa saja terhadap mereka, termasuk mengirim mereka ke arena Gladiator sebagai hiburan. Perbedaan ras adalah suatu realitas alamiah (nature) yang semestinya diterima oleh manusia sebagai anugrah dari yang Kuasa, namun faktanya tidak demikian perbedaan ras telah menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat, bahkan perbedaan ras juga menjadi motivasi penguasaan suatu kelompok atas kelompok yang lain (kolonialisasi). Pada awalnya penguasaan atas suatu kelompok menimbulkan perbudakan, yang menjadi korbannya adalah orang kulit hitam (negro). Hal ini telah berlangsung sejak zaman kuno. Dimana, praktik tersebut dilakukan oleh orang mesir terhadap orang negro. Budak tersebut 9 digunakan tenaganya didaerah pertanian dan di tempat kuil-kuil. Perbudakan yang terjadi di Amerika Selatan dianggap sebagai lembaga legal, ini juga diperkuat dengan undang-undang mengenai perbudakan, yang telah diatur bersama oleh negara bagian yang dinamakan the black codes. Negara bagian terutama Amerika sebelah selatan yang banyak bermata pencaharian sebagai masyarakat perkebunan dan pertanian sangat membutuhkan jasa budak untuk dipekerjakan sebagai alat produksi, yang tujuannya tidak lain adalah memperoleh keuntungan yang seluas-luasnya. Dengan keadaan tanpa kebebasan ini para budak juga mendapat perlakuan yang kejam dan sewenangwenang dari majikannya, bisa dibayangkan kehidupan budak pertanian dan perkebunan saat itu sangat tragis dan menderita. Sejalan apa yang dikatakan Fanon. Menurut Fanon (Bhabha, 2007: 339) klasifikasi manusia berdasarkan kelompok, golongan, dan keturunan. Sementara rasisme adalah sebuah keyakinan (isme) suatu kelompok atas superioritas ras tertentu dan inferioritas ras yang lain. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Banton (1974: 31) rasisme adalah sebuah ideologi yang didesain untuk membenarkan rasionalisasi perbedaan etnik. Rasisme tersusun dari dua ide pokok; pertama, manusia secara alamiah dibagi ke dalam jenis fisik yang berbeda-beda. Kedua, perbedaan fisik tersebut secara intrinsik berkaitan dengan budaya mereka. Masalah rasisme adalah salah satu masalah yang sarat dengan kajian sosiologi. Dalam hal ini, sosiologi sastra mulai sejak diperkenalkannya konsep negritude. Negritude adalah sebuah pergerakan ras kulit hitam yang dimotori o1eh Sengor sebagai upaya membangun identitas sendiri ras kulit hitam sebagai 10 wujud protes atas, dominasi ras kulit putih. Hal ini menunjukkan bahwa doktrin rasisme biasanya bersamaan dengan sebuah anggapan bahwa suatu ras adalah lebih baik dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lain, hal ini dilakukan oleh kulit putih yang menganggap dirinya lebih baik dari kulit berwana, rasisme juga meyakini bahwa secara umum perbedaan ras juga menunjukkan ketidaksamaan secara umum dan kemampuan spesifik. Ungkapan-ungkapan umum tentang manusia kulit putih seperti yang diungkapkan Kipling (Said, 1979: 295) telah banyak membantu orang-orang Inggris ketika mereka tengah berada di luar negeri. Warna kulit mereka yang aktual secara dramatis dan meyakinkan membedakan mereka dari lautan manusia pribumi, tapi bagi orang-orang Inggris yang berada di tengah-tengah orang India, Afrika atau Arab, juga ada pengetahuan tertentu dimana mereka merupakan bagian empiris dan spritualnya, mereka bisa menciptakan suatu tradisi yang panjang mengenai tanggung jawab kepemimpinan atas ras-ras kulit berwarna, tetapi di balik kedok kepemimpinan ramah manusia kulit putih ini selalu saja ada kesediaan untuk menggunakan kekerasan, untuk membunuh dan dibunuh. Kaitannya dengan kekerasan, pembunuhan, maka yang menjadi sasarannya adalah budak-budak yang mereka pekerjakan. Apabila diamati pada dasawarsa pertengahan abad ke-19 terlihat adanya ”dua Amerika” utara dan selatan. Pertengahan abad tersebut juga ditandai dengan percepatan kemajuan di berbagai bidang, seperti di dalam bidang industri, pertanian dan perdagangan. 11 Industri berkembang pesat di daerah utara sedangkan pertanian berkembang pesat di daerah selatan. Baik utara maupun selatan mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Namun kepentingan antara utara dan selatan saling bertentangan. Wacana rasisme dengan segala aspek pendukung dan implikasinya ternyata juga hadir dalam bentuk karya sastra. Masalah yang sering mencuat diantaranya adalah perlakuan terhadap budak yang dianggap hina, dan tidak perlu memiliki kebebasan hidup. Dengan demikian, fenomena rasisme yang berdampak pada budak ada dalam tiap hubungan sosial dan dalam tingkatan-tingkatan organisasi. Sebagai fenomena universal, rasisme serta perbudakan memungkinkan hubungan- hubungan sosial dan organisasi dalam masyarakat. Terdeteksinya indikasi kesamaan antara novel HF dengan rasisme serta perbudakan di Amerika memunculkan beragam permasalahan, karena novel merupakan produk imajinasi sebagai sebuah karya sastra novel tidak hanya mengandung unsur fiksi tapi juga tidak terlepas dari fakta yang ada dimasyarakat. (Damono, 1984: 1) Novel bukanlah suatu hubungan sosial maupun tingkatan organisasi, tetapi sebuah produk imajinasi. Sebagai produk imajinasi, novel tidak merujuk pada peristiwa faktual spesifik dalam masyarakat sehingga jika terdeteksi kesamaan antara keduanya, akan memunculkan berbagai permasalahan. Permasalahan inilah yang membuat novel HF menarik untuk diteliti. Apa yang tidak berubah adalah karakter sistematis dan meluasnya rasisme di Amerika Serikat yang telah semakin memburuk. Rasisme berasal dari dominasi dan menyediakan dasar pemikiran sosial dan filosofis pembenaran untuk merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap orang berdasarkan warna kulit. 12 Bentuk-bentuk dari rasisme itu sendiri dapat merupakan kejadian brutal terbuka atau bahkan dapat tidak terlihat oleh institusional. Rasisme adalah suatu sistem penindasan untuk tujuan sosial. Di Amerika Serikat, tujuan semula rasisme untuk membenarkan perbudakan dan manfaat ekonomi yang besar. Bentuk khusus dari rasisme, warisan dari bahasa Inggris untuk membenarkan perdagangan budak mereka sendiri, untuk itu budak didefinisikan bukan hanya sebagai korban malang keadaan yang buruk, perang, atau korban dislokasi sosial melainkan sebagai kurangnya manusia sebagai benda, atau bahkan bisa dianggap sebagai binatang, yang bebas untuk diperjual belikan, digunakan dan di salah gunakan. Budak tidak harus diperlakukan secara kasar, tidak ada satupun gerakan pembaharu pada masa itu yang lebih penting lebih berarti atau lebih gigih daripada gerakan pembebasan budak. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa perbudakanlah yang menyebabkan kemarahan para pembaharu. Orang-orang yang berperikemanusiaan tergugah hatinya untuk melihat cambuk-cambuk para majikan dan praktek-praktek yang mengacaukan hubungan keluarga para budak. Orang-orang demokrat melancarkan protes atas penolakan hak-hak politik dan hak-hak sebagai penduduk bagi para budak. Orang-orang yang ingin segalanya sempurna menyesalkan suatu keadaan bahwa para budak tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup mereka, walaupun demikian untuk beberapa tahun, gerakan pembebasan budak tidak begitu banyak pengikutnya, nampaknya tidak ada jalan yang dapat ditempuh untuk menghapuskan perbudakan di Amerika dengan resolusi yang singkat. 13 Permasalahan yang diangkat adalah “Rasisme” dalam novel HF, diperlukan analisis sosiologi sastra untuk menganalisisnya. Pendekatan ini digunakan sebagai pilihan untuk mengiring pendekatan secara sosiologis agar dapat diperoleh hasil yang maksimal. 1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian di atas, teridentifikasi berbagai permasalahan, yaitu mengapa novel dianggap mempersoalkan persoalan yang sama dengan persoalan yang ada di dalam masyarakat? Benarkah fenomena rasisme yang berpengaruh terhadap budak kulit hitam dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik dan moral di dalam masyarakat? Adakah pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam fenomena rasisme di dalam masyarakat itu? Bagaimanakah nilai-nilai rasisme terhadap budak kulit hitam yang ada dalam novel? Mengapa fenomena rasisme memungkinkan hadir dalam novel? Mengapa fenomena rasisme dalam muatan novel itu sama dengan fenomena rasisme dalam masyarakat? Adakah faktor tertentu yang mengakibatkan fenomena sosial dan nilai-nilai moral yang dimuat dalam novel itu sama dengan fenomena yang ada di dalam masyarakat? Bagaimana fenomena rasisme itu dikonstruksi dan diekspresikan melalui novel? Bagaimana strategi yang digunakan dalam mengkonstruksi novel? Permasalahan yang muncul tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut guna menemukan pemecahan dan penjelasan terhadapnya karena menyinggung kepentingan hidup individu maupun masyarakat yang tertindas. Sebelum penelitian dilakukan, permasalahan itu dirumuskan terlebih dahulu untuk 14 memfokuskan masalah yang akan diteliti. Pada bagian berikut ini, rumusan masalah dikemukakan berdasarkan hasil identifikasi terhadap permasalahan, adapun pembatasan salahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh rasisme terhadap masyarakat dalam novel HF? 2. Fakta-fakta sosial apa saja yang dimunculkannya sebagai bentuk diskriminasi terhadap tokoh dalam novel HF dengan lingkungannya ? Implikasi dari permasalahan dan rumusan masalah di atas adalah rasisme kulit hitam akan mendeskripsikan fenomena rasisme kulit hitam, terkait dengan perbudakan di benua Amerika, ketidak adilan sosial yang dialami oleh masyarakat kulit hitam, serta perjuangan liberalisasi dan pengakuan terhadap hak asasi manusia (human rights). Sebagaimana yang terefleksikan dalam novel HF. Selanjutnya, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dibahas dengan pendekatan ekstrinsik dan intrinsik dalam kaitannya dengan sosiologi sastra yang nantinya dapat menjawab permasalahan tersebut. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini meliputi tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis, tujuan penelitian ini terbagi dua. Pertama, untuk mengungkap gejalagejala sosial yang ada dengan pendekatan sosiologi sastra di dalam menganalisa rasisme pada lingkungan masyarakatnya. Kedua, mengungkap reaksi rasisme budak sebagai bagian masyarakat yang tak berdaya. Ketiga, memberikan sumbangan ilmu terhadap perkembangan ilmu sastra, khususnya hubungan manusia dengan makhluk sosial dan masyarakat dengan teori sosiologi sastra. 15 Tujuan praktis, penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai fenomena rasisme dan perbudakan yang ada di dalam masyarakat melalui dunia fiksi. Harapan peneliti adalah dapat membantu bukan hanya kalangan akademisi, mahasiswa, tetapi secara keseluruhan pada masyarakat agar dapat kreatif dalam menghargai keberagaman, toleran terhadap perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu kreatif dalam menciptakan karya sastra sebagai cerminan dan wujud dari himpunan masyarakat. 1.4 Tinjauan Pustaka Dari hasil tinjauan perpustakaan untuk menghindari adanya kesamaan dalam penelitian ini, baik dari segi objek material maupun objek formal dalam analisis yang menggunakan sosiologi sastra ini. Dari hasil penelusuran serta pencarian pada tinjauan pustaka secara langsung maupun melalui media internet, penulis belum menemukan kesamaan judul dan analisisnya. Namun demikian ada beberapa penelitian sebelumnya seperti: Anis Kurniawati (2004) dalam skripsi S1 nya di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul “English Negation In Tom Sawyer’s Speech As Dialect Feature In Mark Twain’s The Adventure Of Huckleberry Finn”. Skripsi ini mengungkapkan dialek yang dituturkan oleh Tom Sawyer, salah satu tokoh dalam novel HF, metode yang digunakan deskriptif-kualitatif, dan metode purposive sampling untuk mengetahui perbedaan dialek yang digunakan Tom Sawyer dengan lawan bicaranya. Tom Sawyer menggunakan bahasa Inggris tidak standar untuk membangun dan memelihara rasa solidaritas dan menggunakan bahasa Inggris standar untuk menunjukkan kekuasaan dan mempengaruhi 16 pendengar yang mempunyai strata sosial rendah. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian lain yang pernah dilakukan berkaitan dengan perbudakan adalah “Pengaruh Timbal Balik Antara Perbudakan dan Karya Sastra Yang Terefleksi Melalui Karya Harriet Beecher Stowe Uncle Tom’s Cabin”. Penelitian ini ditulis oleh Esmeraldayanti Sosronegoro (2002). Dalam penelitian ini mengupas tentang timbal balik antara jaman perbudakan disaat karya tersebut diciptakan dan sebaliknya pengaruh karya itu terhadap jaman perbudakan. Karya tersebut menggunakan teori sosiologi dan mimetic, dan teori pragmatik. Penelitian lain tentang novel HF dilakukan oleh Juliasih (1994) dengan judul “The American Dream Dalam Karya Mark Twain The Adventures of Huckleberry Finn”. Penelitian tersebut membicarakan keinginan imigran untuk memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, kebebasan beragama, dan melepaskan diri dari penindasan politik terungkap dalam “Trinitas Ideologi Amerika” yaitu liberty, opportunity, dan progress yang lebih dikenal dengan The American Dream. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan mimetik. Sarah Prasasti pada tahun 1996 dalam tesis S2 nya di FIB UGM meneliti mengenai “The Value System Of The Mississippi Rivertown Sosiety in The 19th Century:A Study On Mark Twain’s The Adventury of Huckleberry Finn”. Dalam tesisnya ini Sarah membahas tentang nilai-nilai yang dianut masyarakat Amerika bagian Barat Daya pada abad ke-19, hingga datangnya peradaban modern. Tesis ini dilaksanakan dengan disiplin pengkajian Amerika yang menerapkan pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial terutama nilai agama dan moral, nilai tradisi dan budaya. 17 Tesis lain terhadap novel HF juga dilakukan oleh Tri Sedjati (2000) dalam tesis S2 nya di FIB UGM, dengan judul “Mark Twain: A Realistic Humorist in America”. Tesis ini mengungkapkan adanya industrialisasi dengan cepat mengubah kondisi kehidupan social masyarakat. Dampak yang ditimbulkan adalah mengarah pada system perbudakan dan Marxism dimana system pemerintahan pada waktu itu dinilai sangat bobrok menyebabkan mereka melakukan praktek penyuapan dan kolusi untuk membayar hakim. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang dilaksanakan dengan mengaplikasikan pendekatan interdisipliner yang merupakan ciri khas pengkajian Amerika. Dalam hal ini melibatkan ilmu sosial dan politik. Zainul Mujahid (2001) dalam tesis S2 nya di FIB UGM juga melakukan penelitian terhadap novel HF dengan judul “American Literary Humor: A Sosiocultural and Linguistic Analysis of Mark Twain’s The Adventures of Huckleberry Finn”. Penelitian ini dilakukan berdasarkan disiplin pengkajian Amerika yang berkaitan dengan pengkajian interdisipliner seperti sejarah, sosiologi, budaya, dan bahasa. Karya-karya sebelumnya tidak berhubungan langsung dengan penelitian ini. Akan tetapi karya-karya itu dapat menjadi acuan tentang pandangan, konsep pemikiran mengenai obyek yang sama dan konsep kebudayaan maupun pemanfaatan teori yang sama. 1. 5 Landasan Teori Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sastra memerlukan landasan kerja yang berupa teori. Teori sebagai hasil penelitian yang kemudian direnungkan dengan 18 mendalam, tersistem dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam penelitian (Chamamah Soeratno, 2002:15-16).Teori berfungsi sebagai alat untuk memahami masalah, oleh karena itu dalam mempergunakan teori sastra haruslah dipilih teori yang relevan dengan tujuan penelitian. Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, yaitu menelaah karya sastra dalam kaitannya dengan elemen-elemen luar yang menjadi unsur pembentuknya, maka teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra. Teori Sosiologi Sastra, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sementara itu, sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, meskipun antara karya sastra dengan sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya tetapi juga dengan alam. (Eagleton, 1983) Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi lingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektika antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra (Langland, 1984). Sementara dari karya itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Zeraffa bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam segi masyarakat (zeraffa, dalam Elizabeth, 1973: 35). Dalam hal ini, karya sastra mempunyai suatu fungsi pewahyuan, dalam pengertian aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, ataupun budaya. Itulah sebabnya karya sastra dapat merupakan sumber pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya. 19 Dalam telaah sosiologi sastra, Junus (1986: 3) antara lain menekankan bahwa yang menjadi objek sasaran adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya, penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra, penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap karya sastra dari seorang penulis tertentu, serta sebab-sebab penerimaannya, pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra. Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra dipandang pula sebagai produksi yang dikondisikan oleh suatu keadaan dan tuntutan pada zaman itu (Abrams, 1981: 76). Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refraksi, sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan sesungguhnya tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini, menurut Teeuw (1982: 18-26), ada empat cara yang mungkin dilakukan, yaitu: a) afirmasi menerapkan norma yang sudah ada, b) restorasi sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang, c) negasi dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang berlaku, d) inovasi dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada. Macherey (dalam Eagleton, 1976) mengemukakan bahwa dampak atau efek yang dihasilkan kesusastraan secara esensial adalah membongkar dan bukannya meniru (realitas). Jika citra yang dihasilkan sastra secara keseluruhan sama dengan realitas, maka ia identik dengan realitas, dan karena itu berhenti menjadi suatu citra. Pandangan Macherey tersebut jelas mengisyaratkan bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan sebuah produk masyarakat yang sangat sarat dengan fenomena-fenomena dinamika sosial budaya, yang diserap ke dalam karya sastra tersebut. 20 Berdasarkan pada rumusan masalah, dan pandangan-pandangan yang disampaikan di atas maka peneliti menggunakan teori sosiologi sastra sebagai landasan dalam penelitian ini. Teori ini dipilih sebagai landasan ilmiahnya karena novel adalah produk masyarakat, berbicara tentang fenomena dalam masyarakat, dikonsumsi oleh masyarakat. Disiplin persoalan kemasyarakan adalah ilmu yang mempelajari persoalan- sosiologi. Dengan demikian, dalam mengakomodasi konsep-konsep baik sosiologi maupun sastra, maka digunakan sosiologi sastra untuk membongkar masalah-masalah sosial yang terjadi. Menurut Swingewood dan Laurenson (1972: 11-12) Sosiologi adalah studi ilmiah dan obyektif tentang manusia dalam masyarakat, tentang institusi sosial dan proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. sosiologi menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana masyarakat bekerja dan bagaimana masyarakat bisa bertahan. Melalui penelitian yang teliti mengenai institusi sosial, keagamaan, ekonomi, politik dan keluarga, yang semua itu disebut struktur sosial, muncul gambaran tentang bagaimana manusia beradaptasi, mekanisme sosialisasi proses pembelajaran secara kultural, bagaimana setiap individu dialokasikan dan menerima peranan-peranan dalam struktur sosialnya. Terkait dengan Swingewood dan Laurenson tersebut, Faruk (2005: 1) menulis bahwa sosiologi berurusan dengan proses perubahan sosial, baik yang terjadi berangsur-angsur maupun yang terjadi secara revolusioner. Selain itu sosiologi sastra juga berurusan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan sosial tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat kehidupan masyarakat tidak pernah statis. Masyarakat selalu tumbuh dan berkembang dengan segala perubahannya. 21 Melengkapi defenisi Laurenson di atas Ritzer (melalui Faruk, 2005: 2-3) berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang multi paradigma, diantaranya adalah paradigma fakta-fakta sosial, paradigma defenisi sosial dan paradigma prilaku sosial. Fakta sosial mengacu pada lembaga-lembaga sosial dan struktur sosial, sedang paradigma defenisi sosial mengacu pada situasi sosial dan efek dari defenisi itu terhadap tindakan yang mengikutinya. Defenisi sosial berhubungan dengan cara subyektif, individu menghayati fakta-fakta sosial. Sementara itu, perilaku sosial mengacu pada sikap manusia dalam masyarakat. Sebagaimana sosiologi, sastra juga memberi perhatian pada dunia sosial manusia, adaptasinya, dan keinginannya untuk berubah. Akan tetapi, karya sastra tidak menulis dunia sosial manusia tersebut apa adanya. Pengarang akan menciptakan kembali (re-create) dunia tersebut hubungan dengan keluarga, politik, dan negara. Karya Sastra menggambarkan peranan individu dalam masyarakat, keluarga atau institusi lain, konflik dan ketegangan antara kelompok dan kelas sosial (Swingewood dan Laurenson, 1972: 12). Sosiologi melakukan analisis ilmiah yang obyektif terhadap fenomena masyarakat, maka karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 1979: 8). Swingewood menggunakan tiga perspektif yang dapat digunakan untuk melihat fenomena sosial dalam karya sastra. Pertama, “the most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that it provides a mirror to the age”. (1972: 13). Dalam perspektif yang pertama ini Swingewood berpendapat bahwa, perspektif yang paling populer mengadopsi aspek dokumentasi dalam sastra dan menganggap karya sastra sebagai cermin zaman. 22 Kedua, “The second approach to a literary sociology moves a way from the emphasis on the work of literature itself to the production side, and especially to the social situation of the writer”. (swingewood dan Laurenson, 1972: 17). Dalam perspektif yang kedua ini, sosiologi sastra memberikan penekanan pada bagian produksi, khususnya pada situasi sosial pengarang. Ketiga, “A third perspective, one demanding a high level of skill, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by a particular society at a specific historical moment”. (Swingewood dan Laurenson, 1972: 21). Dalam perspektif ketiga ini, sosiologi sastra menuntut keahlian yang lebih tinggi, melacak penerimaan masyarakat tertentu pada suatu momen sejarah yang lebih khusus. Untuk penelitian ini, dipilih perspektif pertama, karena sastra sebagai dokumentasi sosial yang merupakan refleksi situai zaman pada masa karya sastra itu diciptakan. Pemilihan ini di dasarkan pada aspek relevansinya, baik relevansi dengan masalah maupun tujuan penelitian yang akan dicapai seperti tertuang pada bagian awal. Terkait dengan perspektif pertama, yaitu karya sastra sebagai dokumentasi sosial yang merupakan refleksi suatu zaman pada masa karya sastera itu diciptakan, (Swingewood, 1972: 14) mengutip pendapat Lowenthal bahwa tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan karakter penggambaran yang dilakukan penulis dengan situasi sejarah. Sosiologi sastra mentransformasikan tema dan gaya bahasa ke dalam kehidupan sosial yang melatar belakangi lahirnya karya sastra tersebut. Karena itu untuk menggunakan metode ini dibutuhkan keahlian yang cukup untuk membongkar sejarah secara detail dalam periode tertentu. 23 Keberadaan karya sastra sebagai dokumen dibicarakan dalam kaitannya dengan dunia yang digambarkan. Hal ini bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai pengetahuan tentang struktur masyarakat sehingga dapat diketahui apakah jenis dan perilaku masyarakat tertentu dibentuk kembali dalam karya sastra (Swingewood dan Laurenson, 1972: 14). Terkait dengan karya sastra sebagai cermin, Swingewood dan Laurenson (1972: 15) berpendapat bahwa pengarang-pengarang besar tidak hanya menggambarkan dunia sosial dalam bentuk deskriptif. Akan tetapi, pengarang mempunyai tugas yang kritis, yaitu menentukan gerakan karakter tokoh-tokoh yang diciptakannya dalam situasi sosial yang dihadapinya, kemudian menunjukkan nilai dan arti dunia terkait hal tersebut. Swingewood dan Laurenson (1972: 16) berpendapat bahwa tugas para peneliti dalam menggunakan konsep cermin tidak hanya untuk menemukan refleksi sejarah dan sosial dalam karya sastra yang oleh Raymond William (melalui Swingewood dan Laurenson, 1972: 16) disebut sebagai “the structure of feeling”. Dalam hal ini, Swingewood sependapat dengan pernyataan Lowenthal yang menyatakan bahwa tujuan utama sosiologi sastra adalah menemukan inti makna yang berada dalam karya sastra, mengungkapkan berbagai aspek yang diekspresikan, dirasakan dan dipikirkan oleh subjek, misalnya keragaman kelas sosial, pekerjaan, cinta, agama, filsafat dan seni. Berangkat dari beberapa definisi tersebut, pendekatan telah diuraikan di atas mengacu pada pendekatan sosiologi sastra sebagai teori yang digunakan, namun ada pembatasan teori yang disesuaikan dengan fakta-fakta yang diperoleh dari novel HF dengan meninjau kembali segi-segi yang lebih dominan, yang 24 bermanfaat, dan yang berdaya seni tinggi sebagai kerangka pemahaman yang menjadi objek (karya sastra), dalam hal ini novel HF dapat dianalisis agar karya sastra menjadi lebih hidup dan mudah dipahami. 1.6 Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode disesuaikan dengan teori yang digunakan yaitu teori sosiologi sastra. Dalam teori sosiologi sastra terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian. Metode tersebut adalah (1) a sociology literature dan (2) a literacy of sociology (Swingewood, 1972:78), sebagaimana tampak dalam kutipan berikut. First, a sociology of literature which begins with milieu and works outwards, seeking to relate literature to purely external factors through their reflection or refraction in the text – its method is to elucidate the social correlates of literature at a certain moment in its production (Taine, Plekhanov); secondly, a literary sociology with is basis in the literary text, with relates structure to genre and society. Metode pertama – a sociology literature- dimulai dengan lingkungan, kemudian keluar mencari hubungan sastra dengan faktor-faktor eksternal melalui refleksi dan refraksi dalam teks. Metode ini menjelaskan hubungan sosiologi sastra pada saat tertentu dalam produksinya. Metode kedua – a literary sociology- dengan dasar teks sastra, dengan struktur yang berhubungan dengan genre dan masyarakat. untuk keperluan penelitian ini, dipilih metode kedua, yaitu dari teks sastra ke lingkungan sosial. Secara keseluruhan, langkah kerja penelitian ini mengutip tahap-tahap berikut. Pertama, menetapkan masalah (objek formal). Penetapan masalah merupakan langkah awal penelitian karena tanpa ada masalah tidak akan ada 25 penelitian. Objek formal dalam penelitian ini adalah ras dan perbudakan. Objek material penelitian ini adalah novel The Adventures Of Huckleberry Finn (HF) karya Mark Twain yang diterbitkan di Amerika tahun 1960. Kedua, mencari sumber data. Sumber data disini mencakup sumber data primer yaitu novel HF, dan sumber data sekunder sebagai referensi yang mendukung pengkajian data primer. Ketiga, menganalisis data. Tahap ini adalah tahap penerapan teori sosiologi sastra yang dipandu dengan metode sosiologi sastra yang dipilih sebelumnya. Keempat, membuat kesimpulan. Kesimpulan pada bagian ini ditarik dari penjelasan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Landasan kerja ini mempertajam penelitian, kegiatan yang selanjutnya akan meningkatkan kekuatan hasil penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode yang digunakan untuk memilah masalah secara merata dan tepat sehingga mudah merumuskan, antara lain: (a) metode deskripsi dan analisis digunakan untuk mendiskripsikan novel, pengarang, dan aspek-aspek sosiologi (b) metode studi pustaka, yaitu mengacu kepada sumber-sumber kepustakaan. Sementara itu, tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah (1) memilih dan menetapkan masalah (2) mengumpulkan data, (3) membuat klasifikasi, (4) membaca dan memahami data secara mendalam, (5) melakukan interpretasi dan analisis, dan (6) penarikan kesimpulan. Selanjutnya, dari beberapa rumusan praktis secara umum diatas, langkahlangkah penelitian ini disusun sebagai berikut. a. Menentukan karya yang dijadikan objek material penelitian, yaitu novel HF yang terbit pertama kali tahun 1960. 26 b. Menetapkan masalah pokok penelitian, yaitu masalah rasisme dalam novel HF. Penentuan ini dilakukan dengan membatasi fakta literer, sosial budaya baik menyangkut pengarang maupun novel HF sebagai karya sastra, khususnya masalah rasisme, baik deskripsi fisik, perilaku, moral baik dalam struktur sosial maupun unsur-unsur dalam novel HF. c. Melakukan studi pustaka dengan mencari dan mengumpulkan bahanbahan yang mendukung objek penelitian yang berkaitan dengan analisis sosiologi sastra yang berkaitan erat dengan studi tentang rasiame dalam hubungannya sebagai makhluk sosial, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya. d. Menganalisa novel HF dalam analisis sosiologi sastra dengan berbagai disiplin ilmu yang dapat membantu penelitian tentang rasisme dan perbudakan dalam novel HF ini. e. Menarik kesimpulan dan melaporkan hasil penelitian. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab I merupakan pendahuluan. Bab II Berisi rasisme dalam Novel The Adventures of Huckleberry Finn. Bab III berisi rasisme dalam fakta-fakta sosial dalam novel The Adventures of Huckleberry Finn. Bab IV kesimpulan, dan diakhiri dengan daftar pustaka. Merupakan